Anda di halaman 1dari 14

Sejarah pertanian

Pada awal abad ke-20 didatangkan sapi penghasil susu Fries-Holland ke Jawa.

Sejarah pertanian adalah bagian dari sejarah kebudayaan


manusia. Pertanian muncul ketika suatu masyarakat mampu untuk menjaga
ketersediaan pangan bagi dirinya sendiri. Pertanian memaksa suatu kelompok orang
untuk menetap dan dengan demikian mendorong kemunculan peradaban. Terjadi
perubahan dalam sistem kepercayaan, pengembangan alat-alat pendukung
kehidupan, dan juga kesenian akibat diadopsinya teknologi pertanian.
Kawasan Hilal Subur di Asia Barat, serta Mesir dan India merupakan lokasi awal
pembudidayaan tanaman untuk mendapatkan hasilnya. Sebelum aktivitas ini
dimulai, manusia terbiasa mencari sumber makanan di alam liar. Pertanian
berkembang secara independen di berbagai tempat di dunia, yaitu di China, Afrika,
Papua, India, dan Amerika.[1]
Sebagai bagian dari kebudayaan manusia, pertanian telah membawa revolusi yang
besar dalam kehidupan manusia sebelum revolusi industri. Bahkan dapat dikatakan,
revolusi pertanian adalah revolusi kebudayaan pertama yang dialami manusia.
Setiap bagian di dunia memiliki perkembangan penguasaan teknologi pertanian
yang berbeda-beda, sehingga garis waktu perkembangan pertanian bervariasi di
setiap tempat. Di beberapa bagian di Afrika dan Asia Tengah masih dijumpai
masyarakat yang semi-nomaden (setengah pengembara), yang telah mampu
melakukan kegiatan peternakan atau bercocok tanam, namun tetap berpindah-
pindah demi menjaga pasokan pangan. Sementara itu, di Amerika Utara dan Eropa
traktor-traktor besar yang ditangani oleh satu orang telah mampu mendukung
penyediaan pangan ratusan orang.
Asal-mula pertanian
Berakhirnya zaman es sekitar 11.000 tahun sebelum Masehi (SM) menjadikan bumi
lebih hangat dan mengalami musim kering yang lebih panjang. [2] Kondisi ini
menguntungkan bagi perkembangan tanaman semusim, yang dalam waktu relatif
singkat memberikan hasil dan biji atau umbinya dapat disimpan. Ketersediaan biji-
bijian dan polong-polongan dalam jumlah memadai memunculkan perkampungan
untuk pertama kalinya, karena kegiatan perburuan dan peramuan tidak perlu
dilakukan setiap saat.
Berbagai teori dan hipotesis mengemuka mengenai bagaimana manusia berpindah
dari budaya berburu ke budaya bercocok tanam.
Hipotesis Oasis dikemukakan oleh Raphael Pumpelly pada tahun 1908 dan
dipopulerkan oleh Vere Gordon Childe yang merangkum hipotesis tersebut ke dalam
buku Man Makes Himself.[3] Hipotesis ini menyatakan bahwa ketika iklim menjadi
lebih kering, komunitas populasi manusia mengerucut ke oasis dan sumber air
lainnya bersama dengan hewan lain. Domestikasi hewan berlangsung bersamaan
dengan penanaman benih tanaman.
Hipotesis Lereng Berbukit (Hilly Flanks) dikemukakan oleh Robert
Braidwood pada tahun 1948 yang memperkirakan bahwa pertanian dimulai di lereng
berbukit pegunungan Taurus dan Zagros, yang berkembang dari aktivitas
pengumpulan biji-bijian di kawasan tersebut.[4]
Hipotesis Perjamuan dikemukakan oleh Brian Hayden yang memperkirakan bahwa
pertanian digerakkan oleh keinginan untuk berkuasa dan dibutuhkan sebuah
perjamuan besar untuk menarik perhatian dan rasa hormat dari komunitas. Hal ini
membutuhkan sejumlah besar makanan.[5]
Teori Demografik diusulkan oleh Carl Sauer pada tahun 1952, yang diadaptasikan
oleh Lewis Binford dan Kent Flannery. Mereka menjelaskan bahwa peningkatan
populasi akan semakin mendekati kapasitas penyediaan oleh lingkungan sehingga
akan membutuhkan makanan lebih banyak dari yang bisa dikumpulkan. Berbagai
faktor sosial dan ekonomi juga mendorong keinginan untuk mendapatkan makanan
lebih banyak.[6][7]
Hipotesis Evolusioner oleh David Rindos mengusulkan bahwa pertanian
merupakan adaptasi evolusi bersama antara tumbuhan dan manusia. Diawali
dengan perlindungan terhadap spesies liar, manusia lalu menginovasikan praktik
budi daya berdasarkan lokasi sehingga domestikasi terjadi.[8]
Perkembangan

