Anda di halaman 1dari 28

ANALISIS PERJUANGAN PEREMPUAN DALAM NOVEL SRI

SUMARAH BAWUK

Oleh :

Ananda Fitria Islamiati 11170130000011

Naurah Khairunnisa 11180130000073

Muhammad Akrom Sofyan 11180130000077

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Abstrak

Sastra merupakan salah satu media resprensentasi budaya dan sosial yang menggambarkan
tentang hubungan gender. Teks sastra menjadi salah satu media untuk menyuarakan
keinginanan, kebutuhan, dan hak sebagai perempuan. Dan lahirlah sebuah gerakan untuk
kebebasan perempuan yaitu feminisme di dalam novel Sri Sumarah Bawuk. Perjuangan
seorang Sri Sumarah dan Bawuk yang merupakan seorang perempuan yang berpegang
teguh dan mandiri untuk bertahan hidup pada masa pemberontakan PKI dan perjuangan
yang dilakukan oleh Sri Sumarah dan Bawuk bertujuan untuk nasib diri sendiri dan
keluarganya.

Kata Kunci : Sri Sumarah Bawuk, Feminisme, PKI


Latar Belakang

Masa kolonialisme Belanda berakhir pada tahun 1942 dengan sebuah perjanjian
yang disebut dengan perjanjian lingarjati yang di daerah Subang, Jawa Barat maka
datanglah sangat penjajah baru yaitu Jepang yang dikenal sebagai salah satu 3 kekuatan
terkuat dari pihak blok timur yang menduduki Indonesia selama 3,5 tahun berkuasa di
Indonesia pada tahun 1942 sampai 1945 bentuk perlawanan terhadap penjajah salah
satunya di dalam bidang sastra pada angkatan tersebut yang dinamakan dengan angkatan
45. Pada mulanya angkatan ini disebut dengan berbagai nama: ada yang menyebut sebagai
angkatan kemerdekaan, angkatan Chairil Anwar dan angkatan sesudah perang, pada tahun
1948 Rosihan Anwar menyebutkan bahwa angkatan ini disebut dengan angkatan 45 maka
nama ini sangat populer dan digunakan di semua pihak sebagai nama resmi. Salah satu
tokoh angkatan 45 terkenal pada saat itu yaitu Chariul Anwar, Idrus, Rosihan Anwar dan
masing banyak lagi tokoh angkatan 45 lainnya.

Pada tahun 1960 terdapat masa pemberontakan yang membuat kekacauaan pada
saat itu yaitu PKI (Pergerakan Komunis Indonesia) yang mempunyai pegangan ideologinya
adalah ideologi komunis agar Indonesia menganut aliran mereka yaitu komunis dan salah
cabang dari PKI adalah GERWANI (Gerakan Wanita Indonesia) yang dimana
pemborantakan di lakukan oleh mereka dengan tujuan agar bisa merebut pemerintahan
tersebut akan tetapi mereka gagal merebut pemerintahan pada saat itu.

Para pemberontak pada saat itu menjadi buronan yang membuat mereka melarikan
diri, mereka sibuk berpencar dan berpindah dari satu tempat ke tempat lainya agar mereka
selamat dari kejaran para tentara pada tersebut dan salah satu tokohnya yaitu Tun dan Yos
dalam Novel Sri Sumarah merupakan salah tokoh yang ikut memberontak ke pemerintahan
tersebut yang membuat mereka meninggalkan anaknya yaitu Ginuk kepada Sri dan mereka
melarikan diri dengan cara berpindah dari kota satu ke kota lainnya agar mereka selamat
dari kejaran tentara. Begitu juga dengan Hasan dan Bawuk yang juga merupakan tokoh PKI
pada saat itu juga ikut memberontak kepada pemerintahan dan menjadi buronan dari tentara
maka mereka juga berpindah tempat dari kota satu ke kota lainnya agar bisa selamat dari
pengejaran.

Rumusan Masalah

1. Bagaimana analisis unsur intrinsik novel Sri Sumarah Bawuk?


2. Bagaimana wujud feminisme pada tokoh Sri Sumarah dan Bawuk?

Acuan Teori

Makalah kami menggunakan teori feminisme untuk menganalisis novel Sri


Sumarah Bawuk dan memfokuskan pada perjuangan kehidupan wanita yang berjuang betah
hidup di masa pemberontakan PKI pada tahun 1960 di dalam novel Sri Sumarah Bawuk.

Pengertian feminisme ini mengandung dua arti yang sangat penting, yaitu kesadaran
dan perjuangan, sehingga dalam prosesnya menjadi sebuah ideologi atau gerakan yang
membuat mereka tersadar dan berjuang demi hak mereka setara dengan laki-laki dan kata
feminisme berasal dari bahasa Perancis ini, digunakan pertama kali pada tahun 1880. 1

Latar terciptanya feminisme ini terbentuk karena berkembang mitos bahwa


perempuan harus menaati semua perintah yang diberikan oleh laki-laki karena derajat laki-
laki lebih tinggi daripada perempuan maka muncul istilah yaitu patriarki. Patriarki adalah
sebuah sistem atau konsep dimana kaum laki-laki memperbesar jaringan kekuasaannya
dengan tanggungan kaum perempuan baik dalam level fisik maupun sosial.2

Respresentasi perempuan dalam sastra dirasakan sebagai salah satu bentuk


„sosialisasi‟ karena memberikan model peranan yang mengindikasikan pada perempuan
dan laki-laki apa yang merupakan versi „feminim‟ yang berterima serta sasaran dan aspirasi
feminim yang sah. Kaum feminis menyebutkan misalnya, bahwa dalam fiksi abad ke 19
sedikit sekali perempuan yang bekerja mencari nafkah, kecuali terpaksa dalam keadaan di
desak oleh kebutuhan. Alih-alih minat difokuskan pada pilihan pasangan yang akan

1
A. Nunuk P.Murniati, Getar Gender, (Jakarta: Adikarya IKAPI, 2004), h. 7
2
Untung Yuwono,Wacana : Jurnal Ilmu Pengetahuan Budaya. , Universitas Indonesia,Vol.10, No.3,
2008, h. 42
dinikahi tokoh utama perempuan yang akan menentukan pada posisi sosialnya nanti dan
secara ekslusif memastikan kebahagiaan dan kepuasannya dalam hidup atau menentukan
apakah ia takkan memperoleh semua itu.3

Penelitian Relevan

Penelitian pada novel Sri Sumarah dan Bawuk juga pernah diteliti oleh Aneu
Susimie Hilmi seorang Mahasiswi Sekolah Pascasarjana UPI. Penelitiannya berjudul
“Perfektif Gender Dan Transformasi Budaya Dalam Novel Indonesia Berwarna Lokal
Jawa” Penelitian tersebut menggunakan metode deskriptif kualitatif. Aneu Susimie Hilmi
dalam penelitiannya membahas tentang karakter tokoh perempuan Jawa dalam 12 novel,
termasuk novel Sri Sumarah dan Bawuk.

Penelitian yang dilakukan oleh kelompok kami juga membahas tokoh perempuan
Jawa dalam novel Sri Sumarah dan Bawuk. Namun, Aneui Susimie Hilmi menganalisis
dengan metode deskritif kualitatif, sedangkan kami menganalisis menggunakan
pendekatan feminisme secara umum.

Biografi Pengarang

Umar Kayam lahir di Ngawi, Jawa Timur pada tanggal 30 Apri 1932 dan meninggal
pada 16 Maret 2002 di rumah sakit MMC, Jakarta. Semasa hidupnya ia sangat aktif di
berbagai bidang. Ia dikenal sebagai sastawan, budayawan, dan sosiolog. Umar Kayam
adalah seorang priyayi yang bergelar Raden Mas, menikah dengan Yus Kayam (seorang
direktur majalah Ayah Bunda) dan mempunyai dua orang anak. Uka merupakan sapaan
akrab untuk Umar Kayam.

