Anda di halaman 1dari 5

Latar belakang pertempuran Surabaya

Peristiwa pertempuran pada tanggal 10 November 1945 di Surabaya sebenarnya merupakan dampak
yang dipicu oleh peristiwa-peristiwa sebelumnya mulai dari kedatangan pasukan Jepang di Indonesia
pada tanggal 1 maret 1942 yang kemudian melahirkan perjanjian kalijati antara Jepang dan Belanda.
Namun hal utama yang menjadi latar belakang pertempuran Surabaya adalah pengibaran bendera
Belanda di hotel Yamato pada tanggal 18 September 1945. 

Para pemuda Surabaya yang terkenal dengan sebutan arek-arek Surabaya jelas merasa gusar
melihat tindakan Belanda yang tidak menghargai dan tanpa ijin mengibarkan bendera merah-putih-
biru di wilayah Indonesia. Republik Indonesia yang saat itu secara resmi telah memproklamasikan
kemerdekaan jelas merasa dicemooh oleh tindakan Belanda ini. Arek-arek Surabaya tidak tinggal
diam melihat kesewenangan Belanda di tanah air yang dapat disimpulkan bahwa mereka ingin
menunjukkan kekuasaannya kembali di Indonesia. Lagi pula kobar semangat arek-arek Surabaya
yang pada saat itu tengah melakukan aksi pengibaran merah-putih di segala penjuru secara langsung
berkumpul di depan halaman hotel Yamato. 

Pada tanggal 18 September 1945 tersebut memang terjadi suatu diplomasi antara pihak Indonesia
dan Belanda di dalam hotel Yamato yakni dengan datangnya Soedirman sebagai wakil Pemerintahan
Indonesia dengan dikawal ketat oleh Hariyono dan Sidik untuk berunding dengan Pihak Belanda yang
diwakili oleh Mr. Ploegman beserta pasukan. Dalam diplomasi tersebut Belanda menolak untuk
menurunkan benderanya dari puncak tertinggi hotel Yamato dan justru menyerang pihak Indonesia
dengan mengeluarkan pistol. Sidik sebagai pengawal dan bertugas menjaga Soedirman tentu secara
reflek menyerang kembali Poegman hingga tewas. Namun sayang Sidik sendiri kemudian tewas
ditangan pasukan Belanda. 

Soedirman bersama Hariyanto yang berusaha keluar mencari perlindungan dari serangan pasukan
Belanda akhirnya disambut oleh arek-arek Surabaya yang tengah berkumpul di luar hotel.
Selanjutnya Soedirman bersama Kusno Wibowo kembali masuk dalam hotel dan memanjat tiang
bendera unuk merobek warna biru bendera Belanda dan kemudian mengibarkannya kembali menjadi
merah-putih.

Hal tersebut menjadi latar belakang pertempuran Surabaya yang kemudian secara berentet terjadi
pertempuran pada tanggal 27 Oktober antara arek-arek Surabaya melawan Inggris yang pada saat itu
memihak Belanda. Pertempuran ini terus terjadi hingga Jenderal Hawthorn meminta Presiden RI
untuk meredakan pertempuran. Pada tanggal 29 Oktober perjanjian diplomasi antara Indonesia dan
Inggris ditandatangani dengan adanya genjatan senjata. Namun pada hari berikutnya karena masih
labilnya kondisi psikis para pasukan baik dari Indonesia maupun Inggris kembali terjadi pertempuran
antara Indonesia dengan pihak AFNEI/ inggris yang menewaskan Jenderal Mallaby. 
Pertempuran Surabaya 10 November 1945
Setelah peristiwa yang menewaskan Jenderal Mallaby tersebut pihak Inggris mengutus Robert
Mansergh sebagai penggantinya yang kemudian mengeluarkan ultimatum terhadap pihak Indonesia
agar para tentara maupun pemuda yang bersenjata menyerahkan diri dengan batas akhir tanggal 10
November 1945 serta menyerahkan senjata mereka sebelum jam enam pagi.

Ultimatum yang dikeluarkan pihak Inggris tersebut jelas membakar amarah para pejuang hingga
menolak semua keinginan tersebut. Hari bersejarah tersebut benar-benar datang dimana pada
tanggal 10  November pasukan Inggris secara membabi buta melakukan serangan terhadap pasukan
Indonesia dan rakyat di Surabaya. Kendaraan tempur seperti pesawat dan tank milik Inggris semua
dikerahkan untuk membungihanguskan Surabaya. Serangan udara dengan menjatuhi bom daerah-
daerah pemerintahan Surabaya jelas mengakibatkan banyaknya korban jiwa dari pihak Indonesia.

