Anda di halaman 1dari 9

Pertempuran 5 hari di semarang

Latar Belakang
Pertempuran Lima Hari di Semarang adalah peristiwa pertempuran antara rakyat Indonesia
melawan tentara Jepang di Semarang, dari tanggal 15-20 Oktober 1945 pada masa transisi
kekuasaan Jepang ke Belanda. Peristiwa ini memunculkan Monumen Tugu Muda, sebagai
penghargaan atas perjuangan para pemuda dalam Pertempuran Lima Hari di Semarang.

Peristiwa terjadi setelah Jepang menyerah kepada sekutu pada tanggal 15 Agustus 1945, yang
disusul dengan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945. Jepang yang
belum bisa menerima kekalahan membuat Indonesia belum aman dari penjajahan. Pertempuran
Lima Hari di Semarang dipicu oleh sikap Jepang yang tidak mau menyerahkan senjatanya kepada
para pemuda, juga karena peristiwa terbunuhnya dr.Kariadi.

Kronologi
Pertempuran Lima Hari di Semarang bermula dari semangat pemuda yang ingin merebut senjata
dari tentara Jepang setelah mendengar kabar kemerdekaan Indonesia. Meskipun Badan Keamanan
Rakyat (BKR) sudah mulai melaksanakan pelucutan senjata di beberapa tempat di Jawa Tengah, di
Semarang, penyerahan senjata tidak lancar karena Kidobutai enggan menyerahkan senjatanya.
Kecurigaan terhadap Jepang semakin meningkat ketika Sekutu mulai mendarat di Pulau Jawa. Pada
14 Oktober 1945, tentara Jepang menolak menyerahkan senjatanya lagi, memicu kemarahan
pemuda.

Para tawanan Jepang melarikan diri dan bergabung dengan pasukan Kidobutai saat hendak
dipindahkan, menimbulkan ketegangan di Semarang. Kabar tentang serangan balasan pasukan
Kidobutai dan rencana meracuni Reservoir Siranda membuat situasi semakin tegang. Pembunuhan
dr. Kariadi oleh tentara Jepang di Jalan Pandanaran Semarang menambah ketegangan. Keesokan
harinya, pertempuran pecah di empat titik di Kota Semarang, antara lain di daerah Kintelan,
Pandanaran, Jombang, dan Simpang Lima.

Pada pukul 14.00, Mayor Kido memerintahkan pasukannya menyerang pasukan Indonesia,
sementara rakyat Indonesia membakar gudang amunisi milik Jepang. Kemudian, sekitar pukul 15.00,
Mayor Kido memerintahkan serangan balik dengan mengerahkan seluruh anggotanya. Melihat
serangan tersebut, TKR mengirimkan bala bantuan ke Semarang. Pertempuran terus berlanjut
hingga tanggal 16 Oktober 1945, ketika pasukan Jepang berhasil merebut penjara Bulu sekitar pukul
16.30. Serangan dari pasukan Mayor Kido berlanjut hingga tanggal 19 Oktober 1945.
Pada tanggal 19 Oktober 1945, sempat terjadi gencatan senjata antara kedua belah pihak, tetapi
tidak memadamkan situasi. Akhirnya, Pertempuran Lima Hari Semarang berakhir setelah
perwakilan Indonesia dan Jepang, diwakili oleh Kasman Singodimedjo, Mr. Sartono, dan Komandan
Tentara Jepang Letkol Nomura, serta perwakilan Sekutu, Jenderal Bethel, berunding. Pihak Sekutu
kemudian melucuti seluruh persenjataan Jepang pada tanggal 20 Oktober 1945, menandai
berakhirnya pertempuran.

Peristiwa ini menewaskan sekitar 2.000 orang. Versi lain menyebut bahwa kurang dari 300 orang
yang tewas. Dari pihak Jepang,, Ken'ichi Goto, seorang sejarawan Jepang menulis bahwa 187 orang
tewas dalam pertempuran. Sementara itu, Mayor Kido melaporkan bahwa ada 42 tentara tewas, 43
terluka, dan 213 hilang.

