Anda di halaman 1dari 46

PERJUANGAN MEMPERTAHANKAN KEMERDEKAAN

MAKALAH

ANGGOTA KELOMPOK :
Alviansyah N.Y ( 06 )
Clarisa Najwah Zulvania ( 11 )
Devi Ayu Anitatrisna ( 15 )
Faiz Raisya Wirawan ( 16 )
Novrell Bahriar Adi.P ( 24 )
Rummana Firdausiah ( 27 )
Raditya Raka Mustafa ( 25 )

SMA NEGERI 2 JEMBER


TAHUN AJARAN 2023

1
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI...................................................................................................................2
BAB 1. PENDAHULUAN..............................................................................................3
1.1 Latar Belakang.......................................................................................................3
1.2 Rumusan Masalah..................................................................................................3
1.3 Tujuan dan Manfaat................................................................................................3
BAB 2. PEMBAHASAN................................................................................................4
2.1. Pengambilalihan Kekuasaan Jepang di Yogyakarta.............................................4
2.2. Peristiwa 5 Hari Semarang...................................................................................6
2.3. Perisiwa Medan Area............................................................................................7
2.4. Pertempuran Surabaya........................................................................................10
2.5. Pertempuran Ambarawa.....................................................................................15
2.6. Peristiwa Puputan Margarana.............................................................................19
2.7. Peristiwa Bandung Lautan Api...........................................................................22
2.8. Serangan Umum 1 Maret....................................................................................28
2.9. Peristiwa Yogya Kembali...................................................................................37
BAB 3.............................................................................................................................40
PENUTUP.....................................................................................................................40
3.1 Kesimpulan...........................................................................................................40
3.2 Kritik dan Saran....................................................................................................40
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................41

2
BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Indonesia dalam masa kekosongan kekuasaan (vacuum of power). Setelah
Perang Dunia II, terjadi perundingan Belanda dan Inggris di London, Inggris yang
menghasilkan Civil Affairs Agreement. Isi Civil Affairs Agreement adalah tentang
pengaturan penyerahan kembali Indonesia dari pihak Inggris kepada Belanda.
Khususnya yang menyangkut daerah Sumatera sebagai daerah yang berada di bawah
pengawasan

3
South East Asia Command (SEAC). Alasan Sekutu dan Belanda datang ke Indonesia
karena Belanda, yang masuk kelompok Sekutu, ingin kembali menjajah Indonesia
Sebagai pemenang Perang Dunia II Sekutu bertanggung jawab atas wilayah-wilayah
jajahan Jepang termasuk Indonesia Belanda merasa bisa kembali berkuasa atas
Indonesia seperti sebelum direbut Jepang. Artinya, Belanda ingin menjajah kembali
Indonesia. Bagi Sekutu, setelah selesai Perang Dunia II, maka wilayah-wilayah bekas
jajahan Jepang adalah tanggung jawab Sekutu. Sekutu memiliki tanggung jawab, yaitu:
Pelucutan senjata tentara Jepang Melakukan normalisasi kondisi bekas jajahan Jepang
Memulangkan tentara Jepang.

1.2 Rumusan Masalah

1) Bagaimana kondisi awal kemerdekaan di Indonesia?


2) Bagaimana kedatangan suku Belanda ke Indonesia?
3) Bagaimana perlawanan rakyat Indonesia dari berbagai daerah?
4) Bagaimana upaya mempertahankan kemerdekaan dan menegakkan kedaulatan?

1.3 Tujuan dan Manfaat

1) Untuk mengetahui kondisi bangsa Indonesia pada awal kemerdekaan


2) Untuk memahami perjuangan rakyat dalam mempertahankan kemerdekaa
3) Untuk mengetahui perlawanan rakyat Indonesia dari berbagai daerah
4) Untuk mengetahui upaya mempertahankan kemerdekaan dan menegakkan
kedaulatan

4
BAB 2. PEMBAHASAN

2.1. Pengambilalihan Kekuasaan Jepang di Yogyakarta

` Proklamasi Kemerdekaan Indonesia disambut rakyat Yogyakarta dengan penuh


Sukacita. Tidak hanya rakyat Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri
Paku Alam VIII pun secara resmi menyatakan dukungannya terhadap pemerintahan
Republik Indonesia pada 19 Agustus 1945. Dukungan tersebut dipertegas melalui
amanat yang disampaikan Sri Sultan Hamengku Buwono IX pada 5 September.

Dukungan terhadap pemerintahan Republik Indonesia ditindaklanjuti dengan aksi


pengambilalihan kantor-kantor pemerintah dan perusahaan milik Jepang. Aksi ini

5
berlangsung pada 26 September hingga 7 Oktober 1945. Aksi ini juga diiringi dengan
aksi mogok kerja yang dilakukan oleh semua pegawai pemerintahan dan pekerja
perusahaan milik Jepang. Melalui aksi-aksi tersebut, kantor Kepala Daerah Yogyakarta
atau Gedung Cokan Kantai berhasil dikuasai oleh rakyat pada 5 Oktober 1945 dan
dialihkan sebagai kantor Komite Nasional Indonesia Daerah. Pada masa kini Gedung
tersebut dikenal sebagai Gedung Agung.

Penyerbuan markas Jepang di Kotabaru Yogyakarta diawali dengan perundingan antara


Jepang dengan pejuang Yogyakarta yang berlangsung pada 6 Oktober 1945.
Perundingan ini tidak mencapai mufakat karena Jepang tidak mau menyerahkan
senjatanya pada pejuang Yogyakarta. Hingga akhirnya pada 7 Oktober 1945 dilakukan
penyerbuan ke markas Jepang oleh para pejuang Yogyakarta.

Badan Keamanan Rakyat merupakan pemimpin perundingan dan pertempuran di


Kotabaru. Selain itu, KNID Yogyakarta dan Polisi Istimeqa juga ikut serta dengan
menjadi penyemangat para pejuang lainnya karena Badan Keamanan Rakyat dan Polisi
Istimewa telah memiliki persenjataan yang modern sehingga menjadi pelindung laskar
rakyat yang bersenjata tradisional. Para pemuda di sekitar Kotabaru juga ikut dalam
pertempuran dengan bergabung dan diberi nama laskar rakyat.

Dampak pertempuram Kotabaru ini memberikan kekuatan baru bagi Badan


Keamanan Rakyat. Hal ini dikarenakan persenjataan Jepang yang berhasil direbut
diberikan kepada Badan Keamanan Rakyat sehingga dapat melebur menjadi Tentara
Keamanan Rakyat dan kemenangan di Kotabaru ini memberikan semangat perjuangan
untuk melucuti senjata Jepang yang bermarkas di Pingit dan Maguwo (lokasi bandara
lama Yogyakarta).

Dalam peristiwa penyerbuan Kotabaru ini sebanyak 21 pejuang dan pemuda


Yogyakarta gugur dan di pihak musuh 27 tentara tewas. Nama-nama para pejuang yang
gugur ini kemudian diabadikan menjadi nama jalan di sekitar kawasan Kotabaru.

Upaya pengambilalihan kekuasaan di Yogyakarta juga dilakukan melalui


perebutan senjata oleh barisan pemuda terhadap pasukan Jepang di markas Osha Butai,

6
Kotabaru. Dalam upaya tersebut barisan pemuda berhasil memukul mundur pasukan
Jepang. Bahkan, pasukan Jepang menyatakan menyerah pada 7 Oktober 1945. Rakyat
juga berhasil melucuti senjata Kaigun di Maguwo. Menyerahnya pada pasukan Jepang
di Yogyakarta menandai berakhirnya pertempuran rakyat melawan pasukan Jepang.

2.2. Peristiwa 5 Hari Semarang

Pertempuran Lima Hari di Semarang bermula dari upaya pemuda mengambil


alih kekuasaan Jepang di Semarang, Pengambilalihan tersebut dilakukan sesuai instruksi
perwakilan pemerintah Republik Indonesia di Semarang, Wongsonegoro pada 19
Agustus 1945 melalui siaran radio. Pihak Jepang yang berperan menjaga status quo di
wilayah Indonesia, termasuk Semarang tidal menghiraukan seruan perwakilan
pemerintah Republik Indonesia tersebut. Kondisi inilah yang memicu
keteganganketegangan di Semarang.

7 Oktober 1945 ribuan pemuda Semarang mengepung tangsi tentara Jepang di


latingaleh. Para pemuda memaksa pimpinan tentara Jepang melakukan perundingan,.
Kedua belah pihak menyepakati penyerahan senjata secara bertahap. Meskipun
demikian, perselisihan antara Jepang dan pemuda belum sepenuhnya selesai. Pada 14
Oktober 1945 kira-kira empat ratus tawanan Jepang diangkut para pemuda Indonesia
dari pabrik gula Cepiring ke penjara Bulu, Semarang dengan dikawal polisi. Dalam
perjalanan sebagian tawanan berhasil melarikan diri dan bergabung dengan pasukan
Kidobutai di Jatingaleh. Akibatnya, para pemuda melakukan penyerangan dan
perebutan senjata terhadap Jepang.

Petang harinya polisi Indonesia di daerah Wungkal yang sedang menjaga


persediaan air minum mendapat serangan dari tentara Jepang. Pasukan Jepang
membawa polisi tersebut sebagai tawanan ke tangsi Kidobutai di Jatingaleh. Pada saat
bersamaan terdengar desas-desus sumber air yang terletak di Candi Bar, Semarang telah
diracuni oleh pasukan Jepang. Seorang dokter sekaligus Kepala Laboratorium Pusat
Rumah Sakit

7
Rakyat (kini Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Kariadi, Semarang) bernama Kariadi
mencoba memeriksa kandungan dalam sumber air tersebut, tetapi justru dibunuh oleh
pasukan Jepang. Berbagai peristiwa tersebut makin menyulut amarah para pemuda.

15 Oktober 1945 pasukan Kidobutai bergerak ke kota dan terjadi pertempuran


dengan barisan pejuang di Simpang Lima (Tugu Muda) dan di Hotel Du Pavillon.
Pertempuran berlangsung selama lima hari dan baru berhenti setelah pemimpin pasukan
TKR dan pemimpin pasukan Jepang mengadakan perundingan Oleh karena itu,
pertempuran ini disebut Pertempuran Lima Hari di Semarang. Untuk mengenang
pertempuran ini, dibangun tugu Muda seperti pada gambar di samping.

Diperkirakan peristiwa Pertempuran Lima Hari Semarang menewaskan sekitar


2.000 orang. Versi lain menyebut bahwa kurang dari 300 orang yang tewas dalam
insiden tersebut. Dari pihak Jepang,, Ken'ichi Goto, seorang sejarawan Jepang menulis
bahwa 187 orang tewas dalam pertempuran. Sementara itu, Mayor Kido melaporkan
bahwa ada 42 tentara tewas, 43 terluka, dan 213 hilang.