Penggambaran pertanian pada zaman Mesir Kuno

Berdasarkan bukti-bukti peninggalan artefak, para ahli prasejarah saat ini


bersepakat bahwa praktik pertanian pertama kali berawal di daerah "bulan sabit
yang subur" di Mesopotamia sekitar 8000 SM. Pada waktu itu daerah ini masih lebih
hijau daripada keadaan sekarang. Berdasarkan suatu kajian, 32 dari 56 spesies biji-
bijian budidaya berasal dari daerah ini. Daerah ini juga menjadi satu dari pusat
keanekaragaman tanaman budidaya (center of origin) menurut Nikolai Vavilov.
Jenis-jenis tanaman yang pertama kali dibudidayakan di sini
adalah gandum, jelai (barley), buncis (pea), kacang arab (chickpea), dan flax (Linum
usitatissimum).
Di daerah lain yang berjauhan lokasinya dikembangkan jenis tanaman lain sesuai
keadaan topografi dan iklim. Di Tiongkok, padi (Oryza sativa) dan jewawut (dalam
pengertian umum sebagai padanan millet) mulai didomestikasi sejak 7500 SM dan
diikuti dengan kedelai, kacang hijau, dan kacang azuki. Padi (Oryza glaberrima)
dan sorgum dikembangkan di daerah Sahel, Afrika 5000 SM. Tanaman lokal yang
berbeda mungkin telah dibudidayakan juga secara tersendiri di Afrika
Barat, Ethiopia, dan Papua. Tiga daerah yang terpisah di Amerika (yaitu Amerika
Tengah, daerah Peru-Bolivia, dan hulu Amazon) secara terpisah mulai
membudidayakan jagung, labu, kentang, dan bunga matahari.
Kondisi tropika di Afrika dan Asia Tropik, termasuk Indonesia, cenderung
mengembangkan masyarakat yang tetap mempertahankan perburuan dan
peramuan karena relatif mudahnya memperoleh bahan pangan. Migrasi
masyarakat Austronesia yang telah mengenal pertanian ke wilayah kepulauan
Indonesia membawa serta teknologi budi daya padi sawah serta perladangan.
Sejarah berdasarkan lokasi

