1
dari penyusunan makalah ini yaitu, menambah khasanah ilmu pengetahuan yang
baru walaupun dalam novel, serta memperluas wawasan tentang novel lama yang
menggambarkan masa lalu dan cenderung lebih banyak mengandung nilai
pendidikan.
2
BAB II Pembahasan
2.2 Sinopsis
Bumi Manusia merupakan novel Pramoedya yang ditulis dalam rangkaian
roman Pulau Buru. Novel ini berkisah tentang kehidupan pemuda bernama Minke,
seorang pribumi yang mendapat pendidikan Eropa di H.B.S. Minke suatu hari
diajak teman sekolahnya berkunjung ke rumah bangsawan Belanda di daerah
Wonokromo. Di rumah itu hidup keluarga Mellema yang terdiri atas tuan Herman
Mellema, gundiknya (Nyai Ontosoroh), dan kedua anaknya (Robert Mellema dan
Annelies Mellema).
Pada kunjungannya itu, Minke disambut dingin oleh Robert Mellema
karena ia tidak suka bergaul dengan orang pribumi. Padahal, ia adalah anak hasil
hubungan orang Indo dan pribumi. Akan tetapi, sambutan berbeda diberikan oleh
Annelies dan ibunya. Kedua perempuan tersebut dengan senang hati menerima
Minke sebagai tamunya. Pertemuan Minke dan Annelies memunculkan perasaan
suka di antara keduanya.
Singkat cerita, Annelies menjadi sangat bergantung dengan Minke. Ia
melalui ibunya, Nyai Ontosoroh, meminta Minke tinggal di rumahnya, Boerderij
Buitenzorg. Minke memutuskan untuk 18 tinggal di rumah itu setelah mendengar
masukan dari sahabatnya, Jean Marais, seorang Perancis yang pernah menjadi
3
tentara Kompeni. Keputusan itu diambil untuk mengetahui kondisi keluarga
Mellema itu lebih dalam karena ia merasa ada sesuatu yang tersembunyi.
Selama tinggal di Boerderij Buitenzorg, Minke mengetahui kedudukan
Nyai Ontosoroh di rumah itu sebagai kepala rumah tangga yang mengurusi
perusahaan dibantu oleh Annelies, sementara putranya, Robert, tidak ikut
membantu karena ia menganggap tidak sederajat dengan ibunya yang seorang
pribumi. Minke juga mengetahui konflik dalam keluarga tersebut. Nyai Ontosoroh
sangat membenci orang tuanya karena telah menjualnya kepada tuan Mellema, ia
juga membenci tuan Mellema karena telah menyia-nyiakan hidup mereka setelah
dikunjungi putra sahnya, Maurits Mellema, yang menuntut haknya ibu
kandungnya. Annelies di usia belianya harus bekerja keras mengurusi banyak
pekerjaan bersama ibunya, ia juga menyimpan derita karena ia pernah diperkosa
saudaranya.
Setelah tinggal di rumah Nyai Ontosoroh, satu per satu masalah mulai
dialami Minke. Ia dikucilkan dalam pergaulannya di sekolah karena dianggap
telah melakukan tindakan yang tidak senonoh dengan tinggal bersama seorang
Nyai. Nyawanya nyaris terancam karena Robert Mellema berniat membunuhnya.
Hal tersebut dilakukan demi mempertahankan kedudukan Robert di rumah yang
dikhawatirkanya diambil alih Minke. Selain itu, hubungannya dengan Annelies
juga menjadikan sorotan dalam sebuah pengadilan ketika memperkarakan
kematian tuan Herman Mellema di rumah plesiran. Masyarakat mencemooh
Minke sebagai pemuda terpelajar yang tidak bermoral sehingga ia dikeluarkan
dari sekolah karena dikhawatirkan akan mengganggu ketentraman siswa yang
lain.
Akan tetapi, keputusan itu dibatalkan dan Minke diberi kesempatan
melanjutkan studi sampai lulus. Demi mematahkan tuduhan tidak bermoral itu,
setelah lulus sekolah Minke dan Annelies menikah. Pernikahan ini tidak bertahan
lama karena Annelies secara hukum harus berada di bawah pengasuhan Maurits
Mellema, saudara tirinya, setelah Herman Mellema meninggal.
4
2.3.2 Tokoh dan Penokohan
Tokoh adalah pelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita fiksi
sehingga peristiwa itu mampu menjalin suatu cerita. Sedangkah cara pengarang
menampilkan tokoh atau pelaku disebut dengan penokohan. Penokohan adalah
pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah
cerita.