2.3. Perisiwa Medan Area

Pertempuran Medan Area merupakan peristiwa sejarah pada era revolusi fisik
atau masa perang mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Perang Medan
Area ini terjadi di Medan, Sumatera Utara (dulu masih bernama Sumatera Timur),
beberapa bulan setelah proklamasi. Pemicu pecahnya Pertempuran Medan Area ini
adalah kedatangan pasukan Sekutu di Sumatera Utara pada 9 Oktober 1945. Tujuan
kehadiran Sekutu selaku pemenang Perang Dunia II adalah mengurus tawanan dan
melucuti senjata tentara Jepang di Indonesia. Ternyata, Sekutu diboncengi oleh pasukan
Belanda yang saat itu memakai nama Netherland Indies Civil Administration (NICA).
Belanda rupanya ingin kembali menguasai wilayah Indonesia yang dulu beratus-ratus
tahun mereka duduki. Rakyat dan kaum pejuang di Sumatera Utara, khususnya di
Medan, tentu tidak tinggal diam melihat gelagat buruk tersebut. Maka, terjadilah konflik
bersenjata yang kemudian dikenal sebagai Pertempuran Medan Area.

8
Sukarno dan Mohammad Hatta atas nama bangsa Indonesia telah menyatakan
proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945 di Jakarta. Kabar gembira tersebut
baru sampai ke rakyat Medan 10 hari berselang atau pada 27 Agustus 1945. Namun,
kedatangan pasukan Sekutu yang disertai oleh NICA atau balatentara Belanda membuat
rakyat dan kaum pejuang di Sumatera Utara merasa terusik. Ahmad Tahir dalam Bunga
Rampai Perjuangan dan Pengorbanan (1995:90) mengisahkan, di Medan, Belanda mulai
menunjukkan pergerakan yang mencurigakan. NICA mengumpulkan para mantan
serdadu Belanda di Medan untuk membentuk kembali kekuatan militer mereka. Para
pemuda di Medan pun segera mengambil sikap. Dimotori oleh Ahmad Tahir yang
pernah bergabung dengan tentara sukarela (gyugun) pada masa pendudukan Jepang,
dibentuklah Barisan Pemuda sebagai tindakan antisipasi. Barisan Pemuda di Medan
punya ciri khas, yakni mengenakan lencana merah-putih. Tanggal 13 Oktober 1945,
tentara Belanda menginjak-injak lencana kebanggaan tersebut. Insiden inilah yang
memicu pecahnya perang di Medan. Dalam peristiwa yang disebut Pertempuran Medan
Area itu, pihak republik berhasil melumpuhkan hampir 100 orang serdadu Belanda. Hal
ini membuat militer Belanda murka dan menetapkan sejumlah aturan. Ditegaskan oleh
Belanda bahwa rakyat Indonesia di Medan tidak boleh membawa senjata. Mereka yang
masih membawa senjata diwajibkan menyerahkannya kepada pihak Belanda atau
Sekutu. Tentu saja, rakyat Medan tidak mematuhi aturan tersebut. Petrik Matanasi
dalam “Sejarah
Pertempuran Medan Area” menuliskan, tanggal 1 Desember 1945, Sekutu menetapkan
beberapa garis batas di beberapa titik kota Medan. Simbol pembatas ini adalah
papanpapan yang di dalamnya terdapat tulisan Fixed Boundaries Medan Area.
Penyebutan ‘Medan Area’ sebagai nama pertempuran ini diklaim berawal dari papan
tersebut. Konflik kian membara. Terjadilah peperangan lagi pada 10 Desember 1945.
Pasukan RI di bawah komando Abdul Karim meladeni tentara Sekutu atau Belanda di
Deli Tua. Di Kota Medan, Sekutu dan NICA melancarkan serangan besar-besaran.
Tercatat dalam Sejarah Nasional Indonesia VI (1984) karya Marwati Djoened
Poesponegoro dan kawan-kawan, kaum rakyat pejuang di Medan meladeni serbuan
tersebut. Perang yang terjadi membuat jatuhnya banyak korban dari kedua belah pihak.

9
Buku Republik Indonesia: Sumatera Utara (1953), mencatat, kala itu Kota Medan
digempur peperangan, situasi kacau-balau, para prajurit Sekutu melakukan berbagai
tindakan keji yang membuat rakyat Medan kian murka. “Selanjutnya seorang perwira
Inggris diculik oleh pemuda, beberapa truk berhasil dihancurkan. Dengan peristiwa ini
TED Kelly kembali mengancam para pemuda
[Republik] agar menyerahkan senjata mereka,” tulis penyusun buku Sejarah Nasional
Indonesia VI (1984) karya Marwati Djoened Poesponegoro. Aksi-aksi bersenjata itu lalu
dikenal sebagai Pertempuran Medan Area. Setelah itu, Medan terbagi dua. Sisi timur
yang dekat laut dikuasai Sekutu, sementara sisi bimur yang ke arah pedalaman Sumatra
Utara dikuasai Republik. Jalan kereta api dari Pulo Brayan ke Medan jadi pembatasnya.
Pada bulan April 1946, pemerintah RI di dalam kota Medan terus didesak militer-militer
asing itu hingga akhirnya Gubernur Sumatra, Walikota Medan, dan petinggi TKR
menyingkir ke Pematang Siantar. Setelah itu, Medan menjadi salah satu kota penting
bagi NICA dan menjadi ibu kota Negara Sumatra Timur.

Sekutu dan NICA akhirnya berhasil menduduki Kota Medan pada April 1946.
Pusat perjuangan rakyat Medan pun terpaksa digeser ke Pematang Siantar. Kendati
begitu, masih terjadi perlawanan, termasuk pada 10 Agustus 1946 di Tebingtinggi. Para
komandan pasukan RI yang berjuang di Medan kemudian bertemu dan membentuk
satuan komando bernama Komando Resimen Laskar Rakyat Medan Area. Tanggal 19
Agustus 1946, dibentuk Barisan Pemuda Indonesia (BPI) di Kabanjahe. Dikutip dari
artikel "Terbentuknya TKR di Tanah Karo" dalam laman Pemerintah Kabupaten Karo,
BPI menjadi salah satu unsur pembentuk Badan Keselamatan Rakyat (BKR) yang
merupakan cikal-bakal Tentara Nasional Indonesia (TNI). Laskar-laskar rakyat di
berbagai daerah di Sumatera Utara terus melancarkan perlawanan terhadap Sekutu dan
NICA meskipun Kota Medan telah diduduki. Tak hanya di Sumatera Utara, gelora
perlawanan juga terjadi di berbagai daerah lain di Sumatera, seperti Padang, Bukittinggi,
Aceh, dan lainnya.

Insiden Pertempuran Medan Area yang terjadi sejak 13 Oktober 1945 hingga
April 1946 ini telah memakan beberapa korban jiwa. Diketahui bahwa terdapat tujuh

10
orang pemuda gugur, tujuh orang NICA tewas, dan 96 orang NICA lainnya mengalami
luka-luka. Selain itu, beberapa daerah Kota Medan juga hancur karena menjadi area
pertempuran antara pihak Indonesia dengan Sekutu dan NICA.

2.4. Pertempuran Surabaya

Setelah adanya proklamasi kemerdekaan di Indonesia tepatnya pada tanggal 17


Agustus 1945, bukanlah sebuah akhir dari perjuangan rakyat Indonesia. Hal ini
dikarenakan walaupun sudah mendeklarasi kemerdekaan tersebut, di beberapa daerah
Nusantara yang ada harus tetap berjuang dalam mempertahankan kemerdekaan tersebut.

Hal ini ditandai dengan adanya pertempuran pertama antara pejuang rakyat
Indonesia dengan pasukan negara asing setelah deklarasi kemerdekaan yang terjadi
tepatnya di Surabaya yang lebih dikenal dengan sebutan pertempuran Surabaya.

Pertempuran ini merupakan salah satu kejadian terbesar yang ada dalam sejarah
Revolusi Nasional Indonesia serta menjadi lambang atau simbol nasional yang menjadi
bukti akan perlawanan Indonesia terhadap adanya kolonialisme.

Berdasarkan buku Pertempuran Surabaya (1985) yang merupakan sebuah karya


yang dibuat oleh Nugroho Notosusanto menyebutkan bahwa Pertempuran Surabaya
yang terjadi merupakan pertempuran paling menegangkan yang menunjukkan semangat
patriotisme tinggi para masyarakat Indonesia untuk membela bangsa Indonesia.

Kejadian ini juga dibahas dalam komentar Ricklefs pada bukunya yang berjudul
A History of Modern Indonesia Since C.1200 yang menyatakan bahwa Pertempuran
Surabaya yang terjadi merupakan pertempuran paling sering sepanjang masa revolusi.

Pihak Inggris sebagai bagian dari pertempuran ini memandang Pertempuran


Surabaya tersebut sebagai laksana inferno atau neraka. Hal ini dikarenakan, rencana
Inggris yang ingin menguasai Surabaya menjadi terlambat dua hari dari target waktunya
yaitu tanggal 26 November yang disebabkan kegigihan para pejuang Bangsa Indonesia
yang ada di Surabaya.

11
Walaupun pada akhirnya Surabaya secara keseluruhan tetap jatuh ke tangan
Bangsa Inggris, dengan adanya kejadian Pertempuran Surabaya tersebut mengubah cara
pandang atau perspektif Bangsa Inggris dan juga Belanda terhadap Indonesia.

Karena ada kejadian ini, Bangsa Inggris menjadi lebih mempertegas posisi serta
kedudukannya sebagai pihak yang netral dan tidak perlu untuk mendukung Belanda.
Selain itu, Belanda yang pada awalnya meremehkan semangat Indonesia mulai
menyadari dan melihat perjuangan para pejuang yang ada dalam mempertahankan
kemerdekaan Indonesia.

Adanya hal tersebut, membuat para pejuang Indonesia mendapatkan dukungan


luas dari berbagai kalangan masyarakat. Hal ini dilihat Belanda sebagai sesuatu yang
berbeda dari gambaran mereka dan apa yang mereka bayangkan sebagai kelompok
pengacau sporadis atau ekstrimis.

Setelah adanya kemunculan sebuah pemberitahuan atau maklumat yang


diumumkan oleh pemerintah Indonesia pada tanggal 31 Agustus 1945 mengenai
penetapan pengibaran terus menerus bendera nasional Sang Saka Merah Putih di seluruh
wilayah Indonesia termasuk di kota Surabaya.

Namun, terjadi sebuah insiden dimana kedua belah pihak yaitu pasukan sekutu
dan masyarakat Surabaya terlibat dalam perseteruan perobekan bendera yang berada di
Hotel Yamato, Tunjangan Surabaya. Hal ini yang memicu terjadinya pertempuran
antara kedua belah pihak.

Kronologi awal dari insiden ini, dimana sekelompok orang Belanda yang
dipimpin oleh Mr.W.V.Ch. Ploegman mengibarkan bendera negara Belanda yang
berwarna merah, putih, dan biru tanpa adanya persetujuan dari Pemerintah Republik
Indonesia di kota Surabaya.

Para masyarakat Surabaya yang melihat hal tersebut menjadi kesal dan marah.
Hal ini yang membuat seorang perwakilan Indonesia yaitu Residen Soedirman
mendatangi Hotel Yamato tempat mereka mengibarkan bendera tersebut untuk

12
berdiskusi dengan pimpinan sekutu yaitu Ploegman agar bendera tersebut dapat
diturunkan dan tidak terjadinya keributan. Namun, diskusi yang ada tidak berjalan
lancar dan pimpinan mereka yaitu Ploegman menolak untuk menurunkan benderanya.

