Anda di halaman 1dari 46

1.

Hikayat Si Miskin
Suatu hari, sepasang suami istri yang dikutuk menjadi miskin, melahirkan seorang anak yang
bernama Marakarma. Sejak anak itu lahir, keduanya pun mulai hidup berkecukupan. Suatu saat,
seorang ahli nujum meramalkan bahwa Marakarma akan membawa sial bagi keluarganya. Ayah
Murakarma pun meyakini hal tersebut dan sang anak pun dibuangnya ke suatu tempat. Sejak
anaknya dibuang, hidup Ayah Murakarma justru semakin miskin lagi melarat.

Di tempat lain, Murakarma yang terbuang belajar berbagai kesaktian di tempat pembuangannya.
Tanpa sebab yang jelas, dia dituduh telah melakukan pencurian, dan dia pun dibuang ke lautan dan
terdampar di pantai. Saat terdampar di pantai, dia bertemu dengan seorang putri yang bernama Putri
Cahaya. Sang putri tersebut telah menyelamatkan hidup Murakarma. Sejak saat itu, Murakarma pun
mencoba pulang ke kampung halamannya. Selama di perjalanan, dia pun mendapatkan kesialan
demi kesialan, sekaligus keberuntungan demi keberuntungan.

2. Hikayat Tanjung Lesung


Suatu ketika, ada seorang pengembara yang bernama Raden Budog yang tengah beristirahat di
pohon ketapang laut yang ada di suatu pantai. Angin semilir pantai membuat ia terlena dan terlelap
dalam mimpinya. Dalam mimpinya, Raden Budog tengah mengembara ke arah utara, dan bertemu
dengan seorang gadis cantik jelita. Sang pengembara pun terpesona lalu mengekar gadis tersebut.

Saat hendak memegang tangan si gadis, sebuah ranting pohon ketapang menimpuk kepalanya.
Sontak, sang pengembara pun terbangun dari tidurnya. “Ranting keparat! Kalau saja dia tidak jatuh,
aku pasti akan menikmati mimpiku tadi.” Semenjak itu, mimpi tersebut selalu terbayang-bayang di
benaknya, dan pengembaraan pun akhirnya dia teruskan.
Hikayat Yong Dolah
YONG DIKEJAR HARIMAU

“Padà suatu hari saàt yong istrahat sehàbis berburu dihutan, tibà -tiba ada
seekor hàrimau jantan mendekati yong dàn siap untuk menerkàm. Cepat -
cepat yong berlàri, dalam kejar-kejaràn itu, jarak antarà yong dan harimau
hanya tinggàl satu meter sajà. Disaat harimau leng àh, cepat-cepat yong
memanjàt pohon pinàng.” Yong diam sejenak

“Setelah lamà yong tunggu diatàs pohon pinang yang kebetulàn berbuah
lebàt itu, harimau tàk kunjung pergi. Naik daràh yong, yong gego
(goncàng) pohon pinàng itu sampài berguguran buahnyà menimp a
harimàu,, eee harimàu bergeming, tàk kunjung pegi”

“Yong lihàt harimau tak màu pergi, yong guncàng lagi pohon pinàng itu
sekuat-kuatnyà, kali ini yong heràn, kenapà harimau berlàri terbibit -birit,
setelàh yong periksà, rupanyà buah pinàng yong copot sebi ji dàn
mengenài kepala harimau. Oleh karenà itulah harimàu lari tunggang
langgang”

Maknanyà : kalau pergi berburu haruslàh membawa senjata yàng lengkap,


ketika berjumpà binatang buas bisà untuk membelà diri. Tidak perlu
memànjat pohon.

Yong dolàh adalah seorang Legendà dari kotà Bengkalis yang sangàt
populer di provinsi Riàu dengan cerita dongengnya yàng penuh maknà.
Kini beliàu telah wafàt. Namun telatàh almarhum tidak pernàh lekang
dimakàn masa, tetàp selalu dikenàng oleh masyarakat Kabupàten
Bengkalis.
HIKAYAT PANJI SEMIRANG

Satu kerajaan yang mana berita tentang Galuh Cendera Kirana yang mana putri dari
Baginda Raja Nata yang amat ta`lim dan hormat kepada orangtuanya akan
bertunangan dengan Raden Inu Kini telah terdengar beritanya oleh Galuh Ajeng .
Mendengar berita ini Galuh Ajeng sangat teriris hatinya dan menangislah ia mlihat
keadaan ini. Melihat hal ini Paduka Liku yang tak lain adalah ayah dari galuh ajeng
sangat menyayangkan hal tersebut. Sangat sedih ia melihat tingkah laku putrinya
tersebut.

Tidak hentinya rasa benci, dengki, serta dendam di dalam hati Paduka Liku
sehingga ia berencena untuk membunuh Galuh Cendera Kirana serta Paduka Nata.
Ia meracuni makanan yang hendak mereka makan yang mana makanan tersebut
telah dipersiapkan oleh dayang-dayang istana. Agar jikalau Galuh Cendera Kirana
mati maka pastilah putrinya Galuh Ajeng yang kelak menggantikan posisi Galuh
Cendera Kirana untuk ditunangkan dengan Raden Inu Kini begitu pula dengan Raja
Nata yang apabila mati, kelak Raja Liku yang akan menggantikan posisinya.

Dan pada saat tersebut Raja Liku meminta tolong kepada saudaranya yang juga
menteri untuk mencarikan baginya seorang yang pandai membuat guna guna untuk
mengguna-gunai raja nata serta putrinya. Setelah di dapatkan dari pencarian yang
panjang oleh saudaranya tersebut, disampaikanlah kepada Raja Nata apa-apa yang
harus dilakukannya kini sesuai dengan psean dari ahli guna-guna tersebut.
Hikayat Abu Nawas – Ibu Sejati

Kisah ini mirip dengan kejadian pada masa Nabi Sulaiman ketika masih
muda.

Entah sudah berapa hari kasus seorang bayi yang diakui oleh dua orang
ibu yang sama-sama ingin memiliki anak. Hakim rupanya mengalami
kesulitan memutuskan dan menentukan perempuan yang mana
sebenarnya yang menjadi ibu bayi itu.

Karena kasus berlarut-larut, maka terpaksa hakim menghadap Baginda


Raja untuk minta bantuan. Baginda pun turun tangan. Baginda memakai
taktik rayuan. Baginda berpendapat mungkin dengan cara -cara yang amat
halus salah satu, wanita itu ada yang mau meng alah. Tetapi
kebijaksanaan Baginda Raja Harun Al Rasyid justru membuat kedua
perempuan makin mati-matian saling mengaku bahwa bayi itu adalah
anaknya. Baginda berputus asa.

Mengingat tak ada cara-cara lain lagi yang bisa diterapkan Baginda
memanggil Abu Nawas. Abu Nawas hadir menggantikan hakim. Abu
Nawas tidak mau menjatuhkan putusan pada hari itu melainkan menunda
sampai hari berikutnya. Semua yang hadir yakin Abu Nawas pasti sedang
mencari akal seperti yang biasa dilakukan. Padahal penundaan itu hanya
disebabkan algojo tidak ada di tempat.

Keesokan hari sidang pengadilan diteruskan lagi. Abu Nawas memanggrl


algojo dengan pedang di tangan. Abu Nawas memerintahkan agar bayi itu
diletakkan di atas meja.

“Apa yang akan kau perbuat terhadap bayi itu?” kata ked ua perempuan itu
saling memandang. Kemudian Abu Nawas melanjutkan dialog.

“Sebelum saya mengambil tindakan apakah salah satu dari kalian


bersedia mengalah dan menyerahkan bayi itu kepada yang memang
berhak memilikinya?”

“Tidak, bayi itu adalah anakku.” kata kedua perempuan itu serentak.

“Baiklah, kalau kalian memang sungguh -sungguh sama menginginkan bayi


itu dan tidak ada yang mau mengalah maka saya terpaksa membelah bayi
itu menjadi dua sama rata.” kata Abu Nawas mengancam.

Perempuan pertama girang bukan kepalang, sedangkan perempuan kedua


menjerit-jerit histeris.

“Jangan, tolongjangan dibelah bayi itu. Biarlah aku rela bayi itu seutuhnya
diserahkan kepada perempuan itu.” kata perempuan kedua. Abu Nawas
tersenyum lega. Sekarang topeng mereka sudah terbuka. Abu Nawas
segera mengambil bayi itu dan langsurig menyerahkan kepada perempuan
kedua.

Abu Nawas minta agar perempuan pertama dihukum sesuai dengan


perbuatannya. Karena tak ada ibu yang tega menyaksikan anaknya
disembelih. Apalagi di depan mata. Baginda Raj a merasa puas terhadap
keputusan Abu Nawas. Dan .sebagai rasa terima kasih, Baginda menawari
Abu Nawas menjadi penasehat hakim kerajaan. Tetapi Abu Nawas
menolak. la lebih senang menjadi rakyat biasa.
Hikayat Bunga Kemuning

Dahulu kala ada seorang raja yang memiliki 10 orang puteri yang diberi nama Puteri
Jambon, Puteri Jingga, Puteri Nila, Puteri Hijau, Puteri Ungu, Puteri Kelabu, Puteri
Biru, Puteri Oranye, Puteri Merah Merona dan Puteri Kuning.Istri raja meninggal
dunia setelah melahirkan Puteri Kuning. Ke-9 puteri sangat manja dan nakal,
berbeda dengan si bungsu Puteri Kuning yang ramah dan baik hati.

Suatu hari raja hendak pergi jauh. Ke-9 puterinya meminta oleh-oleh yang mewah,
namun Puteri Kuning hanya memint ayahnya kembali dengan selamat.

Ketika sang raja pulang, ia memberi Puteri Kuning sebuah kalung batu hijau. Puteri
Hijau merasa cemburu, ia bersama saudaranya yang lain memukul kepala Puteri
Kuning hingga ia meninggal. Tanpa sepengetahuan orang-orang istana, ke-9 puteri
mengubur Puteri Kuning.

Mengetahui puteri bungsunya hilang, sang raja mencarinya, namun pencariannya


tak membuahkan hasil.
Suatu hari tumbuhlah sebuah tanaman di atas kubur Puteri Kuning.Karena tanaman
tersebut nampak seperti Puteri Kuning, maka sang raja menamainya Puteri
Kemuning.
1. “PERKARA SI BUNGKUK DAN SI PANJANG”

Mashudulhakk arif bijaksana dan pandai memutuskan perkara-perkara yang sulit

sebagai ternyata dari contoh yang di bawah ini:

Hatta maka berapa lamanya Masyhudulhakk pun besarlah. Kalakian maka bertambah-

tambah cerdiknya dan akalnya itu. Maka pada suatu hari adalah dua orang laki-istri

berjalan. Maka sampailah ia kepada suatu sungai. Maka dicaharinya perahu hendak

menyeberang, tiada dapat perahu itu. Maka ditantinya 1) kalau-kalau ada orang lalu

berperahu. Itu pun tiada juga ada lalu perahu orang. Maka ia pun berhentilah di tebing

sungai itu dengan istrinya. Sebermula adapun istri orang itu terlalu baik parasnya.

Syahdan maka akan suami perempuan itu sudah tua, lagi bungkuk belakangnya. Maka

pada sangka orang tua itu, air sungai itu dalam juga. Katanya, “Apa upayaku hendak

menyeberang sungai ini?”

Maka ada pula seorang Bedawi duduk di seberang sana sungai itu. Maka kata orang itu,

“Hai tuan hamba, seberangkan apalah kiranya hamba kedua ini, karena hamba tiada

dapat berenang; sungai ini tidak hamba tahu dalam dangkalnya.” Setelah didengar oleh

Bedawi kata orang tua bungkuk itu dan serta dilihatnya perempuan itu baik rupanya,

maka orang Bedawi itu pun sukalah, dan berkata di dalam hatinya, “Untunglah sekali

ini!”

Maka Bedawi itu pun turunlah ia ke dalam sungai itu merendahkan dirinya, hingga

lehernya juga ia berjalan menuju orang tua yang bungkuk laki-istri itu. Maka kata orang

tua itu, “Tuan hamba seberangkan apalah 2) hamba kedua ini. Maka kata Bedawi itu,

“Sebagaimana 3) hamba hendak bawa tuan hamba kedua ini? Melainkan seorang juga

dahulu maka boleh, karena air ini dalam.”

