Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Gula merupakan komoditi penting bagi masyarakat Indonesia bahkan bagi

masyarakat dunia. Kebutuhan akan gula dari setiap negara tidak hanya untuk

memenuhi kebutuhan pokok, tetapi juga karena gula merupakan bahan pemanis

utama yang digunakan sebagai bahan baku pada industri makanan dan minuman.1

Kondisi geografis Indonesia yang cukup berpotensi untuk menghasilkan tanaman

tebu menjadikan Indonesia sebagai negara yang berpotensi sebagai produsen gula

terbesar di dunia.

Sejarah gula di Indonesia dimulai ketika Belanda membuka koloni di

Pulau Jawa. Banyak tuan-tuan tanah pada abad ke-17 membuka perkebunan

monokultur yang pertama kalinya di Batavia. Industri gula pada masa kolonial

Belanda lebih berorientasi pada ekspor, di mana bidang pemasarannya dikuasai

oleh badan pemerintah yang independen dalam upaya mengamankan penerimaan

pemerintah kolonial Belanda dari cukai dan mengawasi jumlah konsumsi dalam

negeri untuk meningkatkan ekspor tersebut.

Lahan perkebunan di Jawa sangat menguntungkan, terutama gula yang

merupakan perusahaan milik Kolonial Belanda.2 Keuntungan yang diperoleh

penduduk ialah dari segi perekonomiannya. Industri gula dan perkebunan tebu

1
Husein Sawit, dkk, Ekonomi Gula di Indonesia, (Jakarta: Percetakan IPB,
1999), hlm. 2.
2
Gordon Alec (1982), “Ideologi, Ekonomi dan Perkebunan, Runtuhnya
Sistem Gula Kolonial dan Merosotnya Ekonomi Indonesia Merdeka”, Prisma, No.
7, hlm. 32.

1
2

telah membuka kesempatan kerja yang luas bagi penduduk desa. Keuntungan

eksportir gula Jawa adalah nomer dua terbesar setelah Cuba dalam pasaran dunia.

Keuntungan ini tidak hanya menutupi biaya-biaya administrasi di Jawa, tetapi

juga diperlukan untuk mendukung posisi keuangan di Negeri Belanda yang

sedang memburuk. Sebagai akibat dari perang-perang Napoleon hutang dalam

Negeri Belanda dan pembayaran bunga atas hutangnya itu membumbung tinggi. 3

Pada tahun 1830, atas inisiatif van den Bosch, di Jawa dimulailah sistem

cultuurstelsel4. Tujuan van den Bosch memberlakukan sistem tanam paksa ialah

selain mentransformasi Pulau Jawa menjadi exporter besar-besaran dari produk

agraria, dengan keuntungan dari penjualannya terutama mengalir ke kas Belanda

juga untuk memproduksi berbagai komoditi yang ada permintaannya di pasaran

dunia. Untuk mencapai tujuan itu ia menganjurkan pembudidayaan berbagai

tanaman, seperti kopi, gula, indigo (nila), tembakau, teh, lada dan kayumanis.

Persamaan dari semua tanaman perkebunan yang diusahakan oleh petani

dilaksanakan karena mendapat paksaan dari pemerintah untuk memproduksinya

dan sebab itu tidak dilakukan secara voluntary atau sukarela.5

Pada masa sistem tanam paksa, tebu mulai ditanam oleh pemerintah di

Kabupaten Kendal-Keresidenan Semarang. Pada tahun 1832, tebu mulai ditanam

3
Mufiddatut Diniyah “Sejarah Perkembangan Pabrik Gula Cepiring dan
Pengaruhnya Terhadap Kondsi Sosial Ekonomi Masyarakat Kendal Tahun 1975-
1997”, Skripsi, (Semarang: Universitas Negeri Semarang, 2011), hlm. 1.
4
Cultuurstelsel dalam historiografi Indonesia istilah itu diganti menjadi
“tanam paksa”.
5
Leirissa R.Z., Ohorella G.A. dan Yuda B. Tangkilisan, Sejarah
Perekonomian Indonesia, (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2012), hlm. 50-51.
3

di Distrik Perbuan, sebagai percobaan tanaman perkebunan. Beberapa tahun

kemudian, perkebunan diperluas ke Distrik Truka, Kendal dan Kaliwungu, yang

semuanya terletak di Kabupaten Kendal.6 Penanaman tebu di empat distrik di

Semarang tidak menunjukkan peranan yang penting dibandingkan dengan daerah

lainnya di Jawa, akan tetapi beban penanaman tebu adalah yang terberat di Jawa,

yaitu di Distrik Kendal, Truka, Perbuan dan Kaliwungu. Kendal, Truka dan

Perbuan pada tahun 1845 tiap keluarga penanam rata-rata mengerjakan 0,33 bau7,

sedangkan di Kaliwungu rata-ratanya 0,38 bau.8 Beban kewajiban bila

dibandingkan dengan keresidenan lainnya di seluruh Jawa dalam periode tanam

paksa bahwa beban kewajiban tersebut yang paling berat di empat distrik tersebut.