Hingga yang menjadi puncak kejadiannya, Ploegman mengeluarkan sebuah


pistol yang membuat perkelahian antara kedua belah pihak tidak dapat dihindari. Di
tengah keributan tersebut, Ploegman meninggal dunia karena dicekik oleh pengawal
Soedirman yaitu Sidik. Namun, Sidik juga tewas yang disebabkan oleh tentara Belanda
yang sedang bertugas saat itu.

Soedirman beserta pengawalnya yang lain berhasil menghindari insiden tersebut


dan segera keluar dari Hotel Yamato untuk mengamankan situasi yang ada. Namun,
beberapa pemuda di Surabaya terlihat langsung menaiki Hotel Yamato dan segera
merobek bendera Belanda yang berwarna merah, putih, biru tersebut dan menyisakan
bagian merah dan putih saja.

Pertempuran rakyat Surabaya menghadapi Sekutu bermula dari kedatangan


pasukan Sekutu di Surabaya. Pasukan Sekutu yang diwakili AFNEI (Inggris) tiba di
Surabaya pada 25 Oktober 1945 di bawah pimpinan A. W.S Mallaby. Kedatangan
tentara Sekutu bertujuan melucuti serdadu Jepang dan menyelamatkan interniran
Sekutu. Meskipun demikian, pemegang pemerintahan di Jawa Timur, yaitu Gubernur
Soerjo enggan menerima kedatangan mereka. Sikap ini muncul dari kecurigaan di
kalangan pejuang yang khawatir kedatangan tentara Sekutu akan diboncengi oleh
Belanda.

Untuk melunakkan hati Gubernur Soerjo, Sekutu mengajak berunding.


Perundingan tersebut menyepakati Sekutu hanya bertugas melucuti tentara Jepang dan
tidak boleh mengganggu keamanan di Surabaya. Dalam perkembangannya, Sekutu
mengingkari kesepakatan tersebut. Pada 26 Oktober 1945 Sekutu justru membebaskan
Kolonel Huiyer, seorang kolonel Angkatan Laut Belanda beserta tentara Belanda
lainnya. Aksi Sekutu tersebut menyulut amarah rakyat Surabaya sehingga terjadi kontak
senjata antara pasukan Sekutu dan barisan pemuda Surabaya.

13
Bentrokan antara rakyat Surabaya dan pasukan Sekutu terus berlangsung hingga
awal November 1945. Bahkan, dalam sebuah pertempuran A. WS. Mallaby terbunuh
setelah terkena tembakan dari pejuang Surabaya. Terbunuhnva A.WS. Mallaby
menyulut kemarahan Inggris. Selanjutnya, pada 9 November Sekutu mengeluarkan
ultimatum agar para pejuang dan rakyat Surabaya menyerah kepada Sekutu. Apabila
ultimatum tersebut diabaikan, seluruh kekuatan pasukan Sekutu akan menggempur Kota
Surabaya. Meskipun demikian, ultimatum tersebut diabaikan rakyat Surabaya.
Akibatnya, pertempuran tidak dapat dihindari. Pertempuran besar teriadi pada 10
November 1945 pukul 10.00 pagi dan berlangsung selama tiga minggu.

Dalam pertempuran Surabaya, muncul tokoh yang berperan penting dalam


memompa semangat juang arek-arek Surabaya. Tokoh tersebut bernama Sutomo atau
lebih dikenal dengan nama Bung Tomo. Melalui Radio Pemberontakan yang
didirikannya, Bung Tomo menyuarakan semangat perjuangan kepada arek-arek
Surabaya. Tokoh lain yang ikut membantu perjuangan rakyat Surabaya adalah Ktut
Tantri. Ktut Tantri yang memiliki nama asli Muriel Pearson merupakan seorang wanita
asal Amerika yang aktif mengumandangkan pidato-pidato revolusinya dalam bahasa
Inggris melalui radio Pemberontakan.

Perang yang terjadi antara kedua belah pihak yaitu masyarakat Surabaya dan
pasukan sekutu Inggris pertama kali terjadi tepatnya pada tanggal 27 Oktober hingga 30
Oktober tahun 1945. Hal ini yang membuat Jenderal D.C.Hawthorn meminta bantuan
dari Soekarno untuk mencari solusi dan meredakan situasi pada saat itu. Namun, dengan
terjadinya bentrok terus menerus antara kedua belah pihak membuat pemimpin sekutu
Inggris yaitu Brigadir Jenderal Mallaby meninggal dunia.

Pemimpin dari pasukan sekutu Inggris yaitu Jenderal Mallaby meninggal dunia
di tanggal 30 Oktober 1945, yang kemudian posisi tersebut digantikan dengan Jenderal
Robert Mansergh. Kemudian, Jenderal Robert Mansergh mengeluarkan sebuah
ultimatum yang ditujukan kepada masyarakat Surabaya pada tanggal 9 November 1945.
Ultimatum tersebut berisikan sebagai berikut.

14
a. Pemimpin Indonesia yang ada di Surabaya harus melaporkan diri
b. Seluruh senjata yang dimiliki oleh pihak Indonesia yang ada di Surabaya
harus diserahkan kepada pihak Inggris
c. Pemimpin Indonesia yang ada di Surabaya harus menandatangani sebuah
pernyataan bahwa mereka menyerah tanpa adanya syarat.

Ultimatum yang diajukan tersebut kemudian ditolak oleh pihak Indonesia, sehingga
para pasukan Inggris mulai melancarkan serangan mereka pada tanggal 10 November di
pagi hari yang menjadi awal dari pertempuran kedua belah pihak tersebut.

Pada pertempuran ini sendiri, terdapat setidaknya 20.000 tentara serta 100.000
sukarelawan di pihak Indonesia, sementara pada pihak Inggris terdapat setidaknya
30000 tentara yang juga dibantu dengan berbagai peralatan perang mereka, yaitu tank,
kapal perang, serta pesawat tempur.

Pertempuran yang terjadi antara kedua belah pihak tersebut mengalami


puncaknya tepat pada tanggal 10 November 1945, dimana terjadinya bentrok antara
pasukan sekutu serta arek-arek Surabaya ketika pasukan sekutu tersebut hendak
menyerang kota Surabaya yang langsung dihadang oleh masyarakat Surabaya.

Pertempuran yang terjadi tersebut menghasilkan banyak korban jiwa pada kedua belah
pihak. Namun, khususnya untuk masyarakat Surabaya yang kehilangan 20.000 korban
jiwa akibat pertempuran tersebut, dimana pada pihak sekutu kehilangan kurang lebih
1.500 korban jiwa.

Pertempuran Surabaya ini berlangsung selama tiga minggu dimana


menimbulkan berbagai kerugian besar bagi masyarakat di kota Surabaya dan juga
Indonesia. Dalam usahanya melawan pihak sekutu tersebut, arek-arek Surabaya
dipimpin oleh Bung Tomo yang mengumandangkan pidato berapi-api yang berhasil
untuk membangkitkan semangat masyarakat Surabaya untuk melawan dan mengusir
penjajah dari negara Indonesia.

15
Setelah satu tahun terjadinya pertempuran tersebut, Presiden Soekarno yang
menjabat menjadi Presiden Negara Indonesia saat itu menetapkan bahwa setiap tanggal
10 November, masyarakat Indonesia akan memperingati hari tersebut sebagai Hari
Pahlawan. Oleh sebab itu, hingga kini masyarakat Indonesia masih memperingati
perjuangan para pahlawan dengan mengingat jasa para pejuang setiap tanggal 10
November.

Pertempuran yang hingga kini masih diperingati setiap tanggal 10 November


oleh Bangsa Indonesia bukanlah perjuangan yang dilakukan satu hari saja, namun
melibatkan berbagai pertempuran yang terjadi sejak akhir Oktober tahun 1945 hingga
November 1945.

Akibat pertempuran yang terjadi sendiri, dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu,
pertempuran pendahuluan, pertempuran puncak yang terjadi pada tanggal 10 November,
dan pertempuran akhir. Jika diperkirakan pejuang yang ikut terlibat akibat serangkaian
pertempuran tersebut adalah 20.000 pasukan TKR yang datang dari berbagai penjuru
Jawa Timur serta para rakyat pejuang yang mencapai 140.000 orang.

2.5. Pertempuran Ambarawa

Pertempuran Ambarawa adalah pertempuran yang terjadi antara Tentara Indonesia


dengan Tentara Inggris. Peristiwa ini terjadi antara 20 Oktober sampai 15 Desember
1945 di Ambarawa, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah.

Pertempuran Ambarawa dimulai saat pasukan Sekutu dan NICA atau


Pemerintahan Sipil Hindia Belanda mulai mempersenjatai tawanan perang Belanda di
Ambarawa dan Magelang. Hal ini kemudian memicu kemarahan pada penduduk
setempat. Hubungan pun semakin runyam saat Sekutu mulai melucuti senjata anggota
Angkatan Darat Indonesia.

Peristiwa Pertempuran Ambarawa dimulai saat terjadi insiden di Magelang. Pada


20 Oktober 1945, Brigade Artileri dari Divisi India ke-23 atau militer Inggris mendarat
di Semarang yang dipimpin oleh Brigadir Bethell. Oleh pihak Republik Indonesia,

16
Bethell diperkenankan untuk mengurus pelucutan pasukan Jepang. Ia juga
diperbolehkan untuk melakukan evakuasi 19.000 interniran Sekutu (APW) yang berada
di Kamp Banyu Biru Ambarawa dan Magelang. Tetapi, ternyata mereka diboncengi
oleh orang-orang NICA (Netherland Indies Civil Administration) atau Pemerintahan
Sipil Hindia Belanda.

Mereka kemudian mempersenjatai para tawanan Jepang. Pada 26 Oktober 1945,


insiden ini pecah di Magelang. Pertempuran pun berlanjut antara Tentara Keamanan
Rakyat (TKR) dengan tentara Inggris. Pertempuran sempat berhenti setelah kedatangan
Presiden Soekarno dan Brigadir Bethell di Magelang pada 2 November 1945. Mereka
pun mengadakan perundingan untuk melakukan gencatan senjata. Melalui perundingan
tersebut tercapai sebuah kesepakatan, antara lain:

1) Pihak Inggris akan tetap menempatkan pasukannya di Magelang untuk


melakukan kewajibannya melindungi dan mengurus evakuasi APW.
2) Jalan raya Magelang-Ambarawa terbuka bagi lalu lintas Indonesia dan
Inggris.
3) Inggris tidak akan mengakui aktivitas NICA dalam badan-badan yang
berada di bawah kekuasaannya.

Sayangnya, pihak Inggris mengingkari perjanjian tersebut. Kesempatan dan


kelemahan yang ada dalam pasal tersebut dipergunakan Inggris untuk menambah
jumlah pasukannya yang berada di Magelang.

20 November 1945, di Ambarawa pecah pertempuran antara TKR di bawah


pimpinan Mayor Sumarto dan pasukan Inggris. Pada 21 November 1945, pasukan
Inggris yang berada di Magelang ditarik ke Ambarawa dan dilindungi oleh pesawat-
pesawat udara. Pertempuran mulai berkobar pada 22 November 1945, saat pasukan
Inggris melakukan pengeboman terhadap kampung-kampung di sekitar Ambarawa.

Pasukan TKR bersama pasukan pemuda lain yang berasal dari Boyolali, Salatiga, dan
Kartasura membentuk garis pertahanan sepanjang rel kereta api dan membelah Kota
Ambarawa. Dari arah Magelang, pasukan TKR dari Divisi V/Purwokerto di bawah

17
pimpinan Imam Adrongi melakukan serangan fajar. Serangan ini bertujuan untuk
memukul pasukan Inggris yang berkedudukan di Desa Pingit. Pasukan Imam pun
berhasil menduduki Pingit. Sementara itu, kekuatan di Ambarawa semakin bertambah
dengan datangnya tiga batalion yang berasal dari Yogyakarta. Mereka adalah Batalio
10 Divisi X di bawah pimpinan Mayor Soeharto, Batalion 8 di bawah pimpinan Mayor
Sardjono, dan Batalion Sugeng. Meskipun tentara Inggris sudah dikepung, mereka tetap
mencoba menghancurkan kepungan tersebut. Kota Ambarawa dihujani dengan
tembakan meriam. Untuk mencegah jatuhnya korban, TKR diperintahkan untuk
mundur ke Bedono oleh masing-masing komandannya. Bala bantuan dari Resimen 2
dipimpin M. Sarbini dan Batalion Polisi Istimewa dipimpin Onie Sastoatmodjo serta
Batalion dari Yogyakarta berhasil menahan gerakan musuh di Desa Jambu.

Desa Jambu terjadi rapat koordinasi dipimpin oleh Kolonel Holand Iskandar.
Rapat ini menghasilkan terbentuknya suatu komando yang disebut Markas Pimpinan
Pertempuran bertempat di Magelang. Pada 26 November 1945, salah satu pimpinan
pasukan harus gugur. Ia adalah Letnan Kolonel Isdiman, pemimpin pasukan asal
Purwokerto. Posisinya pun digantikan oleh Kolonel Soedirman. Sejak saat itu, situasi
pertempuran berubah semakin menguntungkan pihak TKR. Pada 5 Desember 1945,
musuh berhasil terusir dari Desa Banyubiru.

1) Serangan pendadakan dilakukan serentak dari semua sektor.


2) Tiap-tiap komandan sektor memimpin serangan.
3) Para pasukan badan-badan perjuangan (laskar) disiapkan sebagai tenaga
cadangan.
4) Serangan akan dimulai pada 12 Desember pukul 04.30.

Pada 12 Desember 1945, pasukan TKR bergerak menuju target masing-masing.


Dalam kurun waktu 1,5 jam, mereka sudah berhasil mengepung kedudukan musuh
dalam kota. Kota Ambarawa dikepung selama empat hari empat malam. Pasukan
Inggris yang sudah merasa terdesak berusaha untuk memutus pertempuran. Pada 15

18
Desember 1945, pasukan Inggris meninggalkan Kota Ambarawa dan mundur ke
Semarang.

Tokoh atau pejuang yang gugur dalam Pertempuran Ambarawa pada 20


November 1945 sebagai upaya untuk mempertahankan kemerdekaan adalah Letkol
Isdiman. Letnan Kolonel Isdiman adalah perwira Tentara Keamanan Rakyat yang gugur
dalam Pertempuran Ambarawa. Isdiman lahir di Pontianak pada 12 Juli 1913. Letkol
Isdiman merupakan orang kepercayaan dari Kolonel Soedirman untuk mengatur siasat
pertempuran di Ambarawa. Letkol Isdiman menjadi pemimpin pasukan yang berasal
dari Purwokerto. Semasa perjuangannya, Isdiman sudah berusaha menunjukkan
keberanian dan kemampuannya sebagai seorang pemimpin. Namun, sewaktu
menjalankan tugas, Isdiman harus gugur. Ia diberondong tembakan pesawat tempur
RAF pada 26 November 1945. Ia pun dibawa ke Magelang. Namun, Letkol Isdiman
gugur dalam perjalanan menuju ke Magelang.

Dampak pertempuran Ambarawa dibagi menjadi dua, positif dan negatif. Pertempuran
Ambarawa merupakan perlawanan pasukan militer Indonesia beserta rakyat terhadap
pihak Sekutu, terjadi di Ambarawa, Jawa Tengah (dekat dengan Magelang dan
Semarang). Dikenal dengan nama Palagan Ambarawa, peristiwa tembak-menembak
antara pasukan Sekutu dan pejuang Indonesia pertama kali terjadi pada tanggal 23
November 1945, di pagi hari saat matahari mulai terbit.

Dampak Negatif Pertempuran Ambarawa Seperti pertempuran lain pasca kemerdekaan,


perlawanan ini juga mengakibatkan hilangnya nyawa, terutama dari pihak Indonesia.
Gugurnya Letkol Isdiman Suryokusumo akibat serangan dari pesawat Mustang. Ia
terkena luka dibagian paha, lalu dalam perjalanan menuju rumah sakit beliau wafat.
Letnan Kolonel Isdiman merupakan salah satu orang kepercayaan Kolonel Sudirman
saat itu. Keamanan rakyat (penduduk setempat) Ambarawa dan Magelang terancam,
bahkan mengakibatkan penduduk sipil meninggal. Aktivitas perekonomian dan
kehidupan sosial di wilayah pertempuran terhenti, yang bisa mereka lakukan hanya
berlindung dari serangan-serangan pasukan Sekutu yang mengancam keselamatannya.

19
Dampak Positif Pertempuran Ambarawa kekalahan pasukan Sekutu menciutkan nyali
pihak Belanda, kekuatan mereka melemah, kemudian semakin terdesak di Wilayah
Indonesia. Pasukan militer dan pejuang rakyat Indonesia berhasil memukul mundur
pihak Sekutu serta NICA ke Semarang, wilayah kedaulatan Indonesia berhasil direbut
kembali. Keberhasilan pertempuran yang berlangsung di Ambarawa membuat semangat
juang di daerah lain semakin berkobar.

2.6. Peristiwa Puputan Margarana

Puputan Margarana adalah sebuah peristiwa sejarah perjuangan rakyat Indonesia


dalam mempertahankan kemerdekaan yang terjadi di Desa Marga, Kecamatan
Margarana, Tabanan, Bali. Perang Puputan Margarana terjadi pada tanggal 20
November 1946 antara pasukan Indonesia melawan Belanda.

Istilah perang puputan artinya adalah berperang sampai pada titik darah
penghabisan. Dalam ajaran agama Hindu, kata puputan sendiri mengandung makna
moral, karena kematian seorang prajurit dalam kondisi berperang adalah sebuah
kehormatan bagi keluarganya. Salah satu tokoh dalam Puputan Margarana Letkol I
Gusti Ngurah Rai yang turut gugur dalam pertempuran tersebut.

Perang Puputan Margarana di Bali disebabkan oleh hasil Perjanjian Linggarjati


antara Belanda dan Indonesia. Dalam Perjanjian Linggarjati, salah satu isinya
menyebutkan bahwa pengakuan Belanda secara de facto atas eksistensi Negara
Republik Indonesia hanya meliputi Sumatera, Jawa, dan Madura. Setelah Perjanjian
Linggarjati disepakati, maka pasukan Belanda harus meninggalkan daerah de facto itu
paling lambat 1 Januari 1946. Itu artinya, Perjanjian Linggarjati tidak memasukan Bali
sebagai bagian dari Republik Indonesia yang membuat rakyat Bali kecewa dan
kemudian memicu perlawanan. Selain akibat dari Perjanjian Linggarjati, Perang
Puputan Margarana juga dipicu oleh penolakan Letkol I Gusti Ngurah Rai yang saat itu
menjadi Kepala Divisi Sunda Kecil terhadap Belanda untuk mendirikan Negara
Indonesia Timur (NIT). Kedatangan pasukan Belanda di Bali dengan tujuan ingin

20
menyatukan Bali dengan wilayah Negara Indonesia Timur (NIT) lainnya turut menjadi
alasan munculnya perlawanan.

Pasca Perjanjian Linggarjati ditandatangani kedua belah pihak pada tanggal 25 Maret
1947, Belanda memulai usahanya untuk mendirikan Negara Indonesia Timur (NIT). I
Gusti Ngurah Rai kemudian berangkat ke Yogyakarta yang kemudian menunjuknya
sebagai Komandan Resimen Sunda Kecil dengan pangkat Letnan Kolonel. Letkol I
Gusti Ngurah Rai yang berangkat ke Yogyakarta untuk melakukan konsultasi dengan
markas besar TRI menolak untuk bekerja sama membentuk NIT. Diketahui selepas
proklamasi kemerdekaan, Letkol I Gusti Ngurah Rai dan rekan-rekannya membentuk
Tentara Keamanan Rakyat (TKR) Sunda Kecil dimana I Gusti Ngurah Rai menjadi
komandannya. Di bawah I Gusti Ngurah Rai, TKR Sunda Kecil memiliki kekuatan 13,5
kompi yang tersebar di seluruh kota di Bali dan dikenal dengan sebutan Ciung Wanara.
I Gusti Ngurah Rai bersama pasukannya kemudian bertekad melakukan perlawanan
terhadap Belanda. Pada 18 November 1946, markas pertahanan atau militer Belanda di
Tabanan, Bali diserang secara habis-habisan. Hal ini membuat Belanda murka dan
mengerahkan seluruh kekuatannya untuk mengepung Bali, khususnya Tabanan. Belanda
mengirimkan pasukan 'Gajah Merah', 'Anjing Hitam', 'Singa', 'Polisi Negara', 'Polisi
Perintis dan tiga pesawat pemburu miliknya. Pasukan yang dikirim Belanda tersebut
mulai melakukan serangan pada 20 November 1946 pukul 05.30 WITA, dengan
menembaki area pasukan warga Bali. Kekuatan persenjataan yang dimiliki pasukan
tersebut tergolong minim, sehingga mereka belum bisa melakukan aksi serangan
balasan kepada pasukan Belanda. Sekitar pukul 09.00 WITA, pasukan Belanda yang
kira-kira berjumlah 20 orang mulai mendekat dari arah barat laut, dan Beberapa saat
kemudian terdengarlah suara tembakan. Sebanyak 17 orang pasukan Belanda ditembak
mati oleh pasukan Ciung Wanara yang dipimpin oleh I Gusti Ngurah Rai. Setelah
mengetahui jika pasukannya mati, Belanda melakukan aksi serangan dari berbagai arah.
Namun, upayanya ini beberapa kali mengalami kegagalan karena pasukan Ciung
Wanara berhasil melakukan aksi serangan balik. Tidak hanya itu, Belanda juga sempat
menghentikan aksi serangannya selama satu jam. Beberapa saat kemudian, Belanda

21
kembali menyerang dengan mengirimkan banyak pasukan serta pesawat terbang
pengintai, kira-kira pukul
11.30 WITA. Serangan ini kembali berhasil dihentikan oleh pasukan Ciung Wanara.
Akhirnya Belanda dan pasukannya mundur sejauh 500 meter ke belakang untuk
menghindari pertempuran. Kesempatan ini digunakan oleh I Gusti Ngurah Rai dan
pasukannya untuk meloloskan diri dari kepungan musuh. Dalam perjalannya
meloloskan diri, tiba-tiba Belanda mengirimkan pesawat terbang untuk memburu I
Gusti Ngurah Rai bersama pasukannya. Untuk terakhir kalinya I Gusti Ngurah Rai
menyerukan "Puputan!', yang berarti habis-habisan. I Gusti Ngurah Rai bersama
pasukannya bertempur melawan Belanda hingga titik darah penghabisan. Dikutip dari
situs Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), I Gusti Ngurah Rai dan
1372 pejuang Dewan Perjuangan Republik Indonesia Sunda Kecil gugur dalam Puputan
Margarana.

