Menganalisis perkembangan dan tantangan awal kerdekaan
Kondisi awal Indonesia merdeka masih belum begitu mapan ketegangan, kekacauan, dan berbagai insiden ang masih terjadi, contohnya rakyat Indonesia masi bentrok sisa-sisa kekuatan Jepang di amping menghadapi kekuatan Jepang, bangsa Indonesia harus berhadapan dengan tentara Inggris atas nama Sekutu, dan juga NICA (Belanda) yang berhasil datang kembali dengan di bonceng oleh sekutu. Saat itu, Indonesia belum mempunyai mata uang sendiri, sedangkan peredaran mata uang Jepang semakin tidak terkendali. Mata uang Jepang tidak bisa dilarang karena rakyat masih membutuhkan dan Indonesia belum mempunyai mata uang sendiri. Saat itu, mata uang yang beredar di Indonesia ada tiga, yakni 1) mata uang rupiah Jepang, 2) mata uang pemerintah Hindia Belanda, dan 3) mata uang NICA. Sementara itu, Belanda (NICA) terus menekan pemerintah Indonesia sehingga Jakarta dirasakan tidak aman lagi. Kekacauan secara ekonomi dan politik di Jakarta inilah yang menyebabkan pada 4 Januari 1946 ibu kota RI yang ada di Jakarta pindah ke Yogyakarta. Baru setelah 1 Oktober 1946, Indonesia mengeluarkan mata uang resmi yang dikenal dengan nama uang ORI sehingga uang NICA dinyatakan sebagai alat tukar yang tidak sah Belanda, Australia, dan Amerika Serikat merupakan negara yang membentuk koalisi dalam Perang Dunia II. Setelah Perang Dunia II selesai, terjadi perundingan antara Belanda dengan Inggris yang menghasilkan Civil Affairs Agreement. Isi dari perundingan itu adalah tentang pengaturan penyerahan kembali Indonesia dari pihak Inggris kepada pihak Belanda, terutama daerah Sumatra, sebagai daerah di bawah pengawasan. SEAC (South East Asia Command). Dalam perundingan itu, diatur langkah-langkah sebagai berikut. a. Tentara Sekutu akan mengadakan operasi militer untuk memulihkan keamanan dan ketertiban. b. Setelah keadaan normal, pejabat-pejabat NICA akan mengambil alih tanggung jawab koloni dari pihak Inggris yang mewakili Sekutu. Setelah Jepang menyerah kepada Sekutu pada 15 Agustus 1945, pemerintah Belanda mendesak kepada Inggris agar segera mengesahkan perjanjian itu. Akhirnya, perjanjian disahkan pada 24 Agutus 1945. Berdasarkan Perjanjian Postdam, Civil Affairs Agreement diperluas, yakni Inggris bertanggung jawab untuk seluruh Indonesia, termasuk daerah yang berada di bawah pengawasan SWPAC (South West Pasific Areas Command). b. Rencana Pemuda dan Tentara Dalam Mempertahankan Proklamasi Setelah AFNEI diboncengi NICA yang ingin menguasai lagi Indonesia, di berbagai daerah terjadi pertempuran. Masalah semakin rumit ketika Jepang juga tidak secara sukarela melepaskan Indonesia untuk merdeka sepenuhnya. Bagaimana para pejuang menghadapi Jepang dan Sekutu (NICA)? Berikut paparannya. 1) Pertempuran Lima Hari di Semarang Melawan Jepang Setelah berita proklamasi kemerdekaan dikumandangkan pada 17 Agustus 1945, akhirnya berita bahwa Indonesia merdeka sudah masuk ke telinga warga Semarang. Hal tersebut membuat para pemuda Semarang semakin berani untuk melucuti tentara Jepang yang sebelumnya sudah kalah dalam Perang Dunia II. Namun, pada 14 Oktober 1945, Mayor Kido menolak untuk dilucuti senjatanya sehingga suasana semakin mencekam. Penolakan tersebut membuat warga Semarang marah. Mereka menjadikan Rumah Sakit Purusara menjadi markas besar warga Semarang saat itu. Pada tanggal yang sama, yaitu 14 Oktober 1945, tepatnya pukul 06.30 WIB, warga Semarang mendapat perintah untuk menghadang semua kendaraan tentara Jepang yang lewat di sekitar Rumah Sakit Purusara. Para pemuda berhasil menghadang salah satu kendaraan Jepang milik Kempetai dan melucuti senjatanya. Terjadilah pertempuran sengit antara pemuda Semarang melawan tentara Jepang. Pertempuran ini dikenal dengan Pertempuran Lima Hari di Semarang Tanggal 17 Oktober 1945 pula, disepakati gencatan senjata yang diadakan di Candi Baru. Sekalipun dalam perundingan gencatan senjata sudah disepakati, ternyata tentara Jepang masih melanjutkan pertempuran. Pada 18 Oktober 1945 (hari kelima), Jepang berhasil mematahkan serangan para pemuda Semarang. Pada hari itu juga telah datang utusan pemerintah pusat di Jakarta untuk melakukan perundingan dengan Jepang. Pada 19 Oktober 1945 pagi hari, pemuda Semarang belum tampak menyerahkan senjata kepada Jepang. Sementara itu, tentara Jepang sudah menyiapkan mesiu untuk menghancurkan Kota Semarang. Tiba-tiba, pukul 07.45 terdengar kabar bahwa Sekutu telah mendarat di Pelabuhan Tanjung Mas Semarang dengan tujuan melucuti senjata Jepang. Dengan datangnya Sekutu, maka pertempuran antara pejuang Semarang dengan tentara Jepang berakhir. 2) Pertempuran Kotabaru di Yogyakarta Melawan Jepang Perlawanan dimulai dengan perebutan senjata dan perkantoran yang dilakukan oleh kesatuan-kesatuan di Yogyakarta. Para pemuda, BKR dan Peta terus melakukan tukar pendapat untuk melakukan perebutan kekuasaan terhadap Jepang. Beberapa tokoh pemuda Peta tersebut antara lain Sudarto, Syaifudin, Marsudi, Umar Slamet, Sunjoyo, dan Soeharto. Pada 27 September 1945, Komite Nasional Indonesia Daerah Yogyakarta mengumumkan bahwa seluruh kekuasaan pemerintah telah berada di tangan Republik Indonesia. Sebelum menyerbu kawasan Kotabaru, kelompok-kelompok pemuda dari Kampung Pathuk, Jagalan, Jetis Utara, dan Gowongan mengadakan pertemuan pada 5 Oktober 1945. Akhirnya, pada 5 Oktober 1945, gedung Cokan Kantai berhasil direbut dan kemudian dijadikan sebagai Kantor Komite Nasional Indonesia Daerah. Gedung Cokan Kantai kemudian dikenal dengan Gedung Nasional atau Gedung Agung (sekarang Istana Negara). Satu hari setelah perebutan Gedung Cokan Kantai, para pejuang Yogyakarta ingin melakukan perebutan senjata dan markas Osha Butai di Kotabaru. Untuk itu, pada 6 Oktober 1945 diadakan perundingan antara pihak Indonesia dengan Jepang. Dalam perundingan itu, utusan Indonesia mendesak agar Jepang secara sukarela menyerahkan senjata dan kekuasaannya. Mayor Otsuka dan tentara Jepang tetap bertahan. Mayor Otsuka kemudian menyatakan bahwa untuk menyerahkan senjata harus menunggu perintah dari Jenderal Nakamura di Magelang. Dalam waktu singkat telah berkumpul banyak pemuda dan terus bergerak menuju Kotabaru. Rakyat dan para pemuda terdiri dari berbagai kesatuan, antara lain TKR, Polisi, dan BPU (Barisan Penjagaan Umum) yang sudah bertekad untuk menyerbu markas Jepang di Kotabaru. Dalam Penyerbuan Kotabaru tersebut, sebanyak 21 pejuang gugur dan sekitar 32 orang mengalami luka-luka. Sedangkan dari pihak tentara Jepang, 9 orang tewas dan 15 orang luka-luka. Mereka yang gugur adalah 1) Sareh, 2) Sadjiyono, 3) Sabirin, 4) Soenaryo, 5) Soeroto, 6) Soepadi, 7) Soehodo, 8) Soehartono, 9) Trimo, 10). Mohammad Wardani, 11) Atmosukarto, 12) Ahmad Djazuli, 13) Achmad Zakir, 14) Abu Bakar Ali, 15) Djoemadi, 16) Djuhar Nurhadi, 17) Faridan M. Noto, 18) Hadi Darsono, 19) I Dewa Nyoman Oka, 20) Oemoem Kalipan, dan 21) Bagong Ngadikan. Akhirnya, pada 7 Oktober 1945 sekitar pukul 10.00, markas Jepang (Butaico) Kotabaru secara resmi diserahkan ke tangan pejuang Yogyakarta. Setelah Butaico Kotabaru jatuh, usaha perebutan kekuasaan meluas. R.P. Sudarsono kemudian memimpin pelucutan senjata Kaigun di Maguwo. Dengan berakhirnya pertempuran Kotabaru dan dikuasainya Maguwo, maka Yogyakarta di bawah kekuasaan Republik Indonesia. 3) Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya Melawan Sekutu Setelah proklamasi kemerdekaan, para pemuda Surabaya berhasil memperoleh senjata dari tentara Jepang yang dilucuti setelah Jepang menyerah kepada Sekutu. Para pemuda Surabaya sudah terorganisasi sehingga mereka sudah siap menghadapi segala ancaman yang datang dari manapun. Pada 25 Oktober 1945, Brigade 49 dari Divisi 23 Sekutu yang berkekuatan sekitar 5.000 tentara mendarat di Surabaya di bawah pimpinan Brigadir Jenderal Aulbertin Walter Sothern Mallaby. Tanggal 26 Oktober 1945, dicapai kesepakatan antara pimpinan Indonesia dengan Brigadir Mallaby, yang isinya antara lain sebagai berikut. a. Senjata- senjatanya yang dilucuti hanya senjata tentara Jepang. b. Tentara Inggris selaku wakil Sekutu akan membantu Indonesia dalam pemeliharaan keamanan dan perdamaian. c. Setelah semua senjata tentara Jepang dilucuti, mereka akan diangkut melalui laut. Pada 27 Oktober 1945, pukul 11.00, sebuah pesawat Dakota melintas dari Jakarta. Atas perintah Mayjend. Hawthorn, pesawat itu menyebarkan pamflet yang berisi perintah penyerahan senjata yang dimiliki rakyat Indonesia kepada tentara Sekutu. Dalam waktu 2 kali 24 jam, seluruh senjata harus sudah diserahkan dan bagi yang masih membawa senjata melewati batas waktu itu akan ditembak di tempat. Hal ini jelas bertentangan dengan kesepakatan sehari sebelumnya yang telah disetujui Mallaby. Pada saat yang hampir bersamaan para pemimpin (NU) Nahdlatul Ulama dan Masyumi menyatakan bahwa perang mempertahankan kemerdekaan Indonesia adalah Perang Sabil sehingga menjadi suatu kewajiban yang melekat pada semua muslim. Para kiai dan santri kemudian mulai bergerak dari pesantren-pesantren di Jawa Timur menuju ke Surabaya. Serangan total dilakukan pada 28 Oktober 1945 pukul 04.30. Delapan pos pertahanan Sekutu diserbu sekitar 30.000 rakyat bersenjata api dan ditambah sekitar 100.000 rakyat bersenjata tajam. Dari pertempuran yang berlangsung pada 28-29 Oktober 1945, Inggris mencatat 18 perwira dan 374 tentara Sekutu tewas, luka-luka, dan hilang. Sementara di pihak Indonesia, sekitar 6.000 orang gugur, luka-luka, dan hilang. Kapten R.C Smith menulis, Mallaby saat itu menyadari apabila petempuran dilanjutkan mereka akan disapu bersihh. Pada tanggal 30 Oktober 1945dibuatlah kesepakatan antara pemimpin Indonesia dan pemimpin pasukan Sekutu di Indonesia. Pada 30 Oktober 1945, pemuda-pemuda menuntut supaya pasukan Mallaby menyerah. Mallaby tidak bisa menerima tuntutan itu. Setelah penolakan tersebut, terjadi insiden baku tembak yang mengakibatkan tewasnya Mallaby, Komadan Brigade 49, di Surabaya. Pada 31 Oktober 1945, Letnan Jenderal Christison memperingatkan kepada rakyat Surabaya untuk menyerah. Apabila tidak, mereka akan dihancurkan. Tanggal 1 November 1945, pukul 08.00, Laksamana Muda Patterson dengan Kapal Perang HMS Sussex tiba di Surabaya. Sejumlah 1.500 pasukan didaratkan dengan Kapal Carron dan Cavallier. Tanggal 3 November 1945, menyusul pula Mayor Jendral E.C. Manseergh, Panglima Divisi ke-5 Infanteri India, yang tiba di Surabaya dengan membawa 24.000 pasukan, lengkap dengan panser, satu divisi artileri dilindungi dari Tanjung Perak dan Ujung oleh satu cruiser dan empat destroyer dengan meriam jarak jauh yang lengkap, ditambah 21 sherman tank dan meriam yang dilindungi 24 pesawat terbang jenis Mosquito (pemburu) dan Thunderbolts (pelempar bom). Pesawat-pesawat ini berpangkalan di kapal-kapal perusak yang mengadakan straffing serta menjatuhkan bom-bom di Surabaya. Kemudian, pada 9 November 1945, Mayor Jendral E.C. Mansergh menyerahkan 2 surat kepada Gubernur Suryo. Surat yang pertama berupa ultimatum yang ditujukan kepada “All Indonesians of Surabaya” lengkap dengan “Instructions”. Surat yang kedua merupakan perincian dari ultimatum tersebut. Dengan adanya ultimatum ini, pemimpin Surabaya mengadakan pertemuan. Secara resmi pada pukul 22.00, Gubernur Soeryo melalui radio, menyatakan menolak ultimatum Inggris. Tanggal 10 November 1945, pukul 06.00, setelah habisnya waktu ultimatum, Inggris mulai menggempur Surabaya dengan seluruh armada darat, laut, dan udara. Rakyat Surabaya tidak tinggal diam. Mereka melakukan perlawanan atas serangan tersebut. Pertempuran yang tidak seimbang selama tiga minggu telah mengakibatkan sekitar 20.000 rakyat Surabaya menjadi korban, sebagian besar adalah warga sipil. Pertempuran berlangsung dengan ganas selama 3 minggu. Seluruh kota telah jatuh ke tangan Sekutu. Pihak Inggris menduga bahwa perlawanan di Surabaya bisa ditaklukkan dalam tempo tiga hari. Namun, para tokoh masyarakat, seperti pelopor muda Bung Tomo yang berpengaruh besar di masyarakat, terus menggerakkan semangat perlawanan pemuda-pemuda Surabaya sehingga perlawanan terus berlanjut di tengah serangan skala besar Inggris. Tokoh-tokoh agama yang terdiri dari kalangan ulama serta kiai-kiai pondok Jawa seperti K.H. Hasyim Asy’ari, K.H. Wahab Hasbullah, serta kiai-kiai pesantren lainnya juga mengerahkan santri-santri mereka dan masyarakat sipil sebagai milisi perlawanan (pada waktu itu masyarakat tidak begitu patuh kepada pemerintahan, tetapi mereka lebih patuh dan taat kepada para kiai) sehingga perlawanan pihak Indonesia berlangsung lama, dari hari ke hari, hingga dari minggu ke minggu sebelum seluruh Kota Surabaya akhirnya jatuh di tangan pihak Inggris tanggal 28 November 1945. Pertempuran Surabaya berakhir dengan kekalahan pihak Indonesia. Akan tetapi, perang tersebut membuktikan bahwa rakyat Indonesia rela berkorban demi mempertahankan kemerdekaan mereka meskipun harus dibayar dengan nyawa. Sebagai penghormatan atas jasa para pahlawan yang berperang dengan gigih melawan Sekutu di Surabaya, Sukarno menetapkan tanggal 10 November sebagai Hari Pahlawan. 