Anda di halaman 1dari 3

Jangan tanyakan siapa aku.

Sebab namaku takkan kau temukan dalam catatan sejarah, apalagi


pada monumen di tengah bundaran kota. Jangan pernah tanyakan siapa aku. Aku tak lebih dari
seorang pecundang dari desa kecil Pulau Jawadwipa, penyandang nama sejuta harapan
pemberian ayahanda. Jangan sekali-kali kau tanyakan, sebab sesungguhnya diri ini hanyalah
seorang saksi kesengsaraan bangsanya yang terlalu pengecut untuk mati demi berteriak
bermerdeka, yang tunggang langgang meninggalkan teman seperjuangannya bergelimpangan
bersimbah darah di medan perang.
------
Dalam rumah reyot bak kapal pecah ini aku terduduk diam. Di sekeliling perabot yang hancur
berserakan, tak karuan, aku termangu. Mataku terpaku pada secarik kertas lusuh yang kudekap
sedari tadi, tak kuasa menahan air mata. Para kulit putih itu meringkus ayahku, pria tua renta
yang tak lagi sanggup menjalankan aturan tanam paksa yang dibuat mereka. Lantas dianggap
memberontak, dijadikan mangsa dari moncong G-30 yang acapkali ditenteng kemana-mana itu.

Lelaki tua yang semasa hidup hingga akhir hayat mengharapkan “pahlawan” yang dijanjikan
Sang Hyang Kadhiri.
“Dari arah utara akan dating Bangsa Katai, kulit kuning bermata sipit, menggeser kekuasaan
kulit putih.”
“Hiduplah sampai saat itu tiba, nak.”
Demikianlah bunyi baris dalam surat wasiat itu.

Padi ditanam tumbuh ilalang, harapan tetaplah harapan, sewaktu-waktu dapat pupus jua. Singkat
ceruita bangsa yang dijanjikan itu tiba di depan gapura desa. Papan kayu bertuliskan
“Kaplongan” berdiri tegak di sebelahnya. Mengaku sebagai saudara tua, tentara Nippon itu
diterima dengan baik oleh warga desa. Hari-hari diisi dengan menebar benih janji. Berbagai
propaganda digadangkan demi memikat hati para pribumi. Yang tentu saja akan dipanen sebagai
budak di kemudian hari.

Angin segar segera berlalu. Janji kemerdekaan hanyalah omong kosong. Alat guna
memperpanjang kekuasaan, menghimpun bala bantuan juga bahan pangan teruntuk misi
penguasaan benua. Rupanya Bangsa Katai ini lebih tidak tahu diri. Segala sumber daya yang
dinilai berharga tak luput dari rampasannya. Petani ibarat kerbau, pemuda jadi tentara, wanita
dan gadis-gadis kembang desa jadi wanita penghibur, pelacur tentara Nippon.

Semua tak dapat menjadi lebih buruk lagi, sampai suatu ketika aksi perampasan padi untuk
pertama kalinya mengalami penolakan, oleh salah satu rakyat Kaplongan. Haji Aksan namanya.
Berkat Keberaniannya itu, ia diringkus para polisi, digiring paksa ke Balai desa. Namun
kemurkaan telah memuncak, dendam telah kesumat, hal sekecil apapun dapat menjadi pemicu
ledaknya. Selanjutnya warga menyerbu balai desa, aku salah satunya. Kami menyerang polisi
dan perangkat camat yang ada di sana. 1 pingsan. 2 gugur. Sisanya berhasil lari dari amukan
warga. Dengan terbunuhnya 2 polisi Jepang, mau tidak mau kami pasti akan berurusan dengan
pihak kemiliteran.

Malam itu, beratus-ratus orang datang ke langgar Kiai Arsyad, seorang guru agama yang
disegani di desa itu, untuk meminta air suci yang konon akan menjadikan kebal terhadap
serangan kafir. Penghalang telah dipasang sepanjang jalan utama yang menghubungkan desa
dengan dunia luar. Siap menyambut balas dendam tentara Nippon.

