Anda di halaman 1dari 8

K E I S T I M E WA A N K H A L I F A H U M A R B I N A B D U L A Z I Z

THURSDAY, MARCH 12, 2015 / BY TANTI SRIDIANTI / IN UMAR BIN ABDUL AZIZ / W ITH NO
COMMENTS /

KEISTIMEWAAN KHALIFA H UMAR BIN ABDUL


AZIZ
Sebagai seorang khalifah Umar bin Abdul Aziz memiliki banyak keistimewaan diantaranya
adalah:
o Pengangkatan khalifah pada dirinya tidak langsung diterima begitu saja, akan tetapi
ditawarkan kembali kepada rakyatnya untuk memilih kembali kahlifah yang disukai, dan
ternyata rakyatnya malah menyetujui Umar bin Abful Aziz sebagai khalifah
o Menjual sebagian kekayaan milik pribadinya. Uang hasil penjualannya dimasukkan ke
Baitul Mal
o Meningggalkan kemewahan dan berpola hidup sederhana
o Bertindak adil terhadap semua pihak dengan tidak membedakan suku maupun agama.
o Lebih mengutamakan agama daripada politik
o Mengutamakan persatuan dan kesatuan umat Islam daripada golongan.

Profil Singkat Khalifah Umar Bin Abdul Aziz


Penulis: Anang Khoironi Pada April 03, 2017

Profil Singkat Khalifah Umar Bin Abdul Aziz - Nama lengkapnya Umar bin Abdul Aziz bin

Marwan bin Al-Hakam bin Abu Al-Ash bin Umayyah bin Abd Syams bin Manaf. Ayahnya adalah

Abdul Aziz bin Marwan, salah seorang gubernur.

Ia seorang yang pemberani dan dermawan. Ia menikah dengan seorang wanita salehah dari kaum

Quraisy keturunan Umar bin Khattab, bernama Ummua Ashim binti Ashim bin Umar bin Khattab,

Abdul Aziz merupakan seorang ulama yang shaleh.

Beliau adalah murid Abu Hurairah ra, shahabat Nabi Muhammad. Ibunya Ummu Ashim, Laila

binti Ashim bin Umar bin Khattab. Bapaknya Laila merupakan anak Umar bin Khattab, ia sering

menyampaikan hadis nabi dari Umar.

Umar bin Abdul Aziz lahir di tahun 61 H di Madinah Munawaroh, pada masa pemerintahan Yazid

bin Muawiyah, Khalifah kedua Dinasti Bani Umayah. Ia memiliki 4 saudara kandung Yaitu Umar,

Abu Bakar, Muhammad, dan Ashim. Ibu mereka adalah Laila binti Ashim bin Umar bin Kahttab.

Dan 6 saudara lain ibu yaitu Al Ashbagh, Sahal, Suhail, Ummu Hakam, Zabban dan Ummul Banin.

Istrinya adalah wanita yang salehah dari kalangan kerajaan Bani Umayah, ia merupakan putri dari

Khalifah Abdul Malik bin Marwan (khalifah kelima Dinasti Bani Umayah) yaitu Fatimah binti Abdul

Malik.
Fatimah binti Abdul Malik memiliki nasab yang mulia; putri khalifah, kakeknya juga khalifah,

saudara perempuan dari para khalifah, dan istri dari khalifah yang mulia Umar bin Abdul Aziz,

namun hidupnya sederhana.

Umar bin Abdul Aziz mempunyai empat belas anak laki-laki, di antara mereka adalah Abdul Malik,

Abdul Aziz, Abdullah, Ibrahim, Ishaq, Ya’qub, Bakar, Al-Walid, Musa, Ashim, Yazid, Zaban,

Abdullah, serta tiga anak perempuan, Aminah, Ummu Ammar dan Ummu Abdillah.

Umar bin Abdul Aziz tidak memiliki usia yang panjang, ia wafat hari jum'at di sepuluh hari terakhir

bulan Rajab tahun 101 H pada usia 40 tahun, usia yang masih relatif muda dan masih

dikategorikan usia produktif. Namun, di balik usia yang singkat tersebut, ia telah berbuat banyak

untuk peradaban manusia dan Islam secara khusus.

ia meninggalkan harta warisan yang sedikit buat anak-anaknya. Setiap anak laki-laki hanya

mendapatkan jatah 19 dirham saja, sementara satu anak dari Hisyam bin Abdul Malik (khalifah

kesepuluh Bani Umayah) mendapatkan warisan dari bapaknya sebesar satu juta dirham.

Namun beberapa tahun setelah itu salah seorang anak Umar bi Abdul Aziz mampu menyiapkan

seratus ekor kuda lengkap dengan perlengkapannya dalam rangka jihad di jalan Allah, pada saat

yang sama salah seorang anak Hisyam menerima sedekah dari masyarakat. Beliau memerintah

hanya selama 2 tahun 5 bulan 4 hari. Setelah beliau wafat, kekhalifahan digantikan oleh iparnya,

Yazid bin Abdul Malik.

Umar bin Abdul-Aziz, bergelar Umar II, lahir pada tahun 63 H / 682 – Februari 720; umur 37–38 tahun)[1]adalah
khalifah Bani Umayyah yang berkuasa dari tahun 717 (umur 34–35 tahun) sampai 720 (selama 2–3 tahun). Tidak
seperti khalifah Bani Umayyah sebelumnya, ia bukan merupakan keturunan dari khalifah sebelumnya, tetapi
ditunjuk langsung, dimana ia merupakan sepupu dari khalifah sebelumnya, Sulaiman bin Abdul-Malik
I. BIOGRAFI
1.1 Keluarga

Ayahnya adalah Abdul-Aziz bin Marwan, gubernur Mesir dan adik dari Khalifah Abdul-Malik. Ibunya adalah
Ummu Asim binti Asim. Umar adalah cicit dari Khulafaur Rasyidin kedua Umar bin Khattab, dimana umat Muslim
menghormatinya sebagai salah seorang Sahabat Nabi yang paling dekat.
1.1.1 Silsilah

