Anda di halaman 1dari 50

PENOLAKAN TERHADAP AGAMA ISLAM DALAM CERITA

LEGENDA “ASAL-USUL ALAS SINANG” DI INDRAMAYU

Penelitian
diajukan untuk memenuhi tugas pengganti UAS mata kuliah Tradisi Lisan
yang diampu oleh
Drs. Memen Durachman, M.Hum.
Yostiani Noor Asmi Harini, S.S, M.Hum.

oleh
Harry Handika
NIM 1802187

PROGRAM STUDI BAHASA DAN SASTRA INDONESIA


FAKULTAS BAHASA DAN SASTRA
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
2019

1
1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Legenda setempat yang dikaji pada penelitian ini adalah legenda “Asal-
usul Alas Sinang”, cerita tersebut merupakan legenda yang berkembang pada
masyarakat Indramayu bagian barat, yaitu sekitar wilayah kecamatan Cikedung,
kabupaten Indramayu. Legenda “Asal-usul Alas Sinang” digolongkan sebagai
legenda setempat karena berkaitan dengan tempat serta penamaan tempat yaitu
alas dalam bahasa Jawa berarti hutan.
Cerita legenda ini tidak sepopuler seperti legenda yang lain, dikarenakan
proses penyebarannya masih terbatas. Cerita tersebut mengisahkan tentang proses
islamisasi yang dilakukan oleh Ki Kuwu Sangkan beserta Laskar Islam terhadap
penduduk sekitar hutan Sinang yang berujung pada penolakan. Kemudian, karena
merasa kelakukan penduduk tersebut sudah melewati batas-batas adab
kemanusiaan, Ki Kuwu Sangkan menjadi murka dan mengutuk penduduk itu
menjadi siluman. Karena itu, hutan tersebut hingga saat ini diberi nama sebagai
hutan Sinang atau hutan Siluman.
Tipe cerita pada legenda “Asal-usul Alas Sinang” mirip dengan cerita
“Terbentuknya Gunung Tangkuban Perahu” atau “Asal-muasal Candi
Prambanan” pada latar belakang yang menyebabkan peristiwa kutukan itu terjadi,
yaitu sama-sama disebabkan karena kekesalan tokoh terhadap tokoh lain. Kedua
cerita tersebut memiliki kesamaan terhadap pola cerita yang menyebabkan akibat
terbentuknya nama/temnpat yang dikisahkan. Misalnya, pada cerita terbentuknya
gunung Tangkuban Perahu, berawal dari kisah Sangkuriang yang menginginkan
Dayang Sumbi menjadi pendamping hidupnya. Karena Dayang Sumbi
mengetahui bahwa Sangkuriang merupakan anaknya, ia meminta suatu syarat
untuk dibuatkan sebuah kapal yang sangat besar. Ketika Sangkuriang hampir
menyelesaikan permintaan itu, Dayang Sumbi memohon kepada Sang Hyang
Tunggal agar niat Sangkuriang tidak terlaksana. Dayang Sumbi lalu
membentangkan helai kain boeh rarang (kain putih hasil tenunannya) di atas
bukit di timur, sehingga kain putih itu tampak bercahaya bagai fajar yang merekah
di ufuk timur. Sementara itu ia pun berulang-ulang memukulkan alu ke lesung,

2
seolah-olah sedang menumbuk padi. Para guriang yang membantu Sangkuriang
pun menjadi ketakutan, dan akhirnya pergi. Lalu, karena kesal atas perlakuan
Dayang Sumbi, Sangkuriang menendang perahu tersebut dan terbalik membentuk
sebuah gunung yang dinamakan Gunung Tangkuban Perahu. Cerita tersebut tidak
jauh berbeda dengan cerita yang berkembang pada masyarakat Jawa Tengah dan
Yogyakarta, yaitu cerita Rorojonggrang yang dikutuk menjadi sebuah candi.
Persamaan cerita-cerita tersebut dengan legenda asal-usul alas Sinang
terletak pada kekesalan yang dialami salah satu tokoh terhadap tokoh lain sebagai
latar belakang utama yang menyebabkan penamaan tempat yang dikisahkan.
Kekesalan tokoh tersebut tecermin pada dialog:
“Lamon mengkonon sira kabeh pada karo Sinang. Sira kabeh wis ora
eman ning awake dewek, mulai sekiyen sira kabeh ora garep melu campur
maning karo menusa.”
Pada dialog tersebut terdapat ungkapan kekesalan tokoh Ki Kuwu
Sangkan terhadap penduduk. Kemudian Ki Kuwu Sangkan tersebut mengeluarkan
kata-kata kutukan sehingga penduduk berubah menjadi siluman.

Terjemahan

“Kalau begitu kalian semua adalah sama dengan sinang, kamu semua
berarti tidak sayang terhadap diri sendiri, mulai saat ini kalian tidak akan
campur lagi dengan manusia”. 
Lalu, kemurkaan dan kekesalan tokoh yang berujung pada pengutukan terdapat
pada narasi berikut:
Seuwise ngucapaken omongan mau, Ki Kuwu Sangkan balik maning meng
Cerbon, sebalike meng Cerbon, desa mau dadi alas lan uwonge dadi siluman.
Alas mau diarani alas Sinang. Uwong-uwong sing liwat atawa ngunjungi alas
kuen, kadang-kadang ngerungu suara wong sing lagi bebek pari, suara ayam
sing laka wujude, lan kejadian aneh sejene.

Terjemahan

Setelah mengucapkan kata-kata itu Ki Kuwu Sangkan pulang kembali ke


Cirebon, selama pergi ke Cirebon, desa tadi menjadi hutan dan orangnya
menjadi siluman. Hutan tersebut akhirnya dinamakan alas Sinang atau hutan

3
Sinang. Orang yang lewat atau mengunjungi hutan ini, kadang-kadang
mendengar suara orang yang sedang menumbuk padi, suara ayam tetapi tidak
ada wujudnya.
Pemilihan cerita pada penelitian ini karena cerita “Asal-usul Alas Sinang”
yang dipilih sebagai objek penelitian merupakan cerita yang belum banyak
diketahui oleh masyarakat luar, padahal cerita ini memiliki isi serta pola
penceritaan yang mirip dengan cerita legenda yang populer di nusantara.
Keunikan yang dihadirkan pada cerita ini terdapat juga pada peristiwa pengutukan
yang terjadi di akhir cerita. Peristiwa terseebut berbeda dengan cerita Islamisasi
lain di Indonesia yang biasanya disambut dengan baik.

Cerita ini memiliki latar belakang sebagai awal-mula islamisasi yang


dilakukan di wilayah Indramayu, dalam cerita tersebut dilakukan di wilayah
sekitar hutan. Proses islamisasi dalan cerita itu dilakukan oleh Ki Kuwu Sangkan,
yang merupakan seorang ulama dari daerah Cirebon bersama dengan para Laskar
Islam. Selain memiliki kesamaan tipe dengan beberapa cerita yang lebih dikenal,
“Asal-usul Alas Sinang” juga menarik karena sebagai cerita religius. Hal tersebut
tecermin pula pada bagian awal cerita:

Ning zaman bengen lagi agama Islam nembe nyebar ning Pulo Jawa,
ning waktu kuen Cerbon karo Dermayu wis diselametaken nang laskar Islam sing
dipimpin Ki Kuwu Sangkan. Ning sewijineng dina, lagi srengenge nembe
mancuraken sinare, lan rakyat sing ana ning pinggir alas kaya biasa saban dina
kerjae yaiku golati kayu bakar. Bocah-bocah lanang lan wadon kabeh meneng
ning genahe dewek-dewek ngerungu kabar yen musuh uwis teka.

Terjemahan

Pada zaman dahulu waktu agama Islam baru tersebar di Pulau Jawa,
pada waktu itu Cirebon dan Indramayu sudah diselamatkan oleh laskar Islam
yang dipimpin oleh Ki Kuwu Sangkan. Pada suatu hari di saat matahari baru
saja memancarkan sinarnya, dan rakyat yang berada di pinggir hutan
sebagaimana biasanya sehari-hari kerjaannya adalah mencari kayu bakar.
Sementara anak laki-laki dan perempuan semuanya tinggal di tempatnya masing-
masing karena mereka mendengar kabar musuh sudah datang. 

4
Cerita tersebut berbeda dengan cerita “Terbentuknya Gunung Tangkuban
Perahu” mamupun dengan “Asal-usul Candi Prambanan”. Meskipun memiliki
tipe cerita yang sama, tetapi konflik inti dalam cerita tersebut berbeda. Jika kedua
cerita sebelumnya mengisahkan tentang kisah percintaan, cerita “Asal-usul Alas
Sinang” mengisahkan tentang upaya Islamisasi yang berujung terhadap
penolakan. Maka dari itu, cerita ini mempunyai daya tarik yang cukup kuat untuk
dijadikan sebagai objek penelitian. Selain untuk memperluas penyebaran dan
pewarisannya, juga karena tipe dan konflik religius yang terkandung dalam
ceritanya.

Berkaitan dengan alasan mengapa objek cerita ini dipilih bahwa cerita ini
tergolong cerita yang kurang populer. Karena ketidakpopuleran dan kurangnya
penyebaran serta pewarisannya, maka sampai saat ini belum ada yang melakukan
penelitian tentang cerita ini. Cerita ini hanya sebatas ditranskripsikan sebagai arsip
warisan daerah, tetapi tidak diteliti lebih lanjut mengenai struktur ceritanya.

Penduduk sekitar lokasi cerita tersebut pun, tidak semuanya mengetahui


cerita ini secara utuh. Pewarisannya yang mulai melemah serta minat generasi
sekarang yang menurun drastis menjadi pemicu cerita ini seperti tidak terusus.
Penelitian ini dilakukan sebagai upaya agar cerita ini tidak ditinggalkan oleh
masyarakat pendukungnya.

Penelitian ini dilakukan di desa Tunggulpayung Blok 4, kecamatan Lelea,


kabupaten Indramayu. Cerita yang menjadi bahan penelitian berjenis legenda
setempat dengan judul "Asal-usul Alas Sinang". Penelitian ini menitikberatkan
cerita tuturan yang berkembang di daerah peneliti.

Lokasi terjadinya cerita berada di kecamatan Cikedung, berjarak sekitar 40


kilometer dengan tempat tinggal penutur dan peneliti. Penelitian ini menggunakan
metode observasi, peneliti langsung melakukan perekaman tuturan. Perekaman
tersebut menggunakan alat rekam pada telepon genggam merek Asus Zenfone Go.

1.2. Rumusan Masalah

a. Bagaimana penolakan terhadap agama Islam terkandung dalamstruktur


cerita “Asal-usul Alas Sinang”?

5
b. Bagaimana konteks penuturan dalam cerita “Asal-usul Alas Sinang”?

c. Bagaimana proses penciptaan cerita “Asal-usul Alas Sinang”?

d. Bagaimana proses pewarisan cerita “Asal-usul Alas Sinang”?

e. Apa fungsi cerita “Asal-usul Alas Sinang”?

f. Apa makna cerita “Asal-usul Alas Sinang”?

1.4 Pendekatan Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode observasi. Observasi merupakan


teknik pengumpulan data, di mana peneliti melakukan pengamatan secara
langsung ke objek penelitian untuk melihat dari dekat kegiatan yang dilakukan
(Ridwan, 2004 : 104). Peneliti melakukan perekaman cerita langsung ke daerah
asal cerita tersebut berkembang dan diwariskan.

Langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini sebagai berikut.


Pertama, melakukan perekaman cerita menggunakan ponsel. Setelah melakukan
perekaman, selanjutnya peneliti melakukan transkripsi. Bahasa yang digunakan
oleh penutur merupakan bahasa daerah, yaitu bahasa Jawa dialek Indramayu yang
digunakan oleh penutur dalam cerita “Asal-usul Alas Sinang”. Setelah melakukan
transkripsi cerita, peneliti melakukan transliterasi (alih bahasa) dari bahasa
Indramayu ke dalam bahasa Indonesia. Setelah dilakukan transkripsi dan
transliterasi cerita, selanjutnya dilakukan analisis struktur cerita yang meliputi
analisis struktur alur dan pengaluran, tokoh dan penokohan, latar, serta
penceritaan dalam cerita Asal-usul Alas Sinang.