4) Pertempuran Palagan Ambarawa Pertempuran Ambarawa terjadi pada 29 November 1945 dan berakhir pada 15 Desember 1945. Pada 20 Oktober 1945, pasukan Sekutu di bawah komando Brigadir Jenderal Bethell mendarat di Semarang untuk melucuti senjata pasukan Jepang dan membebaskan tahanan perang yang masih ditahan di kamp-kamp konsentrasi di Jawa Tengah. Awalnya, pasukan disambut di daerah itu. Namun ternyata, mereka diboncengi oleh NICA. Pada 26 Oktober 1945, pecah insiden di Magelang yang berkembang menjadi pertempuran antara TKR dengan tentara Sekutu. Insiden itu berhenti setelah kedatangan Presiden Sukarno dengan Brigadir Jenderal Bethell di Magelang pada 2 November 1945. Pada 20 November 1945, di Ambarawa pecah pertempuran antara pasukan TKR di bawah pimpinan Mayor Sumarto melawan tentara Sekutu. Tanggal 21 November 1945, tentara Sekutu yang berada di Magelang ditarik ke Ambarawa di bawah lindungan pesawat tempur. Tanggal 22 November 1945, pertempuran terjadi di dalam kota dan pasukan Sekutu melakukan pengeboman di kampung-kampung sekitar Ambarawa. Karena di dukung oleh tank dan pesawat tempur, Sekutu terus bergerak ke Magelang. Tanggal 12 Desember 1945, Sudirman mengoordinasikan bawahannya untuk mengusir Sekutu dari Ambarawa dengan segala cara. Saat itu, ia menggunakan teknik yang disebut Supit Urang (menjepit dari dua sisi), yang berasal dari kisah perang Bharata Yudha. Tanggal 15 Desember 1945, pertempuran yang dimulai oleh pasukan Sekutu berakhir dengan sebuah bencana. Ambarawa menjadi lautan api ketika pasukan Sekutu membakar rumah-rumah lokal sebelum mereka mundur ke Semarang. Pada 15 Desember 1974, hari ketika Sekutu diusir dari Ambarawa, Presiden Suharto meresmikan Monumen Nasional Ambarawa Battlefield untuk memperingati peristiwa heroik. Kemenangan pertempuran itu kini diabadikan dengan berdirinya Monumen Ambarawa dan diperingati sebagai Hari Tentara Juang Kartika. 5) Pertempuran Medan Area Melawan Sekutu Pertempuran Medan Area diawali ketika pada 9 November 1945, pasukan Sekutu memasuki Kota Medan di bawah pimpinan Brigadir Jenderal T.E.D Kelly diikuti pasukan NICA yang ingin menguasai kembali Indonesia. Teuku Muhammad Hasan, Gubernur Wilayah Sumatra, menerima kedatangan pasukan Sekutu untuk alasan kemanusian. Pemerintah RI di Sumatra Utara memperkenankan mereka menempati beberapa hotel di Medan seperti Hotel de Boer, Grand Hotel, Hotel Astoria. Insiden pertama terjadi di Jl. Bali Medan tanggal 13 Oktober 1945. Pada 18 Oktober 1945, Brigadir Jenderal T.E.D Kelly berusaha melemahkan gerakan rakyat Medan dengan menyampaikan ultimatum agar pemuda menyerahkan senjata kepada Sekutu. Sekutu mulai melakukan pembersihan di berbagai wilayah kota Medan. Sekutu juga mulai melakukan aksi-aksi terornya sehingga muncul permusuhan dikalangan pemuda. Pada 1 Desember 1945, Sekutu memperkuat dan menegaskan kedudukannya dengan memasang patok-patok di sudut kota. Sekutu juga mendesak agar pemerintahan Indonesia yang ada di Medan segera keluar dari wilayah tersebut. Pada 10 Desember 1945, pasukan Sekutu melakukan serangan terhadap kedudukan TKR di Trepes. Pada 13 Desember 1945 Brigadir Jenderal T.E.D Kelly mengeluarkan ultimatum kedua. Bangsa Indonesia dilarang untuk membawa senjata di dalam daerah Medan atau 8,5 kilometer sekitar Medan. Bagi yang membantah akan di tembak mati. Pertempuran setelah ancaman kedua berlanjut sampai April 1946 dan mengakibatkan kerusakan parah. Dengan demikian, Sekutu menguasai Kota Medan. Karena serangan yang tidak terkordinasi, maka pada 10 Agustus 1946 di Tebing Tinggi seluruh pemuda di bawah Napindo dari PNI, Pesindo, Barisan Merah dari PKI, Hizbullah dari Masyumi, dan Pemuda Parkindo membentuk Komando Resimen Laskar Rakyat Medan Area (K.R.L.R.M.A.). Kapten Nip Karim dan Marzuki Lubis dipilih sebagai Komandan dan Kepala Staf Umum. Di bawah komando inilah mereka meneruskan perjuangan di Medan Area. 6) Pertempuran Bandung Lautan Api Melawan Sekutu Latar belakang Peristiwa Bandung Lautan Api berawal dari peristiwa ketika pasukan Sekutu mendarat di Bandung. Pasukan Inggris bagian dari Brigade MacDonald tiba di Bandung pada 17 Oktober 1945. Para pejuang Bandung sedang gencar-gencarnya merebut senjata dan kekuasaan dari tangan Jepang. Pertempuran diawali oleh usaha para pemuda untuk merebut Pangkalan Udara Andir dan pabrik senjata bekas Artillerie Constructie Winkel (ACW) - sekarang Pindad. Menjelang November 1945, pasukan NICA semakin merajalela di Bandung. Tanggal 21 November 1945, TKR dan badan-badan perjuangan Indonesia melancarkan serangan terhadap kedudukan-kedudukan Inggris di wilayah Bandung bagian Utara. Tiga hari kemudian, MacDonald menyampaikan ultimatum pertama kepada Gubernur Jawa Barat. Sekutu menuntut agar Bandung bagian utara dikosongkan oleh pihak Indonesia selambat-lambatnya tanggal 29 November 1945. Sehingga pecah pertempuran antara Sekutu dan pejuang Bandung pada 6 Desember 1945. Tanggal 23 Maret 1946, Sekutu kembali mengulang ultimatumnyaMendengar ultimatum tersebut, pemerintah Indonesia di Jakarta lalu menginstrusikan agar TRI mengosongkan Kota Bandung demi keamanan rakyat. Akan tetapi, perintah ini berlainan dengan yang diberikan dari markas TRI di Yogyakarta. Dari Yogyakarta, keluar instruksi agar tetap bertahan di Bandung. Para pejuang Bandung memilih membakar Bandung dan meninggalkannya dengan alasan untuk mencegah tentara Sekutu dan tentara NICA Belanda memakai Kota Bandung sebagai markas strategi militer mereka dalam Perang Kemerdekaan Indonesia. Operasi pembakaran Bandung ini disebut sebagai operasi “Bumi Hangus”. Keputusan untuk membumihanguskan Kota Bandung diambil lewat musyawarah Majelis Persatuan Perjuangan Priangan (MPPP) yang dilakukan di depan seluruh kekuatan perjuangan pihak Republik Indonesia, tanggal 24 Maret 1946. Kolonel Abdul Haris Nasution selaku Komandan Divisi III memutuskan dan memerintahkan untuk segera mengevakuasi seluruh penduduk Bandung dan membumihanguskan semua bangunan yang ada di kota tersebut. Rumah- rumah warga yang dibakar membentang dari Jalan Buah Batu, Cicadas, Cimindi, Cibadak, Pagarsih, Cigereleng, Jalan Sudirman, serta Jalan Kopo. Kobaran api terbesar ada di daerah Cicadas dan Tegalega, di sekitar Ciroyom, Jalan Pangeran Sumedang (Oto Iskandar Dinata), Cikudapateuh, dan lain-lain. Peristiwa pembakaran ini menjadikan Bandung lautan api dikenang hingga kini. Mars Halo-halo Bandung sekarang menjadi lagu wajib nasional. Monumen untuk mengenang peristiwa itu didirikan di Lapangan Tegalega 7) Pertempuran Margarana di Bali