Jika kita mengulik sisi peranan atau tingkat pentingnya tokoh dalam roman
ini, terdapat tiga tokoh utama yang senantiasa muncul dalam setiap peristiwa di
dalam cerita, yakni; Minke, Nyai Ontosoroh dan Annelies. Sedangkan tokoh
pendukung atau tambahan antara lain; Jean Marais, Robert Suurhorf, Robert
Mellema, Herman Mellema, Darsam, Jan Dapperste, Magda Peters, Sarah dan
Miriam, kedua orangtua Minke, Sastrotomo, Baba Ah Tjong, Maiko, Dokter
Martinet, dan Maurits Mellema.
Berikut tokoh dan penokohan yang terdapat dalam novel Bumi Manusia :
2.3.2.1 Minke
Mengulik dari sisi priyayi yang dimiliki pemuda Jawa yang didapati dari
sang ayah, Minke memiliki budi pekerti yang halus. Meskipun tanpa disadari ia
tengah mengalami masa transisi untuk keluar dari kejawaannya, sesungguhnya
tokoh Minke ini hanya ingin membebaskan jiwanya di bumi ini. Dilihat dari
pembagian peran, tokoh Minke masuk ke dalam tokoh protagonis. Minke
digambarkan sebagai seorang yang mengutamakan akalnya dalam hidup, seperti
yang terdapat pada penggalan berikut:
Aku lebih mempercayai ilmu-pengetahuan, akal. (BM : 16)
Minke dikisahkan sebagai seorang siswa yang cerdas dan berbudi luhur.
Mengikuti rajutan peristiwa dalam kehidupannya, Minke mendewasakan diri
dengan caranya sendiri melalui cerita yang dibagikan oleh Jean Marais, Annelies,
dan Nyai Ontosoroh. Melalui dialognya dengan Jean Marais, Minke memahami
keluhuran dari cinta yang dianggap irasional. Seperti pada penggalan dialog Jean
kepada Minke berikut:
“Cinta itu indah, Minke, juga kebinasaan yang mungkin membuntutinya.
Orang harus berani menghadapi akibatnya.”
“Tentang diriku, Jean, belum tentu aku mencintai gadis Wonokromo itu.
Bagaimana kau tahu kau mencintai ibu May?” (BM: 81)
Selain cerdas, pemuda Jawa itu kerap berpresepsi dalam hati mengenai hal
atau perisitiwa yang terjadi di hadapannya. Contoh yang paling nyata adalah
segala pemikirannya terhadap sang Nyai. Minke selalu menyuarakan pikirannya
mengenai kepribadian sang Nyai. Seperti pada penggalan berikut:
Bukan hanya Mevrouw Telinga atau aku, rasanya siap pun tahu, begitulah
tingkat susila keluarga nyai-nyai; rendah, jorok, tanpa kebudayaan, perhatiannya
hanya pasal soal-soal berahi semata. Mereka hanya keluarga pelacur, manusia
5
tanpa pribadi, dikodratkan akan tenggelam dalam ketiadaan tanpa bekas. Tapi
Nyai Ontosoroh ini, dapatkah dia dikenakan pada anggapan umum ini? (BM: 75)
Sebagai seorang sahabat, teman, guru, dan suami bagi Annelies, sosok
penyayang dan penyabar melekat pada diri Minke. Dan ini jelas terdapat pada
kutipan berikut. Dari awal pertemuan Minke dan Annelies hingga perpisahannya
dengan dara Indo tersebut.
Jantung menggila ini terasa mendadak tak lagi berdenyut mendengar
lengking tawa Annelies. Lambat-lambat kunaikkan pandang padanya. Giginya
gemerlapan, nampak, lebih indah dari semua mutiara yang tak pernah kulihat.
Ahoi, philogynik, dalam keadaan begini pun kau masih sempat mengagumi dan
memuja kecantikannya. (BM: 29)
“Terlalu cantik, Mama. Apa kata yang tepat untuk cantiknya cantik? Ya,
begitulah kau, Ann.” (BM: 61)
Dan Annelies sendiri? Ia masih tetap kehilangan perhatian terhadap
segala. Dan aku bicara dan bicara, bercerita dan bercerita. Dan ia tetap tak mau
bicara. Mendengarkan pun barangkali tidak. Aku bawa dia ke ranjang kembali
dan aku baringkan, dan aku sendiri berbaring di sampingnya. Beruntung juga
aku mengenal banyak cerita dan dongengan nenek moyang. Itu pun sudah habis
kurawi.
…. Suaraku sendiri sudah parau. Itu pun masih harus ditambah dengan
pengalaman sendiri yang cukup lucu.
Dengan memeluk istriku aku mendongeng dan mendongeng, mulut
kudekatkan pada kupingnya–suatu cara yang ia sukai. (BM: 525)
6
“Kau lebih mampu daripada rata-rata mereka, apalagi yang peranakan.”
(BM: 134)
… “Tak mungkin kau seperti wanita Belanda. Juga tidak perlu. Kau cukup
seperti yang sekarang. Biar begitu kau lebih cerdas dan lebih baik daripada
mereka semua. Semua!” Ia tertawa mengakak lagi. (BM: 136)
…. Mamamu memang luarbiasa. Pakaiannya, permunculannya, sikapnya.