Umar Kayam memulai pendidikan formalnya di kota Solo, ia menyelesaikan


Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama di kota itu. Kemudian ia melanjutkan
pendidikannya ke Sekolah Menengah Atas di Yogyakarta. Lalu ia menyelesaikan kuliahnya
di Fakultas Pendagogik Universitas Gadjah Mada pada tahun 1955 dan mendapatkan gelar

3
Peter Barry, Beginning Theory, (Yogyakarta: Jalasutra, 2010), h. 144
sarjana muda, ia berhasil meraih gelar M.A di Universitas New York, Amerika Serikat
tahun 1963 dan meraih Ph. D. dari Universitas Cornell, Amerika Serikat tahun 1965.

Umar pernah menjadi dosen Sekolah Tinggi Filsafat Driyakara, Jakarta, dosen
Universitas Indonesia, dan pernah menjabat, Direktur Jenderal Radio, Televisi, dan Film
Departemen Penerangan RI (1966-1969), Ketua Dewan Kesenian Jakarta (1969-972),
senior fellow pada East-West Center, Hawaii, AS (1973), Direktur Pusat Latihan Ilmu-Ilmu
Sosial Universitas Hasanuddin, Ujung Pandang (1975-1976), Direktur Pusat Penelitian
Kebudayaan Universitas Gadjah Mada (1977), Ketua Dewan Film Nasional (1978-1979),
Ketua Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (1981), Ketua Dewan Juri Festival Film
Indonesia (1984), Guru Besar Fakultas Sastra, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
(1988), anggota penyantun majalah Horison (mengundurkan diri sejak 1 September 1993),
dan anggota Akademi Jakarta (1988).

Dalam peta kesusastraan Indonesia, Umar Kayam dikenal sebagai penulis prosa
yang berhasil. Meskipun tidak tergolong sebagai penulis yang produktif, ia dianggap telah
melahirkan karya sastra yang berkualitas. Ia baru mulai menulis karya sastra ketika
mendapat kesempatan memperdalam ilmunya di Amerika. Sebelumnya, sejak masih
sebagai mahasiswa di Fakultas Sastra, Universitas Gadjah Mada, perhatiannya lebih
difokuskan pada jenis kegiatan di bidang seni lainnya, yaitu teater dan film. Konon, tahun
1954/1955 Umar Kayam dikenal sebagai aktivis Teater Fakultas Sastra, Pedagogik, dan
Filsafat UGM. Ia pernah menyutradarai lakon "Hanya Satu Kali" saduran Sitor Situmorang
dan karya Robert Middelmans yang peran utamanya dimainkan Rendra. Di samping itu, ia
juga menulis skenario film. "Jalur Penang dan Bulu-Bulu Cendrawasih" yang difilmkan
pada 1978. Ia juga pernah bermain sebagai aktor dalam film "Karmila" dan "Pengkhianatan
G-30-S/PKI". Dalam film “Pengkhianatan G-30-S/PKI” ia memerankan tokoh Bung Karno
sebagai Presiden Republik Indonesia pertama. Itulah peran Umar Kayam dalam film
Pengkhianatan G-30-S/PKI, yang paling banyak ditonton tahun 1984-1985 sehingga
memenangi Piala Antemas pada FFI 1985 di Bandung.
Karya-karya yang telah ia hasilkan antara lain adalah Seribu Kunang-Kunang Di
Manhattan (1972), Sri Sumarah dan Bawuk (1975), Para Priyayi: Sebuah Novel (1992),
Parta Krama (1997), Jalan Menikung: Para Priyayi 2 (1999). Sebagai seorang esai, Umar
sering menulis esai tentang seni, sastra dan kebudayaan. Sebagian esai kebudayaan itu
dimuat dalam Seni, Tradisi, Masyarakat (Umar Kayam, 1981) dan Sejumlah Masalah
Sastra (Satyagraha Hoerip [Editor], 1983).

Berdasarkan angka tahunnya, antara penerbitan Sri Sumarah dan Bawuk (1975) dan
Para Priyayi: Sebuah Novel (1992) terdapat rentang waktu yang sangat lama, yakni 17
tahun. Hal itu bukan berarti bahwa pada saat itu Umar Kayam tidak berkarya. Sebagian
besar kolomnya yang setiap hari Selasa muncul di harian Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta,
ditulis dalam rentang waktu itu. Kolom-kolom itu kemudian dihimpun dan diterbitkan
dalam tiga kumpulan, yaitu (1) Mangan Ora Mangan Kumpul (berisi 127 kolom yang terbit
antara 12 Mei 1987 hingga 30 Januari 1990, Jakarta, Pustaka Utama Grafiti, 1995), (2)
Sugih Tanpa Banda: Mangan Ora Mangan Kumpul 2 (berisi 113 kolom yang terbit antara
29 Januari 1991 hingga 4 Januari 1994, Jakarta, Pustaka Utama Grafiti, 1994), (3) Madhep
Ngalor Sugih, Madhep Ngidul Sugih: Mangan Orang Mangan Kumpul 3 (berisi 115 kolom
yang terbit antara 11 Januari 1994 hingga 31 Desember 1996, Jakarta, Pustaka Utama
Grafiti, 1997).4

Sinopsis Novel Sri Sumarah

Sri Sumarah dan Bawuk merupakan kumpulan kisah yang berkisah tentang
perjuangan hidup dua orang manusia yang bernama Sri Sumarah dan Bawuk. Sri Sumarah
berceritakan tentang perempuan Jawa yang telah menamatkan SKP nya di kota J. Sri
terbiasa pasrah dalam menjalani hidupnya, sesuai dengan namanya Sri Sumarah yang
berarti pasrah. Sri selalu dididik dengan cara Jawa oleh embahnya, dia diajarkan untuk
selalu patuh terhadap suaminya. Embahnya selalu mengajarkan Sri tentang bagaimana cara
membuat suaminya betah, krasan, dan tentram bersamanya. Hal itu dapat ditempuh lewat

4
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia, Umar Kayam, http://ensiklopedia.kemdikbud.go.id/sastra/artikel/Umar_Kayam, diakses pada 10
Mei 2020 pukul 14.10.
dapur, tempat tidur, sikap, dan omongan tiap hari. Sri melakoninya dengan baik dan hal
tersebut benar-benar membuat suaminya betah, krasan, tenteram bersama Sri. Sri selalu
memijit suaminya yang tampak lelah sepulang kerja. Sri menyanyikan tembang dengan
merdu sambil memijit suaminya. Pernikahan mereka dikaruniai seorang anak perempuan
bernama Tun. Namun, kebahagiaan mereka hanya berlangsung selama 12 tahun saja karena
suaminya meninggal karena wabah eltor. Sebelum meninggal suaminya memberikan
amanah kepada Sri untuk menjaga Tun. Sri merawat anaknya seperti embah yang
merawatnya. Bermodalkan keyakinan, Sri merencanakan perjalanan hidup anaknya
sematang mungkin seperti perencanaan yang dilakukan embahnya: sekolah di kota J,
menikah, dan menimang cucu.

Tun tumbuh dengan subur, cerdas, pandai dan suka bergaul. Tun hidup lebih maju
sesuai dengan perkembangan zaman. Sri selalu mengamati perubahan anaknya dari waktu
ke waktu. Banyak yang berbeda dengan kebiasaannya yang dulu. Sri memakluminya
karena zaman sudah berubah menjadi modern. Perubahan Tun dianggap lucu bagi Sri.
Namun ternyata rencana Sri gagal. Tun hamil sebelum menikah. Untuk menutupi aib
anaknya, Sri menikahkan anaknya di usia 17 tahun dengan Yos yang telah menghamili
Tun, dengan pontang-panting pinjam uang ke sana ke mari dan menggadaikan tanah
sawahnya pada pak Mohammad.

Sri pun bekerja keras untuk membayar utang dan membiayai kehidupannya, Sri
berjualan gorengan di kantor camat, juga menerima orderan menjahit baju. Namun, lambat
laun orderan jahitan pun sepi dikarenakan adanya krisis ekonomi. Akhirnya Sri pun
terpaksa merelakan tanahnya kepada pak Mohammad. Menantunya, Yos yang mengetahui
hal tersebut pun marah dan mengatakan bahwa pak Mohammad adalah Tuan Tanah.