Umar dilahirkan sekitar tahun 682. Beberapa tradisi menyatakan ia dilahirkan di Madinah, sedangkan lainnya
mengklaim ia lahir di Mesir. Umar dibesarkan di Madinah, di bawah bimbingan Ibnu Umar, salah seorang
periwayat hadis terbanyak.
1.1.2 Kisah Umar bin Khattab berkaitan dengan kelahiran Umar II

Menurut tradisi Muslim Sunni, silsilah keturunan Umar dengan Umar bin Khattab terkait dengan sebuah peristiwa
terkenal yang terjadi pada masa kekuasaan Umar bin Khattab.
“Khalifah Umar sangat terkenal dengan kegiatannya beronda pada malam hari di sekitar daerah kekuasaannya.
Pada suatu malam beliau mendengar dialog seorang anak perempuan dan ibunya, seorang penjual susu yang
miskin.
Kata ibu “Wahai anakku, segeralah kita tambah air dalam susu ini supaya terlihat banyak sebelum terbit matahari”
Anaknya menjawab “Kita tidak boleh berbuat seperti itu ibu, Amirul Mukminin melarang kita berbuat begini”
Si ibu masih mendesak “Tidak mengapa, Amirul Mukminin tidak akan tahu”.
Balas si anak “Jika Amirul Mukminin tidak tahu, tapi Tuhan Amirul Mukminin tahu”.
Umar yang mendengar kemudian menangis. Betapa mulianya hati anak gadis itu.
Ketika pulang ke rumah, Umar bin Khattab menyuruh anak lelakinya, Asim menikahi gadis itu.
Kata Umar, “Semoga lahir dari keturunan gadis ini bakal pemimpin Islam yang hebat kelak yang akan memimpin orang-
orang Arab dan Ajam”.
Asim yang taat tanpa banyak tanya segera menikahi gadis miskin tersebut. Pernikahan ini melahirkan anak
perempuan bernama Laila yang lebih dikenal dengan sebutan Ummu Asim. Ketika dewasa Ummu Asim menikah
dengan Abdul-Aziz bin Marwan yang melahirkan Umar bin Abdul-Aziz.
1.2 Kehidupan awal
1.2.1 Periode 682 – 715

Umar dibesarkan di Madinah, di bawah bimbingan Ibnu Umar, salah seorang periwayat hadis terbanyak. Ia
tinggal di sana sampai kematiannya ayahnya, dimana kemudian ia dipanggil ke Damaskus oleh Abdul-Malik dan
menikah dengan anak perempuannya Fatimah. Ayah mertuanya kemudian segera meninggal dan ia diangkat
pada tahun 706 sebagai gubernur Madinah oleh khalifah Al-Walid I
1.2.2 Periode 715 – 715: era Al-Walid I

Tidak seperti sebagaian besar penguasa pada saat itu, Umar membentuk sebuah dewan yang kemudian
bersama-sama dengannya menjalankan pemerintahan provinsi. Masa di Madinah itu menjadi masa yang jauh
berbeda dengan pemerintahan sebelumnya, dimana keluhan-keluhan resmi ke Damaskus berkurang dan dapat
diselesaikan di Madinah, sebagai tambahan banyak orang yang berimigrasi ke Madinah dari Iraq, mencari
perlindungan dari gubernur mereka yang kejam, Al-Hajjaj bin Yusuf. Hal tersebut menyebabkan kemarahan Al-
Hajjaj, dan ia menekan al-Walid I untuk memberhentikan Umar. al-Walid I tunduk kepada tekanan Al-Hajjaj dan
memberhentikan Umar dari jabatannya. Tetapi sejak itu, Umar sudah memiliki reputasi yang tinggi di
Kekhalifahan Islam pada masa itu.

Pada era Al-Walid I ini juga tercatat tentang keputusan khalifah yang kontroversial untuk memperluas area di
sekitar masjid Nabawi sehingga rumah Rasulullah ikut direnovasi. Umar membacakan keputusan ini di depan
penduduk Madinah termasuk ulama mereka, Said Al Musayyib sehingga banyak dari mereka yang mencucurkan
air mata. Berkata Said Al Musayyib: “Sungguh aku berharap agar rumah Rasulullah tetap dibiarkan seperti apa adanya
sehingga generasi Islam yang akan datang dapat mengetahui bagaimana sesungguhnya tata cara hidup beliau yang
sederhana”[2]
1.2.3 Periode 715 – 717: era Sulaiman

Umar tetap tinggal di Madinah selama masa sisa pemerintahan al-Walid I dan kemudian dilanjutkan oleh saudara
al-Walid, Sulaiman. Sulaiman, yang juga merupakan sepupu Umar selalu mengagumi Umar, dan menolak untuk
menunjuk saudara kandung dan anaknya sendiri pada saat pemilihan khalifah dan menunjuk Umar.
1.2.3.1 Kedekatan Umar dengan Sulaiman