Mesin pemanen bangsa Romawi yang ditarik oleh hewan

Mural pada Dinasti Han mural, menggambarkan aktivitas pembajakan di Shennong

Petani Inca menggunakan chaki taklla, sebuah alat pembajak tanah


Kerajaan Romawi
Pertanian pada zaman Romawi berkembang dengan berdasarkan praktik pertanian
yang telah ditemukan oleh bangsa Sumeria yang ditransfer melalui runtunan
kebudayaan. Pertanian bangsa Romawi memiliki fokus utama sebagai perdagangan
dan ekspor. Bangsa Romawi meletakkan dasar sistem ekonomi yang menjadi
pondasi Abad Pertengahan. Ukuran lahan usaha tani dapat dibagi menadi tiga
kategori, yaitu lahan usaha tani ukuran kecil (berukuran 18-88 iugera), ukuran
menengah (80-500 iugera), dan ukuran besar (disebut latifunda, berukuran lebih dari
500 iugera). Ukuran satu iugera sekitar 0.65 acre.[9]
Bangsa romawi memiliki empat sistem manajemen pertanian, yaitu diatur langsung
oleh pemilik lahan dan keluarganya; memanfaatkan budak pekerja dengan diawasi
oleh pengawas budak; sistem bagi hasil (sharecropping) antara pemilik lahan dan
penyewa lahan; dan disewakan.[9] Setiap provinsi memiliki spesialisasi tersendiri dan
saling mensuplai hasil pertanian satu sama lain. Beberapa memproduksi serealia,
lainnya memproduksi minuman anggur, dan yang lainnya memproduksi zaitun,
tergantung jenis lahan yang terdapat diprovinsi tersebut.
China
Catatan sejarah yang ada sejak tahun 481 SM hingga 220 M menggambarkan
perkembangan pertanian di China yang mencakup sistem lumbung nasional dan
praktik serikultur atau budi daya ulat sutra. Perdagangan dan pemanfaatan secara
kuliner juga tercatat.[10]
China telah mengembangkan mesin tumbuk bertenaga air pada abad ke 1 SM
khusus digunakan untuk pertanian.[11] Pompa rantai telah ditemukan pada abad ke 1
M bertenaga air maupun hewan, yang menggerakan sistem roda mekanik. [12] Pompa
ini terutama digunakan untuk mengairi saluran irigasi, namun juga bisa digunakan
untuk menyediakan air bagi masyarakat.[13][14]
India
Kapas dibudidayakan pertama kali pada milenium ke 5 SM di
[15]
India. Sedangkan gandum dan barley didomestikasikan sejak tahun 9000 SM.
Domestikasi domba, kambing, dan sapi terjadi beberapa lama setelah
itu.[16][17][18] Sekitar tahun 8000 SM- hingga 6000 SM, domestikasi gajah juga
terjadi.[16] Praktik pertanian yang paling mencolok mencakup perontokan,
penanaman dengan sistem baris, dan sistem lumbung.[18][19] Pada milenium ke 5
SM, peradaban pertanian menjadi umum di Kashmir.[18] Padi telah menjadi bahan
baku makanan utama masyarakat India sejak tahun 8000 SM.[20][21] Perkembangan
kebudayaan lainnya pada bidang pertanian lalu muncul dan mengembangkan budi
daya padi di Asia Tenggara.
Irigasi berkembang di peradaban lembah sungai Indus sekitar 4500 SM. [22] Ukuran
peradaban dan kesejahteraan tumbuh sehingga membutuhkan perencanaan sipil
seperti drainase dan selokan.[22] Bajak yang ditarik oleh hewan dimulai pada tahun
2500 SM di tempat tersebut.[23]
Amerika Tengah
Di Amerika Tengah, teosinte liar didomestikasikan melalui seleksi sehingga
memunculkan jagung, lebih dari 6000 tahun yang lalu. Jagung lalu tersebar di
Amerika Utara dan menjadi tanaman pertanian utama masyarakat pribumi di sana
hingga kehadiran bangsa penjelajah dari Eropa.[24] Tanaman pertanian utama
lainnya meliputi labu, kacang-kacangan, dan kakao. Kalkun juga didomestikasikan
pertama kali di Meksiko atau selatan Amerika Serikat.
Di Amerika Tengah, bangsa Aztec merupakan masyarakat yang aktif bercocok
tanam dan memiliki ekonomi berbasis pertanian. Lahan di sekitar danau
Texcoco ketika itu merupakan lahan yang subur dan cukup untuk memproduksi
pangan bagi kerajaan yang sedang berkembang. Bangsa Aztec juga
mengembangkan irigasi, teras di lereng gunung,
dan pemupukan. Chinampa merupakan salah satu temuan terbesar mereka, yang
disebut juga dengan "kebun terapung".
Amerika Selatan
Di sekitar kawasan Andes, Amerika Selatan, kentang menjadi tanaman domestikasi
utama yang terjadi sejak 5000 tahun yang lalu. Sejumlah besar kacang-kacangan
juga didomestikasikan. Llama, alpaca, dan guinea pig menjadi hewan yang
didomestikasikan. Tumbuhan koka masih menjadi tanaman pertanian utama sampai
sekarang.
Peradaban Andes didominasi oleh masyarakat pertanian. Bangsa Inca telah
memahami peran cuaca dan tanah bagi pertanian. Adaptasi teknologi pertanian
telah digunakan secara terencana dan memungkinkan produksi berbagai jenis hasil
pertanian di berbagai tempat seperti pinggir pantai, gunung, dan hutan.
Amerika Utara
Masyarakat pribumi di kawasan timur Amerika Serikat telah membudidayakan
berbagai jenis tanaman seperti bunga matahari, tembakau, berbagai
jenis labu dan Chenopodium, juga tanaman yang tidak lagi dibudidayakan
seperti marshelder dan jelai kecil.[25][26][27] Padi liar dan maple juga telah
dibudidayakan. Strawberry dibudidayakan pertama kali di Amerika bagian timur
laut.[28] Pecan dan anggur Concord, pernah dibudidayakan, namun sempat
menghilang hingga kembali dibudidayakan pada abad ke 19.[29][30]
Masyarakat pribumi di kawasan yang saat ini California dan Pasifik melakukan
berbagai jenis usaha kebun hutan dan pertanian tongkat api (fire-stick farming) di
kawasan padang rumput, hutan, dan rawa. Mereka mampu memanfaatkan ekologi
api sehingga tidak menyebabkan kebakaran hutan dan mampu menunjang
usaha pertanian berkelanjutan secara berpindah (permakultur alam liar").[31][32][33][34]
Australia
Hingga dimulainya kolonisasi Inggris di Australia pada tahun 1788, masyarakat
pribumi Australia dicirikan sebagai masyarakat pemburu dan pengumpul yang tidak
melakukan aktivitas pertanian atau bentuk produksi pangan lainnya. Namun Rhys
Jones mengemukakan pada tahun 1969 bahwa masyarakat pribumi Australia
mungkin melakukan pembakaran padang rumput dan hutan secara sistematis untuk
mempertahankan tanaman tertentu dan menghilangkan tanaman yang tidak
dibutuhkannya.[35] Pada tahun 1970an dan 1980an, sebuah penelitian arkeologi
yang dilakukan di Victoria menemukan bahwa pemeliharaan belut dan sistem
penjebakan ikan telah ada sejak 5000 tahun yang lalu.[36]

