Anda di halaman 1dari 3

Athallah Hanif Wicaksono

Muhammad Rizky Syafwan

Nilai-Nilai yang terkandung dalam "Bengawan Solo"

Dari cerpen "Bengawan Solo", kita bisa menemukan beragam nilai-nilai yang mencakup berbagai
aspek, salah satunya adalah nilai sosial yang merupakan Kepedulian tokoh utama terhadap Orang Lain.
Hal ini tercerminkan dalam tindakan merawat anak-anak dan memberikan perlindungan pada Nining
juga menggambarkan solidaritas antara anak-anak gelandangan yang mendukung satu sama lain dalam
situasi yang sulit.

Cerpen ini juga mengandung nilai moral yaitu Berani dan Berkata Jujur. Nilai moral ini
tercerminkan pada tindakan tokoh utama yang melindungi Nining dari kekerasan Pak Darkin meskipun
menghadapi risiko dan kesulitan. Dan Ketika tokoh utama tidak mau berbohong kepada Pak Darkin
tentang keberadaan Nining

Terdapat pula Nilai Religius Kebijaksanaan Spiritual. Kiai Kintir, meskipun diolok-olok sebagai
"Kiai Sinting." mengilhami orang-orang dengan aksi spiritualnya yang aneh. Ini mencerminkan nilai
religius tentang penghormatan terhadap kebijaksanaan spiritual individu. Yang terdapat di teks cerita
"Kiai Kintir alias Kiai Hanyut adalah kiai tak seorang pun tahu nama aslinya yang punya kebiasaan
menghanyutkan tubuhnya di Bengawan Solo. Itulah jalan spiritualnya."

Selain itu, cerpen ini juga mengandung nilai nilai budaya tentang Penghargaan terhadap Tradisi
Lokal. Ditunjukan dimana Warga mempercayai ketika Kiai kintir mulai menghanyutkan diri di Bengawan
Solo, itu pertanda di Solo akan terjadi sesuatu.

Dalam cerpen ini menyampaikan pesan-pesan penting tentang kepedulian, solidaritas,


moralitas, dan penghormatan terhadap tradisi lokal serta kebijaksanaan spiritual. Di kehidupan Cerita
yang terdapat di dalam cerpen tersebut banyak terjadi, Masih banyak kekerasan terhadap anak-anak.

Nilai instrinsik yang terkandung :

1. Tema:

- Sifat Umumnya: Tema umum yang dominan dalam cerpen ini adalah "Kepedulian Sosial dan
Perlindungan Anak-anak."

- Sifat Luasnya: Tema ini mencakup nilai-nilai seperti keberanian, solidaritas komunitas, dan
penghargaan terhadap kebijaksanaan spiritual.
- Yang Melatarbelakangi: Latar belakang cerita ini adalah kehidupan anak-anak gelandangan,
kekerasan terhadap anak-anak, dan pengaruh positif dari Kiai Kintir.

2. Alur:

- Alur cerita ini adalah maju, menggambarkan peristiwa-peristiwa yang berurutan dari pengenalan
karakter hingga klimaks peristiwa penculikan Nining dan penyelesaian konflik.

3. Latar:

- Tempat: Cerpen ini berlokasi di pasar, rumah tukang sapu, bantaran Bengawan Solo, serta pekuburan
yang gelap gulita.

- Waktu: dini hari, pagi hari, malam hari.

- Suasana: Suasana bervariasi, mulai dari keramaian dan kebahagiaan komunitas anak-anak
gelandangan hingga ketegangan dalam konflik dengan Pak Darkin dan suasana misterius saat mengikuti
Kiai Kintir di sungai.

4. Tokoh Dan Penokohan

- Protagonis : Tokoh utama (tukang sapu) adalah protagonis yang mencoba melindungi anak-anak
terlantar atau gelandangan, terutama Nining. sifatnya peduli, penuh perhatian, berani

- Antagonis : Antagonis dalam cerpen adalah Pak Darkin, yang berperilaku kasar untuk mengambil
Nining.

- Tritagonis : Kiai Kintir adalah tokoh yang mendukung anak-anak dan menjadi sosok yang
menyelasaikan konflik

- Figuran : Anak-anak gelandangan, para pedagang pasar, polisi, dan masyarakat di sekitar

5. Sudut Pandang:

- Cerpen ini menggunakan sudut pandang orang pertama, di mana narator adalah tokoh utama yang
menceritakan peristiwa dari sudut pandang pribadinya.

6. Amanat:

pentingnya kepedulian sosial terhadap anak-anak.

7. Majas

1. Metafora:

- "Nining, gadis kecil hitam manis tujuh tahun, memang milik Pak Darkin, meski hanya sebagai ayah
tirinya."
- Dalam kalimat ini, penggunaan "hitam manis" adalah metafora yang menggambarkan warna kulit
Nining, dan "memang milik Pak Darkin" adalah metafora untuk status hubungan mereka sebagai ayah
tiri dan anak tirinya.

2. Personifikasi:

- "Tak terdengar geledek."

- Dalam kalimat ini, "geledek" diberikan sifat manusia dengan tidak terdengarnya, sehingga terjadi
personifikasi.

3. Simile:

- "Langit biru seperti undangan untuk keluar rumah."

- Dalam kalimat ini, perbandingan dilakukan dengan menggunakan kata "seperti" untuk
membandingkan langit biru dengan undangan, sehingga terjadi simile.

4. Hiperbola:

- "Saya terbatuk-batuk. Saya diseretnya keluar."

- Dalam kalimat ini, penggunaan "terbatuk-batuk" adalah hiperbola untuk menggambarkan perasaan
kesulitan dan keterkejutan tokoh utama saat diseret keluar.

Anda mungkin juga menyukai