Maka kata orang tua itu kepada istrinya, “Pergilah diri dahulu.” Setelah itu maka

turunlah perempuan itu ke dalam sungai dengan orang Bedawi itu. Arkian maka kata

Bedawi itu, “Berilah barang-barang bekal-bekal tuan hamba dahulu, hamba

seberangkan.” Maka diberi oleh perempuan itu segala bekal-bekal itu. Setelah sudah

maka dibawanyalah perempuan itu diseberangkan oleh Bedawi itu. Syahdan maka pura-

pura diperdalamnya air itu, supaya dikata 4) oleh si Bungkuk air itu dalam. Maka

sampailah kepada pertengahan sungai itu, maka kata Bedawi itu kepada perempuan itu,

“Akan tuan ini terlalu elok rupanya dengan mudanya. Mengapa maka tuan hamba

berlakikan orang tua bungkuk ini? Baik juga tuan hamba buangkan orang bungkuk itu,
agar supaya tuan hamba, hamba ambit, hamba jadikan istri hamba.” Maka berbagai-

bagailah katanya akan perempuan itu.

Maka kata perempuan itu kepadanya, “Baiklah, hamba turutlah kata tuan hamba itu.”

Maka apabila sampailah ia ke seberang sungai itu, maka keduanya pun mandilah,

setelah sudah maka makanlah ia keduanya segala perbekalan itu. Maka segala kelakuan

itu semuanya dilihat oleh orang tua bungkuk itu dan segala hal perempuan itu dengan

Bedawi itu.

Kalakian maka heranlah orang tua itu. Setelah sudah ia makan, maka ia pun berjalanlah

keduanya. Setelah dilihat oleh orang tua itu akan Bedawi dengan istrinya berjalan, maka

ia pun berkata-kata dalam hatinya, “Daripada hidup melihat hal yang demikian ini,

baiklah aku mati.”

Setelah itu maka terjunlah ia ke dalam sungai itu. Maka heranlah ia, karena dilihatnya

sungai itu aimya tiada dalam, maka mengarunglah ia ke seberang lalu diikutnya Bedawi

itu. Dengan hal yang demikian itu maka sampailah ia kepada dusun tempat

Masyhudulhakk itu.

Maka orang tua itu pun datanglah mengadu kepada Masyhudulhakk. Setelah itu maka

disuruh oleh Masyhudulhakk panggil Bedawi itu. Maka Bedawi itu pun datanglah dengan

perempuan itu. Maka kata Masyhudulhakk, “Istri siapa perempuan ini?”

Maka kata Bedawi itu, “Istri hamba perempuan ini. Dari kecil lagi ibu hamba pinangkan;

sudah besar dinikahkan dengan hamba.”

Maka kata orang tua itu, “Istri hamba, dari kecil nikah dengan hamba.”

Maka dengan demikian jadi bergaduhlah mereka itu. Syahdan maka gemparlah. Maka

orang pun berhimpun, datang melihat hal mereka itu ketiga. Maka bertanyalah

Masyhudulhakk kepada perempuan itu, “Berkata benarlah engkau, siapa suamimu

antara dua orang laki-laki ini?”

Maka kata perempuan celaka itu, “Si Panjang inilah suami hamba.”

Maka pikirlah 5) Masyhudulhakk, “Baik kepada seorang-seorang aku bertanya, supaya

berketahuan siapa salah dan siapa benar di dalam tiga orang mereka itu.

Maka diperjauhkannyalah laki-laki itu keduanya. Arkian maka diperiksa pula oleh

Masyhudulhakk. Maka kata perempuan itu, “Si Panjang itulah suami hamba.”

Maka kata Masyhudulhakk, “Jika sungguh ia suamimu siapa mentuamu laki-laki dan

siapa mentuamu perempuan dan di mana tempat duduknya?”


Maka tiada terjawab oleh perempuan celaka itu. Maka disuruh oleh Masyhudulhakk

perjauhkan. Setelah itu maka dibawa pula si Panjang itu. Maka kata Masyhudulhakk,

“Berkata benarlah engkau ini. Sungguhkah perempuan itu istrimu?”

Maka kata Bedawi itu, “Bahwa perempuan itu telah nyatalah istri hamba; lagi pula

perempuan itu sendiri sudah berikrar, mengatakan hamba ini tentulah suaminya.”

Syahdan maka Masyhudulhakk pun tertawa, seraya berkata, “Jika sungguh istrimu

perempuan ini, siapa nama mentuamu laki-laki dan mentuamu perempuan, dan di mana

kampung tempat ia duduk?”

Maka tiadalah terjawab oleh laki-laki itu. Maka disuruh oleh Masyhudulhakk jauhkan laki-

laki Bedawi itu. Setelah itu maka dipanggilnya pula orang tua itu. Maka kata

Masyhudulhakk, “Hai orang tua, sungguhlah perempuan itu istrimu sebenar-benamya?”

Maka kata orang tua itu, “Daripada mula awalnya.” Kemudian maka dikatakannya, siapa

mentuanya laki-laki dan perempuan dan di mana tempat duduknya

Maka Masyhudulhakk dengan sekalian orang banyak itu pun tahulah akan salah Bedawi

itu dan kebenaran orang tua itu. Maka hendaklah disakiti oleh Masyhudulhakk akan

Bedawi itu. Maka Bedawi itu pun mengakulah salahnya. Demikian juga perempuan

celaka itu. Lalu didera oleh Masyhudulhakk akan Bedawi itu serta dengan perempuan

celaka itu seratus kali. Kemudian maka disuruhnya tobat Bedawi itu, jangan lagi ia

berbuat pekerjaan demikian itu.

Maka bertambah-tambah masyhurlah arif bijaksana Masyhudulhakk itu.

Unsur Intrinsik dan ekstrinsik HIKAYAT

Judul : HIKAYAT MASHUDULHAKK (perkara si bungkuk dan si panjang)

Unsur intrinsik :

· Tema : Kesetiaan dan Pengkhianatan dalam Cinta

· Tokoh :

ü Masyhudulhakk : arif, bijaksana, suka menolong, cerdik, baik hati.

ú …Masyhudulhakk pun besarlah. Kalakian maka bertambah-tambah cerdiknya dan

akalnya itu.

ú Maka bertambah-tambah masyhurlah arif bijaksana Masyhudulhakk itu.

ú …..Maka pikirlah 5) Masyhudulhakk,”Baik kepada seorang-seorang aku bertanya,

supaya berketahuan siapa salah dan siapa benar di dalam tiga orang mereka itu.

ü Si Bungkuk : setia pada istrinya, suka mengalah, mudah percaya.


ú Maka kata orang tua itu, “Istri hamba, dari kecil nikah dengan hamba.

ú Maka Bedawi itu pun turunlah ia ke dalam sungai itu merendahkan dirinya, hingga

lehernya juga ia berjalan menuju orang tua yang bungkuk laki-istri itu. Maka kata orang

tua itu, “Tuan hamba seberangkan apalah 2) hamba kedua ini.

ú Maka kata orang tua itu kepada istrinya, “Pergilah diri dahulu.” Setelah itu maka

turunlah perempuan itu ke dalam sungai dengan orang Bedawi itu.

ü Si Panjang / Bedawi : licik, egois.

ú Setelah didengar oleh Bedawi kata orang tua bungkuk itu dan serta dilihatnya

perempuan itu baik rupanya, maka orang Bedawi itu pun sukalah, dan berkata di dalam

hatinya, “Untunglah sekali ini!

ú Maka kata Bedawi itu, “Bahwa perempuan itu telah nyatalah istri hamba; lagi pula

perempuan itu sendiri sudah berikrar, mengatakan hamba ini tentulah suaminya.

ü Istri Si Bungkuk : mudah dirayu, tidak setia, suka berbohong, egois.

ú hamba jadikan istri hamba.” Maka berbagai-bagailah katanya akan perempuan

itu.Maka kata perempuan itu kepadanya, “Baiklah.

ú ….maka diperiksa pula oleh Masyhudulhakk. Maka kata perempuan itu, “Si Panjang

itulah suami hamba.

· Setting :

ü tempat :

ú tepi sungai : Maka ia pun berhentilah di tebing sungai itu dengan istrinya.

ú Sungai : turunlah perempuanitu ke dalam sungai dengan orang Bedawi itu

ü Suasana :

ú menegangkan: Maka pada sangka orang tua itu, air sungai itu dalam juga.

ú Mengecewakan: “Daripada hidup melihat hal yang demikian ini, baiklah aku

mati.Setelah itu maka terjunlah ia ke dalam sungai itu.

ú Membingungkan: Maka dengan demikian jadi bergaduhlah mereka itu. Syahdan maka

gemparlah.

ü Waktu : tidak diketahui

· Alur : Alur maju

ü Eksposisi :

Mashudulhakk arif bijaksana dan pandai memutuskan perkara-perkara yang sulit maka

berapa lamanya Masyhudulhakk pun besarlah. Kalakian maka bertambah-tambah

cerdiknya dan akalnya itu. Maka pada suatu hari adalah dua orang laki-istri berjalan.
Maka sampailah ia kepada suatu sungai.

ü Complication :

….serta dilihatnyaperempuan itu baik rupanya, maka orang Bedawi itu pun sukalah, dan

berkata di dalam hatinya, “Untunglah sekali ini!

ü Rising action :

Maka sampailah kepada pertengahan sungai itu, maka kata Bedawi itu kepada

perempuan itu, “Akan tuan ini terlalu elok rupanya dengan mudanya. Mengapa maka

tuan hamba berlakikan orang tua bungkuk ini? Baik juga tuan hamba buangkan orang

bungkuk itu, agar supaya tuan hamba, hamba ambit, hamba jadikan istri hamba.”

ü Turning point :

Maka orang tua itu pun datanglah mengadu kepada Masyhudulhakk. Setelah itu maka

disuruh oleh Masyhudulhakk panggil Bedawi itu. Maka Bedawi itu pun datanglah dengan

perempuan itu. Masyhudulhakk, “Baik kepada seorang-seorang aku bertanya, supaya

berketahuan siapa salah dan siapa benar di dalam tiga orang mereka itu.

ü Ending :

Masyhudulhakk dengan sekalian orang banyak itu pun tahulah akan salah Bedawi itu dan

kebenaran orang tua itu. Maka Bedawi itu pun mengakulah salahnya. Demikian juga

perempuan celaka itu. Lalu didera oleh Masyhudulhakk akan Bedawi itu serta dengan

perempuan celaka itu seratus kali.

· Poin of View :

ü orang ke-3 :

Maka bertambah-tambah masyhurlah arif bijaksana Masyhudulhakk itu.

· Amanat :

ü Jangan berbohong karena berbohong itu tidak baik, merupakan dosa, dan hanya akan

menimbulkan kerugian pada diri kita sendiri

ü Bantulah dengan ikhlas orang yang membutuhkan bantuan

ü Syukurilah jodoh yang telah diberikan Tuhan, yakini bahwa jodoh itu baik untuk kita

ü Jangan mengambil keputusan sesaat yang belum dipikirkan dampaknya

ü Jadilah orang yang bijaksana dalam mengatasi suatu masalah

Unsur ekstrinsik :

· Nilai religiusitas : kita harus selalu bersyukur atas apa yang telah diberikan oleh

Allah. Jangan pernah merasa iri dengan apa yang tidak kita miliki karena apa yang te;ah
diberikan Allah kepada kita adalah sesuatu yang memang terbaik untuk kita. Janagn

seperti yang ada pada hikayat mashudulhakk.

· Nilai moral :

Janganlah sekali-kali kita memutar balikkan fakta, mengatakan bahwa yang salah itu

benar dansebaliknya, karena bagaimanapun juga kebenaran akan mengalahkan ketidak

benaran.

· Nilai social budaya :

Sebuah kesalahan pastilah akan mendapat sebuah balasan, pada hikayat ini diterangkan

bahwa seorang yang melakukan keslahan seperti berbohong maka akan did era

sebanyak seratus kali. (Lalu didera oleh Masyhudulhakk akan Bedawi itu serta dengan

perempuan celaka itu seratus kali.)

· Kepengarangan :

Hikayat mashudulhakk ini dari salah satu naskah lama (Collectie v.d. Wall) dengan

diubah di sana-sini setelah dibandingkan dengan buku yang diterbitkan oleh A.F. v.d.

