Anda di halaman 1dari 5

Nama : Ennia Yuniarti Br Bancin (17)

Kelas : XII MS 1

B.studi: B.Indonesia

Legenda Eluh Berru TInambunen

Eluh berru tinambunen terdapat di Pucuk bukit tertinggi di Pakpak bharat , berkisar jarak
tempuh dari pakpak bharat diperkirakan 1 jam perjalanan , sedangkan dari Sidikalang Dairi sekitar 2jam
dan Dari medan menempuh hingga 7jam perjalanan.

Dahulu Putri Bettar Daroh (eluh Berru Tinambunen) merupakan penduduk Dusun Kelasen , dia
dikenal dengan Keramahannya , Kemerduan Suaranya dan Kecantikan yang Luar biasa , dia keturunan
dari Marga Tinambunen . ketika pada jaman kerajaan pakpak , seorang Raja dari Wilayah Salak datang
berkunjung ke wilayah mereka yankni Raja Marga Berutu, sesampainnya disana sang Raja Marga Berutu
tersentak dengan Kecantikan dan Merdu Suara sang Putri sehingga sang Raja tertarik dan ingin
mempersuntingnya , namun sang Putri menolaknya hingga terjadilah kekecewaan terhadap sang Raja .
namun setelah kejadian itu sang raja kembali ke daerahnya , namun juga tidak merasa Puas apabila tidak
mendapatkan sang Putri, maka dengan cara apapun harus ditempuh . namun sangat disayangkan sang
Raja ternyata Licik , dengan mengeluarkan Ide . dalam Pakpak pada jaman dahulu memiliki Istilah
Merlanja , dimana siperempuan dapat kita bawa dengan cara menggotongnya dari tempat tidur .
setelah itu sang Raja pun memerintahkan Anak Buahnya untuk segera bekerja untuk Merlanja
( menggotong) sang Putri. mereka pun berhasil membawa sang Putri , namun ditengah jalan Antara
Kelasen dengan simppon sekitar satu hari jarak tempuh antara Kelasen dengan Salak . sang Putri
terbangun dan merasakan dirinya telah dibawa paksa oleh suruhan sang Raja , dia pon menagis
sepanjang Perjalanan, namun sesampainya di Delleng SImpoon mereka beristirahat, namun sang Putri
tetap menangis , emikirkan nasibnya . semakin lama semakin sedih perasaannya hingga air matanya pon
tidak dapat berhenti , namun ketika sang Putri menagis beliau secara tidak sengaja menuangkan
kekesalannya terhadap Tanah yang ada didelleng simpoon Tempat dimana eluh berru Tnambunan
sekarang dengan cara mencongkel hingga membentuk sebuah lubang kecil . namun sedikit demi sedikit
air mata sang putri pun memenuhi Lubang terebut, namun ketika para pesuruh Raja sedang beristirahat.
sang Putri pon menghilang tidak tahu kemana , menurut crita ad yang menyebutkan dialah sang Kolam
kecil tersebut , yang samapai sekarang tidak pernah habis walau musim kemarau panjang pon
tidak pernah kering . damun ada juga yang menceritakan sang Putri dibawa Oleh penunggu Gunung
tersebut.