Sulaiman bin Abdul-Malik merupakan sepupu langsung dengan Umar. Mereka berdua sangat erat dan selalu
bersama. Pada masa pemerintahan Sulaiman bin Abdul-Malik, dunia dinaungi pemerintahan Islam. Kekuasaan
Bani Umayyah sangat kukuh dan stabil.
Suatu hari, Sulaiman mengajak Umar ke markas pasukan Bani Umayyah.
Sulaiman bertanya kepada Umar “Apakah yang kau lihat wahai Umar bin Abdul-Aziz?” dengan niat agar dapat
membakar semangat Umar ketika melihat kekuatan pasukan yang telah dilatih.
Namun jawab Umar, “Aku sedang lihat dunia itu sedang makan antara satu dengan yang lain, dan engkau adalah orang
yang paling bertanggung jawab dan akan ditanyakan oleh Allah mengenainya”.
Khalifah Sulaiman berkata lagi “Engkau tidak kagumkah dengan kehebatan pemerintahan kita ini?”
Balas Umar lagi, “Bahkan yang paling hebat dan mengagumkan adalah orang yang mengenali Allah kemudian
mendurhakai-Nya, mengenali setan kemudian mengikutinya, mengenali dunia kemudian condong kepada dunia”.
Jika Khalifah Sulaiman adalah pemimpin biasa, sudah barang tentu akan marah dengan kata-kata Umar bin
Abdul-Aziz, namun beliau menerima dengan hati terbuka bahkan kagum dengan kata-kata itu.
II. MENJADI KHALIFAH
Umar menjadi khalifah menggantikan Sulaiman yang wafat pada tahun 716. Ia di bai’at sebagai khalifah pada
hari Jumat setelah salat Jumat. Hari itu juga setelah ashar, rakyat dapat langsung merasakan perubahan
kebijakan khalifah baru ini. Khalifah Umar, masih satu nasab dengan Khalifah kedua, Umar bin Khattab dari garis
ibu.
Zaman pemerintahannya berhasil memulihkan keadaan negaranya dan mengkondisikan negaranya seperti saat
4 khalifah pertama (Khulafaur Rasyidin) memerintah. Kebijakannya dan kesederhanaan hidupnya pun tak kalah
dengan 4 khalifah pertama itu. Gajinya selama menjadi khalifah hanya 2 dirham perhari[3] atau 60 dirham
perbulan. Karena itu banyak ahli sejarah menjuluki beliau dengan Khulafaur Rasyidin ke-5. Khalifah Umar ini
hanya memerintah selama tiga tahun kurang sedikit. Menurut riwayat, beliau meninggal karena dibunuh (diracun)
oleh pembantunya.
2.1 Sebelum menjabat

Menjelang wafatnya Sulaiman, penasihat kerajaan bernama Raja’ bin Haiwah menasihati beliau, “Wahai Amirul
Mukminin, antara perkara yang menyebabkan engkau dijaga di dalam kubur dan menerima syafaat dari Allah di akhirat
kelak adalah apabila engkau tinggalkan untuk orang Islam khalifah yang adil, maka siapakah pilihanmu?”. Jawab
Khalifah Sulaiman, “Aku melihat Umar Ibn Abdul Aziz”.
Surat wasiat diarahkan supaya ditulis nama Umar bin Abdul-Aziz sebagai penerus kekhalifahan, tetapi
dirahasiakan darai kalangan menteri dan keluarga. Sebelum wafatnya Sulaiman, beliau memerintahkan agar
para menteri dan para gubernur berbai’ah dengan nama bakal khalifah yang tercantum dalam surat wasiat
tersebut.
2.2 Naiknya Umar sebagai Amirul Mukminin

Seluruh umat Islam berkumpul di dalam masjid dalam keadaan bertanya-tanya, siapa khalifah mereka yang baru.
Raja’ Ibn Haiwah mengumumkan, “Bangunlah wahai Umar bin Abdul-Aziz, sesungguhnya nama engkaulah yang tertulis
dalam surat ini”.
Umar bin Abdul-Aziz bangkit seraya berkata, “Wahai manusia, sesungguhnya jabatan ini diberikan kepadaku tanpa
bermusyawarah dahulu denganku dan tanpa pernah aku memintanya, sesungguhnya aku mencabut bai’ah yang ada dileher
kamu dan pilihlah siapa yang kalian kehendaki”.
Umat tetap menghendaki Umar sebagai khalifah dan Umar menerima dengan hati yang berat, hati yang takut
kepada Allah dan tangisan. Segala keistimewaan sebagai khalifah ditolak dan Umar pulang ke rumah.
Ketika pulang ke rumah, Umar berfikir tentang tugas baru untuk memerintah seluruh daerah Islam yang luas
dalam kelelahan setelah mengurus jenazah Khalifah Sulaiman bin Abdul-Malik. Ia berniat untuk tidur.
Pada saat itulah anaknya yang berusia 15 tahun, Abdul-Malik masuk melihat ayahnya dan berkata,“Apakah yang
sedang engkau lakukan wahai Amirul Mukminin?”.
Umar menjawab, “Wahai anakku, ayahmu letih mengurusi jenazah bapak saudaramu dan ayahmu tidak pernah
merasakan keletihan seperti ini”.
“Jadi apa engkau akan buat wahai ayah?”, Tanya anaknya ingin tahu.
Umar membalas, “Ayah akan tidur sebentar hingga masuk waktu zuhur, kemudian ayah akan keluar untuk salat bersama
rakyat”.
Apa pula kata anaknya apabila mengetahui ayahnya Amirul Mukminin yang baru “Ayah, siapa pula yang menjamin
ayah masih hidup sehingga waktu zuhur nanti sedangkan sekarang adalah tanggungjawab Amirul Mukminin
mengembalikan hak-hak orang yang dizalimi” Umar ibn Abdul Aziz terus terbangun dan membatalkan niat untuk
tidur, beliau memanggil anaknya mendekati beliau, mengucup kedua belah mata anaknya sambil berkata “Segala
puji bagi Allah yang mengeluarkan dari keturunanku, orang yang menolong aku di atas agamaku”
2.3 Pemerintahan Umar bin Abdul-Aziz