Siapa yang tak marah jika tanah air mereka diusik oleh pihak luar. Hal ini pula yang kemudian
melahirkan tokoh-tokoh pejuang seperti Bung Tomo dan KH. Hasyim Asy’ari untuk mengkoordinir
semua kalangan mulai dari pasukan bersenjata, para santri, bahkan rakyat sipil semuanya bersatu
untuk melawan kesewenangan Inggris.

Pertempuran 10 November 1945 menjadi pertempuran terbesar sepanjang perjuangan Indonesia


dalam mempertahankan kemerdekaan. Ribuan rakyat Indonesia tewas dalam pertempuran tersebut
begitu pula dengan pihak Inggris. Pasukan yang didatangkan dari India juga menjadi korban dari
pertempuran tersebut.

Tercatat lebih dari 10.000 rakyat Indonesia dan juga pasukan Inggris tewas dalam pertempuran
Surabaya. Karena itu pula hingga kini pemerintah Indonesia selalu mengenang peristiwa tersebut
dengan memperingatinya sebagai hari pahlawan pada tiap-tiap tanggal 10 November.

Peristiwa di Surabaya merupakan rangkaian kejadian yang diawali sejak kedatangan pasukan
Sekutu tanggal 25 Oktober 1945 yang dipimpin oleh Brigjen A.W.S. Mallaby.

    Pasukan ini berkekuatan 6000 personil di mana perwira-perwiranya kebanyakan orang-orang


Inggris dan prajuritnya orang-orang Gurkha dari Nepal yang telah berpengalaman perang.
Rakyat dan pemerintah Jawa Timur di bawah pimpinan Gubernur R.M.T.A Suryo semula enggan
menerima kedatangan Sekutu.
Kemudian antara wakil-wakil pemerintah RI dan Birgjen AW.S. Mallaby mengadakan pertemuan
yang menghasilkan kesepakatan sebagai berikut.
1. Inggris berjanji mengikutsertakan Angkatan Perang Belanda.
2. Disetujui kerja sama kedua belah pihak untuk menjamin keamanan dan ketenteraman.
3. Akan dibentuk kontak biro agar kerja sama berjalan lancar.
4. Inggris hanya akan melucuti senjata Jepang.