Wall (menurut naskah yang lain dalam kumpulan yang tersebut).Dalam Volksalmanak

Melayu 1931 (Balai Pustaka) isi naskah yang dipakai v.d. Wall itu diringkaskan dan

sambungannya dimuat pula, dengan alamat “Masyudhak”.. Dinantinya.

=======================================================

=======================================================

==================================
2. “IBNU HASAN”

Syahdan, zaman dahulu kala, ada seorang kaya hartawan, bernama Syekh Hasan,

banyak harta banyak uang, terkenal kesetiap negeri, merupakan orang terkaya,

bertempat tinggal du negeri Bagdad, yang terkenal kemana-mana, sebagai kota yang

paling ramai saat itu.

Syekh Hasan sangat bijaksana, mengasihi fakir miskin, menyayangi yang kekurangan,

menasehati yang berikiran sempit, mengingatkan orang yang bodoh, diajari ilmu yang

baik, walaupun harus mengeluarkan biaya, berupa pakaian atau uang, karena itu

banyak pengikutnya.

Syekh Hasan saudagar yang kaya raya, memiliki seorang anak, laki-laki yang sangat

tampan, pendiam, dan baik budi, berusia sekitar tujuh tahun. Ibnu Hasan namanya.

Ibnu Hasan sedang lucu-lucuya, semua orang senang melihatnya, apalagi orang tuanya,

namun demikian anak itu, tidak sombong, perilakunya kalem, walaupun hidupnya

dimanjakan, tidak kekurangan sandang, namun Ibnu Hasan sama suka bersolek, karena

itulah kedua orang tuanya sangat menyayanginya.

Ayahnya berfikir,”Alangkah salahnya aku, menyayangi diluar batas, tanpa pertimbangan,

bagaimana kalau akhirnya, dimirkai Allah Yang Agung, aku pasti durhaka, tak dapat

mendidik anak, mengkaji ilmu yang bermanfaat.”

Dipanggilnya putranya. Anak itu segera mendatanginya, diusap-usapnya putranya

sambil dinasihati, bahwa Ia harus mengaji, katanya “Sekarang saatnya anakku,

sebenarnya aku kuatir, tapi, pergilah ke Mesir, carilah jalan menuju keutamaan.”

Ibnu Hasan menjawab,”Ayah jangan ragu-ragu, jangankan jalan menuju kemuliaan,

jalan kematianpun hamba jalani, semua kehendak orang tua, akan hamba turuti, tidak

akan ku tolak, siang malam hanya perintah Ayah Ibu yang hamba nantikan.”

Singkat cerita, Ibnu Hasan yang akan berangkat kepesantren, berpisah dengan kedua

orangtuanya, hatinya sangat sedih, ibunya tidak tahan menangis terisak-isak, harus

berpisah dengan putranya, yang masih sangat kecil, belum cukup usia.

“Kelak, apabila ananda sudah sampai, ketempat merantau, pandai-pandailah menjaga

diri, karena jauh dari orang tua, harus tahu ilmunya hidup, jangan keras kepala, angkuh

dan menyombongkan diri, merasa lebih dari yang lain, merasa diri orang kaya lalu

menghina sesama. Kalau begitu perbuatanmu, hidupmu tidak akan senangkaena

dimusuhi semua orang, tidak akan ada yang mau menolong, kalau celaka tidak akan
diperhatikan, berada dirantau orang, kalau judes akan mendapatkan kesusahan, hati-

hatilah menjaga diri jangan menganggap enteng segala hal.”

Ibnu Hasan menjawab dengan takzim,”Apa yang Ibu katakan, akan selalu kuingat dan

kucatat dalam hati, doakanah aku agar selamat, semoga jangan sampai menempuh

jalan yang salah, pesan Ibu akan kuperhatikan, siang dan malam.”

Singkat cerita Ibnu Hasan sudah berangkat dikawal dua pengasuhnya sejak kecil, Mairin

dan Mairun,mereka berangkat berjalan kaki, Mairun memikul semua perbekalan dan

pakaian, sementara Mairin mengikuti dari belakang, sesekali menggantikan tugas

Mairun.

Perasaan sedih prihatin, kehujanan, kepanasan, selama perjalanan yang makan waktu

berhari-hari namun akhirnya sampai juga dipusat kota Negara Mesir, dengan selamat

berkat do’a Ayah dan Ibunda, selanjutnya, segera Ian menemui seorang alim ulama,

terus berguru padanya.

Pada suatu hari, saatba’da zuhur, Ibnu Hasan sedang di jalan, bertemu seseorang

bernama Saleh, yang baru pulang dari sekalah, Ibnu Hasan menyapa,”Anda pulang dari

mana?”

Saleh menjawab dengan sopan,”Saya pulang sekolah.” Ibnu Hasan bertanya lagi,”

Sekolah itu apa? Coba jelaskan padaku!” yang ditanya menjawab,”Apakah anda belum

tahu?”

“sekolah itu tempat ilmu, tepatnya tempat belajar, berhitung, menulis, mengeja, belajar

tatakrama, sopan santun terhadap yang lebih tua dan yang lebih muda, dan terhadap

sesama, harus sesuai dengan aturan.”

Begitu Ibnu Hasan mendengar penjelasan tersebut, betapa girang hatinya, di

segera pulang, menghadap kyai dan meminta izinya, untuk belajar disekolah, guna

mencari ilmu. Sekarang katakan padaku apa yang sebenarnya kamu harapkan.”

Kyai berkata demikian, tujuan untuk menguji muridnya, apakah betul-betul ingin

mencari ilmu atau hanya alasan supaya mendapat pujian.

Ibnu Hasan menunduk, menjawab agak malu,”Hamba ingin menjelaskan mengapa

hamba besusah payah tanpa mengenal lelah, mencari ilmu.

Memang sangkaan orang begitu karena ayahku kaya raya, tidak kekurangan uang,

ternaknyapun banyak, hamba tidak usah bekerja, karena tidak akan kekurangan.

Namun, pendapat hamba tidak demikian, akan sangat memalukan seandainya ayah

sudah tiada, sudah menunggal dunia, semua hartanya jatuh ketangan hamba.
Tapi, ternyata tidak terurus karena saya tidak teliti akhirnya harta itu habis, bukan

bertambah. Distulah terlihat ternyata kalau hamba ini bodoh.

Bukan bertambah mashur, asalnya anak orang kaya, harus menjadi buruh. Begitulah

pendapat saya karena modal sudah ada saya hanya tinggal melanjutkan.

Pangkat anakpun begitu pula, walaupun tidak melebihiorang tua, paling tidak harus

sama dengan orang tua, dan tidak akan melakukan, apalagi kalau lebih miskin,

ibaratnya anak seorang patih.”

Maka, yakinlah kyai itu akan bauk muridnya.

UNSUR INSTRINSIK

Ø Tema : Bakti seorang anak terhadap orang tuanya

Ø Tokoh :

o Ibnu Hasan

o Syekh Hasan

o Ibu Ibnu Hasan

o Mairin

o Mairun

o Saleh

o Kyai guru

Ø Penokohan :

o Ibnu Hasan = Baik, tidak sombong, kalem, pendiam, penurut

o Syekh Hasan = Baik, Bijaksan, Penyayang

o Ibu Ibnu Hasan = Baik, Penyayang

o Mairin dan Mairum = Setia

o Saleh = Sopan

o Kyai guru = Baik

Ø Plot/Alur : Alur Maju

Ø Latar :

o Latar tempat = Negeri Bagdad, Mesir, Pesantren

o Latar waktu = Zaman dahulu kala, Saat ba’da Dzuhur

o Latar suasan = Mengahrukan, sedih, Prihatin

Ø Sudut pandang : Orang ketiga tunggal

Ø Amanat : Patuhlah kepda kedua orangtuamu, berbuat baiklah kesesama manusia dan

janganlah sekali-kali engkau menyombongkan diri.


UNSUR INSTRINSIK

Ø Agama : Menganut agama Islam

Ø Pendidikan : Ibnu Hasan baru saja ingin menuntut ilmu pada kyai guru

Ø Adat istiadat : Sopan, mengasihi yg kekurangan, dll

Ø Status ekonomi : Syekh Hasan sangat kaya raya.

=======================================================

=======================================================

==================================
3. “SI MISKIN”

Karena sumpah Batara Indera, seorang raja keinderaan beserta permaisurinya bibuang

dari keinderaan sehingga sengsara hidupnya. Itulah sebabnya kemudian ia dikenal

sebagai si Miskin.

Si Miskin laki-bini dengan rupa kainnya seperti dimamah anjing itu berjalan mencari

rezeki berkeliling di Negeri Antah Berantah di bawah pemerintahan Maharaja Indera

Dewa. Ke mana mereka pergi selalu diburu dan diusir oleh penduduk secara beramai-

ramai dengan disertai penganiayaan sehingga bengkak-bengkak dan berdarah-darah

tubuhnya. Sepanjang perjalanan menangislah si Miskin berdua itu dengan sangat lapar

dan dahaganya. Waktu malam tidur di hutan, siangnya berjalan mencari rezeki.

Demikian seterusnya.

Ketika isterinya mengandung tiga bulan, ia menginginkan makan mangga yang ada di

taman raja. Si Miskin menyatakan keberatannya untuk menuruti keinginan isterinya itu,

tetapi istri itu makin menjadi-jadi menangisnya. Maka berkatalah si Miskin, “Diamlah.

Tuan jangan menangis. Biar Kakanda pergi mencari buah mempelam itu. Jikalau dapat,

Kakanda berikan kepada tuan.”

Si Miskin pergi ke pasar, pulangnya membawa mempelam dan makanan-makanan yang

lain. Setelah ditolak oleh isterinya, dengan hati yang sebal dan penuh ketakutan,

pergilah si Miskin menghadap raja memohon mempelam. Setelah diperolehnya setangkai

mangga, pulanglah ia segera. Isterinya menyambut dengan tertawa-tawa dan terus

dimakannya mangga itu.

Setelah genap bulannya kandunga itu, lahirlah anaknya yang pertama laki-laki bernama

Marakarmah (=anak di dalam kesukaran) dan diasuhnya dengan penuh kasih sayang.

Ketika menggali tanah untuk keperluan membuat teratak sebagai tempat tinggal,

didapatnya sebuah tajau yang penuh berisi emas yang tidak akan habis untuk

berbelanja sampai kepada anak cucunya. Dengan takdir Allah terdirilah di situ sebuah

kerajaan yang komplet perlengkapannya.

Si Miskin lalu berganti nama Maharaja Indera Angkasa dan isterinya bernama Tuan

Puteri Ratna Dewi. Negerinya diberi nama Puspa Sari. Tidak lama kemudian, lahirlah

anaknya yang kedua, perempuan, bernama Nila Kesuma.

Maharaja Indera Angkasa terlalu adil dan pemurah sehingga memasyurkan kerajaan

Puspa Sari dan menjadikan iri hati bagi Maharaja Indera Dewa di negeri Antah Berantah.

Ketika Maharaja Indera Angkasa akan mengetahui pertunangan putra-putrinya,


dicarinya ahli-ahli nujum dari Negeri Antah Berantah.

Atas bujukan jahat dari raja Antah Berantah, oleh para ahli nujum itu dikatakan bahwa

Marakarmah dan Nila Kesuma itu kelak hanyalah akan mendatangkan celaka saja bagi

orangtuanya.

Ramalan palsu para ahli nujum itu menyedihkan hati Maharaja Indera Angkasa. Maka,

dengan hati yang berat dan amat terharu disuruhnya pergi selama-lamanya putra-

putrinya itu.

Tidak lama kemudian sepeninggal putra-putrinya itu, Negeri Puspa Sari musnah

terbakar.

Sesampai di tengah hutan, Marakarmah dan Nila Kesuma berlindung di bawah pohon

beringin. Ditangkapnya seekor burung untuk dimakan. Waktu mencari api ke kampung,

karena disangka mencuri, Marakarmah dipukuli orang banyak, kemudian dilemparkan ke

laut. Nila Kesuma ditemu oleh Raja Mengindera Sari, putera mahkota dari Palinggam

Cahaya, yang pada akhirnya menjadi isteri putera mahkota itu dan bernama Mayang

Mengurai.

Akan nasib Marakarmah di lautan, teruslah dia hanyut dan akhirnya terdampar di

pangkalan raksasa yang menawan Cahaya Chairani (anak raja Cina) yang setelah gemuk

akan dimakan. Waktu Cahaya Chairani berjalan–jalan di tepi pantai, dijumpainya

Marakarmah dalam keadaan terikat tubuhnya. Dilepaskan tali-tali dan diajaknya pulang.

Marakarmah dan Cahaya Chairani berusaha lari dari tempat raksasa dengan menumpang

sebuah kapal. Timbul birahi nahkoda kapal itu kepada Cahaya Chairani, maka

didorongnya Marakarmah ke laut, yang seterusnya ditelan oleh ikan nun yang

membuntuti kapal itu menuju ke Palinggam Cahaya. Kemudian, ikan nun terdampar di

dekat rumah Nenek Kebayan yang kemudian terus membelah perut ikan nun itu dengan

daun padi karena mendapat petunjuk dari burung Rajawali, sampai Marakarmah dapat

keluar dengan tak bercela.

Kemudian, Marakarmah menjadi anak angkat Nenek Kebayan yang kehidupannya

berjual bunga. Marakarmah selalu menolak menggubah bunga. Alasannya, gubahan

bunga Marakarmah dikenal oleh Cahaya Chairani, yang menjadi sebab dapat bertemu

kembali antara suami-isteri itu.

Karena cerita Nenek Kebayan mengenai putera Raja Mangindera Sari menemukan

seorang puteri di bawah pohon beringin yang sedang menangkap burung, tahulah

Marakarmah bahwa puteri tersebut adiknya sendiri, maka ditemuinyalah. Nahkoda kapal
yang jahat itu dibunuhnya.

Selanjutnya, Marakarmah mencari ayah bundanya yang telah jatuh miskin kembali.

Dengan kesaktiannya diciptakannya kembali Kerajaan Puspa Sari dengan segala

perlengkapannya seperti dahulu kala.

Negeri Antah Berantah dikalahkan oleh Marakarmah, yang kemudian dirajai oleh Raja

Bujangga Indera (saudara Cahaya Chairani).

Akhirnya, Marakarmah pergi ke negeri mertuanya yang bernama Maharaja Malai Kisna di

Mercu Indera dan menggantikan mertuanya itu menjadi Sultan Mangindera Sari menjadi

raja di Palinggam Cahaya.

Unsur Intrinsik dalam hikayat Si Miskin

1. Tema : Kunci kesuksesan adalah kesabaran. Perjalanan hidup seseorang yang

mengalami banyak rintangan dan cobaan.

2. Alur : Menggunakan alur maju, karena penulis menceritakan peristiwa tersebut dari

awal permasalahan sampai akhir permasalahan.

3. Setting/ Latar :

¯ -Setting Tempat : Negeri Antah Berantah, hutan, pasar, Negeri Puspa Sari, Lautan,

Tepi Pantai Pulau Raksasa, Kapal, Negeri Palinggam Cahaya.

¯ Setting Suasana : tegang, mencekam dan Ketakutan, bahagia, menyedihkan

4. Sudut Pandang Pengarang : orang ketiga serba tahu.

5. Amanat :

¯ Seorang pemimpin yang baik adalah seorang yang adil dan pemurah.

¯ Janganlah mudah terpengaruh dengan kata-kata oran lain.

¯ Hadapilah semua rintangan dan cobaan dalam hidup dengan sabar dan

rendah hati.

¯ Jangan memandang seseorang dari tampak luarnya saja, tapi lihatlah ke dalam

hatinya.

¯ Hendaknya kita dapat menolong sesama yang mengalami kesukaran.

¯ Janganlah kita mudah menyerah dalam menghadapi suatu hal.

¯ Hidup dan kematian, bahagia dan kesedihan, semua berada di tanan Tuhan, manusia

hanya dapat menjalani takdir yang telah ditentukan.

Unsur Ekstrinsik dalam Hikayat Si Miskin


1. Nilai Moral

Kita harus bersikap bijaksana dalam menghadapi segala hal di dalam hidup kita.

Jangan kita terlalu memaksakan kehendak kita pada orang lain.

2. Nilai Budaya

Sebagai seorang anak kita harus menghormati orangtua.

Hendaknya seorang anak dapat berbakti pada orang tua.

3. Nilai Sosial

Kita harus saling tolong-menolong terhadap sesama dan pada orang yang membutuhkan

tanpa rasa pamrih. Hendaknya kita mau berbagi untuk meringankan beban orang lain.

4. Nilai Religius

Jangan mempercayai ramalan yang belum tentu kebenarannya.

Percayalah pada Tuhan bahwa Dialah yang menentukan nasib manusia.

5. Nilai Pendidikan

Kita harus saling tolong-menolong terhadap sesama dan pada orang yang membutuhkan

tanpa rasa pamrih.

Jangan mempercayai ramalan yang belum tentu kebenarannya.

=======================================================

=======================================================

==================================
4. HIKAYAT BUNGA KEMUNING (http://dongeng.org/dongeng/hikayat-bunga-

kemuning.html)

asal nama, asal usul, bakti anak, bunga, cerita anak, Cerita Rakyat, iri hati, jahat,

kecantikan, kejam, kerajaan, pemalas, saudara 47

Dahulu kala, ada seorang raja yang memiliki sepuluh orang puteri yang cantik-cantik.

Sang raja dikenal sebagai raja yang bijaksana. Tetapi ia terlalu sibuk dengan

kepemimpinannya, karena itu ia tidak mampu untuk mendidik anak-anaknya. Istri sang

raja sudah meninggal ketika melahirkan anaknya yang bungsu, sehingga anak sang raja

diasuh oleh inang pengasuh. Puteri-puteri Raja menjadi manja dan nakal. Mereka hanya

suka bermain di danau. Mereka tak mau belajar dan juga tak mau membantu ayah

mereka. Pertengkaran sering terjadi di antara mereka.

Kesepuluh puteri itu dinamai dengan nama-nama warna. Puteri Sulung bernama Puteri

Jambon. Adik-adiknya dinamai Puteri Jingga, Puteri Nila, Puteri Hijau, Puteri Kelabu,

Puteri Oranye, Puteri Merah Merona dan Puteri Kuning, Baju yang mereka pun berwarna

sama dengan nama mereka. Dengan begitu, sang raja yang sudah tua dapat mengenali

mereka dari jauh. Meskipun kecantikan mereka hampir sama, si bungsu Puteri Kuning

sedikit berbeda, ia tak terlihat manja dan nakal. Sebaliknya ia selalu riang dan dan

tersenyum ramah kepada siapapun. Ia lebih suka berpergian dengan inang pengasuh

daripada dengan kakak-kakaknya.

Pada suatu hari, raja hendak pergi jauh. Ia mengumpulkan semua puteri-puterinya.

“Aku hendak pergi jauh dan lama. Oleh-oleh apakah yang kalian inginkan?” tanya raja.

“Aku ingin perhiasan yang mahal,” kata Puteri Jambon.

“Aku mau kain sutra yang berkilau-kilau,” kata Puteri Jingga. 9 anak raja meminta

hadiah yang mahal-mahal pada ayahanda mereka. Tetapi lain halnya dengan Puteri

Kuning. Ia berpikir sejenak, lalu memegang lengan ayahnya.

“Ayah, aku hanya ingin ayah kembali dengan selamat,” katanya. Kakak-kakaknya

tertawa dan mencemoohkannya.

“Anakku, sungguh baik perkataanmu. Tentu saja aku akan kembali dengan selamat dan

kubawakan hadiah indah buatmu,” kata sang raja. Tak lama

kemudian, raja pun pergi.

Selama sang raja pergi, para puteri semakin nakal dan malas. Mereka sering

membentak inang pengasuh dan menyuruh pelayan agar menuruti mereka. Karena

sibuk menuruti permintaan para puteri yang rewel itu, pelayan tak sempat
membersihkan taman istana. Puteri Kuning sangat sedih melihatnya karena taman

adalah tempat kesayangan ayahnya. Tanpa ragu, Puteri Kuning mengambil sapu dan

mulai membersihkan taman itu. Daun-daun kering dirontokkannya, rumput liar

dicabutnya, dan dahan-dahan pohon dipangkasnya hingga rapi. Semula inang pengasuh

melarangnya, namun Puteri Kuning tetap berkeras mengerjakannya. Kakak-kakak Puteri

Kuning yang melihat adiknya menyapu, tertawa keras-keras. “Lihat tampaknya kita

punya pelayan baru,” kata seorang diantaranya.

“Hai pelayan! Masih ada kotoran nih!” ujar seorang yang lain sambil melemparkan

sampah. Taman istana yang sudah rapi, kembali acak-acakan. Puteri Kuning diam saja

dan menyapu sampah-sampah itu. Kejadian tersebut terjadi berulang-ulang sampai

Puteri Kuning kelelahan. Dalam hati ia bisa merasakan penderitaan para pelayan yang

dipaksa mematuhi berbagai perintah kakak-kakaknya.

“Kalian ini sungguh keterlaluan. Mestinya ayah tak perlu membawakan apa-apa untuk

kalian. Bisanya hanya mengganggu saja!” Kata Puteri Kuning dengan marah.

“Sudah ah, aku bosan. Kita mandi di danau saja!” ajak Puteri Nila. Mereka meninggalkan

Puteri Kuning seorang diri. Begitulah yang terjadi setiap hari, sampai ayah mereka

pulang. Ketika sang raja tiba di istana, kesembilan puterinya masih bermain di danau,

sementara Puteri Kuning sedang merangkai bunga di teras istana. Mengetahui hal itu,

raja menjadi sangat sedih.

Anakku yang rajin dan baik budi! Ayahmu tak mampu memberi apa-apa selain kalung

batu hijau ini, bukannya warna kuning kesayanganmu!” kata sang raja. Raja memang

sudah mencari-cari kalung batu kuning di berbagai negeri, namun benda itu tak pernah

ditemukannya.

“Sudahlah Ayah, tak mengapa. Batu hijau pun cantik! Lihat, serasi benar dengan bajuku

yang berwarna kuning,” kata Puteri Kuning dengan lemah lembut.

“Yang penting, ayah sudah kembali. Akan kubuatkan teh hangat untuk ayah,” ucapnya

lagi. Ketika Puteri Kuning sedang membuat teh, kakak-kakaknya berdatangan. Mereka

ribut mencari hadiah dan saling memamerkannya. Tak ada yang ingat pada Puteri

Kuning, apalagi menanyakan hadiahnya.

Keesokan hari, Puteri Hijau melihat Puteri Kuning memakai kalung barunya. “Wahai

adikku, bagus benar kalungmu! Seharusnya kalung itu menjadi milikku, karena aku

adalah Puteri Hijau!” katanya dengan perasaan iri.


“Ayah memberikannya padaku, bukan kepadamu,” sahut Puteri Kuning. Mendengarnya,

Puteri Hijau menjadi marah. Ia segera mencari saudara-saudaranya dan menghasut

mereka.

“Kalung itu milikku, namun ia mengambilnya dari saku ayah. Kita harus mengajarnya

berbuat baik!” kata Puteri Hijau. Mereka lalu sepakat untuk merampas kalung itu. Tak

lama kemudian, Puteri Kuning muncul. Kakak-kakaknya menangkapnya dan memukul

kepalanya. Tak disangka, pukulan tersebut menyebabkan Puteri Kuning meninggal.

“Astaga! Kita harus menguburnya!” seru Puteri Jingga. Mereka beramai-ramai

mengusung Puteri Kuning, lalu menguburnya di taman istana. Puteri Hijau ikut

mengubur kalung batu hijau, karena ia tak menginginkannya lagi. Sewaktu raja mencari

Puteri Kuning, tak ada yang tahu kemana puteri itu pergi. Kakak-kakaknya pun diam

seribu bahasa. Raja sangat marah. “Hai para pengawal! Cari dan temukanlah Puteri

Kuning!” teriaknya.

Tentu saja tak ada yang bisa menemukannya. Berhari-hari, berminggu-minggu,

berbulan-bulan, tak ada yang berhasil mencarinya. Raja sangat sedih. “Aku ini ayah

yang buruk,” katanya.” Biarlah anak-anakku kukirim ke tempat jauh untuk belajar dan

mengasah budi pekerti!” Maka ia pun mengirimkan puteri-puterinya untuk bersekolah di

negeri yang jauh. Raja sendiri sering termenung-menung di taman istana, sedih

memikirkan Puteri Kuning yang hilang tak berbekas.

