Anda di halaman 1dari 111

Kuda Kayu Bersayap

Yanusa Nugroho

PT TIGA SERANGKAI
SOLO

Kuda Kayu Bersayap


Yanusa Nugroho
Editor : Ambhita Dhyaningrum
Desain sampul :
Ilustrator :
Penata letak isi :
Cetakan pertama : 2004

Penerbit Tiga Serangkai


Jl. Dr. Supomo 23 Solo

Anggota IKAPI
Telp. 62-271-714344, Fax. 62-271-713607
http://www.tigaserangkai.com
e-mail.tspm@tigaserangkai.com

Perpustakaan Nasional : Katalog Dalam Terbitan (KDT)


Nugroho, Yanusa
Kuda Kayu Bersayap/ Yanusa Nugroho – Cet.I – Solo
Tiga Serangkai, 2004
viii, ….; …cm

ISBN 979-668-483-7
1. Fiksi I. Judul

©Hak Cipta Dilindungi oleh Undang-Undang


All right reserved

1
Dicetak oleh PT Tiga Serangkai
Isi diluar tanggung jawab percetakan

Kata Pengantar Penerbit

Ngrokok. Ngopi. Ngarang. (Merokok. Minum. Mengarang). Begitu biasanya Yanusa


berseloroh tentang hidupnya. Kedengaran begitu santai dan menyenangkan. Nyatanya, Yanusa
adalah manusia yang selalu diburu tenggat. Lalu, biasanya jika sudah harus berbagi konsentrasi
antara satu agenda dengan agenda lainnya, ia suka berkhayal memiliki empat tangan seperti
Batara Guru sehingga dapat menyelesaikan kerjanya dengan cepat. Kumpulan cerpennya yang
berjudul Kuda Kayu Bersayap ini pun terbit dengan ”mencuri-curi” waktunya yang amat padat.
Toh, di sela kesibukannya itu ia masih saja dapat meluangkan waktu menunggui tukang
membuat kolam untuk kedua anaknya atau, masih sempat jadi pengurus lingkungan
masyarakat tempatnya tinggal. Tengoklah, misalnya, ”Anjing” atau ”Lho” yang sarat dengan
muatan isu keseharian dalam masyarakat lingkungan tinggal. Cerpen-cerpen itu merupakan
hasil persinggungannya dengan lingkungan sosial. Kepekaannya terhadap apa yang terjadi di
sekitarnya menelurkan cerpen-cerpen bernas yang lahir bukan dari daya imajinasi belaka tetapi
merupakan hasil berinteraksi yang sesungguhnya
Yanusa Nugroho adalah nama yang sudah lama akrab di telinga kita. Maraknya nama-
nama baru di jajaran penulis Indonesia tak membuat namanya surut. Bahkan, proses kreatifnya
kian berkembang. Belakangan, dalam jarak waktu tak terlalu lama, ia menghasilkan dua buah
novel, Di Batas Angin dan Manyura. Dua-duanya sama-sama bicara tentang dunia
pewayangan, dunia yang sangat ia gilai. Yang pasti, ia memang tak pernah bisa melepaskan
perhatiannya dari dunia satu itu. Persahabatannya dengan tokoh-tokoh dalang di Indonesia
membuat ia semakin akrab dengan wayang. Di dalam Kuda Kayu Bersayap, ia juga
menyisipkan dua buah cerpen yang bicara tentang wayang; ”Wayang” dan ”Kalau Itu.”
Di dalam Kuda Kayu Bersayap, ada cerpen-cerpen yang pernah dimuat di media, tetapi
beberapa yang lain belum sempat dipublikasikan. Jadi, Anda adalah termasuk orang yang
beruntung, dapat membaca cerpen Yanusa sebelum dikonsumsi banyak orang melalui media
massa. Karena Yanusa bukan seorang pengarsip yang baik, beberapa waktu pemuatan

2
cerpennya tidak tercantum dalam Sejarah Penerbitan. Mudah-mudahan tidak mengurangi
kenyamanan Anda.
Selamat menikmati.

Tiga Serangkai

Pada mulanya adalah …

Menulis, sebagaimana halnya makan dan minum, adalah kebutuhan. Kebutuhan untuk
mengungkapkan sesuatu. Paling tidak, itulah yang saya rasakan. Dan, bentuk yang paling pas
bagi saya adalah menulis cerita.
Saya tidak tahu secara pasti mengapa saya merasa lebih pas. Mungkin saja, dengan
menulis cerita, begitu banyak hal bisa saya ungkap dengan sudut pandang paling personal. Ini
penting. Dengan menggunakan sudut pandang paling personal tersebut, saya bisa menjelajahi
relung nurani saya sendiri. Saya bisa menyalahkan diri sendiri, atau memujinya tanpa basa-
basi.
Tanpa saya sadari sepenuhnya, cerpen-cerpen yang saya ciptakan, ternyata berubah
menjadi semacam bentuk protes atas apa yang saya lihat, dengar, dan rasakan. Apa pun yang
terasa ”mengganggu” nurani saya, langsung bereaksi dan memberikan impuls lahirnya sebuah
cerita. Untung saja, saya jadi ”pejabat” di masyarakat; jadi sekretaris RT, sekretaris RW,
sekretaris masjid, selalu jadi panitia kegiatan lingkungan, sehingga saya jadi lebih banyak
bersinggungan dengan realitas sekeliling saya.
Mulai dari masalah pribadi, hingga masalah nasional. Mulai dari urusan suami main
gebuk istri, tetangga yang selalu membuang sampah di bak sampah tetangganya, sampai
panitia Pemilu. Mulai dari mengatur dan mengajak warga untuk siskamling, sampai ikut pusing
memutuskan siapa yang berhak mendapatkan daging qurban; setiap tahun. Semuanya mengalir
ke dalam kehidupan saya sehari-hari.
Namun, meskipun realitas tersebut begitu kental saya hadapi, yang muncul ke
permukaan cerpen saya ternyata bukanlah sketsa. Saya tidak tahu mengapa. Apakah memang
itu yang saya rasakan ketika bersentuhan dengan lingkungan di luar diri saya sendiri? Apakah
memang perasaan saya menyerap hal yang berbeda dari apa yang ”sebenarnya” terjadi?
Entahlah.

3
Banyak cerpen saya ditanggapi secara ‘berlebihan’ oleh pembacanya. Bahkan ada yang
mengatakan bahwa cerpen saya sulit dipahami. Saya, biasanya hanya tersenyum. Mungkin,
gaya bertutur saya yang belum ”fasih” benar, sehingga komunikasinya tidak lancar. Tetapi,
kadangkala saya berpikir lain, jangan-jangan pola pikirnya yang berbeda.
Saya memang menyukai ”warna ungu” untuk melukiskan nasib tokoh saya. Umumnya,
jika disimak lebih jauh, semua tokoh saya berwarna demikian. Kelam, remang-remang, batas-
batas sosok nasib yang tak jelas, adalah sesuatu yang entah mengapa, selalu muncul di setiap
tulisan saya. Kesenyapan, kepedihan, kegelisahan, kemarahan, kekalahan, kebuntuan, adalah
hal-hal yang tiba-tiba akrab, merangkul, merangsang dan mencumbui saya; tanpa saya ajak.
Dengan sendirinya mereka berdatangan. Dengan sendirinya mereka merasa terundang,
manakala saya mengetik cerita.
Saya juga biasa menjadi narasumber untuk workshop penulisan cerpen, baik untuk
siswa SMU, guru-gurunya, maupun umum. Ternyata, dari hasil karya mereka, yang paling
mendapat perhatian oleh peserta lain, adalah cerpen-cerpen yang menurut saya ”berwarna
ungu”. Saya berpikir, jangan-jangan, bukan hanya saya yang merasa tergetar oleh ”warna”
yang satu ini. Jangan-jangan, disadari atau tidak, diakui atau disangkal, ”warna” yang satu ini
memang memudahkan seseorang untuk memahami atau bahkan dipahami oleh orang lain. Jadi,
”warna” ini semacam medium untuk saling memahami.
Jika memang demikian, lantas mengapa masih banyak yang menganggap cerpen saya
sulit? Ini ”teka-teki” yang belum bisa saya jawab. Tapi, bukankah kata orang bijak, ”pengarang
telah mati” begitu karyanya dibaca orang lain?
***
Kuda Kayu Bersayap terinspirasi oleh tuturan seorang tetangga yang saudaranya menjadi
anggota TNI dan ditugaskan di Aceh. Kisah sebenarnya, kata tetangga saya itu, saudaranya
tidak mati, tapi jiwanya ”korslet”. Entah mengapa, saya tenggelam dalam kebuntuan yang
dialami saudara tetangga saya itu—yang bahkan tidak saya ketahui namanya itu.
Kisah-kisah yang mengangkat seekor anjing, sebetulnya—kalau saya tak salah,
berangkat dari tuturan ibu saya (almarhumah). Suatu kali, ibu saya—tinggal di Warung Buncit
dan saya di Cileduk, melihat seekor anjing kurus kelaparan. Sepiring nasi kemarin dan lauk
apapun yang tersisa, disediakan untuk si anjing tersebut sampai akhirnya dia akrab dengan ibu.
Entah mengapa, suatu kali anjing itu digropyok (dikejar dan dikreroyok) orang kampung dan
ketakutan. Dia ngumpet ditumpukan papan-papan bekas bangunan. Ketika ibu bermaksud
menolongnya, malah digigit.

4
Setelah itu, ibu tak pernah lagi melihat anjing tersebut. Dan ibu sempat bilang pada
saya, ”Apa dosa seekor anjing minta makan, sampai dikeroyok orang sekampung?”. Ucapan
itulah yang menggenang dan akhirnya menggelombang melahirkan beberapa kisah seputar
anjing; meskipun saya sendiri tidak suka memelihara anjing, kucing atau apapun yang berbulu.
Ikan koki, menurut saya lebih enak dipandang.
Hal-hal semacam itulah yang menghamili nurani saya. Maka lahirlah sebuah cerpen.
Di kumpulan ini, saya kira, kisah yang saya tuturkan cukup beragam. Kumpulan ini,
terdiri dari tulisan dengan rentang waktu yang berjauhan. Ada yang saya tulis 7–8 tahun lalu
dan belum pernah dipublikasikan (tentu saja saya ketik ulang—karena filenya sudah lenyap
entah kemana) dan ada yang benar-benar baru. Ada pula yang pernah dipublikasikan di
beberapa media massa. Meskipun demikian, ternyata semuanya masih memiliki ”warna” yang
sama.
Entahlah, semuanya begitu saja terjadi. Semuanya, sebagaimana saya sering
ungkapkan, seperti sebotol kecap yang tumpah, isinya berleleran keluar begitu saja. Mengalir
ke mana ada ceruk, menggenang di mana ada yang datar.

Yanusa Nugroho
Pinang, 982.

Daftar Isi

Kata Pengantar Penerbit


Pada mulanya adalah...
Daftar Isi
Anjing
Bom
Kambing
Nam-ma, Namamu…
Penyair dan Ular
Randu
Baterai
Wayang

5
Di Taman Kota Singapura
Saya, Anjing
Kuda Kayu Bersayap
Si Rambut Panjang Itu
Umairah
Kapan Pulang?
Laki-Laki yang Menusuk Bola Matanya
Lho
Dusta Itu
Maaf Kalau
Sejarah Penerbitan
Tentang Penulis

ANJING
(gambar 1)

Entah mengapa, selalu saja ada orang yang menganggapku gila. Mungkinkah aku
memang seperti yang mereka lihat? Aku lama-lama pusing juga menghadapi anggapan-
anggapan seperti itu, meskipun tadinya aku tidak mengindahkannya.
Aku dan anjing-anjingku mereka anggap sekelompok makhluk gila. Sepertinya—
menurut mereka—Tuhan telah salah menciptakan kami. Padahal, apa yang salah dengan
seorang lelaki kurus berambut panjang yang memelihara lima ekor anjing ini? Aku adalah
lelaki biasa. Berdiri dengan dua kaki. Bertangan tidak lebih dari dua. Mataku sepasang.
Kupingku ada di kiri dan kanan. Berhidung yang juga berlubang. Bermulut tidak membujur di
bentangan wajah. Apa bedanya aku dengan mereka?
Lalu anjing-anjingku ini. Apa yang membuat mereka berpikir bahwa makhluk-makhluk
lucu ini berbeda dengan anjing-anjing yang lain?
”Anjingnya suka sekali permen” begitu celetuk entah siapa, ketika tanpa sengaja aku
mendengarnya. Anjingku, terutama si Rino itu, suka sekali permen atau semua yang manis-
manis. Apa salahnya dengan itu?

6
Semua anjingku, terutama si Rino, anjing hitam nyaris sebesar kambing itu, adalah
kawan karibku. Jika mereka menyalak atau menguik-nguik ketika berkejaran, memang
begitulah sifat anjing. Kalau mereka melolong-lolong di malam hari, ya, memang itulah yang
bisa mereka lakukan, apa mau disuruh main gitar?
Rino kupelihara sejak dia masih kecil, saat berjalannya pun masih terhuyung-huyung
karena keberatan perut. Bulunya hitam legam dan kelihatan lucu. Dia kutemukan di tempat
pembuangan sampah umum. Hanya karena kulihat dia lucu, aku tergerak untuk
memeliharanya. Ketika dia besar ternyata galaknya minta ampun, beberapa kali tanganku
digigitnya. Aku pernah bertanya kepada seorang kawan mengapa ada anjing yang dipelihara
sejak kecil, kok, masih juga menggigit majikannya. Kata temanku, begitu melihat sendiri sosok
si Rino, anjing ini adalah jenis ras Kintamani. Ras Kintamani, katanya, adalah ras anjing hutan
dan tidak bisa dipelihara karena sifatnya masih buas.
Setiap kali dia menggigitku, kupukul dia dan kukatakan bahwa aku tidak suka digigit.
Lama-lama dia mengerti juga. Kini, dia adalah yang paling manja di antara yang lainnya. Dia
juga, dengan badannya yang nyaris sebesar kambing itu, pernah menyelamatkan hidupku.
Suatu malam, sepulangku entah dari mana, aku tak ingat lagi, aku dicegat beberapa
pemuda. Mungkin mereka mau merampokku, mungkin sekadar iseng karena mabuk. Mungkin
dari jauh, mereka melihat aku seperti perempuan malam dengan rambutku yang tergerai.
Namun, begitu dekat dan melihat aku ternyata adalah laki-laki sebagaimana mereka juga,
mereka jengkel. Tanpa sebab yang berarti, salah seorang mendorongku dari belakang, lalu
yang ada di depanku menghantamkan tinjunya. Hidungku berdarah. Entah bagaimana, Rino
tiba-tiba muncul, menggeram, dan merobek punggung serta tangan begundal-begundal itu.
Mereka terluka parah dan kocar-kacir. Dan, Rino masih saja berusaha memburu salah seorang
dari mereka. Jika saja aku tidak berteriak bahwa aku suka dia membunuh orang itu, pasti
putuslah leher pemuda itu.
Itulah Rino, salah satu anjingku. Si Pepe juga begitu. Anjing buntek lucu itu juga
manja, tapi takut bermanja-manja padaku jika ada Rino di dekat kami. Dia ini suka sekali
manggis. Ya, buah manggis. Ia juga menyukai duku, rambutan, bahkan durian. Begitu
sayangnya aku pada mereka, sampai-sampai aku meluangkan waktu khusus untuk membelikan
semua kegemaran mereka. Terkadang berkeranjang-keranjang buah aku beli dan itu rupanya
menimbulkan pertanyaan bagi tetanggaku.
”Siapa yang mau datang, Pak? Kok banyak bener beli buahnya?” ledek seorang tetanggaku.
Atau pertanyaan, ”Mau bikin kontes buah, ya?” adalah sebuah celetukan yang sangat biasa

7
kudengar. Aku sudah hafal itu semua dan, anehnya, mereka selalu mengulang-ulang ucapan
yang sama, seolah mereka sudah lupa pada apa yang baru saja mereka ucapkan.
Tetapi, sudahlah, aku tak memiliki siapa pun di dunia ini kecuali anjing-anjingku ini.
Mereka juga bukan jenis anjing yang sok cari muka di depan majikannya. Mereka akan jinak-
jinak dan tenang-tenang saja manakala ada orang memasuki pekarangan rumahku, tidak seperti
anjing lain yang segera menyalak garang ketika ada orang asing memasuki wilayahnya.
Terutama Rino, meskipun tampangnya sangar dan ukuran tubuhnya yang sebesar kambing
bandot itu membuat takut siapa pun yang memandangnya, dia hanya melongokkan kepalanya
ke arah pintu manakala ada seseorang yang masuk. Ada atau tidak ada aku, mereka akan duduk
manis di beranda rumahku. Yang kecil-kecil bercanda, yang besar-besar bermalas-malasan.
Tapi, ini dia anehnya, pada suatu kali ada orang yang mengatakan bahwa anjingku
menyerang seseorang. Seseorang tersebut tidak terima, melapor pada Pak RT dan mengatakan
kepadanya bahwa anjingku sebaiknya dikarantina, takut kalau-kalau mengandung virus rabies.
Pak RT segera mencariku dan dengan ucapan yang kurasakan seperti sudah
dipersiapkan jauh hari sebelumnya, ia langsung memberondongku dengan kata-kata yang
nyaris seluruhnya adalah umpatan. Aku terbengong-bengong. Bagaimana mungkin seseorang
yang dituakan di kampung ini, yang oleh banyak orang bahkan dikenal sebagai orang alim,
memiliki kosa kata yang demikian kotornya?
Aku, dengan ketenangan yang seperti biasa kujalani, mengatakan bersedia menanggung
biaya pengobatan si korban.
”...kalau memang benar, Pak,” tambahku.
”Jadi sodara menganggap saya ini bohong? Sialan! Sodara ini orang macam apa, sih?”
”Pak, Bapak melihat sendiri orang yang, katanya, digigit sama si Rino itu?”
tanyaku masih dengan ketenangan sehari-hari.
Pak RT diam saja, matanya tetap melotot. Tak lama dia pergi dari rumahku, tanpa ba-
bi-bu. Aku sendiri hanya tersenyum memandangi kejadian aneh yang baru saja terjadi ini. Dan,
sampai minggu berikutnya, aku tidak kedatangan tamu yang mengklaim digigit Rino. Aku
sendiri tidak ambil pusing. Terserah saja orang mau mengenal atau membenciku, nggak soal.
Itulah semua cerita tentang aku dan anjing-anjingku, yang entah mengapa cukup dijadikan
sebagai alasan untuk menempelkan cap bahwa aku gila.
Terima kasih!
Suatu kali, aku pergi ke masjid, di kampungku karena mencari seseorang. Ketika kucari
di rumahnya, istrinya bilang dia ada di masjid, katanya sedang rapat menjelang peringatan
Maulid. Aku pun segera melangkahkan kaki ke masjid, tanpa prasangka apa-apa.

8
Menjelang masuk halaman masjid kulihat cukup banyak laki-laki sedang duduk
melingkar dan tampaknya sedang membicarakan sesuatu. Kucari-cari Kang Rus dan dia
kelihatan di antara mereka. Begitu melihatku, Kang Rus segera beranjak dan menyongsongku.
Sekilas kulihat ada wajah-wajah yang kurang senang dengan kehadiranku di masjid itu.
”Ada apa, Mas?” tanya Kang Rus sopan. Dia memang orang yang cukup baik
kepadaku, hanya saja pertemanan kami memang sangat terbatas. Maklum, dia pedagang di
pasar sehingga tak banyak waktu untuk nongkrong.
Aku kemudian mengutarakan maksudku tentang ada orang yang pesan sesuatu pada
Kang Rus. Hanya itu dan semuanya baik-baik saja, lancar tak kurang suatu apa. Akan tetapi,
sebelum aku membalikkan badan dan pulang, Kang Rus sempat berbisik.
”Lain kali, kalau nyari saya di rumah saja.”
”Lo, tadi saya ke rumah, tapi kata mbakyu sampean ada di sini. Kenapa, to?”
Kang Rus hanya diam dan tersenyum. Ada rahasia yang agaknya tidak tepat untuk
diutarakan. Aku tanggap. Pasti ada orang yang kurang senang aku pergi ke masjid.
Aku hanya menunduk dan merasakan tusukan yang luar biasa. Bukankah bangunan ini
digunakan untuk mengagungkan sesembahan manusia? Bukankah ini adalah bukti adanya
manusia yang menjunjung keesaan Tuhan? Lalu siapakah aku ini jika bahkan menapakkan
kakiku di halaman masjid pun tak dikehendaki? Benarkah Tuhan tak menghendaki manusia
sepertiku? Apa salahku?
Kang Rus seolah paham perasaanku, dia seperti membaca perubahan wajahku. Dia
menepuk pundakku dan mengajakku pulang. Ada panggilan dari seseorang yang mengatakan
bahwa rapat belum selesai, tapi Kang Rus diam saja dan tetap menemaniku pulang. Sebersit
kesejukan menyiram jiwaku. Semoga Tuhan menyediakan surga baginya.
”Sampean harus maklum, mereka kan tidak suka sama anjing…”
”Ooo…, hanya karena itu terus saya disingkiri?”
Kang Rus hanya tersenyum. ”Sampean jangan ikut-ikutan bodoh seperti mereka.
Biarkan saja, nanti kan, lupa sendiri.”
Tapi, bagaimana mungkin aku bisa mengesampingkan begitu saja masalah ini? Hanya
karena aku memelihara anjing, lantas mereka mengucilkan aku. Mungkinkah kedatangan Pak
RT dulu itu juga disebabkan ketidaksukaan orang-orang terhadapku dan anjing-anjingku?
***
Ucapan Kang Rus membuatku kian panas. Bukan apa-apa, tetapi aku ingin meyakinkan
orang-orang itu bahwa anjing adalah hewan ciptaan Tuhan sebagaimana manusia dan yang
lainnya.

9
Pada perayaan Maulid yang diselenggarakan di kampung ini, aku sengaja datang dan
duduk di dekat pohon yang tumbuh di depan masjid. Tentu saja aku bersama rombonganku,
kawan-kawanku, semuanya berjumlah sekitar 10 ekor: besar–kecil.
Kubiarkan saja orang-orang yang memandangku dengan sinis. Aku abaikan usulan pak Hansip
yang memintaku mengikat anjing-anjing itu agar tidak masuk pelataran masjid.
”Pak, saya jamin anjing saya tidak akan keluyuran ke mana-mana. Jika saya duduk di
sini, mereka juga akan duduk manis di dekat saya. Pokoknya jangan diganggu, pasti mereka
tidak akan usil,” jawabku tenang.
Rupanya, jawabanku itu membuatnya tak senang. Dia melaporkan semuanya pada
pengurus masjid. Dan, ketika seorang pengurus masjid melambaikan tangannya ke arahku agar
aku mendekat, aku pun sudah tahu apa yang akan terjadi.
Celakanya, tentu bagi orang yang memanggilku, ketika aku berdiri dan berjalan ke
arahnya, semua pasukanku ikut. Tentu saja dia jadi panik karena dia ada di halaman masjid.
”Anjingnya jangan dibawa masuk, nanti menyebar najis!” teriaknya jengkel.
”Kalau begitu saya di sini saja, supaya mereka tidak ikut.”
”Makanya diikat…,” sela hansip yang tadi dengan nada jengkel. Kutatap dia dengan
tatapan menantang, dia gentar, lalu pura-pura mengeluarkan rokok dan memandang ke arah
lain.
Akhirnya si pengurus, diikuti pandangan panitia dan tamu-tamu lainnya, mendekatiku
dengan langkah ragu. Tentu saja dia takut diendus anjing-anjingku dan kesuciannya akan
dipertanyakan Tuhan. Haha!
Kusuruh anjing-anjingku, di bawah pimpinan Rino, agar diam di dekat pohon dan
jangan mengitariku. Rino paham dan sebagai komandan dia bisa dibanggakan. Anjing-anjing
itu–baik yang besar maupun yang masih kecil-kecil, duduk manis atau bergulingan di dekat
pohon. Aku tersenyum bangga. Anak-anak kecil yang menyaksikan semuanya ikut tertawa
riang.
”Sirkus!” teriak salah seorang di antara anak-anak itu.
”Ada apa, Pak?” tanyaku ramah dan mengulurkan tangan menyalaminya, tetapi segera
kutarik tanganku karena kulihat dia sengaja menyembunyikan kedua telapak tangannya di balik
kantong bajunya.
”Begini, sampean kan, tahu…, ini masjid. Masak ke sini bawa anjing?”
”Lo, apa saya tidak boleh ke masjid, Pak?”
”Boleh. Tapi, anjingnya ditinggal di rumah saja.”

10
”Saya mengerti. Tapi, saya kan, hanya ingin mendengarkan ceramah dari luar halaman
masjid. Saya tidak bermaksud masuk ke halaman. Saya tahu, bahwa dikhawatirkan anjing saya
kencing sembarangan..”
”Pokoknya jangan!”
”Lo, mereka bahkan jauh dari pagar masjid, Pak. Zaman nabi saja anjing biasa diikat di
halaman masjid oleh pemiliknya yang salat Jumat, karena setelah itu mereka akan pergi
berburu.”
”Sudah, jangan jadi da’i. Salat saja nggak pernah malah sok mengutip riwayat,”
ucapnya jengkel. Mukanya merah padam.
Aku terdiam. Kulihat si hansip mengepulkan rokoknya. Gerahamnya berkerot-kerot,
rupanya dia juga panas mendengar jawabanku.
”Kamu jangan sok jadi jagoan, ya..” ucap si hansip tiba-tiba dan dengan gerakan
mendadak dia menyerangku. Tanpa kukomando, Rino melaju dan menggongong keras, diikuti
Mona, Pepe dan yang lainnya. Anak-anak lari dan berteriak-teriak. Sempat kulihat wajah si
hansip pias, pucat. Panitia lainnya segera menghambur dan bermaksud mengeroyokku.
Kuhardik Rino dan seketika itu juga pasukanku berhenti. Moncong mereka terbuka
seakan memamerkan deretan tajam gigi-gigi mereka. Tanpa mengucap apa pun, dan hanya
menebarkan pandangan tak senang, kutinggalkan orang-orang suci itu menjalankan ritualnya.
Dalam hati aku hanya menangis. Aku menyaksikan seorang anak kecil dengan sarung tambalan
terduduk di sudut masjid menatapku dengan pandangan menerawang: itu adalah diriku yang
kanak-kanak. Aku menyukai masjid yang selalu membuat hatiku sejuk dan tenteram.
***
Sesampai di rumah aku hanya bisa terduduk lesu, memandangi kawan-kawan baikku itu
dengan perasaan tak menentu. Si Pepe berkejaran dengan anak-anak si Mona, anjing
persilangan labrador, entah milik siapa dulunya. Sebagaimana Rino, Pepe, dan yang lainnya,
Mona juga anjing yang kutemukan terlantar di pinggir jalan dalam keadaan kurus, kudisan, dan
mau mati. Padahal sebenarnya dia cantik, bagus, dan kelihatan mahal karena memang ternyata
ada darah labrador mengalir di tubuhnya.
Anjing-anjing lain seakan tak peduli dengan keresahanku, kecuali Rino. Anjing satu ini
seperti mampu membaca pikiran dan gelagat perasaanku. Hmm.. aneh juga, seekor anjing yang
katanya ras liar, kok, malah punya semacam tepo sliro padaku. Rino seakan memahami bahwa
saat ini aku membutuhkan simpati dan perhatian, sebagaimana telah kulakukan kepadanya
waktu dia pertama kali kutemukan. Kuusap-usap kepalanya yang hitam dan dia setengah
memejamkan matanya.

11
”Apa salahnya menjadi seekor anjing, Rino, sehingga orang begitu membenci
kaummu?” gumamku sambil menatap anjing besar yang diam saja itu.
Aku kemudian menyiapkan makanan buat mereka. Hari mengalir ke gelap malam.
Lampu-lampu sudah menyala. Di sana-sini sayup kudengar siaran televisi. Ada penjual
makanan lewat. Namun, aneh, ada gelisah yang menggelimang di perasaanku. Apalagi saat
kuperhatikan Rino seakan membatu di tempatnya semula, tak beranjak dari dekat kursi
beranda. Dia bahkan tak tertarik pada makanan, sehingga jatahnya dihabiskan si Pepe gendut.
***
Malamnya aku tak bisa tidur. Setelah kuhabiskan sebuah novel tebal, mataku seakan
kian memiliki tenaga untuk berjaga. Beberapa saat kemudian aku mendengar suara gaduh. Tak
lama gonggong keras si Rino menyentakkanku dari kesendirian. Segera aku mengambil
pentungan, menyambar senter, dan menerjang keluar.
Di halaman kulihat sesuatu yang sebetulnya seakan sudah terbayang di benakku sejak
sore tadi. Dua orang tampak menjerat Mona dan sudah berhasil memasukkannya ke dalam
mobil, sementara di halaman kulihat seorang laki-laki berusaha keras melawan amukan Rino.
Melihat aku keluar dengan pentungan dan tak mungkin menyelamatkan kawannya di bawah
ancaman taring Rino, mobil dan penumpangnya yang membawa Mona, melesat.
Pergumulan masih terjadi. Orang itu terguling, melolong, dan putus asa melawan
amukan Rino. Darah mengalir dari luka-luka di tubuhnya. Seperti memahami kehendakku,
Rino dengan sendirinya tegak mengancam dan menakut-nakuti laki-laki yang kehabisan napas
itu.
Kupandangi saja laki-laki malang itu. Senter kunyalakan tepat di matanya dan dia
berusaha menghindar. Kutendang dia hingga terampun-ampun dan menangis. Kupentung
kepalanya karena geram. Dia pun melolong.
Kuseret dia dan kuikat di tiang beranda rumah. Kucecar dia dengan pertanyaan. Dan,
demi mendengar jawabannya, aku gemetar.
”Rupanya kamu yang selama ini memburu dan menjual daging anjing? Sekarang
gimana kalau kamu jadi makanan anjingku, yang itu? Rino…, gigit!”
Dia melolong dan menangis meminta hidup. Rino seperti paham bahwa aku hanya
menggertak, giginya yang tajam hanya didekatkannya saja di leher laki-laki itu. Geramnya
menghancurkan keberanian laki-laki itu dan membuatnya langsung pingsan.
”Rino, biarkan saja….”

12
Malam masih saja sunyi. Aku heran, dengan kegaduhan ini, tak seorang pun tetanggaku
muncul. Hansip yang biasanya ronda pun tak kelihatan. Aku curiga, jangan-jangan…, ah,
mudah-mudahan hanya kebetulan saja.
Anehnya, selang beberapa lama kemudian tampak sebuah mobil kijang berhenti
dengan buru-buru di jalan depan rumahku. Kulihat ada Pak RT dan petugas kepolisian. Aku
lega, akhirnya ada orang yang mendengar kegaduhan ini.
”Ini, Pak…, orangnya sudah saya tangkap,” kataku sambil mendekati orang-orang itu.
Di luar dugaanku, salah seorang malah meringkusku. Aku meronta dan berteriak-teriak
bahwa yang penjahat adalah orang yang kuikat itu. Rino menggonggong ganas dan menyerang
orang yang meringkusku. Taringnya merobek lengan laki-laki itu. Para petugas berpakaian
sipil itu panik dan secara serempak mencabut senjata mereka.
Halimun turun di malam musim panas. Menciptakan tirai tipis dan gerak lamban pada
setiap detak jantung kehidupan. Kusaksikan butiran peluru meluncur indah, membentuk
komposisi cantik, menembusi tubuh Rino dengan mencipratkan kelopak-kelopak mawar dari
luka tubuh malangnya. Dalam gerak lamban itu kusaksikan betapa indahnya tubuh Rino,
melengkung ke atas, keempat kakinya menggapai keadilan, leher dan moncongnya seakan
mengoyak sunyi. Beberapa kali, di setiap cipratan kelopak mawar merah yang lahir dari
tubuhnya, Rino terdongak, terlonjak, sebelum akhirnya dari moncongnya mendengking
lolongan panjang mempertanyakan kemanusiaan.
Tubuhnya ambruk ke tanah, disambut genangan darahnya sendiri. Tenang tanpa
gerakan sedikit pun. Ada debu tipis yang masih melayang di sekitarnya.
”Pak, kenapa dia ditembak? Apa salahnya?” teriakku setengah menangis karena geram.
Hanya sebuah tempelengan tangan yang menjawab pertanyaanku. Kulihat, ternyata dia
adalah si hansip—bedes itu.
Aku berusaha menjelaskan kepada para petugas itu bahwa rumahku kemasukan maling.
Mereka mencuri si Mona dan orang yang satu itu tak bisa lari karena Rino terlebih dahulu
mencegahnya. Namun, salah seorang malah mengatakan bahwa aku main hakim sendiri
dengan menyiksa manusia dengan gigitan anjing. Ketika kujawab bahwa sebetulnya aku mau
melaporkan peristiwa itu dan berusaha mencari-cari peronda tetapi sia-sia, mereka malah
beramai-ramai menjotosiku.
”Kamu sama saja dengan anjing-anjingmu, nggak bisa diajak bicara,” entah siapa yang
berucap itu.
Tuhanku, siapakah mereka yang mengelilingiku saat ini? Mengapa nyala kebencian
begitu mudahnya menyulut mereka? Dan, lihatlah, duhai junjunganku, hanya karena anjing,

13
semua menanggalkan nuraninya? Benarkah kebencian mereka sebegitu besarnya pada seekor
anjing? Apa yang salah dari makhluk ciptaanmu ini? Aku sungguh tak mengerti.
Mataku masih saja menatap tubuh Rino lunglai tak bernyawa. Darah masih saja
mengalir lemah dari tubuh lukanya. Orang-orang itu entah ke mana, bersama maling keparat
yang akan menyembelih Mona dan memakan dagingnya. Oh, Mona anjing cantikku, semoga
kau menerima semuanya dengan tabah. Jangan khawatir, aku akan menjaga anak-anakmu.
Mereka yang gendut dan lucu-lucu itu akan tumbuh kuat, cantik, dan tegar.
Setelah kukuburkan tubuh Rino di sepertiga malam berhalimun itu, aku mandi dan
merebahkan diriku di ranjang. Aku mencoba melupakan gempuran ngilu dan perih di setiap
jengkal tubuhku.
Beberapa saat kemudian, kulihat pintu rumahku sedikit terbuka dan kulihat Rino berdiri
tegak dengan gagahnya. Dia menjulurkan lidahnya dan seakan mengatakan sesuatu padaku.
Lidahku kelu dan tubuhku bagai lengket di ranjang. Kupandangi saja Rino yang hanya tegak di
ambang pintu.
Lama kelamaan kusaksikan tubuhnya bercahaya, memutih, dan menyilaukan mata.
Aku terbangun oleh cahaya pagi yang menyeruak dari celah jendela yang tak begitu
rapat kututup.
Tiba-tiba kudengar daun pintu berbunyi, seperti ketukan, namun setelah kuperhatikan
sebetulnya sebuah sundulan. Sundulan yang kukenal betul. Itu sundulan Rino, yang selalu
membangunkanku di pagi hari. Hanya dia yang tidur di teras depan, yang lain di belakang
rumah. Rino membangunkanku. Rino?
Mana mungkin, Rino sudah mati. Sudah ada di surga para anjing. Kuseret tubuhku
yang serasa remuk ini ke pintu yang terkunci.
Mataku tak percaya melihat apa yang ada di depanku.
Bulunya hitam pekat, kurus, menggeram-geram ganas mengancamku. Hanya saja
anjing itu masih bayi. Aku tersenyum, tak terasa air mataku mengalir. Itulah kebiasaan Rino
ketika pertama kali kubawa pulang ke rumah ini.
”Selamat pagi, Rino….”

Pinang, 982

BOM
(gambar 2)

14
Aku butuh bom!
Ya, bom-bom itu membuatku hidup dan aku menjadi yang terbaik, teratas di antara nama-nama
itu. Karenanya, yang kuincar adalah bom! Sekali lagi bom!
Bagi sepasang telingaku, gelegar ledakannya sungguh membuatku marem.
Sebagaimana aku mengalami kenikmatan luar biasa apabila mendengar dengung gong di antara
aneka bunyi gamelan. Luar biasa.
Aku selalu memburu di mana ada bom bermunculan. Dengan kendaraanku, aku harus
memacunya, berhenti tepat di atasnya, dan …, ”Bum!” bom itu meledak. Luar biasa!
Nikmatnya tak terkira.
Aku selalu katakan pada orang-orangku bahwa bom itu adalah ’nyawa’ kita. Setiap
bom berhasil kita ledakkan, berarti kita telah menyambung nyawa kita. Mereka mula-mula
tidak paham sama sekali.
Ah, anak sekarang, tidak memahami etika sebuah permainan. Bahkan bercinta pun
mereka maunya menuju puncak dan selesai. Padahal, puncak sebetulnya sangat mudah dicapai.
Tetapi menciptakan puncak, itu adalah sebuah seni. Anak sekarang terlalu banyak makanan
instan, tak heran kalau pikiran mereka tidak kreatif. Sebagaimana kau saksikan di mana-mana,
bahkan goyang pinggul pun mereka harus nyontek! Gila!
Ya, aku katakan pada mereka: menunggu, memburu dan meledakkan sebuah bom
dengan perhitungan yang matang adalah sebuah seni. Menciptakan bunyi gelegar yang
menggetarkan jiwa adalah hal yang tak bisa begitu saja dilakukan; salah-salah diri kitalah yang
terkena ledakannya. Konyol!
”Menikmati sebuah seni, harus menempuh suatu tantangan…,” kataku kepada mereka,
ketika pada suatu kali mereka memberanikan diri menanyakan hakikat seni. Sebagaimana kau
duga, wajah mereka kosong, penuh kedunguan kental yang menyelimuti kepala mereka. Otak
mereka menciut, maklumlah, kebanyakan fast food!
”Di dalam seni menikmati ledakan bom, membuat aliran adrenalin menderas adalah hal
yang paling pokok. Ledakkan bom, sedetik setelah kalian mampu menghindarinya. Kalian
tidak menggunakan kanon yang ditembakkan dari jarak jauh. Kalian juga bukan seorang
snipper, yang menjatuhkan lawan dari jarak jauh. Tetapi, kalian adalah peledak bom, dan
menikmati setiap ledakan tanpa menimbulkan goresan di kulit kalian adalah sebuah seni yang
tinggi.”
Mereka tegang mendengarkan ocehanku. Ah, anak-anak kerbau! Bagaimana mungkin
mereka bisa menjadi penguasa dunia, jika makan cabe rawit pun perut mereka sudah melilit.

