Kedatangan sekutu di Indonesia awalnya diterima dengan baik oleh pemerintah dan
rakyat Indonesia. Ternyata kedatangan sekutu diboncengi NICA, hal ini yang menimbulkan
berbagai macam pertempuran di berbagai kota menghadapi tentara jepang dan sekutu
bahwa setelah jepang menyerah kepada sekutu pada diduduki sampai kedatangan pasukan
sekutu di daerah tersebut termasuk Indonesia. Jepang berusaha menghalangi bangsa
Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan. Para pemuda Indonesia yang tergabung
dalam BKR berusaha melucuti senjata pasukan Jepang dengan alasan:
Mendapatkan senjata untuk mempertahankan kemerdekaan
Agar senjata pasukan Jepang tidak jatuh ke tangan Belanda
Agar pasukan Jepang tidak menyerang demi mempertahankan “status quo”
2. Situasi Surabaya
Sekelompok orang Belanda di bawah pimpinan Mr. W.V.Ch Ploegman pada sore hari
tanggal 18 September 1945, tepatnya pukul 21.00, mengibarkan bendera Belanda (Merah-
Putih-Biru), tanpa persetujuan Pemerintah RI Daerah Surabaya, di tiang pada tingkat
teratas Hotel Yamato, sisi sebelah utara. Keesokan harinya para pemuda Surabaya
melihatnya dan menjadi marah karena mereka menganggap Belanda telah menghina
kedaulatan Indonesia, hendak mengembalikan kekuasan kembali di Indonesia, dan
melecehkan gerakan pengibaran bendera Merah Putih yang sedang berlangsung di
Surabaya.
Tak lama setelah mengumpulnya massa di Hotel Yamato, Residen Sudirman,
pejuang dan diplomat yang saat itu menjabat sebagai Wakil Residen (Fuku Syuco
Gunseikan) yang masih diakui pemerintah Dai Nippon Surabaya Syu, sekaligus sebagai
Residen Daerah Surabaya Pemerintah RI, datang melewati kerumunan massa lalu masuk ke
hotel Yamato dikawal Sidik dan Hariyono. Sebagai perwakilan RI dia berunding dengan
Mr. Ploegman dan kawan-kawannya dan meminta agar bendera Belanda segera diturunkan
dari gedung Hotel Yamato. Dalam perundingan ini Ploegman menolak untuk menurunkan
bendera Belanda dan menolak untuk mengakui kedaulatan Indonesia. Perundingan
berlangsung memanas, Ploegman mengeluarkan pistol, dan terjadilah perkelahian dalam
ruang perundingan. Ploegman tewas dicekik oleh Sidik, yang kemudian juga tewas oleh
tentara Belanda yang berjaga-jaga dan mendengar letusan pistol Ploegman, sementara
Sudirman dan Hariyono melarikan diri ke luar Hotel Yamato. Sebagian pemuda berebut
naik ke atas hotel untuk menurunkan bendera Belanda. Hariyono yang semula bersama
Sudirman kembali ke dalam hotel dan terlibat dalam pemanjatan tiang bendera dan
bersama Kusno Wibowo berhasil menurunkan bendera Belanda, merobek bagian birunya,
dan mengereknya ke puncak tiang bendera kembali sebagai bendera Merah Putih.
26 Oktober 1945, tercapai persetujuan antara Bapak Suryo, Gubernur Jawa Timur
dengan Brigjen Mallaby bahwa pasukan Indonesia dan milisi tidak harus menyerahkan
senjata mereka. Sayangnya terjadi salah pengertian antara pasukan Inggris di Surabaya
dengan markas tentara Inggris di Jakarta yang dipimpin Letnan Jenderal Sir Philip
Christison.
27 Oktober 1945, jam 11.00 siang, pesawat Dakota AU Inggris dari Jakarta
menjatuhkan selebaran di Surabaya yang memerintahkan semua tentara Indonesia dan
milisi untuk menyerahkan senjata. Para pimpinan tentara dan milisi Indonesia marah waktu
membaca selebaran ini dan menganggap Brigjen Mallaby tidak menepati perjanjian tanggal
26 Oktober 1945.
28 Oktober 1945, pasukan Indonesia dan milisi menggempur pasukan Inggris di
Surabaya. Untuk menghindari kekalahan di Surabaya, Brigjen Mallaby meminta agar
Presiden RI Soekarno dan panglima pasukan Inggris Divisi 23, Mayor Jenderal Douglas
Cyril Hawthorn untuk pergi ke Surabaya dan mengusahakan perdamaian.
29 Oktober 1945, Presiden Soekarno, Wapres Mohammad Hatta dan Menteri
Penerangan Amir Syarifuddin Harahap bersama Mayjen Hawthorn pergi ke Surabaya
untuk berunding.
Pada siang hari, 30 Oktober 1945, dicapai persetujuan yang ditanda-tangani oleh
Presiden RI Soekarno dan Panglima Divisi 23 Mayjen Hawthorn. Isi perjanjian tersebut
adalah diadakan perhentian tembak menembak dan pasukan Inggris akan ditarik mundur
dari Surabaya secepatnya. Mayjen Hawthorn dan ke 3 pimpinan RI meninggalkan
Surabaya dan kembali ke Jakarta.