Suatu hari, tumbuhlah sebuah tanaman di atas kubur Puteri Kuning. Sang raja heran

melihatnya. “Tanaman apakah ini? Batangnya bagaikan jubah puteri, daunnya bulat

berkilau bagai kalung batu hijau, bunganya putih kekuningan dan sangat wangi!

Tanaman ini mengingatkanku pada Puteri Kuning. Baiklah, kuberi nama ia Kemuning.!”

kata raja dengan senang. Sejak itulah bunga kemuning mendapatkan namanya. Bahkan,

bunga-bunga kemuning bisa digunakan untuk mengharumkan rambut. Batangnya

dipakai untuk membuat kotak-kotak yang indah, sedangkan kulit kayunya dibuat orang

menjadi bedak. Setelah mati pun, Puteri Kuning masih memberikan kebaikan.

=======================================================

=======================================================

==================================
5. HIKAYAT SANG POHON

CANTIK (http://virouz007.wordpress.com/2010/05/06/hikayat-sang-pohon-cantik/)

Nun,di sebuah hutan belantara tumbuhlah sebatang pohon yang memiliki keunikan

tersendiri dibandingkan dengan jutaan pohon yang lainnya. Ia memiliki batang yang

sangat lurus dan tegak, akarnya yang kukuh, serta aroma khasnya yang harum,

semerbak, memenuhi seluruh isi hutan. Sehingga tidaklah menjadi hairan, ramai sekali

para pencari kayu bakar yang merasa tertarik kepada pohon itu. Bahkan ramai yang

berniat baik untuk turut memelihara keindahan pohon itu. Dengan senang hati mereka

membiarkan pohon tersebut tetap tumbuh.

Sering kali mereka menyempatkan diri untuk menyiraminya dengan air yang diperoleh

dari lubuk bening di pinggir hutan. Semua itu mereka lakukan dengan penuh harap agar

suatu saat kelak, di alam yang mulai penuh dengan kerosakkan ini, Sang Pohon Cantik

akan tumbuh dengan sejuta pesona. Memberikan warna perubahan bagi siapa saja,

untuk lebih mencintai lingkungan mereka dan berhenti membuat kerosakan.

Sementara bagi para penebang pohon yang liar, keberadaan pohon cantik itu sangatlah

mengganggu. Mereka sedar, apabila pohon tersebut tumbuh dengan baik, maka akan

banyak perhatian yang akan tertuju kepada hutan itu. Perhatian yang tentu saja

membuat langkah mereka semakin sulit dalam membuat kerosakan di dalam hutan itu.

Para penebang pohon yang liar itu berikrar, mereka akan memindahkan pohon cantik itu

ke halaman rumah-rumah mereka. Tetapi kalau tujuan itu tidak tercapai, maka

mematikan pohon itu adalah cara terbaik yang harus mereka tempuh.

Beruntung, pohon cantik tersebut mendapat penjagaan yang sangat rapi dari para

pencari kayu bakar yang baik hati. Mereka secara bergiliran mengiring berjalan dengan

sangat waspada agar pertumbuhan Sang Pohon terjaga . Selain itu, pohon tersebut

rupanya memiliki akar yang dapat menumbuh dengan cepat. Sehingga sari-sari

makanan yang ada dalam tanah dapat diserap dengan baik. Demikian juga dengan air

yang ada, dapat digunakan oleh Sang Pohon untuk menampung kehidupannya.

Dipendekkan cerita,pohon tersebut telah tumbuh besar, daunnya yang rimbun

menghijau membuat mata tak lelah untuk memandang, dari dahan-dahannya lahir

wangian semerbak harum yang menyeliputi seluruh hutan, dan satu lagi, pohon cantik

tersebut memiliki buah yang sangat manis. Selain dapat menghilangkan dahaga, juga

dapat mengenyangkan para penikmatnya. Terasalah berkah Sang Pencipta bagi para
pencari kayu bakar, meskipun para penebang pohon yang liar masih saja mencari helah

untuk selalu menghapuskan pohon itu.

Namun, demikianlah kudrat keberadaan setiap makhluk yang hidup dan tumbuh di atas

muka bumi ini, tak satupun yang abadi! Tak terkecuali dengan keadaan pohon cantik

yang disanjung para pencari kayu bakar dan seluruh penghuni hutan. Pada suatu

petang, ketika langit mulai gelap, angin pun kencang berhembus. Pucuk pohon cantik

bergoyang dengan hebatnya. Ia sekuat tenaga mengimbangi keadaan yang mana pada

bila-bila masa boleh menumbangkannya. Sang Pucuk terus bergerak, awalnya hanya

berniat untuk mempertahankan diri dari keadaan alam yang ia hadapi.

Tetapi lama-kelamaan ia sedar, bahwa sebenarnya ia dapat mengatasi sepenuhnya

serangan angin tersebut. Ia yakin benar telah ditampung oleh akar yang kuat, dan

dahan-dahan yang kukuh, serta dedaunan yang dapat menahan laju dan kencangnya

angin dengan sempurna. Kerana keyakinannya itulah tiba-tiba ia membuat sebuah

gerakan yang tidak disangka-sangka oleh Sang Akar, yang sekuat tenaga mencengkam

tanah.

Sang Pucuk menari, bukan hanya mengikut arah angin, namun terkadang ia membuat

gerakan yang membingungkan Sang Akar dalam mempertahankan keseimbangannya.

Dan, Sang Akar pun mengeluarkan bantahannya; “Hai, pucuk. Berhentilah menari! Aku

bingung melihatmu!” “Kenapa mesti bingung, Akar? Aku tahu benar situasi yang ada.

Ikut sajalah!” “Bagaimana aku hendak mengikuti tarianmu, kalau kamu susah diikuti”

“Percayalah, akar. Aku diatas mampu melihat semuanya. Bukan hanya batang, daun,

dan kau akarku sendiri. Tetapi jarak puluhan batu di sekeliling kita pun dapat aku lihat

dengan jelas” “Hai, apa salahnya aku mengingatkanmu, pucuk?” “Kau salah akar,

harusnya kau ikut saja apa kataku. Kerana posisimu di bawah, dan kau tidak tahu apa-

apa tentang dunia ini!”

“Aduhai…angkuh nian kau, pucuk! Kalaulah tak ada aku, mana mungkin kau dapat

berdiri dan berada di atas sana!” “Sudahlah, kenapa kalian malah bertengkar, hah?!”

Sang Daun menegahi suasana yang semakin panas. “Kerana dia mulai merasa angkuh,

daun!” akar mengarahkan serabut akarnya kepada Sang Pucuk. “Apa urusanmu, akar?!

Ikuti sajalah kataku, dan kau akan selamat” “Apakah kalian lupa, hah? Kalian itu saling

memerlukan! Tidak akan ada kehidupan kalau tidak aku, kau, dan si akar itu. Sedarlah,

saudaraku! kawanku!” Sang Daun kembali berkata-kata dengan perasaan yang sedih

kerana pertelingkahan saudaranya sendiri.


Perdebatan demi perdebatan terus bergulir di antara keduanya. Sang Pucuk tidak

merasa harus mengalah sedikit pun terhadap Sang Akar. Ia merasa bahawa ialah

segalanya, dialah ketua kerana berada di tempat yang paling atas. Ia merasa

ditakdirkan Tuhan untuk berada di atas dengan segala penglihatannya yang luas akan

dunia ini. Ia merasa Tuhan telah memberikan kekuasaan mutlak kepadanya untuk

berbuat sesuka hati. Sementara, Sang Akar merasa kecewa, Sang Pucuk telah

mengambil langkah yang keliru dalam melaksanakan upaya menjaga kelangsungan

hidup seluruh bagian pohon tersebut. Dan, Sang Daun yang berusaha meleraikan

perdebatan itu pun tak berdaya menenangkan keduanya, meski ia tak pernah merasa

lelah untuk mendamaikan perseteruan dua saudara satu tubuh itu.

Waktu yang digariskan mungkin saja telah tiba, kerana perdebatan yang berlarutan itu,

Sang Akar bermalas-malasan untuk menyerap air dan zat-zat yang dibutuhkannya.

Demikian juga Sang Daun, kerana kelelahan melerai perdebatan kedua saudaranya, ia

lupa untuk mengolah makanan meskipun matahari terus bersinar sepanjang hari. Dan,

Sang Pucuk rupanya semakin terlena. Ia tidak menyadari dua saudara dibawahnya

sudah mengalami gangguan. Ia tetap berlenggok mengikuti arah angin dengan irama

yang menghiburkan hatinya. Hingga tibalah saat di mana angin justeru berhembus

dengan sangat perlahan.

Sang Pucuk terlena kerana desirnya, ia merasa ngantuk dan ia biarkan gerakannya yang

tidak beraturan, dan ia pun mulai terpejam. Terlelap dalam tidur yang tidak disedarinya,

dan angin datang menyerang. Tubuhnya terkulai. Sang Daun yang lapar tidak berdaya

menahan tubuh Sang Pucuk yang datang tiba-tiba. Ia ikut terjatuh. Sementara di

bawah, Sang Akar yang bermalas-malasan tidak lagi memiliki cengkaman yang kuat

terhadap tanah di sekelilingnya. Sang Akar tidak berkuasa menahan tubuh kedua

saudaranya yang terjatuh lebih dulu. Ia tercabut, bercerai-berai.

Beginilah akhirnya kisah pohon cantik,sebuah cerita yang menyedihkan.Para pencari

kayu bakar yang baik hati bermuram durja, sementara para penebang liar bergelak

tawa, “Tak perlu kita robohkan, kawan. Mereka roboh sendiri kerana permusuhan…!! ”

“O, bahkan tak perlu angin yang kencang rupanya…….kasihan betul…..” demikianlah kata

penebang pohon yang liar.

Dari sini saudara-saudaraku dapatkah kita mengambil sedikit iktibar dari cerita ini?

Marilah kita jauhi permusuhan yang meleraikan silaturrahim antara kita,

janganlah berdendam kerana dendam itu tidak membawa kedamaian..


saling hormat menghormati dan bersatu padulah kita agar syiar Islam dapat diteruskan

dan digemilangkan.. dan agar kita tetap menjadi orang yang beriman..

InsyaAllah..

=======================================================

=======================================================

==================================
6. HIKAYAT ABU NAWAS DAN LELAKI KIKIR(http://www.ceritapedia.com/hikayat-

abu-nawas-dan-lelaki-kikir.html)

Syahdan,disuatu masa hidup seorang laki2 yang punya sifat kikir (pelit).ia mempunyai

sebuah rumah yang cukup besar.didalam rumah itu dia tinggal bersama seorang istri

dan 3 orang anaknya yang masih kecil2.laki2 ini merasa rumahnya sudah sangat sempit

dengan keberadaannya dan keluarganya.namun,untuk memperluas rumahnya,sang

lelaki merasa sayang untuk mengeluarkan uang.ia putar otak bagaimana caranya agar ia

bisa memperluas rumahnya tanpa mengeluarkan banyak.akhirnya,ia mendatangi

abunawas,seorang cerdik dikampungnya.pergilah ia menuju rumah abu nawas.

si lelaki : “salam hai abunawas,semoga engkau selamat sejahtera.”

abu nawas : “salam juga untukmu hai orang asing,ada apa gerangan kamu mendatangi

kediamanku yang reot ini ?”

si lelaki lalu menceritakan masalah yang ia hadapi.abunawas mendengar dengan

seksama.setelah si lelaki selesai bercerita,abunawas tampak tepekur

sesaat,tersenyum,lalu ia berkata :

“hai fulan,jika kamu menghendaki kediaman yang lebih luas,belilah sepasang

ayam,jantan dan betina,lalu buatkan kandang didalam rumahmu.3 hari lagi kau lapor

padaku bagaimana keadaan rumahmu.”

si lelaki bingung,apa hubungannya ayam dengan luas rumah,tapi ia tak

membantah.sepulang dari rumah abunawas,ia membeli sepasang ayam,lalu

membuatkan kandang untuk ayamnya didalam rumah.