Pagi berikutnya, tentara jepang tiba bersama polisi dan tentara pribumi. Mereka datang dengan
truk hingga penghalang jalan tidak menjadi masalah yang berarti. Para petani mulai menyerang
dengan segala senjata yang ada. Segala batu, batu bata, bambu runcing dilemparkan. Aku tak
mau kalah. Kuangkat golokku dan kulayangkan di udara, telak mengenai salah satu tentara
nippon hingga ia menjerit kesakitan. Rasakan itu orang biadab.

Tentara Jepang mulai membalas dengan tembakan.


Dddrrr dddrr dddrrr drrr!!! Pasukan nippon memberondong kerumunan petani dengan ratusan
peluru. Peluru-peluru itu ibarat air yang disemprotkan deras dari selang.
"Aaaaaaaa!!!" ribuan teriakan memenuhi udara. Barisan depan mulai berguguran sementara
bagian belakang terus merangsek maju. Namun sang pemimpin tetap berdiri tegak, tak lain dan
tak bukan adalah sang ulama yang dihormati dan disegani seluruh desa.

Perlawanan terus berlanjut, korban semakin berjatuhan, mayat bergelimpangan dimana-mana.


Beberapa orang lagi terbunuh, yang lainnya melarikan diri.
“Sampai darah penghabisan!” teriak barisan terdepan.

Hari mulai senja, kulihat tentara Nippon itu menghancurkan pasukan kami. Betapa besarpun
dendamku tak dapat mengalahkan rasa takut yang berkecambuk di dada. Aku belum siap. Aku
tidak mau mati. Secepat kilat aku berbalik arah, lantas lari tunggang langgang.
“Mau kemana kau? Hei?” salah satu pasukan pemberontak yang tersisa menatapku heran dan
berusaha menahanku.

Jiwaku yang sedari tadi meronta-ronta akan kebebasan, seakan memerintahkan ragaku untuk
jangan berhenti. Mempercepat langkah, menutup telinga dari segala teriakan yang menahanku
untuk pergi. Memintaku kembali. Di ladang ini aku berlari, melintasi jiwa-jiwa yang sudah tidak
bernyawa. Menahan semerbak anyir darah yang bertebaran dimana-mana. Inginku segera
meninggalkan lapangan, membiarkan rekan-rekanku beristirahat. Sebab kini mereka telah tiada
Sayang, apa mau dikatakan jika Allah berhendak lain. Seakan dewi fortuna tidak berpihak
padaku, salah satu tentara Nippon itu melihatku lantas memuntahkan peluru dari senjata.
Dorr!

Sebuah peluru 7.62 mm dari G3 miliknya menembus dadaku. Aku tersungkur, nafasku sesak.
Darah segar menyucur deras.

“Baskara Prabaswara Baureksa, Laki-laki yang memiliki kekuatan cahaya terang senantiasa
melindungi dari kegelapan. Kuharap kau dapat tumbuh layaknya namamu ini, nak. Jadilah
cahaya yang selalu menyinari negri ini”.

Sekujur tubuhku mulai terasa dingin Apakah akhirnya akan selesai? atau bahkan ini adalah awal.
Apakah kita akan menang? ingin rasanya memastikan. Namun apalah daya, padahal nyawa ini
tinggal sehasta. Mata ini mulai lelah untuk tetap terbuka. Lambat laun, jendela kehidupan ini
mulai menutup, hingga mengintip, sampai semuanya menjadi gelap.

Jangan tanyakan siapa aku. Sebab namaku takkan kau temukan dalam catatan sejarah, apalagi
pada monumen di tengah bundaran kota. Jangan pernah tanyakan siapa aku. Aku tak lebih dari
seorang pecundang dari desa kecil Pulau Jawadwipa, penyandang nama sejuta harapan
pemberian ayahanda. Jangan sekali-kali kau tanyakan, sebab sesungguhnya diri ini hanyalah
seorang pengecut yang takut mati demi berteriak bermerdeka. Hingga semuanya menjadi sisa-
sia, dan semestapun menghukumnya.

Anda mungkin juga menyukai