Sejak berdiri tegak setelah Revolusi berakhir, Republik Indonesia

menghadapi keadaan ekonomis yang kurang menguntungkan, antara lain mewarisi

keuangan Federal dan RI Yogyakarta dengan defisit besar, kecenderungan inflasi

kuat, bahkan tidak seimbang antara ekspor dan impor. Proses pemulihan

perkebunan berjalan dengan lambat dan selama perang, Indonesia telah

kehilangan sebagian besar pasarannya sebelum perang. Kemerosotan produksi

tidak mendukung untuk segera mengejar ketinggalan atau memulihkan pasaran

dunia.

6
Rachmat Susatyo, Industri Gula di Kabupaten Kendal pada Masa
Kolonial, (Bandung: Univeritas Padjajaran, 2007), hlm. 31.
7
Satuan bau adalah satuan luas tanah, 1 bau= 0,70 hingga 0,74 hektar
(7000-7400 meter persegi).
8
Djoko Suryo, Sejarah Sosial Pedesaan Karesidenan Semarang 1830-
1900, (Yogyakarta: Pusat Antar Universitas Studi Sosial Universitas Gadjah
Mada, 1989), hlm. 24-26.
4

Sejak 1950 pemerintah Indonesia menghadapi permasalahan yaitu

difungsionalkan kembali perkebunan untuk memperoleh devisa di satu pihak dan

di pihak lain menata kembali urusan tanah dan tenaga sehingga dapat menarik

investasi modal dalam perusahaan perkebunan. Dampak yang dihadapi setelah

Perang Dunia II adalah kerusakan berat pada perkebunan, maka diperlukan usaha

pemugaran secara besar-besaran. Berdasarkan ketentuan Perundingan Meja

Bundar akhir 1949 perkebunan milik asing perlu dikembalikan sedang perkebunan

milik pemerintah Kolonial diambil alih oleh pemerintah RI, begitu pula milik

asing yang tidak akan dieksploitasi lagi oleh pemiliknya.9

Mulai tahun 1957 pemerintah Republik Indonesia melalui menteri

pertahanan RI saat itu melakukan pengambilalihan semua perusahaan dan

perkebunan milik Belanda. Pada November 1958, kabinet mengajukan Rancangan

Undang-Undang Nasionalisasi nomer 86 tahun 1958 tentang “nasionalisasi

perusahaan-perusahaan milik Belanda di Indonesia”.10 Untuk pengelolaan

selanjutnya didirikan Badan Nasionalisasi Perusahaan Belanda (BANAS) yang

ada didalamnya bernaung empat badan usaha yaitu Badan Usaha Dagang (BUD),

Badan Penguasaan Perusahaan Pharmasi (BAPHAR), Pusat Perkebunan Negara

Baru (PPN Baru) dan Badan Penguasaan Industri dan Tambang (BAPPIT).

Nasionalisasi tanpa persiapan matang membuat industri gula terguncang

dengan hebat. Tidak hanya managemen yang mengalami kemandekan, produksi

9
Sartono Kartodirdjo dan Djoko Suryo, Sejarah Perkebunan di Indonesia:
Kajian Sosial Ekonomi, (Yogyakarta: Aditya Media, 1991), hlm. 166.
10
Mubyanto, dkk., Tanah dan Tenaga Kerja Perkebunan: Kajian Sosial
Ekonomi, (Yogyakarta: Aditya Media, 1992), hlm. 26.
5

gula pun menurun. Penutupan usaha dagang Cina membuat jaringan distribusi

terputus. Menghadapi kondisi seperti itu, tiada cara selain menata managemen

industri dan perdagangan gula. Strategi kebijakan yang kemudian diambil adalah

“sentralisasi” industri dan perdagangan gula: managemen industri dan tata niaga

gula diatur langsung oleh pemerintah. Masalah ketersediaan lahan tebu untuk

pabrik gula diatasi dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang (Perpu) Nomor 38 Tahun 1960. Peraturan tersebut memberi

kuasa dan kewenangan kepada Menteri Agraria untuk menetapkan luas lahan

minimum yang harus disediakan oleh satu desa untuk ditanami tebu.11

Ketika masa revolusi usai dan situasi ekonomi Indonesia belum

menampakkan perkembangan yang menguntungkan, maka dalam perusahaan

perkebunan tebu tercipta organisasi produksi baru guna menyesuaikan perubahan

kondisi di pedesaan.12 Sistem tersebut adalah pemberian kepercayaan kepada

petani untuk menjaga tanaman tebu pada lahan yang telah disewakan. Sistem

demikian kemudian melahirkan sistem Tebu Rakyat Intensifikasi atau yang lebih

dikenal sebagai TRI.

