Anda di halaman 1dari 3

Nama : Tri Widiya Septiningrum

Kelas : XII MIA 4

Sejarah Hari Pahlawan 10 November

Peristiwa 10 November 1945 di Surabaya adalah pertempuran tentara dan milisi pro-
kemerdekaan Indonesia dan Tentara Britania Raya dan India Britania.Peristiwa 10 November tidak lepas
dari kedatangan Tentara Inggris yang tergabung dalam Allied Force Netherlands East Indies (AFNEI) ke
Indonesia untuk mengembalikan Indonesia ke administrasi pemerintahan Belanda sebagai negara
jajahan Hindia Belanda. Belanda membonceng AFNEI dan Netherlands Indies Civil Administration (NICA).
Hal ini memunculkan pergerakan perlawanan rakyat Indonesia dimana-mana untuk melawan tentara
AFNEI dan pemerintahan NICA

Pasca Sejarah Kemerdekaan Indonesia dan dikeluarkannya maklumat pemerintah Soekarno


tanggal 31 Agustus 1945 yang menetapkan bahwa mulai 1 September 1945 bendera nasional Sang
Merah putih dikibarkan terus di seluruh wilayah Indonesia. Gerakan tersebut semakin meluas ke
segenap pelosok kota Surabaya. Dalam rangka menghadiri rapat raksasa yang diselenggarakan oleh
Barisan Pemuda Surabaya,mereka membawa serta merah putih. Rapat terus berlangsung meskipun
pihak Kempetai melarang rapat tersebut. Namun, pihak Kempetai tidak mampu menghentikan dan
membubarkan massa rakyat Surabaya tersebut. Puncak dari gerakan pengibaran bendera di Surabaya
terjadi saat insiden perobekan bendera di Yamato Hoteru atau Hotel Yamato atau Oranje Hotel

Insiden Hotel Yamato diawali dengan sekelompok orang Belanda di bawah pimpinan Mr. W. V. Ch
Ploegman pada malam hari, tepatnya pukul 21.00 pada tanggal 19 September 1945, mengibarkan
bendera Belanda (merah-putih-biru). Hal ini dilakukan tanpa persetujuan Pemerintah Republik Indonesia
Daerah Surabaya. Pengibaran tersebut dianggap sebagai tindakan penghinaan kedaulatan Indonesia,
hendak mengembalikan kekuasaan kembali di Indonesia, dan bahkan dianggap melecehkan gerakan
pengibaran bendera Merah Putih yang sedang berlangsung di Surabaya. Kabar tersebut tersebar ke
seluruh kota Surabaya, sehingga dalam waktu singkat Jalan Tunjungan dibanjiri oleh massa yang geram.
Residen Sudirman, seorang pejuang dan diplomat yang sedang menjabat sebagai Wakil Residen sekaligus
sebagai Residen Daerah Surabaya Pemerintah Republik Indonesia, datang menemui Mr. Ploegman.
Sudirman dikawal oleh Sidik dan Hariyono saat berunding dengan Mr. Ploegman untuk menurunkan
bendera tersebut, namun Ploegman menolak. Ia tewas dicekik oleh Sidik, yang juga tewas oleh Tentara
Belanda yang berjaga-jaga. Sudirman dan Hariyono melarikan diri ke luar Hotel Yamato. Hariyono
kembali ke dalam hotel dan terlibat dalam pemanjatan tiang bersama Kusno Wibowo. Mereka berhasil
menurunkan bendera Belanda, merobek bagian birunya, dan mengereknya kembali ke puncak tiang.
Peristiwa perobekan bendera Belanda tersebut disambut oleh massa di bawah hotel dengan pekik
“Merdeka” berulang kali. Setelah kejadian tersebut maka meletuslah pertempuran pertama antara
Indonesia melawan tentara Inggris pada 27 Oktober 1945. Serangan-serangan kecil kemudian berubah
menjadi serangan yang banyak menelan korban jiwa di kedua belah pihak. Pihak Inggris, melalui Jenderal
D. C. Hawthorn, akhirnya meminta bantuan Presiden Soekarno untuk meredakan ketegangan yang
terjadi.

