Anda di halaman 1dari 22

ANALISIS NOVEL “GUA SERIBU MATA”

KARYA: ARY NILANDARI

ANALISIS INI DITULIS UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA


PELAJARAN BAHASA INDONESIA
SEMESTER GANJIL

DITULIS OLEH: YOGA MAULANA


KELAS XII IPS-4

SEKOLAH MENENGAH ATAS ( SMA) NEGERI 64


JALAN RAYA CIPAYUNG, JAKARTA TIMUR
DAERAH KHUSUS IBU KOTA ( DKI ) JAKARTA
TAHUN PELAJARAN 2018/2019
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, saya
panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan
inayah-Nya kepada saya, sehingga saya dapat menyelesaikan resensi Novel yang berjudul “Gua
Seribu Mata”

Resensi ini telah saya susun dengan semaksimal mungkin dan mendapatkan bantuan dari
berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan resensi ini. Untuk itu saya menyampaikan
banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dan membantu dalam penyelesaian
resensi ini.

Terlepas dari semua itu, saya menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari
segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka saya menerima
segala saran dan kritik dari pembaca agar saya dapat memperbaiki resensi novel ini.

Akhir kata saya berharap semoga resensi novel yang saya buat dapat memberikan
pengetahuan dan ilmu bagi para pembaca dan masyarakat luas.

Jakarta, November 2018

Penulis

2
DAFTAR ISI

PEMBAHASAN…………………………………………………………………………..….4

A. Identitas Buku………………………………………………………………………..4

B. Sinopsis………………………………………………………………………………..4

ANALISIS ISI NOVEL……………………………………………………………………...6

A. Unsur Intrinsik……………………………………………………………………….6

B. Unsur Ekstrinsik……………………………………………………………………19

KESIMPULAN NOVEL……………………………………………………………………22

A. Kelebihan Novel………………………………………………………..……………22

B. Kekurangan Novel…………………………………………………………………..22

3
PEMBAHASAN

A. Identitas Buku

Judul Buku : Gua Seribu Mata


Penulis : Ary Nilandari

Editor : Ryu Tri


Penerbit : Tali Kata Publishing House

Alamat Penerbit : Jl. Celebration Boulevard, Blok AA9, No.22, Grand Wisata Tambun
Selatan, Bekasi 17510

Cetakan : Pertama, Juni 2011

Dicetak Oleh : Doenia Printing

Jumlah Halaman : 128 Halaman

Ukuran Buku : 13x19 cm.

4
B. Sinopsis

Gua Seribu Mata membetot Ilya seperti magnet menarik besi. Sekalipun gua itu
memancarkan cahaya aneh setiap bulan purnama. Sekalipun ada makhluk bermata seribu
yang bersarang di dalamnya. Sekalipun penduduk dengan keras melarang: Jangan dekati gua
itu, jangan masuk ke sana, pokoknya jangan! Kamu akan dibawa makhluk itu dan tak bisa
pulang lagi.

Seperti kejadian yang menimpa ibu Mawar lima tahun lalu. Tapi Ilya tidak asal nekad
mendekati gua itu. Ia ingin membantu Mawar yang merasa kehilangan, dan terus berharap
suatu saat ibunya akan pulang. Bersama Langlang, Ilya menemukan bukti untuk mengungkap
misteri dan keanehan seputar Gua Seribu Mata.

Tapi bukti itu malah menyebabkan Mawar menghilang dari rumahnya, malam-malam
saat hujan angin.

5
ANALISIS ISI NOVEL

A. Unsur Intrinsik

Menurut Nurgiyantoro, 2000: 32) unsur intrinsik adalah unsur yang menyusun atau
merangkai sebuah karya sastra dari dalam, yang mewujudkan struktur suatu karya sastra.
Sedangkan menurut Aminudin (1997:66) unsur intrinsik adalah unsur yang menyusun suatu
karya sastra dari dalam yang mewujudkan struktur sebuah karya sastra.

Unsur-unsur intirnsik yang terdapat pada sebuah novel yaitu.

1. Tema

Tema adalah dasar cerita atau gagasan umum dari sebuah novel (Nurgiyantoro, 2009: 70).
Menurut Aminudin (1995:91) yaitu tema adalah ide yang mendasari suatu cerita sehingga
berperan juga sebagai pangkal tolak pengarang dalam memaparkan karya fiksi yang
diciptanya. Menurut Rusyana (1988:67) berpendapat bahwatema adalah dasar atau makna
sebuah cerita, tema adalah pandangan hidup tertentu atau perasaan tertentu yang
membentuk atau membangun dasar gagasan utama suatu karya sastra, dan semua fiksi harus
mempunyai dasar atau tema yang merupakan sasaran tujuan.

Tema Novel Gua Seribu Mata, karya Ary Nilandari bertemakan seorang anak berusia 11
tahun bernama Ilyasa Umar Rahardian yang ingin banyak tahu tentang dusun yang baru ia
tempati. Ilya menemukan berbagai hal-hal yang menarik dan menggugah rasa ingin tahunya.
Diantara keunikannya yaitu Dusun Kalijaga, dusun tanpa orang muda, dan berbagai keanehan
lainnya seperti makhluk menyeramkan yang disebut “Gendrungkeluwe” yang menculik ibu
Mawar 5 tahun lalu. Makhluk tersebut bersarang di gua dekat kelokan sungai. Setiap bulan
purnama makhluk itu memancarkan cahaya aneh di dalam gua sehingga gua itu disebut
sebagai Gua Seribu Mata.

Hal di atas dapat diperjelas dengan teks dan dialog di bawah ini.