Akibat kekalahan pasukan I Gusti Ngurah Rai pada Puputan Margarana, Belanda
semakin mudah dalam meaksanakan tugasnya untuk mendirikan Negara Indonesia
Timur (NIT). Dalam peristiwa heroik itu, I Gusti Ngurah Rai dan 69 anggota
pasukannya gugur akibat serangan tentara Belanda. Sedangkan di kubu lawan, sekitar
400 orang tewas dalam peperangan itu. Namun rakyat tidak berhenti berjuang karena
usaha Belanda kembali gagal setelah Indonesia kembali menjadi negara kesatuan pada
1950. Hal ini karena pada 8 Maret 1950 pemerintah RIS dengan persetujuan DPR dan
Senat RIS mengeluarkan Undang-undang Darurat No. 11 Tahun 1950 tentang Tata Cara
Perubahan Susunan Kenegaraan RIS. Dengan undang-undang tersebut, maka negara-
negara bagian atau daerah otonom seperti Jawa Timur, Jawa Tengah dan Madura
bergabung dengan RI di Yogayakarta. Setelah itu semakin banyak negara-negara bagian
atau daerah yang bergabung dengan RI, maka sejak 22 April 1950, negara RIS hanya
tinggal tiga yaitu Republik Indonesia, Negara Sumatera Timur dan Negara Indonesia
Timur. Semenjak itu setiap tanggal 20 November, masyarakat Bali akan memperingati
Hari Puputan Margarana dan mengenang jasa-jasa pahlawan yang telah gugur membela
bangsa dan negaranya.

22
2.7. Peristiwa Bandung Lautan Api

Peristiwa Bandung Lautan Api terjadi pada tanggal 23 Maret 1946. Ketika itu
kondisi pertahanan dan keamanan setelah Indonesia merdeka belum Kembali stabil.
Pada beberapa daerah terjadi pertempuran memperebutkan kembali wilayah kekuasaan
sekutu.

Saat itu penduduk yang tinggal di Bandung kemudian diungsikan, sementara


bangunanbangunan penting dan rumah dibakar. Kemudian peristiwa ini disebut juga
sebagai Bandung Lautan Api. Pembakaran rumah serta bangunan ini sendiri dilakukan
untuk mencegah sekutu serta tentara NICA Belanda menggunakan kota Bandung
sebagai markas militer.

Monumen Bandung Lautan Api sendiri berada di lapangan Tegallega, Bandung.


Monumen yang dibangun untuk mengenang peristiwa bersejarah perjuangan rakyat
dalam mempertahankan kemerdekaan.

Penyebab Terjadinya Bandung Lautan Api sendiri bermula pada kedatangan


sekutu dan NICA di Indonesia yang terjadi setelah Jepang menyerah kepada sekutu.
Pada 16 Agustus 1945 saat rombongan dari perwakilan sekutu sedang berada di Tanjung
Priok, Jakarta, Rombongan ini dipimpin oleh Laksamana Muda W.R. Patterson.
Pasukan yang pada awalnya menjadi sekutu ini disambut baik oleh masyarakat. Namun
dengan kemunculan NICA yang kemudian membuat Indonesia curiga. NICA yang
memberikan senjata kepada bekas anggota Koninklijk Nederlands Indisch Leger
(KNIL). Satuan KNIL ini kemudian dibebaskan oleh Jepang dan bergabung dengan
NICA. Penyebab terjadinya peristiwa ini sendiri dimulai pada 12 Oktober 1945.
Mengutip dari kemdikbud.go.id, Brigade MacDonald yang datang bersamaan dengan
pasukan sekutu. Ketika itu sekutu meminta senjata api yang dimiliki penduduk untuk
diserahkan, kecuali kepada Polisi dan Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Orang-orang
Belanda di kamp tahanan yang baru saja dikeluarkan mengacaukan keamanan hingga
akhirnya terjadi bentrokan antara sekutu dan TKR.

Tanggal 24 November 1945, TKR kemudian mulai menyerang markas sekutu di

23
Bandung bagian utara. Serangan ini sendiri dilakukan di Hotel Homan dan Hotel
Preanger. Selain di Bandung, aksi serupa juga terjadi di Surabaya, Manado, Sukabumi,
Medan, Ambarawa dan Biak.

Pasukan Inggris bagian dari Brigade MacDonald yang tiba di Bandung pada
tanggal 12 Oktober 1945, dan dari semula sudah bersitegang dengan pemerintah RI.

Mereka kemudian menuntut agar semua senjata api yang ada di tangan penduduk,
kecuali TKR, diserahkan kepadanya.

Orang-orang Belanda yang baru saja dibebaskan dari kamp tawanan kemudian
mulai melakukan tindakan-tindakan yang mengganggu keamanan. Akibatnya, bentrokan
bersenjata kemudian di antara Inggris dan TKR.

Malam tanggal 21 November 1945, TKR serta badan-badan perjuangan


melancarkan serangan kepada kedudukan-kedudukan Inggris bagian utara, termasuk di
Hotel Homann serta Hotel Preanger yang mereka gunakan sebagai markas.

Tiga hari setelahnya MacDonald kemudian menyampaikan ultimatum pada


Gubernur Jawa Barat agar Bandung Utara segera dikosongkan oleh penduduk
Indonesia, termasuk dari pasukan bersenjata. Ultimatum Tentara Sekutu agar Tentara
Republik Indonesia (TRI) sebagai sebutan bagi TNI pada saat itu untuk meninggalkan
kota Bandung kemudian mendorong TRI dalam melakukan operasi “bumi-hangus”.

Para pejuang pihak Republik Indonesia tidak rela jika Kota Bandung kemudian
dimanfaatkan oleh pihak Sekutu serta NICA. Keputusan ini sendiri diambil untuk
membumihanguskan Bandung melalui musyawarah Madjelis Persatoean Perdjoangan
Priangan (MP3) di hadapan semua kekuatan perjuangan pihak RI, hingga akhirnya pada
tanggal 23 Maret 1946 Kolonel Abdoel Haris Nasoetion sebagai Komandan Divisi III
TRI mengumumkan hasil musyawarah ini dan memerintahkan evakuasi Kota Bandung.

Pada hari yang sama rombongan besar penduduk Bandung kemudian mengalir
panjang meninggalkan kota Bandung dan malam itu pembakaran kota tersebut segera
berlangsung. Bandung yang pada saat itu sengaja dibakar oleh TRI serta rakyat setempat

24
dengan maksud agar Sekutu tidak menggunakan Bandung sebagai markas strategis
militer. Di mana-mana asap hitam mengepul membubung tinggi hingga semua listrik
mati.

Tentara Inggris kemudian mulai menyerang sehingga pertempuran sengit terjadi.


Pertempuran terbesar ini terjadi di Desa Dayeuhkolot, sebelah selatan Bandung, di mana
terdapat sebuah Gudang dengan amunisi besar milik Tentara Sekutu.

Dalam pertempuran ini Ramdan dan Muhammad Toha sebagai dua anggota
milisi BRI (Barisan Rakjat Indonesia) terjun dalam suatu misi untuk menghancurkan
gudang amunisi tersebut. Muhammad Toha yang meledakkan gudang tersebut dengan
dinamit.

Gudang ini kemudian terbakar dan meledak bersamaan dengan kedua milisi
tersebut di dalamnya. Staf pemerintah kota Bandung kemudian tetap tinggal di dalam
kota, demi menjaga keselamatan mereka, maka pada pukul 21.00 itu juga ia turut serta
dalam rombongan yang mengevakuasi dari Bandung. Sejak saat itu, kurang lebih pukul
24.00 Bandung Selatan telah dikosongkan dari penduduk dan TRI. Tetapi api masih
membubung membakar kota, sehingga Bandung pun menjadi lautan api.
Pembumihangusan Bandung ini dianggap sebagai strategi yang tepat dalam Perang
Kemerdekaan Indonesia karena kekuatan TRI serta milisi rakyat tidak sebanding jika
dibandingkan dengan kekuatan pihak Sekutu dan NICA yang berjumlah besar.

Setelah peristiwa ini berlangsung TRI bersama milisi rakyat kemudian


melakukan perlawanan secara gerilya dari luar Bandung. Peristiwa ini mengilhami
diciptakannya lagu Halo, HaloBandung yang nama penciptanya masih menjadi bahan
perdebatan.

Beberapa tahun setelahnya lagu “Halo, Halo Bandung” secara resmi ditulis dan
menjadi kenangan akan emosi yang para pejuang kemerdekaan Republik Indonesia
alami saat itu, menunggu untuk kembali ke kota tercinta mereka yang telah menjadi
lautan api.

25
Peristiwa Bandung Lautan Api (BLA) sebagai suatu peristiwa kebakaran besar
yang terjadi di kota Bandung, provinsi Jawa Barat, Indonesia yang terjadi pada tanggal
23 Maret 1946 pukul tujuh jam, dimana sekitar 200.000 penduduk Bandung membakar
rumahnya serta meninggalkan kota menuju pegunungan di daerah selatan.

Hal ini sendiri dilakukan guna mencegah tentara Sekutu serta tentara NICA
Belanda dalam menggunakan kota Bandung sebagai markas strategis militer dalam
rangka Perang Kemerdekaan Indonesia.

Istilah Bandung Lautan Api kemudian digunakan sebagai istilah yang terkenal
setelah peristiwa pembumihangusan ini terjadi. Jenderal A.H Nasution yang berperan
sebagai Jenderal TRI dalam pertemuan di Regentsweg (kini sebagai Jalan Dewi
Sartika), setelah kembali dari pertemuannya dengan Sutan Sjahrir di Jakarta, kemudian
memutuskan strategi terhadap Kota Bandung usai menerima ultimatum dari Inggris
tersebut.

Peristiwa Bandung Lautan Api sendiri menjadi inspirasi Ismail Marzuki untuk
menciptakan lagu Halo-Halo Bandung. Lagu yang menggambarkan bagaimana
semangat perjuangan masyarakat dalam peristiwa tersebut. Berikut di bawah ini adalah
tokoh-tokoh penting peristiwa Bandung Lautan Api.

a. Kolonel Abdul Haris Nasution sebagai komandan divisi III kemudian


menyampaikan musyawarah yang dilakukan pada 23 Maret 1946, juga
memberi perintah dalam mengungsikan masyarakat Kota Bandung.
b. Mohammad Toha sebagai komandan pejuang dalam Bandung Lautan
Api. Ia diberikan misi untuk menghancurkan amunisi serta senjata milik
sekutu, di gudang senjata.
c. Sutan Sjahrir dan Abdul Haris Nasution yang melakukan rencana
membumihanguskan kota Bandung.
d. Atje Bastaman sebagai wartawan muda yang menuliskan koran Suara
Merdeka. Ade sendiri menuliskan peristiwa bersejarah ini untuk
liputannya.

