Anda di halaman 1dari 6

PESAN BAGI ANAKKU PADJAR

Karya Idrus Ismail (1963)

Cemas cemas harap, cemas cemas harap, begitulah rasa hati ayah dan ibumu ketika itu
anakku. Terhapus rasanya segala keringat oleh kerinduan, tertawar segala kecemasan oleh
harapan. Tetapi harapan dan kerinduan itu pula yang mendatangkan kecemasan. Semuanya
berbaur dalam hati ayah ibumu ketika itu anakku, berselang-seling dengan keinginan dan
impian serta doa. Ketika itu kau sudah 6 bulan dalam kandungan ibumu. Setahun lebih
sebelum itu kandungan ibumu sudah 4 bulan usianya ketika itu ibu terpeleset di kamar
mandi dan perutnya terantuk ke sudut bak. Rahim ibumu tergoncang karenanya. Pulang
balik Ayah dan ibumu ke dokter, anakku. Tetapi pendarahan ibumu tidak juga dapat
dihentikan bukan main menderita, anakku. Ibumu mengaduh sepanjang hari dan ingin
membanting-banting diri kesakitan. Dan akhirnya dalam keadaan sudah pucat pasi serta
lemah sekali karena sudah banyak kehilangan darah ibumu Ayah bawa ke rumah sakit. Dan
betapa terkejutnya ayah ketika dokter yang memeriksa keadaan ibumu berkata: “sayang
terlambat. Kalau sekiranya dua tiga hari setelah mulai pendarahan itu dibawa kemari masih
tertolong. Tetapi sekarang kandungannya terpaksa harus digugurkan untuk menolong
ibunya. Sediakan saja Donor barangkali diperlukan”. Ayah tidak tahu kemana makian ayah
hendak ayah lontarkan. Apakah kepada diri kami yang tidak tahu apa-apa karena tidak
punya pengalaman, justru jauh pula dari orang tua? Atau kepada tetangga-tetangga kami
yang tidak merelakan waktunya untuk memberi petunjuk atau justru karena masing-masing
mereka yang keliru? Ataukah kepada dokter yang kami datangi sebelum itu tidak juga
memberitahukan kepada ayah dan ibumu betapa bahayanya sudah keadaaan dan tidak
sanggup menyelamatkan kandungan ibumu? Padahal pendarahan sampai berlangsung
seminggu. Ataukah ke langit yang biasa ditunjuk-tunjuk orang, kepada yang menciptakan
dan kuasa mematikan benih di rahim ibumu itu? Ibumu terpaksa dioperasi dan menginap di
rumah sakit selama seminggu.
Baru setelah kau berusia 6 bulan dalam kandungan ibumu Ayah dan ibumu bisa
memaafkan semuanya. Ibumu berkata kepada ayah: " Kiranya Tuhan memang hendak
menolong kita " rupanya yang Maha Kuasa tidak mau kau dilahirkan di rumah tumpangan
Ayah dan ibumu ketika itu, rumah tumpangan yang cuma terdiri dari 1 kamar di bagian
belakang rumah orang. 1 kamar Yang tidak pula besar di mana kami tidur makan, bekerja,
duduk-duduk masa di empernya. Sebuah kamar berdinding setengah batu, berjajar dengan
gudang, kamar mandi dan kakus penghuni rumah induk. Rupanya yang Maha Kuasa hendak
menolong Ayah dan ibumu dari kesulitan yang lebih jauh. Pemeliharaan kandungan, anakku,
ongkos-ongkos yang harus dikeluarkan sampai melahirkan dan pemeliharaan bayinya tidak
sedikit sedang penghasilan Ayah bukan main kecilnya. Hanya karena kepandaian ibumu saja
semua pengeluaran rumah tangga bisa tertutup. Memang inilah salah satu kepandaian
wanita-wanita yang suaminya berpenghasilan kecil dalam keadaan harga serba mahal tetapi
masih bisa mengatur rumah tangganya menjadi Surga, walaupun sebenarnya cuma terletak
di hati.