Soal-soal matematika dari Bunda baru dikerjakan separuh. Ia tidak dapat berkonsentrasi karena begitu
kuat untuk menjelajah. Pemandangan yang begitu menarik di kejauhan sana seakan memanggil-
manggil dirinya untuk dating. (Halaman 9)

“Ilya akan melakukan pengamatan dan penelitian!” (Halaman 12)

“Ilya sudah tahu.” Ilya menukas Bunda, semangatnya meluap-luap. Dari sekian banyak daerah yang
pernah ia kunjungi, dusun ini paling menggugah rasa ingin tahunya. Pemandangan alam, orang-

6
orangnya, kebiasaan, dan adat istiadat disini, semua begitu berbeda. Ilya segera bisa melihat beberpa
keunikan, kalau tidak mau disebut keanehan, dan ia penasaran mengapa bisa demikian. “Ilya ingin
menulis tentang misteri penduduk dusun ini.” (Halaman 12-13)

“Ya, kenapa di sini tidak ada orang muda, kenapa hanya ada orang-orang yang sudah tua dan anak-
anak kecil?” (Halaman 13)

Ilya menggeleng tidak yakin. “Entahlah, Bunda. Kalau mereka ada, kita bisa melihat mereka malam
atau pagi-pagi sekali. Kita sudah empat hari di sini, tapi Ilya nggak pernah lihat anak SMA satupun.
Nggak ada lelaki atau perempuan seusia Bunda juga. Yang Ilya lihat cuman anak-anak kecil dan
kakek-nenek.” (Halaman 13)

“Aku nggak tahu bapakku di mana, sudah lama nggak pulang.”

“Ibumu?”

“Gendrungkeluwe.” Mawar menggigit bibir dan menunduk, langkahnya terhenti.

“Apa?” Ilya tak mengerti, dipandangnya Mawar yang terlihat sangat sedih.

Mawar lalu menuntun sepedanya kembali. “Ibuku dibawa Gendrungkeluwe, itu kata Mbah Kun.”
Mawar mengulang kata yang aneh menurut Ilya.

“Pokoknya jangan dekat-dekat gua di kelokan sungai sana. Itu sarang Gendrungkeluwe, kalau bulan
purnama, dia bangun. Orang yang masuk ke sarangnya nggak akan bisa keluar lagi.” Mawar bergidik
ngeri membayangkan Gendrungkeluwe yang menyeramkan. (Halaman 19 )

“Mawar menggeleng. “Kami cuma tahu matanya banyak sekali. Mungkin seribu, bersinar dari dalam
gua. dilihat dari jauh. Makanya gua itu dinamai Gua Seribu Mata. Mas Ilya bisa lihat sendiri nanti saat
bulan purnama. Naik saja ke genteng, lihat ke arah sungai.” (Halaman 20)

“Iya namanya Gua Seribu Mata, tempat Gendrungkeluwe tinggal. Matanya bisa dilihat saat bulan
purnama.” Mawar mengulang penjelasannya. (Halaman 20)

2. Tokoh dan Penokohan

Menurut Aminudin (2002: 79) tokoh adalah pelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita
fiksi sehingga peristiwa itu mampu menjalin suatu cerita. Istilah tokoh mengacu pada
orangnya, pelaku cerita (Nurgiyantoro, 1995: 165). Tokoh adalah salah satu unsur yang
penting dalam suatu novel atau cerita rekaan. Menurut Sudjiman (1988: 16) tokoh adalah
individu rekaan yang mengalami peristiwa atau berlakuan di dalam berbagai peristiwa
cerita. Tokoh pada umumnya berwujud manusia, tetapi dapat juga berwujud binatang atau
benda yang diinsankan. Adapaun pengertian penokohan menurut Jones dalam Nurgiyantoro
7
(1995:165) penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang
ditampilkan dalam sebuah cerita. Menurut Esten (1984:27) mengemukakan bahwa
Penokohan yang baik adalah penokohan yang berhasil menggambarkan tokoh-tokoh tersebut
yang mewakili tipe-tipe manusia yang dikehendaki tema dan amanat. Menurut Sadikin (1999:
23) menjelaskan bahwa setiap pengarang mempunyai cara tertentu dalam melukiskan watak
pelaku. Dalam cerpen, pengarang dapat menggambarkan watak para tokohnya dengan
menggunakan beberapa teknik perwatakan yaitu teknik analitik dan teknik dramatik yaitu
pelukisan watak para tokohnya melalui jalan cerita.

Tokoh dan penokohan pada novel yang berjudul Gua Seribu Mata dibedakan menjadi dua
tokoh utama dan tokoh tambahan/figuran baik yang berperan sebagai protagonis maupun
tritagonis.

Menurut Esten (1984:27) mengemukakan bahwa perotagonis/penokohan yang baik adalah


penokohan yang berhasil menggambarkan tokoh-tokoh tersebut yang mewakili tipe-tipe
manusia yang dikehendaki tema dan amanat. Menurut Nurgiyantoro
(1995:178)mengemukakan bahwa Dilihat dari peran tokoh-lokoh dalam pengembangan
cerita dibedakan atas tokoh-tokoh utama dan tokoh tambahan, sedangkan jika dilihat dari
fungsi penampilan tokoh dapat digolongkan ke dalam tokoh protagonis (tokoh yang kita
kagumi), dan tokoh antagonis (tokoh yang menyebabkan terjadinya konflik). Menurut
Aminudin (2002: 79) tritagonis adalah peran penengah yang bertugas menjadi pendamai
atau pengantara protagonis dan antagonis.

a.Ilyasa Umar Rahardian (Tokoh Utama Protagonis)

Ilya tokoh utama protagonis memiliki sifat yang ingin tahu dan ingin mencoba, seperti pada
kutipan dialog dibawah ini

“Ilya sudah tahu.” Ilya menukas Bunda, semangatnya meluap-luap. Dari sekian banyak daerah yang pernah
ia kunjungi, dusun ini paling menggugah rasa ingin tahunya. Pemandangan alam, orang-orangnya,
kebiasaan, dan adat istiadat disini, semua begitu berbeda. Ilya segera bisa melihat beberpa keunikan, kalau
tidak mau disebut keanehan, dan ia penasaran mengapa bisa demikian. “Ilya ingin menulis tentang misteri
penduduk dusun ini.” (Halaman 12-13)

Ilya tokoh utama protagonis memiliki sifat yang ramah dan peduli, seperti pada kutipan
dialog dibawah ini.

8
“Kamu ikut aku ke rumah Mbah Win, yuk. Aku bawa banyak buku. Kamu bisa pinjam selama aku disini,”
kata Ilya, melompat turun. Lalu mengulrukan tangan untuk membantu Mawar. Wajah Mawar langsung
cerah. Ia menyambut tangan Ilya untuk pegangan. “Mas Ilya baik sekali,” katanya. Entah karena akan
dipinjami buku atau karena dibantu turun.