Melawan Belanda Pertempuran Margarana atau dikenal dengan Puputan Margarana terjadi di sebelah utara Tabanan, Bali. Pertempuran ini sebenarnya dipicu oleh hasil Perundingan Linggarjati. Salah satu klausul dari hasil perundingan itu adalah bahwa pengakuan secara de facto atas wilayah kekuasaan Indonesia hanya meliputi Jawa, 220 Madura, dan Sumatra. Selanjutnya, Belanda harus meninggalkan wilayah de facto itu paling lambat 1 Januari 1949. Tanggal 2 dan 3 Maret 1946, Belanda mendarat di Pulau Bali dengan membawa 2.000 tentara. Pada saat yang sama, Letkol. I Gusti Ngurah Rai, Komandan Resimen Sunda Kecil (saat ini Nusa Tenggara), sedang berada di Yogyakarta untuk melakukan konsultasi kepada Markas Besar TRI. Saat itu, Belanda ingin menjadikan Bali bergabung dengan Negara Indonesia Timur (NIT) yang sudah dibuatnya. Pada 18 November 1946, pasukan Ciung Wanara dapat menduduki detasemen polisi NICA di Tabanan dan merebut puluhan senjata lengkap dengan artilerinya (senjata berat). Peristiwa ini memicu kemarahan pasukan Belanda. Pada 20 November 1946, Belanda mengerahkan seluruh pasukannya di Bali dan Lombok. Pada hari yang sama, Belanda mengepung Margarana sebagai basis pasukan Ngurah Rai. Perang di Margarana ini juga dikenal sebagai perang puputan, yakni perang yang dilakukan sampai titik darah penghabisan. Gugurnya Letkol. I Gusti Ngurah Rai telah melicinkan jalan usaha Belanda untuk membentuk apa yang dinamakan Negara Indonesia Timur. Untuk mengenang peristiwa itu, kini di lokasi kejadian dibangun Tugu Pahlawan Pujaan Bangsa dan setiap tanggal 20 November juga diperingati sebagai hari Puputan Margarana. 8) Peristiwa Westerling Di Makassar Sam Ratulangi, Gubernur Sulawesi Selatan (Makassar), membentuk Pusat Pemuda Nasional Indonesia (PPNI) dan Manai Shopian ditunjuk sebagai ketuanya. Organisasi ini bertugas menampung aspirasi masyarakat Makassar, termasuk diantaranya menentang Belanda (NICA) membentuk Negara Indonesia Timur (NIT). Tanggal 5 Desember 1946, Belanda mengirimkan pasukan ke Sulawesi Selatan di bawah pimpinan Kapten Raymond Paul Pierre Westerling. Ketika mendarat di Makassar, Misi utama Westerling adalah menumpas pemberontakan para pejuang dari Makassar yang menentang pembentukan Negara Indonesia Timur (NIT). Para pemuda seperti Robert Wolter Monginsidi, Rivai, dan Paersi yang tergabung dalam organisasi PPNI mengangkat senjata melakukan perlawanan. Selanjutnya, Wolter Monginsidi dan kawan-kawan membentuk Laskar Pemberontak Rakyat Indonesia Sulawesi (LAPRIS) dengan tujuan mengerakkan rakyat melakukan perlawanan terhadap Belanda. Belanda melakukan tindakan brutal itu sejak tanggal 7 sampai 25 Desember 1946. Akibatnya, dalam waktu kurang dari satu bulan, sekitar 40.000 ribu orang warga sipil dibunuh oleh pasukan Westerling. Hasil penelitian dari Angkatan Darat tahun 1951, korban keganasan Westerling sekitar 1.700 orang. Monginsidi juga tertangkap oleh pasukan Belanda pada 28 Februari 1947, tetapi ia dapat melarikan diri pada 27 Oktober 1947. Tidak lama kemudian, Monginsidi tertangkap kembali dan kali ini dia dihukum mati dengan cara ditembak oleh regu tembak pada 5 September 1949. Untuk mengenang kepahlawanan Monginsidi, pemerintah memindahkan makamnya ke Taman Makam Pahlawan Makassar pada 10 November 1950. c. Perjanjian Linggarjati Perjanjian Linggarjati merupakan langkah-langkah yang diambil oleh pemerintah Republik Indoonessia untuk memperoleh pengakuan kedaulatan dari pemerintah Belanda dengan jalan diplomatik. Perjanjian melibatkan pihak Indonesia dan Belanda serta Inggris sebagai penengah. Tokoh-tokoh dalam perundingan ini yaitu adalah Letnan Jenderal Sir Philip Christion dari Inggris, seorang diplomat senior serta mantan duta besar Inggris di Uni Soviet, yang kemudian diangkat sebagai duta instimewa Inggris untuk Indonesia. Wakil dari Belanda adalah Dr. H.J. Van Mook sedankan Indonesia diwakili oleh perdana menteri Republik Indonesia Sutan Syahrir. Masalah- masalah yang terus-menerus terjadi antara negara Indonesia dengan Belanda menjadi sebuah alasan terjadinya Perjanjian Linggarjati. Masalah ini terjadi karena negara Belanda belum mau mengakui apabila negara Indonesia telah merdeka dan baru saja dideklarasikan. Para pemimpin atau tokoh negara menyadari bahwa mengakhiri permasalahan dengan peperangan hanya akan mengakibatkan dan menelan korban jiwa dari kedua belah pihak, yaitu dari negara Indonesia dan negara Belanda. Oleh sebab itu, negara Inggris berusaha sebisanya untuk mempertemukan negara Indonesia dengan negara Belanda. Akhirnya, perjanjian yang memiliki banyak sejarah antara negara Indonesia dan negara Belanda ini 227 terlaksana dan berakhir di daerah Linggarjati, Cirebon, sekitar tanggal 10 November 1946. Lokasi Linggarjati ini berada di lereng Gunung Ciremai yang mempunyai suasana yang sejuk dan pemandangan yang indah. Selain itu, Residen Cirebon Hamdani maupun Bupati Cirebon Makmun Sumadipradja kebetulan berasal dari Partai Sosialis, sehingga keamanan dari perjanjian ini terjamin. Selain itu, Linggarjati dipilih sebagai tempat dilaksanakannya perundingan karena terletak di tengah-tengah Jakarta dan Yogyakarta - pada saat ibu kota negara dipindahkan ke Yogyakarta. Perundingan ini dilaksanakan pada 10 November 1946. Delegasi Indonesia terdiri dari Sutan Syahrir, Mohammad Roem, Mr. Susanto Tirtoprojo, dan dr. A.K. Gani. Sedangkan delegasi Belanda antara lain Prof. Willem Schermerhorn, F. de Boer, H.J. Van Mook, dan Max van Poll. Bertindak sebagai moderator atau penengah adalah Lord Killearn dari Inggris. Perjanjian ini ditandatangani pada 25 Maret 1947 dalam sebuah upacara kenegaraan yang diselenggarakan di Istana Rijswijk atau yang sekarang disebut Istana Negara. Isi dari perjanjian Linggarjati adalah sebagai berikut. a). Belanda mengakui secara de facto Republik Indonesia dengan wilayah kekuasaan yang meliputi wilayah Sumatra, Jawa, dan Madura. Belanda harus meninggalkan daerah itu selambat-lambatnya tanggal 1 Januari 1949. b). Republik Indonesia dan Belanda akan bekerja sama dengan membentuk negara serikat dengan nama Republik Indonesia. Oposisi mengkritik Sukarno-Hatta karena menganggap perundingan itu merugikan Indonesia. Serikat (RIS). Pembentukan RIS akan segera dilaksanakan sebelum tanggal 1 Januari 1949. c). Republik Indonesia Serikat dan Belanda akan membentuk Uni Indonesia-Belanda yang diketuai oleh Ratu Belanda. Butir-butir perjanjian ini jika dilihat secara sepintas merupakan sebuah kerugian, karena wilayah Indonesia hanya Sumatra, Jawa, dan Madura. Hal ini berbeda jauh dengan hasil sidang PPKI yang menyatakan bahwa wilayah Indonesia mencakup delapan provinsi. Namun, jika ditelaah lebih jauh lagi, isi perjanjian ini merupakan keunggulan kita secara politik, karena dengan adanya perundingan ini berarti nama Republik Indonesia sudah tercatat dalam hukum perjanjian internasional dan tidak akan bisa dihapus lagi. Setelah Perjanjian Linggarjati, beberapa negara telah memberikan pengakuan terhadap kekuasaan RI, misalnya Inggris, Amerika Serikat, Mesir, Afganistan, Myanmar, Saudi Arabia, India, dan Pakistan. Perjanjian Linggarjati mengandung prinsip-prinsip pokok yang harus disetujui oleh kedua belah pihak. d. Konferensi Malino Dan BFO Dalam situasi politik yang tidak pasti, Belanda melakukan tekanan politik dan militer di Indonesia. Tekanan politik dilakukan dengan menyelenggarakan Konferensi Malino yang bertujuan untuk membentuk negara-negara federal di daerah yang baru diserahterimakan oleh Inggris dan Australia kepada Belanda. Di samping itu, di Pangkal Pinang diselenggarakan juga konferensi untuk golongan minoritas. Konferensi Malino diselengarakan pada 15-26 Juli 1946. Sedangkan Konferensi Pangkal Pinang diselenggarakan pada 1 Oktober 1946. Diharapkan, daerah-daerah ini akan mendukung Belanda untuk pembentukan negara federasi. Setelah perjanjian Linggarjati, Van Mook mengambil inisiatif untuk mendirikan pemerintahan federal sementara sebagai pengganti Hindia Belanda. Sedangkan pada kenyataannya, pendirian negara federal itu tidak ada bedanya dengan negara Hindia Belanda. Untuk itulah, negara-negara federal mengadakan rapat di Bandung pada bulan Mei sampai Juli 1948. Konferensi Bandung itu dihadiri empat negara federal bentukan Belanda, yakni 1) Negara Indonesia Timur, 2) Negara Sumatra Timur, 3) Negara Pasundan, dan 4) Negara Madura. Konferensi juga dihadiri daerah-daerah otonom seperti Bangka, Banjar, Dayak Besar, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, Riau, dan Jawa Tengah. Sebagai ketuanya adalah Mr. Bahriun dari Negara Sumatra Timur. Rapat itu diberi nama Bijeenkomst voor Federal Overleg (BFO), yaitu suatu pertemuan untuk musyawarah federal. Pegambil inisiatif BFO itu adalah Ida Agung Gde Agung, Perdana Menteri Negara Indonesia Timur. Juga R.T. Adil Puradiredja, Perdana Menteri Negara Pasudan. BFO dimaksudkan untuk mencari solusi terbaik dari konflik politik antara RI dengan Belanda yang nantinya juga berpengaruh kepada negara-negara bagian. Pertemuan Bandung juga dirancang untuk menjadikan pemerintahan peralihan yang lebih baik daripada pemerintahan federal sementara buatan Van Mook. e. Agresi Militer Belanda I Agresi Militer Belanda I disebabkan Belanda yang tidak menerima hasil Perundingan Linggarjati yang telah disepakati bersama pada 25 Maret 1947. Belanda menafsirkan isi dari Perjanjian Linggarjati berdasarkan pidato Ratu Wihelmina pada 7 Desember 1942 yang intinya menginginkan bangsa Indonesia menjadi anggota Commonwealth (negara persemakmuran) dan akan dibentuk menjadi negara federasi, kemudian Belanda yang akan mengatur hubungan luar negeri bangsa Indonesia. Di tengah-tengah upaya mencari kesepakatan dalam pelaksanaan isi Persetujuan Linggarjati, Belanda terus melakukan tindakan yang bertentangan dengan isi Persetujuan Linggarjati. Di samping mensponsori pembentukan pemerintahan federasi, Belanda juga terus memasukkan kekuatan tentaranya. Pada 27 Mei 1947, Belanda mengirim ultimatum yang isinya sebagai berikut. a). Pembentukan pemerintahan federal sementara (pemerintahan darurat). b). Pembentukan Dewan Urusan Luar Negeri. c). Dewan Urusan Luar Negeri bertanggung jawab atas pelaksanaan ekspor, impor, dan devisa. d). Pembentukan pasukan keamanan dan ketertiban bersama. Pembentukan pasukan gabungan ini termasuk juga di wilayah RI. Pada 15 Juli 1947, Letnan Gubernur Jenderal Belanda Dr. H.J. Van Mook menyampaikan pidato radio bahwa Belanda tidak lagi terikat dengan Perjanjian Linggarjati. Selain itu, Van Mook juga mengultimatum bangsa Indonesia agar menarik pasukannya untuk mundur dari garis batas demarkasi sejauh 10 kilometer. Pada saat itu, jumlah tentara Belanda telah mencapai lebih dari 100.000 orang dengan persenjataan yang modern termasuk persenjataan berat (artileri) yang dihibahkan oleh tentara Inggris dan tentara Australia. Kemudian, Belanda melancarkan serangan kepada Indonesia pada 21 Juli 1947. Tujuan utama Agresi Militer Belanda I ialah sebagai berikut. a). Bidang politik: bertujuan untuk mengepung wilayah ibu kota Republik Indonesia dan menghilangkan secara de facto Republik Indonesia dengan menghapus RI dari peta. b). Bidang ekonomi: merebut daerah-daerah perkebunan yang kaya dan daerah yang memiliki sumber daya alam, terutama minyak. c). Bidang militer: menghapus TNI/TKR sebagai ujung tombak pertahanan bangsa, dengan begitu Indonesia akan lemah dan mudah dikendalikan. Untuk mengelabui dunia internasional, Belanda menamakan agresi militer ini sebagai Aksi Polisionil (Politionele Acties) dan menyatakan tindakan ini sebagai urusan dalam negeri. Konferensi pers pada malam 20 Juli 1947 di istana tempat Gubernur Jenderal H.J. Van Mook mengumumkan kepada wartawan tentang dimulainya Aksi Polisionil Belanda pertama. Serangan di beberapa daerah seperti di Jawa Timur bahkan telah dilancarkan tentara Belanda sejak tanggal 21 Juli 1947 malam sehingga dalam bukunya, J.A. Moor menulis Agresi Militer Belanda 231 I dimulai tanggal 20 Juli 1947. Belanda berhasil menerobos ke daerah-daerah yang dikuasai oleh Republik Indonesia di Sumatra, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Fokus serangan tentara Belanda di tiga tempat, yaitu Sumatra Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Di Sumatra Timur, sasaran mereka adalah daerah perkebunan tembakau. Di Jawa Tengah, mereka menguasai seluruh pantai utara dan di Jawa Timur, sasaran utamanya adalah wilayah yang terdapat perkebunan tebu dan pabrik-pabrik gula. Pada agresi militer pertama ini, Belanda juga mengerahkan kedua pasukan khusus, yaitu Korps Speciale Troepen (KST) di bawah Raymond Westerling dalam agresi tersebut, Belanda berhasil menaklukan daerah-daerah penting Republik Indonesia seperti kota, pelabuhan, perkebunan, dan pertambangan. Pada 29 Juli 1947, pesawat Dakota VT-CLA milik Patnaik dari Singapura dengan simbol Palang Merah di badan pesawat yang membawa obat-obatan dari Singapura sumbangan Palang Merah Malaya ditembak jatuh oleh Belanda dan mengakibatkan tewasnya Komodor Muda Udara Agustinus Adisucipto, Komodor Muda Udara dr. Abdulrahman Saleh, dan Perwira Muda Udara I Adisumarno Wiryokusumo. Pasukan TNI belum siap menghadang serangan yang datang secara tiba-tiba itu. Serangan tersebut mengakibatkan pasukan TNI terpencar-pencar. Dalam keadaan seperti itu, pasukan TNI berusaha untuk membangun daerah pertahanan baru. Tanggal 30 Juli 1947, pemerintah India dan Australia mengajukan permintaan resmi agar masalah Indonesia dengan Belanda dimasukkan dalam agenda Dewan Keamanan PBB. Permintaan itu diterima baik dan dimasukkan agenda dalam sidang Dewan Keamanan PBB. Tanggal 1 Agustus 1947, Dewan Keamanan PBB memerintahkan penghentian permusuhan kedua belah pihak dan mulai berlaku sejak tanggal 4 Agustus 1947. Sementara itu, untuk mengawasi pelaksanaan gencatan senjata, Dewan Keamanan PBB membentuk komisi Konsuler dengan angota-anggotanya yang terdiri dari para Konsul Jenderal yang berada di wilayah Indonesia. Komisi Konsuler diketuai oleh Konsul Jenderal Amerika Serikat Dr. Walter Foote dengan beranggotakan Konsul Jenderal Cina, Belgia, Perancis, Inggris, dan Australia. Tanggal 3 Agustus 1947. Belanda menerima resolusi Dewan Keamanan PBB dan memerintahkan kepada Van Mook untuk menghentikan tembak-menembak. Pelaksanaannya dimulai pada malam hari pada 4 Agustus 1947. Kemudian, pada 14 Agustus 1947, dibuka sidang Dewan Keamanan PBB. Sutan Syahrir hadir dari Indonesia. Dalam pidatonya di DK PBB, Syahrir menegaskan bahwa untuk mengakhiri berbagai pelanggaran dan penghentian pertempuran, perlu dibentuk komisi pengawas. f. Pembentukan Komisi Tiga Negara Pada 25 Agustus 1947, Dewan Keamanan membentuk suatu komite yang akan menjadi penengah konflik antara Indonesia dan Belanda. Komite ini awalnya hanyalah sebagai Committee of Good Offices for Indonesia (Komite Jasa Baik Untuk Indonesia) dan lebih dikenal sebagai Komisi Tiga Negara (KTN) karena beranggotakan tiga negara, yaitu Australia yang dipilih oleh Indonesia, Belgia yang dipilih oleh Belanda, dan Amerika Serikat sebagai pihak yang netral. Australia diwakili oleh Richard C. Kirby, Belgia diwakili oleh Paul van Zeeland, dan Amerika Serikat menunjuk Dr. Frank Graham. Dalam pertemuannya di Sydney, 20 Oktober 1947, KTN memutuskan untuk membantu menyelesaikan sengketa antara Indonesia dan Belanda dengan cara damai. Pada 27 Oktober 1947, para anggota KTN telah tiba di Indonesia untuk memulai pekerjaannya, yang nantinya akan menghasilkan Perjanjian Renville. g. Perjanjian Renvile Komisi Tiga Negara (KTN) tiba di Indonesia pada 27 Oktober 1947 dan segera melakukan kontak dengan Indonesia maupun Belanda. Indonesia dan Belanda tidak mau mengadakan pertemuan di wilayah yang dikuasai oleh salah satu pihak. Oleh karena itu, Amerika Serikat menawarkan untuk mengadakan pertemuan di geladak Kapal USS Renville. Perundingan Renville dilaksanakan pada 8 Desember 1947 di atas Kapal Renville yang tengah berlabuh di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. Perjanjian dihadiri oleh beberapa tokoh penting berikut. a). Delegasi Indonesia diwakili oleh Amir Syarifudin (ketua), Ali Sastroamijoyo, H. Agus Salim, Dr. J. Leimena, Dr. Coatik Len, dan Nasrun. b). Delegasi Belanda diwakili oleh R. Abdul Kadir Wijoyoatmojo Gambar 6.e. Kapal Renville. Tempat terjadinya Perjanjian Renville. (ketua), Mr. H.A.L. Van Vredenburg, Dr. P.J. Koets, dan Mr. Dr. Chr. Soumokil. c). PBB sebagai mediator diwakili oleh Frank Graham (ketua), Paul Van Zeeland, dan Richard Kirby. Perjanjian ini menghasilkan saran-saran KTN dengan pokok-pokoknya, yaitu pemberhentian tembak-menembak di sepanjang Garis Van Mook serta perjanjian peletakan senjata dan pembentukan daerah kosong militer. Berikut adalah isi dari Perjanjian Renville. a). Belanda hanya mengakui Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Sumatra sebagai bagian wilayah Republik Indonesia. b). Disetujuinya sebuah Garis Demarkasi Van Mook yang memisahkan wilayah Indonesia dan daerah pendudukan Belanda. c). TNI harus ditarik mundur dari daerah-daerah kantongnya di wilayah pendudukan di Jawa Barat dan Jawa Timur. Pada akhirnya, Perjanjian Renville ditandatangani pada 17 Januari 1948 dan disusul intruksi untuk menghentikan aksi tembak-menembak pada 19 Januari 1948. Selain itu, masih ada enam pokok prinsip tambahan untuk perundingan guna mencapai penyelesaian politik yang meliputi hal-hal berikut. a). Belanda tetap memegang kedaulatan atas seluruh wilayah Indonesia sampai dibentuknya Republik Indonesia Serikat (RIS). b). Sebelum RIS dibentuk, Belanda dapat menyerahkan sebagian kekuasaannya kepada pemerintah federal sementara. c). RIS sederajat dengan Belanda dan menjadi bagian dari UniˇIndonesia Belanda dengan Ratu Belanda sebagai ketua uni tersebut. d). Republik Indonesia merupakan bagian dari RIS. e). Akan diadakan penentuan pendapat rakyat (plebisit) di Jawa, Madura, dan Sumatra untuk menentukan apakah rakyat akan bergabung dengan RI atau RIS. f). Dalam waktu 6 bulan sampai satu tahun akan diadakan pemilu untuk membentuk Dewan Konstitusi RIS. Sebagai konsekuensi ditandatanganinya Perjanjian Renville, maka wilayah RI semakin sempit karena diterimanya Garis Demarkasi Van Mook, yakni wilayah Republik Indonesia hanya meliputi Yogyakarta dan sebagian Jawa Timur. Dampak lainnya adalah anggota TNI yang masih berada di daerah-daerah kantong yang dikuasai Belanda harus ditarik masuk ke wilayah RI, misalnya di Jawa Barat ada sekitar 35.000 tentara Divisi Siliwangi sehingga pada 1 Februari 1948, Divisi Siliwangi hijrah menuju wilayah RI di Jawa tengah dan ada yang ditempatkan di Surakarta. Di samping itu, ada sekitar 6.000 tentara dari Jawa Timur harus masuk ke wilayah RI, serta isi Perjanjian Renville mendapat tentangan dari masyarakat. h. Agresi Militer Belanda II Pelaksanaan hasil Perundingan Renville mengalami kemacetan. Upaya jalan keluar yang ditawarkan oleh KTN selalu mentah kembali karena tidak adanya kesepakatan antara Indonesia dan Belanda. Indonesia melalui Hatta - wakil presiden merangkap perdana menteri menggantikan Amir Syarifuddin - tetap tegas mempertahankan kedaulatan Indonesia, sementara Belanda terus berupaya mencari cara menjatuhkan wibawa Indonesia. Akhirnya pada tanggal 18 Desember 1948, Wali Tinggi Mahkota Belanda, Dr. Beel, mengumumkan bahwa Belanda tidak terikat lagi pada hasil Perundingan Renville. Sementara itu, keadaan dalam negeri sudah sangat tegang terkait dengan oposisi yang dilakukan oleh Front Demokrasi Rakyat (PKI dan sekutunya) terhadap politik yang dijalankan oleh Kabinet Hatta. Oposisi ini meningkat setelah seorang tokoh komunis kawakan, Musso, yang memimpin pemberontakan PKI tahun 1926, kembali ke Indonesia dari Uni Soviet. Dalam tempo sepuluh hari saja pasukan TNI telah merebut Madiun. Akhirnya, pemberontakan PKI Madiun dapat dipadamkan TNI dan pemimpinnya, Musso, ditembak mati pada 31 Oktober 1948. Kemudian pada tanggal 19 Desember 1948, pesawat terbang Belanda membombardir Maguwo (sekarang Bandara Adisucipto) dan sejumlah bangunan penting di Yogyakarta. Peristiwa itu mengawali Agresi Militer Belanda II. Dalam suasana genting ini pemerintah RI menghasilkan keputusan darurat seperti berikut. a. Melalui radiogram, pemerintah RI memˇberikan mandat kepada Syafruddin Prawiranegara untuk membentuk Pemerintah Darurat RI (PDRI) di Sumatera. Juga memberikan perintah kepada Mr. A.A. Maramis yang sedang di India bahwa apabila Syafruddin Prawiranegara ternyata gagal melaksanakan kewajiban pemerintah pusat, maka A.A. Maramis diberi wewenang untuk membentuk pemerintahan di India. b. Presiden dan wakil presiden RI tetap tinggal di dalam kota - dengan risiko ditangkap Belanda - agar dekat dengan KTN (saat itu berada di Kaliurang). c. Pimpinan TNI menyingkir ke luar kota dan melancarkan perang gerilya dengan membentuk wilayah pertahanan (sistem wehkreise) di Jawa dan Sumatra. Setelah menguasai Yogyakarta, pasukan Belanda menawan presiden dan sejumlah pejabat negara. Sementara itu, Jenderal Sudirman memimpin TNI melancarkan perang gerilya di kawasan luar kota. Aksi/Agresi Militer Belanda II ternyata menarik perhatian PBB karena Belanda secara terang- terangan tidak mengikuti lagi Perjanjian Renville di depan Komisi Tiga Negara yang ditugaskan kepada PBB. Pada 24 Januari 1949, Dewan Keamanan membuat resolusi agar RI dan Belanda segera menghentikan permusuhan dan membebaskan presiden RI serta pemimpin politik lain yang ditawan Belanda. Adanya tekanan politik dan militer - dengan makin besarnya kemampuan TNI untuk melaksanakan perang gerilya - itulah akhirnya Belanda menerima perintah Dewan 241 Keamanan PBB untuk menghentikan agresinya dan memaksa Belanda untuk kembali ke meja perundingan. i. Berdirinya PDRI Pada saat terjadi Agresi Militer Belanda II, sebelum pasukan Belanda di bawah pimpinan Kolonel van Langen sampai ke Gedung Agung, Sukarno beserta para pemimpin negara melakukan rapat yang antara lain memutuskan agar presiden membuat mandat kepada Syafruddin Prawiranegara yang saat itu berada di Bukittinggi untuk membentuk pemerintahan darurat. Sukarno juga mengirim mandat serupa kepada Mr. A.A. Maramis dan Dr. Sudarsono yang berada di New Delhi, India, apabila pembentukan pemerintah darurat di Bukittinggi mengalami kegagalan. Namun, Syafruddin Prawiranegara berhasil mendeklarasikan berdirinya Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Kabupaten Lima Puluh Kota pada 19 Desember 1948. Peranan PDRI antara lain sebagai berikut. a). PDRI dapat sebagai mandataris kekuasaan pemerintah RI dan berperan sebagai pemerintah pusat. b). PDRI berperan sebagai kunci dalam mengatur arus informasi sehingga mata rantai komunikasi tidak terputus dari daerah yang satu ke daerah yang lain. Radiogram mengenai masih berdirinya PDRI dikirim kepada ketua Konferensi Asia, Pandit Jawaharlal Nehru, oleh Radio Rimba Raya yang berada di Aceh Tengah. c). PDRI berhasil menjalin hubungan dan membagi tugas dengan perwakilan RI di India. Dari India inilah informasi- informasi tentang keberadaan dan perjuangan bangsa (misalnya serangan 1 Maret 1949) dan negara RI dapat disebarluaskan ke berbagai penjuru dunia. Maka, terbukalah mata dunia mengenai keadaan RI yang sesungguhnya. Syafruddin Prawiranegara menyerahkan mandat kepada Presiden RI di Yogyakarta pada 13 Juli 1949. Dengan demikian, PDRI yang bekerja selama delapan bulan telah berhasil menggantikan pemerintahan RI meskipun dalam beberapa hal harus dikonsultasikan dengan para pemimpin RI yang sedang dalam pembuangan. j. Serangan 1 Maret 1949 Setelah para pemimpin bangsa ditangkap dan Jenderal Sudirman menyingkir ke hutan dan desa untuk perang gerilya 100 persen, Belanda mengatakan kepada dunia bahwa Indonesia tinggal nama. Republik Indonesia sudah tidak ada, yang ada hanya para pengacau keamanan. Sebagai reaksi, Sultan Hamengkubuwono IX ingin melakukan Counter Opinion agar aktivitas Republik Indonesia dapat didengar oleh Dewan Keamanan PBB yang akan bersidang pada 1 Maret 1949. Informasi bahwa DK PBB akan bersidang didengar dari siaran radio berita luar negeri. Kemudian, lewat kurir, Sultan Hamengkubuwono IX berkirim surat kepada Jenderal Sudirman tentang perlunya tindakan penyerangan terhadap Belanda. Dalam surat balasannya, karena Sudirman jauh dari Yogyakarta, untuk penyerangan agar dibahas bersama Komandan TNI setempat, dalam pertemuan dengan Letkol. Suharto untuk membahas penyerangan, Sultan berpesan agar silakan menyerang dari berbagai arah, tetapi jangan menyerang dari arah selatan karena di selatan ada keraton yang akan menjadi sasaran mortir dan merusak keraton. Tanggal 1 Maret 1949, sekitar pukul 06.00 WIB, sewaktu sirine berbunyi sebagaimana berakhirnya jam malam yang dibuat Belanda, serangan umum dilancarkan dari berbagai arah. Letkol. Suharto memimpin langsung penyerangan dan berjalan dengan sukses. Selama enam jam (mulai dari pukul 06.00 sampai dengan pukul 12.00), Yogyakarta dapat diduduki TNI. Setelah mendatangkan bantuan tentara dari Gombong dan Magelang, Belanda baru bisa memukul mundur para pejuang. Keberhasilan gerilya kota adalah berkat bantuan Sultan Hamengkubuwono IX yang melindungi para gerilyawan di dalam keraton, termasuk perbekalan uang ratusan gulden dan sebagainya. k. Perjanjian Roem Royen Pada tanggal 14 April 1949, atas inisiasi komisi PBB, diadakan perundingan di Jakarta di bawah pimpinan Mrele Cochran, anggota komisi dari AS. Delegasi Indonesia dipimpin oleh Moh. Roem dan delegasi Belanda dipimpin oleh H.J. Van Royen. Dalam perundingan itu, RI tetap menuntut tidak melakukan perundingan jika tidak ada kesepakatan pengembalian pemerintahan RI ke Yogyakarta. Sebaliknya, Belanda menuntut agar Indonesia menyetujui tentang perintah penghentian perang gerilya yang dilakukan TNI. Amerika mendesak Indonesia agar melanjutkan perundingan. Jika tetap pada pendirian, maka Amerika tidak memberikan bantuan dalam bentuk apa pun. Akhirnya, perundingan dilanjutkan pada 1 Mei 1949 dan 7 Mei 1949 dengan menghasilkan kesepakatan Roem-Royen yang isinya sebagai berikut. Pihak Indonesia bersedia mengeluarkan perintah kepada pengikut RI yang bersenjata untuk menghentikan perang gerilya. RI juga akan ikut