Pembiayaannya tidak sedikit kata ayah, anakku, karena memang benar demikian. Begitulah
keadaannya pada masa kami. Setidaknya begitulah keadaannya ketika kau masih dalam
kandungan dan dilahirkan. Memang benar, anakku, ada juga anak-anak orang
pergelandangan anak-anak orang yang tidak punya rumah dan hidup dari hasil menadahkan
tangan kepada welas hati orang-orang lalu dengan menjulurkan tangan kepada orang-orang
yang sedang makan di warung-warung yang akhirnya melemparkan uang serupiah dua
dipaksa kekesalan hati melihat lalat biru hinggap pada seleranya, selamat dan lahir juga.
Tetapi bagi mereka asal bisa hidup sedang Keinginan kita adalah hidup yang layak sebagai
manusia. Dan lebih dari itu anakku sudah jadi ketetapan hati ayah dan ibumu untuk
memberikan kepada anak-anak kami segala yang terbaik. Pemeliharaan yang terbaik, yang
terbaik, segala kebutuhannya yang terbaik pendidikan dan pengajaran yang terbaik dan
sekarang pun Ayah dan ibumu masih juga berusaha untuk itu, anakku detik kalau sekiranya
semua ini tidak terpenuhi, anakku, maafkan ayah dan ibumu serta masyarakat angkatan
kami karena memang patut disalahkan. Tetapi kami sudah memberi apa yang terbaik yang
ada pada kami ketika ini. Dan sebaiknya kau ingat pula anakku, kami tidak berdiri sendiri.
Ayah dan ibumu bukan berdua saja mendiami sebuah pulau. Banyak memang orang
berkata, anakku, bahwa kita manusia dilahirkan dalam keadaan yang sama. Semua kita
dilahirkan dalam keadaan telanjang bulat ke dunia ini. Tetapi mereka lupa bahwa kita tidak
disambut oleh keadaan yang serupa bahkan tidak jarang orang kesempatan yang tidak
sama. Kita tidak disambut oleh selimut yang sama tebalnya, tidak disambut oleh popok yang
sama baiknya, tidak diterima oleh rumah sakit yang sama mahalnya, dan susu yang sama
manisnya.
Semoga demikian pula ketetapan hatimu atas anak-anakmu, anakku, dan anak-
anakmu kepada anak-anak mereka dan seterusnya. Orang tua sebenarnya hanyalah
penanam benih dan anak-anak mereka lah yang tumbuh dan berdaun serta berkembang.
Berdirilah kau di pundak Ayah dan ibumu anakku, jangan kau lah cita-citamu dengan
harapan kami orang tuamu serta sediakan bahumu jadi tempat bertopang anak-anakmu
untuk meraih cita-cita mereka jadi manusia yang baik serta berguna untuk kebaikan. Setiap
orang tua haruslah berdoa dan berusaha agar kebaikan saja yang melingkungi anak-
anaknya, menjadi bumi tempatnya berpijak, langit yang menaunginya, di kiri kanan, depan
belakangnya.
Kau harus berusaha, anakku, kelak anak-anakmu keadaannya lebih baik dan kau seperti juga
kami setelah berusaha demikian padamu, seperti juga kakek-kakek mu terhadap kami. Ayah
bapak seorang sopir, anakku, jabatan yang dilihat dengan sebelah mata oleh orang-orang
semasa Ayah muda. Ayah bangga kepadanya karena beliau telah sanggup menaikkan Ayah
anaknya ke tingkat yang lebih terpandang di mata orang di zaman itu dan ayah bangga
kepada apa yang telah ayah capai justru Ayah cuma anak seorang sopir. Barangkali kalau
ayah anak seorang kepala jawatan atau bupati yang tidak perlu berhemat hemat isi perut
dan pakaian untuk membiayai pendidikan anaknya, tidak sebesar ini kebanggaan ayah. Ayah
bangga pula karena apa yang telah disusukan ke mulut Ayah, apa yang disuapkan ke perut
ayah oleh kakekmu bukan hasil ketidakjujuran.

