Anda di halaman 1dari 3

Judul : Cantik Itu Luka

Penulis : Eka Kurniawan

Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama

Review ini dibuat untuk orang yang menganggap saya menjanjikannya review buku
(padahal saya tidak pernah berjanji), dia saja yang berasumsi demikian. Tapi, berhubung
dia orang spesial dan hari spesialnya juga sudah dekat. Akhirnya, saya belajar untuk
mereview buku demi dia (maklumi saja kalau banyak salahnya). Anggap saja ini kado
ulang tahun mu Le (kadonya virtual aja kan lagi pandemi hehe). Buku ini juga dia yg
merekomendasikan untuk ku baca. Buku yang akan saya review adalah “Cantik Itu Luka”
karya Eka Kurniawan, salah satu buku yg masuk list buku favorit saya dan sudah
diterjemahkan lebih dari 30 bahasa.

Buku ini diterbitkan pertama kali pada tahun 2002 atas kerja sama AKYPress dan
Penerbit Jendela. Edisi kedua dan seterusnya diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama
sejak tahun 2004. Tapi, saya baru membacanya pada tahun ini. Telat memang, yah
karena gairah membaca saya baru bangkit tahun ini hehe. Ck kenapa bukan dari dulu
saya membacanya dan mengetahui penulisnya (oke kita skip saja penyesalannya)
Tentang Cantik Itu Luka

“Sore hari di akhir pekan bulan Maret Dewi Ayu bangkit dari kuburan setelah 21 tahun
kematian.”

Sepenggal kalimat di atas adalah paragraf di awal buku yang sempat membuat saya
berasumsi bahwa buku ini beraliran magis dan juga membuat saya ragu untuk lanjut
membacanya (jangan tanyakan alasannya). Namun rasa penasaran saya akan novel ini
begitu besar dan akhirnya saya memutuskan untuk lanjut membacanya, setelah
membaca beberapa halaman saya sadar bahwa saya salah. Pada kalimat pertama
penulis hanya ingin memancing pembaca agar penasaran apa sebenarnya yang terjadi
kepada Dewi Ayu.

Bagian yg paling saya sukai dari novel ini adalah pada bagian 3 (“Aku gantikan gadis yang
tadi, Komandan. Kau tiduri aku tapi beri ibunya obat dan dokter. Dan dokter!”)

Pada saat itu Dewi Ayu rela mengorbankan dirinya untuk pengobatan ibu dari
sahabatnya Ola van Rijk yang menderita demam hebat. Ia rela “tidur” dengan Komandan
Kamp Jepang dengan imbalan obat dan dokter untuk ibu dari sahabatnya itu. Pada saat
membacanya saya terharu atas kebaikan Dewi Ayu sekaligus emosi dengan komandan
kamp Jepang tersebut, tega sekali dia memanfaatkan situasi seperti itu untuk
memuaskan hasrat seksualnya. Banyak sekali bagian dari novel ini yang memaksa saya
berfikir lebih keras untuk mencerna maknanya (mungkin otak saya terlalu lemot).
Meskipun demikian novel ini sangattt menariik untuk dibaca, rasanya enggan untuk
berhenti membacanya sebelum selesai. Saya bahkan menyelesaikannya dalam waktu
sehari.

Penulis menggambarkan karakter tokoh dengan sangat baik seperti Dewi Ayu, dan anak-
anaknya Alamanda, Adinda, Maya Dewi yang memiliki karakter sangat kuat. Begitu pula
dengan si bungsu Cantika meskipun tak mendapat porsi cerita sebanyak kakak-kakaknya,
tetapi pemaparan tokohnya sudah jelas pada bagian pertama. Dalam novel ini setiap
tokoh dijelaskan dengan sangat detail, penulis tidak pelit dalam memberikan porsi cerita
kepada setiap tokoh . Novel ini diceritakan dengan alur campuran atau maju mundur
dan sudut pandang orang ketiga.

Tokoh yang paling saya sukai pada novel ini adalah Dewi Ayu itu sendiri. Dewi Ayu
dijabarkan sebagai sosok yang baik, ramah, cerdas yang membuatnya lebih tenang di
segala situasi. Saking tenangnya sosok Dewi Ayu ini, pada saat ia menjadi pelacur di
rumah Mama Kalong dan dipaksa melayani hasrat seksual para tentara jepang sangat
tergambar jelas ketenangan dirinya, di saat semua teman-temannya menjerit histeris dia
justru tak menimbulkan kegaduhan apa-apa di dalam kamarnya, ia bagaikan sebongkah
mayat.

Menurut saya buku ini sangat menarik untuk dibaca meskipun ceritanya begitu frontal,
tapi banyak pelajaran hidup di dalamnya dan juga terdapat beberapa bagian yang
menceritakan sejarah kelam pada masa penjajahan. Pokoknya semua perempuan
terutama yang menganggap dirinya cantik wajib banget baca buku ini.

Anda mungkin juga menyukai