LEGENDA SIMBUYAK-MBUYAK

Pada masa dahulu, di tanah Dairi ada sebuah negeri Urang Julu namanya. Di negeri itulah hidup
sebuah keluarga terdiri dari sembilan orang yaitu ibu, bapak dan tujuh orang anaknya. Negeri itu besar
dan penduduknya banyak. Nama anak-anaknya itu mulai dari yang paling tua berturut-turut adalah
Simbuyak-mbuyak, Turuten, Pinayungen, Maharaja, Tinambunen, Tumangger dan Anak Ampun. Adapun
si sulung cacat tubuhnya sejak lahir, yaitu tulang belakangnya sangat lemah. Karena itu dia tak bisa
berdiri apalagi berjalan seperti saudara-saudaranya yang lain. Melihat keadaan si sulung yang demikian,
orang tua itu dengan bijaksana menasehati anak-anaknya; " Manusia memang menginginkan yang
sempurna dan yang baik, tapi Tuhan yang menciptakan kita lebih berkuasa dan lebih menentukan. Jika
dikehendakinya dikuranginya kesempurnaan kita, dan jadilah kita seperti abangmu itu. Tetapi walau
bagaimana dia adalah yang tertua diantara kalian. Dan dia juga adalah ciptaan Tuhan. Karena itu kalian
harus tetap hormat sebagaimana layaknya adik-adik kepada abangnya. Dan jika itu kalian tidak lakukan ,
maka kalian akan berdosa menurut pandangan Tuhan Yang Maha Pencipta, karena telah membeda-
bedakan ciptaan-Nya. Dan semua nasehat itu dilaksanakan dengan baik oleh keenam anaknya itu.
Demikianlah ketujuh bersaudara itu hidup rukun dan damai, saling hormat-menghormati satu sama lain.
Lama kelamaan meningkat dewasalah anak-anak itu dan sebagaimana biasanya di Tanah dairi, maka
pemuda-pemuda yang sudah meningkat dewasa haruslah meninggalkan kampung halaman, merantau
ketempat-tempat sekitar, mencari nafkah untuk hidup. Bermacam-macam pekerjaan yang dapat
dilakukan pemuda-pemuda pada waktu itu, dan bahkan juga sampai sekarang ini. Umpamanya mereka
mencari kemenya, mengambil mayang ataupun mengumpulkan kapur barur di hutan. Ketika itu kapur
barus sangat bagus harnya, harganya berimbang dengan harga emas. Hanya emas yang ada waktu itu
adalah yang rendah mutunya, yakni 8 karat saja. Demikianlah adik Simbuyakmbuyak telah bertekat
hendak pergi merantau mencari kapur barus. Ketika hal itu diberitahukan mereka kepada abangnya itu,
maka siabang ini pun menyatakan keinginannya, agar diajak turut bersama-sama. " Kalian ikutkanlah aku
dalam rombongan. Setidak-tidaknya aku akan dapat menjaga gubuk kalian pada waktu kalian pergi ke
hutan". Begitulah kata Simbuyak-mbuyak kepada adik-adiknya. Akhirnya mereka pun setuju, begitu pula
kedua orang tua mereka. Maka berangkatlah ketujuh bersaudara itu.
Perjalanan mereka amat sulit, karena melalui hutan dan lembah serta gunung-gunung. Apalagi dalam
perjalan itu mereka harus menggendong abangnya secara berganti-ganti. Dan ditempat-tempat tertentu
seperti pendakian dan penurunan, Simbuyak-mbuyak mereka tandu bersama-sama. Lama kelamaan
sampai jugalah mereka ke hutan yang banyak menghasilkan kapur barus. Mereka memilih lereng
gunung Sijagar, tempat membuat gubuk untuk ditinggali selama mencari kapur barus itu. Tempat yang
mereka pilih itu tepat dipertengahan lereng gunung itu , sesuai dengan permintaan abang mereka
Simbuyak-mbuyak. Caranya mereka menentukan tempat itu ialah dengan jalan mengukur jarak dari kaki
sampai ke puncak Gunung. Tepat dipertengahan jarak itu, di lereng gunung Sijagar mereka bangun
gubuk. Kayu-kayu yang selama ini dipakai untuk pemikul Simbuyak- mbuyak mereka tanamkan dimuka
gubuk.
Tak lama kemudian tumbuhlah disana pohon-pohon yang rimbun. Sampai sekarang ini jenis kayu yang
berasal dari tanaman Simbuyak-mbuyak dan adik-adiknya itu masih ada disana, begitu juga bekas
tempat perumahan mereka. Dari Gunung Sijagar kalau dilayangkan pandang, maka akan jelas terlihat
