Anda di halaman 1dari 4

Insiden Hotel Yamato

Pada tanggal 1 September 1945 terdapat seruan untuk secara serentak mengibarkan bendera
Merah Putih di seluruh Indonesia. Di Surabaya, pada tanggal 18 September 1945, pasukan Belanda
dibawah Mr. W.V.Ch. Ploegman mengibarkan bendera triwarna Belanda (merah, putih, biru) di
Hotel Yamato tanpa persetujuan RI. Keesokan harinya pada tanggal 19 September 1945,
berkumpullah para pemuda Surabaya yang geram melihat kembali berkibarnya bendera Belanda.

Residen Sudirman yang kala itu menjabat sebagai Residen Daerah Surabaya datang ke Hotel
Soedirman dan mendapati adanya kerumunan massa. Residen Sudirman bersama Sidik dan
Hariono kemudian memasuki hotel Yamato dan meminta Mr. Ploegman untuk menurunkan bendera.
Negosiasi gagal, mereka menolak permintaan tersebut, yang artinya Belanda tidak mengakui
kemerdekaan Indonesia. Ploegman mengeluarkan pistol dan mengancam Sudirman.

Hariyono mengamankan Sudirman keluar hotel, sementara Sidik berhasil menghabisi Mr.Ploegman
yang tewas dicekik. Namun, Sidik pun juga tewas karena tertembak oleh tentara Belanda yang
mendengar adanya letusan pistol.

Disisi lain, para pemuda Surabaya berebut untuk dapat menaiki hotel dan menurunkan bendera.
Hariyono yang berhasil keluar dari hotel kemudian terlibat dalam pemanjatan tiang bendera
bersama Kusno Wibowo. Bendera Belanda berhasil diturunkan untuk dirobek warnanya menjadi
merah dan putih kemudian mengereknya kembali ke tiang bendera.

Kedatangan AFNEI

Allied Forces Netherlands East Indies (AFNEI) adalah sekelompok pasukan Sekutu yang datang ke
Indonesia tanggal 29 September 1945.  Kedatangan Pasukan Sekutu atau AFNEI ke Indonesia
dipimpin oleh Sir Philip Christison.  Pasukan AFNEI bertugas mengamankan wilayah Indonesia,
yaitu Pulau Jawa dan Sumatera, menjaga perdamaian, membebaskan orang Belanda dan Eropa
lainnya yang sebelumnya ditahan oleh Jepang. Selain itu, AFNEI juga bertugas untuk mengadili
pasukan Jepang yang diduga melakukan kejahatan perang selama pendudukannya di Indonesia. 

Pasukan AFNEI hanya bertugas di Sumatera dan Jawa dan terdiri dari 3 divisi :
1. Divisi India ke-23, di bawah pimpinan Mayor Jendral D.C. Hawthorn yang bertugas untuk
daerah Jawa Barat
2. Divisi India ke-5, di bawah pimpinan Mayor Jenderal E.C. Marsergh yang bertugas untuk
daerah Jawa Timur
3. Divisi India ke-26, di bawah pimpinan Mayor Jenderal H.M. Chambers yang bertugas untuk
daerah Sumatera. 

Awalnya, kedatangan AFNEI disambut baik oleh bangsa Indonesia, karena mereka
mengumandangkan perdamaian. Salah satu bentuk respons pemerintah Republik Indonesia
menyambut kedatangan pasukan Sekutu adalah memerintahkan semua pejabat daerah untuk
membantu kelancaran tugas AFNEI.

Tetapi, AFNEI ternyata membawa pasuka NICA secara diam-diam.  Karena merasa tugasnya tidak
akan berhasil tanpa bantuan pemerintah Indonesia, Letjen Sir Philip Christison melakukan upaya
politik dengan berunding bersama pihak Indonesia pada 25 Oktober 1945.  Hasilnya adalah
pengakuan Republik Indonesia secara de facto oleh AFNEI sebagai pimpinan militer sementara di
Indonesia.

Namun, pada kenyataannya, pasukan Sekutu justru membebaskan dan mempersenjatai para
tahanan Belanda.  Pasukan Sekutu juga berupaya melucuti dan membubarkan pasukan Tentara
Keamanan Rakyat (TKR).  Peristiwa ini lantas menyebabkan konflik dan berbagai pertempuran
terjadi antara pasukan Sekutu dengan tentara Indonesia di berbagai daerah.