Bojongkokosan

Latar Belakang
Kedatangan Sekutu ke Indonesia pada akhir Oktober 1945 bertujuan melucuti senjata Jepang dan
membebaskan tawanan Jepang di tempat seperti Surabaya dan Bandung. Awalnya disambut baik
oleh rakyat Indonesia karena tidak melibatkan tentara NICA dan melibatkan TKR dalam pengiriman
bantuan APWI. Namun, pelanggaran terjadi ketika Sekutu mengirim konvoi besar tanpa TKR. Ini
menyebabkan Perdana Menteri Sutan Syahrir, Komandemen Jawa Barat, dan Walikota Sukabumi
mengadang konvoi, terjadi di Bojong Kokosan pada 9 Desember 1945, yang dikenal sebagai
pertempuran Bojong Kokosan.

Kronologi
Sebelum pengadangan, pejuang Indonesia melakukan persiapan dengan matang. Kolaborasi antara
Komandan Resimen III TKR, Letkol Edi Sukardi, dengan laskar rakyat seperti Hisbullah, Fisabilillah,
Barisan Benteng, dan Pesindo dilakukan. Mereka menyusun peta penyerangan sepanjang 81 km,
dibagi dalam empat titik tempur dari Cigombong hingga Ciranjang. Di Bojong Kokosan, Mayor Yahya
Bahram memimpin regu pengadang pertama, didukung oleh Kapten Murad Idrus. Mereka
menggunakan strategi barikade tipuan untuk mengganggu konsentrasi tentara Sekutu, yang
dilengkapi dengan persenjataan lengkap. Konvoi Sekutu melintasi Bojong Kokosan dengan
perbekalan untuk tawanan APWI, diawali oleh delapan tank Stuart, tiga pesawat Thunderbolt, dan
satu pesawat Mosquito.
Pasukan Sekutu terhenti di Bojong Kokosan karena adanya penghadangan oleh pejuang Indonesia.
Penghadangan ini berubah menjadi pertempuran sengit dengan pelemparan granat tangan dan
bom molotov. Sekutu, tidak siap, menjadi panik dan kehilangan kendali, terutama karena cuaca
buruk dengan hujan deras.

Setelah hujan reda, pesawat tempur Inggris menembaki area pertempuran dari udara, memaksa
pasukan pejuang Indonesia yang kehabisan amunisi untuk mundur dari Bojong Kokosan. Meskipun
demikian, serangan tersebut memberikan dampak besar bagi Sekutu, dengan sekitar 50 tentara
mereka tewas dan 100 lainnya cedera. Di sisi lain, korban dari pihak Indonesia sebanyak 28 orang.
Sebagai penghormatan, Museum Palagan Bojong Kokosan didirikan untuk mengabadikan peristiwa
tersebut, dan tanggal pertempuran ditetapkan sebagai Hari Juang Siliwangi sejak tahun 2004.

Medan Area

Latar Belakang
Pertempuran Medan Area adalah perlawanan rakyat terhadap Sekutu dan Nederlandsch Indische
Civiele Administratie (NICA) yang terjadi di Medan, Sumatra Utara pada 1945. Pertempuran ini
berawal ketika Sekutu mendarat di Kota Medan pada 9 Oktober 1945 di bawah pimpinan Brigadir
Jenderal T.E.D Kelly. Kedatangan tentara Sekutu tersebut bertujuan mengambil alih pemerintahan.
Hal itu memicu munculnya perlawanan rakyat di Kota Medan. Rakyat dan para pejuang di Sumatra
Utara, khususnya Medan tidak tinggal diam melihat hal tersebut. Maka terjadilah konflik bersenjata
yang kemudian dikenal sebagai Pertempuran Medan Area.

Kronologi
Peristiwa ini dimulai dari rakyat Medan yang baru mendengar kabar proklamasi kemerdekaan
Indonesia sepuluh hari setelah teks tersebut dibacakan. Sementara itu, tiga hari sebelumnya yakni
pada 24 Agustus 1945, pemerintah Kerajaan Inggris dan Kerajaan Belanda telah menyepakati Civil
Affairs Agreement. Dalam persetujuan ini disebutkan bahwa panglima tentara pendudukan Inggris
di Indonesia akan memegang kekuasaan atas nama Pemerintah Belanda. Kemudian Tentara Inggris
mendarat di Medan pada 9 Oktober 1945 dan melaksanakan Civil Affairs Agreement.

