Anda di halaman 1dari 4

Nama : Guntur Mustikoaji Alif Widayadi

Kelas : XI MIPA 2
No. : 11
Di Balik Batas
Pagi itu berjalan seperti biasa layaknya pagi-pagi lainnya. Mentari terbit dari
ufuk timur, burung-burung saling bersahutan, para ayah pergi bekerja untuk
menghidupi keluarganya, pada beberapa keluarga juga ada dimana sang ibulah yang
pergi memang, serta kumpulan anak sekolah yang berangkat untuk mencari ilmu dan
bersosialisasi dengan teman mereka masing-masing. Tak terkecuali bagi seorang
pemuda SMA bernama Arka. Layaknya anak sekolahan pada umumnya, ia pergi
bersekolah untuk mencari ilmu dan bersos-eh, nampaknya poin kedua tidak berlaku
bagi remaja satu ini.
Mari kita mundur sejenak. Sebuah kisah tentu memerlukan perkenalan,
bukan?
Arka Ariola, 17 tahun, kehilangan kedua orang tua pada umur 5 tahun. Sebuah
kecelakaan tunggal merenggut nyawa kedua orang tuanya dengan tragis. Lanjut ke
perkenalannya, yatim piatu, hak asuhnya dioper kesana kemari dari kerabat satu ke
kerabat lainnya. Menyedihkan memang, hidupnya harus dioper sana-sini layaknya
barang hanya karena dirinya seorang indigo. Ya, indigo. Sebuah istilah yang
digunakan untuk mendeskripsikan anak yang memiliki kemampuan atau sifat spesial,
tidak biasa, bahkan supranatural. Dalam kasus Arka, ia dapat melihat makhluk-
makhluk dari batas dunia lainnya. Hal itu jugalah yang membuat dirinya tak memiliki
teman untuk diajak bermain atau sekadar berbincang-bincang.
Mundur ke 11 tahun yang lalu, tepat saat umurnya genap 6 tahun, 1 tahun
pasca kematian kedua orang tuanya. Kemampuan itu muncul, tepat di hari pertamanya
menginjak bangku sekolah dasar. Layaknya sekumpulan bocah yang baru saling
bersua pada umumnya, ia mencoba untuk berkenalan dan mencari teman demi
kelanjutan hidupnya ke depan. Tentu akan sulit jika hidup tak mempunyai seorang
teman, benar? Saat itu jam istirahat, Arka bermain dan bercanda dengan teman-teman
barunya.
Tiba-tiba, ia melihat seorang anak lelaki di sudut kelas. Namun dirinya
bingung, karena anak itu tidak mengenakan seragam dan tidak dilihatnya saat
perkenalan di kelas sebelumnya. Anak lelaki itu terlihat duduk sendirian di pojok
kelas, pojok di sini maksudnya benar-benar di sudut ruangan. Karena penasaran, Arka
pun menghampirinya dan berusaha mengajaknya bicara. “Hai, mengapa kamu
sendirian di sini?” tegur Arka penasaran. Anak lelaki itu hanya bergeming
menanggapi pertanyaan Arka. Arka bertanya lagi, “Siapa namamu?” Namun lagi-lagi,
anak itu tetap bergeming sembari menengok ke arah Arka dengan tatapan kosong.
Arka menjadi sedikit ngeri karenanya.
Di sisi lain, teman-teman sekelas Arka dibuat kebingungan karenanya, bukan
karena anak lelaki yang tidak memakai seragam itu ataupun karena anak itu yang
hanya diam saja, tentu bukan karena mereka memang tidak melihat anak itu. “Hei
Arka, apa yang kamu lakukan di situ? Kamu bicara dengan siapa?” seru salah satu
temannya mewakili kebingungan anak-anak lain. “Tentu saja dengan anak yang tidak
berseragam di sana kan,” jawab Arka dengan mantap. Tak pelak Arka pun dianggap
aneh oleh teman sekelasnya dan langsung dijauhi. Peristiwa itulah awal mula dirinya
tak memiliki teman, sejak saat itu sampai masa remajanya di usia 17 tahun ini.
Sebenarnya kurang tepat jika dibilang tak memiliki teman sama sekali. Karena
sebenarnya ia memiliki seorang teman, hanya seorang.
Kembali ke waktu ini, Arka saat ini sedang menuju kelasnya. Sesampainya di
kelas ia langsung duduk di mejanya yang bertempat di paling pojok ruang kelas.
Tenang dan terhindar dari tatapan aneh yang ditujukan oleh tema- err … siswa
sekelasnya maksudnya, pikir Arka. Dalam diam dia memperhatikan seisi kelas, bukan
siswa di kelasnya yang ia perhatikan, namun makhluk lain yang turut beraktivitas
dalam suasana kelas pagi ini. Rupa makhluk yang dapat dilihatnya beraneka ragam,
ada yang berwujud manusia normal dan ada pula yang berwujud rusak. Rusak
maksudnya seperti tidak memiliki kepala atau organ tubuh lainnya. Sangat jarang ia
temui ‘makhluk’ yang berwujud seperti manusia normal atau utuh.
