Anda di halaman 1dari 10

PENGGANTI ILMU PERTANIAN

TUGAS - 1

PERKEMBANGAN PERTANIAN

Dibuat oleh :

Nama: Muh. Da'i Parakkasi

Nim: 08320210086

Kelas: Agribisnis A2

PROGRAM STUDI AGRIBISNIS

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

MAKASSAR

2021
Sejarah perkembangan pertanian indonesia

Sejarah pertanian adalah bagian dari sejarah kebudayaan manusia. Pertanian muncul ketika suatu


masyarakat mampu untuk menjaga ketersediaan pangan bagi dirinya sendiri. Pertanian memaksa
suatu kelompok orang untuk menetap dan dengan demikian mendorong kemunculan peradaban.
Terjadi perubahan dalam sistem kepercayaan, pengembangan alat-alat pendukung kehidupan,
dan juga kesenian akibat diadopsinya teknologi pertanian.

Kawasan Hilal Subur di Asia Barat, serta Mesir dan India merupakan lokasi awal
pembudidayaan tanaman untuk mendapatkan hasilnya. Sebelum aktivitas ini dimulai, manusia
terbiasa mencari sumber makanan di alam liar. Pertanian berkembang secara independen di
berbagai tempat di dunia, yaitu di China, Afrika, Papua, India, dan Amerika.

Sebagai bagian dari kebudayaan manusia, pertanian telah membawa revolusi yang besar dalam
kehidupan manusia sebelum revolusi industri. Bahkan dapat dikatakan, revolusi pertanian adalah
revolusi kebudayaan pertama yang dialami manusia.

Setiap bagian di dunia memiliki perkembangan penguasaan teknologi pertanian yang berbeda-
beda, sehingga garis waktu perkembangan pertanian bervariasi di setiap tempat. Di beberapa
bagian di Afrika dan Asia Tengah masih dijumpai masyarakat yang semi-nomaden (setengah
pengembara), yang telah mampu melakukan kegiatan peternakan atau bercocok tanam, namun
tetap berpindah-pindah demi menjaga pasokan pangan. Sementara itu, di Amerika Utara dan
Eropa traktor-traktor besar yang ditangani oleh satu orang telah mampu mendukung penyediaan
pangan ratusan orang.

Sejarah pertanian Indonesia tidak terlepas dari kejayaan kerajaan Majapahit. Kerajaan
yang beribukota di Trowulan ini berada di wilayah aliran sungai Brantas, sungai kedua terbesar
di pulau Jawa. Lokasi ini juga dekat dengan muara sungai Bengawan Solo.

Lokasinya yang berada di aliran sungai, membuat penduduk di masa kerajaan Majapahit
menggantungkah hidupnya di bidang pertanian. Hampir semua bekerja sebagai petani.
Majapahit memiliki sektor pertanian yang kuat karena menghasilkan padi dalam jumlah besar.
Produksi padi ini dihasilkan di lembah sungai Brantas dan Solo yang sangat subur. Padi
kemudian diangkut dengan kapal ke muara di dekat Trowulan.

Bahwa sejarah pertanian sudah ada sejak zaman kerajaan yaitu adanya relief di dinding Candi
Borobudur dan Candi Prambanan yang menggambarkan kegiatan pertanian, bahkan terdapat pula
prasasti batu yang bergambarkan raja meletakan beras.

Bukti sahih lainnya yang menjabarkan masyarakat Nusantara bergantung pada hasil pertanian
adalah adanya relief di Candi Borobudur yang menggambarkan produk pertanian berupa pisang,
durian, tebu, manggis, kelapa, apel, dan nangka.

Selain beras, komoditas pertanian Indonesia lainnya adalah rempah-rempah. Maka tak heran
bangsa Eropa begitu menginginkan rempah-rempah khas Nusantara. Bahkan, datangnya Belanda
ke Indonesia tidak lain untuk mengincar rempah-rempah dan melakukan monopoli perdagangan
melalui kongsi dagangnya, VOC.