Kemudian Yos pun mengusulkan agar Sri tinggal bersama dengan Yos dan Tun di
kota J, rumahnya yang di desa akan disewakan kepada BTI dan sawahnya pun diurus oleh
mereka. Sri pun akhirnya pindah ke rumah Tun. Setahun sudah ia tinggal di rumah Tun,
namun tiba-tiba Tun dan Yos pamit diri karena mereka sedang dikejar-kejar oleh kompeni.
Tun menitipkan Gunuk kepada Sri, dan memberikan perhiasan dan sedikit uang untuk
keperluan Sri. Ternyata Tun dan Yos terlibat aksi criminal, yang menyebabkan Yos
tertangkap dan dihukum mati. Tun yang berhasil lolos dari penangkapan kembali ke rumah,
dan Tun diminta Sri untuk menyerahkan diri dan ditahan.

Selama Tun ditahan, Sri memberi kejelasan pada Ginuk, bahwa ia adalah ibunya,
sedangkan Tun adalah kakaknya. Sebulan sekali Sri dan Ginuk menjenguk Tun. Pernah Sri
merasa lelah, ia mengambil langkah untuk bertirakat, tidur di luar dan menunggu datangnya
wasik dalam mimpinya. Ia bermimpi suaminya memintanya untuk memijit. Sri yang
terbangun mengartikan bahwa itu adalah wasik baginya. Ia pun mulai menjalani dengan
kerjanya, yaitu memijit. Bermula dari satu panggilan hingga akhirnya jadi langganan. Dari
situlah awal mula keterkenalannya sebagai Bu Marto, ahli tukang pijit. Menjadi tukang pijit
juga tidak luput dari godaan-godaan para pelanggannya, namun Sri masih bisa menahan
godaan tersebut dan menganggapnya hanya orang iseng. Namun, untuk pertama kalinya
pertahanan Sri goyah, ketika ia bertemu dengan pasiennya yang muda dari Jakarta yang
berbadan kekar. Sri menunjukan kepasrahannya ketika anak muda itu mendekap dan
merayunya. Esok malamnya merupakan klimaks hancurnya pertahanan Sri. Sri meniti
dirinya bukan sebagai wanita pijit jempolan lagi, karena kepasrahannya kepada anak muda
itu, dalam hatinya ia meminta maaf kepada Tun karena telah melakukan hal yang
seharusnya tidak ia lakukan.

Snopsis Novel Bawuk

Sementara itu, Bawuk adalah anak bungsu dari keturunan Priyayi yang terhormat
dan berpendidikan. Bawuk adalah perempuan yang perian, cerdas, dan pemurah. Sejak
kecil ia telah menumbuhkan sifat-sifat kerakyatan, berbeda denga keempat kakaknya. Hal
ini tampak dalam sikapnya yang menghargai para pembantunya. Hanya Bawuk seorang
yang memahami kepedihan ibunya, yang terpaksa melihat suaminya tenggelam dalam
pelukan ledek (penari), dalam suatu pesta di Kabupaten. Setelah dewasa, Bawuk berkenalan
dengan Hassan, seorang aktivis Partai Komunis. Semua keluarganya menentang pilihannya
itu, karena kakak tertua Bawuk menikah dengan seorang Brigjen, kakak keduanya menjadi
dosen ITB, kakak ketiganya menikah dengan dirjen, dan kakak keempatnya menikah dan
menjadi dosen di UGM. Sedangkan Bawuk bersuamikan seorang tokoh komunis.

Pernikahan Bawuk dan Hassan dikaruniai dua orang anak putra dan putri yang
diberi nama Wowok dan Ninuk. Ketika peristiwa G 30 S meletus, Hassan ikut terlibat dan
terus dikejar tentara. Maka Bawuk beserta kedua anaknya terpaksa pindah dari satu kota ke
kota lain, untuk mengikuti suaminya yang terpaksa terus melarikan diri dari kejaran tentara.
Akhirnya, Bawuk mengambil keputusan. Ia datang ke kota tempat tinggal ibunya, untuk
menitipkan kedua anaknya. Tak mungkin ia membawa-bawa kedua anaknya dalam pelarian
itu. Anak-anaknya butuh kehidupan yang layak dan bersekolah dengan tenang. Di rumah
ibunya, Bawuk disambut oleh keempat kakak beserta ipar-iparnya. Mereka terus membujuk
Bawuk agar tetap tinggal di kota itu. Namun Bawuk telah berketetapan hati untuk terus
mencari suaminya. Dengan tegar ia menjelaskan bahwa sebagai isteri, ia tetap harus
menemui suaminya. Hanya saja kedua anaknya dititipkan kepada ibunya. Semua kakaknya
sulit menerima keputusan itu. Hanya sang ibu yang dapat memenuhi keputusan Bawuk. Di
suatu sore Nyonya Suryo membaca dalam surat kabar, bahwa G 30 S telah ditumpas dan
Hassan, menantunya ialah salah seorang yang diberitakan tertembak mati. Tetapi diakhir
cerita Bawuk tak diketahui keberadaannya.

Pembahasan

Analisis Unsur Instrinsik Dalam Novel Sri Sumarah dan Bawuk

Tema
Tema merupakan gagasan dasar umum yang menopang sebuah karya sastra dan
yang terkandung di dalam teks sebagai struktur semantis dan yang menyangkut persamaan-
persamaan atau perbedaan-perbedaan. Menurut Baldic, tema adalah gagasan abstrak utama
yang terdapat dalam sebuah karya sastra atau yang secara berulang-ulang dimunculkan baik
secara eksplisit maupun implisit lewat pengulangan motif.5 Untuk menemukan tema,
sebuah karya fiksi haruslah dibaca terlebih dahulu secara menyeluruh. Tema mayor dalam
5
Burhan Nurgiantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2015) h.
115.
Sri Sumarah dan Bawuk yaitu nasib perempuan pada masa pemberontakan PKI. Tema
minor dalam Sri Sumarah dan Bawuk yaitu perjuangan, budaya, sosial, tekad, politik,
pemberontakan.

Alur

Alur merupakan peristiwa dalam prosa naratif atau drama. Alur mengandung
konflik yang menjadi dasar lakuan dan membuat tokoh terus bergerak dari satu peristiwa ke
peristiwa lain hingga mencapai klimaks.6 Novel Sri Sumarah dan Bawuk memiliki alur
campuran atau alur maju mundur. Dalam buku Burhan terdapat lima tahapan alur, yaitu
tahap penyituasian, tahap pemunculan konflik, tahap peningkatan konflik, tahap klimaks
dan tahap penyelesaian.

1. Tahap Penyituasian
Tahap ini berisikan pelukisan dan pengenalan situasi latar dan tokoh-tokoh cerita.
Pada cerita Sri Sumarah dimulai dengan pengenalan Sri sebagai guru tukang pijit,
selain itu Sri juga dikenal dengan nama bu Marto, yaitu nama almarhum suaminya.
Sri juga digambarkan sebagai sosok yang pasrah, sesuai dengan arti namanya
Sumarah yang berarti menyerah atau pasrah. Kemudian Sri pun dijodohkan oleh
Embahnya dengan Martokusumo.
“Di kampungnya, dia dipanggil Bu Guru Pijit. Sesungguhnya dia bukan
guru pijit. Bukan juga guru. Dia tukang pijit.”

“Namanya bu Marto. Lengkapnya Martokusumo. Tentu itu nama suaminya.


Atau tepatnya “nama tua” almarhum suaminya.”

“Sri Sumarah yang artinya Sri yang “menyerah” atau “terserah” menyerah
saja waktu neneknya menyatakan kepadanya bahwa saatnya sudah tiba
untuk menyiapkan diri ke jenjang perkawinan. Sudah ada seorang jejaka
yang cukup tampan dan terpelajar menunggunya. Dia adalah pemuda
Suamrto.”

6
Burhan Nurgiantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2015) h.
115
Sedangkan pada cerita Bawuk diawali dengan kedatangan sebuah surat
dibawa oleh anak kecil, ternyata surat tersebut berasak dari anaknya, Bawuk. Sifat-
sifat Bawuk yang dijelaskan oleh ibunya, namun dalam suratnya terjadi perubahan
sikap Bawuk.
“Surat itu datang pada satu senja. Seorang anak kecil dengan mengendarai
sepeda dengan tergesa-gesa memberikan surat itu kepada Nyonya Suryo
tanpa menunggu jawab atau pesan. Waktu surat itu dibuka dan dibaca
barulah Nyonya Suryo tahu bahwa surat itu dari Bawuk.”