Pada awalnya, pemerintah Indonesia di Sumatra Utara menerima baik kedatangan pasukan Inggris
yang berkaitan dengan tugasnya membebaskan tawanan perang Belanda. Namun pada 13 Oktober
1945, salah seorang tentara NICA penghuni hotel di Jalan Bali merampas dan menginjak-injak
lencana merah putih yang dipakai pemuda Indonesia.

Pertempuran dimulai ketika para pemuda menyerang gedung pemerintahan yang dikuasai oleh
Sekutu. Sekutu mengultimatum rakyat pada 18 Oktober 1945 untuk menyerahkan senjata. Pada 1
Desember 1945, Sekutu memasang papan Fixed Boundaries Medan Areas untuk menunjukkan
wilayah kekuasaan mereka. Pada 10 Desember 1945, Sekutu melancarkan operasi militer besar-
besaran dengan melibatkan pesawat tempur.

Pada April 1946, Sekutu berhasil menguasai Kota Medan, dan mendesak pemerintah Indonesia di
sana untuk keluar. Pada 10 Agustus 1946, di Tebing Tinggi, terjadi pertemuan para komandan
pasukan yang berjuang di Medan Area. Dalam pertemuan itu, terbentuk Komando Resimen Laskar
Rakyat untuk memperkuat perlawanan di Kota Medan, yang menghidupkan kembali perjuangan di
wilayah tersebut.

Komando terus melawan Sekutu di Kota Medan. Pertempuran Medan Area berakhir pada 15
Februari 1947 setelah diperintahkan penghentian kontak senjata oleh Komite Teknik Gencatan
Senjata. Panitia Teknik juga menetapkan garis demarkasi definitif untuk Medan Area pada tanggal
10 Maret 1947, melingkari kota Medan dan daerah koridor Medan Belawan.

Insiden Pertempuran Medan Area yang terjadi sejak 13 Oktober 1945 hingga April 1946 telah
memakan banyak korban jiwa. Terdapat tujuh orang pemuda gugur, tujuh orang NICA tewas, dan 96
orang NICA lainnya mengalami luka-luka. Selain itu, beberapa daerah Kota Medan juga hancur
karena menjadi area pertempuran antara pihak Indonesia dengan Sekutu dan NICA.

Merah Putih di Manado

Latar Belakang
Pada 21 Agustus 1945, berita proklamasi kemerdekaan Indonesia mencapai Sulawesi Utara, memicu
pengibaran bendera merah-putih dan pendudukan kantor-kantor yang sebelumnya dikuasai Jepang.
Namun, pada awal Oktober 1945, kedatangan tentara Sekutu dan NICA mengakibatkan kekacauan
kembali di Sulawesi Utara. Meskipun demikian, rakyat Manado tidak melakukan perlawanan,
sehingga kota tersebut berhasil diduduki kembali. Letnan Kolonel Charles Choesj Taulu dan Sersan
SD Wuisan bersama pasukan merencanakan pengambilalihan markas pusat militer Belanda, sebuah
rencana yang telah disusun sejak 7 Februari 1946 dengan bantuan Bernar Wilhelm Lapian, seorang
politisi sipil.

Kronologi
Puncak penyerbuan terjadi tanggal 14 Februari. Namun, sebelum itu, para pimpinan pasukan sudah
lebih dulu tertangkap oleh tentara Belanda, termasuk C Taulu dan Wuisan. Akibatnya, rencana
pemberontakan ke tangsi militer Belanda dipindah tugaskan kepada Komando Mambi Runtukahu,
pemimpin anggota KNIL dari orang Minahasa. Bersama dengan rakyat Manado lainnya, mereka
berhasil membebaskan C Taulu dan Wuisan serta beberapa pemimpin lain yang tengah ditawan.
Usai semua bebas, pertempuran kembali berlanjut. Puncak penyerbuan dalam peristiwa ini ditandai
dengan perobekan bendera Belanda yang awalnya berwarna merah, putih, dan biru menjadi merah
dan putih. Setelah itu, bendera merah putih segera dikibarkan di atas gedung markas Belanda.

Para pimpinan pasukan Belanda juga berhasil ditangkap, di antaranya adalah Letnan Verwaayen,
pimpinan tangsi militer dan Kapten Blom, pemimpin garnisun Manado. Keberhasilan ini telah
membuat rakyat Manado berhasil mengambil alih kekuasaan Belanda di sana. Sayangnya,
keberhasilan tersebut tidak berlangsung lama. Awal Maret, kapal perang Belanda Piet Hein tiba di
Manado dengan membawa pasukan sekitar satu batalyon. Kedatangan mereka ini disambut oleh
pasukan KNIL yang berada di pihak Belanda. Kemudian, 11 Maret, para pimpinan gerakan merah
putih diundang ke kapal Belanda.