Di era Hindia Belanda, tahun 1830, Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch mengeluarkan
sistem tanam paksa (cultuurstelsel). Ia mewajibkan setiap desa menyisihkan sebagian tanahnya
(20%) untuk ditanami komoditas ekspor, khususnya kopi, tebu, teh, dan tarum (nila).

Hasil tanaman ini akan dijual kepada pemerintah kolonial dengan harga yang sudah dipastikan
dan hasil panen diserahkan kepada pemerintah kolonial. Penduduk desa yang tidak memiliki
tanah harus bekerja 75 hari dalam setahun (20%) pada kebun-kebun milik pemerintah yang
menjadi semacam pajak.

Namun sistem tanam paksa mendapat kecaman-kecaman dari kaum liberal di Eropa, pemerintah
Belanda menghapus sistem tanam paksa itu. Namun pelaksanaan penghapusannya dijalankan
secara berangsur-angsur. Penghapusan dimulai tahun 1850 ketika kaum liberal memperoleh
kemenangan politik yang mutlak di negeri Belanda. Dan tahun 1877 hampir seluruhnya dihapus,
kecuali penanaman kopi tetap bertahan sampai tahun 1917.

Pada masa penjajahan Jepang, tahun 1942 sektor pertanian di Indonesia diawasi oleh
Gunseikanbu Sangyobu yang merupakan sebuah departemen yang mengurusi perusahaan,
industri dan kerajinan tangan.
Saat itu, hasil pertanian dan komoditas perkebunannya dikendalikan oleh otoritas militer,
kemudian terjadi perang dunia II yang menyebabkan Indonesia mengalami kelangkaan bahan
pertanian, bahkan memicu kelaparan.

Kondisi tersebut mendesak komoditas untuk ditanam beras dan kapas (bahan baku membuat
pakaian). Saat itu, mobilisasi tenaga kerja dilakukan agar tidak terjadi kelaparan dan kekurangan
pangan sehingga komoditas tanaman yang lainnya juga tersendat.

Setelah merdeka, sektor pertanian di Indonesia berfokus pada kelapa sawit. Lahan diperluas
sehingga produksi minyak kelapa sawit meningkat. Bahkan pada masa orde baru, selain menjadi
produsen minyak kelapa sawit Indonesia menjadi produsen utama kopi, kakao, dan karet.
Hasilnya ekspor pertanian di masa itu tumbuh pesat.

Pertanyaannya, di era modern saat ini apakah Indonesia menjadi negara Agraris? Masih. Hanya
saja jumlah petani terus berkurang diiringi lahan pertanian yang tergerus pembangunan
pemukiman dan kawasan industri.

Era Orde Baru (1967-1997)

1974: Dibentuk Badan Litbang Pertanian. Keppres tahun 1974 dan 1979 menetapkan bahwa
Badan Litbang Pertanian sebagai unit Eselon I, membawahi 12 unit Eselon II, yaitu: 1
Sekretariat, 4 Pusat (Pusat Penyiapan Program, Pusat Pengolahan Data Statistik, Pusat
Perpustakaan Biologi dan Pertanian, dan Pusat Karantina Pertanian) 2 Pusat Penelitian (Puslit
Tanah dan Puslit Agro-Ekonomi), serta 5 Pusat Penelitian Pengembangan (Puslitbang Tanaman
Pangan, Puslitbang Tanaman Industri, Puslitbang Kehutanan, Puslitbang Peternakan, dan
Puslitbang Perikanan).

1980 : Berdirinya Departemen Koperasi secara khusus, untuk membantu golongan petani lemah
di luar Jawa dan Bali untuk membangun usaha tani berskala lebih besar. Setelah koperasi
diterima sebagai satuan ekonomi yang mendasar dalam mengembangkan ekonomi pribumi,
dirangsang agar semua desa membentuk koperasi primer, namun demikian sejumlah masalah
yang dihadapi adalah kekurangan modal, manajemen lemah, kesulitan menjangkau pasaran
antara lain karena turut pedagang perantara. Koperasi dirasakan sebagai “paksaan” sehingga
namanya pun yang sudah tercemar perlu dirubah menjadi BUUD.
1983: Berdasarkan Kepres No. 24 tahun 1983, terjadi reorganisasi di Badan Litbang Pertanian
sehingga terdiri atas: Sekretariat, Pusat Data Statistik, Pusat Perpustakaan Pertanian, Puslit
Tanah, Puslit Agro-Ekonomi, Puslitbang Tanaman Pangan, Puslitbang Tanaman Industri,
Puslitbang Hortikultura, Puslitbang Peternakan, dan Puslitbang Perikanan.