Revolusi Hijau
Revolusi Hijau adalah sebutan tidak resmi yang dipakai untuk menggambarkan
perubahan fundamental dalam pemakaian teknologi budidaya pertanian yang
dimulai pada tahun 1950-an hingga 1980-an di banyak negara berkembang,
terutama di Asia. Hasil yang nyata adalah tercapainya swasembada (kecukupan
penyediaan) sejumlah bahan pangan di beberapa negara yang sebelumnya selalu
kekurangan persediaan pangan (pokok),
seperti India, Bangladesh, Tiongkok, Vietnam, Thailand, serta Indonesia, untuk
menyebut beberapa negara. Norman Borlaug, penerima penghargaan Nobel
Perdamaian 1970, adalah orang yang dipandang sebagai konseptor utama gerakan
ini. Revolusi hijau diawali oleh Ford dan Rockefeller Foundation, yang
mengembangkan gandum di Meksiko (1950) dan padi di Filipina (1960)[1].Konsep
Revolusi Hijau yang di Indonesia dikenal sebagai gerakan Bimas (bimbingan
masyarakat) adalah program nasional untuk meningkatkan produksi pangan,
khususnya swasembada beras[2]. Tujuan tersebut dilatarbelakangi mitos bahwa
beras adalah komoditas strategis baik ditinjau dari segi ekonomi, politik dan sosial.
Gerakan Bimas berintikan tiga komponen pokok, yaitu penggunaan teknologi yang
sering disabut Panca Usaha Tani, penerapan kebijakan harga sarana dan hasil
reproduksi serta adanya dukungan kredit dan infrastruktur.Gerakan ini berhasil
menghantarkan Indonesia pada swasembada beras.

Revolusi hijau di Indonesia


Gerakan Revolusi Hijau yang dijalankan di negara – negara berkembang dan
Indonesia dijalankan sejak rezim Orde Baru berkuasa. Gerakan Revolusi Hijau
sebagaimana telah umum diketahui di Indonesia tidak mampu untuk menghantarkan
Indonesia menjadi sebuah negara yang berswasembada pangan secara tetap, tetapi
hanya mampu dalam waktu lima tahun, yakni antara tahun 1984 – 1989. Disamping
itu, Revolusi Hijau juga telah menyebabkan terjadinya kesenjangan ekonomi dan
sosial pedesaan karena ternyata Revolusi Hijau hanyalah menguntungkan petani
yang memiliki tanah lebih dari setengah hektare, dan petani kaya di pedesaan, serta
penyelenggara negara di tingkat pedesaan. Sebab sebelum Revolusi Hijau
dilaksanakan, keadaan penguasaan dan pemilikan tanah di Indonesia sudah
timpang, akibat dari gagalnya pelaksanaan Pembaruan Agraria yang telah mulai
dilaksanakan pada tahun 1960 sampai dengan tahun 1965.[3]
Revolusi hijau mendasarkan diri pada empat pilar penting[4]: penyediaan air melalui
sistem irigasi, pemakaian pupuk kimia secara optimal, penerapan pestisida sesuai
dengan tingkat serangan organisme pengganggu, dan penggunaan varietas unggul
sebagai bahan tanam berkualitas. Melalui penerapan teknologi non-tradisional ini,
terjadi peningkatan hasil tanaman pangan berlipat ganda dan memungkinkan
penanaman tiga kali dalam setahun untuk padi pada tempat-tempat tertentu, suatu
hal yang sebelumnya tidak mungkin terjadi.
Revolusi hijau mendapat kritik sejalan dengan meningkatnya kesadaran akan
kelestarian lingkungan karena mengakibatkan kerusakan lingkungan yang parah.
Oleh para pendukungnya, kerusakan dipandang bukan karena Revolusi Hijau tetapi
karena ekses dalam penggunaan teknologi yang tidak memandang kaidah-kaidah
yang sudah ditentukan. Kritik lain yang muncul adalah bahwa Revolusi Hijau tidak
dapat menjangkau seluruh strata negara berkembang karena ia tidak memberi
dampak nyata di Afrika.