15
Seorang teman dekatku, yang sudah senior juga di dunia seni peledakan bom,
menelepon. Dia bilang bahwa aku sudah sinting mencari bibit yang sanggup menggantikan
kedudukanku.
”Sudahlah. Zaman seni meledakkan bom, seperti yang kita lakukan selama dua puluh
tahun ini, sudah pudar. Zaman keemasannya sudah suram dan dilupakan orang. Kita jadi
peternak lele saja. Gampang. Tinggal bikin jamban, lalu kita berak di sana, itu sekaligus
menjadi makanan si lele. Tiga bulan kemudian lele-lele itu gemuk dan laku keras di pasar.
Nggak perlu perawatan khusus, gampang, nggak ada penyakit aneh-aneh, harga jualnya
bagus. Apa lagi? Mau ternak lele? Gua ada tanah….”
Telepon ditutup dengan gelak tawanya yang menyakitkan.
Aku masih mencoba meyakinkan diri sendiri bahwa meledakkan bom adalah suatu seni.
Bukan asal meledakkan. Meledakkan dari jarak dekat, dalam situasi keramaian yang wajar,
dengan kemungkinan besar bom direbut orang lain dan dijinakkan terlebih dahulu, di situlah
adrenalin kita dipacu, digenjot keras-keras. Dan manakala kita berhasil mendengarkan ”bum!”,
aaah… sorga ada di genggaman, rasanya.
***
Akhirnya, tugas-tugas itu aku kerjakan sendiri. Percuma saja mengendalikan mereka
yang berpikiran cetek dan tidak menghargai indahnya seni peledakan. Maka, aku pun kembali
menjalani kehidupanku. Aku kembali ke masa-masa dua puluh tahun lalu. Aku harus
mengintai, memperhitungkan jarak, posisi, dan kecepatanku. Aku harus menghitung, apakah
ketika aku lepaskan, tidak ada bom yang mungkin saja diarahkan padaku. Seperti kukatakan
tadi, aku penghancur bom dan mungkin saja mati oleh bom; bom lawan tentu saja.
Di dalam keramaian yang monoton, yang tak punya variasi ini, sebuah ledakan adalah
sebercak warna yang menghidupkan suasana. Akan tetapi, di sinilah seninya. Aku bisa mati
tetapi sekaligus menyambung nyawa dengan bom-bom itu. Aku hidup dalam suatu kompetisi
yang tak mungkin kau pahami. Aku melawan diriku sendiri. Aku harus menciptakan diriku
sendiri sebagai tonggak, tolok ukur keberhasilanku. Karena, seperti kukatakan tadi, belum ada
yang bisa mengalahkanku. Aku tidak sombong. Aku hanya bicara apa adanya.
Dalam setiap operasiku, aku menghadapi sepuluh tantangan. Tantangan itu berupa
lapisan-lapisan yang kian merumit. Ya, sebagaimana kau memasuki wilayah musuh,
menghancurkan orang di tengah kerumunan orang di pasar adalah pekerjaan paling mudah;
anak kecil ingusan pun sanggup. Akan tetapi, justru ketika yang kau tuju adalah seseorang
yang selalu berdua dengan orang lain, tetapi kau hanya boleh menghancurkan yang kau tuju itu
saja, nah, itu yang memerlukan perhitungan cermat. Dan, itulah yang paling kusuka.

16
Kau bisa saja merampungkan pekerjaan hanya dengan sekali gebrak, tetapi bagiku, itu
pekerjaan para amatir. Aku bukan amatir, aku tak suka pekerjaan penyabit rumput; sekali tebas
dapat rumput segenggam. Aku memperlakukan lawanku sebagai individu dan harus
kuhancurkan sebagai individu, lantaran aku adalah seorang individu.
***
Ya, malam ini, aku harus mempersiapkan semua kebutuhanku. Maksudku, segelas kopi
panas dan sebungkus rokok. Aku sudah memberi cukup istirahat pada sel-sel otak dan mataku.
Aku siap menghadapi pertempuran—mudah-mudahan yang terakhir bagiku. Ya, malam ini aku
harus ngebom.
Lapisan pertama kumasuki. Ada empat yang harus kuhancurkan, dan dari keempatnya
aku harus waspada akan bom-bom yang pasti akan mereka gunakan sebagai penghancur diriku.
Keempat individu itu kadang bersamaan, kadang berpencar, kadang saling mendahului.
Aku menunggu. Lihat saja, yang satu mulai melontarkan bom dan dengan mudah
kusambut dengan bomku. Glar! Haha.. satu nyawa untukku. Setiap ledakan, aku mendapat satu
nyawa untuk memperpanjang dan memperbaiki kualitas hidupku. Haha.. tak ada kenikmatan
seperti saat mendengarkan suara ”Glarrrr!”
Sebagaimana hidup pada umumnya, ada saat aku dicecar lawan, tapi ada saatnya juga
aku mendapatkan keajaiban. Maksudku, aku bisa kebal terhadap ledakan bom lawan, manakala
aku mendapat lingkungan cahaya yang melingkupi diriku. Aku menyebutnya ”Kekuatan
Atlantis”—entah mengapa kunamakan demikian, mungkin agar kelihatan ”nyeni” saja, yang
melindungiku dari daya hancur bom lawan. Tetapi, setelah kupikir-pikir, istilah itu kukenal
ketika pada suatu kali anakku yang kecil yang baru 3 tahun itu nyeletuk, ”Alantis, alantis...,”
ketika menyaksikan selingkup cahaya yang mengepungku. Aku paham, dia mungkin
menyamakannya dengan cahaya yang melingkupi benua Atlantis—tentu dari VCD yang dia
tonton. Aneh memang, manusia yang menghancurkan kehidupan pun mendapat bantuan entah
dari mana. Haha.. baru sekarang kurasakan hidup ini begitu nikmatnya. Hahaha….
Begitulah, dari empat individu itu akhirnya tinggal satu. Dia gelisah, sudah pasti. Dan
pada saat seperti ini, aku sepenuhnya berkuasa. Aku bisa menjadi seperti seekor kucing yang
mempermainkan tikus dengan ujung kukunya. Aku paham mengapa seekor kucing tak segera
membunuh korbannya, justru ketika si korban tak sanggup berbuat apa-apa lagi. Memang ada
kenikmatan luar biasa manakala kusaksikan lawanku mulai menangis, memohon-mohon
ampun agar diberi kesempatan hidup. Ah, rasanya aku jadi begitu berkuasa. Aku jadi begitu
besar dan kekuasaanku melingkupi seluruh kehidupan ini. Hahaha.. kekuasaan memang
memberi kenikmatan.

17
Sudahlah, lebih baik ini kusebut saja sebagai permainan, agar kau tidak tegang dan
tidak membayangkan genangan darah dan sebagainya, sebagaimana biasa kau saksikan di
televisi kita akhir-akhir ini. Di dalam permainan ini, seperti tadi kukatakan—ada nasib baik,
ada nasib buruk. Nasib baik karena kau pasti bisa meraihnya dengan perhitungan cermat. Atau,
kau bisa selamat dari kehancuran lawan dengan ketepatan perhitungan. Nah, nasib buruk
adalah sebaliknya. Perhitunganmu cermat, instingmu akurat, perkiraan jarak dan sasaranmu
memiliki presisi tinggi, tapi, toh gagal. Itu biasa, kawan. Itu biasa, percayalah.
Sebagaimana kehidupan, kau juga bisa mendapatkan ”nyawa” cadangan di dalam setiap
lapisan permainan bom ini. Maksudku, sebagaimana kehidupan, kau tentu pernah dengar
adanya rezeki yang ditebarkan Tuhan dengan adil di seluruh muka bumi ini. Nah, dalam
permainan bom ini, kau pun bisa menuai ”nyawa” untuk cadangan kekuatanmu. Akan tetapi,
sebagaimana rezeki di dunia nyata, ”nyawa” cadangan ini pun bisa direbut pihak lain. Dan
kalau sudah begitu, kita tak bisa berbuat apa-apa lagi kecuali memaki dan mengutuki. Mau apa
lagi, cari lagi, kawan! Tak usah dendam, tak usah marah-marah, karena energimu lebih baik
kau gunakan untuk berusaha lagi daripada meledak-ledak di dalam kemarahan. Sebaiknya,
tenang-tenang sajalah seperti aku. Dalam peledakan dan pengintaian, aku bisa menikmati
sesruput kopi panas, hehehehe….
***
Ketika lawan tinggal satu, aku merasakan menjadi orang penting. Maksudku, kalau aku
harus menambah kualitas hidupku, maka dia akan kubiarkan hidup sepanjang aku mau.
Mengapa? Karena dengan membiarkannya hidup dia akan melontarkan bom-bom, tentu tak
banyak di sisa kehidupannya yang tak seberapa itu, tapi setiap bom yang akan kuhancurkan
dengan bomku, tentu saja, kualitas hidupku akan meningkat sedikit demi sedikit. Memang
membosankan, tetapi, yah, sebagaimana kehidupan ini, kadang ada saat-saat membosankan,
bukan? Jangankan mereka, anak-anak muda itu maksudku, aku sendiri kadang tak tahan lama
menghadapi kebosananku. Maksudku, jika sudah demikian maka segera saja dia—individu
itu—kuhabisi, ”Glaarrrrr!” dan bersiap memasuki permainan lapisan kedua.
Pada lapisan kedua, ketiga, rasanya tak beda dari lapisan pertama, hanya saja ada satu
individu yang gila. Dia termasuk yang terpandai di antara golongannya. Maksudku, dia
memiliki fisik lebih besar, tetapi gerakannya bisa tak terduga. Kadang melamban seperti
sehelai daun di permukaan danau, nyaris tak bergerak, tetapi kadang dia melesat-lesat bagai
orang kesurupan. Dan hobinya itu yang mengerikan: dia selalu suka menghambur-hamburkan
mesiu seenak udelnya. Sekali berondong bisa 10 hingga 20 bom!

18
Bayangkan, menghadapi individu seperti ini, kau harus ekstra hati-hati, namun haha…,
adrenalin akan meningkat deras. Luar biasa! Bikin hidup, lebih hidup, kayak slogan iklan,
hahahaha….
Yang sulit, memang, dalam menaklukkan si individu cerdas ini, adalah memperkirakan
kapan renteten bomnya yang banyak itu sampai pada titik jangkau penghancuranku. Yang lebih
menegangkan lagi, apabila pada saat yang bersamaan, bantuan datang—dan itu harus
kujemput, baik bantuan ”kekuatan Atlantis” itu maupun ”pasokan” kekuatan hidupku. Jika
posisiku menguntungkan, aku bisa meraih keduanya, sekaligus menerima bom-bom musuh
yang luar biasa banyak itu tanpa mengalami cedera apa-apa; bahkan kualitas hidupku
meningkat. Haha…, aku tahu kau pasti bingung dengan permainan kehidupanku yang unik ini.
Dan jangan lupa, si jenius itu mengeluarkan 20 bom, sementara individu yang lain mungkin 2
sampai 3 bom, padahal mereka bisa berjumlah 6. Bisa kau bayangkan betapa mengasyikkannya
hidup penuh tantangan seperti ini, haha….
Namun, sering kali sial juga ikut melangkah dan bergandengan tangan dengan
keberuntungan. Ketika aku memperhitungkan mampu membiarkan si jenius itu hidup berlama-
lama dan menghancurkan individu lain yang ”kurang berguna”, sambil menunggu keajaiban
datangnya ”kekuatan Atlantis” itu, tiba-tiba bomku meledak dan menghancurkan si jenius. Aku
menyesalinya karena sesungguhnya, dialah lawan tertangguhku. Adalah lebih baik menghadapi
seorang lawan yang jago, daripada sejuta musuh yang kerbau. Ini prinsip,catat itu!
Lapisan permainanku yang cukup berat adalah ketika harus menghadapi si jenius –lain
lagi, baik ketika sendirian maupun ketika berdua dengan jenius pasangannya. Ini bisa celaka
berkali-kali, karena berondongan bomnya menjadi berkali lipat jumlahnya sementara aku
hanya memiliki 10 bom. Tentu, aku bisa menambah, tetapi, kan perlu waktu. Kalau waktunya
keburu, sih, aman-aman saja, tetapi.. seperti dalam hidup kita, siapa yang mampu
mengendalikan waktu? Hehe....
***
Malam ini aku harus mencetak angka di atas enam ribu. Jika kurang dari itu, maka
namaku tak akan tercatat di ”Hall of Fame” dunia bom. Aku pernah membukukan namaku
berkali-kali, dan rekor-rekor yang kubukukan selama ini memang mengagumkan.
Kalau saja kau sempat melihat ”Hall of Fame” , akan kau lihat tiga deretan teratas dari
10 tempat yang disediakan, adalah namaku. Ketiga namaku itu rata-rata mengumpulkan 7 ribu
poin. Urutan kesepuluh, adalah nama orang lain, yang hanya lima ribu dua ratus. Jadi, kalau
hanya sekadar mencatatkan nama, angka enam ribu sudah cukup. Akan tetapi, untuk apa aku
mempersiapkan segalanya dengan baik saat ini jika hanya menduduki peringkat ke-10? Paling

19
tidak, aku harus membukukan namaku pada urutan ke-4. Untuk menundukkan angka
tertinggi—meskipun itu atas namaku sendiri—rasanya sulit. Angka itu kucetak 20 tahun yang
lalu!
***
Maka, malam ini aku harus mengumpulkan angka-angka dengan menghancurkan bom-
bom, dengan bomku. Bom melawan bom, seru! Gelegar demi gelegar menggetarkan gendang
telingaku. Dentuman demi dentuman membuatku bergairah, bagaikan detak jantung yang
terpacu nafsu.
Aku harus berpacu melawan penjinak-penjinak bom yang, jika tidak menjinakkan
bomku, tentu saja menjinakkan bom lawanku. Dua-duanya merugikanku, lantaran aku tak bisa
meningkatkan poin yang seharusnya kuperoleh.
Dengan kopi panas yang mengepulkan aroma kenikmatan, aku mencoba
berkonsentrasi. Aku mencoba memperhitungkan dengan lebih teliti dan mengambil posisi yang
menguntungkan: maksudku sedikit bergerak, hasilnya banyak.
Aku mengawasi si jenius berbadan besar yang sudah mulai melakukan trik-trik
mematikan. Seolah kubiarkan dia melakukan semacam provokasi, mondar-mandir dengan
kecepatan berubah-ubah. Aku sudah tahu, sambil menghantami bom-bom individu yang
lainnya, ketika dia tiba-tiba melambat biasanya langsung menyemburkan bom-bom mautnya.
Oke, jenius, kalau memang itu maumu.
Aku melihat tanda-tanda turunnya ”kekuatan Atlantis”. Aku tak bergerak dan
membiarkan bom-bom lain berseliweran. Kulihat, si jenius sudah meluncurkan bom-bomnya
yang merantai, mirip miltraliur serangan udara. Sambil masih mencoba bertahan di posisiku,
aku berharap ”kekuatan Atantis” segera melingkupiku. Ya, haha.. hanya sedetik menjelang
bom itu menggapaiku, kekuatan itu menyelubungiku. Haha.. aku bisa menenggak poin
sebanyak mungkin tanpa bergerak, tanpa mengeluarkan amunisi. Ini rezeki nomplok. Ini nasib
baik. Ini hoki, hihihi….
Dentuman menggelegar berurutan menyemarakkan seranganku hari ini. Dengan
mengisap kenikmatan keretekku, aku menyaksikan poin-poinku bertambah mendekati angka
4000. sebentar lagi, pada lapisan ke-8, 9 dan 10 aku yakin bisa membukukan namaku di ”Hall
of Fame”. Siapa tahu bahkan bisa menduduki peringkat 1.
Memang, strategiku sudah kuyakini sangat bagus, tetapi, itu tadi. Sialan betul, sebuah
bom yang kuduga meluncur, ternyata beku dan ketika aku menunggu momen, aku kecolongan.
Sebuah bom menghajarku.

20
Aku harus mengulangi serangan. Memang ini biasa terjadi. Kegagalan di manapun bisa
terjadi. Maka, pada serangan kali ini aku tidak boleh terkecoh, lawan-lawanku sudah membaca
langkahku, aku harus membuat strategi baru lagi.
Aku harus…
”Ayaah… ada tamu…,” teriak anakku dari halaman.
Aku lemas seketika. Kupandangi saja lawan-lawanku yang bersorak girang karena aku
tak akan mampu lagi melakukan serangan.
”Siapa?”
”Babe Mizar,” jawab anakku.
Lebih lemas lagi, karena aku tahu, si Mizar itu pasti mau pinjam uang.
Aku masih mematung, mengisap sisa rokokku, sampai kemudian istriku muncul dan
menyemprotku.
”Gini hari main game…, matiin komputernya, habis-habisin listrik aja!”
982

KAMBING
(gambar 3)

Kemarin laki-laki itu datang lagi. Turun dari sebuah sedan hitam dengan lambang
bulatan yang dibelah empat, belang-belang biru-putih. Kipli memperhatikan dengan mata
ngantuknya. Debu mengepul ketika mobil melaju, sesaat sebelum berhenti, kira-kira 20 meter
dari tempat Kipli duduk.
Seorang laki-laki bertubuh tinggi tegap melambaikan tangannya ke arah Kipli. Kipli
sendiri kenal dengan laki-laki itu. Segera dia menuju tamu-tamu dari Jakarta itu.
”Ini Pak Bob, yang punya tanah ini. Pak, ini Kipli, yang akan mengurus di sini.”
Laki-laki yang dipanggil Pak Bob hanya menoleh dan tersenyum pada Kipli. Kipli
sendiri hanya mengangguk, merasakan arus dingin dari wajah orang kota itu.
Pak Bob menyapu pandang hamparan tanahnya yang hanya ditumbuhi semak, perdu,
sedikit pohon bambu di batas sebelah barat, beberapa batang pisang yang menggerombol di
sana-sini, dan selebihnya rerumputan liar. Rumah besar yang ada di tanah itu tampak hancur
dan memang segera dibongkar oleh pemilik barunya.
“Kamu, asli orang sini?” tanya Pak Bob. Dia mengeluarkan pipa gadingnya dan dengan
tenang mencolokkan sebatang rokok kretek, lalu menyalakannya.
Kipli menjawab dengan hati-hati, matanya tak mau lepas dari pipa gading itu.

21
”Kerjaan kamu apa?”
Kipli hanya tersenyum-senyum masam.
”Nganggur?”
Kali ini Kipli nyengir kuda.
”Urusin tanah saya, rapikan, jaga, kalau mau ditanami, ya ditanami, nanti bulanan kamu
dari saya, Mau?”
Kipli tersenyum-senyum dan langsung setuju.
”Berapa kamu minta?”
Kipli hanya tersenyum, bingung tak tahu harus menjawab apa.
”Lima ratus?” ucap Pak Bob sambil mengepulkan asap rokoknya.
Mendengar angka lima ratus ribu, Kipli seakan tersiram air panas. Berbagai bayangan
indah berkelebat di benaknya. ”Baik, deh. Makasih, Pak.”
”Hmm…, mau ditanami apa?”
Kipli terdiam, dia tak punya rencana sepotong pun lantaran pikirannya masih terikat
pada bayangan lima ratus ribu rupiah yang akan diterimanya setiap bulan. Tetapi begitu
dilihatnya Pak Bob sepertinya menunggu jawaban darinya, Kipli memutar otak menyiapkan
jawaban. Setelah berdehem-dehem tak gatal, dia pun mengatakan sebaiknya tanahnya ditanami
kacang tanah.
”Kenapa? Kenapa bukan singkong?”
”Hem... Kk… kalau bapak maunya singkong, saya tanemin singkong,” jawab Kipli
berusaha menyenangkan bosnya.
”Bukan begitu, saya nanya.. kenapa kacang, kenapa bukan singkong? Bukannya minta
ditanemin singkong?” jawab Pak Bob menahan geli campur jengkel.
Kipli senyum-senyum bingung. Pengawal Pak Bob terkikik geli.
Tapi, tak lama kemudian, ”Jadi, ditanemin singkong?” tanya Kipli lagi.
Gelak tawa menjadi-jadi.
”Ah, Lu.. siapa nama Lu tadi?”
”Kipli, Pak.”
”Pli, Kipli…, sekolah nggak , sih, Lu?”
”Cuman sampe kelas 5 SD, Pak.”
”Hmm…ya, sudah, kalau Lu bisa tanemin singkong, tanemin singkong. Kapan Lu
mulai kerjain?”
”Besok juga bisa, Pak.”
***

22
Maka, mulai hari itu Kipli mulai menggarap lahan yang hampir 5 hektar itu. Akan
tetapi, baru setengah hari mencangkul, tubuhnya sudah dirajam pegal-pegal dan tangannya
lecet. Maklumlah, dia bukan anak petani dan tidak biasa nyawah. Makin siang, kerjanya kian
lamban dan belum lagi jam 2 siang, Kipli sudah benar-benar tak kuat. Dia pulang dan nyaris
pingsan di balai-balai rumahnya.
Istrinya yang mengetahui suaminya menggeletak nyaris mati itu hanya bisa ngomel,
tentu saja sambil menggosokkan bawang dan segala macam hal untuk membuat suaminya
siuman.
Tetangga berdatangan karena melihat Kipli terbaring di balai-balai depan rumah.
Istrinya menjelaskan semuanya termasuk hubungannya dengan Pak Bob dan seterusnya. Para
tetangga hanya manggut-manggut saja dan sebagian lagi hanya berucap dalam hati bahwa
itulah buah yang diterima orang yang mau meneguk rejeki sendirian. Seharusnya Kipli ingat
tetangga, kan bisa dibantu, dan seterusnya.
Beberapa saat kemudian, Kipli terbangun dan mendapati dirinya dalam kerumunan
kerabat, istri, dan tetangganya.
”Makanya, kalau ada apa-apa tuh, ngomong, jangan dikerjain sendiri. Nggak biasa
macul, macul…jadinya kepacul, dah. Hahahhaa…,” goda Malik, yang masih terbilang kerabat
Kipli dari pihak emaknya.
”Iya, Bang…maksud saya, saya tidak mau merepotkan saudara.”
”Nah, tapi kalau begini, siapa yang repot?” sela istrinya disambut senyum yang lainnya.
”Iya, iya.. kalau gitu sekalian saja saya nyambat. Tanah itu, mau ditanemin singkong.
Siapa saja yang mau membantu saya, dengan senang hati akan saya terima,” kata Kipli lemah,
tubuhnya kelihatan pucat.
”Gitu, dong. Apa gunanya saudara dan tetangga? Sudah, besok pagi saya yang
ngerjain.”
”Iya, saya juga mau….”
Begitulah, akhirnya sekitar 20 orang bersedia mengerjakan lahan Pak Bob. Kipli
tersenyum lemah dan mengucapkan terima kasih kepada semuanya. Tak lama dia mau makan
dan lelap tertidur dirajam lelah.
***
Pada hari ketiga, barulah Kipli mampu menjenguk lahan garapannya. Memang luar
biasa, nyaris separoh lahan telah rapi. Tanah-tanah merah mengalur-alur, rerumputan
tertumpuk di tepian lahan. Cangkul-cangkul berayun-ayun bergantian.

23
Sebagian ada yang sedang duduk, beristirahat sejenak dengan tubuh basah kuyup oleh
keringat. Kopi dan teh serta air putih berceret-ceret diletakkan di atas meja kecil. Begitu pula
pisang goreng, ubi, lontong dan tentu saja rokok. Kipli memanggul cangkulnya tetapi dicegah
beberapa kerabatnya dengan alasan belum sehat benar.
”Sudah, Lu tiduran saja di rumah, biar kami yang mengerjakan semuanya.”
Kipli hanya tersenyum. Mau apa lagi, dia sendiri masih merasakan deraan pegal dan
perih yang luar biasa. Dia pandangi saja kerabat dan kawan-kawannya bekerja. Tanpa disadari,
pikirannya menghitung berapa harga yang pantas untuk seorang pencangkul per harinya.
Kalau dia beri seorang 20 ribu, maka sehari kerja yang membutuhkan 20 orang, biaya
yang akan dikeluarkannya sebesar 400 ribu. Mendadak keringat dingin Kipli mengucur.
Padahal ini sudah tiga hari!
Kegugupan Kipli tertangkap oleh pandangan Bang Naim, kerabat yang diseganinya,
bukan saja karena lebih tua tetapi juga terkenal bekas preman Cibinong. Bang Naim segera
menghampiri Kipli yang tampak kian gugup.
”Ada apa, Pli?” tanyanya sambil mengambil segelas air putih, kemudian meneguknya
dalam tegukan besar.
”Nggak apa-apa. Ini, nih, masih sakit…,” kilahnya.
Bang Naim paham. Sambil duduk di dekat Kipli dia berbisik bahwa masalah bayaran
jangan terlalu dipikirkan.
”Ntar aja kalau sudah beres, Lu kan tinggal minta sama bos Lu.”
”Gitu, ya, Bang?”
”Nah, kalau sekarang semua pada minta Lu, apa Lu gableg duit?” ujarnya sambil
tertawa lebar. Kipli tersenyum-senyum.
”Kira-kira habis berapa, ya, Bang?”
”Hmm… yaah, bangsa dua minggu lagi.”
”Seharinya, pantesnya berapa, ya, Bang?”
Bang Naim diam. Dia sesungguhnya juga tidak tahu persis karena selama ini dia tak
banyak berhubungan dengan buruh harian.
”Yah, bangsa tiga puluh ribulah….”
”Tiga puluh?” Kipli tersentak.
”Sama saudara sendiri, yaaah… dua puluh lima.. lah. Itu pantesnya, Pli….”
Kipli mulai menghitung-hitung lagi. Dua puluh lima ribu dikali dua puluh orang
dikalikan dua puluh hari sama dengan keringat dingin yang kian deras mengucur.
***

24
Di rumah Pak Bob, Kipli duduk mematung. Sudah sejak menjelang magrib tadi dia
duduk di pos satpam karena Pak Bob belum pulang. Kopi sudah dua gelas dihabiskannya dan
basa-basi dengan satpam sudah memakan begitu banyak pokok pembicaraan. Lalu, dengan
alasan kontrol, si satpam meninggalkannya seorang diri menghadapi televisi 14 inci.
Menjelang jam sepuluh, baru mobil Pak Bob memasuki halaman. Kipli segera berdiri
dan setengah berlari menyusul mobil yang berhenti di pintu rumah. Satpam yang membukakan
pintu rupanya melaporkan bahwa ada seseorang yang sudah lama menunggu. Pak Bob menoleh
dan melihat Kipli yang berjalan seperti tak punya keyakinan itu.
”Sini, masuk!” teriaknya sambil terus masuk ke rumah.
Pak Haz, ajudan Pak Bob yang dulu menghubungi Kipli menyuruh Kipli duduk di
beranda samping.
”Pli, kenapa kamu ndak nelpon saya?” bisiknya.
”Maap, Pak. Saya lupa….”
”Kan, ndak enak. Bapak, kan, pulang malam, terus kamu ke sini pasti minta duit Ya,
kan?”
Kipli tersenyum. ”Habis, mau bagaimana lagi? Kan memang sudah waktunya….”
Setengah jam kemudian Pak Bob muncul, sudah mengenakan sarung dan kais putih.
Dia mengeluarkan pipanya dan merokok dengan nikmat. Setelah basa-basi ini itu, Pak Bob
langsung menanyakan kebutuhan biaya pembersihan tanah.
Kipli dengan kikuk menuturkan semuanya.
”Hmm.. bener, nih, dua puluh orang yang kerja? Hmm.. jadi, 25 ribu kali 20 orang kali
20 hari kerja? Lu tahu berapa jumlahnya?”
”Yaa.. segitu, deh,” jawab Kipli seolah merasakan firasat buruk.
”Lha, iya, Pli.. jumlahnya berapa, tahu, nggak ?”
”Maap, Pak….”
”Gini. Sehari kerja aja, ongkosnya doang sudah lima ratus ribu rupiah. Sepuluh hari
kerja, sudah lima juta rupiah. Nah, kalau dua puluh hari, berarti kan, sepuluh juta, Pli. Banyak,
loo…,” goda Pak Bob sambil menghisap rokoknya.
Kipli merasakan kepalanya mencair karena detak jantungnya yang kian cepat.
”Pli, kalau gue mau pake buldoser, gue nyewa, dua hari kelar. Ongkosnya paling lima
juta.”
Kipli terdiam. Malapetaka membayang di depannya.
Tiba-tiba Pak Bob tertawa geli. ”Jangan kuatir Pli, saya bayar. Tapi nggak malam ini.
Gile, Lu mau bawa duit 10 juta malam-malam, dirampok orang baru tahu rasa, Lu….”

25
***
Sejak hari itu, hidup Kipli menjadi lebih cerah. Sanak saudara dan handai taulan
mengormatinya, karena kini Kipli menjadi orang yang punya sumber uang lumayan setiap
bulannya. Singkong-singkong sudah bisa dipanen dan para tengkulak sudah mulai menaksir-
naksir harga.
Kipli menjadi bos kecil karena sudah mulai punya tenaga kerja tetap untuk mengurusi
tanah Pak Bob. Pak Bob sendiri merasa puas dengan pekerjaan Kipli. Sesungguhnyalah dia tak
menginginkan uang hasil penjualan singkong itu sepenuhnya, tetapi begitu dilihat hasilnya
lumayan, dia merasa bisnis dengan Kipli layak ditingkatkan.
Maka, begitu panen singkong usai, Pak Bob meminta Kipli mengembangkan
peternakan.
”Kambing?”
”Ya, kambing. Lu kembangin peternakan kambing, tanemin rumput sebagian lahan,
singkong sih jalankan saja terus, kan juga bisa untuk makanan kambing. Idul Kurban, harganya
naik, Pli….”
Kipli yang masih ragu itu akhirnya hanya mengiyakan saja, ketika Pak Bob kemudian
memasoknya dengan 200 ekor kambing. Dan sejak hari kedatangan kambing-kambing itu,
Kipli menjadi penggembala kambing di lahan Pak Bob.
”Bang, saya bukannya nggak senang Abang jadi kepercayaan orang,” ucap Mumun,
istri Kipli, suatu sore sepulang Kipli mengurusi kambing-kambingnya. Kini, Mumun sudah
bisa mengenakan giwang emas impiannya.
”Tapi, apa iya, Abang mau jadi suruhan orang terus-terusan?”
Kipli terdiam. Dia mencoba menata pikirannya sendiri yang entah mengapa
berkembang hanya lantaran ucapan istrinya.
”Maksud saya, apa Abang nggak kepingin punya tanah sendiri, punya ternak
sendiri….”
”Dari mana duitnya? Ini saja aku sudah untung. Kamu juga sudah bisa goreng daging,
goreng bawal, nggak melulu daun singkong. Terus, ini….” kata Kipli sambil menunjuk giwang
di telinga istrinya, ”dari mana, kalau nggak dari kerja gue selama ini?”
Istrinya terdiam beberapa saat. Lalu, ”Ya, sudah. Saya hanya ingin jaga harga diri
Abang. Kan, nggak enak sama saudara-saudara. Biar sepetak, mereka punya tanah sendiri.
Mereka jadi majikan di kampung mereka sendiri.”

26
Mumun kemudian meninggalkan Kipli seorang diri di beranda rumahnya. Sepi sekali
senja itu. Hujan sudah lama tak turun. Kipli hanyut oleh ucapan istrinya, yang entah mengapa
dirasa ada benarnya juga.
***
”Jadi, bener, Lu mau?” tanya Pak Haz, asisten Pak Bob pada Kipli ketika mereka
bertukar pikiran.
”Yaah…. itu kata istri saya, Pak. Menurut Pak Haz, bagaimana?”
”Kalau Lu mau... beli saja kambing-kambingnya, kan jadi punya Lu semuanya.”
”Itu dia, saya nggak ada duit.”
”Pinjem, dong….”
”Sama siapa?”
”Kenapa Lu nggak ngomong sama gue?” ucap Pak Haz enteng, tanpa memandang
tatapan Kipli yang terheran-heran. Kemudian dia tersenyum dan seperti menginjak Kipli dia
berkata, Kan, bisa diatur….”
”Tt.. tapi, gimana caranya saya mulangin ke Bapak?”
Haz, tangan kanan Pak Bob, kemudian menguraikan angka-angka dengan gambaran
yang menggiurkan sehingga akhirnya bisa meyakinkan Kipli bahwa caranya akan berhasil.
”Kalau Lu beli sekarang, nanti ketika Idul Adha, harganya bisa dua kali lipat. Itu
untung, Lu…Nah, dari situ, Lu bisa bayar utang.”
Masuk akal, pikir Kipli. Maka seusai menghitung seluruh biaya, Kipli pun memutuskan
untuk menghadap Pak Bob. Tak sesulit yang dibayangkan Kipli, ternyata Pak Bob hanya
tertawa dan mengijinkan kambing-kambingnya dibeli Kipli. Memang ada pertanyaan dari
mana asal uang Kipli, tapi Pak Bob tak berusaha mengetahuinya secara mendetail. Kipli
mengaku dapat pinjaman dari sanak saudaranya di kampung.
Jual-beli lancar. Kipli menyetorkan uangnya langsung pada Pak Bob yang diterima
dengan kegembiraan dan keheranan. Namun, sebersit kebanggaan pun memancar dari wajah
Pak Bob. Sambil menepuk pundak Kipli, Pak Bob sempat berbisik bahwa begitulah seharusnya
orang menjalani hidupnya. Keuletan dan ketabahan akan membuahkan hasil yang bagus.
Kipli hanya mengangguk tak paham.
Hanya sebulan Kipli menikmati menjadi pemilik kambing sebanyak dua ratus ekor,
karena bulan berikutnya, seorang pembeli datang kepadanya. Dia adalah tengkulak pasar
Cibinong.
Tengkulak yang mengaku telah mengenal nama Kipli dari orang-orang kampung itu
memberikan penawaran harga yang menurut Kipli cukup baik. Per-ekor bisa untung 50 ribu.

27
Kalau dikali 200 maka untungnya jadi 10 juta. Wuaah, bukan lumayan lagi…, hati Kipli
bersorak girang.
Kipli akhirnya memutuskan dan sepakat menjual dengan harga yang diajukan si
tengkulak. ”Tapi, gini, Bang Kipli, masalahnya Idul Adha, kan, masih 3 bulan lagi. Nah,
gimana kalau saya titip dulu di sini, ya. Paling sebulan, soalnya saya musti ke Jawa dulu, mau
ambil sapi.”
”Boleh aja. Tapi, ya, ada biayanya…. buat rokok anak-anak yang nyariin rumput.”
Si tengkulak tanpa ucapan apa pun segera mengeluarkan uang lima ratus ribu kepada
Kipli. ”Cukup, dong buat sebulan uang rokok anak-anak,” ujarnya kemudian sambil tertawa
lebar, seakan memamerkan gigi emasnya.
***
”Pli, ini seminggu lagi Lebaran Haji. Saya perlu uang saya, katanya sudah dibeli…,”
nada bicara Pak Haz meninggi, karena sudah lebih dari sebulan Kipli menjanjikan akan
menyerahkan uang hasil penjualan kambingnya.
Tengkulak yang tempo hari datang ke rumahnya seperti raib ditelan bumi. Kipli merasa
sulit, karena selain telah menyerahkan uang perawatan, sebetulnya si tengkulak sudah
membayar panjar dua puluh lima persen dari nilai jual beli tersebut. Karenanya, Kipli tak
punya kekuatan untuk menjualnya pada tengkulak lain yang pernah sekali dua kali datang
menawar kambingnya.
Pada saat yang bersamaan Pak Haz menagih uangnya. Kipli hanya bisa berjanji bahwa
begitu kambingnya dibayar, maka uang itu berikut bunganya akan diserahkan ke Pak Haz.
Tapi, mendengar ancaman Pak Haz yang akan melaporkan Kipli pada polisi manakala
pada tanggal yang dijanjikan meleset, Kipli panik. Tubuhnya panas dingin. Uang panjar yang
tempo hari dibayarkan si tengkulak telah habis dibelanjakan istrinya. Kalung, giwang, kain
Pekalongan, entah apalagi, kini sudah memenuhi lemari istrinya.
***
Makan enggan, tidur tak nyenyak. Malam terasa begitu cepat menjadi pagi dan Kipli
tak tahu apa yang harus dilakukannya sepanjang siang, kecuali memberi makan kambing–
kambing yang sudah bukan lagi miliknya–paling tidak begitulah yang dirasakannya.
Di tengah ladang penggembalaannya, Kipli memandangi kambing-kambing itu dengan
tatapan tak menentu. Dalam pikirannya, kambing-kambing itu sungguh makhluk yang
berbahagia. Mereka diciptakan untuk dimakan manusia dan mereka menerima apa adanya.
”Sebentar lagi, ya, sebentar lagi… kalian akan dipotong, dipersembahkan kepada
Tuhan sebagai bukti ketakwaan manusia… Bahagia sekali, kalian bisa punya nilai hidup

28
setinggi itu. Sementara aku, hidup cuma jadi talang… duit cuma ngalir numpang lewat di
tangan gue….”
Kambing-kambing itu merumput dengan tenangnya, kadang ada juga yang mengunyah-
ngunyah daun singkong atau daun nangka yang sengaja dionggokkan di dekat gubuk kecil
yang dibangun Kipli.
”Untuk siapakah sebetulnya ini semua?” pikir Kipli sambil mengamati hewan-hewan itu
merumput.
Tanah ini, kambing-kambing ini, lalu dirinya yang lahir, besar, dan mungkin mati di
lingkungan kampung ini juga, seakan serpihan yang tak ada hubungannya satu dengan lainnya.
Dia yang semula begitu bersemangat, lalu berkeinginan mengembangkannya dan akhirnya
harus dijerat utang sedemikian besarnya, terjadi begitu saja. Tak ada lagi bayangan
kebahagiaan dalam menjalani hidup. Yang dirasakannya, kian hari kegetirannya kian
menyengat.
Seperti malam kemarin, malam ini Kipli tak ingin pulang. Di rumah, hanya gerutu dan
omelan Mumun yang akan didengarnya. Di padang penggembalaan ini, paling tidak dia hanya
akan mendengar embikan kambing-kambing, dengung nyamuk, atau nyanyian serangga
malam. Dirasakannya, hari-harinya seakan menuju tempat penyembelihan .…
Pinang, 982

NAM-MA, NAMAMU...
(gambar 4)

Di tengah lembah, kuteriakkan namamu. Angin menyambutnya, mengalunkannya, timbul


tenggelam di bentangan jarak, menyentuh dinding tebing, dan kembali memantul kepadaku.
Dan kurasakan pula gelombang suara itu memantul kembali ke arah dinding tebing. Lalu
kembali lagi kepadaku, sampai akhirnya lenyap terisap sepi.