1993: Sesuai dengan Keppres No. 83 tahun 1993 dibentuk Balai Pengkajian Teknologi Pertanian
(BPTP) dan Loka Pengkajian Teknologi Pertanian (LPTP) yang tersebar di seluruh propinsi di
Indonesia. Selain itu juga terjadi pembentukan 2 unit organisasi BPTP di 2 Propinsi, yaitu Balai
Pengkajian Teknologi Pertanian Banten, dan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kepulauan
Bangka Belitung (Kepmentan No. 633/Kpts/OT.140/12/2003).

Era 1945-1967

1960: Lahirnya UU No. 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA) yaitu
tanggal 24 September 1960. Kelahiran UUPA melalui proses panjang, memakan waktu 12 tahun.
Dimulai dari pembentukan "Panitia Agraria Yogya" (1948), "Panitia Agraria Jakarta" (1951),
"Panitia Soewahjo" (1955), "Panitia Negara Urusan Agraria" (1956), "Rancangan Soenarjo"
(1958), "Rancangan Sadjarwo" (1960), akhirnya digodok dan diterima bulat Dewan Perwakilan
Rakyat Gotong Royong (DPR-GR), yang kala itu dipimpin Haji Zainul Arifin. Kelahiran UUPA
mengandung dua makna besar bagi kehidupan bangsa dan negara Indonesia. Pertama, UUPA
bermakna sebagai upaya mewujudkan amanat Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 (Naskah Asli), yang
menyatakan, "Bumi dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan
digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat". Kedua, UUPA bermakna sebagai
penjungkirbalikan hukum agraria kolonial dan penemuan hukum agraria nasional yang
bersendikan realitas susunan kehidupan rakyatnya. Tujuan UUPA pada pokoknya meletakkan
dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional, mengadakan kesatuan dan kesederhanaan
dalam hukum pertanahan, dan meletakkan dasar-dasar kepastian hukum hak-hak atas tanah bagi
seluruh rakyat. Semuanya semata-mata untuk mewujudkan kemakmuran, kebahagiaan, keadilan
bagi negara dan rakyat, terutama rakyat tani, dalam menuju masyarakat adil dan makmur.
Sebenarnya apa yang tersurat maupun tersirat dari tujuan UUPA, pada hakikatnya merupakan
kesadaran dan jawaban bangsa Indonesia atas keserakahan dan kekejaman hukum agraria
kolonial.
Era Sebelum kemerdekaan (1900-1945) 1918: Berdiri Balai Besar Penyelidikan Pertanian
(Algemeen Proefstation voor den Landbouw), yang kemudian semenjak tahun 1949 menjadi
Jawatan Penyelidikan Pertanian, lalu 1952 menjadi Balai Besar Penyelidikan Pertanian / General
Agriculture Experiment Station (Algemeen Proefstation voor den Landbouw). Selanjutnya tahun
1966 menjadi Lembaga Pusat Penelitian Pertanian, tahun 1980 berubah lagi menjadi Balai
Penelitian Tanaman Bogor (Balittan), tahun 1994 menjadi Balai Penelitian Bioteknologi
Tanaman Pangan (Balitbio), tahun 2002 menjadi Balai Penelitian Bioteknologi dan Sumberdaya
Genetik Pertanian (Balitbiogen), dan terakhir tahun 2003 berganti nama menjadi Balai Besar
Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian (BB-Biogen)

Era abad ke-19 1811-1816: Sistem pajak tanah yang dikenalkan oleh Raffles telah membawa
beberapa persoalan terhadap kaum feodal Jawa di daerah-daerah taklukan dan juga perubahan
penting berupa sistem kepemilikan tanah oleh desa. Kekecewaan para feodal terhadap sistem ini
telah mendorong lahirnya pemberontakan kerajaan. Pemberontakan ini kemudian lebih dikenal
dengan Perang Jawa atau perang Diponegoro.

1830-1870: Era Tanam paksa (cultuur stelsel) Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch
mewajibkan setiap desa harus menyisihkan sebagian tanahnya (20%) untuk ditanami komoditi
ekspor khususnya kopi, tebu, nila. Hasil tanaman ini akan dijual kepada pemerintah kolonial
dengan harga yang sudah dipastikan dan hasil panen diserahkan kepada pemerintah kolonial.
Penduduk desa yang tidak memiliki tanah harus bekerja 75 hari dalam setahun (20%) pada
kebun-kebun milik pemerintah yang menjadi semacam pajak. Pada prakteknya peraturan itu
dapat dikatakan tidak berarti karena seluruh wilayah pertanian wajib ditanami tanaman laku
ekspor dan hasilnya diserahkan kepada pemerintahan Belanda. Wilayah yang digunakan untuk
praktek cultur stelstel pun tetap dikenakan pajak. Warga yang tidak memiliki lahan pertanian
wajib bekerja selama setahun penuh di lahan pertanian. Tanam paksa adalah era paling
eksploitatif dalam praktek ekonomi Hindia Belanda. Sistem tanam paksa ini jauh lebih keras dan
kejam dibanding sistem monopoli VOC karena ada sasaran pemasukan penerimaan negara yang
sangat dibutuhkan pemerintah. Petani yang pada jaman VOC wajib menjual komoditi tertentu
pada VOC, kini harus menanam tanaman tertentu dan sekaligus menjualnya dengan harga yang
ditetapkan kepada pemerintah. Aset tanam paksa inilah yang memberikan sumbangan besar bagi
modal pada zaman keemasan kolonialis liberal Hindia-Belanda pada 1835 hingga 1940. Akibat
sistem yang memakmurkan dan menyejahterakan negeri Belanda ini, Van den Bosch selaku
penggagas dianugerahi gelar Graaf oleh raja Belanda, pada 25 Desember 1839.

1870: Lahirnya hukum agraria kolonial yang tertuang dalam Agrarische Wet 1870. Dalam aturan
ini dijamin adanya Hak Erfpacht sampai selama 75 tahun, dan menjamin pemegang hak itu untuk
menggunakan Hak Eigendom, serta memberi peluang kepada mereka dapat menggunakan
tanahnya sebagai agunan kredit. Lahirnya Agrarische Wet 1870 dipengaruhi dan atas desakan
kepentingan pemilik modal swasta Belanda untuk berbisnis perkebunan besar di negeri
jajahannya. Sebelumnya, di masa culturrstelsel, mereka hanya dibolehkan sebatas menyewa
tanah. Dampak dari hukum kolonial terhadap rakyat tani Indonesia, hanya menghadirkan sejarah
kelam kemelaratan, kemiskinan, keterbelakangan dan penindasan.

1890: Dimulainya “Politik Etnik”, yaitu gerakan oposisi kaum sosialis di Belanda yang
kemudian berpengaruh kepada golongan-golongan Belanda–Hindia juga. Yaitu mulai diterapkan
pelayanan kesehatan umum yang lebih baik, memperluas kesempatan menempuh pendidikan,
serta memberikan otonomi desa yang lebih besar.

 Era Reformasi (1998 – Sekarang) 1998: Departemen Pertanian kehilangan arah. Hal ini
dikarenakan pudarnya Pembangunan jangka Panjang ke 6 yang menjadi ciri khas tahap orientasi
pemerintahan Orde Lama. Pada era ini rakyat sudah kehilangan kepercayaan kepada
pemerintahan, meski tidak semuanya, tapi mendominasi. Dampak yang ditimbulkannya
sangatlah besar. Kegiatan-kegiatan penyuluhan dan intensifikasi pertanian melambat. Dampak
yang ditimbulkannya adalah rendahnya produktivitas pertanian tanaman pangan dan hortikultura.