Awalnya, para pemimpin ini diundang untuk melakukan perundingan. Akan tetapi, rupanya tujuan
utama Belanda adalah untuk menahan mereka, para pemimpin Sulawesi Utara. Ajakan tersebut
merupakan siasat tentara Belanda agar dapat melemahkan para pejuang rakyat Sulawesi Utara.
Pada akhirnya, Belanda berhasil kembali menguasai wilayah Sulawesi Utara.

Palagan Ambarawa

Latar belakang
Insiden dimulai di Magelang pada 20 Oktober 1945 ketika Brigade Artileri Inggris mendarat di
Semarang di bawah pimpinan Brigadir Bethell. Mereka diperkenankan oleh Republik Indonesia
untuk mengurus pelucutan pasukan Jepang dan evakuasi interniran Sekutu. Namun, interniran
tersebut ternyata diboncengi oleh NICA dan mempersenjatai tawanan Jepang. Pada 26 Oktober
1945, pertempuran pecah di Magelang antara TKR dan tentara Inggris, tetapi berhenti setelah
kedatangan Soekarno dan Brigadir Bethell pada 2 November 1945.

Mereka pun mengadakan perundingan untuk melakukan gencatan senjata. Melalui perundingan
tersebut tercapai sebuah kesepakatan, antara lain:
Pihak Inggris akan tetap menempatkan pasukannya di Magelang untuk melakukan kewajibannya
melindungi dan mengurus evakuasi APW.
Jalan raya Magelang-Ambarawa terbuka bagi lalu lintas Indonesia dan Inggris.
Inggris tidak akan mengakui aktivitas NICA dalam badan-badan yang berada di bawah
kekuasaannya.

Sayangnya, pihak Inggris mengingkari perjanjian tersebut. Kesempatan dan kelemahan yang ada
dalam pasal tersebut dipergunakan Inggris untuk menambah jumlah pasukannya yang berada di
Magelang.
Kronologi
Pada 20 November 1945, pertempuran pecah di Ambarawa antara TKR yang dipimpin Mayor
Sumarto dan pasukan Inggris. Pasukan Inggris dari Magelang kemudian ditarik ke Ambarawa dan
dilindungi oleh pesawat udara pada 21 November 1945. Pertempuran berlanjut pada 22 November
1945, ketika pasukan Inggris melakukan pengeboman terhadap kampung-kampung di sekitar
Ambarawa. TKR bersama pemuda dari Boyolali, Salatiga, dan Kartasura membentuk garis
pertahanan sepanjang rel kereta api dan membelah Kota Ambarawa. Di sisi lain, pasukan TKR dari
Divisi V/Purwokerto di bawah pimpinan Imam Adrongi melancarkan serangan fajar dari arah
Magelang, berhasil menduduki Desa Pingit. Sementara itu, tiga batalyon tambahan dari Yogyakarta
juga bergabung, termasuk Batalion 10 Divisi X di bawah Mayor Soeharto.

Meskipun dikepung, tentara Inggris tetap menyerang Ambarawa dengan tembakan meriam. Untuk
menghindari korban, TKR diperintahkan untuk mundur ke Bedono oleh komandan mereka. Bala
bantuan dari Resimen 2 dan Batalyon Polisi Istimewa, dipimpin oleh M. Sarbini dan Onie
Sastoatmodjo, serta batalion dari Yogyakarta berhasil menahan serangan musuh di Desa Jambu. Di
sana, Kolonel Holand Iskandar memimpin rapat koordinasi.

Rapat tersebut menghasilkan pembentukan Markas Pimpinan Pertempuran di Magelang. Pada 26


November 1945, Letnan Kolonel Isdiman, pemimpin pasukan dari Purwokerto, gugur, dan posisinya
digantikan oleh Kolonel Soedirman. Sejak itu, situasi pertempuran semakin menguntungkan pihak
TKR. Pada 5 Desember 1945, musuh berhasil terusir dari Desa Banyubiru.

