Anda di halaman 1dari 6

BAGIAN AWAL

Cemas cemas harap, cemas cemas harap, begitulah rasa hati ayah dan ibumu ketika itu anakku.
Terhapus rasanya segala keringat oleh kerinduan, tertawar segala kecemasan oleh harapan.
Tetapi harapan dan kerinduan itu pula yang mendatangkan kecemasan. Semuanya berbaur
dalam hati ayah ibumu ketika itu anakku, berselang-seling dengan keinginan dan impian serta
doa. Ketika itu kau sudah 6 bulan dalam kandungan ibumu. Setahun lebih sebelum itu
kandungan ibumu sudah 4 bulan usianya ketika itu ibu terpeleset di kamar mandi dan perutnya
terantuk ke sudut bak. Rahim ibumu tergoncang karenanya. Pulang balik Ayah dan ibumu ke
dokter, anakku. Tetapi pendarahan ibumu tidak juga dapat dihentikan bukan main menderita,
anakku. Ibumu mengaduh sepanjang hari dan ingin membanting-banting diri kesakitan. Dan
akhirnya dalam keadaan sudah pucat pasi serta lemah sekali karena sudah banyak kehilangan
darah ibumu Ayah bawa ke rumah sakit. Dan betapa terkejutnya ayah ketika dokter yang
memeriksa keadaan ibumu berkata: “sayang terlambat. Kalau sekiranya dua tiga hari setelah
mulai pendarahan itu dibawa kemari masih tertolong. Tetapi sekarang kandungannya terpaksa
harus digugurkan untuk menolong ibunya. Sediakan saja Donor barangkali diperlukan”. Ayah
tidak tahu kemana makian ayah hendak ayah lontarkan. Apakah kepada diri kami yang tidak
tahu apa-apa karena tidak punya pengalaman, justru jauh pula dari orang tua? Atau kepada
tetangga-tetangga kami yang tidak merelakan waktunya untuk memberi petunjuk atau justru
karena masing-masing mereka yang keliru? Ataukah kepada dokter yang kami datangi sebelum
itu tidak juga memberitahukan kepada ayah dan ibumu betapa bahayanya sudah keadaaan dan
tidak sanggup menyelamatkan kandungan ibumu? Padahal pendarahan sampai berlangsung
seminggu. Ataukah ke langit yang biasa ditunjuk-tunjuk orang, kepada yang menciptakan dan
kuasa mematikan benih di rahim ibumu itu? Ibumu terpaksa dioperasi dan menginap di rumah
sakit selama seminggu.