Menjelang kelahiran mu, anakku, Ayah berusaha sekuat tenaga untuk mengumpulkan
segala kebutuhanmu dan keperluan ibumu. Dari sebulan ke sebulan kami kumpulkan, sedikit
demi sedikit. Begitu banyaknya yang harus disediakan: pembayar dokter, popok popok,
gurita gurita, baju dalam baju luar, bedong, selimut dan ah banyak lagi. Dan nenek serta
kakek dari pihak ibumu yang telah menjemput kami menjaga ibu mu dengan ketelitiannya
dan penuh kasih sayang, barangkali karena bukan saja bagi ayah kau akan lahir sebagai anak
pertama, tetapi dari pihak kakekmu dan ibu kau juga akan lahir sebagai cucu pertama.
Tetapi betapa Ayah percaya pada diri sendiri, bahwa ayah akan sanggup memenuhi segala
keperluanmu walaupun ternyata kemudian tidak juga semua. Ayah berkata kepada ibumu: "
Bila perlu potong-potong lah kain sarung ku untuk popoknya, gunting-gunting lah bajuku
untuk pakaiannya ". Kami memang tidak punya apa-apa, anakku, tidak punya apa-apa dalam
arti sebenarnya. Atap tempat kami bernaung pun atap rumah tinggal kakekmu. Meja makan
tempat kami makan pun adalah meja kakekmu. Yang ada pada Kami cuma harapan,
kesediaan untuk bekerja sekuat tenaga, kesediaan menderita dan penyerahan kepada
putusan yang Maha Kuasa.
Ya, anakku, bagi Ayah dan ibumu ketika itu dan sekarang juga, anak adalah segala
Kerinduan, anak adalah segala sarapan. Semoga kau dan adik adikmu, anakku, kalau yang
Maha Kuasa, mengaruniakan mereka kepada kami, tidak mengalami pengalaman-
pengalaman buruk yang telah ayah dan ibu alami, Sebaliknya juga mengecap segala
kelegaan yang telah kami rasakan bahkan lebih dari itu hendaknya. Bermacam gambaran
yang dilahirkan oleh Kerinduan dan harapan datang ke mata Ayah dan ibumu Bila kami
sudah berbaring di ranjang malam-malam. Bayangan-bayangan kehebatan yang kami
harapkan melengkapi dirimu bila kau sudah besar yang diwarnai oleh mimpi-mimpi indah
Ayah dan ibumu. Bukankah impian juga perlu? Impian juga bisa menjadi landasan untuk
segala usaha, anakku.
Kalau kami lihat gambar Jendral yang gagah di surat-surat kabar, kami mimpikan kau jadi
jenderal, Kalau kami ingat keenakan orang-orang yang diberi oleh kesempatan waktu untuk
melihat-lihat negeri lain, kami Inginkan kau jadi seorang duta besar yang memang besar.
Kalau kami mendapat pengalaman-pengalaman yang kurang menyenangkan ketika
berhadapan dengan dokter atau ibumu sakit, kami Inginkan kau jadi dokter, kalau Ayah
ingat jembatan jembatan rusak di daerah kelahiran ayah yang dilupakan pula oleh waktu
ayah inginkan kau jadi insinyur. Kalau kami ingat kehebatan presiden dan kekuasaan yang
ada pada jabatan jabatan seperti itu kau mimpikan kau jadi presiden, kalau kami dengan
pembicaraan orang tentang anak yang pandai dan biji rapotnya baik-baik, kami mimpikan
kau lebih pandai dari dia, Kalau kami dengar ada anak kecil yang berusaha mengembalikan
dompet yang ditemukannya di jalan kepada pemiliknya kami Inginkan kau lah itu.
Laki-laki atau perempuan? Ayah mengatakan bahwa kalau kau laki-laki kau akan bisa cepat-
cepat membantu adik adikmu, Semoga Tuhan mengaruniai kami dengan mereka, karena
Ayah pun akan segera bertambah tua, anakku. Ibu mengatakan kalau perempuan kau cepat
bisa membantu ibumu karena ibumu pun akan segera tua dan banyak kehilangan tenaga
untuk mengurus rumah tangga dan adik-adikmu. Ah, memang sebetulnya lebih baik kalau
sekiranya kau dilahirkan bersaudara kembar, Kembar dua, lelaki dan perempuan. Tetapi
akhirnya sadar juga kami: segala yang harus kami sediakan tentunya harus dilipatkan dua
pula jumlahnya. Dan kami menyerah juga lelaki atau perempuan sama baiknya. Kata ibu
mau: " Yang penting dia selamat dan dia anak kita " . Kami berdoa dan berdoa. Kita memang
tidak boleh menyerah. Kepada nasib kepada apapun kecuali kepadaNya.
" eh, dia akan berbahasa apa nanti ", tanya kakekmu dengan tertawa.
Ayah dan ibumu berlainan suku dan masing-masing dibesarkan dengan bahasa daerah
sendiri sendiri. Sehari-hari Ayah dan ibumu berbahasa Indonesia.
" dia akan berbahasa daerah kita ", kata ibu mu menunjuk bahasa daerahnya, " karena anak
kecil biasanya lebih dekat kepada ibunya apalagi tinggalnya di daerah ini pula ".
" atau bahasa Indonesia ", kata kakekmu.
" bahasa apa saja asal dia tidak bisu ", kata ayah.

Dari bulan ke bulan kandungan Ibu mau bertambah besar juga. Akhirnya suatu pagi ibumu
mengaduh-ngaduh kesakitan sambil Memegang perutnya. Ibumu seperti ingin membanting-
banting dirinya sambil menangis tersedu-sedu Ayah cemas juga.
“Mengapa kau?” tanya ayah dengan gugup.
“Sakit....”, sahut ibumu tertahan-tahan oleh kesakitan.
“Mana yang sakit”
“Semuanya.......”
Tertegun juga ayah. Hari masih gelap.
Bidan mau lahir barangkali, kata ayah.
“Entahlah, sahut ibumu dalam kesakitannya dengan gigi terkatup dan muka meringis.
“Kapan aku belum pernah melahirkan”.
Repot juga ayah
“sudah waktunya”, kata nenekmu yang ayah panggil. Cepat masukan barang-barangnya ke
dalam koper dan panggil becak. Jangan lupa popok-popoknya dan obat-obatnya”.
Ayah sibuk dan kakekmu demikian pula tetapi terlihat juga kegugupan beliau karena
perintahnya tidak berketentuan lagi. Kami bawa ibumu ke bidan tempat ibumu selalu
memeriksakan kandungannya.
Ayah gelisah menunggu di luar. Nenekmu menjaga ibumu dalam kamar bersama bidan yang
tenang-tenang saja keluar-masuk dan ayah jengkel melihat keterangannya itu. Waktu
betapa panjang dan menggelisahkan dalam keadaan demikian itu, lebih-lebih setelah ayah
dengar pekikan ibumu. Dan bidan itu, iya keluar masuk dengan tenang-tenang saja sambil
sekali-kali melemparkan senyumnya kepada ayah. Dari kamar-kamar sebelah terdengar bayi
menangis. Tiga empat bayi suaranya. Apakah ibumu akan selamat? Apakah kandungannya
akan lahir dengan selamat sehat dan sempurna? Ayah berusaha memusatkan pikiran untuk
berdoa. Tiga empat bayi terdengar suaranya menjerit-jerit. Merokok cuma merepotkan saja.
lalu tiba-tiba keluar nenekmu.
" sudah lahir " kata beliau
" laki-laki ", beliau tersenyum.
" selamat? " tanya ayah.
" selamat ".
" sudah lahir? "
" sudah ",
" Alhamdulillah ", musik ayah.
