Anda di halaman 1dari 6

Sandal Jepit Merah

Cerpen Karangan: Siti Roizah


Kategori: Cerpen Anak, Cerpen Misteri, Cerpen Persahabatan
Lolos moderasi pada: 26 July 2017

Hari ini Hari Minggu. Biasanya Ayah mengajakku pergi ke kota untuk sekedar jalan-jalan atau makan
di luar, namun tumben sekali Ayah masih sibuk di depan laptopnya sampai jam 10 siang, sepertinya
pekerjaan Ayah belum selesai.

Ibu sibuk memasak makan siang, itu artinya kita tidak akan ke mana-mana hari ini. Asik, itu artinya
aku bisa main sepeda dengan teman-teman nanti. Aku pun mengambil buku komik Quark ku yang
baru ke teras. Belum sempat aku buka lembaran buku itu, tiba-tiba datanglah teman-temanku
dengan sepeda mereka masing-masing.

Habib, Ammar, Rima dan Vita memang sering datang ke rumahku. Kami bersekolah di sekolah yang
sama, SD Alam Aqila kelas dua. Pada hari libur dan sepulang sekolah kami selalu bermain bersama.
Paling sering berkumpul di teras rumahku sambil mengobrol, bermain lego atau membaca, kalau
bosan kami akan bersepeda mencari hal-hal menarik di sekitar kampung kami.

Essaaaa Ayo sepedaan! teriak mereka kompak sekali.


Boleh sini masuk dulu jawabku sambil membuka pintu pagar.
Mereka pun memarkir sepedanya di dalam halaman rumahku yang sempit, kemudian berbondong-
bondong duduk di teras. Aku pun mengeluaran sepeda biruku dari garasi sambil pamit kepada Ibu.

Mau pada ke mana? tanya Ibu. Ibu keluar sambil masih membawa sutil, sepertinya tadi sedang
menggoreng ayam.
Jalan-jalan aja bu jawab Habib.
Mau pada minum dulu nggak? tanya Ibu.
Ga usah deh Jawab Ammar, Makasih, Bude
Vita mau, air putih aja kata Vita, disusul Rima juga mengangguk minta air putih.
Habib mau minum apa? tanya Ibu.
Nggak, aku nggak haus kok, Bude Jawab Habib.
Kopi juga ga mau? Ibu menggoda Habib. Habib memang suka sekali kopi.
Tadi udah minum kopinya Bapak kok, kalo susu mau deh kata Habib malu-malu. Kami pun tertawa,
kemudian Ibu masuk mengambilkan pesanan minuman temen-temanku.

Beberapa menit kemudian, Ibu pun keluar membawa nampan berisi teko air putih, segelas susu, dan
lima buah gelas, serta sepiring pisang goreng. Kami pun mengucapkan terima kasih dan menyerbu
nampan tersebut.
Tadi malam waktu sholat Isya, sandalku hilang di masjid kata Habib setelah meneguk susunya.
Kami terkejut.
Oh ya? seru Rima.
Iya, aku pulang dari masjid nggak pakai sandal kemarin Cerita Habib. Kata Bapakku nggak apa-
apa, nanti Bapak belikan sandal baru
Sandalmu yang merah itu, Bib? tanya Rima. Habib mengangguk, kami pun menatapnya dengan
iba, karena sandal jepit merah itu adalah sandal kesayangan Habib pemberian dari tantenya sebelum
hari lebaran yang lalu. Habib selalu memakainya ke mana-mana.
Wah, aku jadi penasaran siapa yang mengambil sandal Habib Ujarku sambil mengambil pisang
goreng yang kedua. Sandalku juga hilang beberapa hari yang lalu, tetapi besoknya, sandalku
ketemu lagi di masjid, waktu aku abis sholat jumat.
Masa? Bisa ketemu lagi, Sa? tanya Habib tak percaya. Aku pun menceritakan detailnya pada
teman-temanku. Selesai sholat jumat ketika hendak pulang, tiba-tiba aku melihat sandal kuningku di
bawah teras masjid, aku mengenalinya karena sandal itu talinya ada bekas coretan cat akrilikku yang
berwarna biru. Aku pun membawanya pulang tanpa berpikir apa-apa.
Pasti sandalmu dicuri, Sa, lalu pencurinya memakai sandalmu lagi untuk pergi ke masjid Ujar Vita.
Wah, aku penasaran apakah sandal Habib juga dicuri oleh orang yang sama dengan yang
mengambil sandal Essa. kata Ammar, tanpa sadar kami semua mengangguk-angguk sependapat
dengannya.
Sebelum terbukti siapa yang mengambil sandal Habib, lebih baik kita nggak usah suudzon dulu,
teman-teman Rima mengingatkan.
Iya iya, Ummi jawab kami serempak sambil tertawa.
Nah, pisang gorengnya udah abis nih, ayo kita kemon aku bangkit berdiri, kemudian melongok ke
dalam pamitan pada Ibu.