3 hari kemudian,ia kembali kekediaman abunawas,dengan wajah berkerut.

abunawas : “bagaimana fulan,sudah bertambah luaskah kediamanmu?”

si lelaki : “boro boro ya abu.apa kamu yakin idemu ini tidak salah?rumahku tambah

kacau dengan adanya kedua ekor ayam itu.mereka membuat keributan dan kotorannya

berbau tak sedap.”

abu nawas : “( sambil tersenyum ) kalau begitu tambahkan sepasang bebek dan

buatkan kandang didalam rumahmu.lalu kembali 3 hari lagi.”

silelaki terperanjat.kemarin ayam sekarang bebek,memangnya rumahnya

peternakan?.atau sicerdik abunawas ini sedang kumat jahilnya?namun seperti pertama

kali,ia tak berani membantah,karena ingat reputasi abunawas yang selalu berhasil

memecahkan berbagai masalah.pergilah ia ke pasar,dibelinya sepasang bebek,lalu


dibuatkannya kandang didalam rumahnya.

setelah 3 hari ia kembali menemuai abunawas.

abu nawas : “bagaimana fulan,kediamanmu sedah mulai terasa luas atau belum ?”

si lelaki : “aduh abu,ampun,jangan kau menegerjai aku.saat ini adalah saat paling parah

selama aku tinggal dirumah itu.rumahku sekarang sangat mirip pasar

unggas,sempit,padat,dan baunya bukan main.”

abunawas : “waah,bagus kalau begitu.tambahkan seekor kambing lagi.buatkan ia

kandang didalam rumahmu juga.lalu kembali kesini 3 hari lagi.”

si lelaki : “apa kau sudah gila abu ?kemarin ayam,bebek dan sekarang kambing.apa

tidak ada cara lain yang lebih normal?”

abunawas : “lakukan saja,jangan membantah.”

lelaki itu tertunduk lesu,bagaimanapun juga yang memberi ide adalah abunawas,sicerdik

pandai yang tersohor.maka dengan pasrah pergilah ia ke pasar dan membeli seekor

kambing,lalu ia membuatkan kandang didalam rumahnya.

3 hari kemudian dia kembali menemui abunawas

abunawas : “bagaimana fulan ? sudah membesarkah kediamanmu ?”

si lelaki : “rumahku sekarang benar2 sudah jadi neraka.istriku mengomel sepanjang

hari,anak2 menangis, semua hewan2 berkotek dan

mengembik,bau,panas,sumpek,betul2 parah ya abu.tolong aku abu,jangan suruh aku

beli sapi dan mengandangkannya dirumahku,aku tak sanggup ya abu.”

abu nawas : “baiklah,kalau begitu,pulanglah kamu,lalu juallah kambingmu

kepasar,besok kau kembali untuk menceritakan keadaan rumahmu.”

si lelaki pulang sambil bertanya2 dalam hatinya,kemarin disuruh beli,sekarang disuruh

jual,apa maunya si abunawas.namun,ia tetap menjual kambingnya kepasar.keesokan

harinya ia kembali kerumah abunawas.

abu nawas : “bagaimana kondisi rumahmu hari ini ?”

si lelaki :”yah,lumayan lah abu,paling tidak bau dari kambing dan suara embikannya

yang berisik sudah tak kudengar lagi.”

abu nawas : “kalau begitu juallah bebek2mu hari ini,besok kau kembali kemari”

si lelaki pulang kerumahnya dan menjual bebek2nya kepasar.esok harinya ia kembali

kerumah abunawas

abunawas : “jadi,bagaimana kondisi rumahmu hari ini?”


si lelaki : “syukurlah abu,dengan perginya bebek2 itu,rumahku jadi jauh lebih tenang

dan tidak terlalu sumpek dan bau lagi.anak2ku juga sudah mulai berhenti menangis.”

abunawas.bagus.”kini juallah ayam2mu kepasar dan kembali besok “

si lelaki pulang dan menjual ayam2nya kepasar.keesokan harinya ia kembali dengan

wajah yang berseri2 kerumah abunawas

abunawas : “kulihat wajahmu cerah hai fulan,bagaimana kondisi rumahmu saat ini?”

si lelaki :”alhamdulillah ya abu,sekarang rasanya rumahku sangat lega karena ayam dan

kandangnya sudah tidak ada.kini istriku sudah tidak marah2 lagi,anak2ku juga sudah

tidak rewel.”

abunawas : “(sambil tersenyum) nah nah,kau lihat kan,sekarang rumahmu sudah

menjadi luas padahal kau tidak menambah bangunan apapun atau memperluas tanah

banguanmu.sesungguhnya rumahmu itu cukup luas,hanya hatimu sempit sehingga kau

tak melihat betapa luasnya rumahmu.mulai sekarang kau harus lebih banyak bersyukur

karena masih banyak orang yang rumahnya lebih sempit darimu.sekarang pulanglah

kamu,dan atur rumah tanggamu,dan banyak2lah bersyukur atas apa yang dirizkikan

tuhan padamu,dan jangan banyak mengeluh.”

silelaki pun termenung sadar atas segala kekeliruannya,ia terpana akan kecendikiaan

sang tokoh dan mengucap terima kasih pada abunawas…

=======================================================

=======================================================

==================================
7. “HIKAYAT PANGLIMA BURUNG ( BULAN

JIHAD)”(https://www.facebook.com/KumpulanCeritaRakyatBanjarmasin/posts/6158448

35096891?stream_ref=10)

Hikayat Panglima Burung justru menjadi sangat mencuat tatkala terjadi kerusuhan etnis

tahun 2001 di Kalimantan Tengah. Saat itu Panglima Burung sebagai tokok gaib Dayak

benar-benar dijadikan sandaran dalam menghadapi serangan etnis tertentu dari

seberang. Apa boleh buat, sesuatu yang telah dilupakan menjadi bangun ke alam nyata.

Lalu siapa Panglima Burung dan bagaimana latar belakang ketokohannya? Inilah

sebagian kecil jawabannya, jawaban dari versi Suku Dayak yang mendiami DAS Barito.

Kerusukan etnis yang mulai pecah sejak 18 Pebruari 2001 di Sampit memaksa Panglima

Burung hadir dan membantu warga suku Dayak berperang dan mengusir warga etnis

Madura. Sebagai Panglima besar, tentu saja Panglima Burung tidak turun sendiri tetapi

membawa sejumlah pengawal alias Pasukan Khusus. Kata Abdul Hadi Bondo Arsyad,

seorang Temanggung Dayak dari Tumbang Senamang, Katingan Hulu, “Panglima Burung

muncul dengan membawa 87 orang pasukan khususnya”. Kata Kiyai Haji M. Juhran

Erpan Ali, Ketua Pondok Pesantren Ushuluddin, Martapura, “Panglima Burung (adalah)

seorang wanita berparas cantik namun berwatak bengis. Selain itu ia juga bergelar

hajjah”

Disamping Panglima Burung sebagai panglima tertinggi Dayak, rusuh Sampit juga

menurunkan beberapa tokoh legenda alam gaib lainnya seperti Panglima Palai, Panglima

Api, Panglima Angsa, Panglima Hujan Panas, Panglima Angin dan beberapa panglima

sakti lainnya. Yang pasti dari beberapa panglima itu terdapat dua panglima wanita cantik

yakni Panglima Burung dan Panglima Api.

Dan kembali kepada keberadaan Panglima Burung yang legendaris, kata Kiyai Haji M.

Juhran Erpan Ali (56), “Keberadaannya memang nyata, berwujud seorang wanita

berparas cantik namun berwatak bengis. Panglima Burung sudah ada jauh sebelum

Indonesia terbentuk”. Namun begitu, yang mengejutkan dari penuturan Kiyai Juhran ini

adalah karena sosok Panglima Perang Suku Dayak ini juga beragama Islam dan

menyandang titel seorang hajjah.

WA Samat dan Adonis Samat bertutur bahwa pahlawan cantik tersebut keberaniannya

luar biasa sekali. Salah satunya adalah saat berperang mendampingi Gusti (Ratu) Zaleha

dalam Perang Barito. “Amuk Barito itu terjadi pada tahun 1900-1901, dimana suku-suku

Dayak Dusun, Ngaju, Kayan, Kinyah, Siang, Bakumpai, Banjar, Hulu Sungai, baik yang
beragama Islam atau pun Kaharingan bersatu bahu membahu menghadapi serangan

Belanda. Nama-nama pahlawan Banjar seperti Pangeran Antasari Gusti Muhammad

Seman dan Gusti Ratu Zaleha selalu bersanding bahu membahu dengan (para pahlawan

Dayak seperti) Temanggung Surapati, Antung, Kuing, Temanggung Mangkusari dan lain-

lain yang merupakan kesatuan kekuatan dalam perjuangan”.

Dalam rentang perjuangannya melawan kolonialisme Belanda, Panglima Burung yang

sangat cantik ini memiliki beberapa panggilan akrab oleh masyarakat. “Ada yang

menyebutnya “Ilum” atau “Itak” namun nama populernya adalah “Bulan Jihad”.

Kabarnya, Bulan Jihad memeluk agama Islam dengan perantaraan Gusti Zaleha kawan

seperjuangannya.

Dan kita ketahui bahwa Gusti Zaleha adalah puteri Gusti Muhammad Seman, putera

Pangeran Antasari yang memimpin Perang Banjar hingga memasuki kawasan Barito

Utara dan (Barito) Selatan dengan semboyannya (yang terkenal): “Haram Manyarah,

Waja Sampai ka Puting”.

Tjilik Riwut membenarkan keberadaan srikandi Dayak itu tetapi menurut beliau Bulan

Jihad (bukan asli Dayak Kalteng tetapi) berasal dari Suku Dayak Kinyah (Kaltim). Yang

pasti, “nama Bulan Jihad sangat terkenal diantero Barito Hulu dan Barito Selatan”,

imbuh Tjilik Riwut. “Dia pendekar sakti mandraguna, punya ilmu kebal tahan senjata,

bisa menghilang dan (mampu) melibas lawan hanya dengan selendang saja. Dia selalu

berjuang berdampingan dengan Gusti Zaleha si pejuang puteri Banjar”. Dengan

demikian maka ceritera yang disampaikan oleh WA Samat dan Adonis Samat (1948)

sejalan dengan ceritera Pak Tjilik Riwut (1950).

Tatkala tokoh perlawanan Gusti Muhammad Seman meninggal dunia pada tahun 1905,

lalu awal tahun 1906 Gusti Zaleha berkeputusan turun gunung, lantas apa keputusan

Bulan Jihad dan sisa prajurit lainnya? Ternyata Bulan Jihad tetap bertekad meneruskan

perjuangan dan terus mengembara. Maka terjadilah perpisahan yang sangat memilukan.

Dengan berat hati keluarlah Gusti Zaleha dari hutan menuju Muara Teweh dan

selanjutnya dia dibawa ke Banjarmasin bersama ibunya Nyai Salmah.

Sejak perpisahan itu, tidak banyak orang yang tahu dimana keberadaan Bulan Jihad dan

kelanjutan perjuangannya. Barulah pada tanggal 11 Januari 1954, Bulan Jihad datang

melaporkan diri ke Kantor Pemerintahan setempat di Muara Joloi sehingga saat itulah dia

baru mengetahui kalau Indonesia sudah merdeka. Hatinya pun semakin luluh begitu

mengetahui sahabat karibnya Ratu Zaleha telah lama meninggal dunia (24 September
1953) di Banjarmasin. Hari itu orang kembali melihat pemunculannya dan hari itu pula

dia kembali mengembara ke hutan rimba untuk selama-lamanya. Inilah sekilas kisah

muslimah Bulan Jihad yang setia berperang mendampingi perjuangan Gusti Puteri

Zaleha (1903-1906), bahkan dia terus berjuang melewati masa juang pahlawan anti

kolonialis lainnya di tanah Dayak ini.

Dari bukti sejarah yang ditunjukkan pendahulu kita menyatakan fakta bahwa kebulatan

tekad persatuan, tekad perjuangan melawan penjajahan tertuang jelas di dalam Perang

Banjar dan Perang Barito. Saat itu, Pangeran Antasari, Demang Leman, Gusti

Muhammad Seman, Temanggung Surapati, Gusti Zaleha, Bulan Jihad, Panglima Batur,

Temanggung Mangkusari, Panglima Wangkang dan lainnya, adalah gambaran

bersatunya kesatuan suku-suku Dayak Ngaju, Dayak Dusun, Kayan, Kenyah, Siang,

Bakumpai, Banjar, Hulu Sungai, baik yang beragama Islam maupun Kaharingan. Kata

Kiyai Juhran Erpan Ali, “(Sejak) masa itu telah ada kesepakatan tekad bahwa suku

Dayak dan suku Banjar tidak akan pernah berperang sesamanya sampai kapan pun

juga”.