26
e. Mayor Rukana Mayor Rukana sebagai komandan polisi militer di kota
Bandung. Ialah yang mencetuskan ide membakar kota Bandung untuk
menyelamatkan wilayah dari kekuasaan sekutu.

Peristiwa Bandung Lautan Api yang terjadi pada 76 tahun silam atau 24 Maret
1946 merupakan momen penting bagi rakyat Indonesia, khususnya masyarakat Kota
Bandung. Saat-saat tersebut masyarakatnya memilih membumihanguskan rumahnya
dibanding menyerahkannya kepada militer sekutu guna mempertahankan bumi Sunda.

Sebagai bentuk penghormatan kepada perjuangan para pahlawan serta Warga


Bandung, dibuatlah monumen Bandung Lautan Api (BLA) yang berlokasi di Lapangan
Tegallega. Selain itu, Kota Bandung juga memiliki 10 stilasi atau bukti yang tersebar di
10 titik.

Stilasi-stilasi ini sendiri digunakan sebagai penanda tempat pertama kalinya


pembacaan teks proklamasi oleh rakyat Bandung. Lokasi peristiwa terjadinya perobekan
bendera Belanda atau markas para pejuang Bandung Lautan Api. Berikut ini adalah 10
stilasi Bandung Lautan Api.

a. Jalan Ir H. Juanda – Sultan Agung

Stilasi ini berada di depan gedung bekas kantor berita Jepang, Domei yang telah
ada sejak tahun 1937. Menurut catatan sejarah, di kantor berita inilah kemudian untuk
pertama kalinya teks proklamasi dibacakan oleh rakyat Bandung. Kali ini bangunan ini
adalah Kantor Bank BTPN.

b. Jalan Braga

Stilasi 2 ini berada persimpangan Jalan Braga serta Jalan Naripan yang terletak
di gedung Bank Jabar dahulunya bernama Gedung Denis. Di gedung ini, pada Oktober
1945, pejuang Bandung Moeljono serta E. Karmas merobek bendera Belanda.

c. Jalan Asia-Afrika

27
Stilasi 3 berada di depan Gedung Asuransi Jiwasraya di Jalan Asia-Afrika atau
tepatnya berada di seberang Masjid Raya Jawa Barat. Dulunya, gedung ini digunakan
sebagai markas resimen 8 yang dibangun pada tahun 1922.

d. Jalan Simpang
Stilasi 4 ini berada pada sebuah rumah yang terletak di Jalan Simpang. Di tempat
inilah dilakukannya perumusan keputusan pembumihangusan kota Bandung. Perintah
meninggalkan kota Bandung sendiri kemudian dikomandoi dari rumah ini. Rumah
tersebut kini dijadikan sebagai tempat tinggal dan masih sama dengan bentuk aslinya.

e. SD Dewi Sartika

Stilasi 5 tidak berada jauh dari Jalan Otto Iskandardinata – Jalan Kautamaan Istri.
Tepatnya berada di depan SD Dewi Sartika.

f. Jalan Ciguriang

Stilasi 6 terletak di Jalan Ciguriang sebelah pusat perbelanjaan Yogya


Kepatihan. Stilasi 6 ini terletak di dalam sebuah rumah yang juga difungsikan sebagai
markas komando Divisi III Siliwangi pimpinan kol. A.H. Nasution.

g. Persimpangan Lengkong Tengah

Lengkong Dalam Stilasi ini kemudian berada di persimpangan Jalan Lengkong


Tengah serta Jalan Lengkong Dalam, tepatnya berada belakang kampus Unpas. Tempat
ini kemudian menjadi tempat bermukimnya masyarakat Indo – Belanda.

h. Jalan Jembatan Baru

Stilasi ke 8 selanjutnya berada di Jalan Jembatan baru yang digunakan sebagai


salah satu garis pertahanan pejuang saat terjadinya pertempuran Lengkong.

i. Jalan Asmi

Stilasi 9 berada di SD ASMI, tepat di depan Jalan Asmi. Bangunan utama


Gedung ini tidak mengalami banyak perubahan. Tempat ini kemudian digunakan

28
sebagai markas pemuda pejuang, PESINDO dan BBRI sebelum kemudian terjadilah
peristiwa Bandung Lautan Api.

j. Gereja Gloria
Stilasi berikutnya berada di depan sebuah gereja yang terletak di jalan ini. Gereja
ini bernama Gloria, dulunya digunakan sebagai gedung pemancar NIROM yang
berfungsi untuk menyebarluaskan proklamasi kemerdekaan ke seluruh Indonesia dan
dunia. Di seberang stilasi inilah, di Taman Tegallega, sebuah tugu kokoh bernama tugu
Bandung Lautan Api didirikan.

2.8. Serangan Umum 1 Maret

Serangan Umum 1 Maret 1949 merupakan perjuangan Tentara Nasional Indonesia


(TNI) bersama rakyat, atas Agresi Militer Belanda II yang menjadikan Yogyakarta
sebagai sasaran empuk. Ketika itu, Yogyakarta masih menjadi ibu kota. Tapi kondisinya
tidak kondusif karena propaganda Belanda.

Kurang lebih satu bulan setelah Agresi Militer Belanda II yang dilancarkan pada
Desember 1948, Tentara Nasional Indonesia (TNI) mulai menyusun strategi untuk
melakukan pukulan balik terhadap tentara Belanda. Strategi tersebut antara lain dimulai
dengan memutuskan telepon, merusak jalan Kereta Api, menyerang konvoi Belanda,
serta tindakan lainnya.

Belanda terpaksa memperbanyak pos-pos di sepanjang jalan-jalan besar


penghubung kota-kota yang telah diduduki. Hal ini berarti kekuatan pasukan Belanda
tersebar pada pos-pos kecil di seluruh daerah republik yang kini merupakan medan
gerilya. Dalam keadaan pasukan Belanda yang sudah terpencarpencar, Tentara Nasional
Indonesia (TNI) mulai melakukan serangan terhadap Belanda.

Sekitar awal Februari 1948, di perbatasan Jawa Timur, Letkol. dr.Wiliater


Hutagalung - yang diangkat sebagai Perwira Teritorial sejak September 1948,
ditugaskan untuk membentuk jaringan persiapan gerilya di wilayah Divisi II dan III. Ia
bertemu dengan Panglima Besar Sudirman untuk melaporkan mengenai resolusi Dewan

29
Keamanan PBB dan penolakan Belanda terhadap resolusi tersebut dan melancarkan
propaganda yang menyatakan bahwa Republik Indonesia sudah tidak ada lagi. Melalui
Radio Rimba Raya, Panglima Besar Sudirman juga telah mendengar berita tersebut.
Panglima Besar Sudirman menginstruksikan untuk memikirkan langkahlangkah yang
harus diambil untuk memutar balikkan propaganda Belanda.

Pemikiran yang dikembangkan oleh Hutagalung adalah perlunya meyakinkan


dunia internasional terutama Amerika Serikat dan Inggris, bahwa Negara
Republik Indonesia masih kuat, memiliki pemerintahan (Pemerintah Darurat Republik
Indonesia – PDRI), dan memiliki Tentara Nasional Indonesia (TNI). Sebagai
pembuktian hal ini, maka untuk menembus resolusi harus diadakan serangan, yang tidak
bisa disembunyikan oleh Belanda, dan harus diketahui oleh United Nations Commission
for Indonesia (UNCI) dan wartawan asing untuk disebarluaskan ke seluruh dunia.
Untuk menyampaikan kepada UNCI dan para wartawan asing bahwa Negara Republik
Indonesia masih ada, diperlukan para Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang dapat
berbahasa Inggris, Belanda, atau Prancis. Panglima Besar Sudirman menyetujui gagasan
tersebut dan menginstruksikan Hutagalung agar mengoordinasikan pelaksanaan gagasan
tersebut dengan Panglima Divisi II dan III.

Letkol. dr. Hutagalung masih tinggal beberapa hari untuk membantu merawat
Panglima Besar Sudirman, sebelum kembali ke markasnya di Gunung Sumbing. Sesuai
tugas yang diberikan oleh Panglima Besar Sudirman, dalam rapat Pimpinan Tertinggi
Militer dan Sipil di wilayah Gubernur Militer III, yang dilaksanakan pada tanggal 18
Februari 1949 di markas yang terletak di lereng Gunung Sumbing. Selain Gubernur
Militer/Panglima Divisi III Kol. Bambang Sugeng dan Letkol Wiliater Hutagalung, juga
hadir Komandan Wehrkreis II, Letkol. Sarbini Martodiharjo, dan pucuk pimpinan
pemerintahan sipil, yaitu Gubernur Sipil, Mr. K.R.M.T. Wongsonegoro, Residen
Banyumas R. Budiono, Residen Kedu Salamun, Bupati Banjarnegara R. A. Sumitro
Kolopaking, dan Bupati Sangidi.

Tujuan utama penyerangan yang dilakukan adalah untuk menunjukkan eksistensi


Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan dengan demikian juga menunjukkan eksistensi

30
Republik Indonesia kepada dunia internasional, maka anggota UNCI, wartawan asing
serta para pengamat militer harus melihat perwira-perwira yang berseragam Tentara
Nasional Indonesia (TNI).

Setelah dilakukan pembahasan yang mendalam, grand design yang diajukan oleh
Hutagalung disetujui, dan khusus mengenai "serangan spektakuler" terhadap satu
kota besar, Panglima Divisi III/GM III Kolonel Bambang Sugeng bersikukuh, bahwa
yang harus diserang secara spektakuler adalah Yogyakarta.

Tiga alasan penting yang dikemukakan Bambang Sugeng untuk memilih Yogyakarta
sebagai sasaran utama adalah:

1. Yogyakarta adalah Ibu kota RI, sehingga bila dapat direbut walau hanya
untuk beberapa jam, akan berpengaruh besar terhadap perjuangan Indonesia
melawan Belanda.
2. Keberadaan banyak wartawan asing di Hotel Merdeka Yogyakarta, serta
masih adanya anggota delegasi UNCI, serta pengamat militer dari PBB.
3. Langsung di bawah wilayah Divisi III/GM III sehingga tidak perlu
persetujuan Panglima/GM lain dan semua pasukan memahami dan
menguasai situasi/daerah operasi.

Selain itu, sejak dimulainya perang gerilya pimpinan pemerintah sipil dari
mulai Gubernur Wongsonegoro serta para Residen dan Bupati selalu diikutsertakan
dalam rapat dan pengambilan keputusan yang penting dan kerjasama selama ini
sangat baik. Oleh karena itu, dapat dipastikan dukungan terutama untuk logistik dari
seluruh rakyat.