Pada 11 Desember 1945, Kolonel Soedirman mengadakan perundingan dengan para komandan
sektor. Setelah mendengar laporan mereka, ia menyimpulkan bahwa posisi musuh sudah terjepit.
Maka, disepakati untuk melancarkan serangan terakhir: Serangan pendadakan dari semua sektor
secara serentak. Setiap komandan sektor memimpin serangan dengan pasukan cadangan laskar.
Serangan dimulai pada 12 Desember pukul 04.30, saat pasukan TKR bergerak menuju target
masing-masing.

Dalam kurun waktu 1,5 jam, mereka sudah berhasil mengepung kedudukan musuh dalam kota.
Kota Ambarawa dikepung selama empat hari empat malam. Pasukan Inggris yang sudah merasa
terdesak berusaha untuk memutus pertempuran. Pada 15 Desember 1945, pasukan Inggris
meninggalkan Kota Ambarawa dan mundur ke Semarang.
Puputan Margarana

Latar belakang
Perang Puputan Margarana di Bali dipicu oleh hasil Perjanjian Linggarjati yang tidak memasukkan
Bali sebagai bagian dari Republik Indonesia. Pasukan Belanda harus meninggalkan daerah yang
diakui de facto sebagai bagian Indonesia paling lambat 1 Januari 1946. Perjanjian Linggarjati tidak
memasukan Bali sebagai bagian dari Republik Indonesia yang mengecewakan rakyat Bali dan
memicu perlawanan. Letkol I Gusti Ngurah Rai menolak pembentukan Negara Indonesia Timur (NIT)
oleh Belanda, sehingga kedatangan pasukan Belanda di Bali untuk mengintegrasikan Bali ke NIT
juga memicu perlawanan.

Kronologi
Pasca Perjanjian Linggarjati ditandatangani kedua belah pihak pada tanggal 25 Maret 1947, Belanda
memulai usahanya untuk mendirikan NIT. Sebagai Komandan Resimen Sunda Kecil di Yogyakarta, ia
menolak bekerja sama membentuk NIT. Sebagai gantinya, ia memimpin perlawanan di Bali dengan
kekuatan 13,5 kompi di bawah nama Ciung Wanara.

I Gusti Ngurah Rai bersama pasukannya kemudian bertekad melakukan perlawanan terhadap
Belanda. Pada 18 November 1946, markas pertahanan atau militer Belanda di Tabanan, Bali
diserang secara habis-habisan. Hal ini membuat Belanda murka dan mengerahkan seluruh
kekuatannya untuk mengepung Bali, khususnya Tabanan dengan mengirimkan pasukan dan tiga
pesawat pemburu miliknya. Pasukan yang dikirim Belanda tersebut mulai melakukan serangan pada
20 November 1946 pukul 05.30 WITA, dengan menembaki area pasukan warga Bali.

Kekuatan persenjataan yang dimiliki pasukan tersebut tergolong minim, sehingga mereka belum
bisa melakukan aksi serangan balasan kepada pasukan Belanda. Sekitar pukul 09.00 WITA, pasukan
Belanda yang kira-kira berjumlah 20 orang mulai mendekat dari arah barat laut, dan Beberapa saat
kemudian terdengarlah suara tembakan. Sebanyak 17 orang pasukan Belanda ditembak mati oleh
pasukan Ciung Wanara yang dipimpin oleh I Gusti Ngurah Rai. Setelah mengetahui jika pasukannya
mati, Belanda melakukan aksi serangan dari berbagai arah.

Namun, upayanya ini beberapa kali mengalami kegagalan karena pasukan Ciung Wanara berhasil
melakukan aksi serangan balik. Tidak hanya itu, Belanda juga sempat menghentikan aksi
serangannya selama satu jam. Beberapa saat kemudian, Belanda kembali menyerang dengan
mengirimkan banyak pasukan serta pesawat terbang pengintai, kira-kira pukul 11.30 WITA.
Serangan ini kembali berhasil dihentikan oleh pasukan Ciung Wanara.

Belanda dan pasukannya mundur 500 meter untuk menghindari pertempuran, memberi
kesempatan pada I Gusti Ngurah Rai dan pasukannya untuk melarikan diri. Namun, Belanda
mengirimkan pesawat untuk mengejar mereka. Di saat terakhir, I Gusti Ngurah Rai berseru
"Puputan!", menandakan keputusasaan. Mereka bertempur habis-habisan melawan Belanda.
Akhirnya, I Gusti Ngurah Rai dan 1372 pejuang lainnya gugur dalam Puputan Margarana. Kekalahan
dalam pertempuran ini memudahkan Belanda dalam mendirikan Negara Indonesia Timur (NIT).
Sebanyak 69 anggota pasukan Ngurah Rai gugur, sementara sekitar 400 orang tewas di pihak lawan.