" setengah sebelas tadi ".
Setengah sebelas. Ayah ingat hari itu tanggal 22 Mei 1963, hari Rabu, 10.30. tanggal 22 Mei
1963 hari Rabu. Hari Rabu tanggal 22 Mei 1963. Jam 10.30.
Tahun 1963, bulan Mei tanggal 22 haduh. Ayah meregangkan tubuh. Hari Rabu jam 10.30.
Sebentar kemudian Ayah dipanggil masuk.
Kecil kau, anakku, dan merah. Nenekmu memungut kau Dari ranjang lalu diserahkannya ke
dalam gendongan ayah. Matamu memandang muka Ayah ke atap, ke kanan dan ke kiri.
Ayah tidak sanggup berkata-kata. " senang ya! " kata bidan yang sudah berumur itu.
Ayah diam saja
" sekarang sudah jadi bapak "
Ayah diam juga.
" kelahiran anak pertama kali pak ", katanya lagi.
Ayah masih tidak sanggup berkata-kata.
Kemudian Ayah berpaling ke arah ibumu. Ibumu terbaring di ranjang. Pucat pasi tetapi
tersenyum pula.
" beratnya tiga kilo duapuluh " kata nenekmu.
" tiga kilo duapuluh itu termasuk besar, kata dia " kata bidan itu.
" rambutnya panjang ", kata ayah.
" panjangnya lima puluh lima centi ", kata nenekmu.
" mukanya mirip Papinya saja ", tambah bidan itu.
" lahirnya lancar ", kata nenekmu " jadi kepalanya baik panjang ke atas ".
" sekarang cari saja nama " kata bidan kau itu.
" merah ", kata ayah dan ayah ingat kata ibumu waktu lahirnya putih besarnya dia hitam,
kalau merah kulitnya akan jadi putih.
Ayah tersenyum saja dan tersenyum.
Bidan itu keluar dan nenek pun keluar.
" tidak apa-apa? " kepada ibumu setelah pintu mereka rapatkan.
Ibumu menggeleng.
" sakitnya luar biasa ", kata ibumu. " waktu lahirnya tidak seberapa. Tetapi mulesnya
sebelum itu setengah mati sakitnya. Barangkali Dia sedang mencari-cari jalannya keluar ". "
aku dengar kau memekik ", kata ayah. " terdengar dari luar? " " ya".
" sakitnya Setengah Mati ",
"laki-laki", kata ayah.
Ibumu tersenyum. "katanya kalau laki-laki lahirnya lancar ".
" dahinya lebar ", kata ayah sambil menatap mukamu anakku, " pandai anak ini rupanya ",
ibumu tersenyum. " Badannya masih bengkak ", kata ibumu " kalau sudah kena angin nanti
kempes lagi ". " putih Rupanya nanti ", " hitam barangkali ". " ah"
"Mengapa pula kalau dia memang hitam?"
Ayah tertawa karena memang tidak apa-apa.
" badannya berbulu ", kata ayah.
" biasa".
" masih sakit? ". "sedikit. Perut yang masih mules ",
Ibumu terbaring di ranjang tidak bergerak karena memang begitulah perintah bidan.
Setelah nenekmu masuk ayah serahkan kau ke dalam gendongan beliau dan ayah terus
keluar. Kakek perlu segera di beritahu. Ayah berlari lari keluar dan naik ke becak tanpa
ditawar.
Masih Berapa meter jarak kami, kakekmu yang rupanya sengaja menunggu di depan rumah
sudah berteriak:
"bagaimana?,"
"sudah".
" sudah lahir? "
"sudah".
" apa ? ".
" laki-laki".
"Laki-laki?".
" laki-laki".
"Selamat?" tanya kakekmu sambil tersenyum.
"Selamat"
"Kita ke sana dahulu".