Ilya tokoh utama protagonis memiliki sifat yang cerdas, seperti pada kutipan dialog dibawah
ini.

“Sini aku ceritakan saja maksudnya.” Ilya menunjuk foto batu-batu beraneka ragam. Mineral bisa
memancarkan cahaya dengan berbagai cara. Ada mineral yang berpendar kalau terkena sinar ultraviolet.
Gejala ini disebut fluoresen. Ada mineral yang terus berkilau meskipun sudah terkena sinar. Namanya
fosforesen. Ada juga mineral yang berpendar kalau dipanaskan, itu termoluminesen. Terakhir, mineral yang
memancarkan cahaya kalau dipukul atau diremukkan, Triboluminesen, namanya” (Halaman 88-89)

“Ya itu sebabnya gua berpendar hanya kalau bulan sedang purnama dan berada tepat di atas lubang. Aku
beruntung bisa melihatnya sekarang . Di lain waktu, purnama bisa bergeser.” Ilya tak kalah bersemangat,
sang peneliti berbakat sedang beraksi lagi. Misteri Gua Seribu Mata akan terungkap sebentar lagi. “Tapi ada
satu hal yang membuatnya bingung.” (Halaman 89-90)

b.Mawar / Ela (Tokoh Utama Protagonis)

Mawar tokoh utama protagonis memiliki sifat yang mudah sedih, seperti yang digambarkan
pada kutipan dialog dibawahi ini.

Gadis kecil itu langusung melompat bangun. Matanya membulat ketakutan, bibirnya bergetar menahan
tangis. “A-a-ku nggak sengaja… A-a-aku benar-benar nggak sengaja…” (Halaman 16-17)

“Gendrungkeluwe.” Mawar menggigit bibir dan menunduk, langkahnya terhenti.

“Apa?” Ilya tak mengerti. Dipandangnya Mawar yang terlihat sangat sedih. (Halaman 19)

Mawar tokoh utama protagonis memiliki sifat yang keras kepala seperti digambarkan pada teks dibawah
ini.

“Mungkin… mungkin makhluk itu bersembunyi…” Mawar berkeras, membuat Ilya mengangkat alis karena
heran. Mestinya Mawar senang dengan pembuktian ini. Tak ada makhluk apa pun di dalam gua tersebut
(Halaman 91)

Ilya melanjutkan dengan pengamatannya tentang pendaran seribu mata di gua. Lalu sikap Ela ketika
mendengar kesimpulannya. Terakhir, Ilya bercerita tentang isi buku Istana Kaki Langit. Karena buku itu
ditemukan di undakan ke sungai, Ilya menduga Ela pergi mencari ibunya di Gua Seribu Mata. Ela tak mau
percaya di sana tidak apa-apa. Karena kalau ia percaya, Ela tak tahu lagi ke mana ibunya. Bisa jadi, harapan
ibunya akan pula noun jadi hancur. (Halaman 101)

9
c.Langlang (Tokoh Utama Protagonis)

Langlang tokoh utama protagonis yang memiliki sifat periang seperti digambarkan pada teks
di bawah ini.

Sesaat Langlang seperti mengingat-ingat. Keningnya berkerut rapat, Ilya sampai khawatir jerawat
matangnya di jidatnya akan meletus oleh lipatan kulit. Lalu tiba-tiba tawanya meledak keras sekali.
Tubuhnya beguncang-guncang, lalu ia terkapar, meringkuk, dan mendekap perut. Air mata berleleran,
Langlang benar-benar tertawa lepas. (Halama 37-38)

“Bukan Gedrangkel, tapi Gendrungkeluwe.” Langlang menyeringai, berusaha untuk tidak kembali tertawa.
Raut wajahnya masih terlihat menertawakan Ilya. (Halaman 38)

Langlang tokoh utama protagonis yang memiliki sifat pemberani, seperti digambarkan pada
teks di bawah ini.

Langlang melepas sandal dan kaus, menumpuknya di tempat aman, lalu masuk ke air yang mencapai
dadanya. Arus bergolak menelannya, Langlang berenang dengan kedua tangan merambati tambang. Pelan-
pelan maju, beberapa kali terseret balik ketika ia tidak cukup kuat menggerakan kaki, tapi akhirnya dia
menghilang di balik tebing. (Halaman 71)

“Aku akan membalas kebaikanmu, akan kuantarkan kamu sekali lagi ke sana. Ada jalan lain yang pasti
tidak akan ketahuan.” (Halaman 77)

Langlang tidak membuang waktu. “Kita akan keluar dari gerbang dusun, lalu ke jalan raya dan
menyeberangi jembatan. Memang lebih jauh, tapi lebih terjamin aman” (Halaman 77)

3. Alur atau Plot

Menurut (Luxemburg, 1986 :150) alur ialah peralihan dari satu keadaan ke keaadan yang
lain.Menurut(Saad dalam Lukman Ali, 1967: 120). alur adalah sambung-sinambungnya
peristiwa berdasarkan hukum sebab akibat. Menurut (M. Antar Semi,1988) menyatakan Alur
adalah struktur rangkaian kejadian dalam cerita yang disusun sebagai sebuah interelasi
fungsional yang sekaligus menandai urutan bagian-bagian dalam keseluruhan fiksi. Menurut
(Prihatmi, 1987: 79) dibedakan antara alur lurus dan alur tak lurus. Alur lurus merupakan
alur yang kronologis. Alur tak lurus yaitu alur yang urutan waktunya tak kronologis.

Alur dan pengaluran pada novel yang berjudul Gua Seribu Mata karya Ary Nilandari
menggunakan alur maju karena peristiwa yang terjadi pada cerita tersebut sesuai dengan
urutan waktu. Peristiwa terjadi dari waktu ke waktu dengan rentang waktu yang berurutan.
10
Dalam Novel Gua Seribu Mata secara bertahap menurut waktu satu demi satu misteri tentang
gua tersebut terungkap Adapun alur dan pengaluran pada novel ini melalui beberapa tahapan
di antaranya tahap orientasi, konflik, komplikasi, resolusi dan koda.

Perkenalan
Perkenalan pada novel ini digambarkan saat Ilya menetap di Dusun Kalijaga untuk mengikuti
ayahnya yang sedang bertugas. Dusun Kalijaga berada di tepi Sungai Comal, Jawa Tengah.
Baru beberapa hari menetap di desa tersebut Ilya sudah menemukan beberapa hal-hal
menarik dari desa tersebut. Hal tersebut mendorong dirinya untuk mencari tahu lebih dalam
tentang desa tersebut. Ilya bertemu dengan seorang anak yang bernama Mawar. Mawar
mengungkapkan di desa tersebut ada makhluk misterius yang disebut Gendrungkeluwe.
Makhluk tersebut bersembunyi di gua dekat kelokan sungai, dan setiap bulan purnama gua
tersebut memancarkan sinar sehingga disebut Gua Seribu Mata.

Soal-soal matematika dari Bunda baru dikerjakannya separuh. Ia tidak bisa berkonsentrasi
karena keinginannya begtiu kuat untuk menjelajah. Pemandangan yang begitu menarik di
kejauhan sana seakan memanggil-manggil dirinya untuk datang. (Halaman 9)

Mata Ilya melebar, berbagai gagasan langsung muncul di benaknya. Sejak kemarin kepalanya
serasa mau pecah karena banyak hal menarik berjejelan. Ia sudah ingin menuangkannya ke dalam
buku harian, tapi waktunya selalu habis untuk mengerjakan yang lain. Menjelang tidur, ia sudah
terlalu capek untuk menulis. Dengan tugas ini, ia akan bebas menulis sepuas hatinya, dan ada alas
an untuk berjalan-jalan ke mana saja (Halaman 12)

“Ilya sudah tahu.” Ilya menukas Bunda, semangatnya meluap-luap. Dari sekian banyak daerah yang
pernah ia kunjungi, dusun ini paling menggugah rasa ingin tahunya. Pemandangan alam, orang-
orangnya, kebiasaan, dan adat istiadat disini, semua begitu berbeda. Ilya segera bisa melihat beberpa
keunikan, kalau tidak mau disebut keanehan, dan ia penasaran mengapa bisa demikian. “Ilya ingin
menulis tentang misteri penduduk dusun ini.” (Halaman 12-13)

“Gendrungkeluwe.” Mawar menggigit bibir dan menunduk, langkahnya terhenti.

“Apa?” Ilya tak mengerti. Dipandangnya Mawar yang terlihat sangat sedih. (Halaman 19)

“Pokoknya jangan dekat-dekat gua di kelokan sungai sana. Itu sarang Gendrungkeluwe. Kalau bulan
sedang purnama, dia bangun. Orang yang masuk ke sarangnya nggak akan bisa keluar lagi,” Mawar
bergidik ngeri membayangkan Gendrungkeluwe yang menyeramkan” (Halaman 19)

“Mawar menggeleng. “Kami cuma tahu matanya banyak sekali. Mungkin seribu, bersinar dari dalam
gua. Bisa dilihat dari jauh. Makanya gua itu dinamai Gua Seribu Mata. Mas Ilya bisa lihat sendiri nanti
saat bulan purnama. Naik saja ke genteng, lihat ke arah sungai.” (Halaman 20)

11
“Iya namanya Gua Seribu Mata, tempat Gendrungkeluwe tinggal. Matanya bisa dilihat saat bulan
purnama.” Mawar mengulang penjelasannya. (Halaman 20)

Konflik Awal

Konflik awal pada novel ini digambarkan saat Ilya bertemu seorang remaja kelas 2 SMP,
Langlang namanya. Langlang menjelaskan tidak ada makhluk yang bernama
Gendrungkeluwe. Makhluk tersebut hanyalah karangan dari mbah-mbah agar anak kecil
menjauh dari gua, karena banjir bandang bisa saja terjadi. Namun Langlang tidak bisa
menjelaskan tentang seribu mata yang menyorot dari dalam gua. Bersama dengan Mawar dan
anak-anak yang lain Ilya pergi ke sungai. Sungai Comal namanya, tempat Gua Seribu Mata
berpendar.

Langlang mendesah, tangannya menggaruk rambutnya dengan kencang. “Yang paling dipantang
adalah masuk gua di kelokan sungai. Mbah Kun mengarang-ngarang makhluk itu. Ya… si
Gendrungkeluwe untuk menakuti anak-anak, terutama Ela, agar menjauh dari gua. Karena banjir
bandang bisa terjadi kapan saja, tak terduga, sangat berbahaya kalau anak-anak bermain di dalam gua.
Mereka bisa terjebak di dalamnya.” (Halaman 39)

“Lalu, bagaimana dengan seribu mata yang menyorot dari dalam gua saat purnama? Apa sebenarnya
itu? Benarkah bisa dilihat dari genteng”

“Kalau itu, kamu harus lihat sendiri, bulan purnama dua malam lagi. Semoga kamu beruntung.
(Halaman 41)

Mawar menunjuk ke kiri. “Agak jauh kea rah hulu sungai berkelok di sana, gua itu ada di seberang
tapat di tengah dinding tebing.” (Halaman 53)

Klimaks

Klimaks pada novel ini digambarkan saat Ilya dan Langlang nekat untuk pergi ke Gua Seribu
Mata untuk mengungkap faktanya. Tinggal selangkah lagi akan masuk Mbah Rum berteriak
menyuruhnya kembali. Ilya kecewa , mengangguk dan beranjak turun. Pukul 17.40 dari atas
genteng Ilya, Langlang, dan Mawar melihat dari kejauhan pendaran terang dari dalam gua.
Pendaran tersebut diyakini oleh Ilya murni gejala alam.