daerah Manduamas dan Boang terbentang luas. Dan jika pandang diarahkan ke tempat yang lebin jauh ,
mata kita akan tertumbuk denga laut lepas Samudera Indonesia. Di kedua lereng gunung Sijagar
mengalir dua buah anak sungai . Keduanya bersatu menjadi sebuah sungai yang lebih luas di dataran
rendah, dinamakan sungai Sijagar. Sungai ini kemudian bermuara ke laut. Air sungai Sijagar sangat jernih
dan bening, dan rasanya sejuk serta segar. Adapun kebiasaan orang mencari kapur barus ialah sepakat,
seia sekata . Adalah pantangan bagi mereka untuk bertengkar dan bersengketa bagi mereka sesama
pencari kapur barus. " Hanyalah orang seia sekata saja yang mungkin berhasil dalam usaha mereka ",
demikian petua yang harus dipegang teguh oleh para pencari kapur barus itu.
Keenam adik Simbuyak-mbuyak mulailah mencari kapur barus ke dalam hutan. Simbuyak-mbuyak
sendiri tinggal di gubuk. Sebagai pengisi waktu dia bekerja memintal tali. Ternyata hasil yang diperoleh
adik-adiknya itu tidak sebanyak yang diharapkan. Beberapa lama mereka bekerja keras mengumpulkan
kapur barus hasilnya tetap mengecewakan mereka. Ada satu hal lagi yang menambah kekecewaan
Simbuyak-mbuyak, yakni hasi yang sedikit itu sering-sering habis dimakan abangnya itu. Dengan
demikian hanya sedikit saja kapur barus yang dapat mereka kumpulkan di gubuk mereka.
Pada mulanya mereka masih dapat bersabar melihat tingkah laku abangnya. Tetapi lama kelamaan habis
juga kesabaran mereka. Pada suatu kali berkata Si Turuten : " Keadaan kita memang tidak adil. Kita
semua bekerja keras, tetapi abang kita yang enak-enak saja memakani hasil-hasil yang berdikit-dikit kita
kumpilkan. Jika begini terus-terusan, akan sia-sia sajalah jerih payah kita." Apa yang dikatakan Si Turuten
dapat dibenarkan oleh yang lain, namun demikian Tinambunen dan Tumangger tetap berusaha
menyabarkan . " Kita jangan sampai berselisih", kata yang berdua itu kepada yang lainnya. Kemudian
ditunjukkannya jalan, " Jika kesepakatan sudah tidak dapat diteruskan, daripada berselisih ditengah
hutan ini, lebih baik pulang saja kerumah orang tua". Akhirnya mereka setuju untguk meneruskan
usaha-usaha mencari kapur barus itu. Simbuyak-mbuyak sendiri mengetahui ada rasa tidak senang pada
beberapa orang adiknya. Tetapi dia selalu saja berbuat seolah-olah tidak tahu. Dan jika ditanya adiknya
apa guna tali yang dipintalnya itu, dia tidak mau menjelaskan, kecuali berkata : " Tunggulah, pada suatu
saat nanti, tentu tali ini akan berguna untuk kita semua". Rupanya Simbuyak-mbuyak bukan manusia
biasa. Malam hari ketika semua adiknya sudah tidur lelap, maka pergilah dia ke luar menjelajahi hutan.
Dia dapat mengetahui mana-mana diantara pohon itu yang berisi kapur barus dan yang tidak. Bahkan
dapat juga diketahui sampai bnerapa banyak kapur barus yang ada di dalam pohon .
Namun hal itu tidak pernah diceritakannya kepada adik-adiknya. Dipihak adik-adiknya rasa tidak
puaspun terus berkembang. Karena tidak ada lagi jalan lain, maka pada suatu kali di desaknyalah
abangnya itu agar mengizinkan mereka pulang , dengan alasan untuk mengambil uang belanja ke
kampung. " Paling lama kami akan pergi selama lima malam, dan sesudah itu kami akan berada kembali
disini", demikian kata mereka. Simbuyak menjawab " Jika memang demikian cara yang baik dan yang
kita sepakati , maka saya dapat menerimanya". Pergilah kalian pulang, dan biarkan saya tinggal sendiri di
gubuk ini", katanya. Hanya permintaannya , kalau durian istimewa milik mereka dikampung sudah
berbuah ranum, agar dia dijepu ke Sijagar.
Pada waktu itulah dia akan turut pulang guna berpesta dikampung memakan durian dan memotong
ternak peliharaan mereka. Jarak antara Sijagar dengan kampung Urang Julu, kira-kira dua hari