    Pada tanggal 26 Oktober 1945 pasukan Sekutu melanggar kesepakatan terbukti melakukan
penyergapan ke penjara Kalisosok. Mereka akan membebaskan para tawanan Belanda di
antaranya adalah Kolonel Huiyer. Tindakan ini dilanjutkan dengan penyebaran pamflet yang
berisi perintah agar rakyat Surabaya menyerahkan senjata-senjata mereka. Rakyat Surabaya
dan TKR bertekad untuk mengusir Sekutu dari bumi Indonesia dan tidak akan menyerahkan
senjata mereka.
    Pada 27 Oktober 1945, tentara Sekutu dengan kekuatan 1 peleton menyerbu penjara
Kalisosok untuk membebaskan seorang kolonel Angkatan Laut Belanda yang bernama Kolonel
Huiyer dan para pegawai Relief of Allied Prisoners of War and Internees (RAPWI) yang ditawan
pemerintah RI. Selain itu, tentara Sekutu juga menduduki tempat-tempat strategis di Surabaya,
antara lain Pelabuhan Tanjung Perak, Gedung Bank Internatio, dan Kantor Pos Besar. Tindakan-
tindakan Sekutu itu menyulut pertempuran. Pada 27 Oktober 1945 pukul 14.00, terjadi kontak
senjata yang pertama antara pemuda Surabaya dengan pihak Sekutu. Keesokan harinya, 28
Oktober 1945, rakyat Surabaya menyerang hampir seluruh pos Sekutu yang berada di
Surabaya. Pada 29 Oktober 1945, para pemuda dapat merebut objek-objek penting di Surabaya.
Tentara Sekutu menjadi kewalahan, kemudian meminta bantuan para pemimpin Indonesia di
Jakarta untuk menghentikan pertempuran di Surabaya.
    Pada 31 Oktober 1945, Presiden Soekarno didampingi Wakil Presiden Drs. Mohammad Hatta
dan Menteri Penerangan Amir Syarifuddin datang ke Surabaya. Mereka kemudian berunding
dengan Mallaby.
Kedua belah pihak merumuskan hasil perundingan sebagai berikut:
1. Surat-surat selebaran/pamflet dianggap tidak berlaku
2. Serikat mengakui keberadaan TKR dan Polisi Indonesia
3. Seluruh kota Surabaya tidak lagi dijaga oleh Serikat, sedangkan kampkamp tawanan dijaga
bersama-sama Serikat dan TKR
4. Tanjung Perak dijaga bersama TKR, Serikat, dan Polisi Indonesia
    Perundingan yang menghasilkan keputusan untuk menghentikan pertempuran. Pada
perundingan itu juga dipilih anggota-anggota Panitia Penghubung (Contact Committee) dari
kedua pihak. Setelah perundingan selesai, Presiden Soekarno dan rombongan meninggalkan
Surabaya. Ternyata, meskipun telah disepakati gencatan senjata, di beberapa tempat masih
terjadi kontak senjata. Panitia Penghubung segera mendatangi objek-objek yang masih terjadi
pertempuran guna menghentikannya. Namun, ketika mereka mengunjungi Gedung Bank
International di Jembatan Merah, terjadi insiden. Gedung ini masih diduduki oleh tentara Sekutu.
Para pemuda yang TKR dan laskar menuntut agar pasukan Mallaby menyerah. Namun, Mallaby
menolak tuntutan tersebut. Kejadian itu segera diikuti dengan kontak senjata yang lebih besar
dan berakhir dengan terbunuhnya Mallaby.
    Dengan terbunuhnya Mallaby, pihak Inggris menuntut pertanggungjawaban kepada rakyat
Surabaya. Insiden terbunuhnya Mallaby telah mendorong tentara Sekutu mengirimkan pasukan
dalam jumlah besar ke Surabaya. Pasukan baru tersebut berada di bawah pimpinan Mayor
Jenderal R.C. Mansergh. Selanjut nya, pada 9 November 1945, pimpinan Sekutu mengeluarkan
ultimatum kepada rakyat Surabaya agar semua pimpinan dan orang-orang Indonesia yang
bersenjata harus melapor dan meletakkan senjatanya di tempat-tempat yang telah ditentukan,
selanjutnya menyerahkan diri dengan mengangkat tangan di atas. Pada tanggal 9 November
1945 Mayor Jenderal E.C. Mansergh sebagai pengganti Mallaby mengeluarkan ultimatum
kepada bangsa Indonesia di Surabaya. Ultimatum itu isinya agar seluruh rakyat Surabaya
beserta pemimpin-pemimpinnya menyerahkan diri dengan senjatanya, mengibarkan bendera
putih, dan dengan tangan di atas kepala berbaris satu-satu. Jika pada pukul 06.00 ultimatum itu
tidak diindahkan maka Inggris akan mengerahkan seluruh kekuatan darat, laut dan udara.
Ultimatum ini dirasakan sebagai penghinaan terhadap martabat bangsa Indonesia. Bangsa
Indonesia sebagai bangsa yang cinta damai tetapi lebih cinta kemerdekaan. Oleh karena itu
rakyat Surabaya menolak ultimatum tersebut secara resmi melalui pernyataan Gubernur Suryo.
    Karena penolakan ultimatum itu maka meletuslah pertempuran pada
tanggal 10 November 1945. Melalui siaran radio yang dipancarkan dari Jl. Mawar No.4
Bung Tomo membakar semangat juang arek-arek Surabaya. Kontak senjata pertama terjadi di
Perak sampai pukul 18.00. Pasukan Sekutu di bawah pimpinan Jenderal Mansergh
mengerahkan satu Divisi infantri sebanyak 10.000 - 15.000 orang dibantu tembakan dari laut
oleh kapal perang penjelajah “Sussex” serta pesawat tempur “Mosquito” dan “Thunderbolt”.
  Bung Tomo  bernama asli Soetomo. Ia lahir di Surabaya pada 3 Oktober
1920. Bung Tomo dikenal sebagai orator yang mampu membangkitkan
semangat rakyat Surabaya untuk berjuang melawan Sekutu. Bung Tomo
merupakan pemimpin BPRI pada pertempuran 10 November 1945. Bung
Tomo memiliki pikiran dan pandangan-pandangan yang kritis sehingga
dianggap membahayakan stabilitas nasional. Bung Tomo ditangkap pada
1978 dan meninggal pada 7 Oktober 1981 di Saudi Arabia. Bung Tomo
dimakamkan di Ngagel, Surabaya.
    Dalam pertempuran tersebut, tentara Sekutu mengerahkan lebih dari satu divisi infantri, yaitu
Divisi India ke-5 beserta sisa Brigade Mallaby dengan jumlah keseluruhan kurang lebih 15.000
orang. Mereka dibantu oleh meriam-meriam kapal penjelajah Sussex dan beberapa kapal
perusak serta pesawat-pesawat Mosquito dan Thunderbolt. Sebaliknya, rakyat Surabaya hanya
menggunakan persenjataan yang sederhana, seperti golok, bambu runcing, panah, serta
persenjataan hasil rampasan dari tentara Jepang. Pertempuran tidak seimbang yang
berlangsung sampai awal Desember 1945 tersebut telah menelan korban ribuan pejuang
Surabaya. Untuk menghormati kepahlawanan rakyat Surabaya, Pemerintah menetapkan tanggal
10 November sebagai Hari Pahlawan.

