Anda di halaman 1dari 7

Pertempuran di Surabaya

Kontak senjata yang terjadi di Surabaya antara pasukan Indonesia dan pasukan Sekutu berkaitan dengan
usaha perebutan kekuasaan dan senjata dari tangan Jepang yang dimulai sejak tanggal 2 September
1945. Perebutan tersebut membangkitkan pergolakan, yang kemudian berubah menjadi revolusi yang
konfrontatif.

Pada tanggal 25 Oktober 1945, Brigade 49 yang dipimpinan Brigjen A.W.S. Mallaby mendarat di
Surabaya. Mereka bertugas untuk melucuti serdadu Jepang dan membebaskan para interniran.
Kedatangan Mallaby disambut oleh R.M.T.A. Suryo (Gubernur Jawa Timur). Dalam pertemuan itu
dihasilkan beberapa kesepakatan sebagai berikut. Inggris berjanji bahwa di antara tentara Inggris tidak
terdapat angkatan perang Belanda. Disetujui kerja sama antara kedua belah pihak untuk menjamin
keamanan dan ketenteraman. Akan segera dibentuk Contact Bureau (Biro Kontak) agar kerja sama dapat
terlaksana sebaikbaiknya. Inggris hanya akan melucuti senjata Jepang. Atas kesepakatan tersebut, maka
Inggris diizinkan masuk kota Surabaya. Ternyata dalam praktiknya, Inggris tidak menepati janjinya.
Pasukan Inggris justru berusaha menguasai Surabaya.

Secara kronologis serangan Inggris terhadap Indonesia, antara lain sebagai berikut. Tanggal 26 Oktober
1945, satu peleton Field Security Section di bawah pimpinan Kapten Shaw menyerang sebuah penjara di
Kalisosok dan juga pusat-pusat penting lainnya, seperti pangkalan udara, kantor pos, dan gedung
pemerintahan. Tanggal 27 Oktober 1945, pasukan Inggris menyebarkan pamflet-pamflet yang berisi
perintah, agar rakyat Surabaya dan Jawa Timur menyerahkan senjata hasil rampasan dari Jepang.

Dengan kejadian ini maka pihak Indonesia menginstruksikan kepada semua pemuda untuk siap siaga
penuh menghadapi segala kemungkinan yang akan terjadi. Akhirnya terjadi juga kontak senjata antara
pemuda Indonesia dan Inggris. Semua pemuda di seluruh kota menyerang Inggris dengan segala
kemampuan. Tanggal 28 Oktober 1945, pemuda Indonesia menyerang pos-pos Sekutu di seluruh
Surabaya.

ada tanggal 29 Oktober 1945, komando Sekutu menghubungi Presiden Soekarno untuk menyelamatkan
pasukan Inggris agar tidak mengalami kehancuran total. Presiden Soekarno dan Jenderal Mallaby
mengadakan perundingan. Pertemuan itu menghasilkan dua kesepakatan, yaitu penghentian kontak
senjata dan keberadaan RI diakui oleh Inggris.
Cara menghindari kontak senjata diatur sebagai berikut. Surat-surat selebaran yang disebarkan tidak
berlaku lagi. Kota Surabaya tidak dijaga oleh tentara Sekutu kecuali kamp-kamp tawanan. TKR dan Polisi
diakui oleh Sekutu. Tanjung Perak untuk sementara waktu diawasi bersama TKR, Polisi, dan tentara
Sekutu untuk menyelesaikan penerimaan bantuan berupa obat-obatan untuk tawanan perang.

Tanggal 30 Oktober 1945, seluruh Biro Kontak menuju ke beberapa tempat. Gencatan senjata tidak
dihormati Sekutu. Dalam salah satu insiden yang belum pernah terungkap secara jelas, Brigjen Mallaby
ditemukan meninggal. Tanggal 9 November 1945, pimpinan tentara Sekutu di Surabaya mengeluarkan
ultimatum kepada rakyat. Ultimatum dari pasukan Sekutu tersebut pada pokoknya berisi: tuntutan
pertanggungjawaban pihak Indonesia atas terbunuhnya Mallaby; instruksi yang menuntut agar semua
pemimpin dan orang-orang Indonesia yang bersenjata harus melapor. Mereka harus meletakkan
senjatanya di tempat-tempat yang telah ditentukan; mereka harus menyerahkan diri dengan
mengangkat tangan di atas. Batas waktu ultimatum tersebut ialah jam 06.00 tanggal 10 November 1945.