Hanya jiwanya terlalu majemuk. Dan kecuali renda kebaya dan bahasanya, ia
seluruhnya Pribumi. Jiwanya yang majemuk sudah mendekati Eropa dari bagian
yang maju dan cerah. Memang banyak, terlalu banyak yang diketahuninya
sebagai Proibumi, malah wanita Pribumi. Memang betul dia patut jadi gurumu.
Hanya gaung dendam dalam nada dan inti kata-katanya … aku tak tahan
mendengar, sekiranya tak ada sifat pendendam itu, ah, sungguh gemilang, Minke.
Baru aku bertemu seorang, dan perempuan pula, yang tidak mau berdamai
dengan nasibnya sendiri.” Ia menghembuskan nafas panjang. “Dan heran,
betapa ia punya kesadaran hukum begitu tinggi.” (BM: 346)
Tetapi setelah digempur oleh kenyataan pahit lainnya, Tuan Mellema yang
memiliki anak sah dengan istri sah di Belanda sana, dan sikap Tuan Mellema yang
seratus delapan puluh derajat berubah, hal itu menjadi pukulan telak bagi Nyai
Ontosoroh. Dan mengubah pandang yang selama ini ia berikan kepada Tuan
Mellema.
Dan kekecewaan Nyai Ontosoroh terhadap Tuan Mellema tersirat jelas
pada kutipan dialog berikut:
“Begitu macamnya peradaban Eropa yang kau ajarkan padaku berbelas
tahun? Kau agungkan setinggi langit? Siang dan malam? Menyelidiki pedalaman
rumahtangga dan penghidupan orang, menghina, untuk pada suatu kali akan
datang memeras? Memeras? Apalagi kalau bukan memeras? Untuk apa
menyelidiki urusan orang lain?” (BM: 147)
Sejak detik itu, Ann, lenyap hormatku pada ayahmu. Didikannya tentang
hargadiri dan kehormatan telah jadi kerajaan dalam diriku. Dia tidak lebih dari
seorang Sastrotomo dan istrinya. (BM: 148)
“Tutup mulut!” bentak Nyai dalam Belanda dengan suara berat dan
kukuh. “Ia tamuku.”
Mata Tuan Mellema yang tak bersinar itu berpindah pada gundiknya. Dan
haruskah akan terjadi sesuatu karena Pribumi seorang yang tak diundang ini?
… “Eropa gila sama dengan Pribumi gila,” sembur Nyai tetap dalam
Belanda. Matanya menyala memancarkan kebencian dan kejijikan. “Tak ada hak
apa-apa kau di rumah ini. Kau tahu mana kamarmu sendiri!” Nyai menunjuk ke
suatu arah. Dan telunjuk itu runcing seperti kuku kucing. (BM: 65)
7
dibimbing. Seorang yang manja dan manis namun karena satu dua hal, sosok
Annelies ialah gadis cilik yang rapuh. Sekiranya hal-hal tersebut bisa dibuktikan
dengan beberapa kutipan berikut:
Suasana baru menggantikan: di depan kami berdiri seorang gadis berkulit
putih, halus, berwajah Eropa, berambut dan bermata Pribumi. Dan mata itu,
mata berkilauan itu seperti sepasang kejora; dan bibirnya tersenyum
meruntuhkan iman. (BM: 26)
“Lihat, Ann, Sinyo sudah mau berangkat pulang saja. Beruntung dapat
dicegah. Kalau tidak, dia akan merugi tidak melihat kau seperti ini!”
“Ah, Mama ini!” sekali lagi Annelies bermanja dan memukul ibunya.
Juga matanya melirik padaku. (BM: 61)
“Nah, Ann, Sinyo Minke sudah ada di dekatmu. Lihat baik-baik. Dia
sudah ada di dekatmu. Sekarang kau mau apa?”
“Ah, Mama,” desau Annelies dan melirik padaku.
“Ah-Mama, ah-Mama saja kalau ditanyai. Ayoh, bicara sekarang, biar
aku ikut dengarkan.
Annelies melirik padaku lagi dan mukanya merah padam, Nyai tersenyum
bahagia. Kemudian menatap aku, berkata:
“Begitulah, Nyo, dia itu—seperti bocah kecil. Sedang kau sendiri, Nyo,
apa katamu sekarang setelah di dekat Annelies?” (BM: 101)
Aku menjadi begitu terharu mendengarkan itu. Aku peluk Mama dan aku
cium dalam kegelapan itu. Ia selalu begitu baik padaku. Rasa-rasanya takkan ada
orang lebih baik. (BM: 109)
Sebagaimana halnya Nyai Ontosoroh yang dilabeli sebagai tokoh yang
berkembang sejalan dengan peran yang diembannya dan memengaruhi cerita.