Teman-teman mengambil sepedanya masing-masing lalu kami pun bersepeda ke arah rumah Habib
di desa Bobosan, karena Habib bilang pohon mangga neneknya sedang berbuah lebat. Kebetulan
sekali sesampainya di sana, Ayah Habib sedang mengambil buah mangga menggunakan galah. Kami
membantu menampung mangga-mangga yang ranum itu ke dalam keranjang untuk diperam agar
matang sempurna. Kata Ayah Habib kalau tidak segera diambil, buah-buah itu akan dimakan oleh
hewan-hewan malam. Beberapa mangga yang sudah matang kemudian dikupas dan kemudian kami
pun makan mangga sepuasnya, rasanya manis dan segar sekali.

Beberapa saat kemudian tiba-tiba adzan duhur berkumandang. Aku suka sekali mendengar adzan.
Aku ingin sekali cepat jadi anak SMP agar bisa Adzan di masjid. Kata Pak Haji Rohman, aku boleh
Adzan di masjid kalau aku sudah SMP. Aku sudah berlatih setiap hari agar suara adzanku semakin
baik, kalau sudah besar nanti aku juga ingin menjadi muadzin di masjidku sendiri Insya Allah. Habib
membuyarkan lamunanku, katanya Ayo kita ke masjid, temen-temen

Kami pun pamit kepada Ayah Habib, lalu bersepeda melewati rumah Vita dan Rima agar mereka bisa
mengambil peralatan sholat mereka, kemudian menuju masjid di desaku. Saat memasuki halaman
masjid, tiba-tiba Habib berteriak tertahan Eh, itu kan sandal jepit merahku!
Kami bergegas mendekat, benar saja, itu adalah sepasang sandal jepit merah Habib yang hilang. Aku
memungutnya lalu memberikannya kepada Habib untuk diperiksa. Habib membalikkan sandal itu,
dan ada tulisan huruf H berukuran besar memakai spidol marker permanen berwarna hitam.
Ini sandalku gumam Habib, lalu kepalanya menengok ke arah dalam masjid. Kami pun mendadak
tegang. Siapa yang memakai sandal ini ke masjid ya? Kami masuk ke dalam masjid diam-diam. Di
masjid sudah ada 5 orang yang datang. Pak Haji Rohman yang sedang sholat sunnah, Ayahku, dan
tiga orang anak sebayaku, Firman, Daffa dan Dimas. Kami berbisik-bisik. Kalau menurutku, Pak Haji
dan Ayah tidak mungkin mencuri sandal Habib, maka kemungkinan pelakunya adalah Firman, Daffa
atau Dimas.

Firman terlihat sedang duduk mengobrol dengan suara pelan bersama Dimas, sedangkan Daffa
duduk sendirian di pojok. Ammar mengusulkan supaya sandal Habib diamankan dulu agar tidak
dibawa pulang oleh pencurinya. Ternyata Habib tidak setuju, dia ingin tahu siapa orang yang
mengambil sandalnya. Aku bilang pada Habib, pencurinya tentu saja yang pulang tanpa sandal nanti.
Ammar menggeleng, dia bilang, bisa saja nanti pencurinya akan mengambil sandal yang lain kalau
sandalnya tiba-tiba hilang. Benar juga, kami pun mengambil air wudhu, dan sepakat untuk
membiarkan sandal Habib di teras masjid lalu kami akan mengintai siapa yang mengambil sandal itu
sesudah sholat nanti.
Sholat dhuhur berjalan terasa sangat lama, aku berusaha keras untuk khusyu namun tetap saja
pikiranku menebak-nebak siapa yang mengambil sandal Habib. Sesudah salam, aku ingin sekali
bergegas keluar, namun Ayah melirik kami dengan tajam, kami pun mengurungkan niat untuk keluar
cepat-cepat. Kami berzikir dan berdoa dulu bersama jamaah dewasa yang lain. Namun ekor mata
kami melirik Firman, Daffa dan Dimas satu persatu mulai meninggalkan mesjid. Kami cemas, lalu
perlahan mengakhiri doa kami dan berjalan keluar. Ya Allah, aku menyesal telah berdoa dan berzikir
terburu-buru, semoga Allah memaafkan kami, karena kami sedang berburu pencuri sandal.