Selanjutnya dibahas, pihak-pihak mana serta siapa saja yang perlu dilibatkan,
akan dicari beberapa pemuda berbadan tinggi dan tegap, lancar berbahasa Belanda,
Inggris atau Prancis dan akan dilengkapi dengan seragam perwira TNI dari mulai
sepatu sampai topi. Mereka sudah harus siap di dalam kota, dan pada waktu
penyerangan telah dimulai, mereka harus masuk ke Hotel Merdeka guna
menunjukkan diri kepada anggota-anggota UNCI serta wartawan-wartawan asing

31
yang berada di hotel tersebut. Kolonel Wiyono, Pejabat Kepala Bagian PEPOLIT
Kementerian Pertahanan yang juga berada di Gunung Sumbing akan ditugaskan
mencari pemuda-pemuda yang sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan,
terutama yang fasih berbahasa Belanda dan Inggris.

Hal penting yang kedua adalah, dunia internasional harus mengetahui adanya
Serangan Tentara Nasional Indonesia terhadap tentara Belanda, terutama terhadap
Yogyakarta, Ibu kota Republik. Dalam menyebarluaskan berita ini ke dunia
internasional maka dibantu oleh Kol. T.B. Simatupang yang bermarkas di
Pedukuhan Banaran, desa Banjarsari, untuk menghubungi pemancar radio
Angkatan Udara RI (AURI) di Playen, dekat Wonosari, agar setelah serangan
dilancarkan berita mengenai penyerangan besar-besaran oleh TNI atas Yogyakarta
segera disiarkan.

Pimpinan pemerintahan sipil, Gubernur Wongsonegoro, Residen Budiono,


Residen Salamun, Bupati Sangidi dan Bupati Sumitro Kolopaking ditugaskan untuk
mengkoordinasi persiapan dan pasokan perbekalan di wilayah masing-masing. Pada
waktu bergerilya, para pejuang sering harus selalu pindah tempat, sehingga sangat
tergantung dari bantuan rakyat dalam penyediaan perbekalan. Selama perang
gerilya, bahkan Camat, Lurah serta Kepala Desa sangat berperan dalam
menyiapkan dan memasok perbekalan (makanan dan minuman) bagi para
gerilyawan. Ini semua telah diatur dan ditetapkan oleh pemerintah militer setempat.

Untuk pertolongan dan perawatan medis, diserahkan kepada PMI.


Peran PMI sendiri juga telah dipersiapkan sejak menyusun konsep Perintah Siasat
Panglima Besar. Dalam konsep Pertahanan Rakyat Total - sebagai pelengkap
Perintah Siasat No. 1 - yang dikeluarkan oleh Staf Operatif (Stop) tanggal 3
Juni 1948, butir 8 menyebutkan: Kesehatan terutama tergantung kepada Kesehatan
Rakyat dan P.M.I. karena itu evakuasi para dokter dan rumah obat mesti menjadi
perhatian.

Walaupun dengan risiko besar, Sutarjo Kartohadikusumo, Ketua DPA yang


juga adalah Ketua PMI (Palang Merah Indonesia), mengatur pengiriman obatobatan

32
bagi gerilyawan di front. Beberapa dokter dan staf PMI kemudian banyak yang
ditangkap oleh Belanda dan ada juga yang mati tertembak sewaktu bertugas.
Setelah rapat selesai, Komandan Wehrkreise II dan para pejabat sipil pulang ke
tempat masing-masing guna mempersiapkan segala sesuatu, sesuai dengan tugas
masing-masing. Kurir segera dikirim untuk menyampaikan keputusan rapat di
Gunung Sumbing pada 18 Februari 1949 kepada Panglima Besar Sudirman dan
Komandan Divisi II/Gubernur Militer II Kolonel Gatot Subroto.

Sebagaimana telah digariskan dalam pedoman pengiriman berita dan


pemberian perintah, perintah yang sangat penting dan rahasia, harus disampaikan
langsung oleh atasan kepada komandan pasukan yang bersangkutan. Maka rencana
penyerangan atas Yogyakarta yang ada di wilayah Wehrkreise I di bawah pimpinan
Letkol. Suharto, akan disampaikan langsung oleh Panglima Divisi III
Kolonel Bambang Sugeng. Kurir segera dikirim kepada Komandan Wehrkreise
III/Brigade 10, Letkol. Suharto, untuk memberitahu kedatangan Panglima Divisi
III serta mempersiapkan pertemuan. Diputuskan untuk segera berangkat sore itu
juga guna menyampaikan grand design kepada pihak-pihak yang terkait. Ikut
dalam rombongan Panglima Divisi selain Letkol. dr. Hutagalung, antara lain juga
dr. Kusen (dokter pribadi Bambang Sugeng), Bambang Surono (adik Bambang
Sugeng), seorang mantri kesehatan, seorang sopir dari dr. Kusen, Letnan Amron
Tanjung (ajudan Letkol Hutagalung) dan beberapa anggota staf Gubernur Militer
(GM) serta pengawal.

Brigade IX di bawah komando Letkol Achmad Yani, diperintahkan


melakukan penghadangan terhadap bantuan Belanda dari Magelang ke Yogyakarta.
Tanggal 19 Februari 1949. Panglima Divisi dan rombongan meneruskan perjalanan,
yang selalu dilakukan pada malam hari dan beristirahat pada siang hari, untuk
menghindari patroli Belanda. Penunjuk jalan juga selalu berganti di setiap desa.
Dari Banaran rombongan menuju wilayah Wehrkreise III melalui pegunungan
Menoreh untuk menyampaikan perintah kepada Komandan Wehrkreis III Letkol.
Suharto. Bambang Sugeng beserta rombongan mampir di Pengasih, tempat

33
kediaman mertua Bambang Sugeng dan masih sempat berenang di telaga yang ada
di dekat Pengasih (Keterangan dari Bambang Purnomo, adik kandung alm.
Bambang Sugeng, yang kini tinggal di Temanggung). Pertemuan dengan Letkol.
Suharto berlangsung di Brosot, dekat Wates. Semula pertemuan akan dilakukan di
dalam satu gedung sekolah, namun karena kuatir telah dibocorkan, maka pertemuan
dilakukan di dalam sebuah gubug di tengah sawah. Hadir dalam pertemuan tersebut
lima orang, yaitu Panglima Divisi III/Gubernur Militer III Kol. Bambang Sugeng,
Perwira Teritorial Letkol. dr. Wiliater Hutagalung beserta ajudan Letnan Amron
Tanjung, Komandan Wehrkreise III/Brigade X Letkol. Suharto beserta ajudan.
Kepada Suharto diberikan perintah untuk mengadakan penyerangan antara tanggal
25 Februari dan 1 Maret 1949. Kepastian tanggal baru dapat ditentukan kemudian,
setelah koordinasi serta kesiapan semua pihak terkait, antara lain dengan Kol.
Wiyono dari Pepolit Kementerian Pertahanan.

Setelah semua persiapan matang, baru kemudian diputuskan (keputusan


diambil tanggal 24 atau 25 Februari), bahwa serangan tersebut akan dilancarkan
tanggal 1 Maret 1949, pukul 06.00 pagi. Instruksi segera diteruskan ke semua pihak
yang terkait.

Tanggal 1 Maret 1949, pagi hari, serangan secara besar-besaran yg serentak


dilakukan di seluruh wilayah Divisi III/GM III dimulai, dengan fokus serangan ialah
Ibukota Republik, Yogyakarta, serta koar-besaran oleh pasukan Brigade X yg diperkuat
dengan satu Batalyon dari Brigade IX, sedangkan serangan terhadap pertahanan Belanda
di Magelang & penghadangan di jalur Magelta-kota di sekitar Yogyakarta, terutama
Magelang, sesuai Instruksi Rahasia yg dikeluarkan oleh Panglima Divisi III/GM III
Kolonel Bambang Sugeng kepada Komandan Wehrkreis I, Letkol Bahrun & Komandan
Wehrkreis II Letkol Sarbini. Pada saat yg bersamaan, serangan juga dilakukan di
wilayah Divisi II/GM II, dengan fokus penyerangan ialah kota Solo, guna mengikat
tentara Belanda dlm pertempuran agar tak dapat mengirimkan bantuan ke Yogyakarta.

Pos komando ditempatkan di desa Muto. Pada malam hari menjelang serangan
umum itu, pasukan telah merayap mendekati kota & dlm jumlah kecil mulai disusupkan
ke dlm kota. Pagi hari sekitar pukul 06. 00, sewaktu sirene dibunyikan serangan segera

34
dilancarkan ke segala penjuru kota. Dalam penyerangan ini Letkol Soeharto langsung
memimpin pasukan dari sektor barat sampai ke batas Malioboro. Sektor Timur dipimpin
Ventje Sumual, sektor selatan & timur dipimpim Mayor Sardjono, sektor utara oleh
Mayor Kusno. Sedangkan untuk sektor kota sendiri ditunjuk Letnan Amir Murtono &
Letnan Masduki sebagai pimpinan. TNI berhasil menduduki kota Yogyakarta selama 6
jam. Tepat pukul 12. 00 siang, sebagaimana yg telah ditentukan semula,seluruh
pasukkan TNI mundur

Serangan terhadap kota Solo yg juga dilakukan secara besar-besaran, dapat


menahan Belanda di Solo sehingga tak dapat mengirim bantuan dari Solo ke
Yogyakarta, yg sedang diserang secara besar-besaran -Yogyakarta yg dilakukan oleh
Brigade IX, hanya dapat memperlambat gerak pasukan bantuan Belanda dari Magelang
ke Yogyakarta. Tentara Belanda dari Magelang dapat menerobos hadangan gerilyawan
Republik, & sampai di Yogyakarta sekitar pukul 11. 00.

Sebelum menyerang, para pasukan sudah mendapat izin dari Sri Sultan
Hamengku Buwono IX, yang kala itu menjabat Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta.
Berikut kronologinya: Di suatu malam menjelang serangan umum, para pasukan TNI
sudah mulai menyusup ke berbagai sudut kota di seluruh wilayah Yogyakarta. Pada
pukul 06.00 WIB tanggal 1 Maret 1949, sebuah sirene berbunyi sebagai tanda jam
malam berakhir dan serangan umum siap dilancarkan.
Ketika pasukan TNI beraksi, pihak Belanda berhasil dikejutkan oleh serangan umum
mendadak sehingga mereka tidak memiliki banyak waktu untuk menyiapkan serangan
balik. Dalam waktu cukup singkat, pasukan TNI berhasil memukul mundur pasukan
Belanda keluar dari Yogyakarta, karena izin masuk mereka ke wilayah tersebut juga
termasuk ilegal. Keberhasilan TNI setelah membubarkan Belanda ini menjadi berita
baik dan disebarluaskan ke luar negeri melalui Birma, sehingga berita radio itu sampai
ke perwakilan RI di PBB, New York,AmerikaSerikat.
Tak hanya itu, berita keberhasilan serangan umum juga meluas di tanah air melalui
jaringan radio pemerintah.
Berkat serangan umum pada 1 Maret 1949, dukungan internasional mulai berdatangan
bagi Indonesia, termasuk pemerintah Amerika Serikat yang awalnya mendukung

35
Belanda, mulai mengubah sikapnya dan meminta pihak Belanda agar mau berunding
dengan Indonesia.

Akibat dari pertempuran tersebut Dari pihak Belanda, tercatat 6 orang tewas, dan
di antaranya adalah 3 orang anggota polisi; selain itu 14 orang mendapat luka-luka.
Segera setelah pasukan Belanda melumpuhkan serangan terebut, keadaan di dalam kota
menjadi tenteram kembali. Kesibukan lalu-lintas dan pasar kembali seperti biasa, malam
harinya dan hari-hari berikutnya keadaan tetap tenteram.