Karena satu dua hal yang disebutkan di atas, tokoh Annelies mengalami sebuah
regresi jiwa yang imbasnya menciptakan sebuah kesedihan dan jurang yang
memisahkannya dengan orang-orang terkasihnya.
2.3.3 Alur
Alur merupakan rangkaian peristiwa yang tersusun secara kronologis
dalam kaitan sebab akibat sampai akhir kisah. Susunan-susunan dalam cerita
dapat terjadi karena adanya struktur alur, sehingga dapat menghasilkan sebuah
cerita yang berkesinambungan.
Dalam novel Bumi Manusia, pengarang menggunakan alur campuran.
Alur ini menggunakan teknik dengan menempatkan peristiwa yang berisi
peralihan dari keadaan satu ke keadaan lain yang terjadi di masa lalu ditampilkan
dalam suatu rangkaian perisitiwa. Dalam rangkaian tersebut juga memuat alur
maju dan mundur yang tergantung oleh kondisi si tokoh dalam cerita. Berikut
kutipan yang mendasari:
Itu barang beberapa minggu lalu, awal tahun pelajaran baru … (BM: 18)
8
Dan sekarang seluruh Jawa, berpesta pora mungkin juga seluruh Hindia
Belanda … (BM: 18)
Waktu berumur empat belas, masyarakat menganggap aku sudah
termasuk golongan perawan tua. Aku sendiri sudah haid dua tahun sebelumnya
… (BM: 118)
Lebih dari dua puluh tahun lalu aku membanting tulang … (BM: 507)
Sedangkan untuk pengaluran, terdapat 5 tahapan, yaitu:
2.3.4 Latar
Latar atau setting adalah landas tumpu, menyaran pada pengertian tempat,
hubungan waktu, dan suasana lingkungan tempat terjadinya peristiwa-peristiwa
yang diceritakan. Latar dalam novel Bumi Manusia dibagi ke dalam empat unsur,
yakni latar tempat, latar waktu, dan latar suasana. Berikut latar-latar yang terdapat
dalam novel Bumi Manusia.
9
2.3.4.1 Latar Tempat
Yang pertama yakni latar tempat. Latar tempat dalam novel tersebut
berada di Wonokromo, dekat Surabaya di Jawa Timur, terlihat dalam kutipan
berikut:
Karper mulai memasuki daerah Wonokromo. “Lihat ke kiri,” Rob
menyarani. (BM: 24)
Selain itu detail lokasi antara lain berada dirumah Nyai Ontosoroh atau
perusahaanya yakni Boerderij Buitenzorg, terlihat dalam kutipan berikut:
Dokar tiba-tiba membelok, melewati pintu gerbang, melewati papan nama
Boerderij Buitenzorg, langsung menuju ke tangga depan rumah. (BM: 25)
Pemondokan Minke juga tergambar dalam cerita ini, yakni tampak ketika
Minke baru pulang dari rumah atau perusahaan Nyai Ontosoroh. Terlihat dalam
kutipan berikut:
Darsam mengantarkan aku sampai ke rumah pemondokan di Kranggan.
Ia memerlukan melihat aku masuk sebelum berangkat lagi mengantarkan
Suurhof. (BM: 70)
Bengkel perabot Jean Marais terlihat dalam kutipan:
Pulang dari sekolah aku langsung memasuki bengkel Jean Marais. (BM:
74)
Pada saat itu Minke yang terganggu oleh pemikirannya akan keluarga
Mallema terutama Annelies menjadi gusar dan penasaran apa yang sedang terjadi
dengannya, maka dari itu Ia mengunjungi bengkel Jean Marais dengan harapan Ia
bisa menemukan solusi akan kegelisahanya.
Berikutnya di Pendopo, terlihat pada kutipan:
Ayahanda dan Ibunda keluar. Abang di depan, aku di belakang mereka.
Begitu memasuki ruang resepsi di pendopo, datang Tuan Assisten Residen B.
(BM: 199)
Kutipan tersebut terjadi ketika ayah Minke diangkat menjadi Bupati B,
sehingga Minke yang terpelajar ditunjuk untuk menjadi penerjemah.
Gedung Karasidenan, terlihat pada kutipan berikut:
Kereta membawa aku langsung ke belakang gedung keresidenan, berhenti
di serambi belakang. (BM: 205)
Hal itu terjadi ketika Minke mendapat undangan dari Tuan Residen untuk
berkunjung ke tempat tinggalnya dan disama Ia bertemu dengan kedua anak
perempuanya yang bersekolah di HBS juga.
Terdapat juga rumah plesiran Babah Ah Tjong, terlihat pada kutipan:
Sebuah rumah bergaya Tiongkok berpelataran luas dan terpelihara rapi
dengan pagar hidup …
Dan siapa tidak tahu rumah siapa dan apa itu? Rumahplesir, suhian,
Babah Ah Tjong punya. (BM: 24)
10
2.3.4.2 Latar Waktu
Latar waktu yang diceritakan bermacam-macam, yang pertama yakni pagi
hari, terlihat dalam kutipan berikut:
Pagi itu sangat indah memang. Langit biru cerah tanpa awan. Hidup
muda hanya bernafaskan kesukaan semata. (BM: 22)
Ketika itu Minke dan Robert Suhoorf sedang dalam perjalanan menuju
rumah Nyai Ontosoroh.
Selain pagi hari tampak juga waktu siang hari, terlihat dalam kutipan
berikut:
Dan begitulah percakapan berlarut sampai makan siang dihidangkan.
Robert Mellema, Robert Suurhof, Annelies dan aku duduk mengepung meja. (BM:
41)
Latar waktu sore hari juga tampak pada cerita, terlihat pada kutipan:
“Sudah sore, beristirahatlah. Pintu itu,” ia menunjuk ke belakang pada
sebuah pintu, “Kamarmu … (BM: 57)
Selain itu latar waktu yang terakhir adalah malam hari, terlihat pada
kutipan berikut:
Dan malam itu aku tenggelam dalam begitu banyak soal, membikin aku
merasa harus mengucapkan selamat tinggal pada masa remajaku yang indah
gilang-gemilang penuh kemenangan. (BM: 391)
11
Kecewa juga dirasakan oleh Minke, yaitu saat di hari kelulusannya sang
bunda tidak hadir untuk menyaksikan anaknya mendapat ijazah kelulusan. Yang
Nampak pada kutipan berikut:
Duduk di kursi begini aku teringat pada Bunda. Betapa indah sekiranya
semua ini ia saksikan: putra kebanggaan akan menerima ijasah lulus H.B.S.
Wanita mulia itu tidak hadir. Dan aku rasai adanya kekosongan dalam kebesaran
dan keriangan ini. (BM: 445)
Suasana haru juga mewarnai cerita ini, yakni tampak pada kutipan berikut:
Aku rasai air matanya menjatuhi pipiku. Dan tiba-tiba aku pun menangis.
Gambaran nenek-moyangku yang belum lagi sempat berwajah menjadi
buyar, digantikan oleh perasaan yang mengaduk dalam dada, memeras air mata
lebih deras. (BM: 466)
Kutipan tersebut berada pada saat detik-detik pernikahan Minke, Bunda
yang sehabis memberi nasihat kepada Minke menangis karena sebentar lagi
anaknya akan menempuh bahtera rumah tangga, keharuan dan kasih sayang
mereka tampak sekali.
2.3.6 Amanat
Amanat adalah pesan moral yang ingin disampaikan pengarang kepada
pembaca berupa nilai-nilai luhur yang dapat dijadikan contoh atau teladan.
Penyampaian pesan selalu didasarkan tema dan tujuan yang telah ditetapkan
penulis pada saat menyusun rancangan cerita.
Amanat yang terkandung dalam Novel Bumi Manusia antara lain:
Seorang terpelajar harus berlaku adil, sejak dalam pikiran apalagi dalam
perubatan. Maka fungsi dari pikiran serta hati kita bukan untuk menghakimi orang
lain, melainkan untuk menghargai mereka. Hal tersebut terlihat pada kutipan
berikut:
12
“… Kau terpelajar, Minke, seorang terpelajar harus juga berlaku adil
sudah sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan …” (BM: 77)
Selain itu, novel Bumi Manusia ini mengajarkan bahwa hidup adalah
perjuangan, berisikan kekuatan jiwa yang bertarung dengan segala kemampuan
dan ketidakmampuan. Juga bahwa sebenarnya dunia manusia itu bukan terletak
pada jabatan, pangkat, gaji, maupun kecurangan, tetapi dunia manusia itu adalah
bumi manusia dengan segala persoalannya. Jangan seperti karakter Sastrotomo
alias ayah dari Sanikem, yang tega menjual anaknya menjadi seorang gundik
hanya demi harta dan jabatan sebagai kassier.
2.3.7.1 Personifikasi
Majas personifikasi, gaya bahasa ini seakan menggantikan fungsi benda
mati yang dapat bersikap layaknya manusia. Penggunaan majas ini dapat dilihat
pada beberapa kutipan berikut:
Ilmu pengetahuan telah memberikan padaku suatu restu yang tiada
terhingga indahnya. Jaringan jalan keretaapi membelah-belah pulauku, Jawa.
(BM: 11)
Pandang dua pemuda itu terasa menusuk punggungku. (BM: 30)
2.3.7.2 Hiperbola
Majas hiperbola, yaitu mengungkapkan sesuatu dengan kesan berlebihan,
bahkan hampir tidak masuk akal. Penggunaan majas ini dapat dilihat pada
beberapa kutipan berikut:
Kehebatannya menandingi kesaktian para satria dan dewa nenek
moyangku dalam cerita wayang. (BM: 12)
Sekarang aku malu terpental-pental. (BM: 40)
Ia terus juga menggerutu seakan sedang jadi pengawal langit jangan
sampai merobohi bumi. (BM: 188)
2.3.7.3 Metafora
Majas metafora, yaitu meletakkan sebuah objek yang bersifat sama dengan
pesan yang ingin disampaikan dalam bentuk ungkapan. Penggunaan majas ini
dapat dilihat pada kutipan berikut:
Di kejauhan sana samar-samar nampak gunung-gemunung berdiri tenang
dalam keangkuhan, seperti pertapa berbaring membatu. (BM: 22)
13
2.3.7.4 Simile
Majas simile, hampir sama dengan asosiasi yang menggunakan kata
hubungan bak, bagaikan, ataupun seperti, hanya saja simile bukan
membandingkan dua objek yang berbeda, melainkan menyandingkan sebuah
kegiatan dengan ungkapan. Penggunaan majas ini dapat dilihat pada kutipan
berikut:
… Matanya seperti sepasang kejora bersinar di langit cerah, pada langit
wajahnya yang lebih cerah. (BM: 306)
2.3.7.5 Alegori
Majas Alegori, yaitu menyandingkan suatu objek dengan kata-kata kiasan.
Penggunaan majas ini dapat dilihat pada kutipan berikut:
Jantungku mendadak berdebaran ibarat laut diterjang angin barat. (BM:
357)
14
tanpa pengadilan di Nusakambangan dan akhirnya di Pulau Buru di kawasan
timur Indonesia. Selain itu, ia juga pernah ditahan 3 tahun pada masa
kolonial dan 1 tahun pada masa Orde Lama. Ia dilarang menulis selama masa
penahanan di Buru, tetapi tetap mengatur untuk menulis serial karya terkenalnya
"Bumi Manusia".
15
sebagai gundik demi mendapatkan jabatan atau posisi yang menguntungkan
dirinya sendiri.
Nilai moral yang terakhir yaitu diskriminasi terhadap perempuan. Dilihat
dari kehidupan masa lalu Sanikem. Disebabkan karena tradisi masyarakat dan
keluarga pada saat itu yang mengharuskan anak perempuan agar menurut kepada
orang tua serta tidak diperbolehkan menuntut ilmu sampai jenjang yang tinggi.
Sehingga mengakibatkan Sanikem terbelakang secara pendidikan.
16
2.4.2.3 Nilai Pendidikan
Nilai ketiga yang akan dibahas yaitu nilai pendidikan, nilai ini yang
banyak memberikan pesan-pesan yang dapat membuat kita bersikap dan
berperilaku dengan baik. Banyak nilai pendidikan yang terdapat dalam cerita ini.
Nilai pendidikan yang pertama yaitu Tanggung jawab yang ditunjukan oleh sikap
Darsam yang senantiasa menepati perintah dan janjinya terhadap Tuanya yakni
Nyai Ontosoroh. Terlihat pada kutipan berikut:
Darsam mengantarkan aku sampai ke rumah pemondokan di Kranggan.
Ia memerlukan melihat aku masuk sebelum berangkat lagi mengantarkan
Suurhof. (BM: 70)
Dari kutipan tersebut menunjukan bahwa Darsam mengantarkan Minke
sampai dengan pemondokannya sesuai dengan perintah Nyai Ontosoroh.
Nilai pendidikan yang kedua yaitu Adil. Dalam novel tersebut terlihat nilai
keadilan yang nampak yakni pada kutipan berikut ini:
“… Kau terpelajar, Minke, seorang terpelajar harus juga berlaku adil sudah
sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan …” (BM: 77)
Kutipan itu mengajarkan pada kita bahwa sebagai seseorang yang
terpelajar kita harus mampu berlaku adil terhadap siapapun tanpa memandang
status sosial. Kutipan tersebut merupakan nasihat yang diberikan Jean Marais
kepada Minke.
Selanjutnya nilai pendidikan yang ketiga yaitu tentang pentingnya sebuah
penampilan. Di dalam kehidupan ini, tentu kita diajarkan bagaimana seharusnya
kita bersikap berpenampilan yang layak dan sesuai. Dalam novel ini, pengarang
juga memberikan pesan kepada kita bahwasahnya sebuah penampilan juga
mencerminkan kepribadian kita. Seperti pada kutipan berikut:
Pernah pada saat-saat seperti itu ia bilang: “Kau harus selalu kelihatan
cantik, Nyai. Muka yang kusut dan pakaian berantakan juga pencerminan
perusahaan yang ku-sut-berantakan, tak dapat dipercaya.” (BM: 133)
Kutipan tersebut merupakan nasihat yang disampaikan Tuan Mallema
kepada Nyai Ontosoroh.