Di antara pantulan suara itulah aku menunggu. Menanti hingga semuanya kembali senyap. Tak
ada apa-apa di antara penantianku itu. Kesunyian ini terus terang saja membawaku ke suatu
perasaan kosong. Aku tak bisa lagi bergerak, bahkan berniat pun aku sudah tak bisa lagi. Entah
apa yang akan terjadi setelah kesunyian ini tiba-tiba terisi suara aneh; jawabanmu, misalnya.

29
Ini sudah kulakukan berkali-kali. Setiap hari kuturuni lembah ini. Lalu kutegakkan kakiku ke
arah timur. Kutarik napas dalam-dalam. Kupejamkan mataku. Kubiarkan sesaat angin menerpa
wajah, rambut, dan sekujur jiwaku. Kubiarkan sesaat diriku menikmati saat-saat semacam ini,
yang sudah sangat lama kurindukan. Kelembutannya yang perlahan, bagai resapan air ke dalam
akar, merambat hingga ke kuncup-kuncup daun.

Setelah saat-saat kenikmatan itu kulalui, lalu aku menarik napas sekali lagi. Dan, kuteriakkan
namamu. Angin menyambutnya, mengalunkannya, timbul tenggelam di bentangan jarak,
menyentuh dinding tebing, dan kembali memantul kepadaku. Dan kurasakan pula gelombang
suara itu memantul kembali ke arah dinding tebing. Lalu kembali lagi kepadaku, sampai
akhirnya lenyap terisap sepi.

Setiap pagi, setiap hari, ini kulakukan. Aku benci melakukannya. Tapi, aku tak punya cara lain
untuk mengungkapkan betapa sebenarnya aku membencimu.

Kau beri aku harapan. Kau beri aku impian. Kau bangkitkan aku dari tidur abadiku yang
membatu hanya untuk melihat, menyentuh, dan menikmati semua keluhan perasaaanmu
kepadaku, lalu dengan begitu saja kau campakkan semuanya. Sepertinya kau menganggapku
persis seperti sesemprot ingus yang mengganggu hidungmu, atau dahak yang menggumpal di
kerongkonganmu.

Aku bahkan tak bisa lagi membunuhmu! Kebencianku membatu karenanya. Kau bahkan tak
ada lagi di dunia ini, dan kau tahu–sebagaimana aku pun tahu–bahwa itulah yang membuat
sesuatu menjadi kekal. Karena kekal hanya bisa terwujud bila menjauh dari kehidupan. Dia
harus berada di kutub yang berseberangan dengan kehidupan. Dan–inilah yang kusesali–
kekekalan yang ada dalam jiwaku adalah tentang kebencianku terhadap dirimu.

Sampai saat ini pun aku belum tahu siapa dirimu. Namamu? Cukupkah seseorang bisa
mengenalmu hanya dengan mengetahui namamu? Mungkin saja nama yang kau berikan
kepadaku hanyalah salah satu dari sekian jumlah nama yang dengan mudah bisa diciptakan.
Meskipun kau pernah mengatakan bahwa sejujurnya itu adalah namamu, tetapi aku lebih
mempercayai burung-burung, angin, dan awan yang selalu berkata jujur, bahwa itu hanya salah
satu dari sekian nama yang kau miliki. Meskipun perasaaanku mengatakan demikian, tetapi

30
aku tak sampai hati–waktu itu–untuk mengatakan bahwa kau tak lebih daripada si pendusta
abadi (yang lidahnya bercabang dan hidup di salah satu sudut di lembah ini).

”Siapa namamu?” tanyaku kepadamu.


”Nama” jawabmu, dan itu membuatku bertanya sekali lagi tentang namamu dan kau pun
berulang kali lagi mengatakan, ”Nama”. Lalu kusimpulkan bahwa kau sebenarnya pendusta.
”Namamu aneh,” ucapku sekenanya.
”Bukan Aneh, tetapi Nama,” kau ulangi lagi jawaban itu, seakan aku adalah orang bodoh dan
agak tuli.
”Nama, kok, Nama.”
”Bukan Nama, tapi Nam-ma.”

Lalu angin mengisi sunyi. Kulemparkan pandangan ke kaki bukit, di mana hutan
menggerumbul bagai kelompok perdu yang berbisik-bisik, pura-pura tak memperhatikan kita.

Lalu kau tersenyum memandangi kebingunganku. Aku benci senyuman itu. Kau–lewat tusukan
senyummu itu–mengungkapkan isi pikiranmu bahwa sebenarnya aku adalah si tolol yang
kebingungan menghadapi kenyataan yang berada di luar jangkauannya.

Di saat itu pula aku berpendapat bahwa kau menikmati ketololanku–dan sebenarnya kau tahu
lewat pandangan matamu, bahwa aku benci sekali kau perlakukan seperti itu, tetapi kau tetap
saja memandangiku seperti itu.

Aku memang hidup di lembah ini, sejak aku bisa mengingatnya. Karena memang itulah yang
membuatku percaya tentang diriku. Aku memang tak pernah keluar dari kungkungan bebukitan
ini, seperti katamu. Aku tak suka kata ”kungkungan”, namun kau memaksanya mengatakan
demikian. Aku ingin menolaknya, tapi lidahmu memang manis sehingga aku tak bisa lagi
mengatakan apa-apa.

Kini kusesali mengapa aku tak mengatakan kebenaran itu!

”Apa maumu?”
”Aku tadi menebang bambu. Ketika kuangkat bambu itu, tanpa kusadari aku memegang
miangnya. Persetan dengan bulu-bulu halus itu, namun itulah kesalahanku. Tak

31
kupertimbangkan bahwa ukurannya yang kecil itu justru sanggup membuatku menderita,” lalu
kau ulurkan tanganmu dan sebenarnya tak ada luka di sana.

Telapak tanganmu halus. Kulitmu bersih dan karenanya aku tak percaya sedikit pun bahwa kau
bisa menebang bambu lapuk sekalipun. Tak bisa kukendalikan rasa geliku dan gelak tawaku
pun pecah di kesenyapan yang sejak tadi lebih banyak mengendalikan kita.

Kau tersenyum saja, sambil tetap mengasongkan telapak tanganmu ke wajahku. Ketika kau
mengatakan, ”Bukan di telapak tangan, tapi di telunjuk…,” jemarimu menyentuh pipiku.
Kudengar sorak semak-semak di kejauhan sana, mereka adalah keparat-keparat bisu yang
selalu menunggu kesempatan bergembira menyaksikan rona merah di pipi. Akan kubakar
mereka!

Aku benci sekali, mengapa aku bisa segugup ini. Ingin kusobek kulit pipiku dan melupakan
bahwa pernah tersentuh dan menyemburatkan rona merah darah. Aku benci sekali mengapa
mimpi yang seharusnya mengelana dalam setiap pejaman mata ini menjadi kenyataan yang
bisa kurasakan.

”Aku ingin kau mengeluarkan miang itu dari telunjukku...,” ucapmu setengah berbisik.

Sebel! Mengapa harus aku? Dan, mengapa pula... ah, itu kan cuma miang!

”Mengapa kau tak mau melakukannya? Apakah karena ini pekerjaan sepele? Tahukah kau
bahwa dengan melakukan pekerjaan yang mungkin sepele ini, kau sudah menolong sepotong
jiwa yang sengsara,” ucapmu seperti merayu.

”Ini, kan, cuma, miang!”


”Kau pernah kena?”
”Tidak. Dan mudah-mudahan tidak akan pernah.”
”Itulah masalahnya.. kau sendiri belum pernah merasakannya, jadi kau pikir ini hanya masalah
kecil.”
”Kalau begitu, lakukan saja sendiri.”

32
”Itulah masalahnya. Kalau aku bisa melakukannya sendiri, buat apa aku menemuimu.
Tolonglah…, apa ruginya kau melakukan pekerjaan yang bahkan tak punya arti apa-apa
bagimu, tetapi sebuah penderitaan bagiku. Tolonglah….”

”Ini, kan, cuma miang!” bentakku.


”Ini bukan cuma miang. Di sini ada rasa sakit, gatal-gatal yang menyakitkan. Tahu, kan,
maksudku?”
”Nggak!” jawabku jengkel karena pada kalimat itu kau agak-agak menggodaku. Aku benci
diperlakukan seperti itu. Apa yang ada di kepalamu saat itu?

Dan ketika kutampar mukamu, kau malah tertawa. Kucakar wajahmu, kau tergelak gembira.
Kutendang tubuhmu, kau memelukku. Aku lari, kau membayangi. Aku ke kali, kau ada di
dasarnya. Aku ke tebing, tanganmu menyambutku. Akan ke mana aku, kau mengajakku. Aku
benci!

Pada akhirnya, memang kucabut juga miang di telunjukmu. Kecil sekali, tapi memang ada.
Kutusukkan ujung penitiku ke telunjukmu. Kau cium leherku. Ada darah merah menitik di
ujung telunjukmu, dan kau dekapkan aku ke dalam segala mimpi yang pernah ada dalam
diriku.

”Kelak bila anak ini lahir dan dia seorang laki-laki… panggil dia dengan Masa.”
”Masa?”
”Masa.”
”Bukan…, Mas-sa.”
”Bukan.”
”Masa.”
”Ya. Masa.”

Ketika bunga-bunga jambu putih menebarkan kelembutannya kepada bumi, bumi


menyambutnya dari belaian angin yang sempat mengayun-ayunkannya di udara dan
membiarkan tebaran itu bermain di bola mataku, dan aku menerimanya dengan selembar kain
kesunyian yang putih.. tahulah aku bahwa Masa telah menjelma dalam diriku.

33
Sejak saat itu, aku hanya menempatkan diriku dalam penantian Masa dan kau pun raib entah ke
mana. Bahkan, kepada burung-burung pun tak kau titipkan berita. Kepada angin pun kau
bersembunyi. Bayang-bayangmu pernah sekali waktu mampir kepadaku, dan dia hanya
membisu ketika kutanya tentang dirimu.

Kalau sudah begini, tak ada lagi sesuatu yang bisa kujadikan tempat bertanya perihal dirimu
dan kau pun diam-diam mengubahku. Kerasnya hukum adat yang menimpaku, membuatku
menjadi lava. Orang tuaku telah terkapar, terbanting rasa malu. Ibuku meratap bermalam-
malam, mempertanyakan dosa apa yang telah dilakukan leluhurnya sehingga dia harus didera
aib seperti itu, sebelum akhirnya dia menemukan kebuntuan dan memutuskan untuk menyatu
ke dalam tanah.

Kami adalah manusia tanah, yang berasal dari tanah dan akan menyatu sebagai tanah kembali.
Masa kukhawatirkan akan tumbuh besar oleh cemooh dan dera hina sekelilingnya. Sindiran
akan membutakan sebelah mata hatinya sehingga dia hanya punya pandangan yang tak
seimbang tentang hidup ini. Lalu, apa yang akan kuharapkan jika dari rahimku tumbuh
makhluk ber-”mata” satu?

Aku ingin menemuimu. Aku ingin bicara! Tapi kau di mana? Hanya dengan bicara–setelah tiga
tahun lebih aku membisukan mulutku, sejak kedua orang tuaku bertanya tentang dirimu. Hanya
kau satu-satunya yang layak mendengar apa yang kubicarakan. Kata-kataku hanya akan bisa
padu dengan kata-katamu. Begitu banyak kalimat dan kata-kata yang akan kuhamburkan
kepadamu. Kata-kataku adalah seribu kuda liar yang akan menggemuruh di hamparan jiwamu.
Kata-kata ini akan berlompatan dan meluncur, dan kalau mungkin akan menabrak,
menghancurkan setiap dinding karang hatimu.
Ketika kata-kataku yang sudah menjejal dan menjadi gumpalan gunung yang segera
menggelegar di bumi jiwamu, kudengar kabar bahwa kau mati.

Bukan. Bukan mati, tapi kau mencoba membunuhku dengan menggantung lehermu sendiri.

Sebenarnya, sudah lama kusiapkan hatiku untuk kecewa. Tapi ketika akhirnya kudengar juga
kabar dirimu, aku tak bisa lagi bertahan. Di suatu malam, ketika serangga berkidung sendu,
kuisakkan tangisku pada bekas bayangmu.
Aku bayangkan kedua tanganku berlumur darah dengan pisau yang menancap di dadamu!

34
***

Setiap hari kuturuni lembah ini. Lalu kutegakkan kakiku ke arah timur. Kutarik napas dalam-
dalam. Kupejamkan mataku. Kubiarkan sesaat angin menerpa wajah, rambut, dan sekujur
jiwaku. Kubiarkan sesaat diriku menikmati saat-saat semacam ini, yang sudah sangat lama
kurindukan. Kelembutannya yang perlahan, bagai resapan air ke dalam akar, merambat hingga
ke kuncup-kuncup daun.
Di tengah lembah, kuteriakkan namamu. Angin menyambutnya, mengalunkannya, timbul
tenggelam di bentangan jarak, menyentuh dinding tebing, dan kembali memantul kepadaku.
Dan, kurasakan pula gelombang suara itu memantul kembali ke arah dinding tebing. Lalu
kembali lagi kepadaku, sampai akhirnya lenyap terisap sepi.

Ini adalah caraku untuk melupakanmu. Akan kulakukan sampai suatu saat aku tak ingat lagi,
untuk apa kulakukan ini.

Bukit Nusa Indah 982

PENYAIR DAN ULAR


(gambar 5)

Ada seorang lelaki kurus berkacamata dan selalu suka menyendiri, meskipun
sebenarnya orang sangat suka berada di dekatnya karena dia memang menyenangkan untuk
didekati. Masalahnya, dia tak tega untuk mengatakan bahwa dirinya sebenarnya sangat ingin
sendirian dan selalu mencoba melarutkan dirinya pada kesunyian yang murni. Dia selalu saja
gagal; gagal membuat orang paham bahwa dirinya lebih suka sendirian.
Dengan menyendiri dia merasa mendapatkan ruang, dia merasa menggenggam waktu
dan berdialog dengan dirinya, dengan bayang-bayangnya, dengan napasnya, bahkan dengan
mimpi-mimpinya. Semua itu diimpikannya akan memberikan kenikmatan. Sebenarnya hal
semacam itu pernah dialaminya, dulu ketika dirinya masih remaja, sebelum mengenal seorang
perempuan yang kini menjadi istrinya.
Dia selalu menyendiri di tepi kali. Tiduran di dahan pohon waru yang menjulur ke
permukaan sungai. Kadang sambil memotek bunga waru yang berwarna kuning cerah dia

35
lontarkan mimpinya dan seakan meletakkan mimpinya pada kelopak bunga waru, dia
hanyutkan bunga itu ke sungai. Di saat-saat seperti itulah dia mengungkapkan puisinya.
Dia torehkan keindahan hening yang diselaminya pada dahan-dahan waru, tanpa
menggoresnya sama sekali. Kecuplak ikan wader yang kadang-kadang muncul ke permukaan
kali, suara garengpung yang mencoret-coret langit sepi, benar-benar membuatnya terlena, larut
masyuk ke dalam suasana. Pada saat seperti itu, puisinya subur perawan dua puluhan yang siap
menumbuhkan benih-benih kemanusiaan dan mekar menghiasi dunia fana ini.
Dia, laki-laki itu, yang kini mendapat gelar penyair itu, kini duduk di antara orang-
orang yang akan memberikan ceramah. Udara ruang berpendingin tak mampu meredam
kegerahannya. Berkali-kali dia menghapus keringat di sekitar hidung dan matanya, dan
karenanya dia berulang kali pula melepas kacamatanya sebentar.
Dia seperti tak peduli pada wajah-wajah muda penontonnya atau wajah-wajah mereka
yang begitu terkagum-kagum kepadanya. Dia tak mempedulikan bahwa di antara hadirin
mungkin saja ada petugas tanpa seragam yang sengaja bertugas mengawasi setiap kegiatan
masyarakat–tak peduli arisan sekalipun, kalau perlu. Dia tak peduli. Dia hanya gemetar dan
makin gelisah.
Ketika moderator menyebutkan namanya dengan sedikit bumbu humor dan hadirin
tertawa kecil, dia makin kuyup oleh keringat yang membanjir. Begitu gugupnya dia sampai-
sampai kacamatanya terlepas dari tangannya. Kebetulan meja yang dia gunakan tersebut adalah
meja berlaci yang bagian atasnya kebetulan berlubang. Kacamata itu jatuh dan masuk ke dalam
lubang itu. Karena dia tahu itu meja berlaci, segera dia menunduk mengintip ke laci.
Memang gelap, karena cahaya sedemikian rupa memang diarahkan ke wajahnya dan
bukan ke laci meja tersebut. Kedua, karena matanya memang rabun, dengan sendirinya tanpa
kacamata dia nyaris tak bisa melihat apa-apa. Ketika dia meraba-raba rongga laci meja, tiba-
tiba tangannya menyentuh sesuatu. Sesuatu yang dingin dan hidup. Secepat itu pula dia
tersentak dan mengetahui bahwa ujung jarinya menyentuh seekor ular!
Namun, belum sempat dia menarik ujung tangannya, tiba-tiba telinganya mendengar
suara. Tak jelas dari mana datangnya atau siapa yang memilikinya, dan rasanya, hanya
dirinyalah yang mendengar suara tersebut.
”Bila kau tarik tanganmu, kupatuk kau!”
Si penyair itu segera mahfum siapa pemilik suara itu. Kemudian dia bertanya-tanya
dalam hati mengapa si ular mengancamnya. Ular itu kemudian menjawab bahwa sebenarnya
dia ingin berbincang-bincang dengannya, hanya saja dia tak sebahagia manusia yang bisa

36
kapan saja menjumpainya. Dirinya hanyalah seekor ular yang bahkan kehadirannya di suatu
tempat pun sudah menggegerkan manusia.
Si penyair itu tertegun. Moderator mengamatinya, mungkin karena tampak beberapa
saat si penyair masih saja merogoh-rogoh laci meja berusaha mendapatkan kacamatanya.
”Ketemu, Pak?” tanya si moderator.
”Oh, ya, ya…, baik, nanti kita bicara lagi…,” ucap si penyair menjawab si ular dan
membuat bingung si moderator.
Kemudian tampak si penyair mengenakan kacamatanya lagi dan dia tampak lebih
tenang.
”Di bawah ancaman seekor ular, aku bahkan tak bisa bernapas…,” ucapnya mengawali
ceramah. Penonton yang mula-mula bingung, tak berapa lama kemudian mengaitkan ucapan
tersebut dengan situasi sosial politik yang sedang hangat. Mereka kemudian bertepuk dan
bersuit meriah seakan ada sesuatu yang tersalurkan, yang selama ini seolah mengganjal di dada
mereka. Mata mereka berkeliaran seolah mencari-cari seraut wajah yang merasa "tersinggung"
dengan sindiran si penyair tadi.
Maka dimulailah ceramah si penyair tadi tentang hubungan mistis antara dirinya dan
alam yang mengelilinginya. Antara dirinya dan rintik hujan, angin dan bunga serta bisikan, dan
... kerinduannya yang aneh pada kematian.
”Diriku telaga / yang mengalir arus/ hidup di dalamnya/ menyanyikan hujan yang
lirih/ bagaikan lenggokan terakhir asap/di puntung rokok/ terendam/ namun, adakah kau/
perhatikan setiap helai cemara/ yang melayang turun/ adalah siasatku untuk memahamimu?”
Ia mencoba mengutip salah satu sajaknya dan mengutarakannya dengan suaranya yang
parau gemetar–ada nada keraguan di sana. Namun, anehnya, hadirin bagai tersihir. Diam.
Terpaku. Terhenti dari kehidupan. Seolah, setiap kepala bekerja keras, terkonsentrasi mencari
bentuk-bentuk yang muncul dalam setiap kata yang diucapkan sang penyair, dan agaknya
mereka sia-sia saja memahaminya.
”Kulepas tiang-tiang / stasiun bergeser / makin cepat / membawa diriku dan/
menyisakannya di/ bangku-bangku,” ujarnya lagi mengucapkan betapa dirinya tercabik dan
terkoyak. Perpisahan baginya adalah sesuatu yang indah sekaligus menyakitkan. Dan itu adalah
penderitaan "purba" manusia–demikian dia mengistilahkannya–yang disandang manusia sejak
Adam terbuang dari surga.
Sekali lagi hadirin terdiam. Sementara itu, ular belang yang sejak tadi masih saja berada
di dalam laci juga terkesima mendengarkan uraian demi uraian sang penyair. Baru sekarang dia
merasakan begitu dahsyatnya getar dan nada suara si penyair, yang bagi si ular, si penyair

37
seakan sedang mengalami pengelupasan kulit dirinya–dan kepedihan itu langsung menyundut
sanubari si ular. Baru pertama kali si ular menitikkan air matanya.
Si ular menggeliat, menggelepar oleh kepedihan dahsyat yang memanggangnya hidup-
hidup–tetapi anehnya memberikan kenikmatan syahwat luar biasa. Dia belum pernah
mengalami hal semacam ini sebelumnya, bahkan tidak pernah memimpikan hal semacam ini
sebelumnya. Ini memang sesuatu yang baru dan luar biasa baginya. Kekuatan itu membuat
kulitnya melepuh, terkelupas, lepas, dan... dia rasakan embusan pendingin udara menyentuh
kulitnya. Sunyi.
Ada cahaya terang tertuju kepadanya. Dia hanya merasakan tubuhnya lemas, nyaris tak
bertenaga. Cahaya itu menyilaukannya dan dia memejamkan matanya. Tiba-tiba dia
mendengar suara-suara manusia yang membicarakan sesuatu yang–agaknya–sangat
mengagumkan. Dia menoleh dan dilihatnya dirinya ada di dalam sebuah ruangan berpendingin
dengan ratusan pasang mata menatapnya.
Belum lagi dia menyadari dirinya ada di mana, tiba-tiba salah seorang melontarkan
kain, lalu ada mahasiswi yang menyelimutinya, dan… barulah dia sadari bahwa dirinya
berubah menjadi seorang wanita molek yang tergeletak di antara pecahan meja di lantai..
telanjang.
***
Si penyair masih dirawat di rumah sakit karena terkena serangan jantung. Bukan karena
ledakan itu, yang tiba-tiba meletup dan memecahkan meja tempatnya membacakan makalah,
tetapi karena tiba-tiba di hadapannya muncul seorang dara telanjang. Dia sudah menduga-duga
bahwa dara itu berasal dari ular yang tadi mengancamnya. Yang membuat jantungnya begitu
mendadak menggebrak adalah peristiwa metamorfosis itu sendiri yang terjadi atas diri si ular.
Dan pagi ini, ketika dirinya menunggu dokter memeriksanya, gadis ular itu datang
menjenguknya. Dia mengenakan baju sutra berwarna biru. Wajahnya cerah dan senyumnya
merekah. Si penyair merasa bahwa dirinya mendapatkan kesegaran yang selama ini terasa
hilang dari kehidupannya.
”Bagaimana mungkin kau bisa menjelma menjadi manusia?” ujar si penyair dengan
nada gemetar seperti biasanya.
”Aku sendiri tak tahu. Dan, kurasa itu tidak penting. Yang jelas aku sekarang bisa
selalu dekat denganmu kapan pun aku mau,” ujarnya sambil duduk di dekat si penyair. Harum
dan kesegaran tubuh si wanita ular itu memang, tak bisa tidak, membuat si penyair hanyut dan
tersangkut di puncak kelelakiannya. Dia menyadari, tetapi sudah terlambat. Semuanya sudah

38
terlaksana dan selesai, namun sekaligus sebagai sebuah babak baru kehidupannya yang masih
misterius di masa depan.
”Aku tak mungkin menikahimu.” ujar si penyair dengan nada bicaranya yang khas. Si
dara hanya tersenyum.
”Aku juga tak ingin menikah denganmu,” jawab si dara ringan.
”Mengapa?”
”Karena kau tidak akan pernah bisa kumiliki. Kau hanya bisa kukagumi.”
”Lalu, apa artinya... yang 'baru saja' kita jalani ini?”
”Kenangan.”
Si penyair diam. Dirinya seakan dirajutkan ke dalam sebuah bentangan besar kain
kehidupan entah milik siapa. Di dalam bentangan ini, dirinya adalah helai benang yang tak ada
artinya, yang sekaligus memiliki arti apabila tercerabut dari kebersamaan dan keutuhan
bentangan. Ketiadaannya akan melahirkan arti baru. Ketidakhadirannya justru menghadirkan
sosoknya yang lebih utuh, konkret dan nyata di dalam setiap benak manusia yang memujanya.
Dirinya terpusat pada sebuah putaran lembut dan sangat halus, yang perlahan-lahan
menciptakan proses kehadiran sosoknya di dalam angan-angan manusia yang memujanya.
Proses itu berlanjut perlahan sampai pukul 12 tepat. Setelah itu, antara dirinya dan 'dirinya'
yang lain terpisah perlahan. Ada yang tertinggal dan ada yang meninggalkan. Keduanya adalah
dirinya. Masing-masing sedang menjalani kehidupannya sendiri-sendiri. Sebuah tali
mengikatkan keduanya, menghubungkannya apabila diperlukan nanti.

***

Karangan bunga bertumpuk di halaman rumah si penyair. Orang-orang yang


menyatakan duka cita berdatangan dari berbagai penjuru. Anak dan istri si penyair menyambut
mereka dengan mata merah karena sedih. Mendung duka menggantung di sana dan semua
maklum, semua merasa ditinggal secara mendadak. Wartawan media masa cetak dan
elektronika, bahkan dari luar negeri juga berdatangan meliput acara duka cita tersebut.

***

Di sebuah kampung di dekat kampus ada panggung terbuka untuk malam perayaan 17
Agustus. Malam itu, entah bagaimana ceritanya–tak seorang pun mau mengusutnya–ada mata
acara pembacaan puisi karya almarhum si penyair.

39
Ternyata acara pembacaan puisi tersebut merupakan satu-satunya acara setelah
sambutan oleh Pak Lurah. Ada ratusan orang yang mencoba membacakan sajak-sajak si
penyair. Semuanya memang bagus, tapi tak ada yang membuat penonton terpesona. Bahkan
banyak penonton yang menilai bahwa sajak tersebut memang tak bisa dibacakan orang lain.
Hanya si penyairlah yang bisa membacakannya. Penonton agak kecewa ketika banyak sajak
yang seharusnya diucapkan sambil berbisik, diungkapkan secara lantang berteriak merobek
keheningan.
Nyaris saja malam itu merupakan titik balik malam peringatan, sampai secara tiba-tiba
ada seorang bocah lelaki berusia 8 tahun. Tubuhnya bagus. Matanya bening. Penampilannya
memukau. Tampak kecerdasan memancar dari senyum dan tatapan matanya.
Begitu dia menaiki panggung, semua perhatian memang tersedot kepadanya–apalagi
ketika dia tersenyum.
”Aku adalah dirimu/mimpimu/keindahanmu/kerinduanmu/pada nyanyian
ilalang/gemerisik daun bambu/iring-iringan semut hitam/merayap di dahan sawo/yang tak
pernah kau bayangkan/ betapa semua itu sebenarnya berakhir dengan tiba-tiba/ dan/ itu bisa
saja sekarang atau/ esok atau bahkan kemarin/ Ah, sayangku/ kau tak bisa menahannya dari
kehancuran/dengan matamu tetap bersitahan/dari kedipan.”

Orang-orang terpaku. Anak kecil itu tersenyum, menuruni panggung, menghilang di


balik kerumunan. Orang-orang masih terpaku. Masing-masing seperti terbawa ke suatu tempat
yang tak bisa disebutkan oleh lidah manusia. Sesuatu yang sangat berbeda. Mereka hanya
meraba-raba, menduga-duga bahwa itulah jiwa si penyair yang mengejawantah ke dalam diri si
bocah.
Orang-orang mulai mencair, seakan baru selesai menatap ketakjuban luar biasa. Mereka
bertepuk tangan, bersuit-suit riang penuh kekaguman. Mereka tak merasakan sama sekali–
sekaligus menikmati keadaan mereka–bahwa perlahan-lahan mereka dimasukkan ke dalam
sebuah tempat yang dikenal sebagai kenangan.
Sementara itu, di bawah panggung yang gelap pekat, ada seekor ular belang menelasar
mencari lubang ke dalam tanah.

Bapindo Plaza, lt. 25

RANDU
(gambar 6)

40
”Tak ada seorang anak pun di dunia ini mau memanjat pohon randu.”
”Mengapa?”
”Kenapa kau bertanya? Lihat saja sendiri, batangnya berduri, lalu sesampai di puncak, apa
yang akan kau petik? Mau makan kapuk?” dan gelak tawa itu pun berderai-derai membuat
anak laki-laki kurus itu tersudut di pojok kedunguannya. Sesampai di rumah pun, bapak dan
saudara-saudaranya yang lebih besar mempertajam olok-olok itu. Maka luka di jiwanya yang
muda itu pun menganga. Hidupnya kemudian adalah berbilang tahun dalam pelarian,
membawa rasa malu yang entah berapa besarnya.
Kini, matanya menyapu bersih, tak ada sepasang mata pun yang berani menentangnya.
Orang-orang itu seakan tersapu wajah-wajah mereka yang pernah mengejeknya. Dia berteriak-
teriak menantang. Pedang teracung-acung ke angkasa, kuda hitamnya meringkik, sepasang
kaki depannya menggerapai, siap menendang siapa pun yang berani mendekat. Laki-laki
bertubuh kekar itu memilin kumisnya lalu terbahak-bahak, diselingi dahak, dan melompat ke
punggung kudanya. Ladam-ladam kuda itu menggemuruh meninggalkan kepulan debu
kemarau yang menggulung orang-orang Kampung Watu Gong.
Laki-laki di punggung kuda. Entah apa yang merajai dirinya, tengah pongah
menengadah langit, seakan menantang Tuhan. Entah apa yang ditanyakannya. Tak jelas pula
apa yang digugatnya. Kelebat pedangnya adalah setiap pertanyaan yang tak kunjung mendapat
jawaban. Kelemahan orang lain adalah kemarahannya. Tangis tak berdaya para perempuan
adalah arak yang memabukkan jiwanya, yang membuatnya berlupa dan melayang entah ke
dunia mana. Tak ada dusun yang belum pernah dibakarnya. Tak ada pesta yang belum pernah
diporak-porandakannya. Tak ada lembah yang belum pernah dijamahnya. Tak ada padepokan
yang belum diterjangnya. Para jawara, benggol rampok, hingga para kesatria istana, tak ada
yang bisa bernafas lagi manakala bertemu dengannya. Semua lawannya hanya mempunyai
satu pilihan: berlaga luka, menghindar modar. Tak ada gemencrang pedangnya yang
disarungkan kembali tanpa menenggak nyawa korbannya.
Tapi, siang itu, ketika matahari tepat di atas ubun-ubun setiap manusia, di tengah
lembah tandus kering bergoreskan tanah rekah, laki-laki di punggung kuda itu terhenti.
Pedukuhan terakhir yang dijumpainya sudah jauh tertinggal sejak matahari terbenam kemarin
sore. Di atas kudanya dia berpacu melawan angin kemarau, bahkan di tengah malam buta.
Hanya keajaibanlah yang membuat kuda dan penunggangnya itu seakan tak membutuhkan
napas sama sekali. Seolah kelelahan hanyalah milik mereka yang rapuh, keropos, dan
menyerah terhadap waktu yang berlalu tanpa belas kasihan. Namun, di siang itu, seakan

41
keduanya sampai pada batas tepi kekuatan diri. Haus mencekik tenggorokan kuda dan
penunggangnya.
Lelaki itu turun dari punggung kudanya. Matanya menyapu batas cakrawala.
Fatamorgana mencoba menipunya, tetapi sia-sia. Mata lelaki itu terlatih, seluruh panca
inderanya saat itu menjadi mata. Hidungnya mencium segarnya air nira, entah dari mana.
Angin pun tak bisa lagi berdusta kepadanya. Tak sanggup menyimpan rahasia yang tengah
diembannya. Ya, air nira, legen, yang manis segar itu tentunya ada di sekitar tempat itu.
Jakunnya turun naik membayangkan kesegaran itu. Bibirnya mulai mengelupas oleh
uap panas. Silaunya cahaya matahari membuat kelopak matanya setengah terpejam dan dari
celah bulu-bulu matanya ia tiba-tiba melihat sebentuk bayangan manusia muncul dari arah
barat. Bergelombang oleh udara panas, bayangan itu makin mendekatinya. Dan jelas tampak
olehnya, seorang lelaki tua memikul beberapa bumbung bambu berisi nira segar penghilang
dahaga.
Lelaki berkumis melintang itu membasahi bibir dengan lidahnya sendiri, sementara
tangan kanannya meraba pedang di pinggang. Sepasang matanya menancap pada sosok tua
yang terbungkuk-bungkuk memikul bumbung bambu. Di matanya, langkah lelaki tua itu
seakan semakin lamban, bagai kura-kura. Tak sabar akan apa yang disaksikannya, dia
melompat ke punggung kudanya yang segera nyongklang karena terkejut. Dipacunya kuda
hitam berkilat itu, mengepulkan debu putih ke angkasa biru. Teriakannya membelah lembah
dan kilatan pedangnya mewartakan maut.
Sekali rengkuh, satu bumbung akan berpindah ke tangannya dan segera membasahi
kerongkongannya. Kelebat pedangnya secepat kilat menyambar dan menyambar lagi. Namun,
lelaki tua itu seakan bayangan halimun yang bahkan tak tersentuh hembusan napas kudanya.
Lelaki kura-kura itu bahkan seolah tak menyadari kehadiran lelaki berkuda yang beringas
menebas-nebas. Dia berjalan tertatih-tatih sambil sesekali mengelap peluh di dada telanjangnya
yang keriput itu. Sementara lelaki berkuda itu kian kalap dan mengejar mangsanya. Bagai
elang dia menyambar, tetapi tak sejari pun dia bisa menyentuh mangsanya. Bahkan ketika tiba-
tiba lelaki tua itu berhenti, si lanang berkuda itu terkejut setengah mati. Kudanya nyongklang
dan penunggangya terjengkang. Lelaki kumis melintang itu memaki dengan sisa tenaganya.
Dan, belum lagi dia menyadari sepenuhnya, lengan kakek tua itu terjulur kepadanya. Dia
terduduk dan kakek tua itu menuangkan air nira segar ke batok kelapa cengkir, lalu
memberikannya kepada si kumis baplang. Si kumis baplang, menganga tak percaya akan
dirinya yang seakan tanpa daya itu. Dia hanya mematung, memandang si kakek.