“Alangkah aneh surat begitu datang dari Bawuk, pikir Nnyonya Suryo.
Aneh? Bukan, bukan aneh. Lebih tepat asing. Alangkah asing surat begitu
datang dari Bawuk, pikir Nyonya Suryo. Asing sekali kata-kata yang
membentuk kalimat-kalimatnya begitu pendek-pendek dan sederhana dan
kering dan apadanya. Bawuk yang dikenalnya selama tiga puluh lima tahun
adalah perempuan periang, murah dengan kata-kata dan selalu memberi
nada yang hiruk-piruk dalam surat-suratnya.”

2. Tahap Pemunculan Konflik


Pada tahap ini pemunculan konflik yang menyulut terjadinya konflik mulai
dimunculkan. Tahap ini merupakan tahap awal munculnya konflik, dan konflik itu
sendiri akan berkembang. Pada cerita Sri Sumarah dimulai ketika Tun yang sudah
dibesarkan seorang diri oleh Sri ternyata memberi kabar buruk bahwa dirinya tidak
perawan dan sedang hamil. Karena hal itu membuat Sri segera menikahkan Tun
dengan Yos walaupun harus menghutang dan menggadaikan sawahnya.
“Bu, Tun bukan perawan lagi.”
“Jadi kau sekarang hamil, nduk?”
“Dua bulan.”

“Kemudian dia datang datang pada Pak Mohammad, petani kaya yang
menggarap sawahnya, menggadaikan sawahnya yang sudah sempit itu.
kemudian diketoknya habis semua sisa uang tabungannya. Dihemat-
hematnya hidupnya yang sudah hemat itu.”

Sedangkan pada cerita Bawuk dimulai ketika Bawuk menikah dengan


Hassan yang merupakan komunis, walaupun banyak mendapat tentangan dari
kakak-kakanya tetapi Bawuk tetap memilih Hasan.
“Dari sudut keluarga ini perkawinanku dengan Mas Hasan sudah sejak
semula salah. Kalau aku tempo hari mau saja kawin dengan seorang
akdemikus yang baik atau seorang perwira yang simpatik kaya Mas Sun,
dan tidak seorang revolusioner, komunis dan Sekarang berontak lagi,
semuanya bukankah beres?”

3. Tahap Peningkatan Konflik


Pada tahap ini konflik semakin berkembang dan dikembangkan kadar
intensitasnya. Pada cerita Sri Sumarah ketika Sri menggadaikan sawahnya kepada
Pak Mohammad, dan menantunya Yos mengetahui hal tersebut. Yos menyudutkan
pak Mohammad sebagai tuan tanah, dan hal ini lah yang memicu Yos melakukan
aksinya.
“Aah, itu kebetulan saja ibu punya hutang sama dia. Meskipun tidak, atau
meskipun ibu bayar hutang ibu, orang Namanya tuan tanah, kok bu,..”

“Aksi-aski kita sukses, ini tes permulaan. Ini percobaan adu oto. Aah,
ternyata mereka betul macan kertas…. Tanah mertua saya itu umpamanya.
Separoh telah dikangkangi oleh seorang tuan tanah yang bernama
Mohammad. Dia itu diketahui sebagai simpatisan DI dulu. Sekarang dia
ngnagkangi tanah-tanah petani miskin, antara lain merutua saya. Ooh,
waktu aksi itu kita gerakkan, gemeteran dia.”

Sedangkan tahap peningkatan konflik pada cerita Bawuk ketika para Dewan
Jenderal akanmenangkap komunis, sehingga Hasan dan Bawuk serta anaknya harus
pergi meninggakan kota S menuju kecamatan T dan membuat pertahanan disana.
“Waktu pawai Dewan Revolusi telah selesai, Hasan memerintahkan Bawuk
berkemas-kemas. Anak-anak harus dibawa, sedang barang-barang yang
dibawa cukup pakaian seperlunya saja.”

“Di T mereka tinggal di rumah camat. Hasan dan kawan-kawannya yang


ikut lari dari S sibuk mengatur kekuatan”
4. Tahap Klimaks
Pada cerita Sri Sumarah klimaks terjadi pada saat Tun dan Yus pamit
kepada Sri untuk pergi dahulu karena adan perebutan kekuasaan di Jakarta dan
menitipkan Ginuk kepada Sri. Lalu Sri mendapat berita dari pak RT bahwa anak
dan menantunya terlibat dalam pemberontakan dan telah membunuh jenderal-
jenderal.
“Bu, keadaan gawat. Di Jakarta terjadi perebutan kekuasaan.”
“Perang, Jenderal-jenderal ambil alih kekuasaan. Kita kaum kiri akan
ditangkap dan dibunuh. Kami akan menyingkir dulu. Ibu disini saja sama
Ginuk.”

“Anak sampeyan dan suaminya itu ikut berontak.”


“Tidak Cuma berontak. Teman-temannya yang di Jakarta telah membunuh
jenderal-jenderal.”

Sedangkan tahap klimaks pada cerita Bawuk ketika Bawuk dan kedua
anaknya terpisah dengan Hasan. Membuat Bawuk mengambil keputusan untuk
melarikan diri dari satu tempat ke tempat lain. Namun, ditengah pelariannya Bawuk
menyadari adanya perubahan pada kedua anaknya dan membuat Bawuk khawatir
akan hal itu.
“Hasan telah tidak kelihatan sejak dua hari yang terakhir itu. dengan sebat
Bawuk mengambil keputusan bahwa dia harus menyingkirkan diri dengan
kedua anaknya.”

“Sudah setahun lebih mereka tidak lagi sekolah. Dan perkembangan mereka
makin menunjukkan perkembangan yang tidak normal. Sikap mereka yang
makin pendiam dan menarik diri sangat merisaukan pikiran Bawuk. Sikap
anak-anak yang begitu tidak pernah dia jumpai dalam lingkungan
keluarganya.”

5. Tahap Penyelesaian
Tahap penyelesaian pada cerita Sri Sumarah ketika Tun datang menemui Sri
dan menceritakan bahwa Yos tertangkap dan dibunuh. Sri pun meminta Tun untuk
menyerahkan diri dan Tun pun ditahan. Sri harus bertahap hidup untuk anak dan
cucunya, ia pun melakukan tirakat untuk mendapatkan wisik. Wisik yang ia
dapatkan adalah untuk menjadi tukang pijit. Sri pun akhirnya menjadi tukang pijit
yang terkenal.
“Tun dengan diantar Sri dan Ginuk dan Pak RT naik mobil yang menjemput
mereka menuju ke kantor Kodim.”

“Ah, Mas Marto mau aku memijit. Dia senang aku memijit. Aku memang
bisa memijit. Kenapa aku tidak mencoba memijit untuk mulai perjalanan
baru ini?”
“Sejak malam itu Sri telah menetapkan Namanya sebagai tukang pijit. Sejak
malam itu kabar cepat tersiar di dalam kampung itu bahwa Bu Maro
memiliki keahlian memijit yang menakjubkan.”

Tahap penyelesaian pada cerita Bawuk yaitu ketika saudara-saudaranya


meminta Bawuk untuk tetap tinggal, namun Bawuk tetap pada pendiriannya untuk
kembali dan menunggu suaminya di kota M. Bawuk pun pergi sebelum matahari
terbit dan menitipkan anaknya kepada ibunya. Setelah kepergian Bawuk, diketahui
para pemberontak PKI bisa dihancurkan dan banyak yang ditangkap dan dibunuh.
Salah satu yang tewas adalah suami Bawuk, Hassan.
“Ya, mammie. Saya kira saya harus berangkat segera, sebelum fajar. Akku
tidak akan bangunkan Wowok dan Ninuk. Mereka sudah tahu bahwa mereka
harus tinggal. Titip mammie.”

“Di pangkuannya tergeletak surat kabar sore. Dikabarkan disitu bagaimana


usaha PKI untuk menguasai Jawa Timur lewat Blitar Selatan telah dapat
dihancurkan sama sekali. Pemimpin-pemimpinnya yang terkemuka telah
tertangkap atau mati terbunuh. Munir, Sukatno, Sri Sukatno, Tjugito dan
lain-lainnya telah tertangkap. Ir Surachman dan beberapa gembong yang
lain telah tertembak mati. Salah satu nama yang tertembak mati yang tidak
banyak dikenal secara nasional adalah Hasan. Bawuk?”

Amanat

Moral dalam karya sastra biasanya dimaksudkan sebagai suatu saran yang
berhubungan dengan ajaran moral tertentu, yang dapat diambil lewat cerita yang
bersangkutan oleh pembaca. Maka, dapat dikatakan bahwa moral merupakan representasi
ideologi pengarang.7
Amanat dari Sri Sumarah Bawuk adalah perempuan dapat menyesesuaikan diri
menghadapi perubahan zaman serta tidak menyerah terhadap takdir. Tokoh Sri Sumarah
dan Bawuk tetap mempertahankan keluarganya. Sri Sumarah dengan berbagai macam ujian
bertubi-tubi tetap bertanggungjawab. Bawuk dengan perannya sebagai seorang anak, istri,
dan ibu tetap mempertanggungjawabkan sesuai porsinya. Padahal mereka tidak mau situasi
dan keadaan seperti itu, tapi mereka tetap menerima dan mempertanggungjawabkannya.

7
Ibid, h. 430.
Tokoh dan Penokohan

Tokoh cerita (character) menurut Abrams adalah orang yang ditampilkan dalam
sesuatu karya nartif, atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral
dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang
dilakukan dalam tindakan. Sedangkan penokohan adalah karakter dan perwatakan yang
menunjuk pada tokoh tertentu dalam sebuah cerita. Penokohan menurut Jones adalah
pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita.8
Tokoh-tokoh cerita dalam sebuah cerita fiksi dapat dibedakan ke dalam beberapa jenis
penamaan. Pembedaan tokoh berdasarkan peran dan pentingnya didalam cerita, yaitu tokoh
utama dan tokoh tambahan.

Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan pencitraannya dalam novel yang
bersangkutan. Merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan. Tokoh utama selalu
berhubungan dengan tokoh-tokoh lain, ia sangat menentukan perkembangan plot cerita
secara keseluruhan. Sedangkan tokoh tambahan biasanya kemunculannya tidak sebanyak
tokoh utama. Pembedaan antara tokoh utama dan tokoh tambahan tidak dapat dilakukan
secara eksak. Pembedaan itu lebih bersifat gradasi karena kadar keutamaan tokoh-tokoh itu
bertingkat: tokoh utama (yang) utama, tokoh utama tambahan, tokoh tambahan utama, dan
tokoh tambahan yang memang tambahan.9 Kami menyimpulkan bahwa yang termasuk
tokoh utama Dalam cerita Sri Sumarah adalah Sri Sumarah, dan dalam cerita Bawuk adalah
Bawuk. Tokoh utama tambahan dalam cerita Sri Sumarah adalah Tun dan Yos, dan dalam
cerita Bawuk adalah Hasan dan Nyonya Suryo. Tokoh tambahan utama dalam cerita Sri
Sumarah adalah Mbah dan Martokusumo, dan dalam cerita Bawuk adalah Ninuk, Wowok,
Sumi, Mamok, Syul, dan Tarto. Tokoh tambahan yang memang tambahan dalam cerita Sri
Sumarah adalah Pak Curik, Pak Mohammad, Pak RT, Pak Tukiman. Tokoh tambahan
dalam cerita Bawuk adalah Pak Jogo, Inem, Sarpan, ledhek, Wedana, dan Bupati, anak
muda.

8
Ibid, h. 165
9
Ibid, h. 259-260
Pembedaan tokoh berdasarkan perwatakannya dibedakan menjadi tokoh sederhana
dan tokoh bulat. Tokoh sederhana adalah tokoh yang hanya memiliki satu kualitas pribadi
tertentu, satu sifat watak tertentu saja. Sebagai seorang tokoh manusia, ia tidak diungkap
berbagai kemungkinan sisi kehidupannya. Sedangkan tokoh bulat adalah tokoh yang
memiliki dan diungkap berbagai kemungkinan sisi kehidupannya, sisi kepribadian, dan jati
dirinya.10 Menurut kami tokoh bulat dan cerita Sri Sumarah adalah Sri Sumarah dan dalam
cerita Bawuk adalah Bawuk. Tokoh sederhana dalam cerita Sri Sumarah adalah Tun, Yos,
Embah dan Martokusumo. Dalam cerita Bawuk adalah Hassan, Nyonya Suryo, Sumi,
Mamok, Syul, dan Tarto.

Penokohan dalam cerita Sri Sumarah, yaitu:

1. Sri Sumarah
a. Tokoh Sri digambarkan sebagai sosok yang pasrah dan selalu mengerti dan
terbuka, tetapi tidak menolak.
“Bukan kebetulan nduk, namamu Sri Sumarah. Dari nama itu kau diharap
berlaku dan bersikap sumarah, pasrah, menyerah. Lho, itu tidak lantas kau
diaaam saja, nduk. Menyerah di sini berarti mengerti dan terbuka tetapi
tidak menolak. Mengerti nduk?”
b. Memiliki badan yang bagus, harum, serta memiliki sura yang merdu dan pandai
memijit.
“tetapi ngelmu yang diwejangkan embahnya telah cukup membentuknya
sebagai seorang wanita yang bisa mengikat suami. Badannya tetap segar,
sintal, dan langsing, karena Sri tak pernah alpa meminum jamu-jamunya.
Badannya meskipun tidak mengenal Eau de Cologne 4711, selalu
mengeluarkan kesegaran bau embun desa, karena dia juga tak pernah alpa
makan kencur dan kunyit mentah. Dan akan keampuhan gerayangan
pijitnya serta kemerduan tembangnya.”
c. Memiliki sifat yang amanat dan bertanggung jawab.
“Kata-kata suaminya dianggapnya sebagai amanat kramat yang mesti
dilaksanakan lewat jalan apa pun juga.”
Nduk, memang sudah aku niati untuk menyokalahkan kau sampai tinggi. Itu
sudah janjiku kepada bapakmu..”
d. Pantang menyerah.

10
Ibid, h, 265-266
“Dengan tekad itu, Sri memusatkan seluruh hidupnya pada usaha
pencapaiannya. Dengan gembira dan keras hati ditempuhnya jalan
hidupnya yang keras itu.”
e. Jujur.
“Dengan ramah dan tenang Pak Mohammad menanyakan hutangnya. Sri,
perempuan yang selalu dididik untuk jujur dan sumarah itu mengatakan
dengan sebenarnya bahwa dia memang tidak ada harapan lagi untuk bisa
menyelesaikan hutangnya kecuali harus menyerahkan sawah yang
digadaikan kepadanya.”
f. Berbaik hati dengan menerima berapa saja upah yang diberikan kepadanya.
“Sri, seperti dulu pada waktu masih dikecamatan menerima pekerjaan
menjahit, tidak pernah memasang tarif bagi pijatannya. Berapa saja
langganannya memberi diterimanya.”
2. Martokususmo
a. Orang yang halus, lemah lembut.
“Mas Marto meskipun bukan seorang Arjuna seperti digambarkan oleh
wayang itu, dia toh laki-laki segala laki-laki bagi Sri. Orangnya halus yang
halus, lemah lembut dan selalu Nampak bisa menahan emosi.”
b. Orang yang manja kepada istrinya
“Dia manja dan minta dimanjakan oleh isterinya. Dengan elusan, dengan
pijitan, dan lain-lain gerakan yang perlu untuk mengiringinya.”
c. Setia
“tetapi juga pada waktu suatu hari Mas Marto menolak lamaran carik desa
agar Mas Marto mau mengambil anak carik itu sebaagai istrinya yang
kedua.”
3. Embah
a. Bertanggung jawab
“Nduk, memang sudah aku niati untuk menyokalahkan kau sampai tinggi.
Itu sudah janjiku kepada orangtuamu ..”
b. Bijaksana
“Maka semacam indoktrinasi bahkan kemudian semacam manusal of
operation juga disiapkan oleh embah yang bijaksana itu untuk
memperlengkap kesiapan cucunya menghadapi saat-saat yang gawat itu.”
4. Tun
a. Cerdas
“Untunglah anaknya cerdas, hingga waktu dia tamat SD angka-angkanya
cukup tinggi.”
b. Pandai dan suka bergaul dan memiliki kemauan yang jelas.
“Tun tumbuh seperti dalam bayangan rencana Sri. Cerdas, pandai dan suka
bergaul, punya kemauan yang jelas dan kuat.”
c. Orang yang lincah dan pintar berbicara.
“Sri melihat bagaimanaTun anak kecamatan itu ternyata di tengah-tengah
kawan-kawannya di kota muncul sebagai anak yang lincah, banyak bicara
dalam arti banyak mengemukakan pendapat, dan banyak sekali
mempergunakan bahasa Indonesia dalam pembicaraan itu.”
5. Yos
a. Bertanggung jawab
“Sri bahkan tersenyum sekarang mengingat peruntungan anaknya cukup
menarik Yos untuk mengawininya. Coba bayangkan bila Yos tidak bersedia
mengawininya.”

“Bu, kalau boleh uang kontrakan ini harap ibu anggap sebagai pinjaman.
Kami akan kembalikan sedikit demi sedikit.”

“Yos juga berkembang sebagai seorang sumi dan bapak yang baik dan
bertanggung jawab di tengah kesibukannya.”

Penokohan dalam cerita Bawuk, yaitu:


1. Bawuk
a. Ceria dan periang
“Bawuk yang dikenalnya selama tiga puluh lima tahun adalah perempuan
periang, murah dengan kata-kata, selalu memberi hiruk pikuk dalam surat-
suratnya.”
b. Penuh humor
“Semua pada tertawa. Mereka mulai merasakan kehangatan Bawuk yang
dahulu kembali berada di tengah-tengah merreka.”
c. Disiplin
“Pekerjaan rumah selalu dia selesaikan menurut waktu yang dipilihnya
sendiri. Selalu selesai dengan baik, tetapi tidak selalu sama dengan irama
saudara-saudaranya.”
d. Manja dan pemurah
“Sifatnya manja dan pemurah adalah juga salah satu senjata ampuhnya.”
e. Bohemian
“ayah Bawuk sesungguhnya tidak berapa setuju melihat kecenderungan
“bohemian” anaknya itu. Tiduran di bale-bale dengan seorang bediende,
main-main dengan anak-anak desa di belakang kandang kuda adalah bukan
kebiasaan yang baik buat seorang anak onder.”
f. Perhatian
“Mammie sakit ya? Kok jam segini belum keluar kamar?”
“Ssst! Pappie jangan keras-keras. Mammie sakit.”
g. Bersemangat tinggi, penuh vitalis dan optimism.
“Maing-masing sedang mencoba menggambarkan keadaan Bawuk.
Keadaan badannya? Masihkah semampai, sehat, sintal berisi seperti
dahulu? Semangat dan kegairahannya? Masihkah penuh vitalis dan
optimism seperti biasanya? Tertaawanya masih berderai dan spontan?”
h. Sifat yang dewasa
“Sedang mata Bawuk meskipun nampak capek juga masih memancarkan
sinarnya yang lama, sinar yang selalu mengajak tersenyum. Tetapi
kelembutan sinar itu sekarang disertai dengan suatu unsur baru yang
dahulu meskipun sudah dikenal ibunya juga, sekarang nampak semakin
jelas, sinar itu adalah sinar yang memancarkan kepastian dan ketetapan
hati.”
2. Hassan
a. Lincah, cerdas, dan semangat
“Hassan yang kelincahan, kecerdasan serta kegairahannya yang membusa
terjadap kehidupan selalu memikat Bawuk.”
b. Keras dan tinggi hati
“Hassan, suami Bawuk, selalu dianggap terlalu keras dan tinggi hati oleh
iparnya.”
c. Penyayang dan perhatian
“Di tengah-tengah kesibukan organisasi tempo hari Hassan masih sempat
bercerita tentang macam-macam hal kepada anak-anaknya. Juga bermain
akordeon, menyannyi lagu-lagu rakyat dan anak-anak dari berbagai negri.”
3. Nyonya Suryo
a. Sabar
“Dan pada waktu suaminya diiringi sorakan tamu-tamu mulai menyeret
Prenjak ke belakang ke kamar yang sudah tersedia. Nyonya Suryo dengan
tenangnya tetap terus bermain kartu sampai selesai. Waktu itu jam telah
menunjukkan menjelasng jam tiga pagi. Dengan tenang dan penuh basa-
basi seperti biasanya Nyonya Suryo mohon diri dari nyonya bupati dan
sendirian di dalam dokarnya diantar pulan oleh Sarpan.”
b. Perhatian kepada suami
“Juga waktu sampai di onderan pada jam lima pagi tidak lupa
diperintahkannya Sarpan untuk kembali ke kanjengan menjemput Tuan
Suryo bila Tuan Suryo telah selesai dan siap untuk pulang.”
c. Penyayang dan penuh kasih
“Dan didekapnya anaknya serta cucunya. Diciumnya pipi anak dan
cucunya. Air mata berlinang, meleleh pada pipi mereka.”
d. Bijaksana
“Ibu yang bijaksana. Ternyata Cuma kau yang mengerti.”
4. Tuan Suryo
a. Disiplin, selalu patuh, serius, efisien dan efektif
“Mereka adalah anak-anak bapaknya. Sebagai anak-anak seorang onder tidak
ada yang lebih memenuhi syarat daripada keempat anak-anak itu. Disiplin,
patuh, serius, efisien, dan efektif.”

“Sekali dua kali pernah juga dia terpaksa turun ke tengah gelanggang karena
wedana dan bupati menyuruhnya.”
5. Saudara Bawuk
Sumi, Mamok, Syul, dan Tarto adalah saudara kandung Bawuk, yaitu kakak-kakak
dari Bawuk. Mereka selalu membujuk Bawuk untuk meninggalkan Hassan. Mereka
peduli dengan adiknya.
“Wuk kau jangan terlalu merasa kami pojokkan Cuma satu kepentingan
kami. Kami tidak ingin kehilangan kau, Wuk. Kau adik kami yang bunsu dan
ibu sudah tua dan kesepian. Kenapa tidak kau terima saja usul Mas Sun
agar kau tinggal disini sampai semua tenang kembali.”

Latar

1. Latar tempat
Latar tempat merrupakan keterangan tempat terjadinya peristiwa yang
diceritakan dalam sebuah karya fiksi.11 Latar tempat yang digunakan dalam cerita
kebanyakan menggunakan simbol untuk beberapa kota. Latar yang diditampilkan
pada cerita Sri Sumarah yaitu kota J dan kecamatan N, juga beberapa tempat seperti
penjara dan hotel. Kota J digambarkan saat Sri menuntut ilmu di sana dan juga Tun.
Tun dan Yos setelah menikah menetap di kota J. Kecamatan N merupakan tempat
dimana Sri dilahirkan dan tinggal disana. Penjara adalah tempat yang sering kali

11
Ibid, h. 314
disinggung dalam cerpen tersebut di akhir cerita karena Tun di sana dan Sri sebulan
sekali menjenguknya di penjara. Sedangkan hotel sudah menjadi latar tempat
langganan Sri, di mana ia mencari uang di sana dengan menjadi seorang tukang
pijit.
“Waktu itu dia baru pulang ke kota kecamatan tempat kelahirannya sesudah
dia menamatkan sekolahnya di S(ekolah) K(epandaian) P(utri) kota J ”

“Selesai mantu dia masih bisa memberi sangu kepada Tun dan suaminya
yang cukup untuk membayar uang konrak rumah yang sederhana di dalam
kampong J untuk dua tahun lamanya.”

Begitu juga dalam cerita Bawuk, nama-nama kota menggunakan simbol.


Seperti kota M, kota S, kecamatan T. Kota S merupakan tempat pemberontakan
Hassan, Bawuk, dan teman-temannya. Setelah kota S sudah tidak aman, mereka
pindah ke kecamatan T. Selama di kecamatan T mereka tinggal di rumah camat.
Kota M merupakan kota tempat Bawuk menunggu Hassan.
“Di T mereka tinggal di rumah camat. Hassan dan kawan-kawannya yang
ikut lari dari S sibuk mengatur kekuatan. Kecamatan T boleh dikatan mutlak
di belakang mereka.”

“Bawuk tunduk terhadap penyelesaian itu. Dia harus menunggu di M.”

2. Latar waktu
Latar waktu merupakan latar yang berhubungan dengan kapan terjadinya
peristiwa dalam sebuah cerita.12 Latar waktu pada cerita Sri Sumarah yaitu pada
akhir zaman Jepang sekitar tahun 1945 dan sekitar tahun 1960-an, karena
disebutkan tentang Gerwani dan CGMI didalam cerita.
“Pada menjelang akhir jaman Jepang itu, jetika segala persiapan makin
menipis, apakah lebih mengesankan bagi status anak muda dari sepeda
yang demikian itu?”
“Maklum, jaman masih begini, jadi ibu Gerwani dan mertua tokoh CGMI
lagi, kata Sri kepada Pak RT.”

12
Ibid, h. 318
Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) adalah sebuah
organisasi mahasiswa di Indonesia, terkait dengan Partai Komunis Indonesia. CGMI
didirikan pada tahun 1956, melalui penggabungan komunis yang dipimpin
kelompok mahasiswa universitas di Bogor, Bandung dan Yogyakarta (yang telah
muncul pada awal 1950-an). Dan Gerakan Wanita Indonesia atau Gerwani adalah
organisasi wanita yang aktif di Indonesia pada tahun 1950-an dan 1960-an.
Organisasi terlarang ini didirikan pada tahun 1950. Juga diceritakan bahwa pada
saat itu ada perebutan kekuasaan di Jakarta, bahwa kaum kiri akan ditangkap dan
dibunuh. Bisa jadi pada saat itu terjadi peristwa Gerakan 30 September atau
G30SPKI pada tahun 1965.
Latar waktu pada cerita Bawuk juga diperkirakan terjadi pada tahun 1960-
an, tepatnya 1965. Diceritakan bahwa Hasan ikut mengatur Pawai Dewan Revolusi
pada akhir bulan Oktober 1965. Dimana Dewan Revolusi Indonesia merupakan
kelanjutan dari Gerakan 30 September.
“Siapakah yang akan menduga bahwa yang ada di becak itu yang sering
disebut-sebut Aidit sebagai ahli pemuda yang sangat berbakat, yang pada
akhir bulan Oktober 1965 ikut mengatur pawai Dewan Revolusi di kota S.”

3. Latar sosial
Latar sosial mengacu pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku sosial
masyarakat di suatu tempat dalam karya fiksi.13 Mencakup adat istiadat, kebiasaan
hidup, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, dan cara berpikir. Latar social pada
cerita Sri Sumarah mencerminkan kehidupan sosial budaya masyarakat Jawa. Hal
tersebut dibuktikan dengan penggambaran tokoh yang dianalogikan dengan lakon-
lakon wayang, seperti Pandawa, Sembadra, Ratih, Kamajaya, Arjuna, Juminten, dan
sebagainya.
“Persiapan bagi seorang gadis untuk menjadi seorang istri yang sempurna.
Modelnya. Sembadra alis Lara Ireng, adik Kresna dan Baladewa, istri
Arjuna laki-laki dari segala laki-laki. Dialah istri yang sejati.”

13
Ibid, h. 322
Pada cerita Bawuk juga digambarkan kehidupan social budaya masyarakat. Bawuk
digambarkan sebagai keturunan priyayi Jawa pada masa itu.
“Tiduran di bale-bale dengan orang bediende, main-main dengan anak desa
di belakang kandang kuda adalah bukan kebiasaan yang baik buat seorang
anak onder yang diusahakan mengecap pendidikan europeesch yang baik.”

Sudut Pandang

Sudut pandang adalah cara penulis novel menceritakan kisahnya atau segi pandang
penulis dalam membawakan cerita. Jadi, sudut pandang berkaitan dengan penggunaan kata
ganti dalam bercerita oleh penulis, apakah menggunakan kata ganti orang pertama, orang
ketiga, atau orang ketiga serbatahu.14
Sudut pandang yang digunakan dalam cerita Sri Sumarah dan Bawuk adalah sudut
pandang orang ketiga serba tahu. Pada sudut pandang orang ketiga serba tahu, penulis
menceritakan apa saja terkait tokoh utama. Penulis seakan tahu benar tentang watak,
pikiran, perasaan, kejadian, bahkan latar belakang yang mendalangi sebuah kejadian. Hal
tersebut dapat dilihat pada awal cerita Sri Sumarah dan Bawuk.
“DI KAMPUNGNYA, dia dipanggil Bu Guru Pijit. Sesungguhnya dia bukan guru
pijit.”

“... Seorang anak kecil dengan mengendarai sepeda dengan tergesa-gesa


memberikan surat itu kepada Nyonya Suryo tanpa menunggu jawaban atau pesan.”

Gaya Bahasa

Gaya bahasa adalah teknik pengolahan bahasa oleh pengarang dalam upaya
menghasilkan karya sastra yang hidup dan indah. Pengolahan bahasa harus didukung oleh
pemilihan kata (diksi) yang tepat.15
Gaya bahasa yang digunakan dalam cerita Sri Sumarah ini dalah bahasa Indonesia
dan bahasa Jawa, seperti alon-alon (h.12), nduk, ngenes (h.8), nontoni , jodoh sing wis

14
Sri Sutarni dan Sukardi, Bahasa Indonesia 2 SMA Kelas XI, (Quadra, 2008), h. 87.
15
Ismail Kusmayadi, dkk, Be Smart Bahasa Indonesia untuk Kelas VII SMP/MTs, (Bandung:
Grafindo Media Pratama, 2008), h. 62.
pinasti (h.9), mantennya (h.29). Penulis juga menambahkan contoh pewayangan (gaya
bahasa asosiasi)
Modelnya, Sembadra alias Lara Ireng, adik Kresna dan Baladewa, istri Arjuna, laki-
laki dari segala laki-laki. Dialah istri yang sejati. Patuh, sabar, mengerti akan
kelemahan suami, mengagumi kekuatannya. (h.10)

Gaya bahasa yang digunakan dalam cerita Bawuk ini dalah bahasa Indonesia yang
dicampur beberapa bahasa Jawa seperti ndoro (h.94), ciu gembar manuk arep melu ora
entuk (h.93), ledhek (h.89), dan lain-lain. Ada beberapa bahasa Belanda dan bahasa asing
yaitu comfortable (h.122), wat wil je daarmee zeggen (h.117), Juffrouwartinya ibu/nyonya
(h.85), huiswerk artinya pekerjaan rumah (h.86), onder artinya staf (h.90), dan sebagainya.

Analisis

1. Analisis cerita Sri Sumarah


Sri sumarah yang merupakan seorang wanita yang berasal dari jawa
mempunyai sifat semangat pantang menyerah dalam menjalani kehidupan yang
penuh dengan berbagai cobaan yang datang menghampirnya. Dapat dilihat pada
kutipan berikut
“Uang? Menipis dan menipis. Dalam satu-dua minggu pasti habis. Lantas ?
Sri sumarah,sumarah. Seperti biasa dalam keadaan begitu dia akan ingat
embah dan suaminya. Kalau waktu dia ada di desa pasti dia akan terus
nyekar,menabur bunga ke makam. Tetapi desa dalam keadaan seperti itu
alangkah jauhnya. Alangkah di luar jangkauannya. Sri kemudian bertekad
untuk tirakat,tidur kekadar di luar,malamnya “ (h.48)