=======================================================

=======================================================

==================================
8. HIKAYAT ABU NAWAS CERITA MENGECOH

RAJA(http://tempatcerita.com/humor/hikayat-abu-nawas-cerita-mengecoh-

raja_213.html)

Sejak peristiwa penghancuran barang-barang di istana oleh Abu Nawas yang dilegalisir

oleh Baginda, sejak saat itu pula Baginda ingin menangkap Abu Nawas untuk dijebloskan

ke penjara.

Sudah menjadi hukum bagi siapa saja yang tidak sanggup melaksanakan titah Baginda,

maka tak disangsikan lagi ia akan mendapat hukuman. Baginda tahu Abu Nawas amat

takut kepada beruang. Suatu hari Baginda memerintahkan prajuritnya menjemput Abu

Nawas agar bergabung dengan rombongan Baginda Raja Harun Al Rasyid berburu

beruang. Abu Nawas merasa takut dan gemetar tetapi ia tidak berani menolak perintah

Baginda.

Dalam perjalanan menuju ke hutan, tiba-tiba cuaca yang cerah berubah menjadi

mendung. Baginda memanggil Abu Nawas. Dengan penuh rasa hormat Abu Nawas

mendekati Baginda.

“Tahukah mengapa engkau aku panggil?” tanya Bagla tanpa sedikit pun senyum di

wajahnya.

“Ampun Tuanku, hamba belum tahu.” kata Abu Nawas

“Kau pasti tahu bahwa sebentar lagi akan turun hujan Hutan masih jauh dari sini. Kau

kuberi kuda yang lambat Sedangkan aku dan pengawal-pengawalku akan menunggang

kuda yang cepat. Nanti pada waktu santap siang kita berkumpul di tempat

peristirahatanku. Bila hujan turun kita harus menghindarinya dengan cara kita masing

masing agar pakaian kita tetap kering. Sekarang kita berpencar.” Baginda menjelaskan.

Kemudian Baginda dan rombongan mulai bergerak.Abu Nawas kini tahu Baginda akan

menjebaknya, la harus mancari akal. Dan ketika Abu Nawas sedang berpikir, tiba

tiba hujan turun

Baginda dan rombongan secepat memacu kuda untuk mencapai tempat perlindungan

yang terdekat. Tetapi karena derasnya hujan, Baginda dan para pengawalnya basah

kuyup. Ketika santap siang tiba Baginda segera menuju tempat peristirahatan. Belum

sempat baju Baginda dan para pengawalnya kering,Abu Nawas datang dengan

menunggang kuda yang lambat Baginda dan para pengawal terperangah karena baju

Abu Nawas tidak basah. Padahal dengan kuda yang paling cepat pun tidak bisa

mencapai tempat berlindung yang paling dekat.


Pada hari kedua Abu Nawas diberi kuda yang cepat yang kemarin ditunggangi Baginda

Raja. Kini Baginda dan para pengawal-pengawalnya mengendarai kuda-kuda yang

lamban. Setelah Abu Nawas dan rombongan kerajaan berpencar, hujan pun turun

seperti kemarin. Malah hari ini lebih deras daripada kemarin. Baginda dan pengawalnya

langsung basah kuyup karena kuda yang ditunggangi tidak bisa berlari dengan kencang

Ketika saat bersantap siang tiba, Abu Nawas tiba tempat peristirahatan lebih dahulu dari

Baginda dan pengawalnya. Abu Nawas menunggu Baginda Raja. Selang beberapa saat

Baginda dan para pengawalnya tiba dengan pakaian yang basah kuyup. Melihat Abu

Nawas dengan pakaian yang tetap kering Baginda jadi penasaran. Beliau tidak sanggup

lagi menahan keingintahuan yang selama ini disembunyikan.

“Terus terang begaimana caranya menghindari hujan , wahai Abu Nawas.” tanya

Baginda.

“Mudah Tuanku yang mulia.” kata Abu Nawas sambil tersenyum.

“Sedangkan’ aku dengan kuda yang cepat tidak sanggup mencapai tempat berteduh

terdekat, apalagi dengan kudamu yang lamban ini.” kata Baginda.

“Hamba sebenarnya tidak melarikan diri dari hujan.Tetapi begitu hujan turun hamba

secepat mungkin melepas pakaian hamba dan segera melipatnya, lalu mendudukinya.

Ini hamba lakukan sampai hujan berhenti.” Diam-diam Baginda Raja mengakui

kecerdikan Abu Nawas.

=======================================================

=======================================================

==================================
9. KISAH ABU NAWAS MENCANGKUL DALAM

PENJARA(http://mayajambu.blogspot.com/2010/12/kisah-abu-nawas-mencakul-dalam-

penjara.html)

Karena dianggap hampir membunuh Baginda maka Abu Nawas mendapat celaka.

Dengan kekuasaan yang absolut Baginda memerintahkan prajurit-prajuritnya langsung

menangkap dan menyeret Abu Nawas untuk dijebloskan ke penjara. Waktu itu Abu

Nawas sedang bekerja di ladang karena musim tanam kentang akan tiba. Ketika para

prajurit kerajaan tiba, ia sedang mencangkul.

Dan tanpa alasan yang jelas mereka langsung menyeret Abu Nawas sesuai dengan titah

Baginda. Abu Nawas tidak berkutik. Kini ia mendekam di dalam penjara. Beberapa hari

lagi kentang-kentang itu harus ditanam. Sedangkan istrinya tidak cukup kuat untuk

melakukan pencangkulan. Abu Nawas tahu bahwa tetangga-tetangganya tidak akan

bersedia membantu istrinya sebab mereka juga sibuk dengan pekerjaan mereka masing-

masing.

Tidak ada yang bisa dilakukan di dalam penjara kecuali mencari jalan keluar. Seperti

biasa Abu Nawas tidak bisa tidur dan tidak enak makan. Ia hanya makan sedikit. Sudah

dua hari ia meringkuk di dalam penjara. Wajahnya murung. Hari ketiga Abu Nawas

memanggil seorang pengawal. “Bisakah aku minta tolong kepadamu?” kata Abu Nawas

membuka pembicaraan.

“Apa itu?” kata pengawal itu tanpa gairah.

“Aku ingin pinjam pensil dan selembar kertas. Aku ingin menulis surat untuk istriku. Aku

harus menyampaikan sebuah rahasia penting yang hanya boleh diketahui oleh istriku

saja.”

Pengawal itu berpikir sejenak lalu pergi meninggalkan Abu Nawas. Ternyata pengawal

itu menghadap Baginda Raja untuk melapor. Mendengar laporan dari pengawal, Baginda

segera menyediakan apa yang diminta Abu Nawas. Dalam hati, Baginda bergumam

mungkin kali ini ia bisa mengalahkan Abu Nawas. Abu Nawas menulis surat yang

berbunyi:

“Wahai istriku, janganlah engkau sekali-kali menggali ladang kita karena aku

menyembunyikan harta karun dan senjata di situ. Dan tolong jangan bercerita kepada

siapa pun.”

Tentu saja surat itu dibaca oleh Baginda karena beliau ingin tahu apa sebenamya

rahasia Abu Nawas. Setelah membaca surat itu Baginda merasa puas dan langsung
memerintahkan beberapa pekerja istana untuk menggali ladang Abu Nawas. Dengan

peralatan yang dibutuhkan mereka berangkat dan langsung menggali ladang Abu

Nawas. Istri Abu Nawas merasa heran. Mungkinkah suaminya minta tolong pada

mereka? Pertanyaan itu tidak terjawab karena mereka kembali ke istana tanpa pamit.

Mereka hanya menyerahkan surat Abu Nawas kepadanya.

Lima hari kemudian Abu Nawas menerima surat dari istrinya. Surat itu berbunyi:

“Mungkin suratmu dibaca sebelum diserahkan kepadaku. Karena beberapa pekerja

istana datang ke sini dua hari yang lalu, mereka menggali seluruh ladang kita. Lalu apa

yang harus kukerjakan sekarang?”

Rupanya istrinya Abu Nawas belum mengerti muslihat suaminya. Tetapi dengan

bijaksana Abu Nawas membalas: “Sekarang engkau bisa menanam kentang di ladang

tanpa harus menggali, wahai istriku.” Kali ini Baginda tidak bersedia membaca surat Abu

Nawas lagi. Baginda makin mengakui keluarbiasaan akal Abu Nawas. Bahkan di dalam

penjara pun Abu Nawas masih bisa melakukan pencangkulan.

=======================================================

=======================================================

==================================
10. KISAH ABU NAWAS RAJA JADI

BUDAK(http://mayajambu.blogspot.com/2010/12/kisah-abu-nawas-raja-jadi-

budak.html)

Kadangkala untuk menunjukkan sesuatu kepada sang Raja, Abu Nawas tidak bisa hanya

sekedar melaporkannya secara lisan. Raja harus mengetahuinya dengan mata kepala

sendiri, bahwa masih banyak di antara rakyatnya yang hidup sengsara. Ada saja praktek

jual beli budak.

Dengan tekad yang amat bulat Abu Nawas merencanakan menjual Baginda Raja. Karena

menurut Abu Nawas hanya Baginda Raja yang paling patut untuk dijual. Bukankah

selama ini Baginda Raja selalu mempermainkan dirinya dan menyengsarakan

pikirannya? Maka sudah sepantasnyalah kalau sekarang giliran

Abu Nawas mengerjai Baginda Raja.

Abu Nawas menghadap dan berkata kepada Baginda Raja Harun Al Rasyid.

“Ada sesuatu yang amat menarik yang akan hamba sampaikan hanya kepada Paduka

yang mulia.”

“Apa itu wahai Abu Nawas?” tanya Baginda langsung tertarik.

“Sesuatu yang hamba yakin belum pernah terlintas di dalam benak Paduka yang mulia.”

kata Abu Nawas meyakinkan.

“Kalau begitu cepatlah ajak aku ke sana untuk menyaksikannya.” kata Baginda Raja

tanpa rasa curiga sedikit pun.

“Tetapi Baginda … ” kata Abu Nawas sengaja tidak melanjutkan kalimatnya.

“Tetapi apa?” tanya Baginda tidak sabar.

“Bila Baginda tidak menyamar sebagai rakyat biasa maka pasti nanti orang-orang akan

banyak yang ikut menyaksikan benda ajaib itu.” kata Abu Nawas.

Karena begitu besar keingintahuan Baginda Raja, maka beliau bersedia menyamar

sebagai rakyat biasa seperti yang diusulkan Abu Nawas.

Kemudian Abu Nawas dan Baginda Raja Harun Al Rasyid berangkat menuju ke sebuah

hutan.

Setibanya di hutan Abu Nawas mengajak Baginda Raja mendekati sebuah pohon yang

rindang dan memohon Baginda Raja menunggu di situ. Sementara itu Abu Nawas

menemui seorang badui yang pekerjaannya menjuai budak. Abu Nawas mengajak

pedagang budak itu untuk melihat calon budak yang akan dijual kepadanya dari jarak

yang agak jauh. Abu Nawas beralasan bahwa sebenarnya calon budak itu adalah teman
dekatnya. Dari itu Abu Nawas tidak tega menjualnya di depan mata. Setelah pedagang

budak itu memperhatikan dari kejauhan ia merasa cocok. Abu Nawas pun membuatkan

surat kuasa yang

menyatakan bahwa pedagang budak sekarang mempunyai hak penuh atas diri orang

yang sedang duduk di bawah pohon rindang itu. Abu Nawas pergi begitu menerima

beberapa keping uang emas dari pedagang budak itu.

Baginda Raja masih menunggu Abu Nawas di situ ketika pedagang budak

menghampirinya. la belum tahu mengapa Abu Nawas belum juga menampakkan batang

hidungnya. Baginda juga merasa heran mengapa ada orang lain di situ.

“Siapa engkau?” tanya Baginda Raja kepada pedagang budak.

“Aku adalah tuanmu sekarang.” kata pedagang budak itu agak kasar.

Tentu saja pedagang budak itu tidak mengenali Baginda Raja Harun Al Rasyid dalam

pakaian yang amat sederhana.

“Apa maksud perkataanmu tadi?” tanya Baginda Raja dengan wajah merah padam.

“Abu Nawas telah menjual engkau kepadaku dan inilah surat kuasa yang baru

dibuatnya.” kata pedagang budak dengan kasar.

“Abu Nawas menjual diriku kepadamu?” kata Baginda makin murka.

“Ya!” bentak pedagang budak.