1.5 Sistematika Pembahasan

Tulisan penelitian ini menggunakan sistematika sebagai berikut.

Bab 1 menjelaskan pendahuluan yang meliputi latar belakang, rumusan


masalah, tujuan penelitian, pendekatan penelitian, dan landasan teori. Pada bab 2
berisi analisis struktur cerita (alur dan pengaluran, tokoh dan penokohan, latar,
dan penceritaan), konteks penuturan, proses penciptaan, proses pewarisan, fungsi,
dan makna cerita tersebut. Bab 3 berisi simpulan beserta lampiran yang meliputi

6
transkripsi, transliterasi, biodata informan (penutur), dan biodata peneliti cerita
Asal-usul Alas Sinang.

7
2. ANALISIS DAN PEMBAHASAN

2.1 Struktur

Dalam menganalisis struktur cerita legenda "Asal-usul Alas Sinang"


menggunakan model Tzevetan Todorov, yaitu menganalisis struktur berdasarkan
tiga bagian. Sintaksis meliputi alur dan pengaluran. Semantik meliputi tokoh,
pengaluran dan latar, serta aspek pragmatik.

2.1.1 Alur dan Pengaluran

A. Alur

Alur merupakan unsur vital dalam sebuah cerita. Alur adalah cerita yang
berisi urutan kajian, namun tiap kajian itu hanya dihubungkan secara sebab-akibat
(Stanton, 1965 : 14). Dalam sebuah cerita, alur dibentuk oleh sebab-akibat atau
kausalitas yang menggerakkan peristiwa cerita. Setiap peristiwa yang terjadi pada
cerita didasari oleh peristiwa sebelumnya. Alur adalah peristiwa-peristiwa yang
mempunyai penekanan pada adanya hubungan kausalitas (Forster, 1970 : 93).Alur
merupakan kerangka dasar yang sangat penting. Alur mengatur bagaimana
tindakan-tindakan harus berkaitan satu sama lain. Bagaimana suatu peristiwa
mempunyai hubungan dengan peristiwa lain, bagaimana tokoh digambarkan dan
berperan dalam peristiwa tersebut semuanya terikat dalam suatu kesatuan waktu.

Alur tidak hanya dilihat dari jalan peristiwanya, alur lebih menekankan
pada urgensi kausalitas yang membentuk peristiwa tersebut. Di dalam alur, dapat
diidentifikasi struktur lain dalam cerita. Alur dapat memuat rangkaian peristiwa;
uraian konflik cerita: penggambaran watak tokoh; serta latar cerita tersebut.
Struktur cerita yang lain dapat dikaji melalui identifikasi alur terlebih dahulu.
Setelah alur dari sebuah cerita ditemukan titik terangnya, maka unsur-unsur cerita
yang lain pun akan lebih mudah untuk ditemukan.

Dalam cerita “Asal-usul Alas Sinang”, dapat diidentifikasi alur ceritanya


menggunakan identifikasi fungsi penggerak cerita sebagai kausalitas dari cerita
tersebut. Uraian fungsi penggerak dalam cerita bertujuan untuk mengetahui sebab-
akibat cerita berdasar peristiwa yang telah dinominakan. Fungsi utama dari cerita

8
“Asal-usul Alas Sinang” dapat diuraikan melalui urutan fungsi penggerak cerita
sebagai berikut.

1. Kepercayaan penduduk desa Amis yang belum memeluk Islam. (F.1)


2. Upaya Islamisasi penduduk wilayah desa Amis oleh laskar Islam dan Ki
Kuwu Sangkan. (F.2)
3. Ketakutan penduduk sekitar hutan dengan kabar akan datangnya musuh.
(F.3)
4. Ucapan kuwu desa tersebut untuk tidak tunduk pada para penyebar agama
baru dan siap siaga dengan persenjataan masing-masing. (F.4)
5. Kembalinya warga ke rumah masing-masing untuk mengambil senjata
sesuai instruksi sang kuwu. (F.5)
6. Kembali berkumpulnya rakyat di tempat terbuka yang sudah ditentukan
pihak desa. (F.6)
7. Kedatangan utusan laskar Islam dengan membawa surat dari Kuwu
Sangkan yang isinya mengajak untuk masuk agama Islam.(F.7)
8. Kemarahan kuwu desa tersebut yang berujung pada penganiayaan utusan
dari laskar Islam. (F.8)
9. Pemahaman Kuwu Sangkan atas perlakuan penduduk desa tadi terhadap
utusannya yang menandakan ingin memulai peperangan. (F.9)
10. Perkataan Ki Kuwu Sangkan sebelum perang dimulai untuk memberi
mereka kesempatan masuk Islam.(F.10)
11. Peperangan antara laskar Islam dengan penduduk desa atas instruksi kuwu
desa tersebut. (F.11)
12. Kekalahan penduduk desa oleh laskar Islam sehingga lapangan desa
tersebut berbau amis (anyir) karena darah.(F.12)
13. Kelelahan yang melanda kedua belah pihak. (F.13)
14. Kembalinya para laskar Islam dan Ki Kuwu Sangkan ke Cirebon. (F.14)
15. Kedatangan kembali Ki Kuwu Sangkan pada penduduk desa. (F.15)
16. Kutukan Ki Kuwu Sangkan sebelum kembali ke Cirebon. (F.16)
17. Kejadian aneh yang dialami oleh warga sehingga tempat tersebut
dipercaya dihuni oleh para sinang atau siluman.(F.17)

9
Yang menggerakkan cerita ini pertama-tama adalah kepercayaan
penduduk desa Amis yang belum memeluk agama Islam (F.1). Lalu, adanya
upayaIslamisasi penduduk wilayah Cirebon dan Indramayu oleh laskar Islam dan
Ki Kuwu Sangkan (F.2). Penduduk desa pun ketakutan setelah mendengar kabar
akan datangnya musuh dari luar (F.3). Kuwu desa tersebut lalu menghimbau pada
penduduknya agar tidak tunduk dan bersiap siaga dengan genggaman persenjataan
masing-masing (F.4). Setelah mendengarkan himbauan kuwu, warga pun kembali
ke rumah masing-masing untuk mengambil alat persenjataan mereka (F.5).
Seusainya mengambil senjata, warga berkumpul kembali di lapangan terbuka
sesuai kesepakatan oleh pihak desa (F.6).

Di saat warga sedang berkumpul, datang utusan dari laskar Islam dengan
membawa surat dari Kuwu Sangkan yang berisi ajakan untuk masuk Islam (F.7).
Setelah membaca surat tersebut, kuwu desa itu menjadi marah dan menganiaya
utusan dari laskar Islam (F.8). Atas segala perlakuan yang didapatkan oleh
utusannya, Ki Kuwu Sangkan membuat pemahaman bahwa penduduk tersebut
memang menghendaki sebuah peperangan dengan laskar Islam (F.9). Setelah bala
tempur dikumpulkan dan siap memluai peperangan dengan penduduk desa, Ki
Kuwu Sangkan menyerukan bahwa maksud dan tujuannya adalah untuk mengajak
penduduk desa tersebut untuk masuk ajaran agama Islam (F.10). Kuwu serta
penduduk desa tersebut tidak menghiraukan perkataan Ki Kuwu Sangkan, mereka
tetap menolak dan menginginkan peperangan atas instruksi kuwunya (F.11).

Peperangan pun tidak terelakkan, penduduk desa mengalami kekalahan


sehingga banyak korban yang berjatuhan dan menimbulkan bau amis karena
darah, daerah itu disebut sebagai Desa Amis (F.12). Peperangan terus berlanjut
karena belum ada tanda-tanda menyerah dari kedua belah pihak, kekelahan pun
melanda penduduk desa serta laskar Islam (F.13). Karena kelelahan yang melanda
kedua pihak, laskar Islam pun kembali ke Cirebon, sementara penduduk
membereskan penduduk lain yang gugur dalam peperangan itu (F.14). Setelah
kembali ke Cirebon, dua hari kemudia Ki Kuwu Sangkan kembali menemui
penduduk dan mengajak mereka untuk mendengarkan khotbah (F.15). Penduduk
desa itu tidak ada yang mau keluar dan mengikuti seruan Ki Kuwu Sangkan,
mereka malah bersembunyi di hutan, karena kejadian itu Ki Kuwu Sangkan

1
0
menjadi murka dan mengutuk mereka menjadi siluman (F.16). Kutukan tersebut
berujung sampai sekarang, warga yang melintasi hutan tersebut sering menemui
kejadian aneh sehingga tempat itu dianggap angker dan dinamakan alas sinang
atau alas siluman (F.17).

Bila alur ini digambarkan maka tampak seperti pada bagan berikut ini.

1
1
Bagan fungsi utama cerita legenda “Asal-usul Alas Sinang

F.1

F.2

F.3

F.4

F.5

F.6

F.7

F.8

F.9

F.10

F.11

F.12

F.13

F.14

F.15

F.16

F.17

1
2
B. Pengaluran

Setelah mengidentfikasi alur cerita. Selanjutnya perlu diidentfikasi


peluang bagaimana alur itu dibentuk. Proses pembentukan alur tersebut
dinamakan pengaluran. Pengaluran yaitu urutan peristiwa dalam cerita
berdasarkan waktu, atau teknik cara-cara menampilkan alur. Menurut kualitasnya,
pengaluran dibedakan menjadi alur erat dan alur longggar. Alur erat ialah alur
yang tidak memungkinkan adanya pencabangan cerita. Alur longgar adalah alur
yang memungkinkan adanya pencabangan cerita. Menurut kuantitasnya,
pengaluran dibedakan menjadi alur tunggal dan alur ganda. Alur tunggal ialah alur
yang hanya satu dalam karya sastra. Pada cerita legenda “Asal-usul Alas Sinang”,
terdapat pngaluran erat, yaitu alur yang ada pada cerita tersebut tidak mengalami
pencabangan cerita.

Dari segi urutan waktu terjadinya peristiwa terdapat tiga jenis pengaluran.

1. Pengaluran lurus (linear)

Pengaluran jenis ini menampilkan urutan-urutan alur yang berurutan dan


membentuk pola lurus. Peristiwa yang terjadi biasanya berurutan sesuai dengan
kausalitas serta kronologis ceritanya. Pada cerita yang memiliki pengaluran lurus
atau linear, tidak terdapat bayangan dan kilas balik cerita.

2. Pengaluran Ingatan

Berbeda dengan pengaluran lurus, pengaluran ini menampilkan peristiwa


cerita yang waktu terjadinya sudah berlalu. Peristiwa tersebut terdapat pada
ingatan tokoh, sehingga pengaluran ini dinamakan sebagai pengaluran ingatan.
Dalam pengaluran ingatan terdapat dua jenis, yaitu kilas balik dengan sorot balik.
Kilas balik merupakan pengaluran ingatan yang hanya terdiri dari satu atau dua
peristiwa. Ingatan yang ingin diceritakan oleh tokoh hanya sekilas peristiwa.
Sedangkan sorot balik merupakan rangkaian peristiwa yang ada dalam ingatan
tokoh, biasanya lebih dari dua peristiwa. Pada sorot balik, peristiwa yang
diceritakan tokoh dalam ingatannya terdapat lebih dari dua peristiwa.

1
3
3. Pengaluran Bayangan (Perspektif)

Pada pengaluran bayangan, peristiwa-peristiwa yang diceritakan


merupakan bayang dari si tokoh. Peristiwa yang diceritakan merupakan peristiwa
yang belum terjadi. Tokoh menggambarkan bayangan dalam khayalannya.

Dalam cerita “Asal-usul Alas Sinang”, peristiwa-peristiwa yang


diceritakan merupakan peristiwa yang terjadi sesuai dengan hubungan kausalitas
antarperistiwa. Pola cerita serta alur pada cerita tersebut membentuk pola lurus.
Sehinggga, pada cerita ini tidak ditemukan ingatan atau pun bayangan tokoh.
Peristiwa yang terjadi merupakan peristiwa yang terjadi pada waktu itu juga.

Pengaluran pada cerita “Asal-usul Alas Sinang” dapat ditinjau dari urutan
fungsi penggerak cerita yang terdapat pada alur cerita. Fungsi-fungsi cerita
tersebut membentuk pola lurus yang menandakan bahwa tidak ada urutan peristwa
yang berasal dari ingatan atau bayangan tokoh. Dapat disimpulkan bahwa dalam
cerita “Asal-usul Alas Sinang” menggunakan jenis pengaluran lurus atau linear.