42
”Oh, maaf…, Kisanak puasa?” ujar lelaki tua itu dengan wajah menyesal, lalu buru-
buru memasukkan lagi air nira itu ke dalam bumbung. ”Ini sebenarnya tidak saya jual, tetapi
akan saya kumpulkan untuk dibuat gula. Ah, gula aren memang yang paling manis menurut
saya. Hehehe….”
Lelaki berkumis itu menelan udara gersang. Ada rasa perih yang menggores
kerongkongan keringnya.”Saya haus, kakek tua!” bentaknya tiba-tiba.
Si kakek memandangnya sesaat, lalu menuangkan air nira itu ke batok kelapa cengkir.
Diangsurkannya kepada lelaki berkumis itu sambil menggumam, ” Kisanak ini musafir, ya?”
Lelaki berkumis itu geram, tapi tak peduli. Nyawanya siap melayang menyambut
kenikmatan luar biasa yang meluncur perlahan di kerongkongan keringnya itu. Ingin dia
menghentikan, bahkan denyut jantungnya sendiri, hanya demi kenikmatan yang tiada taranya
itu. Kesegaran seakan menjalar ke segenap urat darahnya, meriap gelombang sukmanya,
menerima daya hidup yang menyegarkan jiwa itu. Batok pertama tandas seketika dan dia
meminta lagi. Lalu batok kedua, kesepuluh dan… akhirnya sebumbung pun ditenggaknya
habis.
”Kek, mengapa kau tak ikut minum?”
”Saya puasa, Kisanak.”
”Ah, sudah tua kok puasa, hehehe…,” si kumis baplang berusaha meledek. ”Malaikat bahkan
sudah enggan mencatat perbuatanmu. Sebentar lagi kau masuk kubur,” ucap lelaki muda itu
tegak sambil sesekali menenggak bumbungnya.
”Minumlah dulu sepuasmu, baru bicara...,” jawab si kakek. Dan bumbung ketiga pun
tandaslah. Tersisa satu bumbung lagi.
”Tubuhku memerlukan air sebanyak mungkin. Jangan marah jika air niramu habis olehku,
hgheeeikh.. Ah, lagi pula kau tak akan berani marah padaku. Hahaaaa…,” ucapnya sambil
melemparkan bumbung ketiga.
”Tangan yang biasa merengkuh akan sulit dikendalikan.”
”Dari mana kau tahu semua itu?”
”Puasa.”
”Puasa? Hahahahahaaa... Puasa… hahahaaa… puuaas… sha. Hahahahaaa….”
Kakek itu diam saja dan memunguti bumbung yang berserakan lalu
menggantungkannya kembali di pikulannya. Sementara si kumis terus-menerus menenggak
bumbung keempat, lalu bumbung kesatu, kedua, ketiga, keempat, dan kembali lagi ke
bumbung pertama. Entah bagaimana, tiba-tiba si kumis sadar bahwa jumlah bumbung itu

43
hanya ada empat dan dia telah menenggak habis semuanya. Namun, mengapa air nira itu tak
habis-habisnya ditenggak?
Tubuhnya limbung dan, tanpa disadarinya, dia kencing sambil berdiri, sementara
bibirnya masih saja menenggak bumbung. Dia terhuyung ke sana kemari. Menenggak lagi dan
lagi, sampai akhirnya dia merasakan mual yang luar biasa. Rasa mual itu menggulung-gulung
dan menggelegak naik, melonjak melalui mulutnya.
Tubuh kokoh itu terbungkuk-bungkuk mengikuti gelegak mual yang mengganas bagai
kuda liar. Beberapa kali kepalanya terasa diganduli gajah dan lelaki kokoh itu roboh,
menggelosor ke tanah kering. Dari mulutnya tumpah-ruah berbumbung-bumbung air nira.
Selesai dihajar mual, lelaki itu terduduk. Dia merasa lelah, tetapi tangannya meraih bumbung
itu lagi. Dia berteriak menolak, tetapi sia-sia. Tangan itu seakan bergerak bukan oleh kemauan
lelaki itu. Kedua tangannya bukan lagi miliknya, yang kini bergerak sesuka hatinya,
menuangkan berbumbung-bumbung nira ke dalam mulut lelaki itu. Dia berusaha lari, tetapi
kakinya enggan bergerak. Mulutnya enggan menutup dan seakan terganjal batu, menganga
bagai gua menerima gerojokan air nira.
”Tanganmu tergerak oleh hatimu. Seperti kuda, kalau kau latih dia, maka patuhlah dia
kepadamu. Jika kau bebaskan semaunya, liarlah dia.” Kakek tua itu masih saja duduk di tanah.
”Jangan… haaep… haep… prrffss… jangan banyak bicaraa, haepss... pss... puuah! Bantu aku
menghentikan tanganku.! Huk… huk… hooeek…,” lelaki itu berussaha mengendalikan
tangannya yang seakan ingin menenggelamkannya dengan air nira. Jatuh bangun dia
menghindar, tetapi kedua tangannya tetap saja menguasainya. Teriakan dan lolongannya tak
bisa menghentikan kedua tangan liar dan aneh, yang kini menguasainya itu.
”Ingat dongeng Prabu Rahwana? Dia pernah minta kesaktian kepada para dewa agar
diberi kekuatan dahsyat tak terkalahkan. Dia juga meminta ilmu tak bisa mati,tak bisa
dikalahkan oleh dewa dan manusia, hehehehe…, dituruti. Permintaannya dikabulkan, malah
diberi kesempatan menikmati hasil tapanya itu berpuluh bahkan beratus tahun. Tapi apa
yang diperolehnya ketika Sri Rama melepaskan panah Gua Wijaya? Haha.. persis kayak
Sampean, Kisanak. Gua Wijaya memang tidak membunuhnya, tetapi menyakitinya, dan rasa
sakitnya memang berkepanjangan sehingga akhirnya Rahwana minta mati. Makanya, kalau
didongengi orang itu didengarkan, bukan cuma mbantah. Heheheh.. sekarang, enak, nggak air
yang kamu minum itu? Heh? Hahahahahahaha….”
Gelak tawa kakek itu seakan lecutan cambuk raksasa yang kian membuat kuda-kuda
liar yanga ada di dalam diri laki-laki berkumis itu meronta-ronta, menyeretnya entah sampai ke

44
mana. Oleh lelah dan lilitan nira yang memabukkan itu, akhirnya si kumis rebah tak sadarkan
diri.
***
Matahari sedikit lagi terbenam. Lelaki berkuda itu masih saja terduduk setelah beberapa
saat lalu pingsan. Setiap persendian tubuhnya terasa hancur, hatinya kosong, pikirannya
lenyap, dan dia seakan tak memiliki keinginan apa-apa lagi.
Dia naiki kudanya dan kuda itu pun berjalan tanpa kendalinya. Tubuhnya yang kosong
terayun-ayun dan angin sore pun menyapunya lembut. Kalong-kalong mengepakkan sayapnya
teratur dalam gerombolan panjang, membentuk totol-totol hitam di hamparan langit
lembayung. Sayup dari pucuk-pucuk daun kelapa di kejauhan, angin membisikkan suara azan
dan kuping lelaki yang terlatih itu pun menangkapnya.
Antara sadar dan tidak, dia masih mengingat beberapa ucapan kakek tua itu, yang entah
bagaimana seakan memiliki kekuatan untuk melekat dalam ingatannya. Ucapan itu
membuatnya kosong. Lembah sanubarinya yang tandus gersang tiba-tiba mulai berkabut,
basah, dan kehijauan pun bersemi.
Diamatinya kedua tangannya yang kini bergerak biasa. Entah apa yang tadi terjadi pada
dirinya, dia tak sepenuhnya memahami. Selama ini, dia selalu membiarkan kuda-kuda liar di
dalam dirinya, meronta sesuka hati. Kini, dia ingin sekali mencoba mengaitkan tali kekang dan
mencoba menambatkan pada tiang pendiriannya agar tak lepas begitu saja. Entah mengapa,
mungkin ucapan itulah yang membuatnya begitu.
Ke manakah si lelaki tua itu pergi? Ke barat atau ke timurkah dia harus mencarinya?
Matanya hanya menangkap sosok randu dengan durinya di sana-sini. Dulu, ketika masih
kanak, pernah dia ingin memanjat batang randu, entah apa yang dicarinya sesampainya di atas.
Namun kini, ketika pikiran itu muncul lagi, dia merasa rindu. Rindu pada suatu kenikmatan,
meskipun kedua tangannya akan penuh luka oleh duri. Dia ingin sekali memanjat batang randu
alas itu. Ada keinginan menderas yang membuatnya menangis. Keinginan untuk
membersihkan dirinya dan karena kotoran itu melekat di aliran darahnya, maka dia ingin
mengeluarkan darah dari tubuhnya dan membiarkan darah itu mengucur keluar bersama dosa-
dosa yang menghitami hidupnya.
Lelaki berkumis itu duduk di punggung kudanya, membiarkan dirinya terayun-ayun
langkah kuda yang entah membawanya ke mana.
Bukit Nusa Indah-98

45
BATERAI
(gambar 7)

Dia selalu saja lupa mengganti baterai pada jam dindingnya. Setiap kali dia ingin tahu
waktu dan secara otomatis kepalanya menengok ke jam dinding yang melekat di tembok di atas
lemari kecil itu, dia seakan baru teringat bahwa seharusnya dia sudah mengganti baterainya
kemarin.
”Kenapa sih, nggak diganti? Sudah tahu kalau jamnya selalu mati, dan sudah tahu
kalau baterainya mati, masih saja didiamkan…,” omel istrinya setiap kali memergoki jam itu
masih mati.
Laki-laki itu diam saja. Dia hanya memandang jam bulat yang melekat di tembok itu.
Ada keinginan, setiap kali melihat jam mati itu, untuk mengganti baterai. Namun, entah
mengapa, selalu saja ada sesuatu yang membatalkannya.
Misalnya, pada hari Minggu kemarin. Dia pulang sebentar dari kerja bakti di
kampungnya. Dia janji akan menelpon seorang kawan pada jam sembilan pagi. Ketika dia
ingin melihat jam berapa saat itu, dia melihat jarum panjang menunjuk angka dua belas, dan
jarum pendek ke angka empat. Mati. Saat itu juga dia bermaksud ke warung dan membeli
baterai, tetapi pada saat yang bersamaan telepon berdering. Ternyata itu adalah kawannya.
”Aku tunggu teleponmu, kok, nggak bunyi-bunyi, kenapa, sih? Lupa, ya?” yang di
seberang sana membuka pembicaraan dengan cercaan.
Laki-laki itu mendesah, lalu menjawab dengan tenang, ”Sori, baru bangun,” ucapnya
berbohong. Lalu dia terlibat pembicaraan dengan si penelpon. Setelah pembicaraan kira-kira
tiga pulauh menit, laki-laki itu segera kembali ke para tetangganya yang tengah kerja bakti.
Lupa membeli baterai. Begitulah, sepulang kerja bakti tubuhnya lelah, ia mandi, makan, dan
tidur siang sepanjang hari.
Sore hari, ketika dilihatnya rumah sepi, dia celingukan sendirian, dan mendapatkan
pesan di pintu lemari es, ”Pa, aku ke rumah Ayah. Malam baru pulang.”
Dia mulai berpikir, ”Jam berapa, ya, sekarang?” pada saat itu juga dia melongok ke jam
dinding itu dan didapatinya jam itu masih saja menunjukkan jam empat.
Di lain kesempatan, pernah dia berniat mengganti baterai jam dinding itu. Baterai sudah
disiapkan. Namun, ketika itu di halaman ada seekor ayam tetangga yang menggulingkan pot
bunganya. Segera dia usir ayam itu dan dengan pandangan sedih dibenahinya pot yang
terguling itu. Setelah itu dia duduk sekadar melepas lelah dan merokok. Ketika dia menengok

46
ke arah jam mati itu, barulah dia ingat bahwa seharusnya dia mengganti baterainya, tapi saat itu
dia sedang ingin menikmati sebatang rokoknya.
Begitulah, setiap kali dia melongok, jam itu masih saja mati. Diam tak menunjukkan
gerakan apa-apa. Anehnya, dia juga berpikiran yang sama—selalu saja dia lupa mengganti
baterainya.
Dia lalu berpikir, mengapa setiap kali dia ingin mengganti sesuatu—baterai jam itu,
misalnya, ada saja yang membuatnya gagal. Bayangkan, sejak niat pertama dipancangkan,
hingga saat ini—ketika dia menghisap rokoknya ini, kira-kira sudah sebulan. Baterai jam itu
belum juga diganti.
***
Besoknya, ketika istrinya akan berangkat kerja, dengan buru-buru menggaet tas dan
berkesempatan menengok jam dinding itu, sekali lagi semprotan itu meledak. ”Kapan, sih, jam
ini dapat baterai baru?”
Laki-laki itu terdiam, selain karena dia sendiri baru saja bangun dari tidurnya, juga
merasa bersalah karena belum juga mengganti baterai. Dengan mata masih diganduli kantuk,
laki-laki itu melangkah mendekati jam dinding yang merana kehabisan baterai itu.
Diambilnya jam itu. Diamatinya sesaat, lalu dibalikkan dan diambil baterainya. Baterai
itu masih saja keras, tidak seperti yang dibayangkannya; bayangan dia, baterai itu agak loyak
bila dipegang lantaran kelamaan melekat di suatu tempat dalam keadaan mati.
Dia tercenung di antara tirai kantuk dan kesadarannya. Apa yang salah dengan baterai
ini? pikirnya dalam hati. Dia bermaksud mencoba baterai itu pada lampu senter, barangkali
saja baterai ini masih berfungsi, jadi tak usah beli.
Sambil membetulkan gulungan sarung di perutnya, dia mulai mencari-cari senter yang
dimaksudkannya. Mula-mula dicarinya di atas lemari es. Tak ada. Lalu dia terdiam sesaat dan
melangkah ke lemari obat. Di atas lemari obat itu biasanya ada gunting, alkohol desinfectan 70
%, dan lampu senter. Sambil menguap lebar dia menuju lemari obat dan menemukan semua
yang biasa di situ, kecuali senter. Di mana senter itu? Selalu saja begini, jika tak dibutuhkan,
ada, tapi begitu dicari, ngumpet! gerutunya dalam hati.
Dia seperti kehilangan tujuan, berdiri sambil memegangi baterai, dan tak tahu harus
berbuat apa dengan itu. Dia mencoba memasang kembali baterai itu ke jamnya dan mencoba
mendengarkan, barangkali ada detak kehidupan. Ternyata tidak.
Ada dua kemungkinan: baterai ini mampus, atau ada komponen jam yang rusak. Dia
garuk-garuk kepalanya yang tak gatal. Satu-satunya cara mengetahui keadaan jam ini adalah

47
dengan mengetes baterai ini, dan satu-satunya cara mengetahui daya baterai ini adalah dengan
lampu senter. Pertanyaannya adalah, di manakah senter keparat itu?
Dia lalu menelepon istrinya. Operator menjawab bahwa istrinya belum sampai kantor.
Dia otomatis melihat ke arah jam. Hanya dinding kosong dengan debu melingkar. Dia tertawa
sendiri, jam itu ada di dekatnya.
Dia kemudian mencoba mencari sekali lagi. Di setiap laci, di setiap lemari, di setiap
kotak, di mana pun yang diperkirakannya senter itu tersimpan, dilakukannya. Namun, kali ini
dia sia-sia.
Tak lama, pergilah dia ke tetangganya dan mencoba meminjam senter. Tetangganya
heran, untuk apakah pagi-pagi dia berurusan dengan senter? Sebetulnya dia ingin marah karena
apakah senter itu akan ditimpukkan ke tikus atau mau diberinya kecap asin, itu adalah
urusannya. Namun, karena dia sadar bahwa dia tidak mengambil miliknya, tetapi meminjam
dari tetangganya itu, maka dipadamkannyalah kemarahannya.
Si tetangga kemudian menyerahkan senter itu, ”Tapi, kayaknya baterainya mati, Pak,
belum sempat diganti,” katanya tenang.
”Oh, nggak apa-apa, saya ada baterai,” jawabnya buru-buru kembali ke rumahnya.
Di rumah, dia mencoba memasukkan baterai itu ke senter pinjamannya. Namun, baru
saja dia memasukkan baterai itu, dia sadar senter itu membutuhkan dua buah baterai besar,
sementara dia hanya punya satu, kecil pula. Seekor cicak berdecak di atas kulkas.
”Apa, Lu, berisik!”
Cicak merayap cepat dan menghindar, sebelum kena tulah.
Dia akhirnya merenung. Diambilnya rokok dan dinyalakannya nikmat. Telepon
berdering.
Begitu diangkat, ternyata suara istrinya.
”Ada apa?”
”Oh, nggak , tadi aku nyari senter kita. Kok nggak ...”
”Kan, dipinjam tetangga sebelah,” potong istrinya.
”Yang warnanya merah itu, ya?” tanyanya sambil melirik ke senter yang tergeletak di
meja itu.
”Iya, sayangku....”
”Sudah lama pinjamnya?”
”Ya..., rasanya sih cukup lama, ya?”
”Hmm.. tapi, kenapa tadi dia tenang-tenang saja, seolah senter itu punya dia….”
”Oh, jadi sudah diambil?”

48
”Sudah. Baru saja. Tapi, kenapa sikapnya begitu?”
”Ya, nggak tahu. Dulu, yang pinjam, sih, pembantunya, seingatku, lho.. mungkin dia
juga nggak tahu kalau itu senter pinjaman. Sudahlah…, daaa.”
Laki-laki itu masih saja beberapa saat menggenggam gagang telepon. Pikirannya masih
saja belum bisa menerima sikap tetangganya, yang dengan enaknya menyerahkan senter itu
kepadanya.
Jadi, ini senter keparat yang kucari-cari itu, gerutunya dalam hati. Dia merasa
terganggu dengan sikap tetangganya. Sudah pinjam, lama, nggak terima kasih, eh, malah
tanya-tanya untuk apa. Sialan! gerutunya lagi.
Masih dalam kecamuk ketidaksenangan atas sikap tetangganya, dia membongkar senter
itu. Dicarinya kabel dan dicopotnya lampu kecil senter, lalu dia mencoba menghubungkan satu
dengan lainnya sedemikian rupa sehingga seharusnya lampu itu menyala. Ternyata tidak.
Diperhatikannya, ternyata kawat wolfram lampu itu putus. Kampret!
Akhirnya, dengan bersungut-sungut laki-laki itu pergi ke warung kecil di ujung gang.
Ketika berjalan, dia melewati rumah tetangga yang meminjam senternya dan dilihatnya si
tetangga pura-pura sibuk mengatur sesuatu di mobilnya. Mobil bagus, kalau perlu dipoles di
salon mobil, tapi senter aja pinjam, mulangin nggak terimakasih, kutu kupret! Makinya dalam
hati.
”Bu, ada baterai?”
”ABC?”
”Ya, apa sajalah….”
”Ada juga predi’….”
”Apa sajalah.”
”Sebentar,” lalu ibu pemilik warung sibuk mencari baterai yang dimaksudkan laki-laki
itu. Setelah agak lama, dia muncul kembali. ”Ini?” katanya menyodorkan baterai besar.
”Bukan yang gede, yang kecil, Bu…,” jawab laki-laki itu agak jengkel.
”Oohh, yang kecil… sebentar…,” lalu ibu itu menghilang lagi ke balik bilik mencari-
cari baterai yang dimaksudkan pembelinya.
”Wah, Om…, habis. Nggak ada tuh yang kecil, yang gede aja, ya?”
”Nggak Bu, perlunya yang kecil buat jam.”
”Wah, belum beli, bapaknya. Sebentar lagi baru belanja ke pasar, Om.”
Laki-laki itu sudah tak peduli, dia ngeloyor pergi.

49
Sesampai di rumah, dia hanya duduk mencangkung di balai-balai. Terus terang saja,
sisa kantuk masih menggandul di lipatan pelupuk matanya. Dia harus melakukan sesuatu,
tetapi apa, dia sendiri tak tahu.
Karenanya laki-laki itu kemudian memasang kembali baterai yang tadi dilepasnya ke
dalam jam dinding bulat itu. Diambilnya lap dan mulai dibersihkannya permukaan jam.
Kebetulan jam itu terbuat dari kayu yang dipernis mengkilat, sehingga mirip plastik.
Lalu, setelah puas membersihkan, dia tempelkan jam itu ke dinding. Beberapa saat
dipandanginya jam itu.
Dia mencoba mengingat-ingat, beli di mana jam antik ini? Tetapi sia-sia. Rasanya dia
dan istrinya tak pernah secara khusus membeli sesuatu, apalagi jam dinding. Ya, sejak
pernikahan mereka lima tahun lalu, mereka tak pernah melakukan apa-apa untuk diri mereka
sendiri.
Lima tahun, tanpa terasa, mereka telah menjalani rumah tangga. Lima tahun, tanpa
terasa, mereka hanya menjalani kehidupan sebagai sebuah rutinitas. Jam sekian mandi, jam
sekian makan, jam sekian berangkat, jam sekian anu, jam sekian itu, dan ini yang membuat
laki-laki itu merasakan bahwa dirinya kian kurus: anak!
Hingga memasuki tahun kelima perkawinan mereka, istrinya belum menunjukkan
tanda-tanda kehamilan. Dia sudah memeriksakan diri ke dokter dan sudah mendapat jawaban
bahwa dirinya, laki-laki itu, mandul.
Semula dia tak bisa menerima kenyataan itu, tetapi, ketika istrinya memberikan
dukungan, laki-laki itu akhirnya bisa tersenyum dan bercanda kembali. Akan tetapi, itu hanya
pada tahun kedua perkawinan mereka. Ketika istrinya dipindah ke divisi yang lebih menuntut
jam kerja, peristiwa demi peristiwa aneh pun mulailah terjadi dalam rumah tangga mereka.
Perlahan-lahan keduanya jadi jarang ketemu. Kalau pun ketemu, itu menjelang tidur.
Jika laki-laki itu berusaha merayu istrinya saat ingin bermesraan, dia hanya mendapatkannya
setelah berusaha keras menjaga agar istrinya tak ketiduran. Lampu-lampu pun padam satu demi
satu, demikian pula kehangatan mereka di ranjang.
Rutinitaslah yang membunuh mereka. Ditambah keadaan fisik laki-laki itu, yang tak
mungkin memberikan keturunan, maka lengkaplah kebekuan yang terjadi di dalam rumah
tangga laki-laki itu. Dia tak dapat menyalahkan siapa-siapa. Dia hanya merasa sakit karena
terjepit keadaan yang nyata-nyata bukan atas kehendaknya.
Seperti detak jarum jam yang berputar dari detik ke detik, kehidupan mereka mengalir
dari itu ke itu juga, tanpa titik perhentian sama sekali. Titik berikutnya adalah titik gerak untuk

50
melompat ke titik berikutnya dan seterusnya. Tak ada titik henti. Begitulah rutinitas kerja
keduanya.
Mengalir, berputar dari siang ke malam, dari malam ke pagi, ke siang, dan ke malam
lagi.
Mata laki-laki itu mencoba tak berkedip karena begitu jam itu ditempelkan di dinding
kembali setelah dibersihkan, ada gerakan detak tertangkap matanya. Telinganya seakan
menangkap suara detak kehidupan jam dindingnya. Namun, setelah sekian lama ditunggu,
ternyata hanya keheningan yang mengalir. Laki-laki itu kembali kecewa.
Tangannya hanya mengelus jam dinding itu, entah sebagai semacam ritual atau
memang sudah seharusnya begitu, dia sendiri tak tahu. Yang jelas dia menyentuh dan jam itu
berdetak!
Dia nyaris berteriak girang, tak percaya pada apa yang disaksikannya pada hari itu.
Matanya berbinar-binar, beberapa kali dia ber ”ha-ha” di depan jam dindingnya. Baterai sialan
itu ternyata masih hidup. Masih mampu memberikan detak kehidupan pada jamnya!
Buru-buru dia telepon istrinya, tetapi dijawab oleh kantornya bahwa istrinya sedang
meeting. Dia kecewa, tetapi dia bisa maklum. Sekarang sudah tidak ada masalah lagi, jamnya
sudah berdetak normal.
Tak lama dia ke kamar mandi dan mengguyur badannya dengan air dingin segar. Dia
keramas, menggosok giginya, dan mengguyur tubuhnya berkali-kali seakan tengah melakukan
ritual penyucian diri. Sambil bersiul-siul kecil dia mengenakan handuknya dan ketika melewati
jam itu dia masih saja melihat jarum detik jam itu masih bergerak-gerak sebagaimana
seharusnya dia bergerak.
”Jam berapa sekarang?” bisiknya seakan meledek situasi yang kini berbalik
mendukungnya. Dia tersenyum dan jam itu memberikan jawaban sebagaimana seharusnya.
”Ooo… baru jam sebelas, to. Ha ha…,” laki-laki itu menari-nari kecil mirip seorang
bocah mendapatkan hadiah dari ibunya. Detik jarum jam itu masih terus berputar patah-patah
sebagaimana lazimnya detik jam dinding.
Sambil mengenakan pakaian, tangan laki-laki itu sesekali menyentuh tombol-tombol
radio tape-nya. Musik mengalun. Dia menyanyi, tak jelas liriknya. Hatinya begitu gembira dan
dia tak peduli apakah akan ada orang yang akan memaklumi kegembiraannya atau tidak. Paling
tidak, setiap kali dia menengok dan menanyakan waktu, jam itu telah punya jawaban. Dia
bukan lagi seorang laki-laki yang teledor, hanya untuk perkara mengganti baterai jam dinding.

51
Jam setengah sembilan malam, istrinya pulang. Laki-laki itu berseri-seri menyambut
kedatangan istrinya. Sang istri meskipun terheran-heran, akhirnya tersenyum senang juga
mendapatkan suaminya begitu bergairah malam itu.
”Ada apa, sih?” tanya istrinya sambil mengamati, seakan suaminya adalah makhluk
luar angkasa.
”Aku tadi nelepon kamu di kantor, tapi…,”
”Oh, memang tadi aku dikasih tahu sama Rosi. Aku meeting dan lupa telepon ke
rumah. Ada apa?”
Istrinya berkata sambil membongkar belanjaan. Rupanya dia sempat mampir
supermarket untuk membeli beberapa kebutuhan harian dan… satu pak baterai kecil.
Mata laki-laki itu tertumbuk pada pak baterai itu dan sambil tersenyum dia katakan
bahwa itu tak perlu.
Istrinya terheran-heran dan dengan pandangan yang sama matanya mengikuti telunjuk
suaminya ke arah jam dinding itu.
”Ooo…,” hanya itu yang keluar dari bibirnya. Lalu istrinya meneruskan membereskan
belanjaan, kemudian pergi ke kamar mengambil baju ganti, mandi, dan…
Laki-laki itu diam. Kegembiraannya berhasil menghidupkan jam itu tak berarti apa-apa
bagi istrinya.
Tadi, nelepon mau bilang bahwa jamnya hidup?” teriak istrinya dari kamar mandi.
Laki-laki itu diam saja, tak ada gairah untuk menjawabnya.
Ketika usai mandi, sambil menggaet koran sore, si istri duduk di dekat suaminya. Laki-
laki itu masih saja kecewa. Beberapa menit kemudian, karena keheningan yang tiba-tiba
menyerang, si istri bertanya mengapa suaminya tiba-tiba berubah seperti itu.
Karena tak ada jawaban, istrinya mengalihkan pembicaraan, ”Nonton tv, yuk, kayaknya
ada film bagus, nih jam…,” secara refleks istrinya menengok ke arah jam dan jam tersebut
masih menunjukkan pukul setengah sembilan.
”Jamnya mati,” gumam istrinya, lalu beranjak ke ruang televisi.
Laki-laki itu seperti tersengat tawon, matanya langsung menancap ke arah jarum jam
yang diam tak bergerak sama sekali.
Segera diraihnya jam itu, lalu dicopot baterainya dan diguncang-guncangnya. Dari
ruang tv istrinya berteriak untuk mengganti saja dengan baterai yang baru.
Karena kecewa, laki-laki itu akhirnya hanya menggantungkan kembali jam tanpa
baterai itu ke dinding, sambil menggumam, ”Besok saja..”

52
Pinang, 982

WAYANG
(gambar 8)

Sebagaimana orang-orang di Dukuh Karang Ombo, Sukat juga tak percaya dengan apa
yang dilihat oleh mata kepalanya. Sebuah wayang kulit indah tokoh Sri Kresna, berukuran
hampir satu setengah meter–mulai dari ujung pegangan sampai pucuk mahkota.
Wayang kulit itu ditancapkan pada sebidang tempat dari jati berukiran Jepara,
sedemikian rupa sehingga kedua sisi wayang bisa dilihat dan bahkan bisa disentuh. Perhiasan
Sri Kresna, sebagai Raja Dwarawati, benar-benar gemerlap oleh intan-intan yang dilekatkan di
hamparan kulit itu.
”Lihat, pradha-nya…,” bisik Suto.
”Apa kau pikir ini juga dari sepuhan emas?” jawab Sukat agak menyangsikan
ucapannya sendiri.
Suto hanya menahan napas. Gemerlap warna kuningnya memang agak lain di mata
mereka berdua. Meskipun otak mereka juga berusaha menyangkal, bagaimana mungkin emas
bisa disepuhkan di atas kulit, namun mata mereka seakan mempercayai bahwa gemerlap
kuning itu adalah emas.
”Rasanya bukan tapi, kok, warnanya lain, ya?”
Orang-orang dukuh yang memang hanya bisa terkagum-kagum dengan apa saja yang
mereka saksikan, juga mulai berpikir seperti apa yang baru saja diucapkan Sukat dan Suto.
Sebuah telunjuk menjulur perlahan dari salah seorang penduduk yang mencoba ingin
menyentuhnya.
”Jangan senggal-senggol!” sebuah suara berat seorang lelaki menghentikan telunjuk itu.
”Nanti jarimu bujel!”
Aliran darah si pemilik telunjuk beku seketika.
”Ini dibuat secara khusus, di-pasani, ditirakati, jadi tidak sembarangan. Makanya juga
jangan sembarangan senggal-senggol.” Ucapan itu berasal dari si pemilik wayang. Lelaki
tinggi besar dan tambun berkumis lebat mirip Saddam Husein itu segera menjadi pusat
perhatian orang-orang dukuh. Dia berdiri bagai seorang raja, sementara orang-orang yang
puluhan jumlahnya itu duduk berkeliling di sekitarnya.

53
”Wah, ini bagus sekali, lho, Den.” ucap Suto sambil menunjuk wayang tersebut dengan
ibu jarinya. Si pemilik wayang senang. Wajahnya berseri-seri.
”Sri Kresna ini kan seorang batara, seorang dewa yang ngejawantah ke bumi. Makanya
wayang kulitnya harus dibuat khusus. Kalau mau memperlakukan pun harus khusus pula,” kata
lelaki itu seakan mengulangi apa yang pernah dikatakannya.
”Bisa ngrejekeni ya, Den?” celetuk Sukat.
”Hus! Wandamu…, apa-apa kok langsung dikaitkan dengan kekayaan.”
Orang-orang tertawa riang. Sukat hanya senyam-senyum senang. Makian itu dirasakannya
sebagai ungkapan kedekatan Den Bagus kepadanya.
”Nuwun sewu, apakah itu semua inten-berlian, Den?”
Den Bagus memandangi wayangnya sejenak, kemudian menjawab,”Menurutmu
bagaimana Kat?”
”Waaah .. ya, ndak tahu, Den. Ngapunten, hehehe...,” jawab Sukat malu-malu. Namun,
otaknya masih bergulat keras antara mengatakan emas dan bukan emas.
”Ya, bukan. Mana ada kulit kok disepuh emas. Mana bisa.” Jawaban itu membuat
orang-orang lain tersenyum. Entah lega, entah apalagi. Tak ada yang tahu.
Tetapi, Sukat masih saja bergulat dengan pikirannya sendiri. Jidatnya berkerut-kerut.
Sorot matanya tak percaya pada ucapan Den Bagus.
”Kalau yang kerlap-kerlip ini... ya, memang inten betul,” ucap Den Bagus tenang
sambil menatap bangga pada wayang koleksinya.
Beberapa kepala saling menengok dan bibir-bibir pun pating klesik.
Mata mereka mencoba menghitung jumlah intan dan berlian yang melekat di seluruh
wayang itu. Mahkota Sri Kresna memang paling banyak, paling gemerlap. Kelat bahu, praba,
dan bahkan binggel yang dikenakannya juga gemerlap. Jumlahnya, kanan-kiri mungkin
melebihi seratus butiran besar-kecil. Pating kerlap, pating kerlip, menggoreskan kerjapan aneh
di mata yang memandangnya.
”Elok tenan…,” gumam Sukat seakan pada dirinya sendiri.
”Tahu, harganya berapa?” tanya Den Bagus dengan tenangnya.
Orang-orang hanya tersenyum masam. Ada juga yang kelihatan tambah bego, meskipun
tersenyum.
”Ini harganya setengah milyar.”
Mereka yang mendengar tak tahu persis berapa setengah milyar itu. Mereka rata-rata hanya
merasakan bahwa angka yang disebutkan itu menimbulkan kesan gemebyar! Ada percikan
indah, ketika kata ”Yar!” itu diucapkan. Entah bagaimana wujudnya di benak masing-masing,

54
namun mereka merasakan gambaran yang sama. Sesuatu yang aneh sekaligus indah. Asing
yang juga indah. Mahal itu indah.
”Ini milik eyang kakung saya. Dia dulu adipati di wilayah Selatan.. Tadinya, katanya,
wayang ini sudah dikirim ke Belanda, dipersembahkan kepada gusti ratu.. tapi ini, katanya,
lho…, wayang ini kembali ke rumah Eyang,” ujar Den Bagus sambil memandangi penuh
kekaguman pada wayang kulitnya.
”Kembali … terbang sendiri?” Sukat menyela.
”Ya… ndak tahu, Kat. Yang jelas, wayang ini tidak pernah sampai ke Belanda.
Sampai-sampai, konon, eyang kakung dituduh pemerintah bahwa dia telah membuat kecewa
sri ratu, dan karenanya harus dihukum.”
”Lo, kok, gitu?”
”Ya.. embuh, Kat…,” jawab si empunya wayang sambil tertawa kecil.
”Wah, Sukat, kalau tanya kok mendetail…, kayak pulisi saja, hehehe…,” sela yang lain
sambil tertawa geli.
Namun, Sukat tidak menanggapi semuanya. Dia masih saja merasakan bahwa yang
diucapkan Den Bagus Darsono memang benar-benar terjadi. Sukat benar-benar kagum.
Kekaguman Sukat bukan pada nilai rupiah wayang tersebut, melainkan pada ketelitian dan
kesungguhan si pembuatnya. Wayang kulit tersebut dipandanginya seakan matanya tengah
merekam segala keindahan yang entah harus dari mana menilainya itu.
Berhari-hari setelah malam yang memesonakan itu berlalu, Sukat masih
membayangkan betapa indahnya wayang kulit yang dilihatnya di rumah besar milik Bagus
Darsono. Sri Kresna, yang telah menjadi raja, masih menampilkan sedikit karakter pesolek
Raden Narayana—nama Kresna ketika belum menjadi raja. Ada kesan senyum cerdik—sedikit
mengejek lawan, namun guratan wajahnya menunjukkan kecendekiaan yang tak tertandingi.
Dibalut pakaian kebesarannya yang tampak megah oleh intan berlian yang gemerlapan, Sukat
membayangkan Sri Kresna adalah raja yang menjadi junjungannya.
Berhari-hari Sukat memikirkan dan tampaknya keinginannya untuk sekadar memegang
dan memainkannya—walau sebentar saja, kian menjadi-jadi. Maka, pada suatu malam, Sukat
memberanikan diri ke rumah Den Darsono, untuk meminta izin memainkan wayang tersebut.
”Untuk apa?” tanya si empunya wayang dengan sedikit bangga.
”Ya, hanya kepingin memainkannya sebentar. Boleh, to, Den?
”Syaratnya.. kamu harus bersih. Tidak sedang hadas.”
”Saya sudah mandi,” bisik Sukat agak malu.