“Tahukah engkau siapa aku ini sebenarnya?” tanya Baginda geram.

“Tidak dan itu tidak perlu.” kata pedagang budak seenaknya. Lalu ia menyeret budak

barunya ke belakang rumah. Sultan Harun Al Rasyid diberi parang dan diperintahkan

untuk membelah kayu.

Begitu banyak tumpukan kayu di belakang rumah badui itu sehingga memandangnya

saja Sultan Harun Al Rasyid sudah merasa ngeri, apalagi harus mengerjakannya.

“Ayo kerjakan!”

Sultan Harun Al Rasyid mencoba memegang kayu dan mencoba membelahnya, namun si

badui melihat cara Sultan Harun Al Rasyid memegang parang merasa aneh.

“Kau ini bagaimana, bagian parang yang tumpul kau arahkan ke kayu, sungguh bodoh

sekali !”

Sultan Harun Al Rasyid mencoba membalik parang hingga bagian yang tajam terarah ke

kayu. la mencoba membelah namun tetap saja pekerjaannya terasa aneh dan kaku bagi

si badui.
“Oh, beginikah derita orang-orang miskin mencari sesuap nasi, harus bekerja keras lebih

dahulu. Wah lama-lama aku tak tahan juga.” gumam Sultan Harun Al Rasyid.

Si badui menatap Sultan Harun Al Rasyid dengan pandangan heran dan lama-lama

menjadi marah. la merasa rugi barusan membeli budak yang bodoh.

“Hai badui! Cukup semua ini aku tak tahan.”

“Kurang ajar kau budakku harus patuh kepadaku!” kata badui itu sembari memukul

baginda. Tentu saja raja yang tak pernah disentuh orang, ia menjerit keras saat dipukul

kayu.

“Hai badui! Aku adalah rajamu, Sultan Harun Al Rasyid.” kata Baginda sambil

menunjukkan tanda kerajaannya.

Pedagang budak itu kaget dan mulai mengenal Baginda Raja.

la pun langsung menjatuhkan diri sembari menyembah Baginda Raja. Baginda Raja

mengampuni pedagang budak itu karena ia memang tidak tahu. Tetapi kepada Abu

Nawas Baginda Raja amat murka dan gemas. Ingin rasanya beliau meremas-remas

tubuh Abu Nawas seperti telur.

=======================================================

=======================================================

==================================
11. HIKAYAT SANG KANCIL &

MONYET(https://sites.google.com/site/himpunankisahteladan/teks-himpunan-kisah-

teladan/hikayat-sang-kancil-monyet)

Nyamannya suasana rimba di pagi hari. Mergastua bergembira menikmati keindahan

alam semula jadi. Di alam inilah tinggalnya sang kancil yang bijaksana dengan sahabat

karibnya kura-kura. Mereka hidup rukun damai, bebas bergembira, tolong-menolong dan

bekerjasama di taman peliharaan mereka.

Kelihatan seekor monyet berdekatan kawasan taman peliharaan sang kancil dan kura-

kura. Sungguh lincah si monyet, bergayutan ke sana ke mari. Megah dengan

kebolehannya. Awas, monyet! jangan ganggu ketenteraman penghuni yang lain.

Tiba-tiba monyet berhenti bergayut dan memerhatikan sesuatu, apa pula yang

dilihatnya? “Ranumnya buah-buahan di sini. siapa punya agaknya?” kata monyet. “Oh,

rupanya sang kancil dan kura-kura.” Balas monyet sendiri selepas melihat sang kancil

dan kura-kura yang ada di situ. Begitu rajin mereka bekerja. bukan seperti engkau

monyet.

Lantas itu, monyet bergerak ke arah sang kancil dan kura-kura sambil memegang

perutnya. eh, ini mesti ada apa-apakan monyet? “Tolong, tolong! dah empat hari aku

tak makan. Tolonglah, berikan aku sedikit makanan. kasihanlah aku.” Monyet berpura-

pura sakit di depan dua sahabat baik itu. Sang kancil dan kura-kura saling

berpandangan, lalu sang kancil berkata, “kesiannya, empat hari tak makan. Baiklah

monyet. Ambil sajalah apa yang engkau nak dari taman kami. Makanlah sepuas hati

engkau monyet.” Sang kancil yang begitu prihatin dengan kesakitan yang dihadapi

monyet menghulurkan bantuan. “Terima kasih kancil, terima kasih kura-kura.” Ujar

monyet setelah berjaya memperdaya sang kancil dan kura-kura.

“Aku nak itu, aku nak itu!” pinta monyet dalam nada mendesak, sambil jarinya

menuding ke arah pokok cili yang nampak menarik itu. “Eh, tak boleh monyet. kita tak

boleh makan buah tu.” larang sang kancil sambil dibantu kura-kura di sebelahnya. “Aku

tak peduli, aku tak peduli, aku nak juga.” Monyet yang tamak dan degil itu masih

berkeras mahu mengambil cili itu untuk dimakannya. “Jangan monyet, jangan!” belum

pun sempat kancil menghabiskan ayatnya, monyet telah mengambil cili itu lalu

memakannya beberapa batang sekali gus. Apa lagi, terasa berapi dan merah muka

monyet akibat kepedasan yang melampau. “Ha, rasakan engkau monyet. Beginilah
jadinya mereka yang tidak menerima nasihat orang.” Ujar kura-kura yang geram

melihat kedegilan monyet.

Selang beberapa hari kemudian, sang kancil dan kura-kura bersiar-siar di taman

peliharaan mereka. “Apa khabar pula dengan si monyet?” bicara sang kancil kepada

kura-kura. “Kasihan, ingat-ingat monyet. jangan diulang lagi.” Kata kura-kura yang

terlihatkan monyet yang masih berada di situ.

Pengajaran:

1. Jangan tamak

2. Mendengar nasihat orang lain

3. Jangan berdendam

=======================================================

=======================================================

==================================
12. HIKAYAT SRI RAMA (http://desveeta.wordpress.com/2012/05/24/hikayat-sri-

ram/)

Pada suatu hari, Sri Rama dan Laksamana pergi mencari Sita Dewi. Mereka berjalan

menelusuri hutan rimba belantara namun tak juga mendapat kabar keberadaan Sita

Dewi.

Saat Sri Rama dan Laksamana berjalan di dalam hutan, mereka bertemu dengan seekor

burung jantan dan empat ekor burung betina. Lalu Sri Rama bertanya pada burung

jantan tentang keberadaan Sita Dewi yang diculik orang. Burung jantan mengatakan

bahwa Sri Rama tak bisa menjaga istrinya dengan baik, tak seperti dia yang memiliki

empat istri namun bisa menjaganya. Tersinggunglah Sri Rama mendengar perkataan

burung itu. Kemudian, Sri Rama memohon pada Dewata Mulia Raya agar memgutuk

burung itu menjadi buta hingga tak dapat melihat istri-istrinya lagi. Seketika burung itu

buta atas takdir Dewata Mulia Raya.

Malam tlah berganti siang. Di tengah perjalanan, mereka bertemu dengan seekor

bangau yang sedang minum di tepi danau. Bertanyalah Sri Rama pada bangau itu.

Bangau mengatakan bahwa ia melihat bayang-bayang seorang wanita dibawa oleh

Maharaja Rawana. Sri Rama merasa senang karena mendapat petunjuk dari cerita

bangau itu. Sebagai balas budi, Sri Rama memohon pada Dewata Mulia Raya untuk

membuat leher bangau menjadi lebih panjang sesuai dengan keinginan bangau. Namun,

Sri Rama khawatir jika leher bangau terlalu panjang maka dapat dijerat orang.

Setelah Sri Rama memohon doa, ia kembali melanjutkan perjalanan. Tak lama kemudian

datanglah seorang anak yang hendak mengail. Tetapi, anak itu melihat bangau yang

sedang minum kemudian menjerat lehernya untuk dijual ke pasar. Sri Rama dan

Laksamana bertemu dengan anak itu dan membebaskan bangau dengan memberi anak

itu sebuah cincin.

Ketika dalam perjalanan, Sri Rama merasa haus dan menyuruh Laksamana untuk

mencarikannya air. Sri Rama menyuruh Laksamana untuk mengikuti jatunya anak panah

agar dapat menemukan sumber air. Setelah berhasil mendapatkan air itu, Laksamana

membawanya pada Sri Rama. Saat Sri Rama meminum air itu, ternyata air itu busuk.

Sri Rama meminta Laksamana untuk mengantarnya ke tempat sumber air dimana

Laksamana memperolehnya. Sesampai di tempat itu, dilihatnya air itu berlinang-linang.

Sri Rama mengatakan bahwa dulu pernah ada binatang besar yang mati di hulu sungai
itu. Kemudian, Sri Rama dan Laksamana memutuskan untuk mengikuti jalan ke hulu

sungai itu.

Mereka bertemu dengan seekor burung besar bernama Jentayu yang tertambat

sayapnya dan yang sebelah rebah. Sri Rama bertanya padanya mengapa sampai

Jentayu seperti itu. Jentayu menceritakan semuanya pada Sri Rama tentang

pertarungannya melawan Maharaja Rawana. Setelah Jentayu selesai bercerita, ia lalu

memberikan cincin yang dilontarkan Sita Dewi saat Jentayu gugur ke bumi saat

berperang dengan Maharaja Rawana. Kemudian, cincin itu diambil oleh Sri Rama.

Bahagialah Sri Rama melihat cincin itu memang benar cincin istrinya, Sita Dewi.

Jentayu berpesan pada Sri Rama jika akan pergi menyeberang ke negeri Langka Puri, Sri

Rama tidak boleh singgah ke tepi laut karena di sana terdapat gunung bernama Gendara

Wanam. Di dalam bukit tersebut ada saudara Jentayu yang bernama Dasampani sedang

bertapa. Jentayu tak ingin saudaranya itu mengetahui bahwa dirinya akan segera mati.

Setelah Jentayu selesai berpesan, ia pun mati.

Sri Rama menyuruh Laksamana mencari tempat yang tidak terdapat manusia dengan

memberinya sebuah tongkat. Tetapi, Laksamana tidak berhasil menemukan tempat itu.

Lalu ia kembali pada Sri Rama. Laksamana mengatakan pada Sri Rama bahwa ia tidak

dapat menemukan tempat sesuai perintah Sri Rama. Kemudian, Sri Rama menyuruh

Laksamana untuk menghimpun semua kayu api dan meletakkannya di tanagn Sri Rama.

Lalu diletakkannya bangkai Jentayu di atas kayu api itu dan di bakar oleh Laksamana.

Beberapa lama kemudian, api itu padam. Laksamana heran melihat kesaktian Sri Rama

yang tangannya tidak terluka bakar sedikitpun. Kemudian, mereka melanjutkan

perjalanan meninggalkan tempat itu.

Unsur-unsur intrinsik Hikayat Sri Rama:

Tema: Kesetiaan dan pengorbanan

bukti: Para patik Sri Rama berani berkorban nyawa demi membantu Sri Rama yang

sedang kesulitan mencari Sita Dewi. Mereka bakti akan perintah Sri Rama dengan

menunujukkan kesetiaan mereka pada Sri Rama.

Alur: Maju

bukti: Sri Rama mencari Sita Dewi yang dibawa lari oleh Maharaja Rawana. Dia berhasil

menemukan petunjuk tentang keberadaan Sita Dewi saat bertemu dengan Jentayu.

Namun, Jentayu mati setelah menceritakan tentang pertarungannya melawan Maharaja


rawana. Mayat Jentayu dibakar di atas tangan Sri Rama.

Penokohan: diceritakan secara dramatik (tidak langsung)

Tokoh:

Tokoh utama: Sri Rama

Tokoh tambahan: Laksamana, Sita Dewi, Maharaja Rawana, Jentayu, Dasampani,

burung jantan, dan bangau.

Setting/latar cerita

Latar waktu: siang hari

bukti: pada paragraf enam kalimat pertama pada hikayat

Latar tempat: di hutan rimba belantara

bukti: pada paragraf pertama kalimat kedua

Latar suasana: bahagia, mengaharukan

bukti: Sri Rama terharu melihat kesetiaan Jentayu atas pengabdiannya menolong Sita

Dewi.

Sudut pandang: menggunakan orang ketiga sebagai pelaku utama

Amanat: hargailah pengorbanan seseorang yang telah rela mati demi menbantu kitA

Anda mungkin juga menyukai