2.1.2 Tokoh dan Latar

A. Tokoh

Sama halnya dengan unsur plot dan pemplotan, tokoh dan penokohan
merupakan unsur penting dalam karya naratif. Analisis tokoh pada cerita termasuk
ke dalam analisis aspek semantik. Hal itu disebabkan untuk mengetahui tokoh
beserta wataknya perlu memalukan kajian semantis. Dalam cerita “Asal-usul Alas
Sinang”, terdapat beberapa tokoh yang keberadaannya mendominasi cerita, tetapi
ada juga yang keberadaannya tidak begitu vital dalam cerita tersebut. Berikut
adalah tokoh dalam cerita “Asal-usul Alas Sinang”.

1. Ki Kuwu Sangkan

Ki Kuwu Sangkan dapat disimpulkan sebagai tokoh utama dalam cerita


tersebut karena intensitas keberadaan serta perannya dalam cerita tersebut begitu
kuat. Kedudukan tokoh ini begitu sentral dan dominan. Ki Kuwu Sangkan
menjadi tokoh yang melatarbelakangi cerita tersebut. Ia bersama dengan laskar

1
4
Islam berupaya melakukan proses pengislaman kepada masyarakat di wilayah
Cirebon dan Indramayu. Tokoh ini digambarkan sebagai seorang yang religius
dan pantang menyerah. Bagian cerita yang menjadikan tokoh Kuwu Sangkan
sebagai tokoh yang melatarbelakangi cerita terdapat pada bagian kutipan berikut.

Ning zaman bengen lagi agama Islam nembe nyebar ning Pulo Jawa, ning
waktu kuen Cerbon karo Dermayu wis diselametaken nang laskar Islam sing
dipimpin Ki Kuwu Sangkan.

Terjemahan

Pada zaman dahulu waktu agama Islam baru tersebar di Pulau Jawa,
pada waktu itu Cirebon dan Indramayu sudah diselamatkan oleh laskar Islam
yang dipimpin oleh Ki Kuwu Sangkan.

Pada bagian tersebut diceritakan bahwa pada zaman dahulu sewaktu


agama Islam mulai menyebar di Pulau Jawa, daerah Cirebon dan Indramayu
sudah diselamatkan oleh laskar Islam yang dipimpin oleh Ki Kuwu Sangkan.
Secara langsung, bagian awal cerita tersebut menjadikan Kuwu Sangkan sebagai
sosok utama yang melakukan upaya islamisasi sebagai latar belakang cerita.

Ki Kuwu Sangkan juga digambarkan sebagai sosok yang tidak gegabah


dalam mengambil keputusan. Hal tersebut dapat dilihat dari seruannya terhadap
penduduk yang menolak ajakannya sebelum perang dimulai.

Sedurung perang dimulai Ki Kuwu Sangkan ngomong.

“Hey, rakyat sekabeh, sebenere kedatangane isun meng mene kanggo


ngajak sampeyan nyembah ning Allah Kang Maha Mulia. Yen sampeyan kabeh
ora terima, terpaksa isun milih dalan siji-sijine, yaiku perang.”keputusan. Hal itu
terlihat pada bagian cerita berikut.

Terjemahan

Sebelum perang dimulai Ki Kuwu Sangkan berkata.


“Hey, rakyat semuanya, sebenarnya kedatangan saya kesini untuk
mengajak kalian memuja Allah Yang Maha Mulia. Kalau kalian tidak
menerimanya, terpaksa saya memilih jalan satu-satunya yaitu perang.”

1
5
Dari ucapannya itu, dapat disimpulkan bahwa tokoh Ki Kuwu Sangkan
tidak buru-buru menyerang warga yang menolak kedatangannya. Dia masih
berusaha menjelaskan maksud dan tujuannya untuk mengajak penduduk tersebut
menyembah pada Allah. Barulah setelah mereka tetap tidak merespon dengan baik
maksudnya, ia memilih jalan satu-satunya yaitu melalui peperangan.

Dari segi jenis tokohnya, Ki Kuwu Sangkan merupakan jenis tokoh riil,
yaitu merupakan tokoh yang benar-benar ada pada kenyataan. Ki Kuwu Sangkan
merupakan seorang ulama dari daerah Cirebon, yang diyakini memiliki
kemampuan yang sakti sekaligus juga menjadi penyebar agama Islam selain
Sunan Gunung Jati.

Tokoh ini juga termasuk dalam tokoh protagonis, yaitu tokoh yang
digambarkan sebagai tokoh baik,bisa juga digolongkan sebagai golongan putih
yang berlawanan dengan golongan hitam atau antagonis. Tokoh protagonis
biasanya memiliki kepribadian, sifat, serta perilaku yang kontra dengan tokoh
antagonis yang cenderung jahat dan buruk sifatnya.

Pada akhir cerita tokoh ini sudah tidak lagi memberi toleransi pada
penduduk desa yang tidak mau untuk masuk Islam. Tokoh Ki Kuwu Sangkan
yang merasa begitu kesal akhirnya memberi kutukan pada penduduk desa.
Penduduk desa yang bersembunyi karena kedatangan Ki Kuwu Sangkan berubah
menjadi sinang yang kemudia menjadi asal-muasal toponimi Alas Sinang.

Hal tersebut terdapat pada kutipan berikut.

“Lamon mengkonon sira kabeh pada karo Sinang. Sira kabeh wis ora
eman ning awake dewek, mulai sekiyen sira kabeh ora garep melu campur
maning karo menusa.”

Seuwise ngucapaken omongan mau, Ki Kuwu Sangkan balik maning meng


Cerbon, sebalike meng Cerbon, desa mau dadi alas lan uwonge dadi siluman.
Alas mau diarani alas Sinang. Uwong-uwong sing liwat atawa ngunjungi alas
kuen, kadang-kadang ngerungu suara wong sing lagi bebek pari, suara ayam sing
laka wujude, lan kejadian aneh sejene.

1
6
Terjemahan

“Kalau begitu kalian semua adalah sama dengan sinang, kamu semua
berarti tidak sayang terhadap diri sendiri, mulai saat ini kalian tidak akan
campur lagi dengan manusia”. 
Setelah mengucapkan kata-kata itu Ki Kuwu Sangkan pulang kembali ke
Cirebon, selama pergi ke Cirebon, desa tadi menjadi hutan dan orangnya
menjadi siluman. Hutan tersebut akhirnya dinamakan alas Sinang atau hutan
Sinang. Orang yang lewat atau mengunjungi hutan ini, kadang-kadang
mendengar suara orang yang sedang menumbuk padi, suara ayam tetapi tidak
ada wujudnya.
2. Kuwu (Kepala desa)

Tokoh kuwu penduduk desa yang diceritakan pada cerita tersebut


memiliki porsi tokoh dalam cerita yang cukup dominan. Tokoh ini merupakan
lawan utama dari tokoh Ki Kuwu Sangkan. Tokoh kuwu berposisi sebagai
pemimpin kolektif penduduk desa, sedangkan Ki Kuwu Sangkan sebagai
pemimpin Laskar Islam.

“Hey, rakyat sekabeh, sebenere kedatangane isun meng mene kanggo


ngajak sampeyan nyembah ning Allah Kang Maha Mulia. Yen sampeyan kabeh
ora terima, terpaksa isun milih dalan siji-sijine, yaiku perang.”

“Heh, wong anyar, aja keakehen lewa lan aja akeh cerita. Ayoh toh pati
jiwa kelawan raga.” Omong kuwu ning desa kuen.

Terjemahan

“Hey, rakyat semuanya, sebenarnya kedatangan saya kesini untuk


mengajak kalian memuja Allah Yang Maha Mulia. Kalau kalian tidak
menerimanya, terpaksa saya memilih jalan satu-satunya yaitu perang.”
“Heh, orang baru, janganlah banyak bicara mari kita adu kesaktian,”
Ucap Kuwu desa tersebut.
Tokoh kuwu desa keberadaannya jelas dalam cerita, hal tersebut tercermin
dalam dialog-dialog antartokohnya. Tokoh ini langsung berdialog dengan Ki

1
7
Kuwu Sangkan yang berusaha melakukan islamisasi. Gambaran watak dari tokoh
kuwu ini adalah keras kepala, teguh pendiriannya, serta pemberani.

Keberadaan tokoh hingga cerita selesai kurang jelas tergambar dalam


cerita. Ketika pertempuran usai dan laskar Islam kembali ke Cirebon, kuwu ini
tidak diberi keterangan, apakah masih hidup atau terbunuh dalam peperangan.
Pada akhir cerita pun tidak disebutkan bahwa kuwu desa tersebut masih hidup
atau sudah gugur dan menjadi bagian dari penduduk desa yang bersembunyi di
hutan.

Dari segi jenis tokoh, tokoh kuwu ini dapat digolongkan sebagai tokoh
antagonis. Tokoh kuwu merupakan lawan dari tokoh Ki Kuwu Sangkan yang
merupakan protagonis dalam cerita. Tokoh kuwu desa pun cenderung
berseberangan dengan tokoh Kuwu Sangkan, tokoh ini lebih keras sehingga
menolak untuk masuk Islam.

Tokoh kuwu dapat juga digolongkan sebagai tokoh simbolik, keberadaan


sebenarnya belum jelas. Nama dari kuwu tersebut pun tidak dijelaskan secara
gamblang, di dalam cerita hanya disebutkan sebagai kuwu yang memimpin para
penduduk. Lain halnya, jika penyebutan tokoh dalam cerita lebih gamblang,
misalnya dengan menyebutkan nama buyut atau sebutan lain.

3. Penduduk desa

Tokoh ini bukanlah tokoh individual yang memiliki identitas individu.


Tokoh ini digambarkan sebagai tokoh kolektif. Dalam cerita, hanya disebutkan
sebagai penduduk desa tanpa menggunakan nama-nama penduduk desa tersebut.
Porsi tokoh dalam cerita pun hanya sedikit dalam dialog-dialognya. Tokoh ini
cenderung digambarkan dalam proses narasinya.

Penduduk desa hanya tunduk menuruti perintah dari sang kuwu, sehingga
tidak terdapat watak yang lebih spesifik dari tokoh ini. Penduduk desa tidak
memiliki porsi sama sekali dalam percakapan. Tokoh ini berperan sebagai tokoh
yang menggerakkan cerita. Dalam peranannya, tokoh penduduk desa merupakan
elemen paling penting dalam cerita ini. Penduduk desa yang merupakan manusia,

1
8
setelah menolak ajakan Ki Kuwu Sangkan untuk memeluk agama Islam berubah
menjadi sinang.

Seuwise laskar Islam balik meng Cerbon, rakyat sing masih urip
mbereseken batur-bature sing uwis mati. Rong dina ntas kuen Ki Kuwu Sangkan
teka maning lan mbeluk uwong-uwong ning desa kanggo ngerongokaken khotbah.
Nanging ora ana sewiji uwong sing metu. Ki Kuwu Sangkan durung pati puas,
akhire nekani ning umah-umah, nanging umah wis pada kosong laka penunggune
maning. Nang uwong-uwong wis pada weruh kedatangane dadine uwong pada
mlayu meng alas. Ndeleng hal kuen Ki Kuwu Sangkan ngerasa dugal.

“Lamon mengkonon sira kabeh pada karo Sinang. Sira kabeh wis ora
eman ning awake dewek, mulai sekiyen sira kabeh ora garep melu campur
maning karo menusa.”

Seuwise ngucapaken omongan mau, Ki Kuwu Sangkan balik maning meng


Cerbon, sebalike meng Cerbon, desa mau dadi alas lan uwonge dadi siluman.
Alas mau diarani alas Sinang.