BAGIAN TENGAH

Dari bulan ke bulan kandungan Ibu mau bertambah besar juga. Akhirnya suatu pagi ibumu
mengaduh-ngaduh kesakitan sambil Memegang perutnya. Ibumu seperti ingin membanting-
banting dirinya sambil menangis tersedu-sedu Ayah cemas juga.
“Mengapa kau?” tanya ayah dengan gugup.
“Sakit....”, sahut ibumu tertahan-tahan oleh kesakitan.
“Mana yang sakit”
“Semuanya.......”
Tertegun juga ayah. Hari masih gelap.
Bidan mau lahir barangkali, kata ayah.
“Entahlah, sahut ibumu dalam kesakitannya dengan gigi terkatup dan muka meringis.
“Kapan aku belum pernah melahirkan”.
Repot juga ayah
“sudah waktunya”, kata nenekmu yang ayah panggil. Cepat masukan barang-barangnya ke
dalam koper dan panggil becak. Jangan lupa popok-popoknya dan obat-obatnya”.
Ayah sibuk dan kakekmu demikian pula tetapi terlihat juga kegugupan beliau karena
perintahnya tidak berketentuan lagi. Kami bawa ibumu ke bidan tempat ibumu selalu
memeriksakan kandungannya.
Ayah gelisah menunggu di luar. Nenekmu menjaga ibumu dalam kamar bersama bidan yang
tenang-tenang saja keluar-masuk dan ayah jengkel melihat keterangannya itu. Waktu betapa
panjang dan menggelisahkan dalam keadaan demikian itu, lebih-lebih setelah ayah dengar
pekikan ibumu. Dan bidan itu, iya keluar masuk dengan tenang-tenang saja sambil sekali-kali
melemparkan senyumnya kepada ayah. Dari kamar-kamar sebelah terdengar bayi menangis.
Tiga empat bayi suaranya. Apakah ibumu akan selamat? Apakah kandungannya akan lahir
dengan selamat sehat dan sempurna? Ayah berusaha memusatkan pikiran untuk berdoa. Tiga
empat bayi terdengar suaranya menjerit-jerit. Merokok cuma merepotkan saja. lalu tiba-tiba
keluar nenekmu.
" sudah lahir " kata beliau
" laki-laki ", beliau tersenyum.
" selamat? " tanya ayah.
" selamat ".
" sudah lahir? "
" sudah ",
" Alhamdulillah ", musik ayah.
" setengah sebelas tadi ".
Setengah sebelas. Ayah ingat hari itu tanggal 22 Mei 1963, hari Rabu, 10.30. tanggal 22 Mei
1963 hari Rabu. Hari Rabu tanggal 22 Mei 1963. Jam 10.30.
Tahun 1963, bulan Mei tanggal 22 haduh. Ayah meregangkan tubuh. Hari Rabu jam 10.30.
Sebentar kemudian Ayah dipanggil masuk.
Kecil kau, anakku, dan merah. Nenekmu memungut kau Dari ranjang lalu diserahkannya ke
dalam gendongan ayah. Matamu memandang muka Ayah ke atap, ke kanan dan ke kiri. Ayah
tidak sanggup berkata-kata. " senang ya! " kata bidan yang sudah berumur itu.
Ayah diam saja
" sekarang sudah jadi bapak "
Ayah diam juga.
" kelahiran anak pertama kali pak ", katanya lagi.
Ayah masih tidak sanggup berkata-kata.
Kemudian Ayah berpaling ke arah ibumu. Ibumu terbaring di ranjang. Pucat pasi tetapi
tersenyum pula.
" beratnya tiga kilo duapuluh " kata nenekmu.
" tiga kilo duapuluh itu termasuk besar, kata dia " kata bidan itu.
" rambutnya panjang ", kata ayah.
" panjangnya lima puluh lima centi ", kata nenekmu.
" mukanya mirip Papinya saja ", tambah bidan itu.
" lahirnya lancar ", kata nenekmu " jadi kepalanya baik panjang ke atas ".
" sekarang cari saja nama " kata bidan kau itu.
" merah ", kata ayah dan ayah ingat kata ibumu waktu lahirnya putih besarnya dia hitam, kalau
merah kulitnya akan jadi putih.
Ayah tersenyum saja dan tersenyum.
Bidan itu keluar dan nenek pun keluar.
" tidak apa-apa? " kepada ibumu setelah pintu mereka rapatkan.
Ibumu menggeleng.
" sakitnya luar biasa ", kata ibumu. " waktu lahirnya tidak seberapa. Tetapi mulesnya sebelum
itu setengah mati sakitnya. Barangkali Dia sedang mencari-cari jalannya keluar ". " aku dengar
kau memekik ", kata ayah. " terdengar dari luar? " " ya".
" sakitnya Setengah Mati ",
"laki-laki", kata ayah.
Ibumu tersenyum. "katanya kalau laki-laki lahirnya lancar ".
" dahinya lebar ", kata ayah sambil menatap mukamu anakku, " pandai anak ini rupanya ",
ibumu tersenyum. " Badannya masih bengkak ", kata ibumu " kalau sudah kena angin nanti
kempes lagi ". " putih Rupanya nanti ", " hitam barangkali ". " ah"
"Mengapa pula kalau dia memang hitam?"
Ayah tertawa karena memang tidak apa-apa.
" badannya berbulu ", kata ayah.
" biasa".
" masih sakit? ". "sedikit. Perut yang masih mules ",
Ibumu terbaring di ranjang tidak bergerak karena memang begitulah perintah bidan.
Setelah nenekmu masuk ayah serahkan kau ke dalam gendongan beliau dan ayah terus keluar.
Kakek perlu segera di beritahu. Ayah berlari lari keluar dan naik ke becak tanpa ditawar.
Masih Berapa meter jarak kami, kakekmu yang rupanya sengaja menunggu di depan rumah
sudah berteriak:
"bagaimana?,"
"sudah".
" sudah lahir? "
"sudah".
" apa ? ".
" laki-laki".
"Laki-laki?".
" laki-laki".
"Selamat?" tanya kakekmu sambil tersenyum.
"Selamat"
"Kita ke sana dahulu".
Pada langkahnya, pada wajahnya, pada kopiahnya yang tidak sempat dibenarkan letaknya,
pada bajunya yang tidak teringat untuk dikancingkan terbayang kelegaan dan kesenangan
beliau. Kau adalah cucu pertama kakek dari ibumu, anakku, dan laki-laki pula seperti harapan
beliau.
" sudah diadzankan?" tanya kakekmu.
"Sudah".
Ayah sampai lupa makan, anakku. Padahal dari pagi tidak setetespun air, tidak sebutirpun nasi
masuk kekerongkongan ayah. Sampai sore ayah berkeliling ke rumah paman-paman, bibi-bibi,
dan uwa-uwa ibumu dan memasukkan kawat mengabarkan kelahiranmu kepada kakekmu dari
pihak ayah. Sorenya ayah kembali lagi menjenguk kau dan ibumu dan ayah seperti tidak jemu-
jemunya memandang kalian.
BAGIAN AKHIR

