Anda di halaman 1dari 7

Pandangan Syariat Islam

Terhadap Faham Liberalisme dan Ujaran Kebencian

Nama Lengkap : Ismail Hamdan

NPM : 110110200328

Fakultas/Program Studi : Hukum/Ilmu Hukum

LATAR BELAKANG

Liberalisme adalah suatu faham yang meletakkan kebebasan sebagai satu nilai
sosial politik yang paling tinggi. Liberalisme secara etimologis pula dimaksudkan
dengan faham yang amat menekankan nilai kebebasan individu dan juga peranan
negara dalam melindungi hak-hak yang dianut warganya.

Liberalisme tidak dapat dipisahkan dengan liberalisasi agama yang telah


menjadi tonggak baru bagi sejarah kehidupan masyarakat Barat turut dikaitkan dengan
masa pencerahan (enlightenment). Secara sepintas, ungkapan liberal merujuk kepada
orang yang berfahaman bebas sementara istilah liberalisme pula berarti mempunyai
pandangan luas. Manakala secara khusus liberalisme merujuk kepada faham yang
mementingkan kebebasan individu untuk bartindak serta melahirkan pendapat
mengikut cara dan pilihannya sendiri.

Secara umum, liberalisme mencita-citakan suatu masyarakat yang bebas,


dicirikan oleh kebebasan berpikir bagi para individu.Paham liberalisme menolak
adanya pembatasan, khususnya dari pemerintah dan agama.1

1 Oxford Manifesto dari Liberal International

Halaman 1 / 7
Dalam masyarakat modern, liberalisme akan dapat tumbuh dalam sistem
demokrasi, hal ini dikarenakan keduanya sama-sama didasarkan pada kebebasan
mayoritas.2 Banyak suatu negara yang tidak mematuhi peraturan tersebut.

Dalam sistem demokrasi sebagai konsekuensi dari liberisme, maka ujaran


kebencian atau hate speech menjadi salah satu ‘tantangan’ serius bagi proses
demokratisasi di Indonesia sejak tahun 1998. Keterbukaan politik memungkinkan
berbagai bentuk ceramah dan tulisan dengan pesan yang beragam termasuk narasi-
narasi yang mendorong permusuhan terhadap kelompok lain yang berbeda.
Ujaran kebencian tidak jarang dikaitkan dengan terjadinya banyak tindak
kekerasan terhadap kelompok agama minoritas. Tuntutan agar pemerintah bertindak
tegas terhadap ujaran kebencianpun semakin sering terdengar.
Namun pelarangan ujaran kebencian di Indonesia bukanlah hal sederhana.
Banyak pihak menghawatirkan penegakan hukum terhadap ujaran kebencian akan
mengulang represei masa lalu di mana isu SARA digunakan sebagai alat penguasa
untuk menekan lawan politik.
Selain itu poblem pendefinisian dan sistem perundang-undangan juga bisa
menghadirkan kontroversi.

PEMBAHASAN

Walaupun liberalisme ada manfaatnya (nilai positifnya), namun dalam makalah


ini, fokus akan diutamakan kepada pengaruh dan dampak negatif liberalisme terhadap
masyarakat Islam karena, dasar dan tuntutan Islam itu sendiri yang totalnya sudah
berbeda dengan pendirian liberalisme di tambah lagi, dalam liberalisme tidak dapat
menerima ajaran dogmatisme (Refuse Dogmatism).

Sedangkan Indonesia diidentifikasikan sebagai Negara mayoritas Islam.


Pengaruh liberalisme dalam masyarakat Islam di Indonesia telah menyebabkan

2 https://id.wikipedia.org/wiki/Liberalisme

Halaman 2 / 7
munculnya berbagai gerakan Islam liberal. Gerakan pemikiran Islam yang
liberalis memiliki pengaruh yang cukup kuat bagi umat Islam di Indonesia, sebagai
bentuk Islam popular, Islam yang tidak teramat ketat terhadap syariah, yang
menghadirkan cara baru dalam beragama terbuka dan modern di tengah masyarakat
yang pluralistik.

Gagasan pemikiran yang ditawarkan Islam liberal adalah liberalisme dan


sekulerisme serta pluralisme. Lahirnya pemikiran Islam liberal memang telah
menimbulkan pertentangan dikalangan kaum muslim sendiri.

Oleh karena itu, makalah ini menyoroti “Pandangan Syariat Islam Terhadap
Faham Liberalisme dan Ujaran Kebencian” sebagai paparan agar masyarakat Islam
(kaum muslim) untuk senantiasa bersikap kritis dan bijak dalam menanggapi pemikiran
liberalisme yang mempengaruhi masyarakat muslim di Indonesia.