Terjemahan

Sesudah laskar Islam kembali ke Cirebon, rakyat yang masih hidup


membereskan teman-temannya yang sudah meninggal. Dua hari kemudian Ki
Kuwu Sangkan datang lagi dan memanggil orang-orang di desa untuk
mendengarkan khotbah. Tetapi tidak ada seorang pun yang keluar. Ki Kuwu
Sangkan belum begitu puas, akhirnya dia mendatangi rumah-rumah tersebut,
tetapi rumah sudah kosong dan tidak berpenghuni lagi. Karena orang-orang
sudah tahu kedatangannya sehingga semua orang lari ke hutan. Melihat hal
tersebut Ki Kuwu Sangkan merasa kesal.
“Kalau begitu kalian semua adalah sama dengan sinang, kamu semua
berarti tidak sayang terhadap diri sendiri, mulai saat ini kalian tidak akan
campur lagi dengan manusia”. 
Setelah mengucapkan kata-kata itu Ki Kuwu Sangkan pulang kembali ke
Cirebon, selama pergi ke Cirebon, desa tadi menjadi hutan dan orangnya
menjadi siluman. Hutan tersebut akhirnya dinamakan alas Sinang atau hutan

1
9
Sinang. Orang yang lewat atau mengunjungi hutan ini, kadang-kadang
mendengar suara orang yang sedang menumbuk padi, suara ayam tetapi tidak
ada wujudnya.
Dari jenisnya, tokoh ini dapat digolongkan dalam jenis tokoh kolektif.
Tokoh kolektif penduduk desa merupakan tokoh yang tidak sendiri atau
individual. Keberadaan dalam ceritanya digambarkan sebagai suatu kelompok.
Identitas yang diceritakan tidak mencantumkan nama-nama dari masing-masing
individu pembentuk kolektifnya. Penyebutan tokohnya pun hanya disebutkan
sebagai penduduk desa.

Watak dari tokoh ini dapat digambarkan sebagai watak yang penurut dan
setia terhadap pemimpinnya. Akan tetapi, tokoh kolektif ini memiliki watak yang
keras hati sehingga dikutuk menjadi sinang. Hal tersebut tecermin dalam bagian
cerita berikut.

Bagian 1 (menggambarkan tokoh penurut)

Sehingga warga kabeh balik meng umahe lan gawa ageman utawa senjata
yen laskar Islam teka meng desane. Rakyat ntas kuen kumpul maning ning tempat
sing uwis ditentukaken nang pihak desa. Ora sue ntas kuen, katon utusan sing
laskar Islam karo nggawa surat saking Kuwu Sangkan sing isine ngajak rakyat
kanggo manjing agama Islam. Seiring tekane surat mau, murkalah kuwu desa
kuen, lan utusan sing gawa surat mau digebugi. Ndeleng penganiayaan kuen, Ki
Kuwu Sangkan paham yen rakyat ning daerah kuen njaluk perang, lan kabeh
laskare digawa ning suatu tempat. Ning kono wong-wong sing mau perang wis
siap karo alate dewek-dewek.

Terjemahan

Sehingga seluruh warga kembali ke rumahnya dan membawa gegaman


atau senjata jika laskar Islam datang ke desanya. Rakyat kemudian berkumpul
kembali di tempat yang telah ditentukan oleh pihak desa.  Tak lama kemudian
tampaklah utusan dari laskar Islam dengan membawa surat dari Kuwu Sangkan
yang isinya mengajak rakyat untuk masuk agama Islam. Dengan datangnya surat
tersebut marahlah Kuwu tersebut dan utusan yang membawa surat tersebut

2
0
dianiaya. Melihat penganiayaan tersebut Ki Kuwu Sangkan memahami bahwa
rakyat di daerah itu menghendaki perang, dan semua laskarnya dibawanya ke
suatu tempat. Di situ orang-orang yang mau berperang sudah siap dengan
alatnya masing-masing. 
Bagian 2 (menggambarkan tokoh keras hati)

Seuwise laskar Islam balik meng Cerbon, rakyat sing masih urip
mbereseken batur-bature sing uwis mati. Rong dina ntas kuen Ki Kuwu Sangkan
teka maning lan mbeluk uwong-uwong ning desa kanggo ngerongokaken khotbah.
Nanging ora ana sewiji uwong sing metu. Ki Kuwu Sangkan durung pati puas,
akhire nekani ning umah-umah, nanging umah wis pada kosong laka penunggune
maning. Nang uwong-uwong wis pada weruh kedatangane dadine uwong pada
mlayu meng alas. Ndeleng hal kuen Ki Kuwu Sangkan ngerasa dugal.

Terjemahan

Sesudah laskar Islam kembali ke Cirebon, rakyat yang masih hidup


membereskan teman-temannya yang sudah meninggal. Dua hari kemudian Ki
Kuwu Sangkan datang lagi dan memanggil orang-orang di desa untuk
mendengarkan khotbah. Tetapi tidak ada seorang pun yang keluar. Ki Kuwu
Sangkan belum begitu puas, akhirnya dia mendatangi rumah-rumah tersebut,
tetapi rumah sudah kosong dan tidak berpenghuni lagi. Karena orang-orang
sudah tahu kedatangannya sehingga semua orang lari ke hutan. Melihat hal
tersebut Ki Kuwu Sangkan merasa kesal.
4. Pasukan Laskar Islam

Tokoh ini juga sama seperti tokoh penduduk desa. Tokoh ini tidak
dijelaskan secara spesifik. Porsi cerita yang didapatkan dalam cerita juga terbatas.
Keberadaann dalam cerita terdapat pada narasi, tidak digambarkan melalui dialog
antartokoh seperti dua tokoh paling awal. Pasukan laskar Islam merupakan
kolektif yang dipimpin oleh Ki Kuwu Sangkan untuk menyebarkan agam Islam.

Tokoh ini memiliki watak yang patuh dengan pemimpinnya. Hal tersebut
digambarkan dalam narasi cerita yang menyebutkan bahwa utusan dari laskar

2
1
Islam ini dianiaya, tapi tokoh tersebut tetap setia dan kembali lagi kepada
junjungannya. Hal tersebut terdapat pada narasi berikut.

Ora sue ntas kuen, katon utusan sing laskar Islam karo nggawa surat
saking Kuwu Sangkan sing isine ngajak rakyat kanggo manjing agama Islam.
Seiring tekane surat mau, murkalah kuwu desa kuen, lan utusan sing gawa surat
mau digebugi.

Terjemahan

Tak lama kemudian tampaklah utusan dari laskar Islam dengan membawa
surat dari Kuwu Sangkan yang isinya mengajak rakyat untuk masuk agama
Islam. Dengan datangnya surat tersebut marahlah Kuwu tersebut dan utusan
yang membawa surat tersebut dianiaya.
Dari jenisnya, tokoh ini termasuk dalam tokoh kolektif karena tidak berdiri
secara individu. Tokoh ini juga merupakan kelompok yang dipimpin oleh Kuwu
Sangkan.

B. Latar

Pada bagian ini merupakan analisis latar tempat dan latar waktu yang
merupakan unsur penting dalam sebuah cerita.

1. Latar Tempat

Latar tempat dalam cerita ini hanya meliputi desa dan hutan. Latar desa
merupakan tempat terjadinya peristiwa-peristiwa peperangan berlangsung,
sekaligus menjadi tempat tinggal para penduduk. Desa yang disebutkan
merupakan daerah yang berada di Indramayu. Pada saat itu memang beberapa
daerah di wilayah Indramayu belum memeluk agam Islam.

Ning zaman bengen lagi agama Islam nembe nyebar ning Pulo Jawa, ning
waktu kuen Cerbon karo Dermayu wis diselametaken nang laskar Islam sing
dipimpin Ki Kuwu Sangkan.

2
2
Terjemahan

Pada zaman dahulu waktu agama Islam baru tersebar di Pulau Jawa,
pada waktu itu Cirebon dan Indramayu sudah diselamatkan oleh laskar Islam
yang dipimpin oleh Ki Kuwu Sangkan. 

Indramayu dan Cirebon merupakan dua wilayah yang berada di Pulau


Jawa. Daerah tersebut memang pada awalnya masih dipengaruhi kepercayaan
Hindu. Namun, ketika para wali dan ulama-ulama datang ke Cirebon. Penduduk
di wilayah itu mulai berganti memeluk agama Islam. Indramayu merupakan
daerah keadipatian yang termasuk dalam wilayah kekuasaan kerajaan Galuh.
Kerajaan Galuh merupakan kerajaan Hindu, sehingga daerah-daerah di sekitarnya
pun memeluk agama Hindu.

Ketika kerajaan Galuh runtuh, Cirebon muncul menjadi kekuasaan sendiri


yang dinamakan kesultanan Cirebon. Pada awalnya, Indramayu tidak termasuk
dalam wilayah Cirebon. Namun, Sunan Gunung Jati berusaha mengajak Raden
Arya Wiralodra untuk masuk Islam dan menjadikan Indramayu sebagai bagian
dari Cirtebon. Dengan kerendahan hatinya, Wiralodra pun mau untuk masuk
Islam dan menjadikan Inrdamayu sebagai keadipatian atau kerajaan kecil.

Proses Islamisasi tersebut yang melatarbelakangi tempat dalam cerita


berada di wilayah Indramayu yang pada masa itu masih menganut kepercaan
Hindu. Wilayah Indramayu yang menjadi latar cerita merupakan wilayah
Indramayu Selatan, sekarang menjadi wilayah Kecamatan Cikedung. Wilayah
tersebut dulunya merupakan hutan, di sekitar hutan tersebut terdapat sebuah
pedesaan.

2
3
Di atas adalah peta lokasi terjadinya cerita, yaitu di sekitar desa Amis dan
Loyang, kecamatan Cikedung, kabupaten Indramayu.

2. Latar Waktu
Waktu berlangsungnya tidak disebutkan berdasarkan tahun atau secara
kalendris. Waktu tersebut hanya disebutkan sebagai garis besar, yaitu diceritakan
pada zaman dahulu. Dalam cerita tersebut disebutkan berlangsungnya cerita atau
peristiwa itu pada masa Islam mulai tersebar di Pulau Jawa. Artinya, cerita
tersebut berlangsung ketika agama Islam di Jawa mulai disebarkan oleh para wali.
Dengan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa cerita tersebut berlatar sekitar abad
16-17 M jika mengacu pada proses penyebaran agama Islam di Jawa. Hal tersebut
terdapat pada bagian cerita berikut.

Ning zaman bengen lagi agama Islam nembe nyebar ning Pulo Jawa, ning
waktu kuen Cerbon karo Dermayu wis diselametaken nang laskar Islam sing
dipimpin Ki Kuwu Sangkan. Ning sewijineng dina, lagi srengenge nembe
mancuraken sinare, lan rakyat sing ana ning pinggir alas kaya biasa saban dina
kerjae yaiku golati kayu bakar. Bocah-bocah lanang lan wadon kabeh meneng
ning genahe dewek-dewek ngerungu kabar yen musuh uwis teka.

Terjemahan

Pada zaman dahulu waktu agama Islam baru tersebar di Pulau Jawa,
pada waktu itu Cirebon dan Indramayu sudah diselamatkan oleh laskar Islam
yang dipimpin oleh Ki Kuwu Sangkan. Pada suatu hari di saat matahari baru
saja memancarkan sinarnya, dan rakyat yang berada di pinggir hutan

2
4
sebagaimana biasanya sehari-hari kerjaannya adalah mencari kayu bakar.
Sementara anak laki-laki dan perempuan semuanya tinggal di tempatnya masing-
masing karena mereka mendengar kabar musuh sudah datang. 
Sedangkan dalam peristiwa-peristiwanya, peristiwa tersebut terjadi pada
siang hari. Tidak ada peristiwa yang berlangsung pada malam hari dalam cerita
tersebut. Hal tersebut terdapat pada bagian berikut.
Ning sewijineng dina, lagi srengenge nembe mancuraken sinare, lan
rakyat sing ana ning pinggir alas kaya biasa saban dina kerjae yaiku golati kayu
bakar. Bocah-bocah lanang lan wadon kabeh meneng ning genahe dewek-dewek
ngerungu kabar yen musuh uwis teka.

Terjemahan

Pada suatu hari di saat matahari baru saja memancarkan sinarnya, dan
rakyat yang berada di pinggir hutan sebagaimana biasanya sehari-hari
kerjaannya adalah mencari kayu bakar. Sementara anak laki-laki dan perempuan
semuanya tinggal di tempatnya masing-masing karena mereka mendengar kabar
musuh sudah datang. 