Ultimatum tersebut ditolak oleh para pemimpin dan rakyat Surabaya. Batas ultimatum akhirnya habis.
Maka pecah pertempuran hebat antara pasukan Indonesia dan Inggris. Pertempuran sengit terjadi pada
tanggal 10 November 1945. Pasukan Inggris yang dilengkapi dengan peralatan perang canggih
menggempur para pejuang Indonesia. Dalam pertempuran tidak seimbang yang berlangsung sampai
awal bulan Desember 1945 itu telah gugur beribu-ribu pejuang.

Salah satu tokoh dan pemimpin perjuangan rakyat Surabaya adalah Bung Tomo. Dalam pertempuran
yang tidak seimbang, Bung Tomo terus mengobarkan semangat rakyat supaya terus maju, pantang
mundur.

Peristiwa di Surabaya merupakan gambaran keberanian dan kebulatan tekad bangsa Indonesia untuk
membela tanah air dan kemerdekaan. Sekarang peristiwa 10 November diabadikan sebagai Hari
Pahlawan dan Tugu Pahlawan di tengah Kota Surabaya melambangkan keberanian dan semangat juang
bangsa Indonesia.

D. Pertempuran di Ambarawa

Pertempuran di Ambarawa diawali kedatangan tentara Sekutu di Semarang pada tanggal 20 Oktober
1945. Mereka datang untuk mengurus tawanan perang. Pihak Sekutu berjanji tidak akan mengganggu
kedaulatan Republik Indonesia.
Ternyata Sekutu diboncengi oleh NICA. Insiden bersenjata mulai timbul di Magelang. Kejadian itu meluas
menjadi pertempuran setelah pasukan Sekutu membebaskan para interniran Belanda di Magelang dan
Ambarawa. Gencatan senjata terjadi setelah Presiden Soekarno turun tangan. Akan tetapi, secara diam-
diam Sekutu meninggalkan Magelang menuju Ambarawa pada tanggal 21 November 1945. Mayor
Sumarto memimpin perlawanan TKR dan para pemuda menentang tentara Sekutu.

Gerakan tentara Sekutu berhasil ditahan di desa Jambu berkat bantuan dari resimen kedua yang
dipimpin M. Sarbini, batalyon Polisi Istimewa di bawah pimpinan Onie Sastroatmodjo, dan batalyon dari
Yogyakarta. Dalam pertempuran di desa Jambu pada tanggal 26 November 1945 itu, Letkol Isdiman
(Komandan Resimen Banyumas) gugur. Kolonel Soedirman (Panglima Divisi di Purwokerto) segera
mengambil alih pimpinan.

Setelah mengadakan konsolidasi dengan para Komandan Sektor, Kolonel Soedirman memimpin
pertempuran melawan Sekutu pada tanggal 12 Desember 1945. Dalam waktu satu setengah jam, TKR
sudah mengepung kota Ambarawa. Empat hari kemudian tentara Sekutu mundur ke Semarang.

E. Pertempuran Medan Area

Berita proklamasi Republik Indonesia baru sampai di kota Medan pada tanggal 27 Agustus 1945.
Keterlambatan berita tersebut karena sulitnya komunikasi dan sensor ketat terhadap berita-berita oleh
tentara Jepang. Berita proklamasi kemerdekaan dibawa oleh Mr. Teuku M. Hassan, yang diangkat
menjadi gubernur Sumatera. Pada tanggal 13 September 1945, para pemuda yang dipelopori oleh
Achmad Tahir membentuk Barisan Pemuda Indonesia. Pada tanggal 4 Oktober 1945, Barisan Pemuda
Indonesia beraksi mengambil alih gedung-gedung pemerintah dan merebut senjata-senjata milik tentara
Jepang.

Pada tanggal 9 Oktober 1945, pasukan Sekutu yang diboncengi serdadu Belanda dan NICA di bawah
pimpinan Brigadir Jenderal T.E.D. Kelly mendarat di kota Medan. Sebelumnya, Belanda sudah
mendaratkan suatu kelompok komando yang dipimpin oleh Westerling. Reaksi awal para pemuda atas
kedatangan Sekutu tersebut adalah membentuk TKR di Medan.
Tanggal 13 Oktober 1945 terjadi pertempuran pertama antara para pemuda dan pasukan Sekutu. Ini
merupakan awal perjuangan bersenjata yang dikenal sebagai pertempuran Medan Area.