Semua pemeluk agama di Indonesia pasti memiliki kecintaan terhadap


agamanya masing-masing. Namun, jika hal itu tidak dikelola dengan baik maka akan
dapat memicu konflik kegamaan. Salah satunya adalah kesalahan dalam menerima dan
memahami konten-konten RHS (relegius hate speech).
Alquran sendiri sebagai pedoman umat Islam telah menyampaikan pelajaran
yang
sangat berharga tentang bahaya menyebarkan kebencian, yaitu kisah Raja Firaun yang
hancur karena selalu melancarkan ujaran kebencian kepada Nabi Musa.
Selain itu, Alquran juga selalu mengingatkan kepada orang-orang yang beriman
agar tidak mudah membenci orang lain. Hal ini tertuang dalam surah al-Maidah ayat 8
yang berbunyi: "Dan jangan sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong
kamu untuk berlaku tidak adil."
Di era digital sekarang, kebencian kerap diungkapkan di media sosial, termasuk
RHS. Penyebaran RHS sekarang semakin mudah dan semakin cepat melalui berbagai
media informasi.

Halaman 3 / 7
Menurut Islam, setidaknya ada delapan modus operandi religous Hate Speech
(RHS) yang dapat diungkapkan yaitu 1. fitnah, 2. menyebarkan berita bohong, 3.
penghinaan, 4. pencemaran nama baik, 5. penistaan, 6. perbuatan tidak menyenangkan
7. memprovokasi, dan 8. menghasut.3
Konflik keagamaan yang terjadi dalam dasawarsa terkahir ini, baik antar umat
beragama atau internal umat beragama, lebih banyak berawal dari kasus fitnah secara
pribadi, untuk membela orang atau kelompok tertentu, lalu meluas menjadi konflik
keagamaan terbuka.
Fitnah sebagai salah satu modus RHS dinilai sangat berbahaya karena
berpotensi
membakar emosi keagamaan umat dengan begitu cepat dan sulit dikendalikan.
Dalam menjelaskan soal fitnah, KH Nasaruddin pun memberikan contoh dua
kasus fitnah yang diabadikan dalam Alquran. Pertama, yaitu fitnah para pembesar
Mesir yang menjebak Nabi yusuf berduaan dnegan dengan seorang perempuan
keluarga kerajaan. Kedua, fitnah yang dilontarkan oleh Abdullah bin Ubai bin Abi
Salul terhadap Siti Aisyah bersama dengan seorang prajurit.4
Indonesia sebenarnya telah memiliki aturan hukum yang dapat dimanfaatkan
untuk menindak perkara hasutan kebencian. Meskipun aturan itu masih perlu diperkuat
oleh aturan-aturan lain yang belum ada (atau merevisi yang telah ada) supaya lebih
efektif, tetapi tidak tertanganinya dengan baik perkara ujaran kebencian bukan karena
lemahnya aturan yang ada.
Hal itu terjadi karena kemauan politik hukum di Indonesia yang lebih
memprioritaskan aspek perkara “penyalahgunaan atau penodaan” agama dibanding
aspek pernyataan “permusuhan” berdasarkan agama.
Aturan perundang-undangan yang dapat dimanfaatkan untuk menangani secara
hukum ujaran kebencian adalah Pasal 156 KUHP yang berbunyi: “Barang siapa di

3 KH Prof Nasaruddin ,“Jihad Melawan Religous Hate Speech”


4 ibid

Halaman 4 / 7
muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap
suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia, diancam dengan pidana penjara
paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus
rupiah.”
“Perkataan golongan dalam pasal ini dan pasal berikutnya berarti tiap-tiap
bagian dari rakyat Indonesia yang berbeda dengan suatu atau beberapa bagian
lainnya karena ras, negeri asal, agama, tempat, asal, keturunan, kebangsaan atau
kedudukan menurut hukum tata negara”.
Dalam hukum internasional, penyalahgunaan, penistaan, atau penodaan
terhadap agama diistilahkan dengan konsep blasphemy. Sedangkan ujaran permusuhan
dan kebencian atas dasar agama ini kurang lebih dikonsepkan dengan istilah hate
speech atau RHS sebagaimana telah diulas diatas.
Ada dua masalah utama dalam ujaran kebencian. Pertama, ada semacam
inklusivitas publik yang masyarakat kita komitmenkan untuk itu. Kita beragam dalam
perihal etnis, ras, penampilan, dan agama. Kami menjalani kehidupan dan pekerjaan
bersama meskipun ada perbedaan semacam itu. Setiap kelompok harus menerima
bahwa masyarakat tidak eksklusif untuk mereka, melainkan untuk mereka juga,
bersama semua yang lainnya. Setiap orang, setiap anggota dari setiap kelompok, harus
bisa menjalankan urusannya masing-masing, dengan jaminan bahwa tidak perlu
menghadapi permusuhan, kekerasan, diskriminasi, atau pengecualian oleh orang lain.
Ketika jaminan ini disampaikan secara efektif, itu hampir tidak terlihat. Rasa aman di
ruang yang kita semua tempati ini adalah suatu kepentingan publik. Kepentingan itulah
yang menjadi sesuatu yang kita semua kontribusikan dan bantu pertahankan dengan
cara naluriah dan hampir tidak terlihat. Ujaran kebencian merongrong kebaikan publik
ini, atau malah membuat tugas mempertahankannya jauh lebih sulit daripada yang
seharusnya. Ini tidak hanya dengan mengisyaratkan diskriminasi dan kekerasan, tetapi
dengan membangkitkan kembali mimpi buruk tentang masyarakat ini seperti — atau
suasana seperti apa lainnya — di masa lalu. Sedang dikerjakan Jadi, itu menciptakan
sesuatu seperti ancaman lingkungan terhadap sosial damai, semacam racun yang