Pada langkahnya, pada wajahnya, pada kopiahnya yang tidak sempat dibenarkan letaknya,
pada bajunya yang tidak teringat untuk dikancingkan terbayang kelegaan dan kesenangan
beliau. Kau adalah cucu pertama kakek dari ibumu, anakku, dan laki-laki pula seperti
harapan beliau.
" sudah diadzankan?" tanya kakekmu.
"Sudah".
Ayah sampai lupa makan, anakku. Padahal dari pagi tidak setetespun air, tidak sebutirpun
nasi masuk kekerongkongan ayah. Sampai sore ayah berkeliling ke rumah paman-paman,
bibi-bibi, dan uwa-uwa ibumu dan memasukkan kawat mengabarkan kelahiranmu kepada
kakekmu dari pihak ayah. Sorenya ayah kembali lagi menjenguk kau dan ibumu dan ayah
seperti tidak jemu-jemunya memandang kalian.

Begitulah, anakku, lalu Ayah dan ibumu menamakan kau Fajar yang ayah Sambungkan
dengan nama ayah, nama yang jauh sebelum kau hadir dalam rahim ibumu sudah Ayah dan
ibumu sediakan, dengan harapan semoga kau akan membawa Fajar ke tengah kehidupan
orang tuamu dan seluruh keluarga, semoga kau akan selalu jadi Fajar di tengah kegelapan
dimanapun juga. Semoga kau akan selalu membawa cahaya kepercayaan dan keyakinan kau
anakku.
Ah, betapa rakusnya kau menetek, anakku. Kau seperti tidak pernah kenyang-kenyang dan
ibumu berkata bahwa kalau anak perempuan meneteknya jauh lebih sedikit. Betapa
rakusnya kau. Kerakusan yang menggelikan dan juga menggembirakan, sebab ayah dan
ibumu ingin kau sehat dan cepat-cepat besar. Tapi kau tahu, anakku? Setiap kali
menetekkan kau ibumu menangis tersedu-sedu kesakitan. Dengan gusimu yang belun
bergigi dihari-hari pertama itu, kau telah menggigit bulatan pelindung mata susu ibumu.
Betapa tersiksa, anakku. Tetapi kadang-kadang dalam menahan kesakitan itu juga ibumu
tersenyum melihat matamu yang besar memanjang wajahnya walaupun sebenarnya pada
hari-hari itu matamu belum melihat. Ah, betapa lucunya kau. Betapa menggembirakan kami
melihat tindak-tandukmu. Semuanya kami beri arti. Segalanya kami pandang punya maksud
karena kau sendiri belum bisa mengatakan sendiri belum bisa mengatakannya selain dengan
tangismu.
Satu bulan usiamu, anakku, beratmu bertambah jadi empat setengah kilo. Semua orang
mengatakan kau gemuk dan sehat. Dua bulan usiamu timbangan mu bertambah lagi. Lima
setengah kilo. Kau bertambah gemuk lagi. Tapi ayah dan ibumu bertambah kurus karena
malam hari kau rewelnya setengah mati. Kau selalu bangun malam hari dan membuat ayah
dan ibumu mengalami kurang tidur. Beberapa perubahan yang terjadi pada dirimu selalu
membuat kami kawatir karena kami takut kau sakit, anakku. Dan nenekmu selalu
menawarinya dengan berkata:"Ah, tidak apa-apa. Bayi memang biasa begitu". Begitu
banyak pengorbanan ibumu, anakku, karena itu ayah harapkan dari kau dan adik-adikmu
untuk tidak pernah melupakan ibumu.
Tapi bagaimanapun kami gembira, anakku, ayah dan ibumu gembira serta bangga. Sejak hari
itu, anakku, milik ayah yang terdekat: ibumu dan kau milik ibumu yang terdekat: ayah dan
kau anaknya.
Pesan ayah yang terakhir, anakku, jadilah kau orang besar, orang besar yang betul2 besar,
karena orang setengah-setengah biasanya malah menjadi air segala macam kesulitan bagi
orang lain. Sekianlah anakku. Cepatlah besar...

Anda mungkin juga menyukai