Gencatan senjata terjadi antara pihak Indonesia dan pihak Tentara Inggris ditandai dengan
penandatanganan pada tanggal 29 Oktober 1945. Situasi menegangkan diantara kedua belah pihak
berangsur-angsur mereda. Meskipun tetap saja terjadi bentrokan-bentrokan bersenjata di Surabaya
antara kedua belah pihak. Bentrokan-bentrokan tersebut semakin memuncak pada 30 Oktober 1945
sekitar pukul 20.30 mobil yang ditumpangi Brigadir Jenderal Mallaby berpapasan dengan serombongan
milisi Indonesia saat akan melewati jembatan Merah. Terjadi kesalahpahaman yang menyebabkan
tembak menembak antara kedua belah pihak. Hal ini menyebabkan tewasnya Brigadir Jenderal Mallaby
oleh tembakan pistol seorang pemuda Indonesia. Mobil yang ditumpangi Mallaby pun terbakar karena
terkena ledakan granat yang menyebabkan jenazah Mallaby sulit dikenali. Komandan Angkatan Perang
Inggris di Indonesia Jenderal Christison menyebut tewasnya Mallaby sebagai satu pembunuhan yang
kejam. Dia menyatakan, akan menuntut balas terhadap rakyat Indonesia, dan Surabaya khususnya.
Pucuk Pimpinan Barisan Pemberontak Rakyat Indonesia (BPRI) Sutomo atau biasa dipanggil Bung Tomo
alias Bung Kecil mengatakan, rakyat Indonesia tidak takut dengan ancaman Christison yang akan
menuntut balas. Hal ini menyebabkan pihak Inggris marah kepada pihak Indonesia. Mereka kemudian
menggantikan Mallaby dengan Mayor Jenderal Eric Carden Robert Mansergh. Dengan tewasnya Mallaby,
Bung Tomo khawatir pihak Belanda memakai Inggris untuk mencaplok kawasan Surabaya, seperti Jepang
menguasai Mansuria, saat perang melawan China. Kekhawatiran itu pun terbukti benar. Pihak Belanda
melalui Inggris, mengultimatum pemerintah Indonesia yang baru terbentuk, pada 10 November 1945
untuk meminta pihak Indonesia menyerahkan persenjataan dan menghentikan perlawanan pada Tentara
AFNEI dan Administrasi NICA. Pasalnya ultimatum tersebut memerintahkan bahwa semua pimpinan dan
orang Indonesia yang bersenjata harus melapor dan meletakkan senjatanya di tempat yang ditentukan
dan menyerahkan diri dengan mengangkat tangan ke atas.

Penghinaan itu kontan membuat dada para pejuang kemerdekaan terbakar. Dengan cepat, BPRI
memberikan pelatihan kilat perang gerilya. Terutama tentang tata cara penggunaan senjata hasil
rampasan pasukan Nippon. Setelah mendapatkan pelatihan yang cukup, secara bergantian mereka
memberikan pengajaran kepada teman-temannya yang lain, dan seterusnya. Mereka inilah yang
kemudian dikenal dengan sebutan "pasukan berani mati". Di antara kelompok pejuangan itu, terdapat
bukan hanya rakyat Surabaya, tetapi juga pejuang dari Sumatera, Kalimantan, Maluku, Sulawesi, Bali,
para kiai dan alim ulama dari berbagai Pulau Jawa. Anak-anak, pemuda, pemudi, dan orang tua. Semua
terjun ke medan perang.

Di tengah situasi genting itu, Gubernur Jawa Timur Suryo, berpidato di corong radio, meminta
rakyat untuk bersabar dan menunggu keputusan dari pemerintah pusat di Jakarta. Karena ultimatum itu,
ditunjukkan kepada republik yang baru berdiri. Tetapi Jakarta menyerahkan keputusan yang diambil
kepada pemerintah daerah dan rakyat. Akhirnya, Gubernur Suryo kembali berpidato, dan meminta
rakyat mempertahankan kemerdekaan yang baru diproklamirkan. Hingga 10 November 1945 pagi, rakyat
yang siap angkat senjata pun masih menunggu. Hingga akhirnya tersiar kabar, sekira pukul 09.00 WIB
lebih, seorang pemuda melaporkan terjadi penembakan oleh pasukan Inggris.
Peristiwa yang ditunggu-tunggu pun tiba. Masing-masing pasukan pemuda, dikerahkan ke pos dan
pangkalan yang sudah menjadi tanggung jawabnya. Tentara Inggris mulai melancarkan serangan. Mereka
mendapatkan perlawanan dari pasukan dan milisi Indonesia. Para pejuang kemerdekaan,seperti Bung
Tomo, menggerakkan rakyat Surabaya pada masa itu untuk berjuang melawan.Pertempuran hebat pun
terjadi. Segenap rakyat berjuang bersama. Tidak ada perbedaan golongan, tingkatan, agama, dan
paham. Ketika satu Indonesia terancam, satu bangsa Indonesia akan membelanya. Inilah hakikat dari
peristiwa bersejarah itu. Di mana semua rakyat menjadi satu, dan melupakan semuanya, kecuali
Republik Indonesia. Perorangan tidak berlaku pada hari itu. Pemerintah, tentara, rakyat, melebur jadi
satu. Perlawanan berlangsung alot selama sekitar tiga minggu. Pada awalnya perlawanan rakyat
berlangsung secara spontan dan tidak terkoordinasi, tetapi semakin hari makin teratur. Sekitar 6.000 –
16.000 pejuang dari pihak Indonesia kehilangan nyawanya dan 200.000 rakyat sipil mengungsi. Sebanyak
600 – 2.000 pasukan Inggris dan India tewas dalam pertempuran tersebut. Banyaknya pejuang yang
gugur dan rakyat sipil yang menjadi korban menjadikan hari ini kemudian dikenang sebagai Hari
Pahlawan oleh Republik Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai