Pendahuluan
4
b. mengetahui unsur-unsur ekstrinsik dalam naskah drama Nyonya-nyonya
karya Wisran Hadi.
1.4 Manfaat Pembahasan
Pembahasan pada makalah ini dapat memberikan manfaat:
a. dapat memahami unsur intrinsik dan ekstrinsik naskah drama Nyonya-
Nyonya karya Wisran Hadi.
b. dapat memahami amanat dan makna dari naskah drama Nyonya-Nyonya
karya Wisran Hadi.
5
BAB II
Unsur Intrinsik
Seperti yang sudah dijelaskan di atas, salah satu unsur pembangun dari
sebuah karya sastra adalah unsur instrinsik. Unsur instrinsik adalah unsur dalam
sastra yang ikut mempengaruhi terciptanya karya sastra dan membangun kesatuan
atau keseluruhan makna dalam karya sastra. Unsur-unsur instrinsik yang
membangun sebuah karya sastra (dalam makalah ini, naskah drama) diantaranya
adalah:
I. Judul
Judul adalah kepala karangan atau nama yang dipakai untuk buku atau bab
dalam buku yang dapat menyiratkan isi buku tersebut. Judul suatu karya
drama juga merupakan kunci untuk melihat keseluruhan makna drama. Judul
isi karangan selalu berkaitan erat. Drama sebagai karya sastra dan merupakan
6
cabang seni tergolong sebagai karya fiksi. Judul pada karya fiksi bersifat
manasuka, dapat diambil dari nama salah satu tempat atau tokoh dalam cerita,
dengan syarat sebaiknya melambangkan isi cerita untuk menarik perhatian.
II. Tema
Menurut Stanton (Nurgiyantoro, 2000: 67) tema adalah makna yang
dikandung oleh sebuah karya sastra. Selain itu, menurut Hartoko dan
Rahmanto dalam bukunya Pemandu Di Dunia Sastra, tema juga merupakan
gagasan dasar umum yang menopang sebuah karya sastra dan yang
terkandung dalam sebuah teks sebagai struktur semantis dan yang
menyangkut persamaan-persamaan ataupun perbedaan-perbedaan
(Nurgiyantoro, 2000: 68). Biasanya tema tidak ditampakkan secara langsung,
tapi tersamar, karena tema itu sendiri merupakan makna keseluruhan dalam
sebuah karya sastra.
III. Plot/alur
Plot mengandung unsur-unsur jalan cerita atau lebih tepatnya peristiwa
yang terjadi secara susul-menyusul. Plot adalah cerita yang berisi urutan
kejadian, namun tiap kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab-akibat,
peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan terjadinya peristiwa yang
lain (Stanton (1965) dalam Nurgiyantoro, 2000: 14). Plot memiliki tiga unsur
yang sangat penting dalam membangun dan mengembangkan sebuah plot.
Penahapan plot menurut Richard Summers (Nurgiyantoro, 2000:149) yang
terdiri dari:
a. Tahap penyituasian, tahap ini merupakan tahap pengenalan situasi latar-
tokoh-cerita. Tahap ini juga biasa disebut sebagai tahap pembuka cerita
yang memberikan informasi awal sebagai landasan cerita yang diceritakan.
b. Tahap pemunculan konflik, tahap ini merupakan tahap awal pemunculan
konflik. Konflik itu nantinya akan dikembangkan menjadi konflik-konflik
pada tahap berikutnya.
c. Tahap peningkatan konflik, dalam tahap ini, konflik-konflik yang sudah
berkembang semakin meningkat, sehingga cerita akan semakin dramatik
7
dan mencengkam. Pertentangan dan benturan internal maupun eksternal
yang mengarah ke klimaks tidak dapat dihindari lagi.
d. Tahap klimaks, dalam tahap ini, konflik atau pertentangan-pertentangan
yang dialami tokoh dalam cerita mencapai titik puncak (klimaks). Tahap
klimaks biasanya dialami oleh tokoh-tokoh yang terlibat dalam konflik
utama.
e. Tahap penyelesaian, dalam tahap ini, setelah konflik mencapai klimaks,
maka semakin lama ketegangan akan dikendorkan dan diberi penyelesaian
yang dapat berupa sad ending, happy ending, ataupun gantung.
8
2. Latar Waktu berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya peritiwa-
peristiwa yang terdapat dalam sebuah cerita.
3. Latar Suasana berhubungan dengan keadaan saat peristiwa dalam cerita
tersebut terjadi.
V. Tokoh dan Penokohan
Istilah tokoh merujuk pada orangnya, pelaku cerita, misalnya sebagai
jawaban terhadap pertanyaan: “Siapakah tokoh utama novel itu?”, atau “ada
berapa orang jumlah pelaku nobel itu?”, dan sebagainya (Nurgiyantoro, 2000:
165). Pembagian tokoh berdasarkan fungsinya, tokoh dibedakan atas tokoh
utama dan tokoh bawahan atau pembantu. Tokoh utama adalah tokoh yang
memegang peran utama, frekuensi kemunculannya sangat tinggi, menjadi
pusat penceritaan. Sedangkan tokoh bawahan adalah tokoh yang mendukung
tokoh utama yang membuat cerita lebih hidup (Priyatni, 2010: 110).
Sedangkan penokohan lebih luas pengertiannya daripada tokoh dan
perwatakan sebab ia sekaligus mencakup masalah siapa tokoh cerita,
bagaimana perwatakan, dan bagaimana penempatan dan pelukisannya dalam
sebuah cerita sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada
pembaca.
VI. Amanat/ Moral
Moral atau amanat dapat dipandang sebagai bentuk tema secara kalimat,
akan tetapi tidak semua moral merupakan tema (Nurgiyantoro, 2000: 320).
Moral dalam sebuah cerita biasanya merupakan pandangan hidup pengarang
terhadap segala peristiwa yang terjadi di lingkungan sekitar pengarang yang
ingin pengarang bagikan kepada pembaca atau penikmat karya tersebut. Ada
banyak macam jenis dan wujud amanat atau pesan moral, diantaranya sebagai
berikut:
1. Pesan religius
2. Pesan hubungan sosial masyarakat
3. Kritik sosial
4. Persoalan sehari-hari manusia
5. Pesan moral yang berkaitan dengan pribadi manusia.
9
2.2 Analisis
I. Judul
Judul Nyonya-nyonya diambil karena berkaitan dengan isi drama yang
juga mengisahkan tentang nyonya-nyonya. Meskipun tokoh yang bernama
Nyonya hanya ada satu, namun Ponakan A, B dan C, juga istri, juga
merupakan seorang nyonya.
II. Tema
Secara umum drama ini mengangkat masalah ‘rapuhnya etika sosial
budaya’. Secara khusus masalah sosial dan budaya yang diangkat dalam
drama ini adalah sosial budaya suku Minangkabau. Dari tema tersebut
mengandung beberapa pokok permasalaha, yaitu:
a. Menjaga nama baik
Didalam adat istiadat yang berlaku di Indonesia yang menganut
adab ketimuran, maka bila ada seorang istri seperti yang terjadi pada posisi
tokoh nyonya ini yang sedang berada dirumah sendiri karena suami dan
ibunya tidak berada dirumah maka sangat bertentangan dengan nilai
kemasyarakatan bila ia memasukkan seorang lelaki yang tidak mempunyai
ikatan tali persaudaraan kerumahnya maka akan berakibat pada dugaan
orang yang macam-macam.
“Yang sebentar itu yang berbahaya, Tuan! Aduh… ah, Tuan ini.
Ekornya, Tuan. Bagi orang lain, ekor apa pun pasti enak. Mereka
mengira aku… dan Tuan… . Ah, pergilah! Pergilah, Tuan. Apa
Tuan tidak paham dengan ekor persoalan seperti ini?” (hal 117)
Pada kutipan tersebut jelas bahwa nyonya sangat menjaga nama
baiknya dimasyarakat. Ia selalu mempersoalkan “ekor” yang artinya efek
jangka panjang pada sebuah peristiwa.
b. Materialisme
Meterialisme tercermin dari beberapa dialog antara tuan dan
nyonya maupun nyonya seperti berikut:
“...Tuan : Lima ratus ribu. Terserah Nyonya. Nyonya lebih suka
memilih penjara atau dimarahi suami?
10
Nyonya : Ibuku tentu akan memaki-makiku.
Tuan : Terserah Nyonya, kata saya. Masuk penjara dan nama baik
Nyonya hancur atau…? (MENYERAHKAN UANG DENGAN PAKSA)
Nyonya : (MENERIMA UANG ITU DENGAN GUGUP) Ya Tuhan.
(MENCIUM UANG ITU BEBERAPA KALI) Jadi, tuan tidak mengatakan
pada siapa pun juga, bukan?...” (hal 127)
Dari dialog diata tercermin bahwa nyonya pura-pura sedih dan
takut tapi sebenarnya sangat menginginkan uang tersebut.
c. Status sosial
Pembedaan status sosial tercermin dalam dialog antara Ponakan B
dan Ponakan C, sebagai berikut:
“...ponakan B : Bagi rata, kan?
ponakan C : O, tentu. Tentu (menyerahkan sejumlah uang)
ponakan B : (Menghitung uang yang diterimanya) Hanya dua
ratus ribu? ......
ponakan C : Kau istri pegawai rendah, perbelanjaanmu tentu
rendah pula...... Istri pegawai rendah dan pegawai tinggi punya
keperluan yang berbeda. Di mana-mana begitu. Masa kau lupa pangkat
suamimu?” (hal 147)
Dari dialog tersebut terlihat bahwa ketidak adilan dalam pembagian
uang tanah pusaka. Dikarenakan status sosial ponakan C lebih tinggi dari
Ponakan B, ia menerima uang lebih besar. Alasannya karena
kebutuhannya juga besar.
III. Plot/ Alur
Plot/ Alur dalam naskah drama Nyonya-Nyonya adalah plot progrserif
(maju/lurus), karena tahapan cerita yang runtun dari penyituasian,
pemunculan konflik, peningkatan konflik, klimaks dan penyelesaian.
IV. Latar
a. Tempat : Teras
Waktu : Malam Hari
Suasana yang ditunjukkan dalam babak pertama ini adalah:
Tegang , Ketakutan
b. Tempat : Ruang Tamu
Suasana yang ditunjukkan dalam babak kedua ini adalah:
11
Kesal, Tegang
c. Tempat : Ruang Makan
Suasana yang ditunjukkan dalam babak kedua ini adalah:
Tegang
d. Tempat : Kamar
Suasana yang ditunjukkan dalam babak kedua ini adalah:
Tegang, Was-was
V. Tokoh dan Penokohan
a. Nyonya : Tokoh Utama.
Seorang wanita muda, cantik, dan seksi yang selalu memikirkan
status sosialnya di lingkungannya. Sehingga ia tak mau ada seorangpun
yang melihat dirinya bersama Tuan, karena akan menimbulkan pandangan
negative tentang dirinya sebagai seorang istri yang suaminya sedang
berada di rumah sakit.
b. Tuan : Tokoh Utama.
Seorang lelaki penjual barang antic yang memiliki fisik tidak
terlalu tua. Ia memiliki sifat yang tidak mau kalah, sehingga ia selalu
menawar apa saja yang dilarang disentuh Nyonya. Bahkan lutut nyonya
yamg dilarang untuk dipegang, ia tawar dengan harga yang terus ‘naik’.
c. Ponakan A : Tokoh Bawahan.
Kemenakan dari suami Nyonya yang tidak mau dianggap tidak
berbakti pada datuknya yang sedang sakit. Dia memiliki sifat keras dan
nekat.
d. Ponakan B : Tokoh Bawahan.
Kemenakan dari suami Nyonya yang tidak mau dianggap tidak
berbakti pada datuknya yang sedang sakit.
e. Ponakan C : Tokoh Bawahan.
Kemenakan dari suami Nyonya yang tidak mau dianggap tidak
berbakti pada pamannya yang sedang sakit. Dia memiliki sifat serakah
atau tidak adil karena meminta bagian uang yang lebih besar dari Ponakan
B.
12
f. Istri : Tokoh Bawahan.
Istri dari Tuan yang sabar menerima kelakuan Tuan (suaminya).
Ibu rumah tangga yang baik dari tiga orang anak.
VI. Amanat
Drama Nyonya-Nyonya menyiratkan amanat bahwa keserakahan bukanlah
hal yang terpuji. Sekali kita masuk dalam keserakahan, maka akan terus
terulangi. Seperti apa yang dialami oleh tokoh nyonya dia sudah menerima
uang dari penjualan marmer terasnya, sehinggi dia terus mengulangi hal yang
sama dengan menjual kursi tamu, kursi makan, hingga anggota tubuhnya
dijual pula.
13
BAB III
Unsur Ekstrinsik
3.1 Landasan Teori
Unsur ekstrinsik karya sastra adalah unsur-unsur yang terdalam sebuah karya
sastra (dalam hal ini drama) akan tetapi berasal dari luar karya itu sendiri. Unsur
ekstrinsik karya sastra bisa berupa sosial, politik, ekonomi, ideologi, psikologi,
filsafat, pendidikan, moralitas , dan lain-lain.