2005: Pada tahun ini muncul rencana Pemerintah dalam melakukan revitalisasi pertanian di
Indonesia. Hal ini ditindak lanjuti dengan UU No.16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan
Pertanian, Peternakan dan Kehutanan. Kemudian ditindaklanjuti dengan Peraturan Menteri
Pertanian No.273 Tahun 2007 terkait tentang penjabaran Penyuluhan Pertanian. Konsentrasi
peningkatan produksi dan produktivitas komoditas pertanian ini mengantarkan Indonesia
mencapai swa sembada beras ke 2 pada tahun 2008. Hal ini ditunjang dengan penambahan
tanaga penyuluh pertanian melalui Tenaga Harian Lepas Tenaga Bantu Penyuluh Pertanian
(THL TBPP).
2010: Pertanian di Indonesia mengarah kepada pertanian organik. Pada awalnya pada tahun ini
dicanangkan program pertanian organik, karena banyak hal tentang kekurangsiapan para petani
di Indonesia menjadikan rencana pertanian organik diundur sampai 2014. Akan tetapi pada tahun
2010 ini penggunaan pupuk kimia sudah mulai dikurangi, dan pertanian organik mulai
digalakkan di beberapa daerah.

Dulu, Indonesia dikenal sebagai sebuah negeri yang subur. Negeri kepulauan yang membentang
di sepanjang garis katulistiwa yang ditamsilkan ibarat untaian zamrud berkilauan sehingga
membuat para penghuninya merasa tenang, nyaman, damai, dan makmur. Tanaman apa saja bisa
tumbuh di sana. Bahkan, tongkat dan kayu pun, menurut versi Koes Plus, bisa tumbuh jadi
tanaman yang subur.

Namun, seiring dengan berkembangnya peradaban umat manusia, Indonesia tidak lagi nyaman
untuk dihuni. Tanahnya jadi gersang dan tandus. Jangankan tongkat dan kayu, bibit unggul pun
gagal tumbuh di Indonesia. Yang lebih menyedihkan, dari tahun ke tahun, Indonesia hanya
menuai bencana. Banjir bandang, tanah longsor, tsunami, atau kekeringan seolah-olah sudah
menjadi fenomena tahunan yang terus dan terus terjadi. Sementara itu, pembalakan hutan,
perburuan satwa liar, pembakaran hutan, penebangan liar, bahkan juga illegal loging (nyaris) tak
pernah luput dari agenda para perusak lingkungan. Ironisnya, para elite negeri ini seolah-olah
menutup mata bahwa ulah manusia yang bertindak sewenang-wenang dalam memperlakukan
lingkungan hidup bisa menjadi ancaman yang terus mengintai setiap saat.

Meskipun demikian, hanya mencari “kambing hitam” siapa yang bersalah dan siapa yang mesti
bertanggung jawab terhadap kerusakan lingkungan hidup bukanlah cara yang arif dan bijak.
Lingkungan hidup merupakan persoalan kolektif yang membutuhkan partisipasi semua
komponen bangsa untuk mengurus dan mengelolanya. Pemerintah, tokoh-tokoh masyarakat,
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), semua warga masyarakat, dan komponen bangsa yang
lain harus memiliki “kemauan politik” untuk bersama-sama menjaga kelestarian lingkungan
hidup dari ulah tangan jahil para preman dan penjahat lingkungan. Hal itu harus dibarengi
dengan tindakan hukum yang tegas terhadap pelaku kejahatan lingkungan hidup yang nyata-
nyata telah terbukti menyengsarakan banyak umat manusia. Pedang hukum harus benar-benar
mampu memancung dan memenggal kepala para penjahat lingkungan hidup untuk memberikan
efek jera dan sekaligus memberikan pelajaran bagi yang lain.
Yang tidak kalah penting, harus ada upaya serius untuk membudayakan cinta lingkungan hidup
melalui dunia pendidikan. Institusi pendidikan, menurut hemat saya, harus menjadi benteng yang
tangguh untuk menginternalisasi dan menanamkan nilai-nilai budaya cinta lingkungan hidup
kepada anak-anak bangsa yang kini tengah gencar menuntut ilmu. Nilai-nilai kearifan lokal
masyarakat setempat perlu terus digali dan dikembangkan secara kontekstual untuk selanjutnya
disemaikan ke dalam dunia pendidikan melalui proses pembelajaran yang aktif, inovatif, kreatif,
efektif, dan menyenangkan. Pola dan gaya penyajiannya pun tidak bercorak teoretis dan
dogmatis seperti orang berkhotbah, tetapi harus lebih interaktif dan dialogis dengan mengajak
siswa didik untuk berdiskusi dan bercurah pikir melalui topik-topik lingkungan hidup yang
menarik dan menantang.