Halaman 5 / 7
bekerja lambat, terakumulasi di sana-sini, kata demi kata, sehingga akhirnya menjadi
semakin sulit dan kurang alami bahkan untuk anggota masyarakat yang baik hati untuk
bermain peran mereka dalam menjaga barang publik ini.
Cara kedua untuk menggambarkan apa yang dipertaruhkan dapat dilihat dari
sudut pandang mereka yang dimaksudkan untuk mendapatkan manfaat dari jaminan
yang dipertanyakan oleh ujaran kebencian. Dalam arti tertentu kita semua seharusnya
mendapatkan keuntungan. Namun, untuk anggota yang rentan minoritas, minoritas
yang di masa lalu telah dibenci atau dibenci oleh orang lain dalam masyarakat, jaminan
memberikan afirmasi terhadap keanggotaan mereka. Dengan kata lain, mereka juga
adalah anggota masyarakat dalam performa yang baik; mereka memiliki apa yang
diperlukan untuk berinteraksi secara langsung dengan orang lain di sini, di depan
umum, di jalan, di toko-toko, dalam bisnis, dan untuk dirawat — bersama dengan
semua orang lain — sebagai objek perlindungan dan perhatian masyarakat. Ini status
sosial dasar, saya sebut martabat mereka. Martabat seseorang tidak hanya beberapa
aura Kantian. Itu adalah kedudukan sosial mereka, yang fundamental reputasi dasar
yang memungkinkan mereka diperlakukan setara dalam operasi masyarakat biasa.
Martabat mereka adalah sesuatu mereka dapat mengandalkan — dalam kasus terbaik
secara implisit dan tanpa keributan. Mereka menjalani hidup mereka, menjalankan
bisnis mereka, dan membesarkan mereka keluarga. Publikasi ujaran kebencian
diperhitungkan untuk melemahkan hal ini. Tujuannya adalah untuk
mengkompromikan martabat mereka yang menjadi sasarannya, baik di mata mereka
sendiri maupun di mata anggota lainnya masyarakat. Ini bertujuan untuk menodai
dasar-dasar reputasi mereka, dengan mengasosiasikan karakteristik askriptif seperti
etnis, ras, atau agama dengan perilaku yang dianggap pantas mendiskualifikasi
seseorang dari diperlakukan sebagai anggota masyarakat dengan reputasi baik.

KESIMPULAN
Paham Liberalisme yang menjunjung hak dan kebebasan individu dapat
menimbulkan implikasi yang buruk, seperti maraknya ujaran kebencian, jika

Halaman 6 / 7
diwujudkan tanpa komitmen untuk bertanggung jawab dan berhati nurani. Islam
mengajarkan manusia untuk berekspresi dan menjalankan hak kita dengan tanggung
jawab terhadap kaidah dan ajaran agama. Al-Quran telah menegaskan bahwa umat
terbaik ialah umat yang menyerukan kebaikan dan mencegah kemungkaran (3:110).
Selain itu, Al-Quran juga melarang ujaran kebencian dan kebohongan sesuai dengan
QS (23:3) dan (25:72) Sudah selayaknya manusia, sebagai khilafah di muka bumi,
mendukung individu untuk berkembang dan berkarya sekaligus menegakkan tanggung
jawab kita sebagai makhluk ciptaan Allah swt.

SARAN
Perlu ada kondisi masyarakat yang menegakkan akuntabilitas dan integritas
dalam hal melaksanakan hak individunya. Dengan demikian, kita dapat membangun
masyarakat yang inklusif dan saling mensejahterakan. Saya yakin bahwa kehidupan
manusia akan bermartabat jika hak dan kebebasan yang dianugerahkan kepadanya
digunakan dengan tanggung jawab, empati, dan kompeten.

Halaman 7 / 7

Anda mungkin juga menyukai