Program Tebu Rakyat Intensifikasi di Kabupaten Kendal dimulai pada

tahun 1981 di Kecamatan Pegandon dan dilanjutkan ke Kecamatan Gemuh,

Cepiring, Weleri, Patebon dan Kendal. TRI di Kabupaten Kendal dibagi menjadi

dua yaitu TRI Jasa dan TRI Murni. Pelaksanaan TRI dilakukan secara bertahap

dan menggunakan sistem glebagan. Dipilihnya tahun 1990 sebagai batasan akhir

11
Khudori, Gula Rasa Neoliberalisme Pergumulan Empat Abad Industri
Gula, (Jakarta: LP3ES, 2005), hlm. 41-42.
12
Mubyanto, dkk., op.cit., hlm. 82.
6

pada penelitian ini adalah pada tahun tersebut TRI berakhir di Kabupaten Kendal.

Banyak masyarakat yang tidak mau menanam tebu dan lebih memilih untuk

mananam tembakau dan padi.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, dapat ditarik menjadi

beberapa rumusan masalah yang dijadikan dasar dalam melakukan penelitian ini.

Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Bagaimana gambaran umum Kabupaten Kendal?

2. Bagaimana pelaksanaan Tebu Rakyat Intensifikasi di Kabupaten Kendal?

3. Apa dampak pelaksanaan Tebu Rakyat Intensifikasi?

C. Tujuan Penelitian

a. Tujuan Umum

1. Meningkatkan kemampuan berfikir secara analitis, objektif dan

sistematis dalam penulisan karya sejarah.

2. Menerapkan metodologi penelitian sejarah dalam mengkaji suatu

peristiwa sejarah secara mendalam, yang telah diperoleh selama

kuliah.

3. Untuk menambah pengalaman dan mengembangkan ilmu

pengetahuan dalam bidang sejarah.

b. Tujuan Khusus

1. Mengetahui gambaran umum Kabupaten Kendal.


7

2. Mengetahui pelaksanaan Tebu Rakyat Intensifikasi di Kabupaten

Kendal.

3. Mengetahui dampak dari pelaksanaan Tebu Rakyat Intensifikasi.

D. Manfaat Penelitian

Dalam pengerjaan penelitian, penulis berharap karya tulis ini bermanfaat

bagi penulis dan pembaca.

1. Bagi Pembaca

a. Dengan membaca karya ini diharapkan pembaca dapat memahami

dan mendapat kejelasan mengenai pelaksanaan Tebu Rakyat

Intensifikasi khususnya di Kabupaten Kendal.

b. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi untuk

penelitian sejarah di masa yang akan datang.

c. Memberikan pengetahuan bagi pembaca tentang perkembangan

sejarah perkebunan di Kendal.

2. Bagi Penulis

a. Sebagai tolak ukur kemampuan penulis untuk meneliti,

menganalisa, membaca sumber dan menuliskannya menjadi suatu

karya sejarah.

b. Memberi wawasan sejarah yang kritis dan berfaedah bagi penulis.

c. Melatih kemampuan peneliti dan merekonstruksi sebuah peristiwa

sejarah yang bersifat objektif sehingga menarik untuk dibaca.


8

d. Memberi suatu inspirasi dari sejarah bahwa dengan adanya

semangat dan niat maka harapan apapun akan teratasi.

E. Kajian Pustaka

Kajian pustaka memiliki peranan penting dalam penelitian sejarah sebagai

sarana untuk menelaah literatur yang baik dan benar yang dilandasi oleh

pemikiran dan penelitian. Kajian pustaka merupakan telaah terhadap pustaka atau

literatur yang menjadi landasan pemikiran dalam penelitian.13 Kajian pustaka

sangat penting dalam kaitannya dengan penelitian sejarah, dimana peneliti dapat

mengarahkan ke kerangka pikir untuk merekonstruksi suatu peristiwa sejarah.

Melalui kajian pustaka akan didapatkan landasan pemikiran dari karya tulis ilmiah

yang nantinya digunakan untuk penelitian sejarah. Kajian pustaka dapat

menambah informasi dan data-data yang dibutuhkan dalam proses penulisan.

Hasil dari rekonstruksi melalui beberapa rujukan diharapkan dapat

dipertanggungjawabkan peneliti. Sumber-sumber yang digunakan sebagai acuan

telah memberikan gambaran terhadap penelitian ini.

Kabupaten Kendal merupakan suatu wilayah yang agraris di pesisir utara

Jawa Tengah. Hal tersebut dapat ditinjau dari besarnya area pertanian dan

perkebunan yang ada. Besar dari seluruh area pertanian di Kabupaten Kendal

adalah 75,83 %, sedangkan pengolahan agraria tersebut biasanya berupa sawah,

tegalan, tambak, kolam dan perkebunan. Dalam segi topografi, Kabupaten Kendal

13
Tim Prodi Ilmu Sejarah, Pedoman Penulisan Tugas Akhir Ilmu Sejarah,
(Yogyakarta: Program Studi Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri
Yogyakarta, 2013), hlm. 6.
9

dapat dibagi dalam tiga jenis wilayah, yaitu wilayah pegunungan di selatan,

wilayah perbukitan di tengah, dan wilayah dataran tengah di utara.14

Pengertian Tebu Rakyat Intensifikasi adalah tanaman tebu rakyat yang

dilaksanakan dalam rangka usaha untuk meningkatkan produktivitas dalam

menghasilkan tebu dan gula dengan menerapkan teknologi yang dianjurkan untuk

dapat meningkatkan hasil persatuan luas dari usaha tani tebu. Program TRI

dilaksanakan dalam rangka peningkatan usaha tani yang terpadu dengan program

intensifikasi khusus.

Latar belakang dilaksanakannya tebu rakyat intensifikasi tidak pernah

lepas dari pengaruh Kolonial Belanda dengan diberlakukannya sistem tanam

paksa dan berlanjut hingga masuknya penetrasi modal perkebunan onderneming.

Seiring dengan berjalannya waktu kebutuhan akan gula semakin meningkat,

pabrik-pabrik gula juga membutuhkan areal untuk penanaman tebu maka banyak

pabrik gula yang menyewa lahan kepada petani untuk digarap tebu.

Setelah berdirinya pemerintah Republik Indonesia, pada bulan Agustus

1951 dibentuklah Kantor Tebu Rakyat sebagai bagian dari Jawatan Perkebunan.

Dalam bulan Februari 1952 kantor tersebut diganti dengan dengan nama Bagian

Urusan Hubungan Petani dan Perkebunan Besar, karena tugasnya meliputi pula

tanaman tembakau dan rosella. Menteri Pertanian membentuk Yayasan Tebu

Rakyat (YATRA), ajakan membentuk Koperasi Tebu Rakyat kepada seluruh

Organisasi Penyelenggara di Jawa disampaikan oleh yayasan tersebut.

14
Dian Ariwibowo, “Perjuangan Rakyat Kendal pada Masa Perang
Kemerdekaan Tahun 1947-1949”, Skripsi, (Yogyakarta: FIS-UNY, 2012), hlm.
28.
10

Pada periode tahun 1958-1975, pabrik gula nasional menguasai seluruh

bisnis pertebuan. Pabrik menyewa lahan petani untuk ditanami tebu. Tenaga kerja

untuk pabrik disediakan oleh petani apakah dalam bentuk “tenaga kampanye”

ataukah dalam bentuk “tenaga musiman”. Pada periode ini, petani memiliki

banyak alternatif untuk menambah penghasilan keluarganya, meski diasumsikan

kemudian bahwa hubungan pabrik gula dengan petani sedemikian ini kurang

menguntungkan, karena petani tidak menguasai sendiri tanah mereka.15

Salah satu tujuan pokok pengalihan sistem pengusahaan tebu dari sistem

sewa ke sistem TRI adalah untuk menaikkan produksi gula. Sebenarnya sejak

semula kedua hal ini tidak dapat berjalan paralel, karena pada kenyataannya hasil

gula per hektar tebu rakyat selalu lebih rendah dari tebu pabrik. Hasil rata-rata per

hektar menurun secara konsisten setiap tahunnya walaupun produksi total gula

rata-rata naik. Kenaikan produksi total gula disebabkan karena perluasan areal

tanaman tebu yang naik mencapai 12,2 persen selama periode 1975-1980.16

Adapun tingkat hasil per hektar dari tanaman TRI di sawah-sawah yang subur

tidak terlalu jauh menurun, karena masih menunjukkan fluktuasi naik turun

dengan pola yang tidak menentu.

Peserta TRI meliputi petani pemilik tanah yang mengusahakan tanaman

tebu pada sawah miliknya sendiri, pemegang bengkok yang mengusahakan

tanaman tebu dan penggarap yang diberi surat kuasa oleh pemilik tanah atau

15
Hotman M. siahaan, Skema Tebu Rakyat Intensifikasi dan Perubahan
Struktur Sosial Petani, (t. kt. : t. p., t. t.), hlm. 2.
16
Mubyarto (1981), “Tebu Rakyat Intensivikasi: Prospek dan Masalahnya”,
Prisma, no. 10, hlm. 51-53.
11