Nilai pendidikan yang terakhir yaitu semangat untuk belajar. Dalam roman
ini yang melatarbelakangi pergerakan Indonesia di awal abad 20, menceritakan
pergerakan, perjuangan, dan semangat pemuda di masa itu. Dalam hal ini,
pengarang ingin menyerukan agar pemuda-pemudi sekarang ini tetap mempunyai
semangat itu meskipun sekarang sudah tidak ada penjajahan kolonial. Dan
diharapkan untuk para pemuda lebih berkembang lagi ilmu pengetahuanya bahkan
melebihi orang-orang dimasa lalu. Minke yang dikisahkan dalam roman ini juga
termasuk mempunyai semangat belajar yang tinggi, karena walaupun hidupnya
diterpa banyak cobaan namun Ia tetap mampu belajar hingga menjadi lulusan
terbaik H.B.S.
17
2.4.2.4 Nilai Religius
Nilai keempat yang akan dibahas yaitu nilai religius, nilai ini berkaitan
dengan keyakinan atau agama yang dianut oleh tokoh dalam novel tersebut. Nilai
religius dalam cerita ini yaitu toleransi antar umat beragama. Dalam Novel Bumi
Manusia ini nilai pendidikan religius yang dapat diambil yaitu diajarkan untuk
saling bertoleransi kepada sesama manusia dan menghormati kepercayaan yang
dianutnya. Hal itu terlihat ketika Annelies menyuruh pelayannya untuk
menghidangkan makanan halal untuk Minke karena Ia bergama islam, berikut
kutipannya:
“Tamuku Islam,” kata Annelies dalam Jawa pada pelayannya. “Katakan di
belakang sana, jangan sampai tercampur babi.” Kemudian dengan cepatnya ia
berpaling padaku dan bertanya, “Mengapa kau masih juga diam saja?”. (BM:
35)
Kemudian nilai religius terlihat pula pada kutipan berikut ini:
Kami dinikahkan secara Islam. Darsam bertindak sebagai saksi dan
Annelies diwali oleh seorang wali hakim. Itu terjadi pada jam sembilan pagi
tepat. Sesuai dengan kebiasaan, dan seiring dengan perasaan terimakasih, kami
berdua melakukan sembah dan sujud pada Bunda dan Mama. (BM: 451)
Kutipan tersebut menjelaskan pada kita bahwa dalam agama Islam jika
ingin berkeluarga haruslah didepan penghulu dan harus ada yang namanya wali
dan juga saksi.
Nilai religius yang terakhir yaitu menyebut nama Allah ketika mendapat
kesulitan dan segala sesuatu yang membuat kita terkejut baik mendapatkan kabar
baik maupun buruk. Hal itu terjadi pada Minke, yang ketika mendapat sebuah
persoalan dan lain-lain Ia selalu menyebut nama Allah, seperti dalam kutipan
berikut ini:
Benar, suara dia! Aku angkat sembah sekali lagi, sengaja sedikit
mendongak dan melepas mata. Ya Allah, memang benar dia. (BM: 183)
Dari pernyataan tersebut, pengarang ingin menyampaikan pesan bahwa ketika kita
mendapatkan kesulitan maupun kebahagiaan ada baiknya kita selalu teringat
kepada Allah, karena tampa kehendaknya kita takan bisa menjalani hidup di dunia
yang kejam ini.
18
Nilai budaya yang kedua yaitu sikap malu hanya milik orang jawa dengan
segala kerendahannya. Dalam novel ini memperlihatkan bagaimana orang Eropa
yang tidak tahu malu. Seperti yang ditunjukkan dalam kutipan berikut:
“… Jangan sekali-kali bicara soal malu tentang eropa. Mereka hanya
tahu mencapai maksud-maksudnya. Jangan kau lupa, Nak Nyo.” (BM: 500)
Penggalan tersebut menunjukan bagaimana eropa yang tidak pernah tahu malu,
berbeda dengan orang Jawa yang selalu memegang teguh kehormatan meski
untuk melindungi kehormatannya itu mereka selalu merendah, pasrah dan tak
jarang malatah. Ini karena rasa malu yang dimiliki orang jawa, takutnya
seandaninya pandangan orang lain atas dirinya jatuh.
Nilai budaya yang ketiga yaitu perbedaan budaya pribumi dengan
eropa. Nyai Ontosoroh memperbolehkan Annelies dan Minke tidur satu ranjang
bahkan Nyai Ontosoroh menyelimuti mereka berdua padahal mereka belum
terikat pernikahan. Perbedaan pergaulan yang dilakukan bangsa Eropa dengan
pergaulan orang pribumi sangat jelas yaitu pada bangsa Eropa secara bebas
melakukan hal yang dilarang agama tanpa mendapatkan sangsi hukum.
Sedangkan bangsa pribumi lebih membatasi pergaulannya satu sama lain antara
laki-laki dan perempuan.
Dalam novel Bumi Manusia terdapat pula budaya seperti menghadiri acara
kelulusan anak, hal tersebut terjadi pada Minke yang ketika sekolahnya
mengadakan acara kelulusan para orang tua dari temanya semua datang, namun
Minke yang malang harus kecewa karena sang Ayah maupun bunda tak dapat
menyaksikan dirinya dinobatkan sebagai lulusan terbaik sekolahnya. Hal itu
terlihat dalam kutipan berikut ini
Duduk di kursi begini aku teringat pada Bunda. Betapa indah sekiranya
semua ini ia saksikan: putra kebanggaan akan menerima ijasah lulus H.B.S.
Wanita mulia itu tidak hadir. Dan aku rasai adanya kekosongan dalam kebesaran
dan keriangan ini. (BM: 445)
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa pengarang ingin
memberikan nasihat kepada pembaca khususnya para orang tua agar lebih
memperhatikan anak-anaknya, apalagi ketika anak sedang mendapatkan sesuatu
yang sebenarnya layak untuk dibanggakan namun orang tua tidak hadir
menyaksikan sehingga anak merasa kecewa dan sedih, hal itulah yang dialami
oleh Minke.
Budaya sungkeman untuk meminta doa restu pada orang tua juga tampak
pada cerita Bumi Manusia, hal itu terlihat ketika Minke dan Annelies yang baru
saja melaksanakan proses ijab kabul melakukan sungkeman dan sujud kepada
Nyai Ontosoroh selaku orang tua mempelai perempuan dan Bunda selaku orang
tua mempelai laki-laki, hal tersebut dilakukan sebagai rasa syukur. Berikut
kutipannya:
Kami dinikahkan secara Islam. Darsam bertindak sebagai saksi dan
Annelies diwali oleh seorang wali hakim. Itu terjadi pada jam sembilan pagi
19
tepat. Sesuai dengan kebiasaan, dan seiring dengan perasaan terimakasih, kami
berdua melakukan sembah dan sujud pada Bunda dan Mama. (BM: 451)
Budaya sembah dan sujud atau yang biasa disebut sungkeman juga masih
dilakukan dizaman modern ini pada acara-acara pernikahan atau hari raya.
Demikianlah nilai-nilai yang terdapat dalam novel Bumi Manusia, hampir
semuanya mengandung makna dan pesan-pesan yang ingin disampaikan oleh
pengarang, kemudian keseluruhan cerita juga semuanya mengandung pesan baik
tersurat maupun tersirat.
3.1 Kesimpulan
Unsur-unsur intrinsik merupakan unsur pembangun sebuah prosa yang
terdiri dari tema, penokohan, latar, alur, sudut pandang, hingga amanat. Dan
dalam roman karangan Pram ini, hal-hal tersebut diracik sedemikian rupa
sehingga menjadi sebuah sistem yang padu dalam merangkai jalinan sebuah
peristiwa dalam cerita yang kuat. Dengan mengambil tema harga diri seorang
pribumi dalam kemelut cintanya, pengarang membawa kita pada era pergerakan
Nasional, saat kolonialisme masih menjajah segala sektor kehidupan negeri ini.
Novel yang merupakan bagian dari Tetralogi Buru ini ditulis Pramoedya ketika
masih mendekam di Kamp kerja paksa di Pulau Buru.
Menggunakan sudut pandang akuan, Pramoedya menampilkan tokoh
utama Minke sebagai perawi cerita, seorang pemuda berdarah priyayi yang
berusaha keluar dari kepompong kejawaannya sekaligus membelah jiwa
keeropaannya dalam tingginya pemujaan pengetahuan dan peradaban untuk
menjadi manusia yang bebas merdeka. Di dalam novel ini banyak pesan-pesan
moral yang tersurat maupun tersirat yang ditampilkan, sehingga Novel Bumi
Manusia karya Pramodya Ananta Toer layak untuk dijadikan sumber referensi
pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di Sekolah Menengah Atas.
20
Dalam penyusunan makalah ini, penulis menyadari bahwa masih terdapat
banyak kekurangan yang terdapat di dalamnya. Oleh karenanya, penulis
mengharapkan kritik dan yang bersifat membangun dari pembaca agar ke
depannya penulis dapat membuat karya yang lebih baik dan lebih bermanfaat.
21
Daftar Pustaka
Suryaman, Maman dkk. 2018. Bahasa Indonesia SMA/MA/SMK/MAK Kelas XII. Jakarta:
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan.
https://dosenbahasa.com/unsur-intrinsik-dan-ekstrinsik
https://id.wikipedia.org/wiki/Prosa
https://ilmuseni.com/seni-sastra/jenis-jenis-seni-sastra
http://info-biografi.blogspot.com/2013/07/biografi-pramoedya-ananta-toer.html
http://kupukupuhati.blogspot.com/2009/07/unsur-unsur-intrinsik.html
https://www.studiobelajar.com/majas-pengertian-jenis-contoh/
22