 Iring-iringan pasukan Sekutu ketika memasuki Kota Surabaya pada peristiwa


Pertempuran Surabaya 10 November 1945.
     Dalam pertempuran di Surabaya ini seluruh unsur kekuatan rakyat bahu membahu, baik dari
TKR, PRI, BPRI, Tentara Pelajar, Polisi Istimewa, BBI, PTKR maupun TKR laut di bawah
Komandan Pertahanan Kota, Soengkono. Pertempuran yang berlangsung sampai akhir
November 1945 ini rakyat Surabaya berhasil mempertahankan kota Surabaya dari gempuran
Inggris walaupun jatuh korban yang banyak dari pihak Indonesia. Oleh karena itu setiap tanggal
10 November bangsa Indonesia memperingati Hari Pahlawan. Hal ini sebagai penghargaan atas
jasa para pahlawan di Surabaya yang mempertahankan tanah air Indonesia dari kekuasaan
asing. Pengaruh pertempuran Surabaya berdampak luas di kalangan internasional, bahkan
masuk dalam agenda sidang Dewan Keamanan PBB tanggal 7-13 Februari 1946.

Insiden Bendera terjadi di Surabaya pada tanggal 19 September 1945 di Hotel Yamato,


Tunjungan, Surabaya. Beberapa orang Belanda bertindak gegabah, mereka mengibarkan
bendera Belanda Merah Putih Biru di tiang bendera Hotel Yamato. Tindakan tersebut
menimbulkan kemarahan rakyat yang kemudian menyerbu hotel itu dan menurunkan bendera
tersebut serta merobek bendera yang berwarna biru dan mengibarkan kembali sebagai bendera
Merah Putih.

    
   
PERISTIWA 10 NOVEMBER

Peristiwa 10 November ditandai dengan adanya balas dendam sekutu ( inggris ) karena
terbunuhnya Brigadir Jenderal Mallaby, pemimpin Negara sekutu ( inggris ) tepatnya di  jembatan
merah, Surabaya.
Pada tanggal 10 November 1945, Mayor Jenderal Eric Carden Robert Mansergh
mengeluarkan ultimatum sampai batas jam 6 pagi untuk meminta pihak Indonesia menyerahkan
persenjataan dan menghentikan perlawanan pada tentara AFNEI dan administrasi NICA.
Pada  tanggal 10 November pagi, tentara Inggris mulai melancarkan serangan berskala besar, yang
diawali dengan pengeboman udara ke gedung-gedung pemerintahan Surabaya, dan kemudian
mengerahkan sekitar 30.000 infantery, sejumlah pesawat terbang, tank, dan kapal perang. Lalu,
inggris membombardir  kota Surabaya dengan meriam dari laut dan darat.
Dugaan inggris, dalam waktu 3 hari mereka dapat menaklukan kota Surabaya tetapi pelopor
muda seperti Bung Tomo menggerakan semangat perlawanan yang tinggi. Sehingga, perlawanan
berlanjut di tengah serangan inggris. Pertempuran ini berlangsung selama 3 minggu sebelum kota
Surabaya jatuh di tangan inggris.
Peristiwa 10 November ini menewaskan 6.000 pejuang Indonesia dan 200.000 rakyat sipil
mengungsi dari  kota Surabaya. Karena banyaknya korban tersebut, akhirnya kota Surabaya
dikenang sebagai Kota Pahlawan pada tanggal 10 November .

Anda mungkin juga menyukai