Dampak positif revolusi hijau


Produksi padi dan gandum meningkat sehingga pemenuhan pangan (karbohidrat)
meningkat. Sebagai contoh: Indonesia dari pengimpor beras mampu swasembada
dan bisa mengekspor beras ke India.
Permasalahan dan dampak negatif

1. Penurunan produksi protein, dikarenakan pengembangan serealia (sebagai


sumber karbohidrat) tidak diimbangi pengembangan pangan sumber protein
dan lahan peternakan diubah menjadi sawah.
2. Penurunan keanekaragaman hayati.
3. Penggunaan pupuk terus menerus menyebabkan ketergantungan tanaman
pada pupuk.
4. Penggunaan pestisida menyebabkan munculnya hama strain baru yang
resisten[5].
Sejarah Perkembangan Pertanian Indonesia
A. Sejarah Pertanian Indonesia

Masa Penjajahan Belanda

Pada tahun 1830 pada saat pemerintah penjajah hampir bangkrut setelah terlibat
perang Jawa terbesar (Perang Diponegoro, 1825-1830), Gubernur Jenderal Judo
mendapat izin khusus melaksanakan sistem Tanam Paksa (Cultuur Stelsel) dengan
tujuan utama mengisi kas pemerintahan jajahan yang kosong, atau menutup defisit
anggaran pemerintah penjajahan.
Sistem tanam paksa berangkat dari asumsi bahwa desa-desa di Jawa berutang
sewa tanah kepada pemerintah, yang biasanya diperhitungkan senilai 40% dari hasil
panen utama desa yang bersangkutan. Van den Bosch ingin setiap desa
menyisihkan sebagian tanahnya untuk ditanam komoditi ekspor ke Eropa (kopi,
tebu, dan nila). Penduduk dipaksa untuk menggunakan sebagian tanah garapan
(minimal seperlima luas, 20%) dan menyisihkan sebagian hari kerja untuk bekerja
bagi pemerintah.
Dengan mengikuti tanam paksa, desa akan mampu melunasi utang pajak tanahnya.
Bila pendapatan desa dari penjualan komoditi ekspor itu lebih banyak daripada pajak
tanah yang mesti dibayar, desa itu akan menerima kelebihannya. Jika kurang, desa
tersebut mesti membayar kekurangan tadi dari sumber-sumber lain.
Sistem tanam paksa diperkenalkan secara perlahan sejak tahun 1830 sampai tahun
1835. Menjelang tahun 1840 sistem ini telah sepenuhnya berjalan di Jawa.
Pemerintah kolonial memobilisasi lahan pertanian, kerbau, sapi, dan tenaga kerja
yang serba gratis. Komoditas kopi, teh, tembakau, tebu, yang permintaannya di
pasar dunia sedang membubung, dibudidayakan.
Bagi pemerintah kolonial Hindia Belanda, sistem ini berhasil luar biasa. Karena
antara 1831-1871 Batavia tidak hanya bisa membangun sendiri, melainkan punya
hasil bersih 823 juta gulden untuk kas di Kerajaan Belanda. Umumnya, lebih dari 30
persen anggaran belanja kerajaan berasal kiriman dari Batavia. Pada 1860-an, 72%
penerimaan Kerajaan Belanda disumbang dari Oost Indische atau Hindia Belanda.
Langsung atau tidak langsung, Batavia menjadi sumber modal. Misalnya, membiayai
kereta api nasional Belanda yang serba mewah. Kas kerajaan Belanda pun
mengalami surplus.
Badan operasi sistem tanam paksa Nederlandsche Handel Maatchappij (NHM)
merupakan reinkarnasi VOC yang telah bangkrut.
Akibat tanam paksa ini, produksi beras semakin berkurang, dan harganya pun
melambung. Pada tahun 1843, muncul bencana kelaparan di Cirebon, Jawa Barat.
Kelaparan juga melanda Jawa Tengah, tahun 1850.
Sistem tanam paksa yang kejam ini, setelah mendapat protes keras dari berbagai
kalangan di Belanda, akhirnya dihapus pada tahun 1870, meskipun untuk tanaman
kopi di luar Jawa masih terus berlangsung sampai 1915. Program yang dijalankan
untuk menggantinya adalah sistem sewa tanah dalam UU Agraria 1870.