Konfrontasi antara pejuang kemerdekaan dan serdadu NICA segera menjalar ke seluruh Kota Medan.
Karena insiden antara pasukan pejuang kemerdekaan dan tentara NICA terus terjadi, maka pada tanggal
18 Oktober 1945 pihak Sekutu mengeluarkan maklumat yang berisi larangan terhadap rakyat untuk
membawa senjata dan semua senjata yang dimiliki harus diserahkan kepada Sekutu.

Pada tanggal 1 Desember 1945, AFNEI memasang sejumlah papan bertuliskan Fixed Boundaries Medan
Area (Batas Resmi Wilayah Medan) di berbagai sudut pinggiran kota Medan. Papan nama itulah yang
membuat pertempuran di Medan dan sekitarnya dikenal sebagai Pertempuran Medan Area. Kemudian,
Sekutu dan NICA mengadakan aksi pembersihan unsur-unsur RI di seluruh kota. Para pejuang Indonesia
membalas aksi-aksi tersebut. Pada tanggal 10 Desember 1945 tentara Sekutu melancarkan serangan
militer besar-besaran, yang dilengkapi dengan pesawat tempur canggih. Seluruh daerah Medan
dijadikan sasaran serangan.

F. Pertempuran di Jakarta

Sama seperti yang terjadi di Bandung, orang-orang NICA dan KNIL terus melakukan provokasiprovokasi
bersenjata sehingga memancing kemarahan masyarakat. Orang-orang KNIL sendiri dimanfaatkan oleh
NICA demi kepentingan Belanda dengan cara mempersenjatai mereka. Keadaan di Jakarta pun menjadi
kacau dan sulit dikendalikan. Tentara Belanda kian merajalela. Sementara itu, pendaratan pasukan
marinir Belanda di Tanjung Priok pada tanggal 30 Desember 1945 membuat keadaan menjadi tambah
gawat. Mengingat situasi keamanan yang semakin memburuk di Jakarta, Presiden dan Wakil Presiden
pada tanggal 4 Januari 1946 pindah ke Yogyakarta, dan kemudian ibukota Republik Indonesia pun turut
pindah ke Yogyakarta.

G. Peristiwa Merah Putih di Manado

Seperti di tempat-tempat lain, pasukan Sekutu yang mendarat di Sulawesi Utara juga memboncengi
orang-orang NICA. Orang-orang NICA kemudian mempersenjatai bekas tentara KNIL yang ditawan
Jepang. Sejak akhir tahun 1945, pasukan Sekutu menyerahkan Sulawesi Utara kepada pasukan NICA.
Pasukan NICA bertindak sewenang-wenang terhadap rakyat.
Rakyat Sulawesi Utara bereaksi dengan membentuk Pasukan Pemuda Indonesia (PPI). PPI berencana
menyerang pasukan NICA. Akan tetapi, rencana tersebut bocor sehingga para pemimpin PPI ditangkap
dan dipenjarakan. Pada tanggal 14 Februari 1946, para pejuang PPI menyerbu markas NICA di Teling.
Mereka berhasil membebaskan pimpinan PPI dan menawan komandan NICA beserta pasukannya.
Selanjutnya, para pejuang merobek bendera merah putih biru Belanda dan menjadikannya bendera
merah putih. Bendera itu kemudian dikibarkan di markas Belanda di Teling. Oleh karena itu peristiwa itu
dikenal dengan nama peristiwa merah putih di Manado.

Para pejuang dapat mengusir NICA dari Sulawesi Utara. Pada tanggal 16 Februari 1946, pemerintah sipil
terbentuk. Pemerintahan sipil itu dipimpin oleh B. W. Lapian sebagai residen.

H. Bandung lautan api

Pada bulan Oktober 1945, tentara Sekutu memasuki kota Bandung. Pada waktu itu, para pemuda dan
para pejuang kota Bandung sedang melaksanakan pemindahan kekuasaan dan melucuti senjata atau
peralatan perang lainnya dari tangan Jepang. Tentara Sekutu menuntut para pemuda dan pejuang agar
menyerahkan semua hasil pelucutan tentara Jepang kepada Sekutu.