Hari kedua dilantik menjadi khalifah, beliau menyampaikan khutbah umum. Dihujung khutbahnya, beliau
berkata “Wahai manusia, tiada nabi selepas Muhammad saw dan tiada kitab selepas alQuran, aku bukan penentu hukum
malah aku pelaksana hukum Allah, aku bukan ahli bid’ah malah aku seorang yang mengikut sunnah, aku bukan orang yang
paling baik dikalangan kamu sedangkan aku cuma orang yang paling berat tanggungannya dikalangan kamu, aku
mengucapkan ucapan ini sedangkan aku tahu aku adalah orang yang paling banyak dosa di sisi Allah” Beliau kemudian
duduk dan menangis “Alangkah besarnya ujian Allah kepadaku” sambung Umar Ibn Abdul Aziz.
Beliau pulang ke rumah dan menangis sehingga ditegur isteri “Apa yang Amirul Mukminin tangiskan?”Beliau
mejawab “Wahai isteriku, aku telah diuji oleh Allah dengan jawatan ini dan aku sedang teringat kepada orang-orang yang
miskin, ibu-ibu yang janda, anaknya ramai, rezekinya sedikit, aku teringat orang-orang dalam tawanan, para fuqara’ kaum
muslimin. Aku tahu mereka semua ini akan mendakwaku di akhirat kelak dan aku bimbang aku tidak dapat jawab hujah-
hujah mereka sebagai khalifah kerana aku tahu, yang menjadi pembela di pihak mereka adalah Rasulullah saw’’ Isterinya
juga turut mengalir air mata.
Umar Ibn Abdul Aziz mula memeritah pada usia 36 tahun sepanjang tempoh 2 tahun 5 bulan 5 hari.
Pemerintahan beliau sangat menakjubkan. Pada waktu inilah dikatakan tiada siapa pun umat Islam yang layak
menerima zakat sehingga harta zakat yang menggunung itu terpaksa diiklankan kepada sesiapa yang tiada
pembiayaan untuk bernikah dan juga hal-hal lain.
2.4 Surat dari Raja Sriwijaya
Tercatat Raja Sriwijaya pernah dua kali mengirimkan surat kepada khalifah Bani Umayyah. Yang pertama dikirim
kepada Muawiyah I, dan yang ke-2 kepada Umar bin Abdul-Aziz. Surat kedua didokumentasikan oleh Abd
Rabbih (860-940) dalam karyanya Al-Iqdul Farid. Potongan surat tersebut berbunyi:[4]
“Dari Rajadiraja…; yang adalah keturunan seribu raja … kepada Raja Arab yang tidak menyekutukan tuhan-tuhan yang
lain dengan Tuhan. Saya telah mengirimkan kepada Anda hadiah, yang sebenarnya merupakan hadiah yang tak begitu
banyak, tetapi sekedar tanda persahabatan; dan saya ingin Anda mengirimkan kepada saya seseorang yang dapat
mengajarkan Islam kepada saya, dan menjelaskan kepada saya hukum-hukumnya”.
III. KEBIJAKAN POLITIK UMAR BIN ABDUL-AZIZ YANG RAHMATAN LIL ‘ALAMIN

Setelah menjadi Khalifah, Umar bin Abdul Aziz melakukan gebrakan yang tidak diduga sebelumnya, terutama
oleh keluarga, famili, dan orang-orang terdekatnya. Banyak orang yang tercengang melihat kebijakan-kebijakan
beliau yang tidak biasa dilakukan oleh orang-orang yang tengah berkuasa.
Di antara kebijakan-kebijakan politiknya antara lain:

1. Menolak fasilitas kekhalifahan untuk dirinya yang dianggapnya berlebihan. Para petugas kekhalifahan
yang hendak mengawalnya dengan kendaraan khusus mendapatkan sesuatu yang di luar dugaan. Umar
menolak kendaraan dinas, dan meminta kepada salah seorang di antara mereka untuk mendatangkan binatang
tunggangannya.
Al-Hakam bin Umar mengisahkan, ”Saya menyaksikan para pengawal datang dengan kendaraan khusus
kekhalifahan kepada Umar bin Abdul Aziz sesaat dia diangkat menjadi Khalifah. Waktu itu Umar berkata, ’Bawa
kendaraan itu ke pasar dan juallah, lalu hasil penjualan itu simpan di Baitul Maal. Saya cukup naik kendaran ini saja
(hewan tunggangan).’”
’Atha al-Khurasani berkata, ”Umar bin Abdul Aziz memerintahkan pelayannya untuk memanaskan air untuknya. Lalu
pelayannya memanaskan air di dapur umum. Kemudian Umar bin Abdul Aziz menyuruh pelayannya untuk membayar setiap
satu batang kayu bakar dengan satu dirham.”
’Amir bin Muhajir menceritakan bahwa Umar bin Abdul Aziz akan menyalakan lampu milik umum jika
pekerjaannya berhubungan dengan kepentingan kaum Muslimin. Ketika urusan kaum Muslimin selesai, maka dia
akan memadamkannya dan segera menyalakan lampu miliknya sendiri.
Al-Hakam bin Umar meriwayarkan bahwa Umar bin Abdul Aziz memiliki 300 penjaga. Umar berkata kepada para
pengawalnya, ”Sesungguhnya aku memiliki penjaga untuk kalian dan untukku, juga ada penjaga ajalku. Maka, siapa yang
ingin tetap berada di sini, tetaplah di sini, dan siapa yang ingin pulang, pulanglah kepada keluarga kalian.”
2. Menerapkan pola hidup sederhana, khususnya untuk diri dan keluarganya. Yunus bin Abi Syaib
berkata, ”Sebelum menjadi Khalifah tali celananya masuk ke dalam perutnya yang besar. Namun, ketika dia menjadi
Khalifah, dia sangat kurus. Bahkan jika saya menghitung jumlah tulang rusuknya tanpa menyentuhnya, pasti saya bisa
menghitungnya.”
Hal senada diungkapkan putranya, Abdul Aziz bin Umar bin Abdul Aziz ketika ditanya oleh Abu Ja’far al-Manshur
perihal jumlah kekayaan ayahnya. Ja’far bertanya, ”Berapa kekayaan ayahmu saat mulai menjabat sebagai
Khalifah?” Abdul Aziz menjawab, ”Empat puluh ribu dinar.” Ja’far bertanya lagi, ”Lalu berapa kekayaan ayahmu
saat meninggal dunia?” Jawab Abdul Aziz, ”Empat ratus dinar. Itu pun kalau belum berkurang.”
Kesederhanaan Umar bin Abdul Aziz dalam kehidupan benar-benar diilhami oleh perilaku hidup sederhana
Rasulullah Saw. dan para sahabatnya. Beliau sangat sederhana dalam berpakaian. Suatu ketika Maslamah bin
Abdul Malik menjenguk Umar bin Abdul Aziz yang sedang sakit. Maslamah melihat pakaian Umar sangat kotor.
Maslamah berkata kepada istri umar, Fathimah binti Abdul Malik, ”Tidakkah engkau cuci bajunya?” Fathimah
menjawab, ”Demi Allah, dia tidak memiliki pakaian lain selain yang ia pakai.”
Pada kesempatan lain Umar bin Abdul Aziz shalat Jum’at di masjid bersama orang banyak dengan baju yang
bertambal di sana-sini. Salah seorang jamaah bertanya, ”Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya Allah telah
mengaruniakan kepadamu kenikmatan. Mengapa tak mau kau pergunakan walau sekedar berpakaian bagus?”
Umar bin Abdul Aziz tertunduk sejenak, lalu dia mengangkat kepalanya dan berkata, ”Sesungguhnya berlaku
sederhana yang palinG baik adalah pada saat kita kaya dan sebaik-baik pengampunan adalah saat kita berada pada posisi
kuat.”
Umar bin Abdul Aziz juga sangat sederhana dalam makanan. Seorang pelayan Umar, Abu Umayyah al-Khashy
berkata, ”Saya datang menemui istri Umar dan dia memberiku makan siang dengan kacang adas. Saya katakan
kepadanya, ’Apakah setiap hari tuan makan dengan kacang adas?’” Fathimah menjawab,”Wahai anakku, inilah
makanan tuanmu, Amirul Mukminin.”
’Amr bin Muhajir berkata, ”Uang belanja Umar bin Abdul Aziz setiap harinya hanya dua dirham.”Sedangkan Yusuf bin
Ya’qub al-Khalil berkata, ”Umar bin Abdul Aziz memakai pakaian dari bulu unta yang pendek. Sedangkan penerangan
rumahnya terdiri dari tiga bambu yang di atasnya ada tanah.”
Umar bin Abdul Aziz juga senantiasa mengerjakan urusan-urusan kecil yang sebenarnya tidak pantas dikerjakan
oleh seorang Amirul Mukminin. Seperti diungkapkan oleh Abu Umayyah bahwa Umar bin Abdul Aziz pernah
masuk ke satu kamar mandi. Tiba-tiba kamar mandi itu rusak, maka dia memberperbaikinya sendiri.
3. Menghapuskan hak-hak istimewa yang diberikan kepada keluarganya. Umar mengumpulkan Bani
Marwan dan berkata, ”Sesungguhnya Rasulullah Saw. memiliki tanah fadak, dan dari tanah itu dia memberikan
nafkah kepada keluarga Bani Hasyim. Dan dari tanah itu pula Rasulullah Saw. mengawinkan gadis-gadis di
kalangan mereka. Suatu saat, Fathimah memintanya untuk mengambil sebagian dari hasil tanah itu, tapi
Rasulullah Saw. menolaknya.
Demikian pula yang dilakukan Abu Bakar Ra. dan Umar Ra. Kemudian harta itu diambil oleh Marwan dan kini
menjadi milik Umar bin Abdul Aziz. Maka saya memandang bahwa suatu perkara yang dilarang Rasulullah Saw.
melarangnya untuk Fathimah adalah bukan menjadi hakku. Saya menyatakan kesaksian di hadapan kalian
semua, bahwa saya telah mengembalikan tanah tersebut sebagaimana pada zaman Rasulullah Saw.” (Kisah ini
diriwayatkan dari Mughirah).