Setelah Indonesia kembali menjadi negara kesatuan pada 1950, upaya Belanda untuk memperoleh
kendali kembali gagal. Ini terjadi setelah pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS) mengeluarkan
Undang-undang Darurat No. 11 Tahun 1950 yang mengatur penggabungan daerah otonom seperti
Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Madura dengan RI di Yogyakarta. Bergabungnya lebih banyak daerah
dengan RI menyebabkan RIS hanya tersisa tiga negara, termasuk Republik Indonesia, Negara
Sumatera Timur, dan Negara Indonesia Timur pada 22 April 1950. Sejak itu, setiap tanggal 20
November, masyarakat Bali memperingati Hari Puputan Margarana untuk menghormati para
pahlawan yang gugur membela negara.

Serangan umum 1 maret 1949

Latar belakang
Serangan umum dilatarbelakangi oleh propaganda Belanda ke dunia internasional yang mengklaim
bahwa Indonesia sudah hancur. Tak hanya itu, kelompok Belanda juga mengatakan bahwa pasukan
tentara Indonesia tidak ada yang tersisa meski negaranya sudah merdeka. Dengan ketiadaan
Negara Indonesia dan pasukan tentara, pihak Belanda merasa bisa leluasa menguasai kembali
wilayah Indonesia. Mengetahui adanya propaganda menyesatkan dari kelompok Belanda, pihak
Indonesia tidak tinggal diam dan segera menyusun strategi untuk melawannya.

Kronologi
Sebelum terjadinya serangan umum 1 Maret 1949, pasukan TNI dan beberapa kalangan rakyat,
turut serta menyusun strategi untuk melancarkan serangan balik pada Belanda. Sebelum
menyerang, para pasukan sudah mendapat izin dari Sri Sultan Hamengku Buwono IX, yang kala itu
menjabat Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta.

Di suatu malam menjelang serangan umum, para pasukan TNI sudah mulai menyusup ke berbagai
sudut kota di seluruh wilayah Yogyakarta. Pada pukul 06.00 WIB tanggal 1 Maret 1949, sebuah
sirene berbunyi sebagai tanda jam malam berakhir dan serangan umum siap dilancarkan. Ketika
pasukan TNI beraksi, pihak Belanda berhasil dikejutkan oleh serangan umum mendadak sehingga
mereka tidak memiliki banyak waktu untuk menyiapkan serangan balik. Dalam waktu cukup singkat,
pasukan TNI berhasil memukul mundur pasukan Belanda keluar dari Yogyakarta, karena izin masuk
mereka ke wilayah tersebut juga termasuk ilegal.
Keberhasilan TNI setelah membubarkan Belanda ini menjadi berita baik dan disebarluaskan ke luar
negeri melalui Birma, sehingga berita radio itu sampai ke perwakilan RI di PBB, New York, Amerika
Serikat. Tak hanya itu, berita keberhasilan serangan umum juga meluas di tanah air melalui jaringan
radio pemerintah. Berkat serangan umum pada 1 Maret 1949, dukungan internasional mulai
berdatangan bagi Indonesia, termasuk pemerintah Amerika Serikat yang awalnya mendukung
Belanda, mulai mengubah sikapnya dan meminta pihak Belanda agar mau berunding dengan
Indonesia.

Serangan umum pada 1 Maret 1949 ini mempunyai dampak besar terhadap posisi Indonesia di
mata dunia, di antaranya membuktikan bahwa eksistensi TNI masih sangat kuat dan mampu
menyerang, mempertahankan kedaulatan Republik Indonesia, Indonesia mendapat tawaran
perundingan dari Dewan Keamanan PBB, memulihkan kepercayaan rakyat terhadap performa kerja
TNI, bisa mengubah sikap pemerintahan Amerika Serikat terhadap Belanda, supaya mau berunding
dengan RI, mematahkan propaganda bohong yang dilakukan Belanda kepada Indonesia di dunia
internasional.

Anda mungkin juga menyukai