Tidak hanya yang berwujud seperti manusia, kebanyakan yang berwujud
menyerupai hewan pun ada. Takut? Tentu saja ia takut, awalnya. 6 tahun sejak
pertama ia “mendapat kemampuan” itu, hidupnya selalu dipenuhi rasa takut dan was-
was. Oh ayolah, anak kecil mana yang tidak ketakutan jika harus terus-terusan melihat
berbagai macam makhluk yang bisa dibilang mengerikan seperti itu.
Saat memasuki bangku SMP, rasa takutnya berangsur-angsur mulai berkurang.
Tentu saja 6 tahun terus-terusan melihat berbagai macam makhluk ‘rusak’ agaknya
membuat Arka menjadi sedikit terbiasa. Saat usianya 14 tahun, tepatnya saat ia duduk
di bangku kelas 3 SMP. Sebuah peristiwa membuat rasa takutnya terhadap
kemampuan miliknya sepenuhnya hilang, sekaligus saat dimana ia mendapat teman
satu-satunya hingga kini. Waktu itu di suatu senja, Arka sedang berdiam diri di
sebuah taman, sendirian tentunya. Di usianya yang masih remaja, tentu hal yang wajar
jika ia merasa galau. Apalagi di umurnya yang sudah 14 ini, ia tak memiliki seorang
teman pun.
Dia menangis dalam kesendirian di taman itu, meratapi nasib sialnya yang
harus menanggung sebuah ‘kekuatan’ yang membuat hidupnya sangat hampa. Setelah
kedua orang tuanya direnggut, tak cukupkah penderitaan yang Tuhan berikan
kepadanya, pikirnya. Di tengah ratapannya, ia meracau, berteriak, melampiaskan
seluruh emosinya. “Karena kalianlah kehidupanku jadi berantakan seperti ini!”
raungnya. Siapa yang diteriakinya? Tentu makhluk-makhluk dari balik batas dunia
nyata yang berkeliaran di taman itu, sudah tak ada orang lagi yang masih terdapat di
sana.
Di tengah luapan emosinya itu, ada seorang gadis yang terlihat seumuran
dengannya melihat. Tak pelak gadis itu pun menghampiri Arka. “Apa yang kamu
lakukan sendirian di sini malam-malam?” tanyanya lembut pada Arka. Suara gadis itu
mengagetkan Arka, ia tak menyangka masih ada orang di taman itu. Buru-buru ia
mengusap air matanya. “Tidak ada,” jawabnya singkat. “Benarkah?” hanya anggukan
yang didapat oleh gadis itu. Tentu saja ia tak serta-merta percaya pada jawaban Arka,
dengan jelas ia melihat dan mendengar segala teriakan dan umpatan Arka tadi,
padahal tak terlihat seorang pun di situ. Lama mereka duduk diam di sana, hanya
terdengar suara binatang malam dan semilir angin yang menemani mereka. Tak tahan
dengan suasana itu, Arka pun berencana untuk beranjak pergi. Sampai sebuah
pertanyaan membuat jantungnya berdegup lebih cepat.
“Kamu bisa melihat ‘mereka’, kan?” tanya gadis itu tanpa ragu. Masih dalam
keterkejutannya, tubuh Arka bergetar dan mulutnya terbata berusaha merespon
pertanyaan tersebut. “Ba-bagaimana ka-kau bisa tahu?” gagapnya. “Tentu karena aku
juga bisa melihatnya,” jawab gadis itu dengan senyum yang sangat indah di mata
Arka. Sejak itu, Arka mendapat apa yang seharusnya ia miliki sejak dulu. Ya, seorang
teman. Seorang teman yang mengerti dirinya, seorang teman yang mirip sepertinya,
seorang teman yang sama sepertinya. Sejak itu pula, tiap senja, ia selalu mengunjungi
taman itu. Untuk bertemu dengan satu-satunya teman baginya. Entah hanya
mengobrol ringan atau bersenda gurau dengan gadis itu.
Terlalu asik dalam kenangannya 3 tahun lalu, tanpa sadar pelajaran sudah
dimulai sejak tadi meninggalkan dirinya dan lamunannya. Sedang tidak mood untuk
belajar, dirinya memutuskan untuk melanjutkan lamunannya yang sempat terhenti.
“… teng tong teng …” bel sekolah pun berbunyi. Sama seperti kebanyakan murid
lain, Arka bersorak dalam hati. Semua itu karena ia tak sabar untuk bertemu dengan
gadis itu, Aika namanya. Sebenarnya ada hal yang mengganjal di benaknya. Dia
penasaran apakah Aika tidak bersekolah atau bagaimana, karena ia tidak pernah
melihat Aika mengenakan seragam sekolah. Dia juga hanya mau bertemu di taman itu
saat hari mulai senja menjelang maghrib. Sebenarnya Arka ingin mengajak Aika ke
tempat lain, namun ajakannya tak pernah diterima oleh Aika.
Lelah memikirkannya, Arka memutuskan untuk berhenti memikirkan hal
tersebut. Toh dirinya sudah cukup puas dengan keadaannya saat ini, ia bersyukur bisa
memiliki seorang teman. Sebuah kesyukuran yang akan menjadi derita lain baginya.