Begitulah, anakku, lalu Ayah dan ibumu menamakan kau Fajar yang ayah Sambungkan dengan
nama ayah, nama yang jauh sebelum kau hadir dalam rahim ibumu sudah Ayah dan ibumu
sediakan, dengan harapan semoga kau akan membawa Fajar ke tengah kehidupan orang tuamu
dan seluruh keluarga, semoga kau akan selalu jadi Fajar di tengah kegelapan dimanapun juga.
Semoga kau akan selalu membawa cahaya kepercayaan dan keyakinan kau anakku.
Ah, betapa rakusnya kau menetek, anakku. Kau seperti tidak pernah kenyang-kenyang dan
ibumu berkata bahwa kalau anak perempuan meneteknya jauh lebih sedikit. Betapa rakusnya
kau. Kerakusan yang menggelikan dan juga menggembirakan, sebab ayah dan ibumu ingin kau
sehat dan cepat-cepat besar. Tapi kau tahu, anakku? Setiap kali menetekkan kau ibumu
menangis tersedu-sedu kesakitan. Dengan gusimu yang belun bergigi dihari-hari pertama itu,
kau telah menggigit bulatan pelindung mata susu ibumu. Betapa tersiksa, anakku. Tetapi
kadang-kadang dalam menahan kesakitan itu juga ibumu tersenyum melihat matamu yang
besar memanjang wajahnya walaupun sebenarnya pada hari-hari itu matamu belum melihat.
Ah, betapa lucunya kau. Betapa menggembirakan kami melihat tindak-tandukmu. Semuanya
kami beri arti. Segalanya kami pandang punya maksud karena kau sendiri belum bisa
mengatakan sendiri belum bisa mengatakannya selain dengan tangismu.
Satu bulan usiamu, anakku, beratmu bertambah jadi empat setengah kilo. Semua orang
mengatakan kau gemuk dan sehat. Dua bulan usiamu timbangan mu bertambah lagi. Lima
setengah kilo. Kau bertambah gemuk lagi. Tapi ayah dan ibumu bertambah kurus karena malam
hari kau rewelnya setengah mati. Kau selalu bangun malam hari dan membuat ayah dan ibumu
mengalami kurang tidur. Beberapa perubahan yang terjadi pada dirimu selalu membuat kami
kawatir karena kami takut kau sakit, anakku. Dan nenekmu selalu menawarinya dengan
berkata:"Ah, tidak apa-apa. Bayi memang biasa begitu". Begitu banyak pengorbanan ibumu,
anakku, karena itu ayah harapkan dari kau dan adik-adikmu untuk tidak pernah melupakan
ibumu.
Tapi bagaimanapun kami gembira, anakku, ayah dan ibumu gembira serta bangga. Sejak hari
itu, anakku, milik ayah yang terdekat: ibumu dan kau milik ibumu yang terdekat: ayah dan kau
anaknya.
Pesan ayah yang terakhir, anakku, jadilah kau orang besar, orang besar yang betul2 besar,
karena orang setengah-setengah biasanya malah menjadi air segala macam kesulitan bagi
orang lain. Sekianlah anakku. Cepatlah besar...
Transformasi Bagian Awal