PENGERTIAN AGRIBISNIS
Ditinjau dari segi bahasa, Agribisnis terdiri dari dua bahasa yaitu "Agri" yang berasal dan
agriculture dan artinya adalah pertanian, dan "bisnis" yang artinya adalah aktifitas niaga yang
berorientasi pada laba. Jika kedua kata tersebut digabung maka menghasilkan sebuah pengertian
agribisnis adalah aktifitas niaga (jual/beli barang atau jasa) di bidang pertanian yang berorientasi
pada laba.
Definisi lain menjelaskan bahwa Pengertian Agribisnis adalah semua aktivitas mulai dari
pengadaan dan penyaluran sarana produksi sampai kepada pemasaran produk –produk yang
dihasilkan oleh usahatani atau agroindustri yang saling terkait satu sama lain.  Dengan demikian,
agribisnis merupakan suatu sistem yang terdiri dari berbagai subsistem.
Lebih ringkasnya dan agar mudah untuk kita fahami, kita dapat menyebut agribisnis sebagai
suatu sistem yang terdiri dari beberapa komponen (subsistem hulu sampai hilir), yang bersama -
sama berusaha untuk mencapai sebuah tujuan yang telah ditetapkan.
SUBSISTEM AGRIBISNIS

1. Subsistem Penyediaan dan Penyaluran Sarana Produksi

Subsistem ini mencakup semua kegiatan perencanaan, pengolahan, pengadaan dan


penyaluran sarana produksi untuk memungkinkan terlaksananya penerapan teknologi
usahatani dan pemanfaatan sumber daya pertanian yang optimal.

2. Subsistem Budiaya dan Usahatani


Kegiatan yang ditangani oleh subsistem ini mencakup kegiatan pembinaan dan
pengembangan usahatani rakyat maupun usahatani sekala besar.

3. Subsistem Pengolahan Hasil dan Agroindustry

Lingkup kegiatan agroindustri ini tidak hanya aktifitas pengolahan sederhana ditingkat
petani, tetapi menyangkut keseluruhan kegiatan mulai dari penanganan pasca panen
produk pertanian sampai pada pengolahan lanjutan dengan maksud untuk menambah
nilai tambah dari produksi primer tersebut.

4. Subsistem Pemasaran Hasil Pertanian

Subsistem ini mencakup kegiatan distribusi dan pemasaran hasil usahatani dan
agroindustri baik pasar domestik maupun untuk pasar luar negeri atau ekspor.

5. Subsistem Prasarana

Subsistem ini merupakan salah satu faktor penunjang dari keempat subsistem yang ada
diatas agar dapat menjalankan fungsi dan perannya sesuai dengan keperluan di lokalita
subsitem agribisnis.

6. Subsistem pembinaan

Subsistem ini merupakan salah satu tugas dari aparatur birokrasi pemerintahan untuk
menciptakan kegiatan usaha sesuai dengan sistem perekonomian yang diamanatkan oleh
undang undang dasar 1945 dan GBHN berupa pembinaan sumberdaya manusia dan
sumberdaya lainnya.

Anda mungkin juga menyukai