2.1.3 Penceritaan
Penceritaan merupakan bagaimana cerita tersebut disajikan. Ada dua jenis
unsur dalam penceritaan: kehadiran pencerita dan tipe penceritaan.
1. Kehadiran Pencerita
Pencerita merupakan aspek penting dalam terbentuknya suatu cerita.
Kehadiran pencerita ini adalah proses penggambaran pencerita dalam
menggambarkan ceritanya. Apakah pencerita tersebut termasuk dalam cerita, atau
pencerita berada di luar cerita. Dalam kehadiran pencerita terdapat dua jenis, yaitu
pencerita intern dan pencerita ekstern.
Pencerita intern merupakan cara pencerita dalam menyampaikan cerita
dengan memposisikan diri di dalam cerita. Pencerita menjadi bagian dari cerita itu
sendiri. Biasanya pencerita akan menyebut dirinya sebagai pronomina 1, bisa
berupa tunggal seperti aku, dan jamak seperti kami.
Pencerita ekstern merupakan cara pencerita menyampaikan cerita dengan
memposisikan diri berada di luar cerita. Kehadiran pencerita tidak termasuk

2
5
bagian dari cerita. Pencerita menggunakan pronomina 3, tunggal seperti dia, dan
jamak seperti mereka. Selain itu, pencerita juga biasanya menggunakan nama
tokoh.
Dalam cerita “Asal-usul Alas Sinang”, kehadiran pencerita menggunakan
pencerita ekstern. Pencerita tidak termasuk dalam bagian cerita tersebut. Pencerita
menggunakan pronomina 3, yaitu dengan menyebutkan nama-nama tokoh dalam
proses ceritanya. Hal tersebut terdapat dalam bagian cerita berikut.

Ning zaman bengen lagi agama Islam nembe nyebar ning Pulo Jawa, ning
waktu kuen Cerbon karo Dermayu wis diselametaken nang laskar Islam sing
dipimpin Ki Kuwu Sangkan. Ning sewijineng dina, lagi srengenge nembe
mancuraken sinare, lan rakyat sing ana ning pinggir alas kaya biasa saban dina
kerjae yaiku golati kayu bakar. Bocah-bocah lanang lan wadon kabeh meneng
ning genahe dewek-dewek ngerungu kabar yen musuh uwis teka.

“Kita ora garep tunduk ning kaen kang gawa agama anyar meng desa
kita. Kita kudu siap karo ageman lan senjata dewek-dewek.” Omonge kepala
desa ning rakyate

“Kita kudu nonggoni kaen teka ning tempat sing amba.”

Sehingga warga kabeh balik meng umahe lan gawa ageman utawa senjata
yen laskar Islam teka meng desane. Rakyat ntas kuen kumpul maning ning tempat
sing uwis ditentukaken nang pihak desa. Ora sue ntas kuen, katon utusan sing
laskar Islam karo nggawa surat saking Kuwu Sangkan sing isine ngajak rakyat
kanggo manjing agama Islam. Seiring tekane surat mau, murkalah kuwu desa
kuen, lan utusan sing gawa surat mau digebugi. Ndeleng penganiayaan kuen, Ki
Kuwu Sangkan paham yen rakyat ning daerah kuen njaluk perang, lan kabeh
laskare digawa ning suatu tempat. Ning kono wong-wong sing mau perang wis
siap karo alate dewek-dewek.

Terjemahan

Pada zaman dahulu waktu agama Islam baru tersebar di Pulau Jawa,
pada waktu itu Cirebon dan Indramayu sudah diselamatkan oleh laskar Islam
yang dipimpin oleh Ki Kuwu Sangkan. Pada suatu hari di saat matahari baru

2
6
saja memancarkan sinarnya, dan rakyat yang berada di pinggir hutan
sebagaimana biasanya sehari-hari kerjaannya adalah mencari kayu bakar.
Sementara anak laki-laki dan perempuan semuanya tinggal di tempatnya masing-
masing karena mereka mendengar kabar musuh sudah datang. 
“Kita tidak akan tunduk kepada mereka yang membawa agama yang baru
ke desa kita. Kita harus siap dengan gegaman atau senjata masing-masing.”
Ucap kepala desa kepada rakyatnya.
“Kita harus menunggu mereka datang di tempat yang luas.”
Sehingga seluruh warga kembali ke rumahnya dan membawa gegaman
atau senjata jika laskar Islam datang ke desanya. Rakyat kemudian berkumpul
kembali di tempat yang telah ditentukan oleh pihak desa.  Tak lama kemudian
tampaklah utusan dari laskar Islam dengan membawa surat dari Kuwu Sangkan
yang isinya mengajak rakyat untuk masuk agama Islam. Dengan datangnya surat
tersebut marahlah Kuwu tersebut dan utusan yang membawa surat tersebut
dianiaya. Melihat penganiayaan tersebut Ki Kuwu Sangkan memahami bahwa
rakyat di daerah itu menghendaki perang, dan semua laskarnya dibawanya ke
suatu tempat. Di situ orang-orang yang mau berperang sudah siap dengan
alatnya masing-masing. 
Bagian yang ditebalkan pada kutipan di atas merupakan kehadiran
pencerita yang menggunakan pronomina 3 yaitu dengan menyebutkan nama
tokohnya. Pencerita menyebutkan nama-nama tokoh sebagai kata ganti orang
keiga.
2. Tipe Penceritaan
Pada bagian ini terdapat tiga bagian tipe penceritaan.
1. Wicara yang dilaporkan
Pada bagian ini merupakan dialog yang terdapat pada cerita. Pada cerita
“Asal-usul Alas Sinang” terdapat dialog seperti berikut.
Dialog 1
Pada bagian ini terdapat percakapan sepihak, antara kepala desa dengan
para penduduk desa yang berkumpul di lapangan terbuka.

2
7
“Kita ora garep tunduk ning kaen kang gawa agama anyar meng desa
kita. Kita kudu siap karo ageman lan senjata dewek-dewek.” Omonge kepala
desa ning rakyate

“Kita kudu nonggoni kaen teka ning tempat sing amba.”

Terjemahan

“Kita tidak akan tunduk kepada mereka yang membawa agama yang baru
ke desa kita. Kita harus siap dengan gegaman atau senjata masing-masing.”
Ucap kepala desa kepada rakyatnya.
“Kita harus menunggu mereka datang di tempat yang luas.”
Kutipan percakapan tersebut bukan percakapan yang terjadi dari dua arah,
melainkan percakapan yang searah yaitu dari kuwu desa yang menyeru pada
lrakyatnya.
Dialog 2
Pada bagian ini terdapat dialog antara Ki Kuwu Sangkan dengan kepala
desa tersebut.
“Hey, rakyat sekabeh, sebenere kedatangane isun meng mene kanggo
ngajak sampeyan nyembah ning Allah Kang Maha Mulia. Yen sampeyan kabeh
ora terima, terpaksa isun milih dalan siji-sijine, yaiku perang.”

“Heh, wong anyar, aja keakehen lewa lan aja akeh cerita. Ayoh toh pati
jiwa kelawan raga.” Omong kuwu ning desa kuen.

Terjemahan

“Hey, rakyat semuanya, sebenarnya kedatangan saya kesini untuk


mengajak kalian memuja Allah Yang Maha Mulia. Kalau kalian tidak
menerimanya, terpaksa saya memilih jalan satu-satunya yaitu perang.”
“Heh, orang baru, janganlah banyak bicara mari kita adu kesaktian,”
Ucap Kuwu desa tersebut.
Pada dialog ini terjadi percakapan langsung antara Ki Kuwu Sangkan
dengan kuwu desa yang menolak kedatangan pasukan Islam. Kuwu desa tersebut
menantang para pasukan Islam untuk beradu kesaktian.
Dialog 3

2
8
Pada bagian ini terdapat ungkapan dari Ki Kuwu Sangkan yang ditujukan
untuk penduduk desa sebagai tanda berakhir peperangan.

“Hei rakyat, sekiyen isun bli garep nerusaken peperangan maning,


nanging ngko sedina atawa rong dina maning isun arep teka maning, lan arep
nyelametaken sira kabeh.”

Terjemahan

“Hai rakyat, sekarang saya tidak akan meneruskan peperangan lagi,


tetapi nanti sehari atau dua hari lagi aku akan datang lagi, dan akan
menyelamatkan kalian.”

2. Wicara yang dinarasikan


Pada bagian ini meliputi peristiwa-peristiwa yang dialami oleh tokoh. Hal
tersebut teradapat dalam narasi cerita berikut.

Ning zaman bengen lagi agama Islam nembe nyebar ning Pulo Jawa, ning
waktu kuen Cerbon karo Dermayu wis diselametaken nang laskar Islam sing
dipimpin Ki Kuwu Sangkan. Ning sewijineng dina, lagi srengenge nembe
mancuraken sinare, lan rakyat sing ana ning pinggir alas kaya biasa saban dina
kerjae yaiku golati kayu bakar. Bocah-bocah lanang lan wadon kabeh meneng
ning genahe dewek-dewek ngerungu kabar yen musuh uwis teka.

Sehingga warga kabeh balik meng umahe lan gawa ageman utawa senjata
yen laskar Islam teka meng desane. Rakyat ntas kuen kumpul maning ning tempat
sing uwis ditentukaken nang pihak desa. Ora sue ntas kuen, katon utusan sing
laskar Islam karo nggawa surat saking Kuwu Sangkan sing isine ngajak rakyat
kanggo manjing agama Islam. Seiring tekane surat mau, murkalah kuwu desa
kuen, lan utusan sing gawa surat mau digebugi. Ndeleng penganiayaan kuen, Ki
Kuwu Sangkan paham yen rakyat ning daerah kuen njaluk perang, lan kabeh
laskare digawa ning suatu tempat. Ning kono wong-wong sing mau perang wis
siap karo alate dewek-dewek.

Sedurung perang dimulai Ki Kuwu Sangkan ngomong.

2
9
Seuwise kuwu desa mau ngomong mengkonon, Si Kuwu mau
merentahaken rakyate kanggo ngepung musuh. Nanging rakyat desa mau bisa
dikalahaken nang laskar Islam, dadine lapangan kuen kebek nang getih lan
ambune amis, dadine desa kuen dipai aran Desa Amis.

Rakyat kesawang keder, nanging durung ana tanda-tanda nyerah, nang


tenagane wis kekuras rakyat mau wis ora due kekuatan maning. Mengkonon
keding sing dirasakaken laskar Islam wis kerasa pegel.

Seuwise laskar Islam balik meng Cerbon, rakyat sing masih urip
mbereseken batur-bature sing uwis mati. Rong dina ntas kuen Ki Kuwu Sangkan
teka maning lan mbeluk uwong-uwong ning desa kanggo ngerongokaken khotbah.
Nanging ora ana sewiji uwong sing metu. Ki Kuwu Sangkan durung pati puas,
akhire nekani ning umah-umah, nanging umah wis pada kosong laka penunggune
maning. Nang uwong-uwong wis pada weruh kedatangane dadine uwong pada
mlayu meng alas. Ndeleng hal kuen Ki Kuwu Sangkan ngerasa dugal.

Seuwise ngucapaken omongan mau, Ki Kuwu Sangkan balik maning meng


Cerbon, sebalike meng Cerbon, desa mau dadi alas lan uwonge dadi siluman.
Alas mau diarani alas Sinang.