perjalanan, Karena itu timbul rasa kasihan dihati Tirambunen dan Tumangger terhadap abangnya yang
cacat itu hendak ditinggalkan sendirian di dalam hutan. Yang berdua ini meminta supaya diperbolehkan
tinggal untuk menemani Simbuyak-mbuyak. Hal itu tidak disetujui oleh Turuten, juga oleh Simbuyak-
mbuyak. Tinambunen dan Tumangger mendesak lagi, agar sebaiknya abangnya yang paling tua itu
dibawa saja pulang. " Kami berdualah yang menggendongnya selama dalam perjalanan", kata yang
berdua itu. Usul inipun tidak disetujui oleh yang lain. Begitu pula Simbuyak-mbuyak nampaknya lebih
suka ditinggalkan dari pada dibawa pulang ke kampung. " Adikku yang aku sayangi", katanya. " Kalian
pulanglah bersama-sama. Itulah tandanya seia sekata. Mengenai diriku janganlah kalian susahkan benar.
Tinggalkanlah kapur barus yang ada itu untuk bekalku. Jika kalian sampai bertengkar karena keadaanku,
itu tidak baik. Tuhan telah menjadikanku dalam keadaan begini. Dan jika karena itu kalian bertengkar itu
artinya kita menyesali Maha Pencipta. Tuhan akan marah, dan orang tua kitapun akan marah terhadap
tingkah laku kita itu". Begitulah kata Simbuyak-mbuyak kepada adik-adiknya. Pulanglah keenam adik
Simbuyak-mbuyak .
Kedatangan mereka di Urang Julu disambut kedua orang tuanya dengan pertanyaan, mengapa sampai
Simbuyak-mbuyak ditinggalkan sendirian ditengah hutan. Mereka menceritakan pengalaman selama
mencari kapur barus dan mempersalahkan perbuatan abangnya. Mereka minta pula, agar sebelum
berangkat kembali mencari kapur barus, diadakan dulu pesta makan durian istimewa , dan memotong
hewan ternak. Tinambunen dan Tumangger mengingatkan akan pesan abang mereka , agar dijemput ke
Sijagar, bila pesta akan diadakan. Maka berangkatlah keduanya. Tanpa menunggu datangnya Simbuyak-
mbuyak, Turuten terus saja mengambil galah dan menjolok buah durian istimewa.
Durian jatuh dan ternyata masih belum ranum seperti yang dipesankan oleh Simbuyak-mbuyak dulu.
Keistimewaan durian yang sebatang itu ialah buahnya hanya satu, tapi bukan main besar dan enak
rasanya. Jika buah itu dibelah, maka besar belahannya itu sampai dua hasta. Sesudah buah durian itu
jatuh, maka disembelihlah hewan ternak yang paling gemuk, dan berpestalah keempat bersaudara itu
dengan tidak disertai oleh saudara mereka yang tiga orang lagi. Di Sijagar, begitu adik-adiknya
berangkat, Simbuyak-mbuyak segera menjelmakan dirinya sebagai seorang pemuda yang gagah dan
tampan. Ketika pada suatu kali ia pergi mandi ke sungai, didapati beberapa kulit durian hanyut
terapung-apung. Dan dengan ilmunya dapat ditangkapnya suara ternak yang disembelih di kampungnya.
Sekarang tahulah ia, bahwa adik-adiknya sudah melangsungkan pesta di Urang Julu. Selesai mandi
pulanglah Simbuyak-mbuyak ke gubuknya. Mulailah dia bekerja merentangkan tali yang selama ini
dipintalnya. Tali itu dihubungkannya dengan semua pohon yang sudah terisi dengan kapur barus di
hutan itu. Ada sebatang pohon yang penuh dengan kapur sejak dari akar sampai ke pucuknya. Pohon itu
amat besar dan tinggi. Pohon itulah didoakan Simbuyak-mbuyak agar tumbang, dan doanya dikabulkan
oleh yang Maha Kuasa. Setelah pohon besar itu jatuh ke tanah, dipotongnyalah sepanjang tujuh depa,
tujuh hasta, tujuh jengkal dan tujuh jari. Mendoalah dia kembali, maka terbelah dua kayu itu. Dan kayu
itupun bersatu kembal Tinambunen dan Tumangger pun sampailah ke gubuk tempat Simbuyak-mbuyak
ditinggalkannya beberapa hari yang lalu.
Keduanya tak menampak abangnya di gubuk itu. Yang ada hanyalah tali terentang secara bersimpang
siur dari gubuk itu kedalam hutan. Dan didapatinya pula sebatang pohon terletak dihalaman gubuk
pondok dan penuh dengan kapur barus. Potongan pohon itu sangat bagus ujung pangkalnya, karena