Pada tanggal yang sama yakni 25 Oktober 1945, pasukan AFNEI yang dipimpin Brigadir Jenderal
A.W.S. Mallaby mendarat di Tanjung Perak, Surabaya. Dalam rombongan tersebut turut ikut pula
tentara Belanda dan seradadu Ambon yang berpihak ke Belanda.

Kemudian pada hari kedua pendaratan, AFNEI melakukan penyerangan ke Penjara Kalisosok.
Mereka melepaskan para tahanan berbangsa Belanda yang ditawan pemuda Surabaya.
Penyerangan Penjara Kalisosok pada tanggal 27 Oktober 1945 membuat marah para pemuda
marah dan melakukan aksi penyerangan terhadap pos – pos pasukan Inggris dibawah AFNEI.
Pertempuran hebat terjadi di Jembatan Wonokromo.

Tewasnya AWS Mallaby

A.W.S. Mallaby tewas setelah ikut dalam bentrokan dengan milisi Indonesia di Jembatan Merah.
AWS. Mallaby tewas di mobil Buick miliknya pada 20.30 tanggal 30 Oktober 1945 yang terbakar
oleh granat pemuda Surabaya. Komandan Angkatan Perang Inggris di Indonesia Jenderal
Christison menyebut tewasnya Mallaby sebagai satu pembunuhan yang kejam. Dia menyatakan,
akan menuntut balas terhadap rakyat Indonesia, dan khususnya Surabaya.

Tewasnya A.W.S. Mallaby membuat Mayor Jenderal Mansergh mengeluarkan ultimatum


penyerahan senjata pada 10 November 1945 melalui selebaran di kota Surabaya. Mansergh
mengancam apabila pasukan Surabaya tidak menyerahkan senjata maka Sekutu akan
menghancurkan Surabaya. Semua pimpinan bangsa Indonesia dan para pemuda harus datang
paling lambat pada 10 November 1945 pukul 06.00 di tempat yang telah ditentukan. Pihak Indonesia
juga diharuskan mengangkat kedua tangan ke atas kepala untuk menandatangani pengakuan
menyerah kepada Sekutu.

Kronologi

25 Oktober — Brigjen A.W.S. Mallaby bersama rombongan 3.000—4.000 pasukan AFNEI dan dua
batalion Indian Army (Mahratta dan Rajput) berlabuh di Tanjung Perak. Pasukan itu mengemban
tugas melucuti senjata tentara Jepang sekaligus membebaskan tawanan pasukan Dai Nippon.

Para tentara Sekutu kemudian membangun pos pertahanan di Benteng Miring


Sehari usai kedatangannya, beberapa pemuda bersama Gubernur Soerjo sempat berunding dengan
Mallaby dan dicapai kesepakatan bahwa tentara Sekutu hanya akan melucuti senjata Jepang dan
setelah itu segera keluar dari Surabaya lewat laut. Namun, beberapa jam setelah perundingan,
tentara Sekutu dari Batalyon Mahratta sudah merangsek jauh sampai ke Wonokromo. Di sana,
mereka mendirikan sarang senapan mesin.

26 Oktober — Atasannya Mallaby, Mayjen Douglas Hawthorn menginstruksikan lewat telegram


untuk segera menduduki Surabaya.

27 Oktober — Ribuan pamflet mendarat di Surabaya lewat sebuah pesawat militer khusus. Isinya
provokasi bahwa hanya Sekutu dan militer yang boleh membawa senjata, selain itu wajib
diserahkan dalam kurun tenggat 48 jam. Bila kedapatan ada yang melanggar maka akan ditembak
di tempat. Penebaran pamflet Hawthorn diikuti langkah pasukan Sekutu menduduki banyak tempat
strategis di Surabaya. Pangkalan Udara Perak, kamp tahanan Darmo, dan Rumah Sakit Simpang.
Penebaran pamflet itu memicu kontak senjata pertama antara arek-arek Suroboyo dengan tentara
sekutu.

28 Oktober — Sekira pukul 04.00—04.30, pertempuran kecil telah terjadi di beberapa sudut kota.
Sekutu yang hanya bermodal sebanyak 3.000—4.000 pasukan dikepung 2.000 tentara Indonesia
dan 140.000 massa pemuda.

29 Oktober — Adu senjata sempat mereda ketika Soekarno, Hatta, dan Amir Sjarifuddin tiba di
Surabaya setelah diminta Harthown mendinginkan suasana. Perwakilan pimpinan pusat RI
berunding dengan Mallaby dan mencapai kesepakan gencatan senjata. Namun, gencatan senjata
tidak benar-benar terjadi sebab banyak bentrok kecil tetap berlangsung. Arek-arek Suroboyo
bersikeras menyapu bersih tentara Sekutu yang terpojok.

30 Oktober — Pagi hari, Hawthorn tiba di Surabaya untuk berunding dan bersedia membatalkan
pamflet 27 Oktober 1945. Setelah selesai, Mallaby dan petinggi Surabaya melakukan pawai mobil
guna menyampaikan kesepakatan damai agar pertempuran mereda. Mobil Mallaby menuju ke
Jembatan Merah tapi terhenti di depan Gedung Internatio karena kerumunan massa. Pasukan
Inggris waktu itu masih bertahan di Gedung Internatio, tetapi terpojok oleh kepungan massa
pemuda. Mallaby terjebak di tengah kerumunan massa dan Baku tembak antara massa pemuda
dan tentara Inggris. Lepas senja 30 Oktober 1945, Mallaby tewas tertembak dan terpanggang
granat yang meremukkan mobilnya.

31 Oktober — Berita terbunuhnya Mallaby menyulut amarah kubu Sekutu. Letjen Phillip Christison
mengancam mengerahkan seluruh pasukannya ke Surabaya jika pembunuh Mallaby tidak
diserahkan. Ancaman ini tidak digubris.

9 November — Mayjen E.C. Mansergh mengundang Gubernur Suryo menghadap ke kantornya di


Batavia Weg pada pukul 11.00. Sang Gubernur diberi ultimatum yang isinya pasukan Indonesia
harus dating dan berbaris membawa segala senjatanya. Kemudian datang ke muka dengan kedua.
Ultimatum ini direspon dengan kemarahan arek-arek suroboyo.

10 November — Mulai pukul 06.00, meriam kapal Sekutu memborbardir Surabaya. Ratusan mortir
dilesatkan sampai pukul 09.00. Selanjutnya, perintah langsung dari Gubernur Suryo untuk melawan
Sekutu dititahkan kepada Arek-arek Suroboyo. Pukul 09.30, pidato heroik Bung Tomo membakar
semangat para pejuang Indonesia. Seruannya disiarkan di Radio Pemberontakan Rakyat Indonesia
dan disebarluaskan secara masif. Selain Bung Tomo juga ada KH. Hasyim Asy’ari, KH. Wahab
Hasbullah serta kyai dari pesantren lain yang mengeluarkan fatwa jihad serta mengerahkan santri –
santri mereka untuk ikut dalam pertempuran. Tercatat ada 6 ribuan korban dari pihak Indonesia
dalam pertempuran Surabaya 10 November 1945. Sebaliknya, karena keunggulan senjata kubu
Sekutu hanya kehilangan sekitar 600 prajurit.

2 Desember — Pertempuran Surabaya berakhir. Perlawanan kecil masih berlangsung di beberapa


tempat, para pejuang Indonesia terpaksa mundur ke luar kota. Kubu Sekutu memang menang,
tetapi mereka kehilangan 2 jenderalnya, AWS Mallaby dan Robert Guy Loder-Symonds.
Dampak

Dampak Positif

- Mengubah cara pandang bangsa Inggris dan Belanda terhadap pejuang Indonesia
- Siaran Radio Pemberontakan Bung Tomo yang menjangkau hingga ke luar Indonesia,
berhasil mendorong dunia internasional untuk menekan Belanda dan Inggris agar
mengendurkan serangannya, bahkan mendatangkan berbagai bentuk bantuan bagi rakyat
Surabaya.

Dampak Negatif

- Kerugian ekonomi, sebab perang tentunya membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Terlebih
jika perang tersebut berakhir pada kekalahan, maka biaya yang dikeluarkan menjadi sia-sia.
- Memakan banyak korban jiwa dan kerugian bagi kedua belah pihak, yakni jatuhnya korban
sekitar 20.000 rakyat Surabaya yang sebagian besar adalah warga sipil. Selain itu
diperkirakan, sebanyak 150.000 orang terpaksa meninggalkan Kota Surabaya. Sementara
dari pihak lawan, tercatat sekitar 1600 orang prajurit Inggris tewas, hilang dan luka-luka
serta puluhan alat perang rusak dan hancur.

Anda mungkin juga menyukai