Al-Awza’i meriwayatkan, ketika Umar bin Abdul Aziz menghapuskan hak-hak istimewa kepada anggota
keluarganya, mereka berusaha membujuk Umar untuk mengembalikan hak tersebut. Umar berkata, ”Harta yang
ada padaku tak cukup untuk kalian. Sedangkan mengenai harta kaum Muslimin ini, maka hak kalian sama dengan hak kaum
Muslimin yang berada di ujung dunia.”
Wahib al-Wadud mengisahkan, suatu saat beberapa kerabat Umar bin Abdul Aziz dari Bani Marwan mendatangi
rumah Umar. Saat itu Umar tengah uzur tak bisa menemui mereka. Lalu mereka berpesan kepada anaknya yang
bernama Abdul Malik, ”Tolong katakan kepada ayahmu bahwa para Khalifah terdahulu selalu memberikan keistimewaan
dan uang kepada kami, karena mereka tahu kedudukan kami. Sementara ayahmu kini telah menghapuskannya.”
Abdul Malik lalu menyampaikan hal itu kepada ayahnya. Setelah kembali, Abdul Malik berkata kepada
mereka, ”Sesungguhnya aku takut akan azab hari yang besar (hari kiamat), jika aku mendurhakai Tuhanku” (Umar
mengutip firman Allah QS Al-An’am: 15).
Salah seorang famili Umar bin Abdul Aziz yang bernama ’Anbasah bin Said al-’Ash menemuinya untuk
menyampaikan keluhannya, ”Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya para Khalifah sebelum kamu biasa menanggung
kebutuhan-kebutuhan kami, tapi kini kamu menghapuskan kebiasaan itu untuk kami, padahal kami memiliki keluarga.
Apakah kamu izinkan saya bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup kami?” Umar menjawab, ”Sesungguhnya orang
yang paling dicintai di antara kamu adalah orang yang dapat mencukupi kebutuhan hidupnya sendiri.”
Lalu Umar bin Abdul Aziz menasehatinya, ”Perbanyaklah mengingat mati. Karena jika kamu berada dalam kesempitan
hidup, maka kamu akan merasa lapang. Dan jika kamu berada dalam kelapangan hidup, maka kamu akan merasa sempit.”
4. Mengembalikan harta kekayaan yang dimilikinya dan keluarganya kepada Baitul Maal. Suatu saat, Umar
bin Abdul Aziz memanggil istrinya, Fathimah binti Abdul Malik yang memiliki banyak perhiasan berupa intan dan
mutiara, ”Wahai istriku, pilihlah olehmu, kamu kembalikan perhiasan-perhiasan ini ke Baitul Maal atau kamu izinkan saya
meninggalkan kamu untuk selamanya. Aku tidak suka bila aku, kamu, dan perhiasan ini berada dalam satu
rumah.” Fathimah menjawab, ”Saya memilih kamu daripada perhiasan-perhiasan ini. Bahkan bila lebih dari itu pun aku
tetap memilih kamu.”
5. Mengangkat orang-orang saleh di jajaran pemerintahannya. Setelah mencopot Khalid sebagai pengawal
kekhalifahan lantaran telah menghukum orang tidak sesuai dengan kesalahannya, Umar bin Abdul Aziz meminta
’Amr bin Muhajir untuk menjadi salah seorang pengawalnya. Umar berkata, ”Wahai ’Amr, engkau tahu bahwa
antara saya dan kamu tidak ada hubungan kekerabatan, kecuali kerabat dalam Islam. Namun, saya mendengar bahwa kamu
banyak membaca ayat-ayat Al-Qur`an, dan saya melihat kamu melakukan shalat di suatu tempat yang kamu kira tidak ada
seorang pun yang dapat melihatmu. Saya melihat kamu melakukan shalat dengan baik. Dan kamu adalah salah seorang
dari golongan Anshar. Ambillah pedang ini dan sejak saat ini kau kuangkat sebagai pengawalku.”
6. Menolak suap dalam bentuk apa pun. ’Amr bin Muhajir meriwayatkan, suatu saat Umar bin Abdul Aziz ingin
makan apel, kemudian salah seorang anggota keluarganya memberi apel yang diinginkan. Lalu Umar
berkata, ”Alangkah harum aromanya. Wahai pelayan, kembalikan apel ini kepada si pemberi dan sampaikan salam saya
kepadanya bahwa hadiah yang dikirim telah sampai.”
’Amr bin Muhajir mempertanyakan sikap Umar tersebut, ”Wahai Amirul Mukminin, orang yang memberi hadiah apel
itu tak lain adalah sepupumu sendiri dan salah seorang yang masih memiliki hubungan kerabat yang sangat dekat
denganmu. Bukankah Rasulullah Saw. juga menerima hadiah yang diberikan orang lain kepadanya?”