pemegang bengkok yang disahkan oleh kepala desa dengan ketentuan tanah

garapannya termasuk tanahnya sendiri tidak lebih dari 2 Ha. Petani peserta TRI

disatukan dalam wadah Kelompok Tani Hamparan. Perorangan, sekelompok

orang, petugas negara dan badan usaha yang akan mengusahakan tanaman tebu

pada tanah milik orang lain dengan sistem sewa tidak diperkenankan. Menjadi

tuan di atas tanahnya sendiri memang mempunyai nilai ekonomis tersendiri

karena mendorong maksimalisasi pengeluaran, tetapi sebaliknya justru dapat

menjadi suatu kemalangan, tergantung dari lingkungan spesifik yang dihadapi.17

Ketentuan utama TRI meliputi pabrik gula wajib menyediakan sarana

produksi dan penyuluhan teknis bagi petani tebu, lokasi ditetapkan oleh pejabat

Bimas dengan memperhatikan usulan pabrik gula dan petani melalui KUD, Bank

Rakyat Indonesia menyediakan kredit murah, pengelolaan usaha tani dilakukan

oleh petani dan tebu yang dihasilkan dijual ke pabrik gula dengan sistem bagi

hasil berdasarkan kadar rendemen yang ditetapkan menurut Surat Keputusan

Menteri Pertanian.18

Dampak sosial ekonomis yang ditimbulkan oleh perusahaan perkebunan

adalah diciptakannya kesempatan kerja baik dalam kegiatan produksi maupun

pelaksanaan.19 Ini adalah akibat langsung yang melibatkan petani pemilik lahan

17
Hotman M. siahaan, op.cit., hlm. 3.
18
Khudori, op.cit., hlm. 48.
19
Soegijanto Padmo, “Ekonomi Perkebunan dan Keresahan di Pedesaan
Sebuah Survei Awal”, Makalah Seminar Revolusi Kepahlawanan dan
Pembangunan Bangsa, (Yogyakarta: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional,
1994), hlm. 6-7.
12

yang digunakan untuk mengusahakan tanaman perkebunan, khususnya tanaman

tebu. Dari berbagai kelompok yang ada di dalam masyarakat, beberapa

diantaranya bisa jadi terlibat di dalam kegiatan pengusahaan industri perkebunan

dengan intensitas yang berbeda.

F. Historiografi yang Relevan

Rekonstruksi yang imajinatif daripada masa lampau berdasarkan data yang

diperoleh dengan menempuh proses, itulah yang dinamakan dengan

historiografi.20 Tulisan sejarah sebagai suatu karya ilmiah, perlu didukung oleh

historiografi yang relevan. Historiografi memiliki pengertian kajian-kajian historis

yang mendahului sebuah penelitian dengan tema atau topik yang hampir sama.

Kegunaan dari historiografi yang relevan yaitu untuk menunjukkan

keaslian dari sebuah karya ilmiah, sehingga karya tersebut bisa

dipertanggungjawabkan sebagai sebuah karya yang original, bukanlah plagiarisme

dari karya yang sebelumnya. Historiografi yang relevan bisa berupa buku, skripsi,

disertasi maupun tesis yang mana kesemuanya itu bisa dipertanggungjawabkan

keasliannya. Dalam penelitian ilmiah, penulis menggunakan beberapa

historiografi yang relevan. Harapannya dengan adanya historiografi agar dapat

memperoleh karya sejarah yang benar-benar baru, dengan upaya ini tidak terjadi

kesamaan dalam pembahasan.

Historiografi relevan pertama adalah karya Mufiddatut Diniyah dalam

bentuk Skripsi pada program studi Ilmu Sejarah di Universitas Negeri Semarang.

20
Louis Gostchalk, Mengerti Sejarah, (Jakarta: UI Press, 2008), hlm. 39.
13

Adapun judul dari skripsi tersebut adalah Sejarah Perkembangan Pabrik Gula

Cepiring dan Pengaruhnya Terhadap Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat

Kendal Tahun 1975-1997. Skripsi ini berisi mengenai gambaran perkembangan

sosial ekonomi masyarakat Cepiring pada tahun 1975-1997 dimana kondisi

masyarakat di Kendal terutama di Cepiring menghadapi perubahan-perubahan

yang diakibatkan oleh pabrik gula Cepiring. Dimana dampak yang dihadapi

masyarakat menganai kondisi sosial ekonomi serta kondisi lingkungan. Serta

perkembangan pabrik gula Cepiring sebelum tahun 1975 sampai ditutupnya

pabrik gula Cepiring tahun 1997.

Adapun yang membedakan karya Mufiddatut dengan penulis adalah

peristiwa yang dikaji serta scoop waktu yang sedikit berbeda juga mengenai

lokasi, jika karya Mufiddatut Diniyah mengambil lokasi di Kecamatan Cepiring

maka penulis mengambil lokasi di Kabupaten Kendal yang mana lokasi yang

dipilih oleh Mufidatut Diniyah masuk dalam salah satu lokasi yang penulis pilih.

Perbedaan lain adalah karya Mufiddatut Diniyah mengambil bagaimana

perkembangan Pabrik Gula Cepiring dan dampaknya bagi masyarakat Kecamatan

Cepiring sedangkan penulis mengenai pelakanaan tebu rakyat intensifikasi di

Kabupaten Kendal. Penulis akan membahas mengenai peristiwa pelaksanaan Tebu

Rakyat Intensifikasi di Kendal pada tahun 1985-1990. Namun nantinya akan ada

beberapa kesamaan yakni dalam kajian mengenai pabrik gula Cepiring dan sedikit

mengenai Tebu Rakyat Intensifikasi.

Historiografi relevan kedua adalah karya Jati Istanto dalam bentuk Skripsi

dengan judul Pelaksanaan Program Tebu Rakyat Intensifikasi di Kabupaten


14

Klaten 1975-1997, skripsi Ilmu Sejarah Universitas Negeri Yogyakarta. Skripsi

ini memaparkan mengenai pelaksanaan TRI di Kabupaten Klaten dan dampaknya

terhadap kehidupan sosial ekonomi petani di Kabupaten Klaten.

