C. SEKUTU DI INDONESIA
Kedatangan sekutu di Indonesia merupakan bagian dari komando SEAC atau South East
Asia Command yang berada di bawah pimpinan Laksamana Louis Mountbatten. Namun,
karena wilayah yang menjadi tanggung jawab SEAC masih terlalu luas, dibentuklah Allied
Forces Netherlands East Indies atau AFNEI yang bertanggung jawab dalam wilayah
Indonesia. Tepatnya pada tanggal 29 September 1945, Komandan AFNEI yaitu Letnan
Jenderal Philip Christison tiba di Jakarta. Tugas yang diberikan kepada AFNEI di Indonesia
adalah melucuti senjata Jepang, memulangkan para tentara Jepang ke tanah air mereka,
membebaskan sekutu yang berada di bawah tawanan Jepang, serta mempertahankan keadaan
yang ada di Indonesia.
Sebelum hal itu terjadi, pada tanggal 24 Agustus 1945 adanya kesepakatan yang terjadi
antara Inggris dan Belanda yang dimuat dalam Civil Affair Agreement, berisikan mengenai
kemauan Inggris dalam membantu Belanda kembali berkuasa di Indonesia. Oleh sebab itu,
adanya resistensi dari para penduduk Indonesia atas kedatangan pasukan sekutu yang
disebabkan perjanjian tersebut. Karena adanya hal tersebut, terjadinya pertempuran di
berbagai tempat di Indonesia antara pasukan Indonesia dengan sekutu.
Tim RAPWI atau tim Pemulangan Tawanan Perang Sekutu yang merupakan bagian dari
AFNEI tiba di Surabaya pada tanggal 19 September 1945. Namun, kedatangan tim tersebut
tidak disambut dengan baik dikarenakan tim tersebut tidak berkoordinasi terlebih dahulu
dengan pimpinan Indonesia yang ada di Surabaya. Selain itu, tim Pemulangan Tawanan
Perang Sekutu tersebut berisi perwakilan dari pihak Belanda. Hingga pada akhir September,
kedatangan Kapten Huijer yang merupakan seorang perwira Angkatan Laut Belanda ke
Surabaya tanpa adanya izin dari pihak Inggris untuk menerima penyerahan Jepang. Jepang
menyerahkan berbagai alat transportasi, senjata anti pesawat, tank, dan masih banyak lagi
pada tanggal 3 Oktober 1945 yang tak lama kemudian berhasil direbut oleh pasukan TKR dan
berhasil menawan Kapten Huijer.Dalam menjalankan misinya di Surabaya, pihak Inggris
pada awalnya hanya mengerahkan Brigade Infanteri India ke-49 yang berada dibawah
pimpinan komando Brigadir Mallaby yang memiliki kekuatan antara 4.000 hingga 6.000
pasukan. Para pasukan sekutu yang tiba Surabaya tersebut belum boleh mendarat sebelum
mendapatkan izin dari pimpinan Indonesia yang ada di Jakarta. Hal tersebut yang
menyebabkan terjadinya perundingan antara pimpinan sekutu dengan pimpinan Indonesia
yang ada di Surabaya. Pimpinan Indonesia yang ada di Surabaya pada saat itu adalah
Gubernur Jawa Timur Suryo, Komandan TKR Karesidenan Surabaya dokter Moestopo,
Residen Surabaya Sudirman, Radjamin Nasution, Ketua KNI Doel Arnowo, Ruslan
Abdulgani, Djoko Sawondho, Rustam Zain, Djoko Sawondho, Mohammad, Inspektur
Soejono Prawibismo, Moh Jassin, dan Mr. Masmuin.
Setelah terjadinya kesepakatan antara kedua belah pihak mengenai penguasaan di beberapa
objek, pihak Inggris juga menduduki berbagai objek penting di Surabaya, seperti Kantor Pos
Besar, Gedung BPM, pusat otomobil, pusat kereta api, hingga Gedung Internatio. Selain itu,
pihak Inggris juga menangkap beberapa tokoh pemuda yang ada di Surabaya.
Selain itu, salah satu peleton dari Field Security Section yang berada di bawah pimpinan
Kapten Shaw menyerbu Penjara Kalisosok dalam upaya membebaskan Kapten Huiyer dan
membebaskan para tawanan Belanda yang berada di kompleks Wonokitri pada tanggal 26
Oktober di malam hari.