Umar bin Abdul Aziz menjawab, ”Celaka kamu, sesungguhnya hadiah yang diberikan kepada Rasulullah Saw. adalah
benar-benar hadiah, sedangkan yang diberikan kepadaku ini adalah suap.”
7. Menolak sistem kekhalifahan yang diwariskan secara turun-temurun. Ja’unah mengatakan, suatu ketika
Abdul Malik bin Umar bin Abdul Aziz, putranya, meninggal dunia. Umar memujinya. Lalu Ja’unah bertanya
kepada Umar, ”Apakah jika dia masih hidup, kamu akan mewasiatkan agar dia menjadi penggantimu?”
Umar menjawab, ”Tidak.”
”Lalu mengapa kamu memujinya?” tanya Ja’unah lagi.
”Karena saya khawatir, bila saya mengangkatnya, dia akan dihormati lantaran ayahnya dihormati,” jawab Umar.
8. Menghapuskan budaya materialistik di kalangan pejabat. Putra Umar bin Abdul Aziz yang bernama Abdul
Aziz mengisahkan, beberapa orang bawahan Umar menulis surat kepadanya. Di antara isi suratnya
berbunyi, ”Sesungguhnya kota telah rusak. Jika Amirul Mukminin memberikan kepada kami sejumlah uang agar kami
memperbaiki kota itu, maka kami akan melakukannya.” Umar membalas surat itu, ”Jika kamu membaca surat ini, maka
jagalah kota itu dengan cara kamu berlaku adil dan bersihkan jalan-jalannya dari kezaliman. Karena itulah sebenar-benar
perbaikan.”