Terjemahan

Pada zaman dahulu waktu agama Islam baru tersebar di Pulau Jawa,
pada waktu itu Cirebon dan Indramayu sudah diselamatkan oleh laskar Islam
yang dipimpin oleh Ki Kuwu Sangkan. Pada suatu hari di saat matahari baru
saja memancarkan sinarnya, dan rakyat yang berada di pinggir hutan
sebagaimana biasanya sehari-hari kerjaannya adalah mencari kayu bakar.
Sementara anak laki-laki dan perempuan semuanya tinggal di tempatnya masing-
masing karena mereka mendengar kabar musuh sudah datang. 
Sehingga seluruh warga kembali ke rumahnya dan membawa gegaman
atau senjata jika laskar Islam datang ke desanya. Rakyat kemudian berkumpul
kembali di tempat yang telah ditentukan oleh pihak desa.  Tak lama kemudian
tampaklah utusan dari laskar Islam dengan membawa surat dari Kuwu Sangkan
yang isinya mengajak rakyat untuk masuk agama Islam. Dengan datangnya surat

3
0
tersebut marahlah Kuwu tersebut dan utusan yang membawa surat tersebut
dianiaya. Melihat penganiayaan tersebut Ki Kuwu Sangkan memahami bahwa
rakyat di daerah itu menghendaki perang, dan semua laskarnya dibawanya ke
suatu tempat. Di situ orang-orang yang mau berperang sudah siap dengan
alatnya masing-masing. 
Sebelum perang dimulai Ki Kuwu Sangkan berkata.
Sesudah kuwu desa tersebut berkata demikian, maka si Kuwu
memerintahkan rakyatnya untuk mengepung musuh. Tetapi rakyat desa itu bisa
dikalahkan oleh laskar Islam, sehingga lapangan tersebut penuh darah dan
baunya amis, maka desa tersebut diberi nama Desa Amis. 
Rakyat kelihatan bingung tetapi belum ada tanda-tanda menyerah, karena
tenaganya sudah berkurang mereka tidak mempunyai kekuatan lagi. Begitu juga
dengan laskar Islam merasa lelah.
Sesudah laskar Islam kembali ke Cirebon, rakyat yang masih hidup
membereskan teman-temannya yang sudah meninggal. Dua hari kemudian Ki
Kuwu Sangkan datang lagi dan memanggil orang-orang di desa untuk
mendengarkan khotbah. Tetapi tidak ada seorang pun yang keluar. Ki Kuwu
Sangkan belum begitu puas, akhirnya dia mendatangi rumah-rumah tersebut,
tetapi rumah sudah kosong dan tidak berpenghuni lagi. Karena orang-orang
sudah tahu kedatangannya sehingga semua orang lari ke hutan. Melihat hal
tersebut Ki Kuwu Sangkan merasa kesal.
Setelah mengucapkan kata-kata itu Ki Kuwu Sangkan pulang kembali ke
Cirebon, selama pergi ke Cirebon, desa tadi menjadi hutan dan orangnya
menjadi siluman. Hutan tersebut akhirnya dinamakan alas Sinang atau hutan
Sinang. Orang yang lewat atau mengunjungi hutan ini, kadang-kadang
mendengar suara orang yang sedang menumbuk padi, suara ayam tetapi tidak
ada wujudnya.
Kutipan di atas merupakan kutipan cerita yang berupa narasi yang
menceritakan peristiwa-peristiwa yang dialami oleh para tokoh. Porsi narasi cerita
pada legenda “Asal-usul Alas Sinang” lebih dominan dibandingkan dengan dialog
serta ungkapan tokoh di dalam monolog.

3
1
3. Wicara alihan
Bagian ini meliputi monolog tokoh yang terdapat pada cerita. Pada cerita
“Asal-usul Alas Sinang” hanya terdapat satu ungkapan pribadi tokoh sebagai
ekspresi kekesalannya. Hal tersebut pula yang menjadi inti cerita, ketika sang
tokoh mengutuk tokoh lain.

“Lamon mengkonon sira kabeh pada karo Sinang. Sira kabeh wis ora
eman ning awake dewek, mulai sekiyen sira kabeh ora garep melu campur
maning karo menusa.”

Terjemahan

“Kalau begitu kalian semua adalah sama dengan sinang, kamu semua
berarti tidak sayang terhadap diri sendiri, mulai saat ini kalian tidak akan
campur lagi dengan manusia”. 

2.2 Konteks Penuturan


A. Konteks Situasi
Cerita legenda "Asal-usul Alas Sinang" merupakan legenda setempat yang
dituturkan tanpa melalui persiapan khusus, waktu khusus, serta tempat yang
khusus. Cerita ini merupakan cerita yang berkembang pada masyarat secara
umum tanpa adanya unsur-unsur keistimewaan seperti cerita mite. Penuturan dan
perekaman cerita dilakukan itu sendiri dilakukan pada tanggal 2 Maret 2019.
Dalam penuturannya, cerita ini dapat dituturkan kapan saja. Berbeda
dengan cerita-cerita mite yang disucikan oleh masyarakat pendukungnya, legenda
hanya dianggap benar-benar terjadi namun tidak dianggap suci. Biasanya cerita ini
dituturkan melalui lisan ketika orang-orang sedang berkumpul, atau ketika orang
tua menceritakan kepada anaknya mengenai asal-usul penamaan tempat tersebut.
Fungsi tuturan cerita ini tidak memiliki kaitan dengan hal-hal ketradisian.
Cerita tuturan ini ditujukan supaya masyarakat sekitar mengetahui asal-usul
daerahnya, meskipun di dalam cerita tersebut memiliki muatan religius yang bisa
dijadikan sebagai sarana dakwah.
Dalam menuturkan cerita, penutur tidak menggunakan alat bantu. Penutur
hanya menuturkan ceritanya melalui lisan. Tidak ada media cerita seperti boneka,

3
2
wayang, alat-alat pusaka atau yang lainnya. Peneliti menggunakan telepon
genggam sebagai alat untuk merekam cerita tersebut.
Teknik penuturan yang digunakan merupakan teknik penuturan secara
dialog. Penutur dan pendengar melakukan dialog sebelum cerita tersebut
dituturkan. Tetapi, setelah penutur mulai menuturkan cerita, tidak terdapat dialog
karena penutur fokus terhadap cerita yang dituturkan.
B. Konteks Budaya
1). Lokasi
Cerita ini berkembang di daerah Kecamatan Cikedung, Lelea, dan Terisi.
Peneliti melakukan perekaman cerita di desa Tunggulpayung, Lelea, Indramayu.
Lokasi tersebut dipilih karena tidak jauh dengan tempat tinggal peneliti. Untuk
mengakses ke lokasi penutur tidak sulit, dapat menggunakan sepeda motor.
Sedangkan untuk lokasi yang diceritakan pada latar ceritanya berjarak cukup jauh.
Medan yang sulit karena masih merupakan hutan pun menjadi alasan peneliti
tidak meninjau langsung ke lokasi yang dikisahkan. Cara yang dapat ditempuh
untuk menjangkau lokasi dapat menggunakan sepeda motor, jalan menuju tempat
tersebut cukup curam dan berlubang.

2). Audiens-Penutur
Audiens yang hadir merupakan tetangga dari penutur. Audiens tersebut
berjumlah dua orang. Sebelum proses perekaman dilakukan, penutur memang
sedang dengan tetangganya tersebut. Penutur melakukan penuturan di teras rumah
secara terbuka. Sebelum cerita dituturkan ada beberapa percakapan sebagai proses

3
3
awal menuturkan cerita. Penutur dengan peneliti pun terlibat dalam beberapa
percakapan awal untuk menggiring penutur dalam menuturkan ceritanya.
Audiens/Pendengar :
Nama : Waryadi
Umur : 19 tahun
Alamat : Desa Tunggulpayung Blok 2 Kecamatan
Lelea, Kabupaten Indramayu
Pekerjaan : Belum bekerja
Pendidikan terakhir : SMK
Hubungan dengan penutur : Tetangga
Sedangkan, penuturnya bernama Karno. Seorang petani sekaligus pemilik
kebun mangga. Beliau lulusan SMA, pengetahuannya dalam konteks kebudayaan
lebih baik dari masyarakat lain pada umumnya. Beliau belum menikah. Di sekitar
rumahnya, beliau mendirikan musola sebagai tempat ibadah untuk umum. Di
pekarangan rumahnya, atau tepat di samping musola tersebut terdapat makam tua
yang tidak diketahui makam siapa. Tetapi, menurutnya pernah ada orang dari
Cirebon yang mendatangi makam tersebut.
3) Latar Sosial Budaya
Menurut Koentjaraningrat, terdapat 7 aspek kebudayaan yang meliputi :
Sistem kemasyarakatan, agama dan kepercayaan, sistem mata pencaharian,
bahasa, kesenian, sistem pengetahuan, teknologi.
a. Sistem Kemasyarakatan/Organisasi Sosial
Sistem kemasyarakatan yang terdapat pada lokasi cerita dituturkan
merupakan masyarakat pedesaan. Lokasi tersebut berada dalam wilayah desa yang
dipimpin oleh seorang kuwu. Keadaan sosial pada masyarakatnya cenderung
harmonis, masih terjalinnya hubungan antarpenduduk sebagai ciri khas kehidupan
sosial masyarakat pedesaan.
b. Agama dan Kepercayaan
Meskipun dahulunya agama yang pertama kali dianut oleh masyarakat
merupakan agama Hindu atau menganut sistem kepercayaan kejawen, tetapi pada
saat ini mayoritas masyarakatnya menganut agama Islam. Sedangkan, di salah

3
4
satu desa di desa Tugu, terdapat beberapa kepala keluarga yang menganut agam
Kristen Protestan dan Katolik.
c. Sistem Mata Pencaharian
Indramayu merupakan daerah yang memiliki dua sistem mata pencaharian
yang dominan, yiatu pada sektor kemaritiman dan agraris. Di lokasi cerita atau di
lokasi penutur menceritakan cerita tersebut masyarakatnya berprofesi sebagai
petani dan buruh tani. Letak geografis yang datar menjadi faktor sektor pertanian
menjadi mata pencaharian utama masyarakat di daerah tersebut. Petani merupakan
sebutan untuk orang yang bergelut di bidang pertanian dan memiliki lahan,
sedangkan buruh tani merupakan tenaga pekerja dalam mengolah kegiatan
pertanian di lahan milik petani.
d. Bahasa
Bahasa yang digunakan di daerah Indramayu merupakan bahasa Cirebon
dialek Indramayu. Meskipun, orang Indramayu sendiri tidak pernah menganggap
bahasa yang digunakan dengan sebutan bahasa Cirebon, mereka menyebutntya
sebagai bahasa Indramayu, bahasa Dermayu, atau bahasa
Dermayonan/Dermayuan. Bahasa Indramayu digolongkan sebagai bahasa Cirebon
dikarenakan perbedaannya tidak mencapai 30% dan Kabupaten Indramayu
dahulunya menjadi bagian wilayah keadipatian Cirebon.
Pada tiga kecamatan yang menjadi titik peresebaran cerita memiliki logat
bahasa yang berbeda, ada yang bernada tinggi, datar, cepat, dan mendayu-dayu.
Pada kosa kata yang dipakai pun terdapat beberapa perbedaan walaupu masih
lingkup satu wilayah kabupaten.
e. Kesenian
Kesenian yang berkembang di daerah tersebut cukup beragam. Kesenian-
kesenian yang ada dianggap sebagai suatu budaya tradisi lokal. Di antara kesenian
tersebut meliputi :
1. Sandiwara Indramayu
Sandiwara Indramayu merupakan seni lakon teater yang berada di
Indramayu (di Jatim disebut wayang orang, di Jateng disebut Ludruk, di Cirebon
bernama masres) sandiwara yang terkenal yaitu Aneka Tunggal, Dwi Warma,
Lingga Buana, Bina Remaja Indah, Yudha Putra, Chandra Sari, Perunggu

3
5
Kembar, dan lainnya. Dalam pementasannya, sandiwara juga mengisahkan
tentang cerita asal-usul alas Sinang dengan kemasan drama yang dipadu
improvisasi para pemerannya.
2. Wayang Kulit
Wayang kulit Indramayu menggunakan bahasa Indramayu yang berbeda
dengan wayang kulit dari daerah Jawa, termasuk dalam senda-guraunya. Dalang
yang terkenal adalah H. Anom Rusdi bersama Langen Budaya.
3. Bujangga/Pujangga
Kesenian ini merupakan tradisi lama yang berupa pembacaan kidung,
jawokan/mantra, cerita kenabian yang terdapat pada naskah-naskah kuno.
Pembacaannya dilakukan dengan irama nada yang khas.
4. Tarling dan Musik Tarling
Tarling merupakan kesenian yang pengiring musiknya berupa gitar dan
suling. Tarling berasal dari desa KepandeanTarling adalah salah satu jenis musik
yang populer di wilayah pesisir pantai utara (pantura) Jawa Barat, terutama
wilayah Indramayu dan Cirebon. Nama tarling diidentikkan dengan nama
instrumen itar (gitar) dan suling (seruling) serta istilah Yen wis mlatar gage eling
(Andai banyak berdosa segera bertaubat).
Menurut Wikipedia, asal-usul tarling mulai muncul sekitar tahun 1931 di
Desa Kepandean, Kabupaten Indramayu. Saat itu, ada seorang komisaris Belanda
yang meminta tolong kepada warga setempat yang bernama Mang Sakim, untuk
memperbaiki gitar miliknya. Mang Sakim waktu itu dikenal sebagai ahli gamelan.
Usai diperbaiki, sang komisaris Belanda itu ternyata tak jua mengambil kembali
gitarnya. Kesempatan itu akhirnya dipergunakan Mang Sakim untuk mempelajari
nada-nada gitar, dan membandingkannya dengan nada-nada pentatonis gamelan.
Saat itu nama yang digunakan untuk menyebut jenis musik ini adalah
Melodi Kota Ayu untuk wilayah Indramayu dan Melodi Kota Udang untuk
wilayah Cirebon. Tokoh-tokohnya adalah Hj. Dariyah, Yoyo Suwaryo, Jayana.
Sedangkan penyanyi dangdut tarlingnya seperti Susy Arzetty, Dewi Kirana, Sri
Avista, Ella Susanti, Ochol, Eddy Zacky, Didi Aswandi, Rohid Falak, Nina
Agustin, Yosica Komara, dan masih banyak lagi.