Pada Masa Penjajahan Jepang

Setelah menduduki Indonesia, Jepang melihat bahwa produksi beras tidak akan
mampu memenuhi kebutuhan. Oleh karena itu, perlu dilakukan perluasan areal
persawahan guna meningkatkan produksi beras. Meskipun demikian produksi
pangan antara tahun 1941-1944 terus menurun.
Pengawasan pertanian dan perkebunan. Pelaksanaan pertanian diawasi secara
ketat dengan tujuan untuk mengendalikan harga barang, terutama beras. Hasil
pertanian diatur sebagai berikut: 40% untuk petani, 30% harus dijual kepada
pemerintah Jepang dengan harga yang sangat murah, dan 30% harus diserahkan
ke ‘lumbung desa’. Ketentuan itu sangat merugikan petani dan yang berani
melakukan pelanggaran akan dihukum berat. Badan yang menangani masalah
pelanggaran disebut Kempetai (Korps Polisi Militer), suatu badan yang sangat
ditakuti rakyat.
Pengawasan terhadap produksi perkebunan dilakukan secara ketat. Jepang hanya
mengizinkan dua jenis tanaman perkebunan yaitu karet dan kina. Kedua jenis
tanaman itu berhubungan langsung dengan kepentingan perang. Sedangkan
tembakau, teh, kopi harus dihentikan penanamannya karena hanya berhubungan
dengan kenikmatan. Padahal, ketiga jenis tanaman itu sangat laku di pasaran dunia.
Dengan demikian, kebijakan pemerintah Jepang di bidang ekonomi sangat
merugikan rakyat.
Pengerahan sumber daya ekonomi untuk kepentingan perang. Untuk
menguasai hasil-hasil pertanian dan kekayaan penduduk, Jepang selalu berdalih
bahwa untuk kepentingan perang. Setiap penduduk harus menyerahkan
kekayaannya kepada pemerintah Jepang. Rakyat harus menyerahkan barang-
barang berharga (emas dan berlian), hewan, bahan makanan kepada
pemerintah Jepang.
Untuk memperlancar usaha-usahanya, Jepang membentuk Jawa Hokokai
(Kebaktian Rakyat Jawa) dan Nogyo Kumiai (Koperasi Pertanian). Kebijakan-
kebijakan pemerintah Jepang di bidang ekonomi tersebut, telah
mengakibatkan kehidupan rakyat Indonesia semakin sengsara dan penuh
penderitaan. Penderitaan dan kesengsaraan rakyat Indonesia selama pendudukan
Jepang lebih buruk apabila dibandingkan dengan penderitaan dan kesengsaraan
pada masa penjajahan Belanda. Padahal, Jepang menduduki Indonesia hanya tiga
setengah tahun, sedangkan Belanda menjajah Indonesia selama tiga setengah
abad.

B. Perkembangan Pertanian Di Indonesia

Semenjak tahun 1969 Indonesia memulai program intesifikasi massal (INMAS)


untuk petani sebagai dampak revolusi hijau di tingkat dunia. Pada tahun itu petani
mulai dikenalkan dengan berbagai jenis pupuk buatan (bersifat kimiawi), obat-obatan
pembasmi hama-penyakit dan gulma (pestisida dan herbisida) serta benih-benih
yang berdaya hasil tinggi. Melalui kebijakan Program Insus 1969 dari pemerintah,
intensitas penggunaan pupuk kimia meningkat. Akibatnya residu tanah menumpuk,
hama meningkat, beragam dan resist terhadap obat-obatan pertanian.
Perkembangan pertanian di Indonesia saat ini sangat memprihatinkan.Selain
berbagai ancaman akibat bencana alam, dan perubahan iklim, pertanian juga
terancam oleh kerusakan tanah yang makin mengeras karena intensifikasi
penggunaan pupuk. Selain masalah pengerasan tanah akibat penggunaan pupuk
kimia yang berlebihan seperti tersebut di atas, masalah lain yang patut diperhatikan
di Indoneia adalah adanya indikasi proses pemiskinan atau pengurangan kandungan
10 jenis unsur hara meliputi sebagian unsur hara makro yaitu Ca, S dan Mg (3
unsur) serta unsur hara mikro Yaitu Fe, Na, Zn, Cu, Mn, B dan Cl (7 jenis unsur).
Sementara dari pihak petaninya sendiri telah mengalami hal-hal yang dapat
mengancam hilangnya kemandirian petani. Yaitu kriminalisasi petani berupa
tuntutan hukum terhadap sekitar 16 petani dari Kediri dan sekitarnya. Salah satunya
Burhana Juwito Muhammad Ali, anggota dari Paguyuban Bina Tani Makmur Kediri
yang telah menjalani hukuman lima bulan penjara karena tuduhan pelanggaran
sertifikasi pembenihan. Padahal kenyataannya Burhana tidak pernah melakukan
sertifikasi pembenihan.
Perubahan sistem pemerintahan yang sentralistik di era Orde Baru menjadi otonomi
daerah juga mempengaruhi dalam hal penyebaran dan pemahaman informasi. Maka
yang terpenting adalah komunikasi program antara pusat dan daerah.
Diperkirakan sekitar 342.387 ha (Dinas Tanaman Pangan Kalsel, 2002; Kalimantan
Selatan Dalam Angka, 2003) sangat potensial untuk dikembangkan bagi kegiatan
pertanian, perikanan, perkebunan dan kehutanan.
Pemanfaatan lahan rawa baru sekitar 143.118 ha, dan sisanya seluas 199.269
(58,19%) masih berupa lahan tidur yang belum digarap (Anonim, 2003). Meskipun
demikian lahan rawa sangat potensial dikembangkan karena didukung oleh
ketersediaan lahan yang luas, keadaan topografi yang datar, ketersediaan air
melimpah dan teknologi pertanian yang cukup tersedia (Noor. M., 2007).
Disisi sumber daya manusia (SDM) sebagian besar tenaga kerja produktif masih
dominan pada sektor primer (pertanian dan pertambangan) hal ini dapat dilihat dari
data tenaga kerja Prov Kalsel tahun 2008, yang dipublikasikan oleh BPS Kalsel,
sebesar 48% dari total tenaga kerja.
Hanya saja belum ada upaya serius untuk melakukan maintenance sektor pertanian
kearah yang lebih modern. Petani dibiarkan terpecah dalam kekuatan-kekuatan kecil
dan dibiarkan berjuang sendiri untuk meningkatkan kesejahteraan mereka. Kalaupun
alokasi dana cukup besar untuk sektor pertanian namun orientasinya tidak optimal
dan tidak menyentuh hajat hidup petani secara menyeluruh. Hal ini wajar karena
petani tersebar dalam pecahan kecil. Ini salah satu yang menurut Geertz sebagai
penyebab terjadinya agricultural involution.
Program dan kebijakan apapun yang dikembangkan oleh pemerintah, tidak akan
optimal apabila secara institusi dan pengembangan sumber daya manusia tidak
berkembang dengan baik. Sumber daya manusia dibidang pertanian semakin
berkurang dari sisi kualitas maupun kuantitas. Sementara lahan dari sisi luasan juga
semakin berkurang didesak kemajuan jaman. Namun dalam metode pengembangan
kita masih berkutat pada metode dan cara yang kita susun pada saat SDM dan
lahan berlebih.
Disinilah pentingnya sebuah revolusi pertanian dalam tataran pengembangan
kebijakan terkait pertanian. Harus ada komitmen yang masif dan kuat yang
diwujudkan dalam program jangka panjang terkait kebijakan pertanian. Pertanian
tidak lagi dipandang sebagai sektor parsial tapi merupakan tujuan dari keseluruhan
pengembangan sektor. Harus ada penguatan pengembangan SDM disisi kesehatan
dan pendidikan untuk mendukung pertanian. Pengembangan sektor kesejahteraan
diarahkan pada peningkatan jaminan kesejahteraan petani dan sebagainya.
Industrialisasi pertanian harus segera dilakukan di Kalimantan Selatan karena sudah
secara nyata terjadi pergeseran sektor basis perekonomian yang tidak sehat.
Pergeseran kearah sektor tersier tidak ditopang oleh sektor sekunder (industri) yang
kuat, akan menyebabkan tatanan perekonomian mudah goyah. Dan industri yang
paling positif dikembangkan di wilayah Kalsel dengan dukungan potensi lahan
pertanian yang sangat luas adalah industri pertanian.
Perlu dilakukan kaji ulang kebijakan pemerintah di sektor pertanian dengan
memasukkan kebijakan mendorong pengembangan infrastruktur pertanian,
perencanaan dan implementasi RTRW yang konsisten, dukungan sistem insentif
dalam implementasi produksi komoditas unggulan wilayah (daerah). Alih fungsi
lahan pertanian terkait perkembangan wilayah perkotaan yang berimplikasi terhadap
wilayah permukiman dan perdagangan harus diatur dengan tegas. Perlu segera
dilakukan inventarisasi berapa luasan lahan pertanian yang ideal untuk dapat
menopang kebutuhan daerah akan produksi pertanian khususnya tanaman pangan.
Industri pertanian membutuhkan bahan baku yang besar dan terkoordinasi. Untuk itu
kebijakan alih fungsi lahan harus diarahkan untuk memenuhi kebutuhan bahan baku
industri pertanian. Kebijakan kompensasi alih fungsi lahan harus dimanfaatkan untuk
mewujudkan sentra-sentra wilayah pertanian. Hal ini akan dapat membantu
pemusatan pengembangan petani tradisional kearah modern.

Membangkitkan koperasi-koperasi pertanian secara selektif akan dapat


memperkuat bargaining position kaum tani dan produksinya, agar tidak kalah
dengan permintaan pasar yang selalu menginginkan harga terendah.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) ada sepuluh komoditi pertanian penting
yang produksinya pada tahun 2003 mencapai record tertinggi sepanjang sejarah
republik Indonesia. Sepuluh komoditi yang dimaksud adalah padi, jagung, kacang
tanah, ubi kayu, sayuran dan buah, kelapa sawit, kakao, kopi, karet dan ayam ras.
Produksi padi meningkat dari 49 juta ton tahun 1998 menjadi 52,1 juta ton pada
tahun 2003 yang merupakan record tertinggi sepanjang sejarah. Bahkan tahun
2004, angka ramalan II BPS menunjukkan produksi padi 53,67 juta ton, yang
merupakan record tertinggi baru sepanjang sejarah. Jagung meningkat 9,2 juta ton
tahun 1999 menjadi 11 juta tahun 2003. CPO meningkat dari 5,62 juta tahun 1998
menjadi 10,6 juta tahun 2003. Karet meningkat dari 1,6 juta ton tahun 1998 menjadi
2,7 juta ton tahun 2003. Ayam ras meningkat dari 324 juta ekor tahun 1999 menjadi
1 milyar tahun 2003. Hal yang membanggakan kita adalah peningkatan produksi
tersebut sebagian besar disumbang oleh peningkatan produktivitas. Mengapa tidak
ada gejolak pangan selama tahun 2000 - 2003 antara lain karena disumbang oleh
prestasi produksi komoditi pangan utama ini. Sesudah 20 tahun tampaknya tahun
2004 ini kita kembali mencapai swasembada beras.
Tidak hanya itu, data BPS juga melaporkan bahwa tingkat kesejahteraan
masyarakat di pedesaan mengalami perbaikan yang cukup berarti. Indeks nilai tukar
petani naik dari 96,6 tahun 2000 menjadi 110,4 pada tahun 2003.Tingkat kemiskinan
di pedesaan turun rata-rata 20 persen yakni dari 32,7 juta tahun 1999 menjadi 25,1
juta tahun 2002. Tingkat kemiskinan juga turun dari 26 juta orang tahun 1999
menjadi 20,6 juta orang tahun 2002. Di pihak lain tingkat upah di pedesaan naik
sekitar 17 persen pertahun sehingga meningkatkan pendapatan buruh tani di
pedesaan.
Secara makro kemajuan tersebut juga konsisten. Total impor komoditi pertanian
masih besar tetapi mengalami penurunan sementara ekspor meningkat. Sehingga
neraca perdagangan komoditi pertanian mengalami surplus yang meningkat rata-
rata 15 persen pertahun, yaitu dari US $ 2.2 milyar tahun 1999 menjadi US $ 3.4
milyar tahun 2002 dan 3.7 US $ pada tahun 2003. PDB pertanian selama tahun
2000-2003 bertumbuh rata-rata 1,83 persen pertahun dan pertumbuhan PDB
pertanian tahun 2003 Mencapai sekitar 2,61 persen. Tingkat pertumbuhan ini lebih
tinggi dari pertumbuhan pertanian selama krisis (1998-1999) yang hanya 0,88
persen bahkan lebih tinggi dari rata-rata pertumbuhan pertanian akhir orde baru
(1993-1997) yang hanya 1,57 persen per tahun.

Anda mungkin juga menyukai