9. Melakukan amar ma’ruf nahi munkar secara bijaksana. Suatu ketika Abdul Malik bin Umar bin Abdul Aziz,
salah seorang putra Umar, menemui ayahnya, dan berkata, ”Wahai Amirul Mukminin, jawaban apa yang engkau
persiapkan di hadapan Allah Swt. di hari Kiamat nanti, seandainya Allah menanyakan kepadamu, ’Mengapa engkau
melihat bid’ah, tapi engkau tidak membasminya, dan engkau melihat Sunnah, tapi engkau tidak menghidupkannya di
tengah-tengah masyarakat?’”
Umar menjawab, ”Semoga Allah Swt. mencurahkan rahmat-Nya kepadamu dan semoga Allah memberimu ganjaran atas
kebaikanmu. Wahai anakku, sesungguhnya kaummu melakukan perbuatan dalam agama ini sedikit demi sedikit. Jika aku
melakukan pembasmian terhadap apa yang mereka lakukan, maka aku tidak merasa aman bahwa tindakanku itu akan
menimbulkan bencana dan pertumpahan darah, serta mereka akan menghujatku. Demi Allah, hilangnya dunia bagiku jauh
lebih ringan daripada munculnya pertumpahan darah yang disebabkan oleh tindakanku. Ataukah kamu tidak rela jika
datang suatu masa, dimana ayahmu mampu membasmi bid’ah dan menghidupkan Sunnah?”
Ibnu Asakir meriwayatkan dari Ibnu Ja’unah, Umar bin Abdul Aziz berpesan kepada ’Amr bin Qais sebagai
pejabat baru di Ash-Shaifah, ”Terimalah orang yang baik di antara mereka, dan ampunilah orang-orang jahatnya.
Janganlah kamu berada di bagian paling depan di kalangan mereka, sehingga kamu dibunuh, dan jangan pula menjadi
orang yang berdiri di bagian paling belakang, sehingga kamu akan gagal. Jadilah di tengah-tengah dimana posisimu dapat
dilihat dan suaramu dapat didengar.”
Ibnu Asakir juga meriwayatkan dari As-Saib bin Muhammad, Al-Jarrah bin Abdullah menulis surat kepada Umar
bin Abdul Aziz sebagai berikut: “Sesungguhnya orang-orang Khurasan adalah orang-orang yang sulit diatur, kecuali
dengan pedang dan cemeti. Jika Amirul Mukminin mengizinkanku memerintah mereka dengan pedang dan cemeti, maka
saya akan lakukan.”
Dalam surat balasannya, Umar bin Abdul Aziz menulis: “Telah sampai surat yang kamu kirimkan kepadaku yang
menyebutkan bahwa penduduk Khurasan tidak bisa diatur kecuali dengan pedang dan cemeti. Namun, saya yakin bahwa
apa yang kamu katakan itu adalah bohong. Mereka pasti bisa diatur dan diperbaiki dengan keadilan dan kebenaran. Maka,
sebarkanlah itu di antara mereka.”
10. Menegakkan keadilan dan mengabdikan diri untuk menyejahterakan umat. Tekad Umar bin Abdul Aziz
untuk menyejahterakan rakyatnya dan menegakkan keadilan adalah prioritas utama. Fathimah binti Abdul Malik,
istrinya, pernah menemuinya sedang menangis di tempat shalatnya. Lalu istrinya berusaha membesarkan
hatinya. Umar bin Abdul Aziz berkata, ”Wahai Fathimah, sesungguhnya saya memikul beban umat Muhammad dari
yang hitam hingga yang merah. Dan saya memikirkan persoalan orang-orang fakir dan kelaparan, orang-orang sakit dan
tersia-siakan, orang-orang yang tak sanggup berpakaian dan orang yang tersisihkan, yang teraniaya dan terintimidasi,
yang terasing dan tertawan dalam perbudakan, yang tua dan yang jompo, yang memiliki banyak kerabat, tapi hartanya
sedikit, dan orang-orang yang serupa dengan itu di seluruh pelosok negeri. Saya tahu dan sadar bahwa Rabbku kelak akan
menanyakan hal ini di hari Kiamat. Saya khawatir saat itu saya tidak memiliki alasan yang kuat di hadapan Rabbku. Itulah
yang membuatku menangis.”
Keseriusan Umar bin Abdul Aziz dalam menegakkan keadilan dapat disimak dalam tafsir yang ditulis
Ibnu Abi Hatim. Dalam kitab itu disebutkan Muhammad bin Ka’ab al-Qurazhi mengatakan bahwa Umar bin
Abdul Aziz memanggilnya dan berkata, ”Katakan kepadaku tentang keadilan.”
Muhammad bin Ka’ab al-Qurazhi berkata, ”Engkau telah menanyakan suatu perkara yang sangat besar. Jadilah
engkau kepada anak kecil laksana seorang ayah, dan kepada orangtua laksana seorang anak kecil. Sedangkan kepada
yang sebaya laksana seorang saudara, demikian pula kepada kaum wanita. Berilah manusia sanksi sesuai dengan
kesalahanya, dan sesuai dengan kondisi fisiknya. Janganlah kamu memukul seseorang dengan satu cemeti pun karena
kemarahanmu, sehingga kamu akan dianggap sebagai orang yang melampaui batas.”
Malik bin Dinar berkata, ”Ketika Umar bin Abdul Aziz menjadi Khalifah, para penggembala domba dan kambing
berkata, ”Siapa orang saleh yang kini menjadi Khalifah umat ini? Keadilannya telah mencegah serigala memakan domba-
domba kami.”
Musa bin A’yun bercerita, ”Kami pernah menggembalakan domba-domba kami di Karman pada masa pemerintahan
Umar bin Abdul Aziz. Saat itulah antara serigala dan domba berada di satu tempat. Namun, pada suatu malam kami
mendapatkan seekor serigala telah memangsa seekor domba. Maka saya katakan, ’Pasti lelaki saleh itu kini telah
meninggal. Lalu mereka mengaitkan kejadian itu dengan hari wafatnya Umar bin Abdul Aziz yang ternyata dia memang
meninggal di malam saat serigala mulai memakan domba.”
Kisah ini dapat dimaknai bahwa pada masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz umat dan masyarakat hidup
dalam keadaan sejahtera dan berkecukupan. Keadilan ditegakkan. Sehingga tidak ada orang yang merasa
dizalimi atau dicurangi yang mengakibatkan munculnya pertikaian dan tindak kriminalitas.
Selama pemerintahan Umar bin Abdul Aziz, umat dan masyarakat berada dalam kemakmuran. Tidak ada
orang miskin dan terabaikan. Tak ada orang yang kelaparan. Semuanya hidup serba kecukupan. Hal ini
diungkapkan oleh Umar bin Usaid, ”Demi Allah, Umar bin Abdul Aziz tidak meninggal dunia hingga seorang laki-laki
datang kepada kami dengan sejumlah harta dalam jumlah besar dan berkata, ’Salurkan harta ini sesuai kehendakmu.’
Ternyata tak ada seorang pun yang berhak menerimanya. Sungguh Umar bin Abdul Aziz telah membuat manusia hidup
berkecukupan.”
11. Melestarikan lingkungan hidup. Jisr al-Qashshab berkata, ”Saya melihat serigala dan kambing hidup damai di
masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz. Lalu saya katakan, ’Subhanallah! Ternyata serigala sama sekali tidak berbahaya
berada di tengah-tengah kambing?’”
Secara tekstual, pernyataan Jisr al-Qashshab ini memberikan pemahaman kepada kita bahwa Umar bin Abdul
Aziz benar-benar memperhatikan aspek lingkungan hidup, dimana semua makhluk hidup, termasuk hewan dan
tumbuhan mendapatkan keadilan. Karena hutan dilestarikan, maka binatang-binatang liar seperti serigala tak
perlu turun ke desa untuk mencari mangsa. Hewan-hewan tersebut telah mendapatkan segala apa yang
dibutuhkan.
12. Menolak nepotisme. Al-Azwa’i menceritakan suatu ketika Umar bin Abdul Aziz duduk di rumahnya bersama
para pembesar Bani Umayyah. Umar berkata, ”Sukakah jika kalian aku jadikan salah seorang pemimpin
pasukan?” Mereka menjawab, ”Mengapa kau tawarkan kepada kami sesuatu yang kamu sendiri tidak
mengerjakannya?” Umar berkata, ”Tidakkah kalian melihat hamparan tempat saya kini berada? Sesungguhnya saya
menyadari sepenuhnya bahwa ia akan hancur dan sirna. Dan saya tidak suka bila tempat ini dikotori oleh kaki-kaki kalian.
Lalu bagaimana mungkin akan saya jadikan kalian sebagai pemimpin dan pengawas orang-orang. Tidak mungkin. Dan
jangan harap itu terjadi.”
Para pembesar itu berkata, ”Mengapa tidak? Bukankah kita memiliki hubungan kerabat? Bukankah kita juga berhak?”
Umar berkata, ”Antara kamu sekalian dan orang yang berada jauh di ujung dunia dalam pandanganku adalah sama.
Tidak ada bedanya.”
13. Menghukum orang sesuai dengan kesalahannya. Yahya al-Ghassani menceritakan, ketika masih
menjabat sebagai gubernur, Umar bin Abdul Aziz pernah melarang Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik untuk
membunuh orang-orang Haruri (kaum Khawarij yang bermarkas di Desa Haruri). Umar memberi saran kepada
Khalifah, ”Penjarakan saja orang-orang itu hingga mereka bertaubat.”
Lalu Sulaiman bin Abdul Malik mendatangkan salah seorang Haruri dan menyuruh orang itu bicara. Haruri itu
berkata, ”Apa yang harus saya katakan wahai orang fasik anaknya orang fasik.” Ucapan orang Haruri itu diulanginya
lagi di hadapan Umar bin Abdul Aziz.
Sulaiman bin Abdul Malik berkata kepada Umar, ”Bagaimana pendapatmu tentang orang ini?”
Umar bin Abdul Aziz diam. Sulaiman berkata lagi, ”Saya ingin kamu menyampaikan pendapatmu tentang orang ini
sekarang juga.”
Umar berkata, ”Cacilah dia sebagaimana dia mencacimu.”
Sulaiman berkata, ”Persoalannya tidak semudah itu.” Kemudian Sulaiman menyuruh pengawalnya untuk
memenggal kepala Haruri.
Umar bin Abdul Aziz keluar dari ruangan itu dan bertemu dengan Khalid bin Walid, pengawal Khalifah. Khalid
berkata, ”Wahai Umar, bagaimana mungkin kamu menyuruh Khalifah untuk mencaci Haruri sebagaimana dia mencaci
Khalifah? Demi Allah, tadinya saya mengira Khalifah akan menyuruhku untuk memenggal kepalamu.”
Umar bertanya kepada Khalid, ”Apa yang akan kamu lakukan seandainya Khalifah benar-benar menyuruhmu
memenggal kepalaku?”
Pengawal itu berkata, ”Demi Allah, saya pasti akan lakukan itu.”