55
Den Bagus memandang Sukat dengan senyum tertahan. Sekali lagi ditanyainya, sukat
seakan meyakinkan bahwa barang yang akan disentuh Sukat adalah benda keramat.
”Godaannya banyak, lho, Kat. Tidak mudah berdekatan dengan wayangku ini. Karenanya,
Eyang hanya memberikannya pada ayahku, di antara ketujuh anaknya. Lalu Ayah, ya, hanya
memberikannya padaku, bukan pada kakak atau adik-adikku yang lain. Artinya, wayang ini
’memilih’ bukan dimiliki sekehendak hati,” sekali lagi Den Bagus menjelaskan betapa
wingitnya wayang tersebut.
”Ah, panjenengan itu.. kalau tidak boleh, ya, sudah…,” canda Sukat.
Dengan sedikit keraguan yang tampak pada sudut matanya, Den Bagus kemudian
mengajak Sukat masuk ke ruang penyimpanan wayang.
”Jika kamu sawanen, saya tidak tanggung jawab, lo, Kat.”
Jantung Sukat berdebar-debar. Ada rasa gembira, ada sedikit takut, ada keraguan, tetapi
juga kebahagiaan. Matanya mengikuti setiap gerakan tangan Den Bagus, mulai dari membuka
lemari khusus, kemudian selubung mori putih dan terakhir kotak kaca penutup wayang
tersebut. Mata Sukat bagai tersedot kekuatan gaib. Gemerlap wayang tersebut menyilaukannya.
Cahayanya memantulkan daya yang tak mampu dikuasainya.
Tangannya gemetar menjulur perlahan. Telapak tangannya berkeringat ketika
menyentuh pegangan wayang yang terbuat dari tulang kerbau itu.
Tiba-tiba, wayang itu seolah-olah melompat ke dalam genggaman Sukat, dan bagai
terkena sihir, tangan Sukat yang satunya meraih garan wayang dan menggerakkan tangan Sri
Kresna. Mulutnya kemudian menyuarakan sesuatu yang dia sendiri tak begitu paham
maksudnya.
”Apapun penghalangnya, wahai para makhluk bernafas, yang satu ini akan terjadi…
akan terjadi tanpa persetujuan kalian, karena siapakah diri kalian sehingga layak memberikan
persetujuan... kepala kalian yang terlalu kecil dalam memikirkan semesta ini tak akan pernah
mampu memahami bahkan bayang-bayang kalian sendiri...” Sukat terus meracau, tubuhnya
limbung dan kedua tangannya seakan terikat pada wayang tersebut. Sukat seolah sebuah
wayang yang tengah dimainkan sang dalang.
Den Bagus ketakutan. Dia memanggil semua orang untuk menahan Sukat. Orang
berdatangan dan berusaha meringkus Sukat yang masih meracau dan gerakannya kian tak
menentu. Kekuatan Sukat berlipat-lipat. Tak seorang pun mampu mencegat.
Sukat terseret kekuatan aneh. Tubuhnya terbetot ke jalananan. Orang Karang Ombo
ketakutan. Sukat menghancurkan apa saja yang menghalanginya. Orang hanya mampu

56
menyaksikan seolah wayang itulah yang mengamuk dan Sukat hanyalah kelebat bayangan
yang hanya mampu mengikuti ke mana si tubuh bergerak.
***
Sudah lebih dari setahun peristiwa itu berlalu, tak ada berita tentang Sukat dan wayang
berlian itu. Den Bagus kelihatan kurus. Polisi tak mampu mengendus di mana Sukat dan
barang curiannya berada. Tak ada yang sanggup, mungkin juga tak peduli lagi pada Sukat
karena semua perhatian tertuju pada banyaknya peristiwa yang lebih aneh lagi. Orang Karang
Ombo hanya bisa berdoa. Setiap hari selalu saja ada berita aneh dan mengerikan yang sulit
dicerna akal manusia.
Di suatu tempat, seorang anak kecil yang tengah menggembalakan kambing,
menemukan sebuah wayang kulit berukuran besar. Wayang itu kusam karena terlantar.
Pegangan tubuh dan pegangan tangan wayang sudah copot entah ke mana.
Anak kecil itu hanya tertarik karena, baginya, wayang itu adalah sebuah mainan baru.
Diamatinya wayang kulit itu, ada yang aneh. Sepasang mata kecil bening itu seolah
membandingkan antara wayang kardus yang dibelikan maknya di pasar dan wayang kulit
temuannya itu. Ada yang aneh, terutama di bagian wajah. Namun, anak kecil itu tak tahu apa
yang tengah diamatinya itu.
PINANG 982

DI TAMAN KOTA SINGAPURA


(gambar 9)

Kumasukkan koin 1 dolar, lalu kutekan angka 80 sen. Tiket keluar dan kembalian 2
keping 10 sen-an gemlithik di box kembalian. Agak tergesa aku berjalan di stasiun MRT
Tanjong Pagar. Milly, art director-ku pesan minta dibelikan buku dan katanya ada di Page One
Marina Square.
Masih dalam rasa penat karena nyaris semalam suntuk aku ada di studio untuk editing,
aku berjalan dengan hampir beberapa kali menabrak orang. Bahkan ketika aku mencolokkan
tiket ke pintu sensor, tiketku "ditolak". Dua tiga kali kualami hal itu, sampai akhirnya kusadari
bahwa aku salah memasukkan. Beberapa orang melihatku dengan pandangan macam-macam.
Ada yang sinis, ada yang geli, ada yang dingin, dan mungkin berpikir aku orang yang sangat
kampungan. Di negeri singa ini tak mungkin orang "tersesat" apalagi salah memasukkan tiket,

57
wong semua tanda sudah jelas sekali terpampang. Di negeri ini semua sudah demikian
"bersistem" sehingga kemungkinan terjadinya kesalahan, sangat kecil.
Aku hanya tersenyum malu dalam hati. Sempat kudengar celetuk kecil yang
"mengutuki" kebodohanku. Dan, aku segera mengenalinya karena diucapkan oleh mereka yang
berasal dari Jakarta. Kucari wajah itu, tapi tak kutemukan. Biarlah.
Sambil menunggu kereta yang membawaku ke City Hall, aku sempat melihat seorang
kakek Cina, umurnya mungkin 60 tahun. Dia menatap lurus pada poster besar iklan bank yang
terpampang di stasiun. Tampak bibirnya sedikit bergetar-getar, mungkin nggerundel, mungkin
juga karena sakit atau…, entahlah. Kalaupun aku bisa mendengar suaranya, mustahil aku
memahami bahasanya.
Kereta datang. Kami berjajar. Pintu terbuka. Penumpang keluar. Kami masuk. Ada
yang dapat tempat duduk, aku pilih berdiri. Embusan sejuk pendingin udara. Pintu tertutup.
Kereta menderu. Aku mengantuk.
Aku terjaga tiba-tiba karena kurasakan seseorang menggoyang-goyang lenganku.
Kulihat, si kakek itu ada di sampingku.
Dia berkata,” ABCD EFGHIJ.”
”What? Mmm…, sorry?”
Dia, rasa-rasanya, mengulangi lagi ucapannya yang tentunya menggunakan bahasa
Mandarin. Sekali lagi aku hanya senyum-senyum bego karena sama sekali tak paham.
Akan tetapi, agaknya si engkong ini berusaha sekali agar aku memahami apa yang dia
ucapkan. Tangannya mulai melayang-layang, membentuk garis-garis yang dibiarkan
membekas di udara, agar aku bisa menafsirkannya. Ada lingkaran, mungkin. Ada garis meliuk-
liuk, ada gerakan sentrifugal yang diakhiri dengan titik tengah. Lalu jemarinya bergesekan satu
sama lain: uang! Itu saja yang kupahami, masalah uang! Edan! Mengapa uang adalah bahasa
dunia?
"You want money?" ucapku dengan bahasa Inggris sekenanya, seraya merogoh uang
kecil di saku. Dia segera menolak. Menolak?
Berarti dia tidak butuh uang, tetapi jelas dia bicara soal uang.

"Percakapan" singkat itu berakhir karena aku harus turun di stasiun City Hall. Aku
bergegas menyelinap di antara mereka yang juga tergesa-gesa. Di stasiun transit ini, banyak
sekali manusia. Aku mencari pintu yang mengarah ke Marina Square.
Muncul ke "permukaan tanah", kutemukan cahaya matahari siang yang berusaha keras
menembus mendung Desember. Bangunan-bangunan menjulang menyapaku dingin. Taksi

58
berseliweran di antara kendaraan pribadi dan bus kota. Aspal yang steril, hitam, dan berkilat.
Antara stasiun dan Marina Square terdapat sebuah taman berumput hijau. Ada tugu memorial
yang "tumbuh" di antara kehijauan rumput dan pepohonan paru-paru kota.
Aku melintasi memorial park dengan langkah tergesa. Kurasakan aku mengalir saja
bagai angin, tak memedulikan seliweran kendaraan, manusia lalu-lalang, dan semua kejadian
yang terjadi saat itu. Pikiranku masih saja tertuju pada si engkong yang sama sekali tak
kupahami kata-katanya, tetapi menyisipkan pengertian tertentu pada diriku.
Kepalanya yang nyaris botak, berkilat-kilat di sela ubannya yang jarang. Wajahnya
yang keriput, terlalu banyak untuk usianya–barangkali, serta postur bungkuknya yang kurus
kering itu, begitu melekat. Aneh. Karena sosok yang demikian itu bisa kujumpai di mana pun
di Jakarta. Sosok yang tidak asing lagi, yang tak perlu dipikirkan. Dulu di Surabaya aku juga
punya tetangga yang kurang lebih sama sosoknya dengan si engkong ini. Malah, dia yang
rumahnya persis di belakang rumah kami, selalu sarapan di rumah kami–karena dia sudah tak
punya siapa-siapa lagi. Bahkan, seingatku, ketika dia meninggal, romo yang mengurusi
semuanya, termasuk urusan pemakamannya. Dan seingatku, romo juga pernah bercerita bahwa
di jaman perang kemerdekaan dulu, dia juga ikut angkat senjata bersama pemuda-pemuda
lainnya (dan karenanya dia "dikucilkan" oleh familinya sehingga akhirnya memutuskan diri
tinggal di kampung Manyar). Artinya, tetanggaku itu jauh lebih mendarah-daging
hubungannya denganku ketimbang si engkong yang baru kutemui di MRT ini. Tetapi mengapa
dia begitu membekas?
Kakiku berada di memorial park. Agak nyaman juga berada di keteduhan yang tak
seberapa ini. Burung-burung–yang kuduga burung gagak, atau sejenisnya, aku tak pasti–
beterbangan di sana. Hinggap di dahan-dahan, ber-ceret ramai di antara kicau burung yang
lainnya, mengisi siang di taman itu. Bersih. Sedap di mata. Hijau. Segar. Itulah yang
kurasakan. Sebenarnya, Taman Monas bisa saja seperti ini, bahkan sebenarnya Monas lebih
hijau dan rimbun. Akan teapi, aku tak pernah tersentuh perasaan seperti ini, di sana.
Karenanya, betapa terkejutnya aku ketika mataku tertumbuk pada sosok yang tengah
jongkok di salah satu sudut taman, di bawah salah satu pohon rimbun. Itu si engkong!
Bagaimana mungkin? Bukankah tadi dia ada di belakangku? Atau malah dia ikut kereta
bawah tanah itu, entah ke stasiun mana? Mengapa dia tiba-tiba ada di tengah taman? Secara
logika, kalaupun dia searah denganku, pasti dia masih di tangga menuju ”permukaan tanah” di
stasiun itu, wong jalannya sudah terseok-seok. Dia tiba-tiba sudah ada di taman ini, yang
artinya beberapa kali lebih cepat dari langkah kakiku. Bagaimana mungkin? Masak dia
terbang?

59
Aku penasaran dan kudekati dia, sekadar memastikan apakah dia itu si ”Dia” atau orang
lain yang mungkin saja mirip.
"Gile lu!!!" dia teriak senang. Dia segera bangkit menyambutku dengan muncratan
kata-katanya yang tak kupahami benar. Dia rupa-rupanya bercerita tentang seekor burung yang
tergeletak di depannya itu.
Aku tahu bahwa dia bercerita tentang burung yang masih tergeletak itu dari caranya
menunjuk-nunjuk dan garis-garis tangannya yang kurus itu di udara. Dari ekspresinya aku jadi
mengerti bahwa dia sedang duduk di taman itu, taman yang dia sukai, tiba-tiba ada burung
terbang oleng, menabrak pohon, dan jatuh tepat di hadapannya. Menurutnya juga, burung itu
terbang dari tempat yang sangat jauh, kelelahan, dan terluka di bagian dadanya. Katanya kena
tembak, tapi tak kulihat luka menganga. Lantas si engkong mengumpulkan daun-daun yang
ada di sekitar tempat itu. Dia mengobati burung itu dengan kunyahan daun lalu cairan
kunyahannya dia masukkan ke dalam mulut si burung. Ajaib! Burung yang sudah sekarat itu
mulai bergerak-gerak dan keinginannya untuk hidup menyala kembali.
Si Engkong senang, karena di usianya yang sudah lanjut itu dia masih bisa memberi
"kehidupan" bagi makhluk lain. Itulah yang bisa kutangkap dari semua bunyi dan gerakan
tangan serta ekspresinya. Aku tertegun dan itu membuatku bisu beberapa saat.
Mataku terpaku pada burung yang mulai berjalan dan masih terjengkang-jengkang,
tetapi makin lama makin kuat itu. Mataku masih terpaku padanya sampai bisa kusaksikan
sendiri dia terbang ke salah satu dahan di balik rimbunnya dedaunan.
Desahan napasku terhembus keluar. Lega sekali.
Si Engkong terkekeh.
Aku mulai senang dengan si gaek ini.
"Name...name.. Lanang," kataku sambil menunjuk-nunjuk dadaku sendiri. Dia
mengangguk-angguk lagi, tanda paham.
"You? Your name?" tanyaku sambil menunjuk-nunjuk dirinya.
Dia memandang sesaat dengan mata rabunnya. Lalu, seraya mengibas-ngibaskan
lengannya, dia terkekeh-kekeh geli. Kuulangi lagi pertanyaanku dan sekali lagi dia mengulangi
gerakan dan kekeh tawanya.
Mungkin dia tak mau menyebutkan namanya. Untuk apa, mungkin.
Aku menjawab reaksinya, juga dengan tawa lebar. Kami jadi terkakak-kekeh di siang
bolong. Sempat kusaksikan orang-orang memandang ke arahku dengan pandangan curiga.
"Aku arep tuku buku dhisik, yo, Mbah…," candaku pamitan sambil tertawa dan
menunjuk ke Marina Square. Dia terkekeh makin geli dan membuatku semakin geli lantaran

60
melihat mulutnya yang ompong itu. Entah dia mengerti atau tidak, yang penting aku berkata
sebenarnya kepadanya.
"Bye! Kapan-kapan ketemu maneh…," kataku sambil melambaikan tangan. Dia juga
melambaikan tangan, yang lalu diusap-usapkannya ke gundul kepalanya. Aku sendiri merasa
geli dengan adegan ini. Bagaimana mungkin dua orang yang saling tak memahami bahasa
masing-masing bisa berkomunikasi seperti ini? Gila!

*****
Di Page-One, sebuah toko buku khusus untuk art, aku mulai mencari-cari judul yang
dipesan Milly. Toko yang berada di sebuah "kota dunia" dengan desain rak buku miring-miring
dan menimbulkan kesan bahwa ruang itu jadi tidak "rata", membuatku betah membaca-baca
atau sekadar melihat-lihat. Sementara bau dupa cukup menyengat hidung, bersumber dari salah
satu sudut toko. Aneh memang.
Beberapa pemuda, yang kuduga mahasiswa, jongkok mengerumuni sebuah buku
desain. Beberapa orang lagi mondar-mandir mengamati buku. Ada juga yang sibuk memilih-
milih kartu pos yang memang mengagumkan. Sementara, bau dupa membuatku sedikit pusing.
Aku mencoba bertahan karena buku yang kucari belum kutemukan.
Ketika otakku terisi penuh oleh kekaguman akan keserba-adaan toko ini, mataku
tertumbuk pada salah satu celah di antara dua rak buku. Si Engkong itu kulihat sedang
terbenam di sebuah halaman buku! Aku tak percaya. Ini manusia aneh. Barangkali malaikat.
Entahlah.
Kudekati dia. Bersamaan dengan itu seseorang membawa setumpuk buku berjalan ke
arahku dan karena terkejut, aku tanpa sengaja menabraknya. Sambil minta maaf berkali-kali,
aku membantu dia menyusun buku-bukunya. Lalu segera kucari si Engkong dan dia sudah tak
ada di tempatnya semula. Raib entah ke mana.
Clingak-clinguk aku mencari kakek yang sakti itu, tapi tetap saja tak kutemukan. Aku
segera ke pintu, keluar dan mencoba mencari seorang kakek bongkok di antara puluhan,
mungkin ratusan, orang yang ada di Marina Square. Jelas sia-sia.
Karena penasaran, aku mencoba mencari dia. Setengah berlari aku menerobos orang-
orang. Ke lantai atas lagi, melihat ke bawah kalau-kalau dia ada di antara mereka. Tak ada.
Sekilas mataku melihat dia masuk ke "Habitat", kukejar dia ke sana. Yang kujumpai hanyalah
kelengangan. Dan karena malu pada penjaga tokonya, aku pura-pura melihat-lihat aneka
benda-benda artistik yang memang cantik-cantik itu. Sengaja aku menuju arah keramik,
dengan ratusan desain pecah-belahnya yang apik-apik itu. Tak ada. Kembali ke depan ke lokasi

61
frame dan cermin. Kupandangi desain-desainnya satu demi satu, sebenarnya hanya pura-pura,
tapi tetap saja tak kujumpai.
Pencarian yang sia-sia sebenarnya. Namun, bagaimana mungkin aku hanya berhenti
sampai di sini? Apakah aku harus menyerah, sebagaimana yang selama ini kulakukan?
Pekerjaan yang kulakukan, kurasakan tak pernah selesai, selalu terbengkalai, mandheg di
tengah, kacel; mentah tidak, matang pun belum. Ini sebenarnya yang lebih memberiku
dorongan untuk mencari si engkong yang bikin penasaran itu. Lain tidak.
Aku harus membunuh kebiasaan lamaku, menyerah sebelum dapat kuselesaikan satu
masalah hingga tuntas. Sudah lama aku menyadari kelemahanku itu tapi entah mengapa aku
masih saja dililit keengganan untuk mengubahnya. Siang, matahari akan menyelesaikan
tugasnya hingga menenggelamkan diri di kaki langit barat. Bulan akan bersinar dan
menuntaskan tugasnya sampai pagi, untuk akhirnya pudar diterangi matahari. Lebah-lebah
terus bekerja mencari madu, semut akan terus membangun sarangnya, rayap akan terus
menggerogoti kayu, tapi aku? Apa yang sudah kulakukan, yang membuat orang lain mengakui
bahwa aku sudah menyelesaikan sebuah pekerjaan atau tugas yang pantas? Rasanya, seumur
hidupku aku belum pernah merasakan benar-benar menyelesaikan sebuah pekerjaan!
Rasanya yang selama ini kulakukan hanyalah "membuka" jalan dan menyerahkan
penyelesaiannya pada orang lain, yang kemudian menghasilkan sesuatu yang sama sekali
berbeda dari yang kubayangkan pada awalnya. Apakah ini bisa dikatakan sebuah penyelesaian?
Anehnya, banyak orang menganggap aku adalah orang yang istimewa. Mungkin ini hanyalah
lamisan atau "pemerah bibir" saja, atau malah sebuah sinisme terselubung. Entahlah. Orang
istimewa macam apakah aku ini jika untuk sebuah pekerjaan sekecil ini saja aku tak sanggup
menyelesaikannya?
Di mana sih kamu, Mbah?
"Lagi apa ?" tiba-tiba nada suara yang khas itu berbisik di telingaku. Karena terkejut
aku segera menoleh ke arah suara itu, dan kudapatkan wajah berkeriput dengan mulut ompong,
mlengèh di hadapanku.
"Wah, si Mbah ki, tak golèki nganti munyer... Ke mana aja, sih?"
Dia makin terpingkal-pingkal. Dia tak bermaksud buruk, hanya sekadar bercanda. Itu
kupahami dari gerak tubuh dan ekspresinya yang tulus.
Kami kemudian turun dan menuju sebuah kedai kopi. Kami makan dan minum. Kami
hanya diam. Hanya sesekali saling pandang dan melempar senyum.
Tak ada sepatah pun kata terucap dari mulut kami, tapi aku merasakan kehangatan
mengalir di antara kami. Lelaki tua itu yang tak begitu kukenal seolah-olah adalah bagian dari

62
hidupku yang hilang entah ke mana. Aku jadi bisa menemukan kembali apa yang selama ini
lenyap. Kehangatan dan duduk dalam kesunyian yang tak dibuat-buat, yang selama ini seakan-
akan "ditabukan" oleh orang sekelilingku.
Selama ini aku tak punya waktu untuk diam dan hanya duduk mengalirkan diriku
sendiri ke dalam alur pikiranku. Selama ini, setiap kali aku duduk bersama orang lain, aku
harus memberikan kata-kata, entah dusta, entah sebenarnya, yang jelas aku harus bicara dan
bicara.
Seolah "bicara" adalah kata kunci untuk segala-galanya. Seolah "bicara" adalah sebuah
nilai seseorang dalam hidupnya di dunia, dan "diam" adalah ketiadaan nilai tersebut. Ini
sungguh-sungguh menyesakkan napasku. Aku ingin sekali duduk berdua dan diam. Diam dan
hanya diam, membiarkan aliran pikiranku melonjak-lonjak, jejingkrakan liar, bebas, lepas..
meraup awan-awan tanpa beban, menyatu dengan udara tanpa batas ruang dan waktu.
Meluncur, menembusi berbagai relung kemungkinan, nakal, mungkin, tetapi murni bagai
kanak-kanak mengeksplorasi dunia yang serba baru baginya, tak kenal perhitungan "akal
sehat", tak acuh pada "untung-rugi", mengalir dan mengalir dari satu hal ke hal yang lain
dengan kekaguman yang murni, tulus, dan kegembiraan yang sungguh-sungguh.
Itu yang kurindukan dan kudapatkan dari si Engkong yang namanya dirahasiakannya
dariku ini.
***
Kumasukkan koin 1 dolar, lalu kutekan angka 80 sen. Tiket keluar dan kembalian 2
keping 10 sen-an gemlithik di box kembalian.
Kereta datang. Kami berjajar. Pintu terbuka. Penumpang keluar. Kami masuk. Ada
yang dapat tempat duduk, aku pilih berdiri. Embusan sejuk pendingin udara. Pintu tertutup.
Kereta menderu. Aku merasakan getaran yang sudah kukenali benar. Aku memasuki duniaku
kembali dan mempersiapkan segalanya seperti yang sudah-sudah dan selama ini kukerjakan.
Di kaca MRT membayang wajah si Engkong, mlengeh terkekeh.
Baru aku ingat, aku lupa pesanan Milly.
Bapindo Plaza, lt. 25.

Saya, Anjing…
(gambar 10)

”Saya adalah seekor anjing,” katanya membuka pembicaraan kami. Aku hanya
tercekam. Diam dan ketakutan mendengar penuturannya yang spontan ini.

63
Dia adalah laki-laki yang tinggal di ujung gang. Tak pernah ada yang mau bicara
kepadanya, sebelumnya. Kata tetangga sebelah, laki-laki itu agak gila semenjak istrinya
meninggal. Menurut orang-orang yang sudah tinggal jauh lebih lama daripada kami, lebih
seram lagi. Katanya, dia pernah makan orang. Benar-benar daging orang.
Ceritanya, dia dulu pernah belajar ”ilmu” kepada seorang ajengan di Banten. Entah
karena ”tidak kuat” atau bagaimana, otaknya agak ”keseleo”, jadilah dia orang yang gila itu.
Itu kata mereka yang tinggal lebih dulu daripada aku dan menjadi tetangganya cukup lama.
Memang, kalau dilihat dari rumahnya, kita akan segera menganggap bahwa rumah itu
tanpa penghuni. Halaman rumahnya yang kecil itu ditumbuhi alang-alang sepinggang. Tembok
dekat pintu depan retak, nyaris jebol. Pintunya sudah sangat reot, mungkin seekor tikus pun
sanggup merobohkannya. Warna kapur di temboknya sudah tak bisa dikenali lagi karena
kebanyakan ditumbuhi lumut. Belum lagi genting-genting yang sudah pada melorot tak
beraturan itu. Papan-papan bergelantungan, hitam dan sangat lapuk, menambah kesan bahwa
rumah itu memang tanpa penghuni. Para pencatat listrik dari PLN sudah lama tak muncul,
karena memang listrik di rumah itu sudah lama dicabut.
”Pada malam-malam tertentu, dia melolong kaya’ anjing, Pak” begitu kata Pak Muklis,
orang yang rumahnya kebetulan berdekatan dengan rumah ”hantu” itu.
”Ah, kali’ memang lagi ada anjing kawin...,” kataku dengan nada bercanda.
”Yaaah, Bapak kagak percaya. Biasanya, nih.. malem Kliwon.. dia melolong kaya’
anjing. Kuping saya, kan, belum budek, Pak.. Jelas banget... dari rumah dia...”
Aku diam saja mendengar komentar Pak Muklis, namun terus terang, aku sendiri masih
ragu.
***
Suatu kali sepulang kantor, aku mendapat serbuan laporan dari anak dan istri, serta
pembantuku. Mereka ribut, panik, dan ketakutan. Aku sendiri jadi tak tenang.
”Ada apa, sih?” tanyaku mencoba menenangkan situasi.
”Tadi ada orang gila, Pa..” kata si kecil, yang baru kelas tiga SD.
”Iya, Pa.. orangnya .. tua..” tambah kakaknya.
”Apa salahnya orang gila yang tua. Yang penting kalian diganggu, nggak?” tanyaku
sambil sok tak peduli, meskipun aku sudah langsung tahu bahwa yang mereka maksud adalah
orang gila di ujung gang itu.
”Nggak, sih... cuma, kan, takut aja, Mas...,” istriku yang menjawab.
”Gimana, ceritanya?” tanyaku sambil melepaskan sepatu.

64
”Iya... tadi itu, waktu Adi bangun bobok, Adi lihat dia berdiri di tengah jalan situ...
matanya melototin rumah kita,” si kecil dengan pipinya yang tambun nyerocos seolah-olah dia
diserang macan. Aku menanggapinya sambil ngakak.
”Udah? Cuma melototin, kan? Nggak ngelempar apa-apa, kan?”
”Nggak, sih... cuma kan... nggak enak juga. Ngapain, coba, dia melototin rumah kita?”
sambung kakaknya. Ini si dara yang sudah SMP kelas dua, biasanya paling tak acuh pada
orang, kini tak mau kalah dari adiknya.
”Yaaa, barangkali dia kagum sama rumah kita... kok, bagus, ada bunga-bunganya... ada
sarang tawonnya... ada... anak kecil yang pipinya gemuk...,” candaku yang membuat si kecil
tertawa senang. ”Sudahlah. Nggak apa-apa, kok... kebetulan aja dia melototin rumah kita,
mungkin aja dia lagi mikir soal lain lagi.”
***
Malamnya, aku terbangun karena mendengar ada orang merintih-rintih. Kami,
maksudku, aku dan istriku, terbangun sekitar pukul 2 malam. Sengaja aku tidak
membangunkan anak-anak, kasihan kalau mereka harus diserang rasa takut lagi, besok adalah
hari sekolah.
Dengan mengendap-endap aku mencoba mencari tahu suara siapa yang
merintih-rintih begitu dekat itu. Ternyata, di dekat jendela samping, kulihat seorang laki-laki
menggeletak. Suasana memang remang-remang, karena si Nah agaknya lupa menyalakan
lampu samping. Segera kunyalakan dan kulihat seorang laki-laki yang sekilas terkejut, namun
kembali mengerang-ngerang. Kali ini malah minta ampun berkali-kali.
Karena gaduh, bukan hanya seisi rumah yang bangun, tapi tetangga dan Pak Hansip
pun masuk ke halaman rumah kami. Dia--laki-laki yang meraung-raung itu-- sebenarnya
bermaksud mencuri. Itu pengakuannya di pos hansip. Namun, katanya lagi, entah kenapa, tiba-
tiba dia diserang anjing kami. Dia merasa digigit sampai parah, namun kami yang melihat
sendiri kondisi tubuhnya, tak menyaksikan luka sekecil jarum pun di tubuhnya.
***
”Anjing?” tanya istriku, sama kagetnya dengan reaksiku di pos hansip.
”Iya.. masak dia bohong... itu kan spontan....”
”Tapi, kita kan tidak memelihara anjing....”
***
Beberapa hari kemudian, kebetulan aku cuti. Aku masih penasaran soal anjing yang
menyerang pencuri beberapa malam yang lalu itu. Dan, otakku langsung menghubungkannya
dengan laki-laki tua yang gila di ujung gang. Entah mengapa, aku merasa yakin sekali bahwa

65
dialah yang menyelamatkan rumah kami dari pencuri itu, dan karenanya, kau merasa wajib
mengucapkan terima kasih kepadanya.
Tak sulit menemukan rumahnya. Agak tegang juga sewaktu kakiku melangkah
memasuki halaman berilalang itu.
”Ada apa, Pak?” suara tetangga yang setengah berbisik, curiga menyaksikan aku
memasuki rumah ”hantu” itu.
”Nggak... ada perlu sedikit sama yang punya rumah,” jawabku kalem.
Pintu yang kusangka akan roboh bila diseruduk tikus itu, ternyata jauh lebih kokoh
daripada dugaanku. Entah mengapa, ini melegakan perasaanku. Engsel pintu berkarat,
mengeluarkan teriakan menusuk kuping.
”Silakan masuk....,” sebuah suara parau dari dalam menyambutku penuh nada
keramahan. Ah.. dia seperti aku juga, artinya tak perlu ada yang ditakutkan.
”Maaf, saya kira tak ada orang...,” ucapku membuka pembicaraan.
Dia diam saja. Lantai rumahnya lembab, bahkan di sana-sini ada kubangan-kubangan
air bocoran dari atap, dibiarkan menggenang begitu saja.
Setelah melangkah memasuki rumah, barulah kutemui seorang laki-laki duduk di
sebuah kursi jebol sambil melipat kaki, mirip orang kedinginan.
”Maaf... Anda tak bisa duduk. Hanya ada satu kursi di rumah ini... dan... saya tak kuat
lama-lama berdiri...,” katanya mencoba ramah.
Aku hanya tersenyum.
”Saya kemari mau berterima kasih pada Bapak. Malam itu Bapak menggagalkan
pencurian di rumah saya.”
Dia terdiam sejenak, lalu tertawa tergelak-gelak. Begitu serunya dia tertawa, sampai-
sampai kerongkongannya kering dan dia terbatuk-batuk.
”Tak salah... tak salah dugaan saya... Bapak bisa langsung menebak siapa yang ada di
sana malam itu... hahaha....”
Aku masih tercengang dibekap kebingungan, ketika tiba-tiba dia mencengkeram kedua
lenganku. Kekuatannya sungguh luar biasa. Aku bahkan tak bisa menggerakkan ujung jariku.
Seluruh syarafku, rasanya terkena tenaga gaib sehingga tak mampu melakukan gerakan apa-
apa. Hanya jantungku yang kurasakan makin memberontak.
”Tolong aku... tolonglah aku...hanya kau yang bisa menolongku...,” ucapnya seraya
menangis.
”T... tt... tapi... le...lepaskan dulu....”

66
Dia seperti tersadar dan segera meloloskanku dari cengkeramannya yang kuat. Lalu, dia
duduk di sudut rumah yang basah, menutupi kepalanya dan menangis tersedu-sedu. ”Saya,
adalah... anjing...,” ucapnya di sela-sela tangisnya.
Itulah awal pertemuanku dengan laki-laki itu.
***
Atas permintaannya pula aku tak bercerita kepada siapa-siapa. Namun, permintaannya
yang satu lagi membuatku ketakutan. Dia meminta pertolongan kepadaku agar aku mau
membunuhnya!
Bagaimana mungkin aku membunuh manusia? Ini permintaan gila, dan membuatku
gila. Dia menangis menceritakan bahwa hanya akulah yang bisa melakukan hal itu. Dia sudah
bosan hidup terkutuk menjadi seekor anjing.
”Kau tidak ’membunuh’... kau justru melepaskanku dari jeruji kutukan ini... Seratus
tahun, aku berkelana mencari orang yang bisa melakukannya.. tapi baru sekarang, baru kaulah
yang kutemukan...,” ujarnya pada beberapa malam kemudian, kepadaku. Dia menjadi begitu
bergairah, seolah memiliki semangat hidup yang menyala-nayala ketika menemuiku.
”Lakukanlah... lakukanlah demi rasa kemanusiaanmu... siapa yang mau menjadi seekor
anjing? Tidakkah kau merasa kasihan pada seseorang yang beratus tahun terjeruji di dalam
kutukan? Aku ingin menikmati kematianku sebagai manusia, bukan sebagai binatang... aku
ingin hidupku bersih dan tidak menjadi makhluk hina yang selalu harus patuh kepada ’tuannya’
ini. Makhluk yang harus bisa ’menjilat’... ’cari muka’. Oh... aku tak mau lagi hidup seperti
itu... dan harapanku... harapanku hanyalah kau. Hanya kau yang bisa melakukannya..” pintanya
dengan air mata berlinangan. Wajahnya mengingatkanku pada wajah kakek almarhum. Begitu
polos, bersih dan tulus.
Dengan masih menyimpan rasa takut, aku mencoba bertanya, mengapa dia begitu yakin
bahwa aku adalah orang yang ’tepat’. Dia menceritakan sebuah kisah panjang. Bahwa pada
suatu masa, di tanah Jawa, ada seorang bernama Lampit. Dia dikenal pendiam. Tak banyak
bicara dan sangat setia kepada majikannya. Dia bekerja pada seorang raja yang sangat
bijaksana.
Pada suatu hari, sang Raja mendapat serangan dari musuhnya, namun karena
kesaktiannya, musuh tak bisa mengalahkannya. Musuh mempunyai muslihat dengan
mempergunakan Lampit–yang tak begitu diperhatikan tuannya–untuk mencari rahasia
kelemahan lawannya.
Lampit tergiur oleh hadiah dan berkhianat. Raja itu terbunuh dan sebelum
mengembuskan nafasnya yang terakhir, dia mengutuk Lampit menjadi seekor anjing.

67
”Lampit adalah nenek moyangku... dan kutukan itu baru berakhir setelah aku bisa
menjumpai seseorang yang sangat membenci penjilat... dan... beruntunglah aku
menemukanmu.”
Aku semakin tertegun mendengar penuturannya. Mulutku terkunci dan pikiranku
blingsatan kemana-mana.
”Jangan mengada-ada, Pak...,” kataku mencoba mengelak.
”Kalau memang aku mengada-ada, lalu mengapa kau langsung ke rumahku pagi hari
itu?” dia menikamku dengan pertanyaan yang tajam. Kembali aku terdiam.
”Aku tidak mengada-ada.. sulit dipercaya, memang, tapi aku tidak mengada-ada....”
”Tapi bagaimana saya bisa membunuh seseorang?” ulangku seperti bicara pada diri
sendiri.
”Ingat kau tidak membunuh ’manusia’... kau hanyalah melenyapkan sebagian dari sifat
buruk yang merupakan kutukan turun-temurun, dan hanyalah kebetulan bahwa sifat buruk itu
’berwujud’, bisa dilihat dan diraba.. hidup seperti halnya pohon, bunga, dan setiap makhluk
hidup di dunia ini.. Kau bisa melakukannya, kalau kau mau menolongku, cukup dengan sebilah
golok biasa... ini...,” katanya seraya melolos sebilah golok, yang entah sejak tadi
disembunyikan di mana.
Sebelum otakku mampu memerintahkan sesuatu, golok itu sudah beralih ke
genggamanku. Dan detik berikutnya...
***
Tetangga datang menghambur ke rumah itu. Katanya dia mendengar seseorang
berteriak kuat sekali dan kesakitan. Ada yang kebetulan menyaksikan kehadiranku, rupanya,
dan segera menyangka akulah yang mendapat celaka. Mereka bersyukur bahwa aku berhasil
membunuh orang gila itu.
”Bapak, sih... pakai berani-beranian dateng.... Kan, sudah saya bilangin kalau dia gila.
Untung Bapak bisa ngalahin dia, nah kalau kagak... pegimana?” ucap Pak Muklis sambil
memapahku keluar rumah.
***
Entah bagaimana orang-orang bersaksi kepada polisi, yang jelas polisi hanya
memastikan bahwa aku benar-benar selamat. Tak ada tuduhan pembunuhan atau sejenisnya.
Aku hanya diam.
Semakin hari, pikiranku semakin kalut memikirkan semua yang terjadi begitu dahsyat
itu. Istriku cemas, anak-anakku sedih, karena aku jatuh sakit.

68
Aku masih ingat kalimat terakhirnya,” Sebenarnya, kau kupilih, selain karena kau
memang memiliki kekuatan ’bukan penjilat’... sebenarnya... di dalam tubuhmu ada arus yang
sama, yang ’mengalir’ turun temurun dan terhenti pada dirimu... kaulah orang ’terakhir’
itu....”
Aku meraung di bawah tekanan hawa panas dan sakit kepala yang berat ini.
Sayup-sayup kudengar istriku bicara pada pembantu agar mengusir anjing yang
melolong-lolong di depan pintu. Sayup-sayup juga kudengar si Nah menjawab, bahwa tak
seekor anjing pun dilihatnya di sana!

Kuda Kayu Bersayap


(gambar 11)

Komidi putar itu masih saja berputar. Kuda-kuda kayu yang naik turun dengan anak-
anak riang di punggungnya itu, sungguh-sungguh menciptakan warna-warni kegembiraan
kanak-kanak. Kusaksikan anakku berada di antara mereka dengan sebaris giginya yang putih
bersih, menebarkan kegembiraan hatinya. Seolah dia ingin membagi suka dan melupakan duka.
Mereka seakan berada di punggung kuda dongeng yang akan membawa mereka terbang ke
awan-awan kebebasan tanpa batas.

Lampunya yang gemerlapan, silih berganti menerangi wajahku. Merah, kuning, hijau,
biru, bergantian mengoleskan nuansanya ke wajahku. Sesekali aku membalas lambaian tangan
anakku, yang tak henti-hentinya tertawa riang. Gelak tawanya timbul tenggelam di antara
alunan musik yang mengiringi komidi putar itu. Sekali dia melintas, kemudian menjauh,
menghilang ke sisi sebelah sana, lalu muncul lagi, melintasiku, dan menghilang lagi. Begitu
berulang-ulang.

Kepalaku terasa pening. Sesekali kupijit keningku.


”Masih pusing, ya?” bisik Nina, istriku. Ada nada khawatir di suaranya.
”Sedikit,” jawabku singkat.

Nina diam, tapi aku tahu dia pasti merasakan sesuatu yang–entah mengapa–masih saja
muncul dalam pikiranku. Tangannya yang masih selembut dulu, tiba-tiba meremas jemari

69
tanganku. ”Dingin sekali. Masuk angin, ya? Kenapa tadi pergi, kalau tahu badanmu nggak
enak?”

”Nggak apa-apa, kok….”

”Kalau tahu begini, kan , bisa aku yang ngajak Rani. Mas, kan , bisa istirahat di
rumah.”
”Sudahlah, nggak apa-apa, kok.”“

Nina cuma menghela napas. Kupandangi wajahnya. Dan, matanya yang bulat jernih itu
menatapku khawatir. Ingin aku menciumnya saat itu juga untuk menghapus kekhawatirannya.
Namun, kurasa sebuah ciuman tak akan menghapus rasa was-was yang telah menahun di
pelupuk matanya.