Tanggal 21 November 1945, tentara Sekutu mengeluarkan ultimatum pertama, agar kota Bandung
bagian utara selambat-lambatnya pada tanggal 29 November 1945 dikosongkan oleh pihak Indonesia
dengan alasan demi keamanan. Para pejuang Republik Indonesia tidak mengindahkan ultimatum
tersebut. Akibatnya sering terjadi insiden antara pejuang Indonesia dan tentara Sekutu.

Pada tanggal 23 Maret 1946, tentara Sekutu mengeluarkan ultimatum untuk yang kedua kalinya. Kali ini
para pejuang diminta meninggalkan seluruh kota Bandung. Pihak pemerintah mengindahkan ultimatum
ini. Para pejuang sebelum meninggalkan kota Bandung melancarkan serangan umum ke arah markas
besar Sekutu dan berhasil membumihanguskan kota Bandung bagian selatan.

I. Pertempuran Margarana
Pada tanggal 2 dan 3 Maret 1946, Belanda mendaratkan kira-kira 2000 tentara di Bali. Pada waktu itu,
Letnan Kolonel I Gusti Ngurah Rai sedang berada di Yogyakarta untuk berkonsultasi dengan markas
tertinggi TRI mengenai pembinaan Resimen Sunda Kecil dan cara-cara menghadapi Belanda.

Akibat perundingan Linggarjati, daerah kekuasaan de facto Republik Indonesia yang diakui hanya terdiri
dari Jawa, Madura, dan Sumatera. Hal itu berarti Bali tidak diakui sebagai bagian dari Republik
Indonesia. I Gusti Ngurah Rai juga mendapati pasukannya terpencar-pencar. Sementara itu, Belanda
sedang mengusahakan berdirinya satu negara boneka di wilayah Indonesia bagian timur. I Gusti Ngurah
Rai dibujuk Belanda untuk bekerja sama. Ajakan tersebut ditolak I Gusti Ngurah Rai.

Pada tanggal 18 November 1946, I Gusti Ngurah Rai menyerang Belanda. Pasukan Ngurah Rai berhasil
mengusai Tabanan. Namun, karena kekuatan pasukan yang tidak seimbang akhirnya pasukan Ngurah Rai
dapat dikalahkan dalam pertempuran puputan (habis-habisan) di Margarana, sebelah utara Tabanan. I
Gusti Ngurah Rai gugur bersama anak buahnya.

Gugurnya I Gusti Ngurah Rai melicinkan jalan bagi usaha Belanda untuk membentuk “Negara Indonesia
Timur”. J. Pertempuran lima hari di Palembang Pasukan Sekutu mendarat di Palembang pada tanggal 12
Oktober 1945. Pasukan ini dipimpin oleh Letnan Kolonel Carmichael. Bersama pasukan Sekutu ikut pula
aparat NICA.

Pemerintah Indonesia di Palembang menentukan bahwa pasukan Sekutu hanya diizinkan mendiami
daerah Talang Semut. Akan tetapi, mereka tidak mengindahkan peraturan itu. Insiden dengan pemuda
meletus ketika mereka menggeledah rumah-rumah penduduk untuk mencari senjata. Sekutu terus
menambah kekuatannya di Palembang. Pada bulan Maret 1946, pasukan Sekutu sudah berjumlah dua
batalyon. Sekutu juga melindungi masuknya pasukan Belanda. Jumlah pasukan Belanda semakin
bertambah.

Ketika meninggalkan kota Palembang, Sekutu menyerahkan kedudukannya kepada Belanda.


Pertempuran Belanda dan para pemuda meletus ketika Belanda meminta para pemuda dan peju-ang
mengosongkan kota Palembang. Belanda mengajak berunding dan melakukan gencatan senjata.
Sementara perundingan berlangsung, pada tanggal 1 Januari 1947 pertempuran meletus kembali.
Pertempuran berlangsung selama lima hari lima malam. Seperlima bagian kota Palembang hancur. Pada
tanggal 6 Januari 1947 dicapai persetujuan gencatan senjata antara Belanda dan Pemerintah Republik
Indonesia di Palembang.

Anda mungkin juga menyukai