Dengan hati-hati keduanya memanjat, memastikan batu-batu itu tertanam kokoh sebelum
menginjaknya. Tapi karena besar batu tidak rata , kadang Ilya harus bersusah payah mengangkat tubuh
ke batu berikutnya. Seperti pemanjat tebing pikirnya Cuma tanpa peralatan pengaman. Nekad, Ilya jadi
12
merasa bersalah karena pergi tanpa sepengetahuan Bunda. Tapi Bunda sudah cukup terbebani oleh
keadaan Mbah Win, tak perlu ditambah lagi kisah takhayul ini. (Halaman 72)

Ia menjenguk ke dalam, ternyata gua tidak segelap seperti yang dilihatnya dari bawah. Di dalam sana,
ada berkas sinar matahari yang masuk melalui atap gua, seperti lampu sorot. (Halaman 73)

“JANGAN MASUK! JANGAN MASUK!” Ilya berbalik, matanya mencari-cari asal suara. Di sana, di
atas tebing seberang, seorang nenek memekik-mekik menyuruhnya kembali. (Halaman 73)

Tanpa memedulikan Langlang dan Mawar, Ilya turun dari genteng, berlari ke kamarnya. Mengeluarkan
buku-buku dari kotak plastik besar, lalu menemukan buku tebal yang dicarinya. The Big Book of
Natural Phenomena, buku yang memuat aneka fenomena alam. (Halaman 88)

“Sini aku ceritakan saja maksudnya.” Ilya menunjuk foto batu-batu beraneka ragam. Mineral bisa
memancarkan cahaya dengan berbagai cara. Ada mineral yang berpendar kalau terkena sinar
ultraviolet. Gejala ini disebut fluoresen. Ada mineral yang terus berkilau meskipun sudah terkena sinar.
Namanya fosforesen. Ada juga mineral yang berpendar kalau dipanaskan, itu termoluminesen.
Terakhir, mineral yang memancarkan cahaya kalau dipukul atau diremukkan, Triboluminesen,
namanya” (Halaman 88-89)

“Ya itu sebabnya gua berpendar hanya kalau bulan sedang purnama dan berada tepat di atas lubang.
Aku beruntung bisa melihatnya sekarang . Di lain waktu, purnama bisa bergeser.” Ilya tak kalah
bersemangat, sang peneliti berbakat sedang beraksi lagi. Misteri Gua Seribu Mata akan terungkap
sebentar lagi. “Tapi ada satu hal yang membuatnya bingung.” (Halaman 89-90)

Anti Klimaks

Anti klimaks pada novel ini digambarkan saat Mawar menghilang dari rumahnya malam-
malam saat hujan angin. Mawar ingin mencari ibunya yang sudah lima tahun menghilang di
dekat Gua Seribu Mata. Sementara Ilya, Langlang dan orang-orang dewasa lainnya mencari
Marw, menysuri sungai memanjat dinding tebing sampai kepada ke Gua Seribu Mata.

“Kami sudah mencari ke semua rumah di dusun. Lalu ke sungai, sampai undakan saja karena tak
mungkin turun. Air sungai meluap menutup semua batuan di tepian.” Langlang menggeleng prihatin.
“Hanya menemukan buku itu, berarti Ela ke sana tadi malam, mungkin sebelum hujan.” (Halaman 100)

“Tidak ada yang mengatakan dengan jujur kepada Ela bahwa ibunya menjadi korban banjir bandang?”
Ilya menggigit bibir. “Mungkinkah setelah sekian lama, kita masih bisa berharap ia selamat?”
(Halaman 103)

“Sudah dipanggil-panggil, tapi tak ada sahutan, aku harus turun memeriksa.” Pakde Sam memeriksa
ikatan ujung tambang pada pohon jati terdekat. Lalu ia naik ke pagar sumur, dan menuruni lubang,
seperti yang dikatakan Langlang, sepedanya bisa dimasukkan secara melintang ke dalam lubang. Garis
13
tengah lubang lebih dari semeter, tapi hanya di permukaan tanah. Di dalam tampak rongga gua yang
luas. (Halaman 109-110)

Rongga gua seperti kubah besar, mungkin luasnya sebanding dengan garasi untuk tiga mobil. Semua
dinding dan lantai dari cadas keras, bertonjolan seperti bisul dan jerawat. Inilah seribu mata yang
berpendar, pikir Ilya. Dalam situasi lain, ia akan betah berlama-lama di sini untuk meneliti. Temapt itu
menakjubkan, dalam siraman sinar mentari pagi dari lubang sumur, meskipun tidak berpendar warna-
warni, rongga itu seterang ruangan di dalam rumah dengan jendela terbuka. Hangat dan nyaman, kokoh
dan bersih. (Halaman 111)

Resolusi

Resolusi pada novel ini digambarkan saat Ilya, Langlang, dan para warga menemukan Mawar
yang hilang. Tidak lama setelah kejadian itu, Ilya harus berpisah dengan Mawar, Langlang,
dan dusun yang menyimpan seribu kenangan. Ilya harus pergi ke Bandung mengikuti kedua
oaring tuanya.

Orang-orang berkumpul di tebing seberang, para mbah, anak-anak kecil mereka menyambutnya
dengan lambaian gembira. Bersorak seperti rakyat menyambut pangeran di balkon istana. Tak peduli
gerimis masih rapat, lalu Ilya melihat penyebab keceriaan itu. Marwa berdiri di sana, dalam pelukan
Mbah Kun, tampak sehat tak kurang apapun. (Halaman 111)

“Aku mau menunjukkan Istana Kaki Langit pada Mia, mau mengajaknya…eh, membantu aku mencari
ibu. Seperti Maira dan Lerian.” Mata Mawar berkaca-kaca. Tangannya mengusap butiran air mata yang
jatuh di pipinya. (Halaman Halaman 115)

Ilya paling benci perpisahan, kenapa selalu terjadi pada saat hatinya sudah mulai berakar di tempat.
Dicabut dan dipindahkan lagi, rasanya sakit untungnya Ayah membawa kabar bagus untuknya. Dari
sini, mereka akan ke Bandung, ayah akan memberikan semacam pelatihan dan Bunda
mendampinginya. (Halaman 119)

Lalu ia naik ke mobil, Ayah membuka semua jendela agar Ilya bisa melambaikan tangan kepada semua
orang. Mereka berdiri berjajar di kanan-kiri jalan, melepaskan kepergiannya. (Halaman 124)

4. Setting atau Latar

Menurut (Indrawati “2009:64”) latar atau setting merupakan tempat, waktu, dan suasana
yang digunakan dalam suatu cerita.Menurut (Suparmin “2009:54”) latar cerita atau setting
ialah sesuatu keadaan yang melingkupi pelaku dalam sebuah cerita. Dan menurut (Kusnadi

14
Dkk “2009:60”) latar tempat atau latar waktu dalam karya sastra akan mempengaruhi inti
cerita dan pengambilan nilai-nilai yang ingin diungkapkan pengarang.

Latar Waktu

Latar waktu dalam novel ini yaitu pagi hari, siang, sore, dan malam hari seperti yang
digambarkan pada teks dan kutipan di bawah ini.

Pagi-pagi, orang-orang lanjut usia biasanya sudah keluar, dan lewat depan rumah Mbah Win. Ada yang
menuju sungai membawa cucian, ada yang berjualan dan berbelanja, dan banyak yang menggendong dan
menyuapi bayi. (Halaman 14)

Ilya membereskan buku-bukunya, menyimpannya di kamar. “Pergi Sekarang?” tanyanya. Jam dinding
menunjukkan pukul 13.40. (Halaman 67)

Mbah Tin memanggilnya masuk, azan magrib sudah terdengar. Suara pecah Langlang memecahkan diri.
(Halaman 65)

Keresahan Ilya terbawa sampai malam, ia bolak-balik di tempat tidur, sulit memejamkan mata. (Halaman
93)

Latar Tempat

Latar tempat dalam novel ini yaitu di Dusun Kalijaga, Sungai Comal, dan Gua Seribu Mata,
seperti yang digambarkan pada teks dan kutipan di bawah ini.

Dusun Kalijaga di tepi Sungai Comal, Jawa Tengah, adalah desa kecil yang unik. Penghuninya hanya
orang-orang yang sudah tua dan anak-anak. Kakek-nenek dengan cucu-cucu mereka, mengapa bisa
begitu? Apa yang terjadi pada orang-orang mudanya? (Halaman 16)

Dicelupkannya satu kaki ke air yang jernih itu. Aaah, sejukna, Ilya menjadi bersemangat , ia berdiri di
atas batu siap-siap terjun. Anak-anak pun menyibak, dengan gerakan perenang sejati Ilya melompat ke
air. Sungai menerima tubuhnya dengan tenang, tanpa bunyi. (Halaman 55)

Rongga gua seperti kubah besar, mungkin luasnya sebanding dengan garasi untuk tiga mobil. Semua
dinding dan lantai dari cadas keras, bertonjolan seperti bisul dan jerawat. Inilah seribu mata yang
berpendar, pikir Ilya. Dalam situasi lain, ia akan betah berlama-lama di sini untuk meneliti. Temapt itu
menakjubkan, dalam siraman sinar mentari pagi dari lubang sumur, meskipun tidak berpendar warna-
warni, rongga itu seterang ruangan di dalam rumah dengan jendela terbuka. Hangat dan nyaman, kokoh
dan bersih. (Halaman 111)

Latar Suasana

15
Latar suasana dalama novel ini yaitu menyedihkan, menegangkan, menakutkan seperti yang
digambarkan pada teks dan kutipan dialog di bawah ini.

“Gendrungkeluwe.” Mawar menggigit bibir dan menunduk, langkahnya terhenti.

“Apa?” Ilya tak mengerti. Dipandangnya Mawar yang terlihat sangat sedih. (Halaman 19)

Pelan-pelan Ilya turun ke air, beberapa kali ia terkejut mendapat air di antara batu-batu itu ternyata
dalam seperti lubang. Ilya buru-buru memanjat batu berikutnya, khawatir ada belut atau ular bersarang
di dalamnya. Ilya bergidik ngeri jika benar ada ular di dalam lubang itu. (Halaman 57)

Ilya memutar badan, ternyata ia sudah Jauh memisahkan diri. Gani dan kawan-kawan tampak berseru-
seru memanggilnya. Mbah kun juga berdiri di atas batunya, melambai-lambai dengan panik. Suara
serak sayup-sayup menyuruhnya kembali, semua memanggil dan melambai kepadanya. (Halaman 58)

Ke mana Mawar pergi? Bagaiamana kalau terjadi apa-apa padanya? Berlindung di mana anak itu
dalam siraman hujan begini? Tak ada yang menemani. (Halaman99)

Ilya mengabaikannya, Sungai di bawahnya tampak garang. Airnya coklat mengisi dari dinding tebing
sini ke dinding tebing seberang. Tak terlihat lagi batu-batu kambing, gajah, dan kerbau. Bahkan
beberapa tangga bawah terendam, cepat sekali sungai ini berubah bentuk oleh hujan semalaman.
(Halaman 106)

5. Sudut Pandang

Menurut Heri Jauhari (2013:54) Sudut pandang disebut dengan pusat narasi yaitu penentu
corak dan gaya cerita. Waatk dan kepribadian dari pencerita akan banyak menentukan
cerita yang disajikan kepada pembaca. Keputusan seorang pengarang dalam hal
menentukan siapa yang menceritakan kisah menentukan apa yang terdapat dalam cerita.
Apabila pencerita berbeda, detail-detail cerita yang dipilih nantinya juga akan berbeda.
Menurut Atar Semi (1988:51) Menyebutkan bahwa istilah sudut pandang, atau pusat
pengisahan atau point of view adalah posisi dan penobatan diri seorang pengarang dalam
ceritanya, atau dari mana seorang pengarang melihat peristiwa-peristiwa yang ada dalam
sebuah cerita. Menurut Montaqua dan Henshaw (1966:9) sudut pandang membedakan
kepada pembaca, siapa yang menentukan struktur gramatikal narati dan siapa yang
menceritakan. Siapa yang menceritakan cerita adalah hal yang begitu penting, dalam
menentukan apa yang ada dalam cerita, pencerita yang berbeda juga akan melihat benda-
benda secara berbeda.