Sampai di luar kami kehilangan jejak. Ketiga anak itu sudah pulang, dan sandal jepit merah Habib
pun lenyap. Kami bertiga melangkah gontal menuju parkiran sepeda. Di sana Rima dan Vita sudah
menunggu kami.

Kenapa muka kalian dilipat begitu? tanya Vita geli.


Kita kehilangan jejak, sandalku udah dipakai pulang oleh pencurinya kata Habib sambil menyetang
sepedanya.
Kita bisa memeriksa rumah mereka kan? Rumah mereka bertiga kan di desa ini, kita bisa
melanjutkan penyelidikan ini ujar Ammar dengan semangat.
Mereka bertiga siapa? Yang memakai sandal Habib Cuma satu orang kok ujar Rima.
Iya, kok tiga? tanya Vita bingung.
Kalian berdua melihat siapa yang memakai sandalku tadi? seru Habib.
Iya dong, kita berdua tadi mengintai diam-diam dari balik pintu. Kalian sih lama sekali keluarnya
jawab Rima, Vita mengiyakan sambil tersenyum.
Iya soalnya tadi kita ah sudahlah, siapa yang memakai sandalku tadi? tanya Habib tak sabar. Aku
dan Ammar pun tak sabar mendengar jawabannya.
Kalian pasti tak percaya jawab Rima.

Beberapa menit kemudian, Kami bersepeda menuju sebuah rumah besar di pinggir jalan, lalu
melongok ragu-ragu ke dalam pekarangannya yang luas. Di depan rumah terparkir dua buah mobil
berwarna hitam, di terasnya ada satu set kursi teras yang terbuat dari rotan berwarna putih, dan
sebuah bangku panjang dari besi menghadap kursi rotan itu lalu ada semacam tiga anak tangga
menuju teras yang terlihat lebih tinggi dari jalan. Rumah ini adalah rumah terbesar yang ada di
kampungku, penghuninya konon adalah seorang pengusaha besar dari kota. Salah satu anak mereka,
kami mengenalnya sebagai Daffa, anak yang pendiam namun terlihat ramah. Dia jarang sekali
bergaul dengan anak-anak di kampung ini, kecuali hanya keluar untuk sholat di mesjid. Kami tak
percaya waktu Rima berkata bahwa Daffa lah yang memakai sandal jepit merah Habib. Bukan hanya
karena Daffa anak yang pendiam dan terlihat baik, namun karena dia anak orang kaya. Sepertinya
dia tidak mungkin mencuri apalagi mencuri sepasang sandal jepit. Namun Rima dan Vita meyakinkan
kami bahwa benar Daffa yang tadi memakai sandal Habib pulang.

Dengan wajah bertanya-tanya, kami mengintip di balik semak bunga sepatu di balik pagar rumah
Daffa. Kami melihat beberapa sandal dan sepatu yang bagus-bagus di teras, lalu kemudian kami
menangkap sesuatu berwarna merah di dekat pot bunga. Kepala kami menjulur lebih dekat, dan
benar saja, itu memang sepasang sandal jepit merah milik Habib. Kami berunding sebentar, untuk
memutuskan apakah kami akan masuk ke rumah Daffa atau kembali pulang. Belum sempat kami
memutuskan sesuatu, tiba-tiba seseorang keluar dari dalam rumah, Ayahnya Daffa. Beliau memakai
sandalnya lalu membuka pagar, saat melihat kami beliau terlihat terkejut. Kami pun terkejut, seolah-
olah tertangkap basah, kami pun tak tahu hendak melakukan atau berkata apa.