serta dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag guna mempercepat penyerahan kedaulatan kepada Negara Indonesia Serikat tanpa syarat. Pihak Belanda menyetujui adanya pengembalian RI ke Yogyakarta dan menjamin penghentian gerakan-gerakan militer dan membebaskan semua tahanan politik. Belanda juga tidak akan mendirikan dan mengakui negara-negara yang ada di wilayah kekuasaan RI sebelum Desember 1948 serta menyetujui RI sebagai bagian dari NIS. l. Konferensi Meja Bundar (KMB) Walaupun perjanjian Roem-Royen dapat mengembalikan para pemimpin dari pengasingan, kembalinya pemerintahan darurat dari Sumatra dan Panglima Besar Sudirman sudah kembali berkumpul di Yogyakata, tetapi masalah-masalah antara Indonesia dengan Belanda belum semuanya tuntas. Untuk itulah perlu dieselenggarakan sebuah pertemuan yang bertujuan untuk menyelesaikan masalah di antara dua negara itu. Oleh karena itu, pada 23 Agustus sampai 2 November 1949 diselenggarakan Konferensi Meja Bundar di Den Haag. Indonesia diwakili oleh Drs. Moh. Hatta (sebagai ketua), Mr. Moh. Roem, Prof. Dr. Soepomo, Mr. Ali Sastroamidjoyo, Ir. Juanda, Kolonel T.B. Simatupang, Mr. Suyono Hadinoto, Dr. Sumitro Djojohadikusumo, Dr. J. Leimena, dan Mr. Abdul Karim Pringodigdo. Sementara dari BFO (Bijeenkomst voor Federal Overleg) adalah Sultan Pontianak Hamid II. Delegasi dari Belanda diketuai Mr. Van Maarseveen, sedangkan UNCI oleh Chritcjley. Tujuan diadakan KMB adalah 1) menyelesaikan sengketa antara Indonesia dengan Belanda dan 2) untuk mencapai kesepakatan antara para peserta tentang tata cara penyerahan yang penuh dan tanpa syarat kepada negara Indonesia Serikat, sesuai dengan ketentuan Perjanjian Renville. Masalah-masalah antara Indonesia dengan Belanda yang sulit untuk dipecahkan dalam KMB adalah sebagai berikut. a. Soal Uni Indonesia-Belanda. Pihak Indonesia menghendaki agar sifatnya hanya kerja sama yang bebas tanpa adanya organisasi Gambar 6.h. Konferensi Meja Bundar. Persetujuan yang menghasilkan terbentuknya RIS (Republik Indonesia Serikat). permanen. Sedangkan Belanda menghendaki ada ikatan secara permanen dengan bentuk kerja sama yang lebih luas. b. Masalah utang Hindia Belanda. Pihak Indonesia hanya mengakui utang-utang Hindia Belanda sampai menyerahnya Belanda kepada Jepang. Sedangkan pihak Belanda menghendaki agar Indonesia mengambil alih semua utang Hindia Belanda sampai penyerahan kedaulatan dan biaya perang kolonial melawan TNI. Setelah melalui perdebatan yang keras, pada 2 November 1949, KMB dapat diakhiri. Hasil- hasil keputusannya antara lain sebagai berikut. a. Belanda mengakui keberadaan negara RIS (Republik Indonesia Serikat) sebagai negara yang merdeka dan berdaulat - RIS terdiri dari RI dan 15 negara bagian yang pernah dibentuk Belanda. b. Masalah Irian Barat akan diselesaikan setahun kemudian setelah pengakuan kedaulatan. c. Corak pemerintahan RIS akan diatur dengan konstitusi yang dibuat oleh delegasi RI dan BFO selama KMB berlangsung. d. Akan dibentuk Uni Indonesia-Belanda yang bersifat lebih longgar berdasarkan kerja sama secara sukarela dan sederajat. Uni Indonesia-Belanda ini disepakati oleh Ratu Belanda. e. RIS harus membayar utang-utang Hindia Belanda sampai waktu pengakuan kedaulatan. f. RIS akan mengembalikan hak milik Belanda dan memberikan izin baru untuk perusahaan-perusahaan Belanda. Beberapa klausul keputusan itu merugikan Indonesia, misalnya utang-utang Hindia Belanda yang harus ditanggung RIS sebesar 4,3 miliar gulden. Utang itu antara lain untuk pembelian senjata sebagai alat membunuh TNI dan rakyat serta menghancurkan infrastruktur yang ada di Indonesia, tetapi yang harus membayar Indonesia sendiri. Klausul yang merugikan Indonesia lainnya adalah soal penundaan penyelesaian Irian Barat yang merupakan akal- Belanda agar tetap menguasai wilayah Indonesia. Untuk menyelesaikan persoalan ini perlu waktu yang berliku-liku dan panjang. Walaupun ada beberapa klausul yang merugikan, tetapi Indonesia menerima klausul itu karena KMB memberi kesempatan kepada Indonesia untuk membangun negeri sendiri. m. Pembentukan Republik Indonesia Serikat Isi perjanjian KMB diterima KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat - semacam parlemennya Indonesia) melalui sidangnya pada 6 Desember 1949. Kemudian, pada 14 Desember 1949, diadakan pertemuan di Jalan Pegangsaan Timur No. 56 (rumah Sukarno). Pertemuan ini dihadiri oleh wakil-wakil pemerintah RI serta pemerintah negara bagian dan daerah untuk membahas konstitusi RIS. Pertemuan itu memutuskan bahwa UUD 1945 menjadi konstitusi RIS. Negara RIS yang berbentuk federasi itu meliputi seluruh Indonesia dan RI menjadi salah satu bagiannya. Sebenarnya bagi RI, pembentukan RIS sangat merugikan, tetapi mengingat sebagai strategi para pemimpin agar Belanda segera mengakui kedaulatan Indonesia walaupun dalam bentuk RIS, tetap diterima. Dalam konstitusi RIS juga ditentukan bahwa ada presiden dan perdana menteri (pemimpin menteri-menteri) secara bersama-sama sebagai pemerintah. Kemudian, dibentuk lembaga perwakilan yang terdiri dari dua kamar, yakni Senat dan DPR. Senat merupakan perwakilan negara bagian yang masing-masing diwakili dua orang, sedangkan DPR beranggotakan 150 orang yang merupakan wakilˇwakil seluruh rakyat Indonesia. Berdasarkan konstitusi, negara berbentuk federal dan meliputi seluruh daerah Indonesia, yaitu: a. Negara Bagian. 1) Negara RI menurut status quo seperti dalam Persetujuan Renville. 2) Negara Indonesia Timur. 3) Negara Pasundan (Jawa Barat). 4) Negara Jawa Timur. 5) Negara Madura. 6) Negara Sumatera Timur. 7) Negara Sumatera Selatan. b. Satuan-satuan kenegaraan yang tegak berdiri sendiri: Jawa Tengah, Bangka, Belitung, Riau, Daerah Kalimantan Barat, Dayak Besar, Daerah Banjar, Kalimantan Tenggara, dan Kalimantan Timur. 255 c. Daerah-daerah Indonesia selebihnya yang bukan negara-negara bagian. Tanggal 16 Desember 1949, Sukarno dipilih sebagai Presiden RIS dan dilantik pada 17 Agustus 1949 di Siti Hinggil Keraton Yogyakarta. Moh. Hatta diangkat sebagai Perdana Menteri dan pada 20 Desember 1949, Kabinet Hatta dilantik. Dengan terbentuknya pemerintahan, maka terbentuklah pemerintahan RIS. Sudah diketahui bahwa RIS beranggotakan RI dan negaraˇnegara federasi. Setelah Sukarno diangkat menjadi presiden RIS, maka presiden RI mengalami kekosongan jabatan. Untuk itu ketua KNIP, Mr. Assat, ditunjuk sebagai pejabat presiden RI dan dilantik pada 27 Desember 1949. Langkah ini diambil untuk mengantisipasi apabila sewaktu- waktu RIS bubar, RI tetap ada.