Sosiologi Sastra
Sosiologi sastra adalah cabang penelitian sastra yang bersifat reflektif.
Penelitian ini banyak diminati oleh peneliti yang ingin melihat sastra sebagai
cermin kebudayaan masyarakat. Arenanya, asumsi dasar penelitian sosiologi akan
menjadi picu lahirnya karya sastra. Karya sastra yang berhasil atau sukses yaitu
yang mampu merefleksikan zamannya (Endaswara, 2011: 77).
Hal penting dalam sosiologi sastra adalah konsep cermin (mirror). Dalam
kaitan ini, sastra dianggap sebagai mimesis (tiruan) masyarakat. Kendati dengan
demikian, sastra tetap diakui sebagai ilusi atau khayalan dari kenyataan. Dari sini
tentu sastra tiak akan semata-mata menyodorkan fakta secara mentah. Sastra
bukan sekadar copy kenyataan, melainkan kenyataan yang telah ditafsirkan.
Kenyataan tersebut bukan jiplakan yang kasar, melainkan sebuah refleksi halus
dan estetis.
Budaya Minangkabau (harta pusaka)
Dalam budaya Minangkabau terdapat dua jenis harta pusaka, yakni harta
pusaka tinggi dan harta pusaka rendah. Harta pusaka tinggi merupakan warisan
turun-temurun dari leluhur yang dimiliki oleh suatu keluarga atau kaum,
sedangkan harta pusaka rendah merupakan hasil pencaharian seseorang yang
diwariskan menurut hukum Islam.
Harta pusaka tinggi adalah harta milik seluruh anggota keluarga yang
diperoleh secara turun temurun melalui pihak perempuan. Harta ini berupa rumah,
sawah, ladang, kolam, dan hutan. Anggota kaum memiliki hak pakai dan biasanya
pengelolaan diatur oleh datuk kepala kaum. Hak pakai dari harta pusaka tinggi ini
14
antara lain; hak membuka tanah, memungut hasil, mendirikan rumah, menangkap
ikan hasil kolam, dan hak menggembala.
Harta pusaka tinggi tidak boleh diperjualbelikan dan hanya boleh digadaikan.
Menggadaikan harta pusaka tinggi hanya dapat dilakukan setelah
dimusyawarahkan di antara petinggi kaum, diutamakan di gadaikan kepada suku
yang sama tetapi dapat juga di gadaikan kepada suku lain.
3.2 Analisis Unsur Ekstrinsik
Naskah drama Nyonya-Nyonya merupakan cerminan dari kehidupan
masyarakat pada saat ini. Kehidupan sosial dan budaya yang diceritakan dalam
naskah drama Nyonya-nyonya berasal dari daerah Minangkabau. Dalam adat
Minangkabau, rasa perikemanusiaan tidak pernah diabaikan oleh masyarakatnya
sehingga adat yang asli tidak terpengaruh oleh kebendaan (materi). Harta pusaka
berupa segala kekayaan yang berwujud (materi) yang nantinya akan diwariskan
kepada anak kemenakan merupakan bentuk struktur ekonomi di Minangkabau.
Harta pusaka tersebut dinilai sebagai alat pemersatu di dalam keluarga dan sampai
sekarang ini masih berfungsi sebagaimana mestinya. Akan tetapi, yang
memprihatinkan adalah tidak hanya sebagai alat pemersatu saja, malah terkadang
harta pusaka sebagai milik bersama tersebut justru sering menimbulkan
perselisihan dan sengketa dalam keluarga di Minangkabau.
Dalam naskah drama Nyonya-nyonya masalah seperti uang, tawar-
menawar, dan untung-rugi banyak direpresentasikan dalam dialog. Permasalahan
tersebut menjadi pemicu munculnya konflik yakni, masalah motif harga diri,
menjaga nama baik, dan mempertahankan nilai-nilai adat budaya. Hal tersebut,
membuktikan bahwa betapa serakah dan lemahnya jiwa tokoh utama (Nyonya)
hanya karena tawaran uang yang tinggi. Meskipun motif dibalik itu adalah
mempertahankan harga diri dan nama baik, semua diabaikan demi kepentingan
materi. Hal ini sama persis tergambar jelas dalam kehidupan sehari-hari.
15
BAB IV
Unsur Ekstrinsik
4.1 Kesimpulan
16
Daftar Pustaka
http://id.wikipedia.org/wiki/Budaya_Minangkabau
17