Sambil memandangi bidadariku yang timbul tenggelam di antara keriangannya di


punggung kuda kayu itu, kupeluk Nina. Kudekap erat dia. Entah mengapa, aku diserang rasa
khawatir yang aneh.

Kekhawatiran yang sama seperti yang kurasakan ketika malam itu kami harus menyisir
kawasan hutan di timur kota. Di sana yang kami temui hanyalah kegelapan penuh teka-teki.
Hitam menganga yang bisa menciptakan apa saja. Kepekatan yang bisa saja mengubah
kesunyian menjadi pesta ledakan mesiu. Di sini pula, dua hari yang lalu, Trisno tewas. Anak
Kediri itu, baru sebulan ditugaskan di sini dan harus ikut patroli rutin. Dia dihajar peluru tanpa
pernah sempat mengucapkan sepotong kata pun.

Meskipun dalam kondisi yang harus selalu siaga dan nyaris tak punya kesempatan
ngobrol, aku dan Trisno sempat akrab. Dia ternyata tak tahan melihat darah. Aku ngakak dan
mengatakan bahwa dia telah salah memilih karier sebagai tentara.
”Ya, mbuh, Mas.. saya tidak pernah bercita-cita, apalagi memilih karier di sini,” jawabnya
kalem, sekalem penampilannya.

Di kesempatan lain, ketika kami patroli, dia juga bercerita bahwa pacarnya sudah
dipinang dan bulan berikutnya, katanya, dia akan menikah. Tapi, karena mendadak ditugaskan,
semuanya batal. Tahun lalu, di baraknya, pada tengah malam buta dia dibangunkan dan

70
berkemas dalam tempo lima menit, langsung duduk di truk yang telah siaga. Tanpa diberi tahu
harus ke mana, Trisno memanggul senjata dan ransel berisi perbekalan seadanya. Yang dia
rasakan, tiba-tiba dia dipindahkan ke sebuah pesawat yang segera terbang. Hanya kebisuan dan
tanda tanya besar yang mengiringi keberangkatan mereka—seperti yang biasa kualami juga.

Setelah pindah entah berapa kali kendaraan, tahu-tahu dia diturunkan di suatu tempat
yang asing baginya. Begitu fajar merekah, tuturnya, dia berada di kolong sebuah jembatan
besar dan megah. Baru belakangan dia tahu bahwa saat itu dia berada di kolong Semanggi-
Jakarta.

Jakarta, sebuah kota yang selama ini hanya ada di layar kaca televisi (jika dia sempat
menonton), saat itu tengah menelannya bulat-bulat. Karena kelelahan, dia tertidur di kolong
beralaskan koran dan tripleks seadanya. Dia terbangun karena komandan memberinya aba-aba.
Dengan ”nyawa” yang belum sepenuhnya berkumpul, Trisno sudah harus siaga menghadapi
lautan massa mahasiswa yang berteriak-teriak riuh. Sebuah batu yang menghantam wajahnya,
membuatnya ”sadar” apa yang tengah dihadapinya saat itu.

Cerita selanjutnya adalah cerita kami semua. Siapa yang tak mengerti kelanjutan cerita
itu. Saat itulah dia sempat menyaksikan seraut wajah yang dia ingat betul. Wajah seorang
kawan sebangku di SD dulu dan belum lama menghilang dari kotanya, kabarnya menjadi kuli
bangunan. Ada juga cerita si kawan menjadi sopir, entahlah, tapi yang jelas Trisno tahu persis
bahwa dia tak pernah menjadi mahasiswa. Akan tetapi, di sore itu, wajah itu berjaket biru dan
berteriak paling lantang di antara para mahasiswa, dan dengan kegagahannya segera
melemparkan bom molotov ke arah barisan Trisno.

Mata mereka sempat beradu pandang dan kedua-duanya tertegun untuk beberapa saat.
Lalu semuanya pecah, tumpah ruah, dan si kawan menghilang entah ke mana. Korban
berjatuhan dan Trisno hanya termangu menyaksikan apa yang baru saja terjadi begitu cepat di
depan matanya. Ketika malam tiba, barulah dia merasakan perutnya melilit kosong karena 24
jam belum terisi apa-apa.

Begitulah kisah Trisno yang malang itu. Malam nahas yang merenggut nyawanya itu,
sebetulnya sudah kami duga. Kami sudah mencium di beberapa titik tertentu di batas desa ini,

71
bisa muncul serangan mendadak. Namun, sekali lagi, itu adalah malam nahas dan Trisno
tewas, bahkan sebelum sempat mengenyam madu pernikahannya.

Pada hari berikutnya, aku dalam rombongan penyisiran. Kami sempat bentrok dan
nyaris terbantai karena posisi kami terjepit. Rombongan orang bersenjata itu segera
memberondong rekan-rekanku, sambil berteriak histeris. Salah seorang yang meringkusku
sempat melukaiku dengan senjata tajam dan mengejek bahwa mereka tak akan terkalahkan
hanya oleh serdadu semacam aku. Namun, sebelum semuanya terjadi, pasukan bantuan datang
dan membuat mereka kalang kabut.

Kepada komandan di markas kulaporkan bahwa aku sempat mengenali wajah-wajah


orang-orang itu dan kami putuskan untuk mengadakan serangan mendadak siang itu juga.
Sangat mudah menemukan di mana mereka tinggal, dan aku menjumpai seraut wajah yang
menorehkan ujung senjatanya ke wajahku. Namun, tak satu pun senjata kami temukan di
rumah mereka. Dengan keluguan dan ketakutan mereka, mereka menyebut diri mereka petani
yang tak tahu apa-apa.

Kepalaku mendadak pening dipenuhi oleh rasa marah dan frustrasi. Kucengkeram dia
dan kuhempaskan di tanah. Kutunjukkan luka wajahku yang belum lagi kering oleh ujung
senjatanya. Dia terkesiap sesaat namun dengan segera mengubah wajahnya menjadi petani lugu
yang pasrah pada nasib.

Entah renteten peristiwa apa lagi yang kulalui bersama kawan-kawan, aku tak tahu.
Bagiku sudah tak ada lagi bedanya mana petani mana pemberontak. Sama saja. Mereka akan
membantai manakala kita tak membantainya. Membunuh dan dibunuh hanyalah sebuah kartu
remi yang bisa kita mainkan setiap malam. Aku sudah tak begitu percaya lagi pada apa yang
disebut kebenaran, karena dalam setiap hirupan napasku yang ada hanyalah kebohongan demi
kebohongan. Entah pada malam yang keberapa aku sudah tak tahu lagi, kumuntahkan timah-
timah panas pada gerombolan manusia itu secara membabi buta. Pertempuran itu merupakan
insiden yang tak terelakkan, setelah markas polisi di kecamatan digranat dan beberapa orang
yang berjaga tercacah sia-sia.

Aku juga akhirnya menerima nasib bahwa semua pengabdianku adalah sebuah kesia-
siaan ketika dipecat tanpa rasa hormat. Kujalani hidupku sebagaimana orang yang pernah

72
menjalani rawat inap cukup lama di sebuah rumah sakit aneh. Kujalani semuanya dengan
perasaan kosong dan nyaris tanpa gairah hidup, sampai beberapa hari yang lalu aku
menyaksikan berita televisi.

Berita itu menyoroti kebrutalan peristiwa ketika aku terlibat di dalamnya dan yang
menjadi korban adalah rakyat kecil. Salah satu saksi mata yang dengan berhujan tangis berkata
di layar adalah orang yang kuhempaskan ke tanah; orang yang menyerangku dengan
senjatanya. Rupanya dia sudah menjadi aktor sinetron yang layak mendapat Oscar!

Sejak itu, aku diserang demam dan mual-mual. Nina sempat membawaku ke dokter,
tetapi dokter hanya menyarankan agar aku banyak-banyak istirahat. Dalam hati aku katakan
kepada dokter itu bahwa penyakit yang kuderita ini bukanlah bidangnya. Dia terlalu bodoh
untuk bisa mengetahui gejala penyakitku. Aku masih bersyukur bahwa aku memiliki Nina dan
malaikat kecilku yang saat ini masih asyik tertawa riang di punggung kuda komidi putar itu.

Dalam perjalanan pulang, Rani, malaikat kecilku itu tertidur. Dalam pelukanku dia
nyaman, entah bermimpi apa dia kali ini. Nina dengan kekhawatirannya yang belum reda,
memeluk pinggangku. Kami berjalan perlahan menuju jalan besar dan mencari kendaraan
pulang. Orang masih lalu-lalang dan keramaian masih akan terus berlangsung sampai dua atau
tiga jam lagi. Di keriuhan itu, kami berjalan membisu. Aku enggan berbicara dan rupanya Nina
tahu dan takut mengajakku bicara.
Aku tengah mempersiapkan sebuah jawaban, bila nanti aku mendapat pertanyaan dari
malaikat kecilku yang saat ini belum sekolah ini. Jawaban apa yang harus kusiapkan, apabila
dia suatu kali nanti bertanya tentang ”kebenaran” peristiwa yang membawaku ke jalan ini? Dia
yang sudah mulai ceriwis bertanya tentang mengapa kumbang hinggap di kembang, mengapa
bintang berkelap-kelip, mengapa Ayah berkumis, mengapa ada orang mati, mengapa ini dan
mengapa-mengapa yang lainnya, pasti akan bertanya mengapa Ayah membunuh orang. Aku
tak tahu pasti jawaban apa yang harus kuberikan. Aku juga tak tahu apakah dia memiliki
bayangan tentang apa itu pahlawan dan apa itu pengkhianat.

Pentingkah bagi dia, itu semua?

Kami berjalan dan berjalan sampai menemukan bajaj yang akan membawa kami
pulang. Ketika istriku masuk dan siap menerima si kecil dari tanganku, tiba-tiba sesuatu terjadi.

73
Entah dari mana, empat lelaki bertubuh tegap langsung menyeretku, setelah sesaat sebelumnya
menanyai namaku.

Ketika kujawab memang akulah orang yang ditanyakan itu, sebuah pukulan menekuk
tubuhku. Lalu tendangan dan entah apalagi menghajarku sampai aku tak bisa merasakan apa-
apa lagi, selain suasana tenang menghanyutkan.

Kurasakan diriku mengambang di udara dingin malam itu. Kusaksikan kuda-kuda kayu
putih yang berada di komidi putar itu kini bergerak hidup, bahkan bersayap seperti Pegasus.
Anak dan istriku duduk riang di punggungnya dan kuda itu melayang dengan kepakan
sayapnya yang anggun, menembus mega-mega. Mereka tertawa, tetapi telingaku lamat-lamat
menangkap isak tangis Nina dan entah suara apalagi.

Tiba-tiba aku menyadari diriku juga sedang berada di punggung kuda kayu yang lain,
yang juga tengah membentangkan sayapnya menuju awan kebebasan, entah di mana
tempatnya.
Bukit Nusa Indah, 2000

Si Rambut Panjang Itu


(gambar 12)

Kafe masih agak sunyi. Memang masih jam delapan pagi. Kupesan croissant dan
secangkir kopi. Dolar masih 15 ribu, mau apa lagi? Beberapa orang datang dan beberapa lagi
pergi. Ada yang menjinjing tas, ada yang melenggang dengan segulung koran pagi. Jakarta
masih seperti beberapa bulan yang lalu. CNN masih saja membahas krisis yang tak habis-
habisnya melabrak ASIA. Jepang tegang, suhu mereka menghangat. Kemarin kusaksikan
UMNO pun mulai mencoba merentangkan tangan, seakan merasakan pegal-pegal di
persendiannya. Kembali ke koran pagi, masih saja banyak mulut berkomentar tentang ini dan
itu, seakan adu gelembung busa yang tak habis-habisnya. Luar biasa memang, di mana-mana
orang demam bicara. Semua menjadi mahasiswa ilmu ekonomi, sosial dan politik. Setiap sudut
Jakarta, rasanya berubah menjadi ruang-ruang kuliah dan perdebatan sengit. Namun anehnya,
aku merasa sunyi sendiri. Entah mengapa aku tak pernah tertarik untuk yang satu ini.

74
Sambil memandangi novel Romo Mangun, yang kebetulan beberapa minggu lalu
dipinjam seorang kawan, aku merasakan kesunyian yang menyakitkan. Dan, terus terang, aku
pun tak bisa berbuat apa-apa. Berpikir pun rasanya aku sudah tak mampu lagi. Keadaan adalah
ciptaan semua orang, semua menyalahkan keadaan, dan semua orang tak mau dipersalahkan.
Aku yakin, banyak sekali kambing hitam yang akan dijadikan korban. Akan banyak lagi dan
dengan mudahnya menempelkan tuduhan. Kuhirup kopi hangatku dan mulai kupotong
croissant.
Kunyalakan rokok. Kubiarkan asapnya mengepul, melenggok lesu di pagi berkabut.
Kemarin hujan deras. Jalanan basah masih tersisa. Bahkan, di dedaunan, masih menempel sisa
hujan. Kucium kesegarannya dari balik jendela kaca.
Kafe ini sebenarnya cukup nyaman. Letaknya di sudut jalan yang tak terlalu ramai.
Seratus meter dari tempatku duduk ada lapangan dan pohon akasia dengan bunganya yang
kuning menabur apabila berbunga. Ada halte bis dan orang-orang yang menunggu bis datang,
di sana. Di sebelah kiri, ada lapangan parkir yang masih kosong saat ini. Aspal hitamnya
kelihatan bersih, dengan danau-danau kecil sisa hujan yang mengubang di sana-sini. Ada kursi
taman satu–dua, di bawah pohon.
Di dalam sini, suasananya cukup enak. Sebagian besar merupakan ruangan terbuka,
sehingga tak perlu pendingin udara.
Percakapan kecil terdengar di sana-sini, dengan pembicaraan hanya sekitar dua hal:
ekonomi dan piala dunia. Lelaki muda–seusiaku, kukira–dengan rambut pendeknya dengan
semangat seolah menjadi Davos Suker dari Tim Kroasia. Temannya yang agaknya pemuja
Brazil, tetap yakin bahwa Ronaldo dan kawan-kawannya akan menjadi juara. Nama-nama
bintang lapangan hijau itu meluncur bagai mitraliur pertempuran di Palestina, dari mulut
kelompok yang asyik di sudut kiri ruangan ini.
Kudengar mesin kasir berdenting dan suara gericik uang kembalian. Aku menoleh,
kulihat seorang wanita berumur tiga puluh tahun–kukira–cantik semampai, berbaju merah
redup, dengan rambut dikepang rapi dan dililitkan di kepalanya membentuk hiasan indah.
Kurasa itulah daya tariknya. Bukan cuma wajah dan tubuhnya yang menawan, tetapi rambut
yang diperlakukannya sedemikian rupa itu, yang membuatnya istimewa. Dan ternyata bukan
cuma aku yang tersedot daya magnet tata rambutnya, para pelayan kafe ini pun berbisik dan
berdecak kagum. Sempat kulihat seorang petugas cleaning service yang kebetulan
membersihkan kaca jendela, seakan terhipnotis; tangannya yang memegang lap basah,
berulang kali menggosok tembok.

75
Kuperkirakan pastilah rambut itu mencapai lutut dan lebat, hitam, lurus bagai serat
sutra. Jika saja dia menjadi bintang iklan sampo, pastilah samponya laris manis tanjung
kimpul; dagangan habis duitnya kumpul. Akan tetapi, memang, perempuan yang satu ini
menyimpan kekuatan luar biasa. Ketika dia melangkah dari kasir, ada sebersit senyum dikulum
yang ditujukan pada semuanya. Semua bisa menikmati sekaligus tak akan pernah bisa
memiliki. Bahkan bangku-bangku kosong di sana-sini itu, aku yakin sekali, mereka bertaruh
siapa di antara mereka yang akan memangku si molek ini. Pasti ada salah satu di antara mereka
yang berbunga-bunga, tetapi yang jelas banyak yang kecewa. Beberapa lelaki berdasi yang tadi
asyik sendiri dengan handphone-nya, bereaksi tak kalah konyolnya dengan petugas cleaning
service itu.
Gerakan langkahnya anggun teratur. Lalu duduk di kursi tak jauh dariku. Dia tiba-tiba
menoleh ke arahku dan itu membuatku merasa konyol dan bodoh sekali. Aku tertangkap basah
tengah mengaguminya diam-diam. Dia tersenyum dan aku mengalihkan pandangan ke
penumpang di halte yang tengah berebutan bis datang.
”Pagi…,” sapanya dan itu segera memuntir leherku kembali memandangnya. Cangkir
kopiku tersenggol tangan goblok yang tiba-tiba lepas kontrol ini. Nyaris tumpah dan nyaris
membuatku basah kuyup oleh keringat dingin.
”P...p... pagi,” jawabku membeo.
Belum lagi aku sadar bahwa nyawaku masih melekat di badan, dia berdiri dan pindah
ke mejaku. Aku dengan ketololanku hanya diam.
”Nggak enak, duduk sendirian. Saya suka ngobrol, sih…. Eh, maaf, boleh, kan?”
ucapnya ramah semringah, ceria menyala-nyala mencairkan kebekuanku sejak tadi.
”Oh,he-em… mm… boleh… boleh, silakan...”
”Nah… begini, kan enak. Saya Luna, panggil saja, Lulu…,” katanya sambil
menjulurkan tangannya yang ramping indah bersih.
”Oh, mm... saya Roy, Roy Avisena.” Terasa konyol sekali ucapanku. Entahlah, aku
belum pernah mengutuki diri sendiri seperti ini.
”Wah, Mas Roy, Anda stockbroker? “
”Apa saya punya tampang begitu?”
”Lantas apa, dong?”
”Pengacara.”
”Pengacara? Cool.”
“Pengangguran banyak acara,” ucapku sambil meledakkan tawa. Dia diam sesaat lalu
berusaha mengimbangi tawaku dengan senyum yang penuh pemahaman. Aku terlambat

76
menyadari bahwa aku tertawa terlalu keras dan over acting. Aku merasa diriku jadi anak SMA
lagi. Goblok, tolol, dan konyol. Bagaimana mungkin aku bisa mengucapkan joke tolol
semacam itu? Aku langsung terdiam dan merasa malu. Tidak seharusnya aku memperolok
diriku seperti itu. Siapakah dia? Orang yang baru kukenal lima menit di sini, di sebuah kafe.
Pengangguran model apakah yang masih bisa minum-minum di kafe.
“Kenapa?” dia seakan membaca pikiranku. ”Saya juga, kok. Itu kalau Anda tadi jujur,
lho. Kecuali Anda hanya mencoba memecahkan kekakuan saja, lain soalnya. Sekarang siapa
sih yang tidak takut terancam?” katanya dengan sungguh-sungguh.
”Mbak Lulu kerja di salah satu kantor di gedung ini?”
”Maksud Mas Roy, pernah bekerja di salah satu kantor di gedung ini?” ia tersenyum
dan menatapku.
”Oh, maaf.” Terus terang aku bagai tersengat listrik.
”Ya.. tapi, kantor saya tutup. Habis, kami bergerak di bidang hardware, semuanya
impor. Tahu sendirilah cerita berikutnya. Pimpinan nggak mau ambil resiko, kami di-phk dan
kantor tutup. Selesai.”
”Tapi, kan banyak pesangon….”
”Untuk orang lama, ya. Untuk yang baru tiga bulan kerja?” handphone-nya berdenyit,
entah mengapa dia bergerak refleks, tanpa sengaja menyentuh koran yang–entah mengapa–
kugunakan menutupi beberapa novel yang baru dikembalikan seorang kawan.
”Burung-burung Manyar?!” tanpa kuduga dia seperti tak percaya bahwa aku membawa
novel itu. Sesaat dia lupa bahwa di seberang sana seseorang sedang menghubunginya melalui
pesawat mungil itu. Dia sadar dan menjelaskan apa yang baru saja terjadi, dan karena si lawan
bicara agaknya tak mengerti soal novel tersebut (tentu saja!) Lulu hanya melakukan
pembicaraan singkat. Kebanyakan dia menjawab dengan ”Hmm…hmm...” dan ”All right”.
Pesawat mungilnya segera ditutup dan dia memandangku dengan pandangan tak percaya.
”Mas suka novel juga?”
”Terutama yang ini.” Jawabanku pun masih diliputi pertanyaan, bagaimana mungkin
dia bisa begitu terkagum-kagum dengan sebuah novel.
”Ah…, kadang aku ingin bisa menjadi Atik. Punya dua cinta dalam satu masa. Cinta
yang dibawa sejak masa kanak-kanak, dan cinta seorang suami yang sangat penuh
pengertian....,” dia seperti bicara pada buku hariannya.
”Saya suka karena... novel ini punya point of view paling berani soal Indonesia, jauh
sebelum orang berteriak tentang reformasi,” ucapku sok tahu politik.

77
Kuperhatikan si Lulu terhanyut oleh khayalannya sendiri dan itu membuatnya semakin
ayu di mataku. Aku tak bisa berkata apa-apa. Kami lalu lama terdiam. Menghirup kopi masing-
masing, memakan sarapan kami masing-masing, dan larut dalam pikiran masing-masing. Dia
menerima handphone. Ngobrol sedikit dan kemudian permisi mau pergi. Aku berdiri dan
berjalan di sampingnya sampai ke pinggir jalan. Dia melambai, taksi menepi. Pintu ditutup, dia
pergi tanpa sempat mengucapkan kapan ketemu lagi.
***
Esoknya, aku sengaja duduk di kafe itu lagi. Dengan konyol aku berharap bisa ketemu
Lulu lagi. Kusaksikan masih saja kafe ini seperti kemarin dan mungkin berbulan-bulan yang
lalu. Kubaca koran pagi, masih saja berisi berita yang sama. Kerusuhan masih di mana-mana.
Urusan orang hilang, penggantian bupati, UMR, PHK, dan banyak lagi akronim yang dengan
cepatnya dihafal semua orang. Dalam kesendirianku, aku merasakan betapa pedihnya
kerinduan Saijah kepada Adinda, sehingga dia pun sanggup membayangkan seretan kain
panjang yang dikenakan kekasihnya. Ah, konyol, memang, tetapi itulah yang kumiliki saat itu.
Satu-satunya hal yang membangkitkan kembali perasaanku yang berbulan-bulan ini datar-datar
saja. Selama ini aku adalah Dany dalam novelnya Steinback; bangun siang dengan kepala berat
diganduli alkohol.
”Percaya, nggak, bahwa sekarang inilah pementasan teater absurdnya Ionesco,” tiba-
tiba suara yang kuharapkan itu muncul. Aku kaget bukan karena kehadirannya yang tiba-tiba
muncul dari harapan konyolku, tetapi lebih karena dia menyebut-nyebut teater absurd.
Rasanya, semasa kuliah pun aku jarang menemukan seorang cantik jelita yang bicara soal
teater absurd. Jangankan Ionesco, nama Suyatna Anirun pun tak banyak orang Jakarta yang
tahu, karena begitu sedikitnya orang yang ambil peduli dengan dunia teater, apalagi buku
kesusastraan. Akan tetapi ini, di sini, dan orang cantik ini yang ... entah siapa dia sebenarnya,
tiba-tiba mengucapkan Ionesco dengan sangat entengnya dan langsung menjadikan
kekosonganku sebagai pentas. Begitu saja dan begitu tiba-tiba. Dan tanpa kuminta pun dia
menguak pintu air pengalamannya. Kemudian mengalirlah berbagai cerita. Gemericik
keinginan-keinginannya yang bening hingga gemuruh jeram mimpinya yang menggebu. Dia
pernah kuliah bahasa, kemudian mengambil filsafat, lalu kawin, kemudian jadi ibu rumah
tangga, lantas merasakan pahitnya dimadu, terus cerai, cari kerja, di-PHK dan…
”Bagaimana bisa lari ke urusan alat-alat berat?” potongku.
”Siapa yang bisa meramal jalan hidup seseorang?” kilahnya dengan tangkas.
”Yah. Ngomong-ngomong.. sekarang kegiatannya apa?”

78
Dia diam sesaat. Kuperhatikan seraut wajahnya yang cantik itu dalam-dalam.
Rambutnya yang tebal dililitkan menghias kepalanya, membiarkan leher jenjangnya telanjang,
halus, kuning dengan anak-anak rambut melingkar indah sedikit di batas rambut yang terjalin.
”Sedikit soal itu, kadang soal ini... begitulah. Kita sekarang bisa hidup dengan ini dan
itu” katanya mencoba menutupi sesuatu dengan senyumnya yang indah. Sebaris giginya yang
putih terawat itu menghentikan niatku untuk bertanya dengan pertanyaan yang mungkin kurang
enak buat dia. Handphone-nya bunyi lagi. Dia membukanya sambil menggumam, ”Beginilah
kalau kebanyakan pacar..., ya?” dan aku pun mengiringi candanya itu sambil tersenyum saja.
Dia bicara sebentar-sebentar. Aku mengagumi rambutnya. Kubayangkan jika rambut itu
diurai... oh, indah sekali. Mungkin dia adalah si prenjak Larasati. Kehadirannya pun sudah
mewartakan kebaikan. Sementara itu, siapakah aku ini? Suaminya ataukah Teto? Mungkin
bukan kedua-duanya.
”Berapa lama memanjangkan rambut?” tanyaku setelah dia selesai dengan handphone-
nya.
”Cukup lama, tapi... tidak terlalu lama...,” ucapnya renyah dan menyebarkan gelak ceria
ketawanya. Aku percaya, rambutnya memang subur sekali.
”Kamu suka?” tanyaku.
”Kamu?” baliknya tangkas.
Aku diam sesaat, kami berpandangan, ”Kagum.” kataku singkat.
Mesin kasir mengisi kekosongan yang mengambang tenang. Di TV ada berita tentang
unjuk rasa di Tangerang. Dia mirip Andy MacDowel, makin dipandang, makin cantik.
”Kalau tiba-tiba rambut ini kupotong, gimana?” entah mengapa dia berkata begitu.
”Kenapa?”
”Kenapa tidak?”
”Kenapa dipotong, kalau pilihannya cuma... ’kenapa tidak’?”
Dia tertawa lagi, lalu menghirup kopinya. Kemudian dia permisi menemui ”pacarnya”,
katanya, yang kuiringi dengan tertawa saja. Kami berjalan sama-sama lagi, melintasi taman
lagi dan sesampainya di tepi jalan, dia mencari taksi lagi. Kuantar dia, dan sebelum taksi itu
menderu pergi, kukatakan jangan memotong rambutnya. Dia tak berkata, hanya tersenyum.
Aku sendiri lagi, mengepit koran dan buku-buku.
***
Aku harus ketemu seseorang di Soekarno-Hatta. Dia akan ke Singapura dan karena
memang mendadak, terpaksa aku hanya bisa menemuinya sesaat di bandara. Aneh, zaman
kayak begini masih ada orang sesibuk dia, entah apa bisnisnya. Kutunggu dia. Karena memang

79
aku terlalu awal datang, atau dia berangkat dengan pesawat berikutnya, aku tak tahu, aku jadi
harus membetahkan diri untuk menunggu. Koran masih saja di tanganku dengan setia, sambil
sesekali menyapu pandang.
Ketika mataku menyapu hall bandara yang berisi begitu banyak manusia, aku merasa
melihat Lulu di antara mereka. Tingginya, keanggunannya, ah, rupanya dia sudah
menguasaiku. Ini gila memang. Bagaimana mungkin hanya dalam dua kali pertemuan dia
sudah menaklukkan aku dengan gaya bicaranya yang ramah itu. Kuperhatikan lagi, ternyata
bukan, mungkin hanya mirip saja. Sangat mirip. Bedanya hanya satu: rambutnya pendek,
sangat pendek, hingga mirip laki-laki. Tapi, terus terang, memang lebih seksi. Kualihkan
mataku ke tempat lain, tapi anehnya, selalu kembali ke perempuan itu.
Kawan yang kutunggu akhirnya muncul juga. Dengan gayanya yang serba cepat
dan gelisah, seperti burung gereja yang selalu was-was itu, dia menjelaskan semua yang perlu
kuketahui. Beberapa map dia serahkan dan master plan serta cetak biru rancangan
bangunannya juga dia sodorkan padaku. Terus terang aku tak sepenuhnya siap bahwa ternyata
dokumen ini diserahkan kepadaku.
”Apa ini semua?”
”Mmm.. dari sini, you ketemu Pak Rudy. Don’t be late, soalnya ini semua bahan
presentasi besok.” Ucapannya terburu-buru, sambil menumpukkan berkas-berkasnya padaku.
Akan tetapi, yang membuatku benar-benar terkesiap adalah wanita berambut pendek itu
ternyata pergi bersamanya. Dia berdiri di belakang temanku. Tanpa menghiraukan
pembicaraannya, mataku memandang wanita berkacamata hitam itu dalam-dalam. Seakan aku
ingin melihat bola matanya, benarkah dia bukan Lulu. Kemiripannya membuatku penasaran.
Temanku menyadari bahwa perhatianku tertuju pada perempuan cantik yang ada di
belakangnya, dia langsung memperkenalkanku kepadanya, ”Oh... ini Lina, kolega bisnisku,”
ucapnya sambil mengedipkan sebelah matanya.
Ternyata namanya pun mirip. Lina menjulurkan tangannya dan tersenyum. Mereka
melangkah masuk untuk check-in. Temanku membawa kopornya dan kopor Lina dan
melangkah duluan.
“Oh, ini ada yang terjatuh…,” kata Lina menyerahkan amplop. Kuduga karena
terbengong-bengong, aku menjatuhkan sesuatu dari dalam bundel dokumen. Dia tersenyum
dan saat melangkah pundaknya nyaris menyentuh hidungku.
Di taksi, aku merasakan kekosongan lagi. Jakarta dilapisi malam dan dihiasi kemerlip
lelampuan. Ternyata, amplop tadi bukan terjatuh, tetapi memang baru diberikan oleh Lina atau
Luna. Itu kuketahui karena setelah kubaca, surat itu memang ditujukan kepadaku.

80
Dia memang Luna alias Lulu. Dia sebenarnya sudah tahu bahwa aku menunggu
kawanku, itu dan…
”Luna atau Lina atau Linda.. tak ada bedanya, kan? Ini, aku bikinkan puisi-puisian buat
Mas Roy. Hanya buat Mas Roy.
sentuhlah saklar
lampu padam setelah berpijar,
rambutku 10 ribu dolar..

salam,

Kali ini, kurasakan jakarta benar-benar menghimpitku. Kota ini terlalu banyak
melahirkan pertanyaan, yang nyaris menutupi jawaban.
***

Umairah
(gambar 13)

”Duhai dara dengan pipi merah merona, tak bisa kubayangkan engkau terjaga di tengah
malam buta, hanya untuk membukakan pintu rumah kita. Karenanya, wahai dara dengan pipi
merah merona, maafkan suamimu jika malam tadi terlelap di beranda rumah kita..”
Itulah sepotong cerita yang selalu dituturkan Nenek kepada Umairah tentang betapa
sayang dan lembutnya Kanjeng Nabi Muhammad kepada istrinya. Tutur sapa lembut, semanis
madu, sesejuk embun pagi, selalu mengucur dari bibir beliau guna menggembirakan dan
membesarkan hati istrinya. Mungkin karena itu pulalah Umairah tak bisa melupakan sepenggal
cerita itu dari ingatannya.
Setiap kali dia merasa kesepian, maka cerita sebelum tidur, ketika dia masih kanak-
kanak itu selalu melapisi ingatannya, dan Umairah pun menangis. Tetapi, kapankah dia tak
merasa kesepian? Begitu sepi hidupnya sehingga dia hanya bisa membayangkan semua
kelembutan yang tak pernah dialaminya semenjak Nenek meninggal dunia. Dia tak ingat lagi,
apakah dia pernah berusia 9, 10, atau 11 tahun? Dia tak peduli lagi, apakah pernah mengalami
masa datang bulan yang pertama kali, karena baginya, bulan selalu datang dan pergi,
sebagaimana para lelaki yang mengajaknya tidur selama ini.
”Ma?”

81
Sapaan lembut dari bibir dara mungil—yang belum lagi empat tahun—itu membuat
Umairah terjaga dari lamunannya. Dia usap pipinya yang basah, basah oleh kenangan
kelembutan, yang hanya ada di alam angannya. Lalu ia pun tersenyum, seakan ingin
mengantarkan si kecil kembali lelap di alam mimpinya yang masih indah dan bening itu.
Kembalilah tidur, buah hatiku. Jangan kau terjaga, hari masih gulita. Sekali kau terjaga, dunia
akan merobekmu, mencabikmu, menggilasmu dengan gigi zamannya yang tak kenal
kelembutan itu.
Biarkan bundamu terjaga. Aku ingin kau tetap pulas lelap, berselimutkan senyum indah
impianmu. Biarkan bundamu membersihkan ilalang yang mungkin akan menghalangi jalan
langkahmu. Biarkan bunda menebas onak-duri yang mungkin bisa melukai telapak kakimu.
Duhai, dara mungil dengan pipi merah merona, pujaan hatiku, engkaulah satu-satunya permata
hidupku, yang sanggup memberiku jalan yang jelas. Entah apa jadinya, jika kau tak ada dalam
hidupku. Tak tahu lagi harus ke mana, bahkan mengakhiri hidup pun, rasanya sia-sia saja.
Anak kecil itu kembali terlelap, sebagaimana yang diharapkan Umairah. Lalu, sunyi
kembali mengisi malam. Kembali Umairah menatap selembar kertas yang telah sebagian
ditulisinya dengan tinta hitam. Serangkaian kata telah tergores di sana, tetapi tak satu pun yang
rasanya bisa mengungkapkan perasaannya. Diremasnya kertas itu, dan dia mulai menulis di
lembaran berikutnya. Sudah sebulan ini dia merasakan serangan demam dahsyat, seakan
hempasan badai gelombang, yang membuatnya menggigil terguncang. Dia tak tahu persis apa
yang terjadi, karena setiap dokter hanya tersenyum, ketika harus menjawab pertanyaannya. Dia
hanya merasakan, bahwa saat itu akan segera tiba, tidak malam ini, mungkin di malam yang
lain.
Menjelang pukul tiga dini hari, tiba-tiba pintu rumahnya diketuk orang. Terasa kasar
dan mengejutkan, bahkan sedikit menyeramkan. Ada arus kemarahan di sana yang mengalir ke
dalam bilik Umairah.
Dibukanya pintu dan didapatinya 10 laki-laki berang. Mereka berteriak-teriak
mengerikan dan mengancam akan merajamnya, jika tidak mau mempersilakan mereka masuk.
Gemetar Umairah mendekap si kecil. Bibirnya bersenandung lirih agar si mungil tak terjaga.
”Kau sembunyikan di mana, dia?” dengus kemarahan lelaki yang membawa pentungan.
Matanya merah, namun tak pernah lepas dari sepasang dada Umairah.
Rasa muak menggumpal siap menyembur dari perut Umairah. Untuk kesekian kalinya
dia menjumpai binatang memasuki rumahnya. Seekor anjing yang tak bisa menggonggong,
seekor babi hutan yang tak bisa menguik, itulah para lelaki yang selama beribu-ribu malam
sepanjang kehidupannya memaksakan diri menerobos kehidupannya.

82
”Tak ada siapa-siapa di rumah ini, selain saya dan Umi, “ kata Umairah sambil
mendekap erat Umi kecilnya yang masih lelap.
”Bibirmu memang selalu merah bergincu, Mai, tetapi itu tidak bisa menyembunyikan
yang sebenarnya,” desislelaki dengan sorot mata liarnya.
”Mungkin di malam lain. Tetapi, malam ini tidak,” jawab Umairah tegas. Sementara
lelaki yang lian membolak-balikkan apa saja yang mungkin bisa digunakan sebagai tempat
bersembunyi.
Lelaki yang ada di dekat Umairah, yang nyalang matanya, yang babi hutan napasnya,
makin mendekatkan wajahnya ke pipi Umairah sambil berkata, ”.. Tunjukkan saja, di mana dia,
lalu semuanya kita selesaikan bersama... hh… bagaimana?”
Umairah muntah, namun tersenyum manis dia berkata. Bibirnya yang indah sudah hafal
benar tabiat setiap lelaki, seolah siap menelan si babi hutan dengan desahan lembutnya. Tak
jelas benar apa yang diucapkannya, namun yang jelas si lelaki segera mengomando anak
buahnya pergi. Dia pura-pura marah, dan sebelum pintu tertutup rapat, dia mengerling ke
Umairah.
”Ma?” suara malaikat kecilnya lirih memanggilnya.
Umairah memeluknya, lalu bibirnya bersenandung. Sesaat si malaikat mungil
memandang mata ibunya dengan mata telaganya yang jernih, dengan bulan purnama
mengambang di permukaanya. Umairah tak kuasa menatap tatapan Umi. Kesejukan pandangan
si kecil membuatnya kembali menangis.
”Ma, Umi jadi naik keleta api?”
Umairah menatap sesaat, lalu tersenyum dan memeluk anaknya. Ah, indah nian mimpi
setiap bocah.
***
Entahlah, mungkin memang nasib yang harus dijalaninya, tetapi malam itu, pada jam
yang kurang lebih sama, kembali pintu rumah Umairah diketuk seseorang. Umairah,
perempuan itu, sudah hafal benar setiap nada ketukan. Ada irama yang sama, ada pola suara
yang senada, seolah detak jantung yang tak mungkin sanggup membohongi, bahkan diri
sendiri.
Memang benar, si babi hutan masuk dengan serangan parfum yang entah dari jin siapa
dia membelinya. Umairah tegak tenang, memandang kekosongan yang mulai mendekatinya.
Ketika nyaris tangan kasar itu hendak menyentuhnya, Umairah hanya berkata ”mungkin di
malam yang lain, tetapi tidak malam ini.”

83
Si babi hutan mendengus marah. Dia memaksa dan Umairah hanya mengulangi
ucapannya.
”Hei, perempuan jalang, sudah seharusnya kau berterima kasih kepadaku. Karena aku,
kau tidak diarak keliling kampung, atau dirajam orang sekampung. Ingat kau, ketika baru
pindah kemari, semua orang mencibirimu, karena kaulah kotoran yang tiba-tiba melekat di
kampung ini. Sekarang… kau coba-coba berani menolakku?”
Umairah hanya mematung. Ditatapnya mata buas itu dengan tenang. ”Aku tidak
menolakmu, aku hanya bilang tidak malam ini, mungkin di malam yang lain... terserah saja apa
penafsiranmu.”
”Dasar..”
”Katakan saja apa yang ada di pikiranmu, nggak usah malu-malu. Bukankah selama ini
hanya kata-kata itu yang kau miliki?” dan ucapan Umairah itu membuahkan tamparan.
Si lelaki merasa disepelekan kelelakiannya. Dia meraung, mencabik dan mengamuk.
Kegaduhan malam itu membuat si Umi menjerit-jerit dan membangunkan para tetangga.
Segera rumah itu dipadati manusia.
”Lelaki itu ada di sini!” teriak si babi hutan, sambil menunjuk-nunjuk sesuatu yang tak
jelas. Para lelaki lain berang, mereka menyerbu masuk dan kembali seperti malam sebelumnya,
mereka membolak-balikkan apa saja yang bisa mereka jungkirbalikkan.
Umairah mendekap Umi dan lari. Dia tak pedulikan apa pun yang ada di rumahnya,
kecuali Uminya tercinta. Sempat dia menyaksikan manusia-manusia itu menghancurkan
rumahnya, namun tetap tak peduli dia. Umairah berlari, memanggili seseorang yang mau
menyebut seorang wanita dengan kelembutan surgawi. Tetesan air matanya menderas dan
hatinya menjerit, melolong, meraung, memohon setetes kesejukan dari kalimat lembut dan
menyegarkan jiwa itu.
Di dinginnya malam, dengan bulan yang sudah tampak bagai seiris semangka kuning,
Umairah mendekap anaknya. Berjalan dia tak tentu tujuan. Kakinya bahkan telanjang tanpa
alas apa pun. Beberapa mobil berhenti dan menawarinya tumpangan, namun tak satu pun di
terimanya. Dia sudah hafal betul rima dan iramanya, nada dan ketukan suaranya; seperti suara
setiap lelaki yang merajam tubuhnya, sejak… ah, dia sudah tak ingat lagi sejak kapan hal itu
terjadi.
Jalan terlalu panjang untuk dilaluinya dan Umairah belum menyelesaikan semuanya.
Sepasang kaki lelahnya, akhirnya membawanya ke sebuah gardu di sudut jalan. Hanya
kesunyian dan kegelapan yang ada di sekitarnya. Tetapi, kapankah dia tak menjumpai
kegelapan di dalam kehidupannya? Umairah tersenyum, dia bisa sejenak melepaskan lelahnya

84
dan bisa meletakkan si kecil untuk, paling tidak, sampai matahari terbit di timur sana. Ada bau
pesing dari sudut gardu. Tembok retak di sana dan di keremangan ada seonggok kain, entah
apa. Mungkin bekas baju, mungkin juga bekas celana, siapa peduli?
Napas Umairah tersengal-sengal. Entah mengapa, dadanya terasa sesak dan berat
sekali. Diletakkannya si kecil di pangkuannya dan disandarkannya tubuhnya ke dinding retak
itu. Kepalanya berkunang-kunang. Dalam keremangan dunianya, di batas antara terjaga dan
tidur, Umairah mendengar suara-suara. Sesekali dia terjaga dan ternyata itu hanya ilalang
berkerisik diusik angin. Namun, begitu dia nyaris terlelap, suara itu adalah sebuah bisikan doa.
Sebuah doa baginya. Bagi hidupnya. Bagi anaknya. Sebuah doa agar sekabut halimun
kesejukan melingkupi jiwa yang tengah meradang itu. Perlahan-lahan Umairah bisa mengikuti
bisikan doa itu. Dan, entah mengapa, tiba-tiba dia merasa mendapat kekuatan untuk masuk ke
dalam bait demi bait panjatan puji syukur itu.
Kalau saja diriku belum pantas bersimpuh memohon kepada-Mu, duhai sang Maha
Bijaksana, kumohon pandanglah seraut wajah suci yang terlelap ini. aku ingin, ketika esok dia
membuka sepasang kelopak mata keindahannya, dunia tersenyum ramah dan mengajaknya
bermain di bumi-Mu nan indah. Duhai Sang Maha Mendengar, dengarlah ratapku, karena
kepada siapa lagi aku meratap jika bukan kepada-Mu.
Ketika garis fajar sebentar lagi memberkas di ufuk timur, Umairah sempat menyaksikan
ada seorang pria muda, rambutnya legam ikal berkilau-kilau, jongkok dan membelai wajahnya.
Lelaki itu mengucapkan sebaris kalimat lembut, semanis madu, sesejuk embun pagi, yang
selama ini begitu didambakan Umairah.
***

Orang-orang yang baru saja pulang dari salat subuh, dan seperti di bulan-bulan puasa lainnya,
mereka berjalan-jalan pagi, terheran-heran mendengar tangisan anak kecil dari sebuah gardu di
tengah lahan kosong yang ditumbuhi ilalang. Dulu, lahan itu adalah sebuah bangunan, entah
apa, yang karena entah apa pula, dihancurkan. Seorang ibu menggendong si Umi. Beberapa
lelaki kemudian melaporkan ke pos polisi terdekat. Mayat Umairah, yang tak dikenal oleh
orang-orang itu, mereka temukan dengan seulas senyum bahagia di bibirnya.

Pinang, 982.

Kapan Pulang?
(gambar 14)

85
Entah mengapa, saya selalu menanyakan hal itu kepada istri saya, justru pada saat dia
belum berangkat ke Hongkong. Dia memang wanita supersibuk, yang selalu mendapat
kepercayaan kantornya untuk menangani pameran-pameran besar di luar negeri. Anehnya,
kalau dia saya katain wanita karir, dia selalu marah.
"Saya nggak gitu, kan? Saya bekerja sebaik-baiknya, tapi saya bukan wanita karir."
"La, terus ini, apa?" protes saya.
"Ya, kerja biasa saja. Kalau wanita karir, itu nggak begini…."
"Gimana?"
"Udah-udah.. kalau memang saya nggak boleh kerja, dari dulu, dong bilang!"
Biasanya kalau dia sudah mengunci pembicaraan dengan kalimat seperti itu, saya juga
hanya bisa diam saja.
Sementara saya diam, dia mengemasi barang-barangnya ke dalam kopor. Beauty case
juga siap dan selalu dibawanya. Sambil mengemasi barang-barangnya, wajahnya muram,
bibirnya maju lima senti. Dia kesal karena pertanyaan saya. Kalau sudah begitu, hati saya
luluh. Saya tidak tega dan lebih jauh lagi, saya tidak mau dianggap sebagai suami yang mau
menang sendiri.
Terus terang, di balik ini semua, saya memang tidak bisa ditinggal pergi oleh seseorang,
apalagi itu istri saya sendiri. Waktu Mona–anak saya yang sudah kelas 2 SMP mengadakan
perkemahan pramuka, saya juga kelimpungan. Saya selalu menanyakan kepadanya, "Kapan,
pulangnya?"
Mona selalu menjawab,"Berangkat aja belum, Papa sudah tanya kapan pulangnya…."
Entahlah, saya tidak bisa ditinggalkan begitu saja. Saya tidak mau menjadi orang yang
melambaikan tangan dan mengucapkan selamat jalan. Aneh memang, tapi itulah saya.
Bicara soal keberangkatan istri saya, kali ini saya memang benar-benar gelisah. Terus
terang, saya merasa sangsi dengan keberangkatannya kali ini. Dulu, waktu dia harus seminar di
London, saya juga mengkhawatirkan yang bukan-bukan. Pikiran macam-macam, blingsatan
tak karuan. Yang saya pikir hanyalah yang aneh-aneh saja, tapi kenyataannya, kekhawatiran
saya memang tidak sepenuhnya salah.
Dia yang berangkat berdua dengan kawannya (tentu saja laki-laki) membuat saya was-
was. Di mana-mana, laki-perempuan itu sama saja. Kalau ada kesempatan pastilah tidak disia-
siakan.
Ketika dia kembali dari London, terus terang saya "cuci" habis dia. Sementara, dia tetap
menyangkal bahwa ada hubungan dengan lelaki itu.

86
"Bagaimana mungkin?" katanya setengah menangis.
"Kalau bicara soal kemungkinan, jawabannya adalah mungkin. Persoalannya sekarang,
kamu mau jujur, nggak?" kata saya keras.
"Baik. Sekarang saya mau jujur. Terserah, Mas mau percaya atau tidak." Ucapannya itu
membuat saya agak tercekat. Bagaimana seandainya dia mengakui telah tidur dengan lelaki
itu? Sanggupkah saya menerima kenyataan dengan mendengar kalimat dari bibirnya yang
langsung masuk ke gendang telinga saya sendiri?
Sanggupkah saya, seandainya dia mengucapkan sejujurnya, menelan kenyataan paling
menusuk bagi setiap hati lelaki, bahwa istrinya tidur dengan lelaki lain? Untuk itu saya terdiam
beberapa lama.
"Terus terang, saya memang menyukai dia... tapi, hanya sebatas sebagai kawan. Dia
baik, dan dia mau mendengarkan ucapan saya, terutama mengenai tugas-tugas kantor yang
merepotkan itu. "
"Jadi, aku ini kamu anggap apa?" sergah saya dengan luapan emosi nyaris tak
tertahankan.
"Bukan begitu. Ini semata-mata kerjaan kantor! Apa Mas tahu cara kerja kantor saya?
Apa Mas tahu persis, siapa-siapa yang kami hadapi di kantor? Dan kalau pun saya ceritakan,
paling-paling Mas bilang, sebaiknya dibicarakan dengan teman sekantor, supaya masalahnya
lebih cepat selesai. Ya, kan?"
Saya terdiam. Benar, semua ucapannya.
"Sekali lagi, saya cuma ngobrol dengan dia. Tidak lebih. Lagi pula.. Mas pikir saya ini
perempuan apa? Kalau saya mau tidur dengan sembarang lelaki, berarti saya meletakkan diri
saya pada posisi paling menjijikkan yang justru selama ini saya tentang! Kalau cuma mau
begitu, untuk apa saya kawin? Mending saya jadi pelacur saja; bagi saya dia lebih punya
'moral' ketimbang istri nyeleweng...," kata-katanya menghambur bersama derasnya air
matanya.
Saya terdiam lagi. Semua yang diucapkannya waktu itu, memang sepenuhnya benar.

Tapi, sekali lagi, keberangkatannya kali ini membuat saya gelisah lagi. Memang, waktu
itu saya menduga dia ada ”main” dan kenyataannya tidak. Saya yang semula meragukan,
kemudian yakin dia tidak ada apa-apa, kini berbalik meragukannya lagi.
"Kenapa, sih, rasanya cuma kamu melulu yang dikirim keluar negeri?"
"Ya, mana saya tahu? Tapi, cobalah dilihat dari segi positifnya. Apa Mas nggak
bangga, istrinya dipercaya orang?"

87
"Untuk apa kebanggaan, kalau sebenarnya menyiksa diri sendiri?"
"Jadi, Mas merasa tersiksa?"
"Nggak gitu.."
"Nggak gitu, gimana? Nyatanya Mas selalu cemburu.."
"Cemburu? Hah! Itu pikiran sempit!"
"Cemburu itu nggak salah, kok. Saya nggak apa-apa kalau Mas yang cemburu, asal
jangan kelewatan…."
"Tapi.. suami mana yang akan tenang membiarkan istrinya pergi keluar negeri dengan
lelaki lain.. sekamar lagi!"
"Aaaah.. Mas gitu, sih. Kan, saya sudah bilang, ini karena anggaran kita mepet sekali
dan karenanya untuk hotel nggak ada budget lagi…."
"Masuk akal, nggak?"
"Kalau ukurannya begitu, ya nggak masuk akal. Tapi, kalau saya nggak bilang jauh-
jauh hari, saya yang salah. Saya kan sudah bilang."
"Aku, kan sudah lama menyatakan keberatan."
"Ya, tapi gimana lagi. Budget-nya nggak ada!"
"Ya, jangan berangkat kalau dananya nggak ada!"
"Nggak bisa, dong!"
"Bisa! Kecuali, kalau kamu merasa tidak keberatan."
"Maksud Mas apa?"
"Maksudku sudah jelas. Kalau boleh aku katakan dengan jelas, kamu jangan berangkat!
Titik!"
Dia terdiam. Dia menahan tangis. Kesal. Marah. Entah apalagi yang ada di hatinya.
"Mas jangan membuat saya terjepit seperti ini, dong…," katanya setengah terisak.
"Yang saya perlukan justru pengertian. Saya ingin, justru di rumah, saya mendapat dorongan
dan semangat. Di rumah, saya berharap mendengar suara yang bernada positif dengan
keberangkatan saya kali ini. Kepada siapa saya bisa berterus terang, kalau bukan kepada suami
sendiri? Kepada siapa saya bisa mendapat dukungan, kalau bukan dari suami sendiri?"
"Ya, tapi bukan untuk tidur sekamar dengan lelaki lain!"
"Jadi, saya harus batal, nih?"
"Pikirkan saja sendiri."
"Tuh, kan. Mas selalu menyudutkan saya dengan kalimat seperti itu. Kalau boleh jujur,
Mas sebenarnya tidak berani mengatakan pendapat. Mas takut dikritik sebagai suami yang
lemah dan tidak bisa mengatasi persoalan. Mas sebenarnya hanya mencari kedudukan dan

88
posisi suami yang baik. Tak mau dianggap ketinggalan zaman dengan mengizinkan istrinya
pergi, tapi sekaligus tak mau dianggap pencemburu meskipun nyatanya Mas benar-benar
cemburu. Mas seolah memberikan banyak pilihan pada saya, padahal sebenarnya Mas hanya
memberi satu pilihan."
"Yaaah, apapun.. yang penting kamu harus bisa mempertimbangkan baik-buruknya."
"Kalau Mas sudah bisa bilang begitu, kenapa Mas masih ragu? Itu kan artinya, Mas
masih belum percaya pada saya."
Saya terdiam lagi. Entah mengapa, saya kehabisan kata-kata untuk menjawab
ucapannya.
"Lagi pula, dia kan nggak mungkin akan macam-macam dengan saya. Saya tahu persis
siapa dia…," katanya menjelaskan calon teman sekamarnya itu.
"Di mana pun, kucing itu nggak ada yang nolak daging!" ucap saya menyindir.
"Ya, jangan berpikir ke sana, dong! Kalau dipikir terus, sesuatu yang tak mungkin
terjadi, bisa benar-benar terjadi.
"Nah, nah..sekarang kamu yang agaknya mencari-cari alasan," sergah saya.
"Cari-cari alasan bagaimana?"
"Nanti kalau 'terjadi' betul, kamu cari alasan karena aku terlalu memikirkan yang satu
itu Itu, kan lebih nggak masuk akal lagi."
"Sudahlah. Percaya sajalah."
"Sulit!"
"Sekarang dibalik saja. Kalau Mas pergi keluar negeri, aku nggak pernah tanya macam-
macam. Padahal aku sendiri kalau ditanya, pasti meragukan semua alasan Mas. Kalau mau
memikirkan yang tidak-tidak, aku sudah membayangkan Mas berpesta pora dengan ...
pokoknya, kalau mau memikirkan yang begitu, aku sudah lama mati oleh pikiranku sendiri."
Dia mencecarku dengan kalimat-kalimat yang membuatku terbungkam. Tetapi
kemarahanku membuatku terus berontak.
"Jangan menuduh yang bukan-bukan!"
"Mas juga jangan berpikiran yang macam-macam."
"Bagaimana tidak? Kamu bilang akan tidur sekamar dengan laki-laki lain..."
"Kalau Mas tidur sekamar dengan perempuan, apa Mas juga bilang sama saya?"
"Sialan kamu!" dan tanpa saya sadari sepenuhnya tangan saya melayang menampar
pipinya. Dia mengaduh dan menangis tersedu-sedu.
Penyesalan saya saat itu meleleh. Saya raih dia dan saya peluk penuh penyesalan.
Terbayang bagaimana wajahnya yang pucat menahan rasa sakit, ketika dia dalam proses

89
melahirkan bayi kami yang pertama. Terbayang kembali betapa dia melindungi saya dari
tagihan seseorang ketika kami masih terbenam hutang, dulu ketika kami baru menikah.
Tergambar juga betapa dia yang mendorong saya hingga mendapatkan posisi seperti sekarang
ini di kantor. Semuanya begitu mendadak, bersamaan, muncul melumerkan perasaan saya.
Akhirnya, dengan segala perasaan tertekan dan tak enak, saya mengantarkannya ke
Bandara Sukarno-Hatta. Dia terbang dengan Cathay Pacific. Perjalanan pulang dari Bandara,
terasa lebih panjang. Perasaan memang mengalahkan jarak dan waktu.
Malam minggu saya hanya sendirian. Mona pergi ke rumah kakeknya di Bogor.
Arthur.. entah kemana si bocah a-be-ge itu. Yang jelas, saya sendirian. Ini yang saya benci.
Tiba-tiba telepon berdering.
"Halo?" suara perempuan yang lembut sekali dari seberang sana.
Saya tercekat. Ini pasti suara Maggie. Mengapa dia menelepon saya?
"Hai, Maggie?"
"Kesepian, ya?"
"Aaah.. biasa saja. Ada apa, Mer.. eh, Meg?"
"Idiih.. sudah kangen, ya sama istrinya, sampai kepleset segala…."
Begitulah, saya dan Maggie–teman lama saya–tenggelam dalam percakapan ke sana
kemari. Dia cerita tentang suaminya yang sering kali pulang malam dan akhirnya ketahuan
punya "simpanan" lain. Dia menumpahkan semua isi hatinya pada saya, yang saya tanggapi
dengan tenang. Tapi, bagaimana dengan Mery–istri saya, saat ini? Apakah dia juga sedang
menceritakan saya pada lelaki itu? Di mana dia bercerita? Sambil tiduran? Aaah.. saya rasakan
darah menggelegak sampai ubun-ubun, tetapi saya kendalikan karena saya sadar bahwa saat itu
sedang berbicara dengan Maggie.
"Nggak bisa tidur, kan?" katanya tiba-tiba memotong arah pembicaraan.
"Ya, gitu, deh…," jawab saya lesu.
"Nonton midnight, yuk?" ajaknya enteng saja.
Saya terdiam. Bagaimana mungkin dia bisa mengajak seseorang yang jelas-jelas bukan
suaminya dengan seenteng itu? Dan, entah bagaimana, saya langsung mengambil kunci mobil
dan menderu ke rumahnya.
*****

Jakarta sesungguhnya kota yang sangat dingin dan sunyi. Kesemrawutan itu semu
semata. Lalu lintas yang berderet-deret disumpal kemacetan itu, hanya nisbi. Nyatanya, banyak
sekali manusia yang begitu kesepian di sini. Begitu banyak manusia yang kedinginan. Sebuah

90
kota yang muram dan mati. Karenanya, tak mengherankan jika manusia-manusianya banyak
yang menciptakan kehidupan malam. Sebuah pelarian kenyataan yang menyedihkan,
sebenarnya.
Kami berjalan perlahan. Sambil menyetir, saya rasakan sapuan angin malam yang
dingin. Sementara di pundak kiri saya, Maggie bersandar mesra.
Sambil menikmati perjalanan, kami sesekali masih mengomentari film yang baru saja kami
tonton. Entah bagaimana ceritanya, kami sudah masuk sebuah motel.. dan semuanya terjadi
begitu saja, tanpa basa-basi.
***
Setengah lima pagi, saya tiba di rumah. Secara refleks, saya menyalakan answering
machine.
"Hai.. ke mana nih, malam Minggu. Kok, nggak ada di rumah? Pasti Mas jalan-jalan dengan
Maggie, ya? Pasti lagi guwel-guwelan, ya... (dia tertawa kecil, mesra). Bercanda, jangan
tersinggung dulu.... Telepon dong, nih, catat ya…," kata-katanya lembut tanpa perasaan
cemburu.
Dengan perasaan galau, saya telepon dia. Dari sana terdengar jawaban lesu. "Halo? "
Saya diam saja. Pikiran saya masih kacau balau, tak siap dengan kata-kata. Dia
mengulang perkataan yang sama dari seberang sana. Dan saya masih diam saja.
Nyaris pada saat dia akan meletakkan gagang telepon, saya bertanya, "Ma, kapan
pulangnya?"
Seketika ada kecerahan dari nada suaranya. Semangatnya bangkit kembali dan dia
nyerocos macam-macam. Begitu ceria dia, begitu bahagia dia, sampai-sampai saya tak bisa
berkata-kata. Saya ingin mengucapkan bahwa saya rindu, bahwa saya mencintainya, bahwa
hanya dia yang ada di hati saya, bahwa saya begitu kesepian tanpanya, tapi tak ada yang bisa
terungkap lewat kalimat. Seakan cair begitu mencapai bibir.
Ketika gagang telepon sudah pada tempatnya kembali, saya terlentang di tempat tidur.
Mata saya terpejam, tapi bukan tidur. Telinga saya masih sempat menangkap sebuah alunan
musik dari sebuah radio pagi hari, Love is a Many Splendor Thing lewat tiupan saksofon
lembut mendayu.
Saya tak ingat lagi apakah saya bisa mendengar sampai selesai atau sudah digulung
lelap di tempat tidur.

Jl. Pinang 982

91
Laki-Laki Yang Menusuk Bola Matanya
(gambar 15)

Heran, sejak beberapa hari ini mataku sudah tak bisa melihat dengan benar. Kemarin
aku yakin sekali melihat seekor kerbau di depan pintu kantor. Tentu saja semua orang tak
percaya, termasuk logika pikiranku sendiri. Karenanya, aku tak marah dengan cerca dan gelak
tawa mereka yang kuberi tahu bahwa di depan pintu kantor ada seekor kerbau besar dengan
tanduk melintang bagai sepasang parang.
Anehnya lagi, kadang-kadang tanpa kusadari, tiba-tiba mataku pulih seperti sediakala.
Entah apa penyebabnya, aku tak benar-benar tahu.
”Halusinasi itu sering terjadi,” begitu ungkap Mas Badri, dokter pribadiku. Dia tahu
pekerjaanku yang mengharuskanku mengerahkan segenap tenaga untuk membuat skrip ini
”Dan, kadang-kadang kita tak menyadari sepenuhnya apakah kita ini sedang berhalusinasi atau
tidak.”
”Jadi kamu percaya bahwa ini semua cuma kelelahan otakku? Gitu?”
”Ya, mbuh, Mas. Aku sendiri kadang-kadang bingung. Zaman sekarang ini sudah dikutuk sama
Ki Ageng Ranggawarsita…, zaman edan! Termasuk cara berpikir kita juga sudah edan.” Kata-
kata Mas Badri seperti ditujukan pada sesuatu.
”Wong dokter kok, nggak optimis.”
”Biar dokter, wong aku juga manusia kayak kamu,” timpalnya sambil mengembuskan rokok
kreteknya. Aku cuma menimpalinya dengan gelak tawa. Sumpah mati, rasanya dia dokter
paling jujur di dunia ini, setelah dokter Doolittle–yang mewarisi ilmunya Nabi Sulaeman itu.
Karena itu pulalah kadang-kadang aku juga membenarkan pendapat kawan-kawan lain
bahwa aku sedang berhalusinasi. Tapi terus terang, aku sendiri tak paham benar apa yang
disebut halusinasi itu. Pokoknya, apa yang dilihat oleh mataku dan disampaikan ke otakku,
belum tentu sama dengan yang diterima otak manusia lain di sekelilingku. Itu inti
persoalannya. Aku tidak tahu, apakah lensa mataku yang aneh, syaraf-syaraf ini yang
mengadakan makar dan menciptakan usulan gambar aneh yang sebaiknya diterima otakku–atau
apa? Atau memang otakku yang aneh; yang seharusnya menerima gambar apa adanya, malah
dikarang-karang sendiri–entah apa maksudnya.

92
Seperti tiga hari lalu, misalnya. Waktu itu aku akan ke kamar kecil. Kebetulan karena
struktur kantorku yang memang demikian–kamar kecil yang seharusnya ada di belakang,
malah ada di depan-- aku berpapasan dengan seorang pria bule, berdasi dan berpakaian
perlente. Namun, nah… ini lagi. Kepalanya ternyata babi!
Terus terang aku terkejut setengah mati. Kebetulan pula malah si bule itu satu tujuan
denganku–ke kamar kecil. Yang tadinya aku ingin kencing, akhirnya tak jadi, cuma cuci muka
dan mengaca. Masih saja kusaksikan pria berkepala babi itu mengaca dan menyisir rambutnya
yang tipis. Mungkin karena aku memperhatikannya dengan pandangan aneh, dia agak tak suka
dan akhirnya buru-buru keluar kamar kecil.
Aku masih saja belum memahami benar apa yang sebenarnya terjadi dengan mataku
ini, sampai ketika kusaksikan si kepala babi itu ikut berkeliling kantorku–dan belakangan baru
kuketahui bahwa dia adalah salah satu manajer perusahaan yang menjadi calon klien kantorku.
Tentu saja si kepala babi menatapku dengan pandangan tak suka, ketika oleh bosku aku
diperkenalkan kepadanya.
Ketika rombongan itu berlalu, beberapa teman mengomentari betapa kerennya si bule itu. Aku
memperhatikan kedua cewek yang berkomentar itu dengan pandangan aneh. Mereka malah
mengatakan dengan nada meledek bahwa pasti aku menyangka si bule itu wajahnya seperti
babi.
”Ya, kan, Mas.. dia mirip babi, kan?” ucap si Vita sambil nyengir manja.
”Memang babi, kok.” Jawabku serius.
”Tuh, apa gua bilang, Mas Kris pasti ngatain bule itu seperti babi,” komentar yang satu lagi
dengan nada melecehkan. ”Orang kok, sirik terus sama penampilan orang lain,” tambahnya
enteng saja.
”Siapa yang…,” aku tak melanjutkan ucapanku. Percuma saja, mereka tak melihat apa yang
kusaksikan.
Itulah keanehan yang tiba-tiba terjadi pada mataku. Karenanya aku juga tak bisa lagi
benar-benar mempercayai apa yang kulihat dan mengatakannya pada orang lain.
”Kita ke dokter mata, yuk,” ajak istriku setelah mendengar keluhanku tentang keganjilan yang
terjadi beberapa hari ini pada diriku.
”Memangnya kamu pikir aku ini minus, apa?”
”Ya, nggak, tapi paling tidak, kita kan jadi tahu, kenapa sih, mata kamu nggak klop dengan
orang lain?” ucap istriku jengkel.
Aku tahu, dia jengkel dengan laporanku. Mungkin, dia pikir ini adalah alasanku saja
untuk keluar dari kantor dan berhenti kerja. Entahlah, mungkin saja dia punya pikiran begitu

93
karena memang aku sudah berkali-kali mengutarakan keinginanku untuk berhenti kerja. Aku
ingin jadi penjual tape uli saja yang nggak banyak pikiran. Masalahnya, selain kondisi mataku
yang makin seenaknya sendiri ini, pikiranku pun akhirnya ikut-ikutan nggak beres. Di sinilah
aku akhirnya menyadari bahwa pertimbangan otakku nyaris ditentukan oleh apa yang dilihat
oleh mataku ini. Sebelumnya, aku tak pernah punya pikiran demikian.
”Mas, kok, nglamun lagi, sih?” tiba-tiba suara dik Tony membuyarkan lamunanku.
Aku menjawabnya dengan tersenyum saja.
”Sulit, ya, brief-nya?” tanyanya lagi. Aku memang sedang mempelajari strategi komunikasi
iklan yang diberikan Dik Tony kepadaku.
”Oh, nggak. Nggak sulit, kok, cuma aku-nya yang lagi nggak mood,” kilahku sambil
menyalakan rokok.
Brief iklan yang sedang kubaca ini tentang sebuah produk pengharum mulut berbentuk
semprot. Dalam hati aku tertawa, berapa banyak sih orang Indonesia yang mau pakai produk
semacam ini? Ketika kegelianku itu kulontarkan pada orang lain, ada saja jawaban yang
mengatakan bahwa aku ini terlalu skeptis memandang sesuatu. Terus terang, aku tak tahu apa
maksud jawabannya itu.
Account director-ku malah marah ketika aku berkomentar demikian. ”Pokoknya kerjakan
sajalah, jangan sok jadi kritikus sosial. Ini kan dagang, dan tugas kita untuk melariskan produk
klien kita. Titik!”
”Titik dua atau titik-koma?” tangkisku sekenanya.
”Dasar copywriter!”
Aku cuma mengepulkan asap rokokku menanggapi kemarahannya yang tidak jelas itu.
Duduk di tempatku, aku mulai orat-oret sesuatu di selembar kertas. Tiba-tiba terlintas
di otakku sebuah ruang kantor yang bagus. Namun, pada awal film kuperlihatkan ada seorang
laki-laki muda perlente yang tampaknya akan melakukan transaksi bisnis di sebuah kantor. Dia
datang dengan segala perlengkapannya, termasuk telepon genggam sebagai status simbol orang
muda kota yang sibuk dan sukses.
Adegan kemudian dilanjutkan dengan si pria muda menunggu di ruang tunggu. Dia
melihat potret-potret dan patung-patung kecil yang menghias kantor tersebut. Lalu cut. Ada
suara wanita yang merdu seksi merayu, menyapa si pemuda, ”Hhhai… sudah lama, ya?”
Lantas cut lagi. Kamera memperlihatkan sepasang sepatu wanita, terus naik, sepasang betis
indah, dan cut lagi. Wajah si pria muda yang terkejut, lalu buru-buru menutup hidungnya
seakan dia mencium bau bangkai.

94
Ketika kamera mengambil seluruh adegan, tampaklah si lelaki muda tadi berdiri
berhadapan dengan seorang wanita berkepala naga! Lalu cut dan muncul produk semprot mulut
yang menyemprot sendiri. Lalu tulisan slogannya muncul berbunyi. ”Zems. Selamat tinggal
bau naga!”
***
Tepuk tangan riuh di ruangan meeting itu meledak. Aku bingung. Ideku yang baru saja
kutuliskan dan hanya kutuangkan dalam bentuk sketsa besar, tentu saja aku minta seorang
visualizer untuk menggambarnya, diterima dengan aklamasi. Anjing kurap!
Bukan hanya itu yang membuatku bingung. Bosku dan semua rekan kerjaku yang ada
di ruangan itu, semua berkepala naga! Aku tak tahan melihat apa yang kusaksikan. Keringat
dingin mengucur deras. Dalam hati kecilku, aku berteriak bahwa aku sudah gila. Bagaimana
mungkin ini semua bisa kualami.
Tanpa kusadari, aku berlari keluar dari ruangan. Tanpa kusengaja, tentu saja, aku
bertabrakan dengan Miske—sekretaris bosku, dan… aku nyaris saja berteriak ketakutan karena
yang kulihat bukanlah wajah Miske, melainkan naga. Tampaknya dia sengaja ”memasang”
dirinya agar kutabrak dan supaya tanganku seolah tak sengaja menyentuh dadanya. Tapi, ah…
seekor naga?
Entah sudah di mana aku saat ini, aku tak sepenuhnya mengetahui. Yang kurasakan
bahwa diriku jauh dari manusia berkepala naga. Aku terduduk di suatu tempat yang terasa tak
asing, tetapi tidak benar-benar kukenali. Seolah-olah aku pernah berada di sini, entah kapan.
Hanya seraut wajah yang akhirnya kukenali dan membuatku percaya bahwa aku masih
berada di dunia normal, ketika istriku muncul. Dengan wajah yang penuh dukacita dia
mendekatiku. Kemudian dengan belaian lembutnya dia mengusap-usap kepalaku.
Kuperhatikan sepasang bola matanya yang kelihatan cantik itu. Dia menangis.
”Kenapa?”
”Tidak. Tidak apa-apa. Apakah kau melihat naga?”
Aku mengangguk.
”Aku baru pinjam VCD dari Enggar. Nonton yuk.”
”Film apa?”
”Dragon Heart.”
Aku terdiam. Apa maksudnya?
”Yang ini, naganya bisa ngomong. Suaranya Sean Connery, keren, lho….”

95
Aku tertawa. Dia tersenyum. Aku tahu, dia telah menganggapku gila karena trauma
terhadap naga, dan dengan mengajaknya menonton film tentang naga, dia berharap agar aku
bisa melihat bahwa naga hanyalah sebuah film.
”Aku mau nonton,” kataku lembut, ”tapi, kamu harus percaya padaku..”
”Apa?”
”Aku memang melihat manusia berkepala naga.”
Dia menatapku dalam-dalam. Linangan air matanya membeku.
”Aku percaya, kok. Karenanya, aku ingin mengajakmu cuti, atau malah berhenti kerja,
lalu kita pindah ke Salatiga. Kata orang di sana tenang sekali….”
”Mungkin tak akan ada manusia berkepala naga..”
”Mungkin malah ada manusia berkepala kerbau, atau celeng….” tambahnya riang. Dia
memeluk pinggangku, persis ketika kami pacaran dulu.
Aku merasakan tusukan itu kini mengenai jantung kami berdua.
Pinang, 982

Lho
(gambar 16)

Dulu, waktu aku kecil, sering orang yang lebih tua dariku menasihati bahwa kedua
telingaku ini harus mau mendengar ucapan orang lain. Tentu, maksudnya adalah mau
menerima nasihat dari orang lain, karena siapa tahu mereka punya pengalaman hidup berharga.
Nasihat itu selalu terngiang dan bahkan sudah merasuk ke dalam jiwaku, sehingga
ketika kuliah pun, aku lebih suka jadi pendengar daripada pembicara. Dalam kehidupan sehari-
hari, aku menjadi manusia yang jarang sekali menggunakan mulut, karena aku entah
bagaimana seperti tersihir oleh kata-kata "diam adalah emas." Ada untung, ada pula ruginya.
Untungnya, aku menjadi manusia yang jarang salah ngomong dan sekali berkata, aku
selalu didengar orang. Ruginya, aku kurang populer di mata rekan-rekan entah ketika masa
kuliah dulu, atau sekarang ini di tempatku bekerja. Bahkan, ketika aku sudah berumah tangga
dan tinggal di kompleks, kalau ada rapat RT pun aku tidak pernah diundang, gara-gara orang
kurang mengenalku.
Terus mau apa coba? Aku memang tidak bisa bergaul, karena di dalam pergaulan yang
dibutuhkan adalah bicara, bicara, dan bicara. Mungkin karena itu pulalah aku jadi suka mencari

96
kesibukan sendiri. Kalau hari kerja, ya, memang tak ada kesibukan lain selain mengerjakan
tugas kantor. Tapi bila hari libur, maka aku akan berusaha mencari kesibukan di rumah, atau
tidur!
Nah, pada suatu kali ketika cuti, aku berniat mengecat rumahku. Kebetulan yang akan
kucat memang bukan seluruh dinding rumah, tapi hanya beranda dan pagar tembok yang tak
seberapa itu. Setelah kubayangkan warna yang akan kuoleskan di dinding, aku pun ke toko
material mencari cat dan peralatan lainnya. Belum lagi aku mengunci pintu pagar, tiba-tiba Pak
Sodik, orang yang biasa mengerjakan renovasi rumah lewat di depan rumah.
Setelah basa-basi dan seperti biasa kujawab cuma dengan senyum, dia bertanya aku
akan ke mana, dan kujawab akan membeli cat tembok. Tanpa kuduga dia langsung bicara
panjang lebar soal harga cat sampai warna. Dia, tanpa kuminta, langsung mengeluarkan
ilmunya soal cat dan aku tak bisa lain kecuali mendengarnya dengan kesabaran imitasi. Entah
ke mana saja arah bicaranya, yang kutahu pada akhirnya dia menawarkan diri mengecat
tembok rumahku.
Aku tertawa kecil dan mencoba menolak dengan halus, "Wah, mana kuat saya bayar
Pak Sodik."
Dia tertawa saja, tapi bersikeras agar pekerjaan tersebut diserahkan kepadanya.
"Pokoknya, Mas Nug terima beres. Daripada tangannya belepotan cat, kan, enggak
lucu?" tambahnya sembari menodongkan tawarannya padaku.
"Baik. Ongkos tukang catnya, berapa per hari?" tanyaku sekadar ingin cari celah.
"Ah, kayak enggak kenal saja, pakai nanya segala..." jawabnya sambil tertawa entah
apa maksudnya. Begitulah percakapanku dengan Pak Sodik. Akhirnya dialah yang
mengerjakan pengecatan dinding rumahku. Anehnya, ongkosnya selalu dia rahasiakan, seakan
aku sudah biasa menyuruhnya mengecat rumahku. Sementara aku masih saja memikirkan kira-
kira berapa biayanya.
Karena tak ada lagi yang bisa kulakukan, aku masuk kamar dan membiarkan dia
bekerja. Kusibukkan diriku dengan membaca apa saja. Entah bagaimana aku meraih sebuah
buku, oleh-oleh dari seorang kawan. Panchatantra, sebuah kumpulan cerita klasik India, yang
semasa kecil kukenal lewat dongeng tutur ayahku.
Meskipun sudah kuhafal benar cerita-cerita itu, tapi saat itu aku menikmatinya juga.
”Kisah si Petani Bodoh”, ”Pertapa dan Jin”, dan entah apalagi, kubaca semuanya, sampai
akhirnya tiba-tiba Pak Sodik muncul di pintu kamarku.
"Ada apa, Pak?"