Adik-adik mau main ke rumah Daffa ya? tanya Ayah Daffa ramah.
I..ii..iya Jawab Rima. Sementara kami berempat masih belum bisa berkata-kata, hanya
mengangguk-angguk saja dengan pikiran kacau, bagaimana kami mau main ke rumah Daffa? Padahal
kami mau mengkonfirmasikan perihal sandal jepit merah Habib yang hilang.
Masuklah, adik-adik, Om mau pergi dulu ke toko seberang jalan itu kata Ayah Daffa, Itu Daffa ada
di ruang depan
Kemudian Ayah Daffa pun pergi meninggalkan kami. Kami berlima kemudian masuk ke dalam
pekarangan dengan ragu-ragu. Sesampainya di depan pintu, kami mengetuk. Daffa yang membuka
pintu, dia terlihat terkejut dan kikuk, namun tersenyum menyambut kami.

Hai, kalian mau bertemu aku ya tanya Daffa perlahan. Ibu Daffa keluar lalu menyalami kami satu
persatu, kemudian berkata, Wah, tumben sekali ada teman Daffa datang berkunjung. Kalian teman
sekolahnya Daffa ya?
Oh, bukan Tante, kami anak-anak kampung sini jawabku, dalam hati aku bingung sekali bagaimana
cara menjelaskan maksud tujuan kami datang ke rumah Daffa. Habib terlihat tak sabar, namun kami
memberi isyarat kepada Habib agar menunda apa yang dia mau katakan sampai ibu Daffa masuk ke
dalam rumah.
Oh kalau begitu tante tinggal ke dalam ya. Daffa, temen-temennya diajak main di dalam saja, baca
buku atau main mainan-mainanmu di kamar Ibu Daffa ramah sekali, namun kami menjawab dengan
kompak nggak usah Tante, kami di luar aja
Oh ya sudah kalau begitu, Tante masuk dulu ya
iya

Setelah Ibu Daffa masuk, kami berenam duduk dengan canggung, saling berpandang-pandangan
untuk beberapa saat. Aku menatap Habib, memberikan isyarat supaya Habib membuka
pembicaraan. Namun Habib seperti menelan semua kata-kata yang hendak diucapkannya tadi. Dia
diam sambil menggaruk-garuk kepalanya, lalu bicara terbata-bata.
Daffa emmm aku Habib
Aduuh, dia malah mengajak kenalan, aku gemas setengah mati.
Iya aku tahu jawab Daffa dengan tenang, lalu melanjutkan, kamu Habib, kamu Essa, terus kamu
Ammar, kamu Vita dan kamu Rima, iya kan?
Daffa bergantian menatap kami.
Kami mengangguk. Lalu Daffa berkata, Aku juga tahu kenapa kalian ke sini.
Kami berpandang-pandangan, lalu Habib berkata, Aku mau tanya, apa kamu
mencuri sandal jepit kamu? Daffa memotong pertanyaan Habib, Habib pun mengangguk, kami
semua mengangguk.
Iya maaf ya jawab Daffa mengaku. Lalu mengambil sandal jepit merah milik Habib kemudian
menyerahkannya kepada Habib.
Aku juga mau minta maaf sama kamu Daffa kemudian menatapku, aku juga sudah mengambil
sandalmu yang berwarna kuning beberapa minggu yang lalu, tetapi sepertinya kamu sudah
mengambilnya lagi ya?
Oh, jadi kamu juga yang mengambil sandalku dari mesjid? tanyaku dengan suara agak tinggi, aku
marah sekali pada Daffa, karena seenaknya mengambil milik orang lain, lalu minta maaf tanpa rasa
bersalah sama sekali.
Iya, aku tahu itu salah, aku tahu mencuri itu dosa, tapi aku terpaksa Daffa tertunduk malu.
Terpaksa? Kenapa? tanya Vita, ikut emosi juga rupanya.
Aku.. aku ingin sekali berteman dengan kalian. Tapi aku ga tau caranya. Kalian selalu bermain
bersama, ke mana-mana berlima, sekolah sama-sama. Aku mau menyapa kalian tapi aku tidak
berani, aku malu. Makanya aku nggak punya teman di kampung ini. Di sekolah juga, temanku hanya
satu karena aku pemalu
Kami terdiam, kemudian Habib berkata, Ya tetap saja, kamu nggak boleh mencuri sandal.
iya, aneh banget sih, emangnya kalau kamu mencuri sandal, kami mau berteman dengan kamu?
Vita melipat kedua tangannya dengan sebal.
Iya, aku tau itu salah, tapi aku berharap, bisa mengembalikan sandalmu lalu kita bisa bermain
bersama, waktu itu aku mau mengembalikan sandal Essa tapi Essa udah keburu menemukannya di
mesjid Daffa menjelaskan, seperti mau menangis, makanya aku mengambil sandal Habib, aku tidak
berniat mencurinya, hanya meminjamnya lalu aku akan kembalikan
Aku merasa penjelasan Daffa tidak masuk akal. Mencuri dengan alasan hendak berteman, sungguh
aneh anak ini, pikirku. Namun kalau dilihat-lihat, anak ini sangat lugu sekali. Masa dia berpikir untuk
mencuri sandal, kemudian malah memakai sandal curiannya ke mesjid pula, kalau dipikir-pikir dia ini
pencuri amatiran. Dia juga bilang gak berniat mencuri, tapi berniat mengembalikan agar bisa
berteman, rumit sekali cara dia berteman.