memang disengaja membuatnya demikian. Didekatinya kayu itu, tampak abangnya terbaring didalam
belahannya. Mereka berdua membujuk abangnya itu, tetapi tak berhasil. Dari dalam belahan kayu itu
terdengar suara Simbuyak-mbuyak menyampaikan pesannya untuk kedua orang tuanya dan handai
tolan lainnya. " Sampaikan salamku dan permohonan maafku kepada mereka semua karena aku harus
berangkat", katanya. Kepada adiknya berdua itu diberitahukannya, bahwa semua kayu yang kena
rentangan tali-temali dari gubuk itu, adalah kayu yang banyak berisi kapur barus. "Itulah kalian ambil
sebagai pengganti kapur barus yang habis kumakani selama ini" tambahnya.
Diapun mengisahkan rencananya semula, bahwa pesta memakan durian dan menyembelih hewan
ternak yang gemuk diadakan untuk menyampaikan doa kepada Tuhan. "Pintaku, agar diriku menjelma
menjadi seorang pemuda biasa yang sehat tiada cacat seperti ini", kata Simbuyak-mbuyak. Dikatakannya
: "keadaan sudah terlanjur begini, dan terimalah kenyataan ini dengan ikhlas tanpa penyesalan". Kepada
adiknya berdua, Tinambunen dan Tumangger diingatkannya, bahwa mereka akan mendapat keturunan
yang baik-baik, berbudi dan pandai di kemudian hari. "Itulah karurnia Tuhan Yang Maha Kuasa kepada
kalian berdua", kata abangnya. "Akhirnya semacam pertanda di masa yang akan datang, jika kelak kalian
melihat banyak burung pamal di tepi laut yang jumlahnya sampai ribuan ekor, jangan heran, itulah
kirimanku, sebagai ganti sekapur sirih menjelang ayah bunda serta handai tolan. Burung itu akan sangat
jinak, dan akan dimasukinya rumah kalian. Tangkaplah, kemudian sembelih, dan makanlah beramai-
ramai kirimanku itu", kata Simbuyak-mbuyak.
Pertanda lain yang diberitahukannya adalah : "jika angin bertiup kencang disertai hujan lebat turun dari
langit akan ada burung inggal-inggal berterbangan di angkasa. Perhatikanlah ekor burung itu. Kalau
ekornya diayunkannya arah ke bawah, itu tandanya telah tiba musim manungal dan menanam padi.
Tetapi mungkin juga ekornya digerakkannya arah ke samping, menjadi tanda telah berakhirnya musim
manungal. Jangan abaikan tanda-tanda itu karena bila dilanggar tanaman tidak akan menjadi". Sesudah
mengucapkan pesan-pesannya itu, minta dirilah Simbuyak-mbuyak kepada kedua adiknya. Begitu suara
dari dalam belahan kayu tadi berhenti, maka meluncurlah potongan kayu itu dengan sangat kencangnya.
Luncurannya itu seperti perahu yang berlayar dengan lajunya di tengah samudera.
Searah dengan tujuan gerak kayu itu, di angkasa terlihat pula serombongan besar burung terbang
berkawan-kawan. Kayu tadi meluncur terus dengan suara gemuruh, dan akhirnya mencebur ke dalam
laut. Tinambunen dan Tumangger yang sejak tadi terheran saja melihat peristiwa itu, sekarang baru
menyadari dirinya. Keduanyapun menangis dengan sejadi-jadinya, karena sangat sedih ditinggalkannya
itu. Di kemudian hari ternyata, bahwa pohon-pohon yang dikenai oleh tali-tali Simbuyak-mbuyak
memang banyak mengandung kapur barus. Keenam orang adiknya memperoleh hasil yang banyak pula
karena itu. Mereka kemudian menjadi kaya.
Tentang Simbuyak-mbuyak tak diketahui lagi keadaannya sesudah itu. Hanya saja pernah terjadi para
penangkap ikan mendapat perolehan yang banyak di sebuah tempat tak jauh dari pantai. Yang mereka
ketahui hanya bahwa ikan yang banyak itu berkumpul di sekitar potongan kayu yang hanyut terapung-
apung. Orang menduga mungkin kayu itulah yang dulunya yang dipakai Simbuyak-mbuyak meluncur dari
dari lereng gunung Sijagar dan kemudian mencebur ke dalam laut. Dan ketika kayu itu dipukul orang
dengan maksud bermain-main, terdengar suara dari dalam. Suara itu meminta agar dia dikeluarkan dari
kayu itu.

Anda mungkin juga menyukai