16
Sudut pandang Novel Gua Seribu Mata menggunakan sudut pandang orang ketiga serba tahu,
karena si penulis menceritakan apa saja terkait tokoh utama. Ia seakan tahu benar tentang
watak, pikiran, perasaan, kejadian, bahkan latar belakang yang mendalangi sebuah kejadian.
Ia seperti seorang yang maha tahu tentang tokoh yang sedang ia ceritakan, menggunakan kata
ganti “ia” atau “dia”. Selain itu kata ganti yang biasa digunakan ialah nama dari si tokoh itu
sendiri.

Sudut pandang Novel Gua Seribu Mata menggunakan sudut pandang orang ketiga serba tahu,
adapaun teks dan kutipan yang menggambarkan hal ini yaitu.

“Ilyasa Umar Rahardian!”

Ilya menoleh terkejut. Namanya disebutkan lengkap berarti Bunda mulai tak sabar. Benar, Bunda
sudah berdiri di sana, entah sejak kapan (Halaman 9)

Ilya merasa tidak nyaman dengan tatapan Mawar. Ia buru-buru mengalihkan pandangan kea rah pos,
suasana sepi. (Halaman 23)

Ilya sedang membaca di kamar ketika pintu depan diketuk keras-keras. Siapa malam-malam begini
bertamu?

6. Gaya Bahasa
Bahasa sesuai dengan pendapat Siswandarti (2009: 44) merupakan jenis bahasa yang
dipakai pengarang, sebagai contoh misalnya gaya pop untuk remaja, gaya komunikatif, atau
jenis bahasa yang kaku (seperti pada cerita terjemahan). Nurgiyantoro (2009: 272) juga
berpendapat bahwa bahasa merupakan sarana pengungkapan yang komunikatif dalam
sastra.Dan menurut (Ambrams, 1981: 190-1 via Nurgiyantoro, 2009: 276) Gaya bahasa
(style) merupakan cara pengucapan pengarang dalam mengemukakan sesuatu terhadap
pembaca.

Penggunaan bahasa dalam Novel Gua Seribu Mata menggunakan gaya bahasa hiperbola,
yaitu gaya bahasa yang berupa suatu pernyataan yang terlalu berlebihan dari kenyataan yang
ada dengan maksud untuk memberikan kesan yang mendalam bagi pembaca. Seperti pada
teks dan kutipan dialog di bawah ini.

Sesaat Langlang seperti mengingat-ingat, keningnya berkerut rapat. Ilya sampai khawatir jerawat
matang di jidatnya akan meletus oleh lipatan kulit. Lalu tawanya tiba-tiba meledak keras sekali.
Tubuhnya berguncang, lalu ia terkapar, meringkuk, mendekap perut, air mata berleleran. Langlang
benar-benar tertawa lepas. (Halaman 37-38)
17
Gua Seribu Mata membetot Ilya seperti megnet menarik besi. (Sinopsis)

7. Amanat

Menurut (Kenny, 1966: 89 via Nurgiyantoro, 2009: 321) Amanat atau nilai moral merupakan
unsur isi dalam karya fiksi yang mengacu pada nilai-nilai, sikap, tingkah laku, dan sopan
santun pergaulan yang dihadirkan pengarang melalui tokoh-tokoh di dalamnya. Menurut
Siswandarti (2009: 44) adalah pesan-pesan yang ingin disampaikan pengarang melalui
cerita, baik tersurat maupun tersirat. Dan Amanat Menurut Sadikin (2010) Amanat adalah
pemecahan yang diberikan oleh pengarang bagi persoalan di dalam karya sastra. Sadikin
menambahkan amanat biasa disebut makna. Makna yang diniatkan oleh pengarang disebut
makna niatan, sementara makna muatan adalah makna yang termuat dalam karya sastra
tersebut. Amanat pada novel Gua Seribu Mata karya Ary Nilandari berupa :

1. Sesuatu hal yang ingin kita capai, maka kamu harus berusaha dan berjuang
menggapainya.
2. Keberanian dan rasa saling percaya bisa membuatmu mengungkap misteri yang
sebelumnya misteri itu tidak pernah tersentuh.

18
B. Ekstrinsik

Unsur Ekstrinsik menurut Nurgiyantoro (2009:23) adalah unsur yang berada di luar karya
fiksi yang mempengaruhi lahirnya karya namun tidak menjadi bagian di dalam karya fiksi itu
sendiri. Sebelumnya Wellek dan Warren (1956 via Nurgiyantoro, 2009:23) juga berpendapat
bahwa unsur ekstrinsik merupakan keadaan subjektivitas pengarang yang tentang sikap,
keyakinan, dan pandangan hidup yang melatarbelakangi lahirnya suatu karya fiksi, dapat
dikatakan unsure biografi pengarang menentukan cirri karya yang akan dihasilkan.

1.Unsur Biografi

Biografi merupakan unsur tentang latar belakang penulis, diantaranya seperti tempat tinggal
penulis, keluarganya, latar belakang pendidikannya, lingkungannya, dan lain sebagainya.

Biografi Penulis

Ary Nilandari, lahir di Cirebon 19 September 1968. Mempunyai 3 orang putra Irfan, Farras,
dan Azman, dari pernikahannya dengan Taufik Siswanto. Ibu dari tiga putra ini adalah
penulis. penerjemah, dan editor yang cukup produktif. Jumlah buku anak yang pernah ia tulis
sudah sekitar 35 judul, di antaranya “Pertunjukan Besar Barongan Kecil”, “Rotan Pun Jadii”,
“Dari Batu ke Batu”, “Ketika DamDam Kehilangan Wajahnya”, “Aku Ingin Pulang” , 365
Kisah Mencerdaskan untuk Ananda”, dan “Nathan Sang Penjelajah Mimpi”.

Selain itu Ary juga menulis novel dewasa berjudul “Pangeran Bumi Kesatria Bulan”,
sejumlah cerpen remaja dan dewasa untuk majalah, serta 100 karya terjemahan dan
suntingan. Di dalam blognya, arynilandari.wordpress.com, dan rumah mayanya,
www.arynsis.multiply.com. Ary menuturkan pengalamannya sebagai penggiat bacaan anak
serta berbagi pengetahuan tentang penulisan buku anak.
19
`2. Unsur Sosial Budaya

Kondisi sosial merupakan kondisi yang berhubungan dengan norma-norma yang ada dalam
kehidupan masyarakat (adanya tenggang rasa, saling menolong, saling memberi). Sedangkan
kondisi budaya merupakan konsep masalah dasar yang begitu penting dan mempunyai nilai
dalam kehidupan manusia (kesenian, kepercayaan, upacara adat, adat istiadat). Kondisi sosial
maupun kondisi budaya yang ada di lingkungan pengarang berperan penting dalam
terbentuknya sebuah karya sastra.