Aku selalu sendirian aja dengan asisten Ibuku di rumah, karena ayah ibuku selalu sibuk bekerja, jadi
aku kesepian nggak punya teman. Aku minta maaf ya, kalau kalian nggak mau berteman denganku
juga nggak apa-apa. Tapi aku minta maaf ya Daffa benar-benar menangis, kami pun jadi kasihan.
Iya aku maafkan, tapi kamu harus janji ga akan mencuri sandal lagi! kataku.
Daffa mengangguk dengan cepat Aku janji!
Habib masih cemberut, aku mencoleknya. Dia akhirnya buka suara, Iya deh, aku maafkan
Daffa tersenyum. Kami berdiri hendak pulang. Daffa menatap kami pergi, namun sesampainya di
pintu pagar Habib berhenti. Dia berbalik lalu mendekati Daffa, kami menatapnya dengan tegang.
Habib mau ngapain lagi sih?

Di depan Daffa Habib menyerahkan sandal jepit merahnya.


Ini buat kamu aja. Kata Habib.
Hah? Kenapa? Enggak kok, aku udah punya banyak sandal kata Daffa terkejut.
Iya Bib, kenapa sih? Kata Vita Itu kan sandal jepit kesayangan kamu
Engga papa Vit, aku mau ngasih sandal jepit ini untuk teman baruku Kata Habib dengan tenang.
Daffa pun tersenyum, Jadi kamu mau jadi teman aku?
Kemudian aku, Vita, Ammar dan Rima pun mendekati mereka berdua dan tertawa bersama. Aku
lega karena masalah sandal kami yang hilang terpecahkan dan teman kami bertambah satu
sekarang.

Yuk pulang yuk, lapar niiih. Ibu kamu masak apa, Sa? tanya Habib. Habib adalah penggemar
masakan ibuku.
Sepertinya ayam goreng, yuk kemon kita pulang ajakku.
Eh, sebentar, tunggu dulu Daffa kemudian masuk ke dalam rumah, lalu kira-kira dua menit
kemudian keluar lagi.
Ibuku udah menyiapkan makan siang buat kita semua, ayo masuk ujar Daffa dengan riang.

Kami pun berpandang-pandangan lalu masuk dengan ragu-ragu, namun demi melihat hidangan yang
lezat di meja makan dan perut kami berbunyi kruyuk-kruyuk, kami pun makan dengan lahap sambil
merencanakan apa yang akan kita berenam lakukan besok sepulang sekolah.

Cerpen Karangan: Siti Roizah


Facebook: facebook.com/siti.roizah

Cerpen Sandal Jepit Merah merupakan cerita pendek karangan Siti Roizah, kamu dapat mengunjungi
halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.

"Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!"


Share ke Facebook Twitter Google+

Anda mungkin juga menyukai