Adapun yang membedakan karya Jati Istanto dengan penulis adalah

tempat atau lokasi dan tahun pelaksanaannya sedikit berbeda. Karya Jati Istanto

mengambil lokasi di Kabupaten Klaten pada tahun 1975-1997 sedangkan penulis

di Kabupaten Kendal pada tahun 1981-1990.

G. Metode Penelitian

Sejarah adalah salah satu cabang dalam ilmu sosial yang memiliki metode

dalam penelitiannya yang disebut dengan metode sejarah. Menurut Louis

Gotschalk, metode sejarah adalah proses menguji dan menganalisa secara kritis

rekaman dan peninggalan masa lampau.21 Metode sejarah juga dapat

merekonstruksi sebanyak-banyaknya peristiwa masa lampau manusia.22 Metode

penelitian sejarah kritis terdiri dari empat tahap pokok yaitu pengumpulan data

(Heuristik), kritik sumber (Verifikasi), penafsiran (Intepretasi) dan penulisan

sejarah (Historiografi).

1. Heuristik

Heuristik merupakan pemilihan sesuatu subjek dan pengumpulan

informasi mengenai subjek. Kegiatan ini ditujukan untuk menemukan serta

mengumpulkan jejak-jejak dari peristiwa sejarah yang sebenarnya mencerminkan

21
Ibid., hlm. 32.
22
Nugroho Notosusanto, Hakekat Sejarah dan Metode Sejarah (Jakarta:
Mega Book Store, 1984), hlm. 22-23.
15

berbagai aspek aktifitas manusia masa lampau. Tujuannya agar kerangka

pemahaman yang didapatkan berdasarkan sumber-sumber yang relevan untuk

dapat disusun secara jelas, lengkap dan menyeluruh.23

Pengumpulan sumber penelitian dilakukan di Yogyakarta dan di Kendal.

Adapun tempat-tempat yang dikunjungi dalam proses heuristik antara lain

Perpustakaan Pusat Universitas Negeri Yogyakarta, Laboratorium Jurusan

Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Yogyakarta, Perpustakaan Kolese St.

Ignatius Yogyakarta, Perpustakaan Lembaga Pendidikan Perkebunan,

Perpustakaan Pedesaan Universitas Gadjah Mada dan Kantor Perpustakaan dan

Arsip Daerah Kendal. Adapun sumber-sumber yang digunakan untuk

merekonstruksi peristiwa sejarah antara lain:

a. Sumber Primer

Sumber primer merupakan sumber informasi yang keberadaannya sejaman

dengan peristiwa. Sumber primer adalah kesaksian dari seseorang dengan mata

kepalanya sendiri, yakni saksi dengan panca indera atau alat mekanis (yang juga

bisa menghasilkan suatu rekaman yang bisa di indera).24 Sumber primer dapat

juga disebut arsip atau manuskrip. Posisi arsip sebagai sumber menempati

kedudukan yang tertinggi dibandingkan dengan sumber sejarah lainnya.25 Sumber

primer dapat dikatakan pula sebagai bukti kontemporer atau sezaman dengan

23
Helius Sayamsudin, Metodologi Sejarah, (Yogyakarta: Ombak, 2007), hlm.
89.
24
Louis Gottschalk, op.cit., hlm. 43.
25
Mona Lohanda, Membaca Sumber Menulis Sejarah, (Yogyakarta: Ombak,
2011), hlm. 3.
16

peristiwa yang terjadi. Sumber tersebut dapat dibagi menjadi dua yakni, tertulis

dan tidak tertulis. Sumber tertulis misalnya, dokumen-dokumen, dan sumber tidak

tertulis misalnya foto.

Sumber primer yang digunakan dalam penelitian ini antara lain sebagai

berikut:

ANRI, Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 Tentang


Intensifikasi Tebu Rakyat.

KPAD Kendal, Pemerintah Kabupaten Dati II Kendal Kantor Kecamatan Gemuh,


Nomor: 525/672 Perihal: Mohon Petunjuk, Akan Memberlakukan
Keputusan Desa yang Belum Mendapat Pengesahan dari Bapak Bupati
KDH TK II Kendal, Senarai Arsip Daftar Pertelaan Arsip (DPA) Diserahkan
(Permanen) Eks Pembantu Bupati Kendal se Kabupaten Kendal dan Tapem
Kabupaten Kendal, No. 175.

KPAD Kendal, Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Kendal Nomor: Ek.


525.1/4612. Perihal: Persiapan Pengadaan Areal TRI 85/86, Senarai Arsip
Daftar Pertelaan Arsip (DPA) Diserahkan (Permanen) Eks Pembantu Bupati
Kendal se Kabupaten Kendal dan Tapem Kabupaten Kendal, No. 175.

KPAD Kendal, Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Kendal Nomer: Ek.


525/3964 Hal: Ploteng Areal TRI Mt. 1983-1984, Senarai Arsip Daftar
Pertelaan Arsip (DPA) Diserahkan (Permanen) Eks Pembantu Bupati
Kendal se Kabupaten Kendal dan Tapem Kabupaten Kendal, No. 175.