3
6
f. Sistem Pengetahuan
Sistem pengetahuan di daerah tersebut sudah modern, walaupun dalam
beberapa hal masih menggunakan pengetahuan tradisional. Contohnya seperti
pengetahuan tentang mengetahui obat suatu penyakit dengan menggunakan
primbon atau terawangan.
g. Teknologi
Pada saat ini, masyarakat yang ada di daerah tersebut sudah menggunakan
teknologi yang berkembang dalam berbagai sektor, seperti pada sektor pertanian
sudah menggunakan traktor dalam membajak sawah, menggunakan alat semprot
pestisida otomatis, menggunakan mesin penggiling padi atau grabagan.
4) Latar Sosial Ekonomi
Kondisi soal ekonomi masyarakat di wiliyah tersebut beragam. Mereka
mayoritas berprofesi sebagai petani, buruh tani, guru, serta pedagang. Ekonomi
mereka biasanya ditentukan sesuai dengan profesi. Petani merupakan tergolong ke
dalam kelas ekonomi menengah, umumnya para petani memiliki lahan
persawahan yang tidak sedikit. Sedangkan buruh tani tergolong ke dalam kelas
ekonomi menengah ke bawah. Buruh tani hanya bekerja jika mendapat panggilan
dari majikannya. Mereka akan mengurusi ladang persawahan milik orang lain
untuk mendapatkan upah.
Penutur merupakan seorang petani. Beliau memiliki sawah di beberapa
lokasi. Penutur juga memiliki kebun mangga serta perkebunan jati. Jika ditinjau
dari aset-aset yang dimiliki oleh penutur. Penutur tergolong dalam ekonomi kelas
menengah. Meskipun acuan tersebut dapat berbeda jika dibandingkan dengan
daerah lain. Perbandingan antara masyarakat yang tegolong dalam kelas ekonomi
menengah dan kebawah tidak terlalu timpang. Petani dan buruh tani relatif
mendominasi, sisanya merupakan pedagang serta masyarakat yang berprofesi di
bidang jasa.

2.3 Proses Penciptaan

Cerita legenda "Asal-usul Alas Sinang" diceritakan oleh penutur secara


spontan. Cerita tersebut merupakan hafalan. Penutur tidak menggunakan media
bantu dalam menuturkan ceritanya, cerita yang dituturkan mengalir sesuai dengan
pengetahuan dan daya ingat penuturnya.

3
7
2.4 Proses Pewarisan

Dalam proses pewarisannya, dalam tuturan terdapat dua proses pewarisan :

1. Vertikal, yaitu antara generasi yang berbeda atau dituturkan secara turun
temurun.
2. Horizontal, yaitu antara generasi yang relatif sama.

Cerita legenda "Asal-usul Alas Sinang" dapat menggunakan dua proses


pewarisan. Akan tetapi, pada penelitian ini penutur memperoleh cerita tersebut
dari generasi yang relatif sama tanpa adanya hubungan keluarga. Karena antara
penutur dengan orang yang mewariskan merupakan generasi yang relatif sama
serta tidak memiliki kaitan kekeluargaan. Maka, proses pewarisannya merupakan
horizontal. Penutur memperoleh cerita tersebut dari guru seni budaya sewaktu
masih bersekolah.

2.5 Fungsi Cerita

Menurut William R. Bascom, fungsi cerita dalam folkor adalah sebagai


berikut.

1. Sistem proyeksi
2. Alat pengesahan pranata-pranata dan lembaga-lembaga kebudayaan
3. Alat Pendidikan anak
4. Alat pemaksa dan pengawas agar norma-norma masyarakat dipatuhi
anggota kolektifnya.

Mengacu pada fungsi yang dikemukakan tersebut, fungsi cerita pada


legenda "Asal-usul Alas Sinang" memiliki beberapa fungsi. Fungsi yang paling
dominan merupakan sistem proyeksi atau gambaran keinginan, di mana pasukan
laskar Islam diceritakan dapat mengalahkan penduduk yang masih memeluk
agama lamanya. Sedangkan pada fungsi lainnya, terdapat fungsi alat pendidikan,
karena pada cerita tersebut dikisahkan orang yang menolak untuk memeluk agama
Islam dan menolak mendengarkan khotbah dapat dikutuk. Lalu, terdapat pula
fungsi pengesahan pranata-pranata dan lembaga-lembaga kebudayaan, hal
tersebut terletak pada anggapan mengenai alas Sinang yang dipercaya sebagai

3
8
tempat yang angker karena terdapat makhluk kutukan yang dahulunya merupakan
penduduk desa sekitar hutan itu

Bagian cerita yang mencerimnkan fungsi cerita sebagai alat proyeksi serta
alat pendidikan anak terletak pada akhir cerita yang berujung dengan adanya
pengutukan yang dilakukan oleh Ki Kuwu Sangkan terhadap penduduk desa yang
bersembunyi.

“Lamon mengkonon sira kabeh pada karo Sinang. Sira kabeh wis ora
eman ning awake dewek, mulai sekiyen sira kabeh ora garep melu campur
maning karo menusa.”

Terjemahan

“Kalau begitu kalian semua adalah sama dengan sinang, kamu semua
berarti tidak sayang terhadap diri sendiri, mulai saat ini kalian tidak akan campur
lagi dengan manusia”.
Pada ujaran tersebut, Ki Kuwu Sangkan mengucapkan kalimat kutukan
yang ditujukkan kepada penduduk desa. Hal tersebut dapat menjadi indikasi
bahwa Islam digambarkan dapat mengalahkan kekuatan para penduduk yang
masih memeluk ajaran lama sehingga dapat dikutuk dan diubah wujudnya. Selain
itu, peristiwa tersebet dapat pula menjadi sarana pendidikan anak karena peristiwa
itu mengandung pelajaran bahwa orang yang menolak untuk masuk Islam dan
menolak mendengarkan khotbah dapat dikutuk.
2.6 Makna Cerita
Makna yang terkandung pada cerita legenda "Asal-usul Alas Sinang"
bahwasanya penolakan ajaran keagamaan atau kepercayaan yang baru alangkah
baiknya tidak ditanggapi dengan respon negatif. Penolakan yang dilakukan dapat
lebih dihaluskan kembali. Segala sesuatu yang berawal dari ketidakbaikan akan
berdampak tidak baik pula untuk diri sendiri. Hal tersebut tercermin dalam
kutipan cerita sebagai berikut.
Ora sue ntas kuen, katon utusan sing laskar Islam karo nggawa surat
saking Kuwu Sangkan sing isine ngajak rakyat kanggo manjing agama Islam.
Seiring tekane surat mau, murkalah kuwu desa kuen, lan utusan sing gawa surat
mau digebugi. Ndeleng penganiayaan kuen, Ki Kuwu Sangkan paham yen rakyat

3
9
ning daerah kuen njaluk perang, lan kabeh laskare digawa ning suatu tempat.
Ning kono wong-wong sing mau perang wis siap karo alate dewek-dewek.
Terjemahan
Tak lama kemudian tampaklah utusan dari laskar Islam dengan membawa
surat dari Kuwu Sangkan yang isinya mengajak rakyat untuk masuk agama
Islam. Dengan datangnya surat tersebut marahlah Kuwu tersebut dan utusan
yang membawa surat tersebut dianiaya. Melihat penganiayaan tersebut Ki Kuwu
Sangkan memahami bahwa rakyat di daerah itu menghendaki perang, dan semua
laskarnya dibawanya ke suatu tempat. Di situ orang-orang yang mau berperang
sudah siap dengan alatnya masing-masing. 

4
0
3. SIMPULAN
Legenda setempat yang dikaji pada penelitian ini adalah legenda “Asal-
usul Alas Sinang”, cerita tersebut merupakan legenda yang berkembang pada
masyarakat Indramayu bagian barat, yaitu sekitar wilayah kecamatan Cikedung,
kabupaten Indramayu. Legenda “Asal-usul Alas Sinang” digolongkan sebagai
legenda setempat karena berkaitan dengan tempat serta penamaan tempat yaitu
alas dalam bahasa Jawa berarti hutan.
Cerita legenda ini tidak sepopuler seperti legenda yang lain, dikarenakan
proses penyebarannya masih terbatas. Cerita tersebut mengisahkan tentang proses
islamisasi yang dilakukan oleh Ki Kuwu Sangkan beserta Laskar Islam terhadap
penduduk sekitar hutan Sinang yang berujung pada penolakan. Kemudian, karena
merasa kelakukan penduduk tersebut sudah melewati batas-batas adab
kemanusiaan, Ki Kuwu Sangkan menjadi murka dan mengutuk penduduk itu
menjadi siluman. Karena itu, hutan tersebut hingga saat ini diberi nama sebagai
hutan Sinang atau hutan Siluman.
Tipe cerita pada legenda “Asal-usul Alas Sinang” mirip dengan cerita
“Terbentuknya Gunung Tangkuban Perahu” atau “Asal-muasal Candi
Prambanan”. Kedua cerita tersebut memiliki kesamaan terhadap pola cerita yang
menyebabkan akibat terbentuknya nama/temnpat yang dikisahkan.
Pemilihan cerita pada penelitian ini karena cerita “Asal-usul Alas Sinang”
yang dipilih sebagai objek penelitian merupakan cerita yang belum banyak
diketahui oleh masyarakat luar, padahal cerita ini memiliki isi serta pola
penceritaan yang mirip dengan cerita legenda yang populer di nusantara.
Keunikan yang dihadirkan pada cerita ini terdapat juga pada peristiwa pengutukan
yang terjadi di akhir cerita. Peristiwa terseebut berbeda dengan cerita Islamisasi
lain di Indonesia yang biasanya disambut dengan baik.
Cerita ini memiliki latar belakang sebagai awal-mula islamisasi yang
dilakukan di wilayah Indramayu, dalam cerita tersebut dilakukan di wilayah
sekitar hutan. Proses islamisasi dalan cerita itu dilakukan oleh Ki Kuwu Sangkan,
yang merupakan seorang ulama dari daerah Cirebon bersama dengan para Laskar
Islam. Selain memiliki kesamaan tipe dengan beberapa cerita yang lebih dikenal,
“Asal-usul Alas Sinang” juga menarik karena sebagai cerita religius.