Keadaan di Surabaya pun semakin memanas akibat adanya selebaran yang tersebar pada
tanggal 27 Oktober melalui pesawat Dakota yang bertolak dari Jakarta. Selebaran tersebut
juga disebarkan di berbagai wilayah Indonesia seperti Jawa Barat dan Jawa Tengah yang
telah ditandatangani oleh Mayor Jenderal Hawthorn. Isi dari selebaran tersebut adalah
ultimatum bagi para pasukan Indonesia untuk menyerah kepada pihak sekutu dalam waktu 48
jam atau menghadapi konsekuensi ditembak. Kejadian tersebut semakin menimbulkan rasa
kebencian di Surabaya, yang membuat munculnya seruan di radio untuk mengusir pihak
Inggris dari wilayah tersebut. Melihat adanya berbagai tindakan yang dilakukan oleh pihak
Inggris tersebut, semakin meyakinkan pihak Indonesia bahwa peperangan yang akan terjadi
tidak lagi bisa dihindari. Oleh sebab itu pada tanggal 27 Oktober tepatnya pada pukul 2 di
siang hari, terjadi kontak senjata pertama antara pasukan pemuda PRISAI dan pasukan Gurka
yang merupakan berasal dari pihak sekutu. Selanjutnya, Mallaby juga mengikuti arahan yang
ada pada selebaran untuk menguasai kendaraan berat yang dimiliki oleh pasukan Indonesia
pada tanggal 28 Oktober 1945. Pihak Inggris juga melakukan evakuasi terhadap wanita dan
juga anak-anak dari kamp Gubeng dipindahkan ke barak Darmo. Setelah terjadinya kejadian
tersebut, berbagai pertempuran pun terjadi. Gabungan antara TKR, polisi, dan juga badan
perjuangan yang mengadakan serangan serentak ke pihak Inggris yang ada di kota Surabaya.
Karena penyerangan tersebut, pihak Indonesia berusaha untuk mengambil kembali hak atas
tempat vital yang berada di bawah kedudukan pihak Inggris. Serangan pihak Indonesia ini
terjadi hingga 29 Oktober 1945 yang dikepalai oleh Komando Jenderal Mayor Yonosewoyo
yang merupakan Komandan Divisi TKR berhasil mendesak pihak Inggris.
Setelah adanya kemunculan sebuah pemberitahuan atau maklumat yang diumumkan oleh
pemerintah Indonesia pada tanggal 31 Agustus 1945 mengenai penetapan pengibaran terus
menerus bendera nasional Sang Saka Merah Putih di seluruh wilayah Indonesia termasuk di
kota Surabaya.
Namun, terjadi sebuah insiden dimana kedua belah pihak yaitu pasukan sekutu dan
masyarakat Surabaya terlibat dalam perseteruan perobekan bendera yang berada di Hotel
Yamato, Tunjangan Surabaya. Hal ini yang memicu terjadinya pertempuran antara kedua
belah pihak.
G. KRONOLOGI PERTEMPURAN SURABAYA
Kronologi awal dari insiden ini, dimana sekelompok orang Belanda yang dipimpin oleh
Mr.W.V.Ch. Ploegman mengibarkan bendera negara Belanda yang berwarna merah, putih,
dan biru tanpa adanya persetujuan dari Pemerintah Republik Indonesia di kota Surabaya.
Para masyarakat Surabaya yang melihat hal tersebut menjadi kesal dan marah. Hal ini yang
membuat seorang perwakilan Indonesia yaitu Residen Soedirman mendatangi Hotel Yamato
tempat mereka mengibarkan bendera tersebut untuk berdiskusi dengan pimpinan sekutu yaitu
Ploegman agar bendera tersebut dapat diturunkan dan tidak terjadinya keributan. Namun,
diskusi yang ada tidak berjalan lancar dan pimpinan mereka yaitu Ploegman menolak untuk
menurunkan benderanya.
Hingga yang menjadi puncak kejadiannya, Ploegman mengeluarkan sebuah pistol yang
membuat perkelahian antara kedua belah pihak tidak dapat dihindari. Di tengah keributan
tersebut, Ploegman meninggal dunia karena dicekik oleh pengawal Soedirman yaitu Sidik.