97
"Sudah selesai...," jawabnya dengan raut muka kurang senang. Kulihat arlojiku, baru
jam tiga. Sudah selesai. Ya, memang hanya sedikit yang harus dikerjakannya.
Berapa, Pak?"
"Terserah sajalah... soalnya, ya, gimana, ya. Ini, kan, enggak seberapa...," jawabnya dengan
nada yang menusukku.
"Tadi, kan, saya sudah bilang, kalau ini pekerjaan enggak seberapa, dan juga soal
biayanya... ya, kan?" kataku tak mau kalah. Tapi, tampaknya dia tidak bisa menerima
sanggahanku. Dia terus menggumam tak jelas, tapi kutahu maksudnya.
"Kalau sekalian yang dalam, sih, saya bisa mengira-ira berapa besarnya. Tapi, ini, kan,
cuma sedikit. Jadi... saya enggak enak mau minta bayarannya." Aku makin kesal.
"Pak, begini saja. Enggak usah merasa enggak enak. Bilang saja berapa, saya bayar," kataku
seraya mencabut dompet.
"Wah, jangan begitu Mas. Masak saya mau narik ongkos lebih mahal dari harga
catnya," ucapnya sambil tersenyum kecewa.
"Kalau memang begitu, ya enggak apa-apa. Ini mohon diterima..." kataku sambil
mencabut selembar 50 ribuan. Dia tak bicara lagi dan langsung pulang. Terus terang aku kesal,
mana mungkin hanya mengerjakan tak lebih dari 15 meter persegi, aku harus mengeluarkan
upah Rp 50 ribu. Tapi, ya, mau bilang apa?
Beberapa hari kemudian, kebetulan aku diundang teman yang mengadakan akikah
untuk anaknya yang baru lahir. Di tempat itu pun aku merasa hanya sebagai pendengar,
mendengarkan orang bicara soal politik, soal sepak bola, soal perempuan, soal anak-anak,
narkoba, dan entah apa lagi. Rasanya begitu banyak pengetahuan mereka soal topik-topik itu,
sementara aku merasa tak tahu apa-apa. Gelak tawa dan canda ria berhamburan di sekitarku
dan seakan tak mau menyentuhku sama sekali, sampai sebuah kalimat menyedot perhatianku:
soal Pak Sodik.
Pak Wisnu, seorang tamu juga, yang bicara soal Pak Sodik, segera kutanyai lebih
banyak. Katanya, dia kemarin menyuruh Pak Sodik membetulkan kitchen set-nya. Sambil
bekerja Pak Sodik ngoceh bahwa dia kecewa karena pernah disuruh orang kompleks mengecat
rumah dan dibayar murah sekali. Biasanya dia dibayar Rp 100.000 per pekerjaan mengecat
rumah, tapi cuma dibayar kecil. Begitu tutur Pak Wisnu.
Nyaris saja aku bertanya soal siapa yang menyuruh Pak Sodik dan berapa jumlah uang
yang diterimanya, tapi kuurungkan. Tapi, yang membuatku jadi lebih kesal adalah ketika
kudengar bahwa Pak Sodik berkomentar soal luasnya tembok yang harus dicat. Katanya,

98
"Cuma ngecat se-emprit saja pakai nyuruh orang. Kayak bos saja. Kayaknya enggak mau
kotor."
Entah apa yang kemudian diceritakan Pak Wisnu, rasanya aku sudah tak tahu lagi.
Terus terang aku marah pada manusia "kancil" satu itu. Bagaimana mungkin dia bisa
memutarbalikkan ucapan dan membuatku seperti orang paling jahat di dunia. Sejak saat itu,
aku berjanji tak akan menyuruh dia lagi untuk melakukan pekerjaan apa pun.
Suatu kali, aku berniat mengganti rumput di halaman rumahku. Tak seberapa luas
memang, tapi jika diganti dengan rumput golf, kok, kayaknya bagus. Tanpa pikir panjang, aku
pergi dan membeli rumput tersebut. Ketika aku asyik mencangkuli halamanku, tiba-tiba si
"setan" itu muncul lagi. Seolah tak pernah terjadi apa-apa sebelumnya, dia mulai berkomentar
soal rumput.
Namun, kali ini tak kuhiraukan sama sekali. Ketika, sebagaimana kuduga, dia akhirnya
meminta pekerjaan itu, aku cuma menjawab bahwa aku bukan sok bos yang hanya bisa
menyuruh-nyuruh orang. Aku memang bermaksud menyinggungnya, tapi badak juga dia
rupanya. Entah bagaimana, akhirnya dia pergi dan itu membuatku lega.
Akhirnya, begitu magrib tiba, selesailah taman baruku. Puas juga rasanya mengisi hari
Minggu dengan kegiatan itu.
Di stasiun kereta api yang akan membawaku ke kota, aku bertemu orang-orang
kompleks yang juga berangkat bekerja dengan menaiki kereta pagi. Setelah omong sana-sini,
akhirnya ada satu kalimat yang membuatku harus menahan amarah. Menurut salah seorang itu,
entah siapa, Pak Sodik menggerutu bahwa di kompleks ternyata masih saja ada yang bermental
petani. Orang itu, kata Pak Sodik, rumahnya bagus, barang-barangnya mewah, tapi tak mau
memberikan sedikit mata pencarian bagi orang semiskin dia. Padahal, tambahnya, rumput yang
digantinya itu cukup luas, yang menurutnya bisa memberinya 10–20 ribu rupiah sekadar buat
makan hari itu.
Ketika aku duduk dan menatap pemandangan di luar kereta, aku tak bisa mengerti
tentang apa yang baru kualami ini. Kereta api membawaku ke suatu tempat yang jauh dari
kompleks rumahku, tapi yang mungkin akan membawaku kepada lingkungan yang tak jauh
berbeda dari apa yang ada di sekitar rumahku. Aku mulai berpikir, mungkin kini saatnya aku
harus banyak bicara, entah benar, entah salah. Yang penting bicara. Dengan berbicara,
mungkin orang akan segan kepadaku. Mungkin.

99
Dusta Itu
(gambar 17)

Perang saudara itu masih saja berkobar, melibas ratusan bahkan ribuan nyawa. Bangkai
gajah, bangkai kuda, kereta perang dan patahan senjata, tersembul di sana-sini bercampur
jenazah kedua pasukan, di tengah rawa darah, padang Kurusetra. Pesta para burung bangkai!
Ulat-ulat menari girang, mendapatkan makanan melimpah ruah. Kepulan asap dupa dan
kemenyan membubung melingkupi langit, seakan mengantarkan para arwah yang dipaksa
meninggalkan jasadnya.
Pandawa dan Kurawa seakan bermain catur. Satu demi satu para senapati di masing-
masing pihak mati di tangan lawan. Panglima Seta, dan kedua adiknya Utara dan Wratsangka,
gugur membela Pandawa; sementara Bisma sebagai Panglima Kurawa mendengungkan
terompet kemenangan. Pada hari berikutnya, Srikandi maju membela Pandawa, menggantikan
Seta dan berhasil menewaskan Panglima Bisma.
Begitu Bisma gugur, kedua belah pihak merasa terpukul. Bisma adalah kakek mereka.
Bisma adalah guru mereka. Bisma adalah junjungan mereka. Namun perang adalah perang,
yang ada hanyalah kalah atau menang. Percuma saja isak tangis tertumpah, jika pada akhirnya
melahirkan amarah. Perang adalah hidup atau mati. Itulah yang dibisikkan Kresna kepada
Arjuna.
Arjuna gelisah. Tak mungkin dia harus membunuh orang-orang yang masih berkaitan
darah dengannya. Mustahil dia berhadapan dengan guru dan junjungannya. Bisma dan Dorna
adalah dua orang yang memberinya bekal hidup dalam menempuh jalan sebagai seorang
kesatria.
Maka majulah Abimanyu, anak kesayangan Arjuna. Muda usianya, belum lagi 20 tahun
ketika itu. Di atas kereta perangnya, Abimanyu membelah pasukan Kurawa. Kelebatan
tangannya mematahkan serangan, sekaligus merenggut nyawa siapa pun yang menghadang,
membuat Abimanyu dan kereta perangnya seakan putaran pedang yang menumpas habis apa
saja. Kendali kereta berada di tangan Sumitro, saudara seayah Abimanyu. Di tangannya, kereta
perang bagai rajawali yang melayang rendah dan menyambar ganas. Pasukan Kurawa seperti
ilalang yang bertumbangan ditebas bilah pisau raksasa; mati merana untuk sesuatu yang belum
tentu mereka pahami benar.

100
Hari itu, ketika terompet mengalun di bukit-bukit Kurusetra, bendera-bendera Pandawa
berkibaran menantang langit. Megah, ditiup angin utara yang membawa kemenangan.
Abimanyu dipanggul sebagai pahlawan.
Dorna, resi tua renta, guru Pandawa dan Kurawa, hari itu menggenggam gendewanya.
Serangan Abimanyu harus dipatahkan. Gelar perang pun diubah. Strategi harus diambil untuk
menghabiskan tenaga Abimanyu yang luar biasa. Ketika genderang perang dipukul bertalu-
talu, mengiringi langkah tegap para prajurit ke medan laga, Dorna sigap di atas kereta
perangnya.
Ringkik kuda-kuda yang menarik kereta perang Abimanyu, sayup-sayup terbawa angin.
Debu mengepul, melatari sorak-sorai manusia yang haus darah. Sesaat Dorna menahan napas.
Ada sebersit perasaan aneh dalam menghadapi Abimanyu. Belum lagi 20 tahun usianya, dan
harus berhadapan dengan guru perang yang sudah sangat kenyang makan asam-garam
kehidupan. Jika menang melawan Abimanyu, dunia tak akan heran, namun jika kalah... akan di
kemanakan wajah tua yang diagungkan orang ini?
Apalagi ketika bocah itu lahir, Dornalah yang pertama kali mendapat izin
menggendongnya, karena Arjuna—ayah Abimanyu—begitu hormat kepadanya. Kini, beberapa
saat lagi, dia harus membunuh cucu yang disayanginya. Anak kecil yang pernah ngompol
membasahi jubahnya, dan itu membuat Dorna terbahak-bahak hingga meneteskan air mata
bahagia, kehidupannya akan musnah di tangan Dorna.
Mata Dorna berkaca-kaca membayangkan kilasan masa lalu anak muda yang sebentar
lagi mati di tangannya. Tiba-tiba, seekor kuda putih melintas di hadapannya. Semula dia
berpikir, kuda itu hanyalah kuda perang milik orang lain yang memang menjadi kendaraan
perang. Namun, ketika kuda itu berhenti dan menatapnya lurus-lurus, tahulah Dorna bahwa itu
adalah aura Dewi Wilutomo, bidadari yang dikutuk menjadi kuda, istrinya, yang kini telah
tiada.
"Kau akan membunuh anak muda itu?" tanya kuda itu dalam suara yang hanya
dipahami Dorna.
Angin membelai lembut alis Dorna yang memutih di sana-sini.
"Ini perang, istriku."
"Kau akan membunuh anak muda itu?" ulang Wilutomo tenang.
"Apa boleh buat..." jawab Dorna sambil mendesah.
"Berarti kau sekaligus akan membunuh ayahnya..."
Dorna terdiam. Keteguhannya mulai goyah.
"Berarti kau juga akan membunuh anaknya..."

101
"Apa maksudmu?"
"Istri Abimanyu tengah mengandung. Bayi itu akan lahir tanpa mengenal ayahnya, jika
panahmu mengisap nyawa Abimanyu..."
Lama Dorna terdiam. Entah apa yang berkecamuk dalam hatinya. Matanya setengah
terpejam, kumis dan janggutnya dibelai angin, lembut bergoyang-goyang.
Tak lama kemudian, "Ini perang, Wilutomo. Ini perang..." lalu memacu kudanya, yang
segera menarik kereta, maju mengadang lawan.
Perang pecah. Langit dipenuhi anak panah. Menghunjam ke bumi dan menciptakan
tumpukan jenazah. Dorna membabi buta menghamburkan anak-anak panahnya. Namun, sulit
sekali mendekati kereta perang Abimanyu. Diperintahkannya Jayadrata memancing Abimanyu
agar mendekati wilayah Dorna.
Sumitro tewas, namun kekang tak pernah lepas dari tangannya. Abimanyu segera
menaiki Pramugari, kuda setianya yang sehati dengan tuannya. Pramugari bagai harimau lapar,
melompat dan menendang lawan. Dengan gesit dia melompat, lalu berdiri me-nyongklang,
mendepak lawan di depan. Kemudian menyentakkan kaki belakang menghantam manusia yang
di belakangnya. "Manakah Dorna, guru tua yang tak tahu diri itu?" tantang Abimanyu di sela-
sela riuh rendahnya pertempuran.
Dorna melepaskan panahnya, tepat mengenai jantung Pramugari. Kuda itu meringkik
dan tersungkur mencium bumi.
Abimanyu melompat turun dan dengan pedangnya, dia mulai membabat lawan.
Tubuhnya seakan kebal, tak satu pucuk pun senjata mampu melukai kulitnya yang halus.
Dorna tanggap, tali pengikat tempat anak panah itulah kelemahan Abimanyu. Oh, begitu
mudah membunuhmu Abimanyu, tetapi mengapa kepiluan kian menggigitku, manakala
kurentang gandewa ini kepadamu?
Sekejap, anak panah itu lepas, menebas tali pengikat...maka Abimanyu pun lumpuh
bagai karung goni yang kosong. Segera tubuhnya terajam anak panah.
Abimanyu, Abimanyu… bagai landak tubuhmu, merangkak hina-lata tanpa rintihan.
Telah kau kenyamkah kenikmatan hidup sebagai lelaki? Telah kau cicipikah kemuliaan
hidupmu? Mengapa kau berakhir dengan tubuh nyaris hancur dirajam panah?
Dorna berbalik, menatap punggung bukit yang tergoresi warna merah senjakala. Tak
dihiraukannya sorak-sorai itu. Jiwanya begitu sunyi. Kosong, melayang dia di atas kereta
perang, mengutuki sebuah perbuatan yang hanya karena terbakar nafsu, melumatkan
segalanya. "Kau akan membunuh ayahnya..." ucapan Wilutomo mengiang di telinganya.

102
"Untuk apakah semua ini, suamiku?" bisikan pertanyaan Wilutomo kembali mengiang
di telinga Dorna. "Aku minta jawaban yang jujur darimu, karena kau adalah guru kedua belah
pihak yang bermusuhan..."
Dorna terdiam.
"Bukankah ini semua karena keangkuhan orang-orang sepertimu, yang
mengatasnamakan harga diri, lalu dengan mudah mencabut pedang?"
"Kau tahu apa soal perang? Akulah guru perang. Akulah yang paling tahu, bahwa
peperangan memang diperlukan."
"Siapakah yang memerlukan peperangan?"
"Bumi ini!"
"Aku tidak mengerti."
"Bumi membutuhkan siraman darah untuk menyuburkan dirinya dan itu untuk
menumbuhkan kehidupan baru..."
"Maafkan aku, bila kepalaku hanya berisi kebodohan. Sebagai orang bijak, maukah kau
menjelaskannya dengan bahasa yang bisa kupahami?"
Dorna terdiam lagi. Dan terdiam untuk waktu yang lama.
Tak ada jawaban, karena berarti akan ada dusta baru lagi.
Kematian Abimanyu membuat Arjuna tak terbendung. Meskipun putra mahkota kaum
Kurawa, Raden Lesmana, juga mati di tangan Abimanyu, itu tak cukup bagi Arjuna. Di lain
pihak Prabu Duryudana, raja kaum Kurawa, menjadi naik pitam. Hukum peperangan pun
dilanggar. Kematian kian menderas membasahi bumi yang seolah tersenyum menerima tubuh-
tubuh bergelimpangan.
Gatotkaca mati di tangan Adipati Karna. Lalu entah siapa lagi dan siapa lagi. Karna
mati di tangan Arjuna. Dorna kian tua menatap semuanya. Dia mencoba menata jiwanya.
Maka medan perang pun terobrak-abrik oleh amukan resi tua yang dahsyat itu.
Pedangnya, panahnya, semuanya meminta nyawa. Sementara tubuh renta yang seolah hanya
tulang terbalut kulit itu, seakan tak terjamah senjata. Panah seakan kuntum mawar yang
dilontarkan penari cantik, bagi Dorna. Arjuna enggan melawan gurunya. Bima hanya
menggeram, dan agaknya masih larut dalam kepedihan atas kepergian anaknya.
Tak ada lain, hanya Yudistira yang harus menghadapinya.
"Hanya Yudistira yang mampu menaklukkan Resi Dorna..." ucap Kresna ketika
mengatur siasat perang. Karena tak ada pertanyaan, Kresna pun melanjutkan, "... karena hanya
Yudistira yang akan didengar pendapatnya oleh Dorna...

103
Tenda kian mencekam, karena tak seorang pun mengerti maksud Kresna. Lelaki
berkulit hitam dan selalu tersenyum memandang masa depan itu, kemudian menjelaskan
strateginya kepada Pandawa. "Dorna akan lebih paham apa yang diucapkan Wilutomo… ya,
dia akan benar-benar paham arti ucapan itu...," tambah Kresna sambil menatap suatu tempat
nun jauh entah di mana.
Pedang berkelebat, darah membesut membasahi bumi. Teriakan dan lolongan
bersahutan dan di langit ratusan burung bangkai melayang-layang berkaok-kaok siap berpesta
pora. Resi Dorna menumbangkan kehidupan, dia mengamuk seakan mencari kematiannya
sendiri. Anehnya, saat itu, kematian justru terbirit-birit dikejar kelebatan pedang Dorna.
Angin berkhianat, mengapa pula membawa nama itu "Aswatama mati...!" Nama itu,
nama anaknya, yang juga berperang di sisi lain medan pertempuran. Di selatan, angin
membawa nama itu sampai di telinganya. Kemudian dari barat, angin pun membawa berita itu
kepadanya. Dorna seperti lumpuh. Namun, tangannya masih haus darah.
"Yudistiraaa... di mana kau?" teriaknya lantang.
Kereta perangnya terhenti, tepat di depan kereta perang Yudistira. Di hadapan
Yudistira, Dorna seakan menyaksikan alam yang begitu permai, sejuk dan mendamaikan
hatinya. Perlahan Dorna turun dari kereta, demikian pula Yudistira yang maju tanpa
menggunakan senjata. Dorna pun membuang pedangnya ke tanah, mereka saling mendekat.
Dorna memeluk raja yang terkenal jujur dan bijaksana itu.
"Benarkah Aswatama mati?" bisiknya dengan suara parau.
Yudistira memeluknya erat, terdiam beberapa saat.
"Katakan padaku, wahai Yudistira. Katakan, wahai kejujuran, katakan bahwa benar
Aswatama, anakku telah mati."
"Benar. Aswatama telah mati," jawab Yudistira pendek. Langit gelap oleh duka cita.
Dorna gemetar melepas pelukannya. Matanya basah menatap Yudistira. Yudistira
menunduk. Bibirnya gemetar.
"Mengapa guruku menangisi kematian? Bukankah guru mengajarkan kepada kami
bahwa setiap nyawa yang mati di medan laga adalah sekuntum kemuliaan bagi alam..." ucap
Yudistira seolah tertelan keriuhan sorak-sorai pembantaian manusia.
Air mata Dorna menderas. Tubuhnya seakan melayang tak menapak bumi. Dia undur
beberapa langkah menjauhi Yudistira. "Kaulah kejujuran itu, Yudistira. Hanya kaulah yang
kupercaya. Bukan kematian Aswatama yang kutangisi, tapi dusta yang baru saja kau ucapkan,
yang kusesali. Apa lagi yang akan kuperoleh di dunia ini, manakala kejujuran telah melahirkan
dusta? Oh, Yudistira, Yudistira.. tak ada lagi yang bisa kupercaya. Dunia pun bahkan tak punya

104
pegangan lagi dalam berputar, karena kejujuran telah mendustainya."
Senja merah tutun menyelimuti jenazah mahaguru Dorna. Tak satu pun bibir mampu berucap.
Hanya dupa mengiringkan kepergiannya menuju alam kebebasan yang sejati.
Senja itu, sesuatu telah terjadi dan tak akan pernah bisa diperbaiki.***
Kepada Ki Manteb Soedharsono, selamat mementaskan Dorna Gugur
Chantia Building, lt.2

Maaf Kalau...
(gambar 18)

Kalau saja, ya, kalau saja kami mau memikirkannya, tentu tak akan begini jadinya. Jika
saja kami mau memikirkan bahwa matahari tidak hanya satu, bulan bukan cuma yang kita
saksikan, dan lembah tempat kita hidup ini bukan hanya ini... tentu kejadian seperti ini tak akan
pernah terjadi.
Aku melihat bahwa kami semua hanyalah sekelompok manusia berkacamata kuda.
Kuda yang hanya patuh pada cambuk dan tali kekang. Kuda yang hanya tunduk pada perintah
kusir, serta gembira ketika menerima seember dedak dan seikat rumput setiap kali berhenti di
sebuah tempat. Entah apa yang sebenarnya kami pikirkan tentang hidup ini, sehingga apa yang
kami saksikan di depan mata itu sajalah yang dapat disebut kehidupan?
Hidup kami hanya dibatasi oleh terbit dan tenggelamnya matahari. Hanya dengan satu
komando, kami bergerak dan juga hanya dengan satu komando kami berhenti. Hidup hanya
dari upah ke upah. Hidup hanya dari kelelahan yang satu menuju pada kelelahan yang
berikutnya. Nyaris tanpa variasi. Nyaris tanpa keriangan. Kalaupun ada yang kami sebut
keriangan, mungkin sesekali tercipta gelak tawa di meja judi di akhir bulan.
Kalau saja, ya, kalau saja kami mau menggunakan akal dan nurani kami sedikit saja
untuk memahami mengapa bayi yang dilahirkan Sripah begitu adanya, tentu bayi itu masih
hidup sampai saat ini. Ah, terlalu cepat mungkin aku menceritakan keadaan kami. Maaf.
Tetapi, itulah yang terjadi pada kami. Aku tidak mengerti dengan alasan apa aku
menuliskan suratku ini kepadamu. Karena, begitu mereka mengetahui bahwa ini semua karena
aku, artinya aku menghadapi sebilah golok yang akan mengerat leherku. Tetapi, itulah yang
ingin kulakukan. Aku tak ingin ini semua berakhir seperti ini. Tidak. Aku ingin pada suatu kali,
entah kapan, kau bisa mengatakan hal sebenarnya tentang kami.

105
Terus terang, aku menyesali perbuatan terkutuk itu, yang kami lakukan bersama-sama
atas bayi itu. Tak bisa kubayangkan seumur hidupku, aku telah ikut membunuh bayi suci,
mungil menawan hati itu, hanya karena di punggungnya tumbuh sepasang sayap putih.
Sebentar, aku terlalu jauh lagi melompat-lompat.
Setahun yang lalu, desa kami mendapat tambahan warga baru. Warga baru itu adalah
sesosok bayi yang dilahirkan oleh seorang wanita yang kami kenal dengan nama Sripah. Entah
mengapa dia bernama demikian, aku tak tahu pasti. Yang aku tahu, dia adalah seorang janda
muda. Dia menjanda setelah ditinggal pergi suaminya, entah ke mana dan entah mengapa.
Tahu-tahu aku dengar kabar bahwa dia sudah menjadi janda.
Beberapa bulan setelah suaminya pergi, aku mendengar kabar bahwa dia hamil. Yang
menyampaikannya padaku entah siapa. Pokoknya aku mendengar kabar dia hamil. Jelas, kabar
itu menjadi gunjingan orang sekampung, namun Sripah agaknya tak ambil pusing.
Tiap hari kami amati perutnya kian membesar. Bahkan, ada yang mengatakan
kemungkinan bayinya kembar. Lalu, ada yang membantah bahwa mustahil kembar karena
suami Sripah—kata yang membantah itu—bukan dari keluarga yang memiliki "bakat" kembar.
Mungkin Sripah sendiri memiliki "bakat" kembar, begitu kata yang lain, tetapi yang juga
dibantah dengan alasan yang sama.
Aku sendiri sebetulnya tak ambil peduli. Mau berasal dari keluarga kembar atau tidak,
atau apakah betul bayinya kembar atau tidak, benar-benar aku tak peduli.
"Lo, sampean, kan, orang sekolahan. Sampean, kan, orang pinter… masa sampean
tidak peduli pada lingkungan sampean?" begitu protes seseorang pada saya.
"Sripah itu siapa? Saya kenal pun tidak. Sampean kenal dia?" jawab saya agak jengkel.
"Tidak."
"Terus, seandainya bayinya kembar... mau apa, coba?" desak saya.
"Artinya, dia hamil bukan dengan suaminya...," jawabnya ringan.
"Terus kenapa?"
"Lo, kok, terus kenapa... Ya..., harus diusut mengapa dia bisa hamil, padahal dia sudah
tidak bersuami lagi...."
"Apa betul begitu? Jangan-jangan sebetulnya dia sedang hamil muda ketika suaminya
minggat...."
"Pokoknya harus diselidiki, jangan seperti inilah keadaannya...."
Aku diam. Sulit melawan manusia berotak bata merah ini.
Untuk apa pula kehidupan pribadi manusia diselidiki seperti itu. Terus, seandainya dia
sudah tahu semuanya, mau apa?

106
Nah, pada hari kelahiran si bayi, kami semua bertandang ke rumah Sripah. Ternyata,
bayi Sripah tidak kembar. Begitu menyaksikan sendiri bahwa yang ada di dalam kandungan
Sripah tidak kembar, aku sengaja memerhatikan wajah-wajah yang dulu pernah bertaruh dan
saling bantah. Seperti kau duga: tak ada apa-apa, seolah kejadian tempo hari itu lenyap
diembus angin.
Bayi merah itu lahir lewat bantuan Mak Ginah, si dukun bayi.
"Mirip angsa…," bisik salah seorang di antara kami.
"Mungkinkah dia anak jin?" gumam yang lain.
Namun, itu semua tidak pernah membuat kami berpikir ke arah lain. Seakan-akan
"keanehan" ini, yang terjadi di tengah-tengah kehidupan kami ini, adalah kesalahan alam dan
bukan sesuatu yang lain. Yang aku kian tidak mengerti, mengapa kami begitu cepat
menyimpulkan tanpa pernah benar-benar merenungkannya dengan sepenuh hati. Lantas dengan
kesimpulan itu, kami sepakat harus melenyapkan makhluk tanpa dosa itu dari kehidupan kami.
Itu yang tak bisa kumengerti.
Pernahkah kami berpikir siapakah Sripah yang selama ini kami kenal? Kami cuma
mengenalnya sebagai perempuan nakal yang hidupnya selalu berselimutkan kelam malam,
entah bersama siapa. Seorang perempuan sintal, dengan gelak tawanya yang memecahkan
berahi lelaki. Seorang perempuan dua puluh tahunan yang jika mandi di kali tak pernah
menggunakan kain penutup dan membiarkan angin membelai seluruh permukaan tubuhnya.
Kami semua, para lelaki dusun ini, rasanya, pernah menyaksikan keindahan tubuhnya dari
balik semak-semak. Bukankah dia juga tumbuh dalam diri kami, sejak kami kanak-kanak dulu?
Sripah si pelacur telah melahirkan bayi bersayap. Yang menurut kami mirip angsa, atau
makhluk bukan manusia. Yang menurut kami, karena berbeda dari kami, maka wajib
dilenyapkan. Yang menurut kami, karena tak sama dengan kami, wajib disingkirkan
keberadaannya dari muka bumi ini. Dan anehnya, pendapat itu, muncul bersamaan dengan
kutipan kalimat suci bahwa Tuhan tak pernah membedakan makhluknya kecuali pada
kesungguhan makhluk tersebut mengabdi kepada-Nya. Aku tak mengerti mengapa kami hanya
bersembunyi di balik kalimat suci, tanpa sepenuhnya menyadari kesuciannya.
Setiap kali kupikirkan perbuatan kami, wajah mungil suci bagai malaikat itu
membayang di pelupuk mataku. Matanya yang masih terpejam, rambutnya yang ikal hitam,
serta senyum kecil yang kadang melintas di bibirnya yang mungil itu, selalu membuatku
menangis. Siapakah kau bayi mungil bersayap? Apakah kau dilahirkan sebagai sebuah
peringatan kepada kami, yang dengan sengaja membunuh anugerah ilahi? Apakah kau lahir

107
sebagai anugerah itu sendiri? Atau sebaliknya, kau lahir sebagai cambuk hukuman atas
kebodohan yang terpelihara rapi di kehidupan kami?
Oh, makhluk mungil nan suci, kubayangkan sayap putihmu mengepak perlahan
mengitari kampung. Lalu dengan celoteh mungilmu, kau sapa pintu-pintu rumah kami dengan
kesejukan senyummu. Kubayangkan bola matamu sebening telaga, berbinar meluluhkan
keangkuhan hati manusia. Sayap putihmu akan membelai-belai kelelahan kami, sehingga kami
dapat benar-benar terlelap dan enggan terjaga kembali.
Maaf, aku ngelantur lagi dan melompat-lompat lagi.
Ya, sungguh sebuah pukulan dahsyat bagi jiwaku. Itulah mungkin yang membuat
pikiranku selalu meloncat-loncat. Maafkan jika suratku ini tak beraturan, karena peristiwa itu
benar-benar menggangguku.
Lahirnya bayi Sripah, yang kemudian kami ambil dan beberapa saat kemudian kami
bunuh, sungguh sesuatu yang berada di luar nalarku. Aku menyesali diri karena tak mampu
mencegah. Aku mengutuki diri karena mengikuti pikiran manusia berotak dengkul ini.
Tetapi, wajahnya jernih, mirip boneka mainan anakku. Sepasang sayap putih yang
masih tertangkup di punggungnya itu benar-benar indah. Layaknya, bayi itu adalah jelmaan
malaikat. Ah, mungkin kau menganggapku gila. Aku tak keberatan jika kau tuduh gila, karena
memang apa yang kulihat adalah sesuatu yang di luar kemampuan kerja nalar manusia. (Ah,
maaf, jika aku berani membawa-bawa nalar dalam percakapan ini).
Tahukah kau ketika sepasang tanganku ini mulai mencabut hak hidup bayi merah yang
bahkan tak menangis itu? Ah, tidak, sebaiknya tidak usah kuceritakan, karena aku yakin kau
bisa membayangkan betapa sebuah kekejaman begitu saja lahir tanpa sebab yang jelas. Namun,
yang lebih membuatku mual adalah, begitu bayi itu tak bernapas lagi, mereka—orang-orang
itu, bersorak girang, layaknya pendukung kesebelasan yang menang pertandingan. Mereka
bahkan ada yang bertangisan bahagia. Bahagia!
Aku, sejak itu, tak bisa berbuat apa-apa. Bahkan, rasanya, aku tak mampu berpikir apa-
apa. Sering kali, aku tiba-tiba mendapati diriku tengah meraung-raung tak keruan di tengah
ladang kering. Atau, tiba-tiba kusadari bahwa mulutku penuh jerami, karena telah memakannya
sesaat sebelum kesadaranku kembali tadi.
Aku dikejar-kejar pertanyaan: mengapakah perbedaan ini harus berakhir dengan
kematian? Apa salahnya seorang manusia memiliki sepasang sayap? Bukankah, apa pun yang
ada di dunia ini tercipta atas kehendak Sang Maha Pencipta? Ya, apa salahnya? Bukankah di
sekitar kita ini begitu banyak manusia yang memiliki tanduk, tak ubahnya sapi atau kerbau?
Juga, bukankah sangat banyak, kian banyak malah orang-orang yang di sekitar kita—mungkin

108
juga keluarga atau sanak famili kita sendiri, yang bertaring layaknya harimau, ular atau babi
rusa?
Aku tiba-tiba seperti hidup di dunia yang asing sekali. Tahukah kau, kawan, rumahku
hanyalah sebuah rumah kecil biasa. Dengan pintu dari kayu meranti. Tak ada halaman yang
berarti, hanya sedikit lebih lebar dari sebuah kursi. Pagarnya pun hanyalah beluntas dengan
hiasan sulur-sulur tali putri. Kadang aku meremas daun-daun beluntas itu lalu menghirup
kesegaran aromanya. Tetapi, sejak peristiwa itu, aku jadi tak mengenali lagi di mana kau
berada. Maksudku, aku memang masih tahu bahwa itu rumahku, lengkap dengan bagian-
bagiannya, namun ada yang terasa aneh, asing dan... terus terang agak menakutkan.
Apalagi kalau aku harus bercermin... ah, aku seperti menyaksikan sesuatu yang
mengerikan. Ya, sejak saat itu, aku seperti tidak melihat di mana seraut wajah yang sejak kecil
kukenal itu. Ah, kalau saja, ya, kalau saja saat itu kau segera membalas suratku, apalagi mau
datang kemari, tentunya semuanya tak berlarut-larut seperti ini.

Sejarah Penerbitan

1. Anjing belum pernah dipublikasikan


2. Bom belum pernah dipublikasikan
3. Kambing belum pernah dipublikasikan
4. Nam-ma, Namamu… belum pernah dipublikasikan
5. Penyair dan Ular belum pernah dipublikasikan
6. Randu belum pernah dipublikasikan
7. Baterai belum pernah dipublikasikan
8. Wayang belum pernah dipublikasikan
9. Di Taman Kota Singapura Matra
10. Saya, Anjing Matra
11. Kuda Kayu Bersayap www. Cybersastra. net
12. Si Rambut Panjang Itu Lisa
13. Umairah Kompas, 6 Februari 2000
14. Kapan Pulang? Suara Pembaruan, 10 Mei 2003
15. Laki-Laki yang Menusuk Bola Matanya Kompas, 6 Januari 2003
16. Lho Nova, 3 Mei 2003

109
17. Dusta Itu Suara Merdeka, 19 Januari 2003
18. Maaf Kalau Media Indonesia, 29 Juni 2003

Tentang Penulis
(Foto Penulis)

Yanusa Nugroho lahir di Surabaya, 2 Januari 1960. SD di YMCA Surabaya, hanya sampai
kelas 4, lalu pindah ke Palembang hingga selesai, 1973, di SD Methodist II. Tahun 1975
melanjutkan ke SMPN I Sidoarjo-Jawa Timur, hingga selesai tahun 1977. Kemudian
melanjutkan SMA di SMA N 43, Jakarta, hingga selesai tahun 1980. Pernah duduk di IPB tapi
drop out, lalu melompat ke Fakultas Sastra UI dan selesai tahun 1989.
Sejak 1988 sampai 1991 duduk sebagai redaksi majalah Berita Buku IKAPI. Pertengahan
1991 mencoba menjadi copywriter di Adwork Advertising. Namun, 18 bulan kemudian
mencoba ke Indo-Ad, dan ternyata bertahan sampai 1998 dengan jabatan terakhir Senior
Copywriter.
Sampai saat ini masih tetap menulis cerpen, membuat company profile (baik buku maupun
film) dsb, yang masih berkaitan dengan dunia iklan. Kini, tinggal di Bukit Nusa Indah, Ciputat
bersama istri dan 2 anaknya (Ratri, 11 tahun dan Rahmadi, 5 tahun).
Ketertarikannya yang kuat di bidang seni pewayangan, khususnya wayang kulit,
membawanya berkenalan akrab dengan Ki Manteb Soedharsono dan berhasil membuat VCD
wayang kulit berdurasi 90 menit. VCD pertamanya Dewa Ruci sudah terjual ke Jepang dan
Amerika. Bahkan, menjadi bahan studi di Departemen Teater & Film, Universitas Glasgow,
Inggris. Konsep pertunjukan wayang kulit televisinya, KALASINEMA, sempat tampil di
stasiun televisi swasta.
Yanusa pernah menjadi salah satu pemenang untuk lomba ”Kolom Ayah” dan ”Surat” di
majalah Ayah Bunda, sedangkan ”Loly” dan ”Dinar” menjadi salah satu pemenang dalam
lomba cerita anak-anak di majalah yang sama. Pernah membuat 7 dari 13 skenario film
animasi untuk cerita anak-anak, Dongeng untuk Aku dan Kau bersama Red Rocket, Bandung.
Pernah meraih penghargaan Multatuli dari Radio Nederland, untuk cerpennya ”Kunang-
Kunang Kuning” (1987). Sebagian besar cerpen-cerpennya yang sudah dibukukan adalah
”Bulan Bugil Bulat”, ”Cerita di Daun Tal Menggenggam Petir”, dan yang keempat ”Segulung

110
Cerita Tua”. Novelnya yang diangkat dari dunia pewayangan Di Batas Angin, baru-baru ini
diluncurkan, menyusul kemudian Manyura, novel kedua, juga dari dunia pewayangan.
Salah satu cerpennya ”Segulung Cerita Tua” setelah dimuat di Kompas Minggu (tahun
1998) dinyatakan ”tidak pernah dimuat” oleh Kompas, karena diprotes pembaca. Uniknya,
kumpulan cerpennya yang ke-4, diterbitkan oleh Penerbit KOMPAS, menggunakan judul
kumpulan Segulung Cerita Tua, dan sempat menjadi nominasi Khatulistiwa Award th. 2002.

111

Anda mungkin juga menyukai