Dalam novel Gua Seribu Mata unsur sosial dan budaya yang ada masih sangat kental
terutama pada kalangan mbah-mbah yang tinggal di dusun tersebut. Mereka masih
mempercayai dan memegang teguh adat yang telah diwarisi turun-temurun. Unsur sosial
budaya dapat digambarkan dari kutipan dan teks di bawah ini.

Tiap pagi Ilya melihat kakek-nenek menggendong anak kecil dengan kain, pemendangan ini membuat
Ilya heran sekaligus resah. Sangat tidak lazim, kemana orang tua anak-anak itu. (Halaman 14)

“Pergi ke kota besar, ke Semarang, Jogja, Solo, atau Jakarta. Orang-orang muda lainnya juga begitu.”
Mawar terkikik geli. “Jadi, mereka nggak dibawa Gendrungkeluwe, tapi pindah ke kota besar karena
ingin cari uang yang banyak. Kalau disini terus, ya miskin terus, katanya.” (Halaman 25)

Langlang mengangguk. “Seperti orang-orang tua disini, Mbah Kun sangat percaya takhayul. Nggak
boleh duduk di ambang pintu, nggak boleh berpergian hari sabtu, nggak boleh pakai baju hijau di
sungai. Macam-macam deh pantangannya, sering tidak masuk akal pantangannya, tapi mereka sangat
keras melarang. (Halaman 39)

3.Unsur Moral

Merupakan nilai yang berhubungan dengan kepribadian atau budi pekerti atau akhlak
seseorang entah itu baik maupun buruk.

Dalam Novel Gua Seribu Mata nilai moral yang ditunjukkan merupakan nilai moral yang
menjunjung adat istiadat yang ada, sehingga nilai moral yang dijalankan selaras dengan nilai-
nilai kepatutan masyarakat. Unsur moral pada Novel Gua Seribu Mata dapat digambarkan
dalam kutipan dan teks di bawah ini.

Ilya tersenyum, ia hanya bersikap seperti yang dicontohkan Ayah dan Bunda. Itulah patokannya,
karena kebiasaan di setiap daerah, setiap negara berbeda-beda dan sering membuatnya bingung
(Halaman 29)

20
Sesaat kemudian Mbah Kun muncul lagi membawakan segelas the dan sepiring wajik. Ilya
mengucapkan terima kasih dan menyeruput tehnya. (Halaman 46)

Maka tanpa ragu lagi Mawar melonjak-lonjak gembira, di dekapnya buku-buku itu. Matanya
berbinar. “Terima kasih Mas Ila, terima kasih juga yak ke Bude Nesia, ya? Oh tidak, nanti
aku ke rumah Mbah Win saja, bilang terima kasih sendiri ke Bude” (Halaman 47)

4.Nilai Agama

Merupakan sikap atau perilaku yang didasarkan pada kaidah atau aturan agama yang kita
anut. Biasanya nilai ini dapat diketahui dengan symbol agama tertentu, kutipan atau dalil dari
suatu kitab suci, dan penggambaran nilai-nilai kehidupan yang dilandasi ajaran agama yang
bersifat universal.

Dalam Novel Gua Seribu Mata tergambarkan agama yang di anut adalah agama Isam, secara
jelas Novel Gua Seribu Mata menyebutkan hal tersebut lewat kutipan dan teks pada novel
tersebut.

Ilya mengunjungi salah satu rumah yang masih sederhana ini setelah salat Ashar. Menuntun sepeda Mawar dan
menjinjing plastik berisi buku. (Halaman 43)

Mbah Tin memanggilnya masuk , azan Magrib sudah terdengar. Suara pecah Langlang memaksakan diri,
melengkik serak, menyakitkan telinga (Halaman 65)

Sesekali terdengar suara gluduk menyeramkan, Ilya menggumamkan asma Allah, hujan pertama yang
menghapus musim kemarau. (Halaman 95)

Ilya mendekati Mawar, meraih tangan anak perempuan itu dan menggenggamnya erat. “Aku ikut berduka
tentang ibumu, aku berdoa agar ibumu mendapatkan tempat yang baik di sisi Allah.” (Halaman 116)

21
KESIMPULAN

A. Kelebihan Buku

Kelebihan novel Gua Seribu Mata yaitu dari segi tata bahasanya yang sangat mudah
dipahami oleh berbagai kalangan usia, dengan ukuran tulisan yang sesuai membuat novel
Gua Seribu Mata tidak akan membuat mata kita jenuh dan sakit ketika membacanya. Gua
Seribu Mata mengajak pembaca untuk berimajinasi dan memecahkan teka-teki yang ada
didalamnya. Novel ini juga menyisipkan kejutan-kejutan sehingga para pembaca tertarik
untuk membacanya. Dikarenakan novel ini diperuntukkan untuk anak-anak, Gua Seribu Mata
menyajikan cerita yang tidak terlalu panjang dan juga tidak terlalu pendek. Jumlah
halamannya ada 128 dengan isi cerita yang ringan tetapi menarik. Sampul depan novel Gua
Seribu Mata menyajikan gambar yang bagus dan berwarna. Gambarnya sangat cocok dengan
judul dan isi ceritanya.

B. Kekurangan Buku

Kekurangan novel Gua Seribu Mata yaitu dari kertasnya. Kertas yang digunakan dalam buku
ini tidak tebal sehingga mudah sobek. Gambar yang ada dalam novel ini juga dicetak hitam
putih, padahal anak-anak sangat meyukai cerita dengan gambar berwarna. Banyak tokoh
figuran yang dimunculkan yaitu tokoh yang sudah lanjut usia, perannya dirasa tidaklah
penting untuk dimunculkan tokohnya. Ending cerita kurang memberikan kesan kepada para
pembaca.

22

Anda mungkin juga menyukai