Mempunyai keluarga yang utuh pastilah impian semua orang, apalagi aku. Ya, aku sangat
ingin mempunyai keluarga yang utuh seperti teman-temanku. Aku selalu iri ketika
melihat mereka bermain dan jalan-jalan bersama kedua orangtuanya. Tapi, apalah dayaku
yang hanya bisa berkhayal. Kedua orangtuaku telah bercerai 7 tahun yang lalu tepat
ketika aku berusia 8 tahun. Yang aku tahu, ibuku tidak tahan dengan sikap ayah yang
selalu menyalahkan ibu atas apa yang terjadi pada anak-anaknya.
Ya, aku adalah anak kedua dari dua bersaudara. Aku mempunyai kakak laki-laki yang
bernama Ridwan dan dia hanya 2 tahun lebih tua di atas usiaku sekarang.
Dulu ketika orangtuaku belum bercerai, aku dan kakak aku sangat nakal, kami tidak
pernah menuruti apa yang diperintahkan ayah dan juga ibu. Kami sangat keras kepala dan
jika tidak dituruti kami akan menangis sekeras-kerasnya dan akhirnya membuat ibu yang
tidak pernah bisa melihat anaknya menangis langsung mengizinkan sehingga membuat
ayah marah karena ibu selalu memanjakan anaknya. Ibuku tidak salah ia hanya ingin
membahagiakan anak-anaknya tapi ayahku juga tidak bersalah karena ia hanya khawatir
dan sangat takut kehilangan anak-anaknya. Yang salah di sini adalah kami, kami yang
keras kepala ddan tidak mau menuruti apa perkataan mereka. Kami berjanji akan berubah
menjadi anak yang baik tapi sia-sia keputusan ibu sudah bulat ia ingin bercerai dengan
ayah.

Transformasi Bagian Tengah

Setelah perceraian, akupun ikut dengan ibu dan kakakku ikut dengan ayah. Karena aku
anak perempuan dan aku tidak ingin berpisah dengan ibu jadi aku memilih ikut dengan
ibu. Sebenarnya kakakku juga ingin ikut dengan ibu, tapi ia kasihan dengan ayah yang
paasti akan sangat kesepian dan akhirnya iapun memilih ikut dengan ayah. Aku menangis
ketika melihat Ayah dan kakak pergi dari rumah. aku pasti akan sangat merindukan
mereka.
Sudah 7 tahun berlalu dan sekarang usiaku tepat 15 tahun dan sudaah memasuki bangku
SMA. Dalam 7 tahun itu, ayah sangat jarang menemui kami, ia terlalu sibuk bekerja
sehingga membuat kakak selalu kesepian dan membuat ia sering ke main ke rumah tanpa
sepengatahuan ayah, karena jika ayah tahu ia pasti marah.

Dan tanpa sepengetahuan kami, tiba-tiba ayah datang ke rumah ibu dengan muka yang
kesal dan marah. Iapun kaget ketika melihat kakak. Tapi bukan itu sebenarnya tujuan
ayah datang ke rumah ibu. Ia marah dan menuduh aku yang tidak-tidak. Ayah sangat
marah ketika ia melihat foto dari temannya yang menunjukan aku sedang bersama teman-
teman masuk ke sebuah kafe pada saat malam hari. Ayah menyalahkan ibu karena
membiarkan anak perempuan bermain malam-malam.
Tapi itu semua salah paham, aku mencoba menjelaskan bahwa aku sedang ada tugas
kelompok yang harus diselesaikan. Dan di sana aku tidak sendirian, krena ibu juga ikut
denganku dan dia hanya menunggu di mobil. Ayah tidak berkata apa-apa, ia rasanya
malu sendiri dan ia beralih dengan pertanyaan yang membuat kakaku tersudut. Ia
menanyakan kenapa kakak pergi ke rumah ibu tanpa sepengetahuan ayah. Dan ibu
langsung menjawabnya dengan tegas karena ayah selalu sibuk bekerja dan membuat
kakak kesepian. Ibu berkata bahwa ayah tidak pernah mengerti perasaan anak-anaknya.
Dan ayahpun langsung pergi dari rumah ibu.

Transfomasi Bagian akhir

Mendidik anak memang tidak mudah, tapi adakalanya orangtua harus mengerti perasan
anak-anak, adakalanya orangtua juga harus bersikap lembut tehadap anak-anak dan
memberikan mereka kepercayaan, karena sikap anak-anak tergantung dengan sikap
orangtuanya.
Sekarang ayah bisa mengerti ia mulai berubah dan ia selalu menyempatkan untuk datang
ke rumah ibu setiap minggu, bermain dan juga jalan-jalan bersama seperti yang lain. Aku
sangat bahagia dan brharap ayah dan ibu akan rujuk kembali.

Anda mungkin juga menyukai