Sesampainya di taman, Arka melihat Aika duduk di tempat biasanya. “Yo, Aika!”
sapanya dengan semangat. Aika pun menoleh dan tersenyum ke arah Arka. Sebuah
senyuman yang akan selalu dijaganya, pikir Arka saat itu. Mereka pun mengobrol
kesana kemari dengan topik yang selalu berubah tak tentu arah. Senyum tak lepas dari
wajah kedua insan yang terlihat bagai pasangan itu.
Di tengah obrolannya, tiba-tiba Arka teringat hal yang sempat dipikirkannya
tadi. Dengan ragu dan penuh penasaran ia bertanya pada Aika, “Umm … Aika,
sebenarnya kamu ini bersekolah dimana? Seingatku aku tidak pernah melihatmu
mengenakan seragam. Lalu kenapa kamu tidak pernah mau diajak bertemu selain di
taman ini?” Cukup lama Aika terdiam, Arka dengan was-was menunggu jawaban
gadis itu. “Tentu saja aku bersekolah, Ar. Tapi dimana aku bersekolah itu rahasia
hihihi …” jawabnya sambil tertawa. Dia tidak menjawab pertanyaan Arka yang
satunya. Arka pun terlihat tidak puas dengan jawaban yang Aika berikan. Meski
begitu, ia tidak bertanya lebih lanjut, ia seperti takut menyinggung perasaan Aika.
Begitulah hari itu berakhir dan Arka pamit pulang ke rumah.
Suatu siang di hari libur, Arka yang bosan pergi ke taman tempat ia biasa
bertemu dengan Aika. Banyak orang berlalu lalang di sana saat itu, ia berharap dapat
bertemu dengan Aika walau kecil kemungkinannya. Ia pergi ke tempat biasanya
namun Aika tidak ada di sana. Arka pun memutuskan untuk berkeliling dengan
harapan ia dapat bertemu Aika. Entah kebetulan atau memang takdir, ia melihat Aika
mengenakan gaun one piece putih seperti biasanya tengah duduk di bawah sebuah
pohon. “Yo, Aika!” sapanya dengan penuh perasaan senang. Aika yang mendengar
sapaan Arka entah mengapa terlihat panik. Bingung sapaannya tak digubris oleh Aika,
Arka pun menghampirinya. Orang-orang di sekitar taman memperhatikan dengan
bingung.
Aika yang dihampiri Arka seketika malah berlari menjauhi Arka, sontak Arka
mengejar Aika. “Tunggu, Aika! Kenapa kamu lari?” teriak Arka. Tak menghiraukan
teriakan Arka yang menuntut penjelasan, Aika malah mempercepat larinya. Entah
karena terlalu ngotot mengejar Aika atau karena panik ia tiba-tiba ditinggal lari, Arka
menabrak seseorang yang kebetulan lewat. “Maaf, bu. Saya sedang terburu-buru,”
ucap Arka pada seorang ibu muda yang ditabraknya. “Tunggu, nak! Siapa yang
sebenarnya kamu kejar? Ibu lihat kamu juga berteriak-teriak entah meneriaki siapa,”
tanya ibu itu kebingungan. Tentu Arka tersentak kaget mendengar penuturan ibu
tersebut. Dengan perasaan kalut ia menjawab, “Tentu saja mengejar gadis bergaun
putih di sana, kan! Bukannya sudah jelas?!” “Tenang, nak. Ibu tidak melihat siapapun
di sana,” timpal ibu tersebut. Semakin kalutlah Arka dibuatnya, berbagai macam
pikiran negatif menyeruak memenuhi otaknya. Bagaimana jika Aika hanya
khayalannya saja selama ini, pikirnya. Tak kuat memproses semua yang terjadi, Arka
pun jatuh pingsan.
Keesokan harinya di malam setelah peristiwa itu, Arka kembali menemui
Aika. Kali ini tidak seperti biasanya, tak ada obrolan atau senda gurau yang terdengar
dari mulut keduanya. Suasana sangat sepi malam itu bagi keduanya, hanya terdengar
suara binatang malam dan semilir angin yang menemani mereka. Bagaikan de javu,
suasana ini persis seperti saat kali pertama mereka bertemu. Bagai meminta sebuah
penjelasan, Arka hanya menatap Aika dengan tatapan kosong, tak berniat
mengucapkan satu patah kata pun. Akhirnya Aika pun buka suara, ia menjelaskan
semuanya, yang sebenarnya. Fakta bahwa ia bukanlah manusia seperti Arka, fakta
bahwa ia adalah salah satu eksistensi makhluk dari balik batas dunia Arka, fakta
bahwa ia membohongi Arka. Semua pun menjadi jelas, sejelas ekspresi Arka saat itu
yang terlihat bagai orang mati.
Malam itu, malam itu adalah malam terakhir pertemuan Arka dan Aika.
Malam terakhir Aika melihat Arka, dan malam terakhir Arka terlihat di dunia.

Tamat.

Anda mungkin juga menyukai