Surat Keputusan Menteri Pertanian/Ketua Badan Koordinasi BIMAS Nomor


:011/SK/MENTAN/BIMAS/XII/1981 Tentang Program Tebu Rakyat
Intensifikasi Musim Tanam Tahun 1982/1983.

b. Sumber Sekunder

Sumber sekunder merupakan kesaksian dari orang yang bukan merupakan

pelaku suatu peristiwa. Sumber tersebut berasal dari orang yang bukan merupakan

saksi mata, yaitu dari seseorang yang tidak hadi pada peristiwa yang dikisahkan.

Sumber sekunder dapat berupa buku-buku, surat kabar, skripsi yang tidak

diterbitkan dan karya tulis ilmiah yang relevan dengan penelitian. Sedangkan
17

menurut Nugraha Notosusanto sumber sekunder adalah sumber yang di dapat dari

sumber lain.

2. Verifikasi

Verifikasi atau kritik sumber merupakan suatu pengujian sumber dan

menganalisa secara kritis mengenai keontetikan sumber-sumber yang telah

dikumpulkan. Kritik sumber ada dua macam yaitu, otensitas atau keabsahan

sumber atau kritik ekstern dan kredibilitas atau kebiasaan dipercayai atau kritik

ekstern dan kredibilitas atau kebiasaan dipercayai atau kritik intern.26 Kritik

sumber ekstern merupakan kritik sumber sejarah dari luar, misalnya mengenai

keaslian dari kertas yang dipakai, ejaan, tinta, gaya tulisan, dan semua penampilan

luarnya untuk mengetahui keontikanya. Kritik sumber intrern yaitu penilaian atau

pengujian sumber sejarah dari isi sumber dokumen tersebut, sehingga sumber
27
tersebut dapat dianalisis berdasarkan isinya. Kritik sumber diperlukan dalam

sebuah penelitian sejarah karena semakin kritis dalam menilai sumber sejarah,

maka akan semakin otentik penilaian sejarah yang dilakukan.

3. Interpretasi

Interpretasi atau penafsiran sering disebut sebagai bidang subjektivitas.

Interpretasi ada dua macam, yaitu analisis dan sintesis.28 Analisis disini berarti

menguraikan sedangkan Sintesis berarti menyatukan. Intepretasi yaitu merangkai

fakta-fakta yang telah ditemukan dan ditetapkan melalui kritik sumber ekstern

26
Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2013),
hlm. 77.
27
Ibid., hlm. 78.
28
Ibid., hlm 78-79.
18

maupun intern agar menjadi sebuah makna yang saling berhubungan. Fakta-fakta

tersebut dirangkai, dikaitkan dengan fakta lain, agar terlihat sebagai rangkaian

fakta yang masuk akal, dan menunjukkan sebuah arti dan kecocokan satu sama

lainnya.

4. Historiografi

Historiografi atau penulisan yang penyampaian sintesis yang diperoleh

melalui penelitian. setelah melakukan analisis data akan menghasilkan sintesis

hasil penelitian yang diwujudkan dalam bentuk karya tulis sejarah. Tahap ini

merupakan tahap terakhir bagi penulis untuk menyajikan fakta kedalam bentuk

penulisan sejarah.

Penulisan adalah langkah akhir seorang sejarawan dalam melakukan

penelitiannya. Adapun hasil akhir adalah menghasilkan sintesis dari seluruh

penelitiannya atau penemuannya itu dalam suatu penulisan utuh yang disebut

dengan historiografi.29

H. Pendekatan Penelitian

Mengkaji dan memahami suatu peristiwa yang telah terjadi di masa

lampau, pendekatan merupakan satu hal yang penting dalam proses penelitian.30

Pendekatan berguna untuk mengungkap atau menganalisis suatu peristiwa dengan

menggunakan teori atau konsep dari ilmu bantu lainnya. Maka, untuk melakukan

penulisan sejarah diperlukan penulisan sejarah menggunkan pendekatan secara

29
Helius Syamsudin, op.cit., hlm. 56.
30
Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah,
(Jakarta: Grameda Pustaka Utama, 1992), hlm. 2.
19

multidimensional, yang melihat peristiwa melalui sudut pandang dari beberapa

segi.

Pendekatan pertama yang digunakan adalah pendekatan sosiologis,

pendekatan sosiologis digunakan untuk menerangkan sosiologi dalam

menjelaskan perilaku manusia. Pendekatan ini digunakan untuk melihat suatu

gejala aspek sosial yang mencakup hubungan social, interaksi, jaringan dan

struktur sosial. Dalam hal ini pendekatan sosiologi mampu melihat perubahan

sosial yang terjadi di masyarakat Kendal dengan diberlakukannya program tebu

rakyat Intensifikasi. Skripsi ini menggunakan teori perubahan sosial yang

diungkapkan oleh Rogers et.al. Menurut Rogers perubahan sosial adalah suatu

proses yang melahirkan perubahan-perubahan di dalam struktur dan fungsi dari

suatu sistem kemasyarakatan. Ada tiga tahapan utama dalam proses atau

perubahan sosial, berawal dari diciptakannya atau lahirnya sesuatu, mungkin

sesuatu yang diidamkan atau sesuatu kebutuhan, yang kemudian berkembang

menjadi suatu gagasan yang baru. Bila gagasan tersebut sudah menggelinding

seperti roda yang berputar pada sumbunya, sudah tersebar di kalangan anggota

masyarakat, proses perubahan sosial tersebut sudah mulai memasuki tahapan yang

kedua. Tahapan berikutnya sebagai tahapan ketiga, yaitu hasil.31 Berdasarkan teori

ini maka diperoleh landasan untuk melihat perubahan-perubahan sosial

masyarakat yang disebabkan karena adanya program TRI.

Pendekatan kedua yang digunakan adalah pendekatan ekonomi,

pendekatan ekonomi digunakan untuk menerangkan kondisi perekonomian

31
Bahrein T. Sugihen, Sosiologi Pedesaan (Suatu Pengantar), (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1997), hlm. 55.
20

masyarakat Kendal saat penanaman tebu. Penggunaan pendekatan ekonomi dalam

skripsi ini dikarenakan permasalahan yang diangkat adalah mengenai sejarah

sosial ekonomi. Hal ini dimaksudkan untuk menganalisa persoalan ekonomi yang

berkaitan dengan masalah pertanian tebu, yang meliputi proses pertanian, hasil

pertanian, pemasaran dan hasil sumber daya manusia serta perbaikan

perekonomian bagi masyarakat Kabupaten Kendal serta pengaruh sosial ekonomi

bagi masyarakat yang tanahnya digunakan dalam penanaman tebu dapat terjawab.

Skripsi ini menggunakan teori shared poverty yang diungkapkan oleh Clifford

Geertz.

Menurut Clifford Geertz pada masyarakat petani Jawa yang terinvolusi

sudah ditandai dengan kondisi mekanisme kalahkan diri yang mengarah pada

bentuk kehidupan yang statis dengan beban kemiskinan yang dipikul bersama

(shared poverty). Dibawah tekanan jumlah penduduk yang terus meningkat dan

sumber daya yang terbatas, masyarakat desa Jawa tidak terbelah menjadi dua dan

tetap mempertahankan tingkat homogenitas sosial dan ekonomis yang cukup

tinggi dengan cara membagi-bagikan rezeki yang ada, hingga makin lama makin

sedikit yang diterima oleh masing-masing anggota masyarakat (shared poverty).32

I. Sistematika Penulisan

Penyusunan hasil penelitian yang berjudul “Pelaksanaan Tebu Rakyat

Intensifiksi di Kabupaten Kendal Tahun 1981-1990” akan disusun dalam lima bab

pembahasan. Berikut ini adalah gambaran mengenai isi dari hasil penelitian

32
Clifford Geertz, Involusi Pertanian: Proses Perubahan Ekologi di
Indonesia, (Jakarta: Yayasan Obor, 1983), hlm. 102.
21

tersebut yang akan dituliskan dalam sistematika penulisan. Adapun sistematika

penulisannya adalah sebagai berikut:

BAB I. Pendahuluan

Bab petama menjelaskan tentang hal-hal yang mendasari penelitian ini.

Pada bab ini berisi gambaran umum mengenai latar belakang penelitian, rumusan

masalah yang akan dikaji, tujuan dan manfaat penelitian, kajian pustaka,

historiografi yang relevan, metode yang diterapkan, pendekatan penelitian dan

sistematika pembahasan. Adapun sistematika dalam bab I ini dibuat

menyesuaikan dengan ketentuan penulisan tugas akhir skripsi yang dibuat oleh

Tim Prodi Ilmu Sejarah UNY.

BAB II. Gambaran Umum Kabupaten Kendal

Bab kedua akan mendeskripsikan dan menganalisa mengenai letak

geografis Kabupaten Kendal, demografi Kabupaten Kendal, dan perkebunan tebu

di Kabupaten Kendal sebelum TRI.

BAB III. Pelaksanaan Tebu Rakyat Intensifikasi di Kabupaten Kendal

Bab ketiga berisi tentang penetapan areal tanaman tebu rakyat

intensifikasi, pengelolahan dan pemeliharaan tanaman Tebu Rakyat Intensifikasi

hasil produksi tebu rakyat dan permasalahan dalam pelaksanaan tebu rakyat

intensifikasi.

BAB IV. Dampak Sosial Ekonomi Pelaksanaan Tebu Rakyat Intensifikasi

bagi Masyarakat Kabupaten Kendal

Bab keempat akan menjelaskan pengaruh pelaksanaan Tebu Rakyat

Intensifikasi dalam perubahan sosial masyarakat Kabupaten Kendal dan pengaruh


22

pelaksanaan Tebu Rakyat Intensifikasi terhadap perekonomian masyarakat

Kabupaten Kendal.

BAB V. Kesimpulan

Bab terakhir ini memberikan kesimpulan dari penjabaran pada bab-bab

sebelumnya. Dalam kesimpulan ini akan diberikan pula jawaban dari rumusan

masalah yang telah ditentukan.

Anda mungkin juga menyukai