Pada kutipan itu menjelaskan bahwa reaksi Sri dalam menghadapi


masalahnya ia tidak menyerah begitu saja,melainkan ia mengambil langkah untuk
bertirakat. Caranya dengan tidur sekadarnya dan menunggu datangnya wisik. Wisik
adalah pitoedoeh (wewarah) atau gaib, artinya petunjuk gaib. Wisik itu diperoleh
Sri kemudian dan ditafsirkannya sebagai petunjuk bahwa ia harus bekerja sebagai
tukang pijat demi melanjut hidupnya
Sri merupakan wanita pekerja keras untuk bisa menghidupi anak dan
cucunya agar mereka bisa mencukupi kebutuhan keluarganya walaupun dianggap
remeh pekerjaan tukang pijat tetapi menurut Sri yang penting pekerjaan itu halal
sehingga bisa mendatangkan rezeki yang banyak untuk mencukupi kebutuhan
keluarganya. Hal ini dapat di buktikan pada kutipan berikut ini:
“begitulah memijit menjadi mata pencarian pokok bagi sri. Sri sama sekali
tidak merasa kecil,rendah ataupun malu dengan pekerjaanya itu. Pertama
itu halal dan kedua, yang penting pekerjaan itu mendatangkan pendapatan
yang teratur dan cukup untuk bisa menyangga rumah tangganya” (h.53)

Betapa perjuangnya seorang Sri yang berjuang keras untuk memberi nafkah
kepada keluarga setelah ditinggal oleh sang suami tercinta yaitu Martokusomo yang
meninggal dunia sehingga tugas mencari nafkah dibebankan oleh Sri agar nasib
keluarganya menjadi baik dengan cara menjadi tukang pijat yang menjadi mata
pencarian pokok setelah menjahit dan berjualan gorengan tidak bisa mencukupi
kebutuhan keluarganya sehingga tukang pijat lah yang mempunyai omset cukup
banyak daripada dengan menjahit dan berjualan goreng membuat kebutuhan
keluarganya tercukupi dan terjamin .
Sri merupakan wanita yang selalu bersabar ketika ditinggal oleh embah dan
sang suami tercinta yaitu Martokusumo yang meninggal dunia. Betapa perjuangan
seorang wanita ketika ditinggal oleh suaminya tercinta untuk menjadi kepala
keluarga untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya dan memperjuangkan
anaknya yaitu tun agarnya nasibnya tidak sama dengannya. Hal ini terdapat pada
teks:
“dia ingin melihat anaknya berkembang lain daripada perkembangannya
dulu bukan karena dia menyesali nasib dan pertumbuhannya dulu” (h.21)
Sri yang bersabar merawat anaknya yang satu-satunya yaitu Tun dengan
penuh sabar dan perjuangan yang dilakukan oleh Sri untuk merawat anaknya
dengan sabar dan mendidik anaknya agar perkembangan anaknya harus lebih baik
darinya.
Berdasarkan dari penaparan tersebut bahwa Sri merupakan seorang wanita yang
pekerja keras dan semangat pantang menyerah untuk bisa menghidupi keluarganya
setelah di tinggalkan oleh sang suaminya yaitu Martokusumo dan bersabar ketika
merawat dan mendidik anaknya tanpa seorang suami di sampingnya.
2. Analisis cerita Bawuk
Bawuk merupakan seorang tokoh perempuan yang tidak mau dianggap
remeh sama kaum-kaum laki-laki dimana Bawuk juga membantu suaminya yaitu
Hassan yang merupakan ketua organisasi PKI di daerahnya. Bentuk perjuangan
yang dilakukan oleh Bawuk diantara lain dengan mengadakan diskusi membentuk
Gerwani. Hal ini dijelaskan pada kutipan berikut
“bawuk bersama istri kawan-kawan hassan mendapat tugas tersendiri.
Mereka berkewajiban menggarap para pemimpin gerwani di kecamatan T
itu sebagian terbesar adalah isteri-isteri pimpinan masyarkat desa
kecamatan T” (h.103)
Pengalaman tersebut membuat Bawuk heran dan terkejut karena Bawuk
merasa bukan anggota Gerwani tersebut melainkan seorang istri dari ketua PKI di
daerahnya tersebut sehingga membuat Bawuk secara tidak langsung terlibat dalam
pergerakan PKI di kecamatanT tersebut sehingga membuat Bawuk harus berpisah
dengan Hassan karena pertempuran yang terjadi di kecamatan T. Hal ini dijelaskan
pada kutipan berikut.
“Pertempuran pun pecalah. Petani –petani yang sudah di latih oleh hassan
melawan dengan cung,dengan Molotov cocktail,dengan bamboo runcing
dengan segala macam senjata. Petani –petani itu melawan menurut
petunjuk pemimpin-pemimpin mereka. Mereka melawan dengan semangat
dan pengertian bahwa yang menjadi lawan mereka adalah kaum reaksi
yang akan menghancurkan mereka, yang akan merampas tanah-tanah
mereka.” (h.106-107)
Suasana pertempuran tersebut menunjukkan bagaimana pecahnya
pertempuran tersebut yang dipimpin oleh Hassan sehingga membuat Bawuk
terpisah oleh Hassan karena harus memimpin pasukannya untuk melawan para
tentara tersebut sehingga membuat Bawuk dan anak-anaknya harus berpindah –
pindah. Hal ini dijelaskan pada kutipan berikut ini.
“Di S Bawuk dan anak-anaknya tinggal berpindah-pindah” (h.108)
Perjuangan Bawuk untuk bisa bertemu dengan suami mendapatkan cobaan
yang berat ketika harus berpindah tempat dari satu tempat ke tempat lain agar tidak
tertangkap oleh tentara pada saat itu sudah mengalahkan pasukan hassan sehingga
bertemu dengan Pak Jogo yang merupakan nama samaran tersebut membuat Bawuk
mendapatkan tugas oleh Pak Jogo tersebut. Hal ini dijelaskan pada kutipan berikut
ini.
“Bawuk mendapat tugas menjadi kurir dan mengamati gerak gerik
mahasiswa” (h.109)
Dalam pertemuan tersebut membuat Bawuk mendapatkan tugas menjadi
mata mata karena pergerakan mahasiswa pada saat itu membuat organisasi PKI
terancam karena mahasiswa mempunyai daya pemahaman dan semangat juang
untuk menghancurkan organisasi PKI.
Penjelasan di atas menunjukkan bahwa perjuangan yang dilakukan oleh
Bawuk membuat Bawuk terlibat dalam pergerakan tersebut walaupun bukan
anggota organsasi PKI tersebut karena Bawuk istri dari ketua organisasi PKI
sehingga membuat Bawuk menjadi buronan tentara pada saat itu.

Simpulan

Resperesentasi wanita dalam dunia sastra merupakan wujud bentuk “sosialisasi”


yang mengindikasikan bahwa pada perempuan bukan merupakan makhluk yang lemah
maka tersadarlah para perempuan dari mitos tersebut yang mengatakan bahwa perempuan
merupakan makhluk yang lemah dengan sebuah gerakan atau perjuangan yang disebut
dengan feminisme.

Feminisme ini dalam bentuk perjuangan seorang perempuan berjuang untuk nasib
keluarganya yang terdapat pada novel Sri Sumarah Bawuk karya Umar Kayam yang
menceritakan seorang perempuan yang bernama sri sumarah dan bawuk yang mempunyai
sifat berkerja keras, pantang menyerah dan sabar untuk memperjuangkan nasib keluarga
mereka di masa pemberontakan PKI yang tinggal oleh orang yang dicintainya karena
meninggal dunia. Perjuangan yang dilakukan oleh perempuan tersebut sampai relakan
sebuah hanya dicintainya demi nasib keluarganya.

Daftar Pustaka
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan
Republik Indonesia. Umar Kayam.
http://ensiklopedia.kemdikbud.go.id/sastra/artikel/Umar_Kayam, diakses pada 10
Mei 2020 pukul 14.10.

Barry, Peter. 2010. Beginning Theory. Yogyakarta: Jalasutra.

Kusmayadi, Ismail Kusmayadi, dkk. 2008. Be Smart Bahasa Indonesia untuk Kelas VII
SMP/MTs, Bandung: Grafindo Media Pratama.

Nurgiantoro, Burhan. 2015. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.

Murniati, A. Nunuk P. 2004. Getar Gender. Jakarta: Adikarya IKAPI

Sutami, Sri dan Sukardi. 2008. Bahasa Indonesia 2 SMA Kelas XI. Quadra.

Yuwono, Untung. 2008. Wacana: Jurnal Ilmu Pengetahuan Budaya. Universitas


Indonesia,Vol.10, No.3.

Anda mungkin juga menyukai