4
1
Pada cerita "Asal-usul Alas Sinang" terdapat 16 fungsi penggerak cerita
yang menjadi kausalitas peristiwa yang terjadi pada cerita tersebut. Dalam cerita
“Asal-usul Alas Sinang”, peristiwa-peristiwa yang diceritakan merupakan
peristiwa yang terjadi sesuai dengan hubungan kausalitas antarperistiwa. Pola
cerita serta alur pada cerita tersebut membentuk pola lurus. Sehinggga, pada cerita
ini tidak ditemukan ingatan atau pun bayangan tokoh. Peristiwa yang terjadi
merupakan peristiwa yang terjadi pada waktu itu juga.
Pengaluran pada cerita “Asal-usul Alas Sinang” dapat ditinjau dari urutan
fungsi penggerak cerita yang terdapat pada alur cerita. Fungsi-fungsi cerita
tersebut membentuk pola lurus yang menandakan bahwa tidak ada urutan peristwa
yang berasal dari ingatan atau bayangan tokoh. Dapat disimpulkan bahwa dalam
cerita “Asal-usul Alas Sinang” menggunakan jenis pengaluran lurus atau linear.
Tokoh utama pada cerita tersebut adalah Ki Kuwu Sangkan sebagai
pemimpin laskar Islam. Sedangkan tokoh bawahannya merupakan Kuwu desa.
Tokoh-tokoh lain seperti pasukan laskar Islam dan penduduk desa merupakan
tokoh kolektif pada cerita tersebut. Latar tempat dalam cerita ini hanya meliputi
desa dan hutan. Latar desa merupakan tempat terjadinya peristiwa-peristiwa
peperangan berlangsung, sekaligus menjadi tempat tinggal para penduduk. Desa
yang disebutkan merupakan daerah yang berada di Indramayu. Waktu
berlangsungnya tidak disebutkan berdasarkan tahun. Waktu tersebut hanya
disebutkan sebagai garis besar. Dalam cerita tersebut disebutkan berlangsungnya
cerita atau peristiwa itu pada masa Islam mulai tersebar di Pulau Jawa. Artinya,
cerita tersebut berlangsung ketika agama Islam di Jawa mulai disebarkan oleh
para wali. Dengan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa cerita tersebut berlatar
sekitar abad 16-17 M jika mengacu pada proses penyebaran agama Islam di Jawa.
Dalam cerita “Asal-usul Alas Sinang”, kehadiran pencerita menggunakan
pencerita ekstern. Pencerita tidak termasuk dalam bagian cerita tersebut. Pencerita
menggunakan pronomina 3, yaitu dengan menyebutkan nama-nama tokoh dalam
proses ceritanya. Sedangkan, pada tipe penceritannya terdapat tiga tipe
penceritaan, yaitu wicara yang dilaporkan, wicara yang dinarasikan, serta wicara
alihan.

4
2
Lampiran
1. Transkripsi Cerita

Asal-Usul Alas Sinang

Ning zaman bengen lagi agama Islam nembe nyebar ning Pulo Jawa, ning
waktu kuen Cerbon karo Dermayu wis diselametaken nang laskar Islam sing
dipimpin Ki Kuwu Sangkan. Ning sewijineng dina, lagi srengenge nembe
mancuraken sinare, lan rakyat sing ana ning pinggir alas kaya biasa saban dina
kerjae yaiku golati kayu bakar. Bocah-bocah lanang lan wadon kabeh meneng
ning genahe dewek-dewek ngerungu kabar yen musuh uwis teka.

“Kita ora garep tunduk ning kaen kang gawa agama anyar meng desa kita.
Kita kudu siap karo ageman lan senjata dewek-dewek.” Omonge kepala desa ning
rakyate

“Kita kudu nonggoni kaen teka ning tempat sing amba.”

Sehingga warga kabeh balik meng umahe lan gawa ageman utawa senjata
yen laskar Islam teka meng desane. Rakyat ntas kuen kumpul maning ning tempat
sing uwis ditentukaken nang pihak desa. Ora sue ntas kuen, katon utusan sing
laskar Islam karo nggawa surat saking Kuwu Sangkan sing isine ngajak rakyat
kanggo manjing agama Islam. Seiring tekane surat mau, murkalah kuwu desa
kuen, lan utusan sing gawa surat mau digebugi. Ndeleng penganiayaan kuen, Ki
Kuwu Sangkan paham yen rakyat ning daerah kuen njaluk perang, lan kabeh
laskare digawa ning suatu tempat. Ning kono wong-wong sing mau perang wis
siap karo alate dewek-dewek.

Sedurung perang dimulai Ki Kuwu Sangkan ngomong.

“Hey, rakyat sekabeh, sebenere kedatangane isun meng mene kanggo


ngajak sampeyan nyembah ning Allah Kang Maha Mulia. Yen sampeyan kabeh
ora terima, terpaksa isun milih dalan siji-sijine, yaiku perang.”

“Heh, wong anyar, aja keakehen lewa lan aja akeh cerita. Ayoh toh pati
jiwa kelawan raga.” Omong kuwu ning desa kuen.

4
3
Seuwise kuwu desa mau ngomong mengkonon, Si Kuwu mau
merentahaken rakyate kanggo ngepung musuh. Nanging rakyat desa mau bisa
dikalahaken nang laskar Islam, dadine lapangan kuen kebek nang getih lan
ambune amis, dadine desa kuen dipai aran Desa Amis.

Rakyat kesawang keder, nanging durung ana tanda-tanda nyerah, nang


tenagane wis kekuras rakyat mau wis ora due kekuatan maning. Mengkonon
keding sing dirasakaken laskar Islam wis kerasa pegel.

“Hei rakyat, sekiyen isun bli garep nerusaken peperangan maning, nanging
ngko sedina atawa rong dina maning isun arep teka maning, lan arep
nyelametaken sira kabeh.”

Seuwise laskar Islam balik meng Cerbon, rakyat sing masih urip
mbereseken batur-bature sing uwis mati. Rong dina ntas kuen Ki Kuwu Sangkan
teka maning lan mbeluk uwong-uwong ning desa kanggo ngerongokaken khotbah.
Nanging ora ana sewiji uwong sing metu. Ki Kuwu Sangkan durung pati puas,
akhire nekani ning umah-umah, nanging umah wis pada kosong laka penunggune
maning. Nang uwong-uwong wis pada weruh kedatangane dadine uwong pada
mlayu meng alas. Ndeleng hal kuen Ki Kuwu Sangkan ngerasa dugal.

“Lamon mengkonon sira kabeh pada karo Sinang. Sira kabeh wis ora
eman ning awake dewek, mulai sekiyen sira kabeh ora garep melu campur maning
karo menusa.”

Seuwise ngucapaken omongan mau, Ki Kuwu Sangkan balik maning


meng Cerbon, sebalike meng Cerbon, desa mau dadi alas lan uwonge dadi
siluman. Alas mau diarani alas Sinang. Uwong-uwong sing liwat atawa ngunjungi
alas kuen, kadang-kadang ngerungu suara wong sing lagi bebek pari, suara ayam
sing laka wujude, lan kejadian aneh sejene.

4
4
2. Transliterasi Cerita

Asal-Usul Hutan Sinang


Pada zaman dahulu waktu agama Islam baru tersebar di Pulau Jawa, pada
waktu itu Cirebon dan Indramayu sudah diselamatkan oleh laskar Islam yang
dipimpin oleh Ki Kuwu Sangkan. Pada suatu hari di saat matahari baru saja
memancarkan sinarnya, dan rakyat yang berada di pinggir hutan sebagaimana
biasanya sehari-hari kerjaannya adalah mencari kayu bakar. Sementara anak laki-
laki dan perempuan semuanya tinggal di tempatnya masing-masing karena mereka
mendengar kabar musuh sudah datang. 
“Kita tidak akan tunduk kepada mereka yang membawa agama yang baru
ke desa kita. Kita harus siap dengan gegaman atau senjata masing-masing.” Ucap
kepala desa kepada rakyatnya.
“Kita harus menunggu mereka datang di tempat yang luas.”
Sehingga seluruh warga kembali ke rumahnya dan membawa gegaman
atau senjata jika laskar Islam datang ke desanya. Rakyat kemudian berkumpul
kembali di tempat yang telah ditentukan oleh pihak desa. Tak lama kemudian
tampaklah utusan dari laskar Islam dengan membawa surat dari Kuwu Sangkan
yang isinya mengajak rakyat untuk masuk agama Islam. Dengan datangnya surat
tersebut marahlah Kuwu tersebut dan utusan yang membawa surat tersebut
dianiaya. Melihat penganiayaan tersebut Ki Kuwu Sangkan memahami bahwa
rakyat di daerah itu menghendaki perang, dan semua laskarnya dibawanya ke
suatu tempat. Di situ orang-orang yang mau berperang sudah siap dengan alatnya
masing-masing. 
Sebelum perang dimulai Ki Kuwu Sangkan berkata.
“Hey, rakyat semuanya, sebenarnya kedatangan saya kesini untuk
mengajak kalian memuja Allah Yang Maha Mulia. Kalau kalian tidak
menerimanya, terpaksa saya memilih jalan satu-satunya yaitu perang.”
“Heh, orang baru, janganlah banyak bicara mari kita adu kesaktian,” Ucap
Kuwu desa tersebut.
Sesudah kuwu desa tersebut berkata demikian, maka si Kuwu
memerintahkan rakyatnya untuk mengepung musuh. Tetapi rakyat desa itu bisa

4
5
dikalahkan oleh laskar Islam, sehingga lapangan tersebut penuh darah dan baunya
amis, maka desa tersebut diberi nama Desa Amis. 
Rakyat kelihatan bingung tetapi belum ada tanda-tanda menyerah, karena
tenaganya sudah berkurang mereka tidak mempunyai kekuatan lagi. Begitu juga
dengan laskar Islam merasa lelah.
“Hai rakyat, sekarang saya tidak akan meneruskan peperangan lagi, tetapi
nanti sehari atau dua hari lagi aku akan datang lagi, dan akan menyelamatkan
kalian.”
Sesudah laskar Islam kembali ke Cirebon, rakyat yang masih hidup
membereskan teman-temannya yang sudah meninggal. Dua hari kemudian Ki
Kuwu Sangkan datang lagi dan memanggil orang-orang di desa untuk
mendengarkan khotbah. Tetapi tidak ada seorang pun yang keluar. Ki Kuwu
Sangkan belum begitu puas, akhirnya dia mendatangi rumah-rumah tersebut,
tetapi rumah sudah kosong dan tidak berpenghuni lagi. Karena orang-orang sudah
tahu kedatangannya sehingga semua orang lari ke hutan. Melihat hal tersebut Ki
Kuwu Sangkan merasa kesal.
“Kalau begitu kalian semua adalah sama dengan sinang, kamu semua
berarti tidak sayang terhadap diri sendiri, mulai saat ini kalian tidak akan campur
lagi dengan manusia”. 
Setelah mengucapkan kata-kata itu Ki Kuwu Sangkan pulang kembali ke
Cirebon, selama pergi ke Cirebon, desa tadi menjadi hutan dan orangnya menjadi
siluman. Hutan tersebut akhirnya dinamakan alas Sinang atau hutan
Sinang. Orang yang lewat atau mengunjungi hutan ini, kadang-kadang mendengar
suara orang yang sedang menumbuk padi, suara ayam tetapi tidak ada wujudnya.

4
6
3. Foto-foto

1. Sandiwra dengan lakon “Siluman Alas Sinang)

2. Makam Kibuyutan Sinang

4
7
BIODATA INFORMAN

Nama : Karno

Umur : 25 Tahun

Tempat dan Tanggal lahir : Indramayu, 16 Agustus 1994

Jenis Kelamin : Laki-laki

Pendidikan Terakhir : SMA

Profesi : Petani

Status Perkawinan : Belum kawin

Hubungan dengan Peneliti : Rekan organisasi karang taruna

4
8
BIODATA PENELITI

Nama : Harry Handika

Umur : 18 tahun

Tempat dan Tanggal Lahir : Indramayu, 6 September 2000

Alamat : Desa Tunggulpayung Blok 2 kecamatan Lelea,


kabupaten Indramayu

Pendidikan saat ini : Universitas Pendidikan Indonesia

Jenis Kelamin : Laki-laki

Hubungan dengan Penutur : Rekan organisasi karang taruna

4
9
DAFTAR PUSTAKA

Todorov, Tzevetan. 1985. Tata Sastra. Terjemahan Okke K.S. Zaimar, dkk.
Jakarta: Djambatan.

Danandjaja, James.1997. Folklor Indonesia: ilmu gosip, dongeng, dan lain-


lain. Jakarta: Grafiti.

Nurgiyantoro, Burhan. 2005. Sastra Anak; Pengantar Pemahaman Dunia


Anak. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Amir, Andriyetti. 2013. Sastra lisan Indonesia. Yogyakarta: CV Andi


Offset.

Koentjaraningrat. 1984. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka.

Hutomo, Suripan Sadi. 1991. Mutiara yang terlupakan. Malang: Dioma.

https://id.wikipedia.org/wiki/Tarling

5
0

Anda mungkin juga menyukai