Ketika Umar bin Abdul Aziz menjadi Khalifah, Khalid datang menemuinya untuk bertugas sebagai pengawal
Umar. Umar bin Abdul Aziz berkata kepada Khalid, ”Letakkan pedang itu!” Lalu dilanjutkan dengan berdoa, ”Ya
Allah, saya telah mencopot pedang itu dari Khalid dan saya memohon kepada-Mu janganlah Engkau angkat pedang itu
untuk selamanya.”
Yahya al-Ghassani menceritakan, saat Umar bin Abdul Aziz mengangkatku sebagai pejabat di Mosul, aku mendapatkan
wilayah itu dipenuhi tindak kriminal yang sangat tinggi. Lalu aku menulis surat untuk meminta nasehat kepada Umar
apakah harus menghukum mereka dengan prasangka dan tuduhan tanpa bukti konkrit, atau dengan bukti-bukti dan
keterangan yang jelas sebagaimana diajarkan di dalam Sunnah Rasulullah Saw.?”
Umar bin Abdul Aziz lalu mengirim surat balasan yang isinya perintah agar aku melakukan proses hukum
berdasarkan fakta sesuai dengan Sunah Rasulullah Saw. ”Jika kebenaran dan keadilan tidak juga mampu
menghadirkan perbaikan kepada mereka, maka jangan harap mereka akan menjadi baik,” jelas Umar.
Yahya menambahkan, ”Tatkala aku melakukan apa yang diperintahkan Umar, Mosul menjadi satu wilayah yang paling
sedikit memiliki kasus tindak kriminal.”
IV. HARI-HARI TERAKHIR UMAR BIN ABDUL-AZIZ

Umar bin Abdul-Aziz wafat disebabkan oleh sakit akibat diracun oleh pembantunya. Umat Islam datang berziarah
melihat kedhaifan hidup khalifah sehingga ditegur oleh menteri kepada isterinya, “Gantilah baju khalifah itu”,
dibalas isterinya, “Itu saja pakaian yang khalifah miliki”.

Apabila beliau ditanya “Wahai Amirul Mukminin, tidakkah engkau mau mewasiatkan sesuatu kepada anak-anakmu?”

Umar Abdul Aziz menjawab: “Apa yang ingin kuwasiatkan? Aku tidak memiliki apa-apa”
“Mengapa engkau tinggalkan anak-anakmu dalam keadaan tidak memiliki?”
“Jika anak-anakku orang soleh, Allah lah yang menguruskan orang-orang soleh. Jika mereka orang-orang yang tidak
soleh, aku tidak mau meninggalkan hartaku di tangan orang yang mendurhakai Allah lalu menggunakan hartaku untuk
mendurhakai Allah”
Pada waktu lain, Umar bin Abdul-Aziz memanggil semua anaknya dan berkata: “Wahai anak-anakku, sesungguhnya
ayahmu telah diberi dua pilihan, pertama : menjadikan kamu semua kaya dan ayah masuk ke dalam neraka, kedua: kamu
miskin seperti sekarang dan ayah masuk ke dalam surga (kerana tidak menggunakan uang rakyat). Sesungguhnya wahai
anak-anakku, aku telah memilih surga.” (beliau tidak berkata : aku telah memilih kamu susah)
Anak-anaknya ditinggalkan tidak berharta dibandingkan anak-anak gubernur lain yang kaya. Setelah kejatuhan
Bani Umayyah dan masa-masa setelahnya, keturunan Umar bin Abdul-Aziz adalah golongan yang kaya berkat
doa dan tawakkal Umar bin Abdul-Aziz.

Anda mungkin juga menyukai