Pada sore hari, 30 Oktober 1945, Brigjen Mallaby berkeliling ke berbagai pos
pasukan Inggris di Surabaya untuk memberitahukan soal persetujuan tersebut. Saat
mendekati pos pasukan Inggris di gedung Internatio, dekat Jembatan merah, mobil Brigjen
Mallaby dikepung oleh milisi yang sebelumnya telah mengepung gedung Internatio.
Karena mengira komandannya akan diserang oleh milisi, pasukan Inggris kompi D
yang dipimpin Mayor Venu K. Gopal melepaskan tembakan ke atas untuk membubarkan
para milisi. Para milisi mengira mereka diserang / ditembaki tentara Inggris dari dalam
gedung Internatio dan balas menembak. Seorang perwira Inggris, Kapten R.C. Smith
melemparkan granat ke arah milisi Indonesia, tetapi meleset dan malah jatuh tepat di mobil
Brigjen Mallaby.
Granat meledak dan mobil terbakar. Akibatnya Brigjen Mallaby dan sopirnya tewas.
Laporan awal yang diberikan pasukan Inggris di Surabaya ke markas besar pasukan Inggris
di Jakarta menyebutkan Brigjen Mallaby tewas ditembak oleh milisi Indonesia. Letjen Sir
Philip Christison marah besar mendengar kabar kematian Brigjen Mallaby dan
mengerahkan 24000 pasukan tambahan untuk menguasai Surabaya.
Setelah gencatan senjata antara pihak Indonesia dan pihak tentara Inggris
ditandatangani pada tanggal 29 Oktober 1945, keadaan berangsur-angsur mereda. Walaupun
begitu tetap saja terjadi bentrokan-bentrokan bersenjata antara rakyat dan tentara Inggris di
Surabaya. Bentrokan-bentrokan bersenjata di Surabaya tersebut memuncak dengan
terbunuhnya Brigadir Jenderal Mallaby, (pimpinan tentara Inggris untuk Jawa Timur), pada
30 Oktober 1945 sekitar pukul 20.30. Mobil Buick yang ditumpangi Brigadir Jenderal
Mallaby berpapasan dengan sekelompok milisi Indonesia ketika akan melewati Jembatan
Merah. Kesalahpahaman menyebabkan terjadinya tembak menembak yang berakhir dengan
tewasnya Brigadir Jenderal Mallaby oleh tembakan pistol seorang pemuda Indonesia yang
sampai sekarang tak diketahui identitasnya, dan terbakarnya mobil tersebut terkena ledakan
granat yang menyebabkan jenazah Mallaby sulit dikenali. Kematian Mallaby ini
menyebabkan pihak Inggris marah kepada pihak Indonesia dan berakibat pada keputusan
pengganti Mallaby, Mayor Jenderal Eric Carden Robert Mansergh untuk mengeluarkan
ultimatum 10 November 1945 untuk meminta pihak Indonesia menyerahkan persenjataan dan
menghentikan perlawanan pada tentara AFNEI dan administrasi NICA.
Mobil Buick Brigadir Jenderal Mallaby yang meledak di dekat Gedung Internatio dan
Jembatan Merah Surabaya
Tom Driberg, seorang Anggota Parlemen Inggris dari Partai Buruh Inggris (Labour
Party). Pada 20 Februari 1946, dalam perdebatan di Parlemen Inggris (House of Commons)
meragukan bahwa baku tembak ini dimulai oleh pasukan pihak Indonesia. Dia
menyampaikan bahwa peristiwa baku tembak ini disinyalir kuat timbul karena
kesalahpahaman 20 anggota pasukan India pimpinan Mallaby yang memulai baku tembak
tersebut tidak mengetahui bahwa gencatan senjata sedang berlaku karena mereka terputus
dari kontak dan telekomunikasi. Berikut kutipan dari Tom Driberg:
"... Sekitar 20 orang (serdadu) India (milik Inggris), di sebuah bangunan di sisi lain
alun-alun, telah terputus dari komunikasi lewat telepon dan tidak tahu tentang
gencatan senjata. Mereka menembak secara sporadis pada massa (Indonesia). Brigadir
Mallaby keluar dari diskusi (gencatan senjata), berjalan lurus ke arah kerumunan,
dengan keberanian besar, dan berteriak kepada serdadu India untuk menghentikan
tembakan. Mereka patuh kepadanya. Mungkin setengah jam kemudian, massa di alun-
alun menjadi bergolak lagi. Brigadir Mallaby, pada titik tertentu dalam diskusi,
memerintahkan serdadu India untuk menembak lagi. Mereka melepaskan tembakan
dengan dua senapan Bren dan massa bubar dan lari untuk berlindung; kemudian pecah
pertempuran lagi dengan sungguh gencar. Jelas bahwa ketika Brigadir Mallaby
memberi perintah untuk membuka tembakan lagi, perundingan gencatan senjata
sebenarnya telah pecah, setidaknya secara lokal. Dua puluh menit sampai setengah
jam setelah itu, ia (Mallaby) sayangnya tewas dalam mobilnya-meskipun (kita) tidak
benar-benar yakin apakah ia dibunuh oleh orang Indonesia yang mendekati mobilnya;
yang meledak bersamaan dengan serangan terhadap dirinya (Mallaby). Saya pikir ini
tidak dapat dituduh sebagai pembunuhan licik... karena informasi saya dapat
secepatnya dari saksi mata, yaitu seorang perwira Inggris yang benar-benar ada di
tempat kejadian pada saat itu, yang niat jujurnya saya tak punya alasan untuk
pertanyakan ... "
10 November 1945
Setelah terbunuhnya Brigadir Jenderal Mallaby, penggantinya, Mayor Jenderal Robert
Mansergh mengeluarkan ultimatum yang menyebutkan bahwa semua pimpinan dan orang
Indonesia yang bersenjata harus melapor dan meletakkan senjatanya di tempat yang
ditentukan dan menyerahkan diri dengan mengangkat tangan di atas. Batas ultimatum adalah
jam 6.00 pagi tanggal 10 November 1945.
Ultimatum tersebut kemudian dianggap sebagai penghinaan bagi para pejuang dan
rakyat yang telah membentuk banyak badan-badan perjuangan / milisi. Ultimatum tersebut
ditolak oleh pihak Indonesia dengan alasan bahwa Republik Indonesia waktu itu sudah
berdiri, dan TKR (Tentara Keamanan Rakyat) juga telah dibentuk sebagai pasukan negara.
Selain itu, banyak organisasi perjuangan bersenjata yang telah dibentuk masyarakat, termasuk
di kalangan pemuda, mahasiswa dan pelajar yang menentang masuknya kembali
pemerintahan Belanda yang memboncengi kehadiran tentara Inggris di Indonesia.
Pada 10 November pagi, tentara Inggris mulai melancarkan serangan berskala besar,
yang diawali dengan pengeboman udara ke gedung-gedung pemerintahan Surabaya, dan
kemudian mengerahkan sekitar 30.000 infanteri, sejumlah pesawat terbang, tank, dan kapal
perang.
Inggris kemudian membombardir kota Surabaya dengan meriam dari laut dan darat.
Perlawanan pasukan dan milisi Indonesia kemudian berkobar di seluruh kota, dengan bantuan
yang aktif dari penduduk. Terlibatnya penduduk dalam pertempuran ini mengakibatkan
ribuan penduduk sipil jatuh menjadi korban dalam serangan tersebut, baik meninggal maupun
terluka.
Bung Tomo di Surabaya, salah satu pemimpin revolusioner
Indonesia yang paling dihormati. Foto terkenal ini bagi banyak
orang yang terlibat dalam Revolusi Nasional Indonesia mewakili
jiwa perjuangan revolusi utama Indonesia saat itu.
Di luar dugaan pihak Inggris yang menduga bahwa perlawanan
di Surabaya bisa ditaklukkan dalam tempo tiga hari, para tokoh
masyarakat seperti pelopor muda Bung Tomo yang berpengaruh
besar di masyarakat terus menggerakkan semangat perlawanan
pemuda-pemuda Surabaya sehingga perlawanan terus berlanjut
di tengah serangan skala besar Inggris.
Tokoh-tokoh agama yang terdiri dari kalangan ulama serta kyai-kyai pondok Jawa
seperti KH. Hasyim Asy'ari, KH. Wahab Hasbullah serta kyai-kyai pesantren lainnya juga
mengerahkan santri-santri mereka dan masyarakat sipil sebagai milisi perlawanan (pada
waktu itu masyarakat tidak begitu patuh kepada pemerintahan tetapi mereka lebih patuh dan
taat kepada para kyai) shingga perlawanan pihak Indonesia berlangsung lama, dari hari ke
hari, hingga dari minggu ke minggu lainnya. Perlawanan rakyat yang pada awalnya dilakukan
secara spontan dan tidak terkoordinasi, makin hari makin teratur. Pertempuran skala besar ini
mencapai waktu sampai tiga minggu, sebelum seluruh kota Surabaya akhirnya jatuh di tangan
pihak Inggris.
Setidaknya 6,000 - 16,000 pejuang dari pihak Indonesia tewas dan 200,000 rakyat sipil
mengungsi dari Surabaya.. Korban dari pasukan Inggris dan India kira-kira sejumlah 600 -
2000 tentara. Pertempuran berdarah di Surabaya yang memakan ribuan korban jiwa tersebut
telah menggerakkan perlawanan rakyat di seluruh Indonesia untuk mengusir penjajah dan
mempertahankan kemerdekaan. Banyaknya pejuang yang gugur dan rakyat sipil yang
menjadi korban pada hari 10 November ini kemudian dikenang sebagai Hari Pahlawan oleh
Republik Indonesia hingga sekarang.