Namun, Sidik juga tewas yang disebabkan oleh tentara Belanda yang sedang bertugas saat
itu.
Soedirman beserta pengawalnya yang lain berhasil menghindari insiden tersebut dan segera
keluar dari Hotel Yamato untuk mengamankan situasi yang ada. Namun, beberapa pemuda di
Surabaya terlihat langsung menaiki Hotel Yamato dan segera merobek bendera Belanda yang
berwarna merah, putih, biru tersebut dan menyisakan bagian merah dan putih saja.
Perang yang terjadi antara kedua belah pihak yaitu masyarakat Surabaya dan pasukan
sekutu Inggris pertama kali terjadi tepatnya pada tanggal 27 Oktober hingga 30 Oktober
tahun 1945. Hal ini yang membuat Jenderal D.C.Hawthorn meminta bantuan dari Soekarno
untuk mencari solusi dan meredakan situasi pada saat itu. Namun, dengan terjadinya bentrok
terus menerus antara kedua belah pihak membuat pemimpin sekutu Inggris yaitu Brigadir
Jenderal Mallaby meninggal dunia.
Pemimpin dari pasukan sekutu Inggris yaitu Jenderal Mallaby meninggal dunia di tanggal
30 Oktober 1945, yang kemudian posisi tersebut digantikan dengan Jenderal Robert
Mansergh. Kemudian, Jenderal Robert Mansergh mengeluarkan sebuah ultimatum yang
ditujukan kepada masyarakat Surabaya pada tanggal 9 November 1945. Ultimatum tersebut
berisikan sebagai berikut.:
Pada pertempuran ini sendiri, terdapat setidaknya 20.000 tentara serta 100.000 sukarelawan
di pihak Indonesia, sementara pada pihak Inggris terdapat setidaknya 30000 tentara yang juga
dibantu dengan berbagai peralatan perang mereka, yaitu tank, kapal perang, serta pesawat
tempur.
Pertempuran yang terjadi antara kedua belah pihak tersebut mengalami puncaknya tepat
pada tanggal 10 November 1945, dimana terjadinya bentrok antara pasukan sekutu serta arek-
arek Surabaya ketika pasukan sekutu tersebut hendak menyerang kota Surabaya yang
langsung dihadang oleh masyarakat Surabaya. Pertempuran yang terjadi tersebut
menghasilkan banyak korban jiwa pada kedua belah pihak. Namun, khususnya untuk
masyarakat Surabaya yang kehilangan 20.000 korban jiwa akibat pertempuran tersebut,
dimana pada pihak sekutu kehilangan kurang lebih 1.500 korban jiwa.
Pertempuran Surabaya ini berlangsung selama tiga minggu dimana menimbulkan berbagai
kerugian besar bagi masyarakat di kota Surabaya dan juga Indonesia. Dalam usahanya
melawan pihak sekutu tersebut, arek-arek Surabaya dipimpin oleh Bung Tomo yang
mengumandangkan pidato berapi-api yang berhasil untuk membangkitkan semangat
masyarakat Surabaya untuk melawan dan mengusir penjajah dari negara Indonesia.
Setelah satu tahun terjadinya pertempuran tersebut, Presiden Soekarno yang menjabat
menjadi Presiden Negara Indonesia saat itu menetapkan bahwa setiap tanggal 10 November,
masyarakat Indonesia akan memperingati hari tersebut sebagai Hari Pahlawan. Oleh sebab
itu, hingga kini masyarakat Indonesia masih memperingati perjuangan para pahlawan dengan
mengingat jasa para pejuang setiap tanggal 10 November.
Pertempuran yang hingga kini masih diperingati setiap tanggal 10 November oleh Bangsa
Indonesia bukanlah perjuangan yang dilakukan satu hari saja, namun melibatkan berbagai
pertempuran yang terjadi sejak akhir Oktober tahun 1945 hingga November 1945.
Dari pertempuran yang terjadi sendiri, dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu, pertempuran
pendahuluan, pertempuran puncak yang terjadi pada tanggal 10 November, dan pertempuran
akhir. Jika diperkirakan pejuang yang ikut terlibat akibat serangkaian pertempuran tersebut
adalah 20.000 pasukan TKR yang datang dari berbagai penjuru Jawa Timur serta para rakyat
pejuang yang mencapai 140.000 orang.