Pada hari Selasa siang pukul 12.00 Jenderal Meier (Komandan teritorial
merangkap komandan pasukan di Jawa Tengah), Dr. Angent (Teritoriaal
BestuursAdviseur), Kolonel van Langen (komandan pasukan di Yogyakarta) dan
Residen Stock (Bestuurs-Adviseur untuk Yogyakarta) telah mengunjungi kraton guna
membicarakan keadaan dengan Sri Sultan.

Dalam serangan terhadap Yogyakarta, pihak Indonesia mencatat korban sebagai


berikut: 300 prajurit tewas (Sebagian besar para pejuang berani mati), 53 anggota
polisi tewas, rakyat yang tewas tidak dapat dihitung dengan pasti. Menurut majalah
Belanda De Wappen Broeder terbitan Maret 1949, korban di pihak Belanda selama
bulan Maret 1949 tercatat 200 orang tewas dan luka-luka.

Serangan umum pada 1 Maret 1949 ini mempunyai dampak besar terhadap posisi
Indonesia di mata dunia, di antaranya:
Membuktikan bahwa eksistensi TNI masih sangat kuat dan mampu menyerang,
Mempertahankan kedaulatan Republik Indonesia, Indonesia mendapat tawaran
perundingan dari Dewan Keamanan PBB, Memulihkan kepercayaan rakyat terhadap
performa kerja TNI, Bisa mengubah sikap pemerintahan Amerika Serikat terhadap
Belanda, supaya mau berunding dengan RI, Mematahkan propaganda bohong yang
dilakukan Belanda kepada Indonesia di dunia internasional.

Tetapi, Serangan Umum 1 Maret mampu menguatkan posisi tawar dari Republik
Indonesia, mempermalukan Belanda yang telah mengklaim bahwa RI sudah lemah. Tak
lama setelah Serangan Umum 1 Maret terjadi Serangan Umum Surakarta yang menjadi

36
salah satu keberhasilan pejuang RI yang paling gemilang karena membuktikan kepada
Belanda, bahwa gerilya bukan saja mampu melakukan penyergapan atau sabotase, tetapi
juga mampu melakukan serangan secara frontal ke tengah kota Solo yang dipertahankan
dengan pasukan kavelerie, persenjataan berat - artileri, pasukan infantri dan komando
yang tangguh. Serangan umum Solo inilah yang menyegel nasib Hindia Belanda untuk
selamanya.

2.9. Peristiwa Yogyakarta Kembali

Peristiwa Yogya Kembali adalah peristiwa yang sangat penting pada saat itu,
yaitu pemindahan kekuasaan sipil dan militer dari tangan Belanda ke tangan Republik
Indonesia di Yogyakarta pada tanggal 24 Juni – 30 Juni 1949. Tidak banyak yang
mengingat peristiwa Yogya Kembali bahkan di Museumnya yang dibangun untuk
memperingati peristiwa tersebut sendiri pun dioramanya hanya menceritakan penarikan
tentara Belanda di kota Yogyakarta pada 29 Juni 1949, Sebagian kecil dari proses
penarikan itu sendiri (Ratmanto, 2020).

Peristiwa Yogya Kembali adalah sebuah diplomasi antara Indonesia dan Belanda
yang tidak terjadi hanya sekali, sejak Resolusi New Delhi, lalu dibawa ke PBB dan
akhirnya menghasilkan suatu perundingan yang dinamakan Roem-Royen pada 14 April
– 7 Mei 1949. dalam perundingan itu, Indonesia dan Belanda sepakat untuk menarik
militer Belanda yang ada di Yogyakarta. Indonesia dan Belanda sepakat menyerahkan
penarikan kepada tim pengawas dari PBB yaitu Military Observers UNCI atau juga
disebut Milobs Team, dan pengawas dari pihak Indonesia yang Bernama Liaison
Officers atau LO yang dipimpin oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX yang juga
bertindak sebagai penanggung jawab proses penarikan. Dan peristiwa tersebut ditutup
oleh pidato proklamasi oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX pada tanggal 30 Juni
1949 yang menjadi selesainya perebutan kekuasaan UPT Perpustakaan ISI Yogyakarta
5 pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta kembali ke Pemerintah Republik
Indonesia dan penarikan tentara Belanda di tanah Yogyakarta.

37
Sejarah dari Peristiwa Yogya Kembali merupakan peristiwa penting yang tidak
hanya bagi penduduk Yogyakarta saja, namun juga menjadikan tonggak kedaulatan
Republik Indonesia dari intervensi pemerintahan Belanda pada Agresi Militer Belanda
II. hendaknya masyarakat khususnya warga Yogyakarta mengapresiasi usaha-usaha
para pejuang dalam memperjuangkan kedaulatan Republik Indonesia.

Dewan Keamanan PBB dan Amerika Serikat saat itu menuntut pembebasan
kabinet Republik Indonesia. Pihak Belanda dan Indonesia pun menyetujuinya dengan
sepakat mengadakan Perjanjian Roem Royen pada 14 April 1947 - 7 Mei 1949.
Perjanjian Roem Royen berlangsung di Hotel Indes Jakarta, dengan tujuan
menghasilkan kesepakatan atas gencatan senjata antara Indonesia dan Belanda.

Selain itu, dalam perjanjiannya juga meminta pengembalian kekuasaan Ibu Kota
Yogyakarta kepada Indonesia. Sejarah Peristiwa Jogja Kembali merupakan kejadian
mundurnya militer Belanda sekaligus pengembalian kekuasaan Ibu Kota Yogyakarta
kepada Indonesia. Keputusan dari hasil Perjanjian Roem Royen ini dinilai sangat
lamban, sampai akhirnya menghadirkan Bung Hatta dari pengasingan di Bangka dan Sri
Sultan Hamengku Buwono IX.

Saat itu Sri Sultan Hamengku Buwono IX menegaskan dalam perundingan bahwa
Yogyakarta adalah bagian dari Republik Indonesia yang siap membantu
mempertahankan kemerdekaan. Hal lain yang memperkuat Yogya bisa kembali ke
Indonesia yaitu dari hasil perundingan tiga pihak antara BFO atau Majelis Konsultatif
Federal, Indonesia-Belanda yang diawasi PBB. Ketiganya menyatakan bahwa Belanda
harus menarik mundur pasukannya sejak Agresi Militer II, 19 Desember 1948.
Kemudian ketika insiden Serangan Oemoem 1 Maret 1949, dunia internasional
meyakini bahwa RI dan TNI masih ada, meskipun pihak Belanda mempropagandakan
sebaliknya. Setelah cukup lama berunding dan sampai pada puncaknya di 29 Juni 1949,
kota Yogyakarta mulai bersih dari kawanan tentara Belanda yang berhasil dipulangkan.

38
Sejarah Peristiwa Jogja Kembali bukan hanya milik warga Yogyakarta melainkan
diklaim bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dalam rangka penarikan tentara Belanda dari Yogyakarta yang akan digantikan
oleh TNI, Pemerintah Republik Indonesia dan Belanda telah disepakati persetujuan
“Suspension of Arm”. Pada tanggal 10 Mei 1949 Komandan Brigade T Kolonel van
Langen, memerintahkan kepada pasukannya yang berada di Yogyakarta untuk
menghindarkan pertempuran-pertempuran dengan pasukan Republik Indonesia.
Selanjutnya Menteri Negara Republik Indonesia/Koordinator Keamanan, Sri Sultan
Hamengku Buwono IX memerintahkan kepada Komandan TNI di Yogyakarta untuk
menghindarkan pertempuran dengan Belanda yang diulang lagi dengan perintah baru
tanggal 23 Juni 1949. Pada hari yang sama diterima berita dari pihak Belanda yang
memberitahukan bahwa tentara mereka akan ditarik dari Yogyakarta pada tanggal 24
Juni 1949 mulai pukul 12.00 dari Pos Wonosari. Penarikan tentara Belanda dari
Yogyakarta kemudian baru dilangsungkan pada 29 Juni 1949 secara serentak mulai dari
selatan ke utara dan keluar dari kota ke jurusan Magelang. Pada hari itu pula secara
resmi kedudukan Yogyakarta kembali berfungsi sebagai ibu kota negara sementara.

Pasca-Peristiwa Jogja Kembali


Dikarenakan Yogya telah kembali resmi menjadi bagian wilayah Republik Indonesia,
secara berangsur pula saat itu para pemimpin serta tokoh negara pun kembali ke Yogya.
Pemerintahan baru pun mulai ditata dan berjalan pada 1 Juli 1949, lalu disusul oleh
kembalinya Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta. Usai peristiwa
bersejarah Jogja kembali, Kolonel Soegiarto selaku walikotamadya Yogyakarta saat itu
menggagas untuk membangun sebuah monumen. Peletakan batu pertama Monumen
Yogya Kembali ini berlangsung pada 29 Juni 1985 oleh Sri Sultan Hamengku Buwono
IX.
Untuk mengenang peristiwa sejarah perjuangan bangsa, pada tanggal 29 Juni
1985 dibangun Monumen Yogya Kembali (Monjali). Peletakkan batu pertama
monumen setinggi 31,8 meter dilakukan oleh HB IX setelah melakukan upacara

39
tradisional penanaman kepala kerbau. Empat tahun kemudian, tepatnya pada tanggal 6
Juli 1989, bangunan ini selesai dibangun. Pembukaannya diresmikan oleh Presiden
Suharto dengan penandatanganan Prasasti.

Monumen yang terletak di Dusun Jongkang, Kelurahan Sariharjo, Kecamatan Ngaglik,


Kapubaten Sleman ini berbentuk gunung, yang menjadi perlambang kesuburan juga
mempunyai makna melestarikan budaya nenek moyang pra sejarah. Peletakan
bangunanpun mengikuti budaya Jogja, terletak pada sumbu imajiner yang
menghubungkan Merapi, Tugu, Kraton, Panggung Krapyak dan Parang Tritis. ” Poros
Makro Kosmos atau Sumbu Besar Kehidupan” begitu menurut Pak Gunadi pada
YogYES. Titik imajiner pada bangunan yang berdiri di atas tanah seluas 5,6 hektar ini
bisa dilihat pada lantai tiga, tepatnya pada tempat berdirinya tiang bendera.

Nama Monumen Yogya Kembali merupakan perlambang berfungsinya kembali


Pemerintahan Republik Indonesia dan sebagai tetengger sejarah ditarik mundurnya
tentara Belanda dari Ibukota Yogyakarta pada tanggal 29 Juni 1949 dan kembalinya
Presiden Soekarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta dan petinggi lainnya pada tanggal
6 Juli 1949 di Yogyakarta.

BAB 3
PENUTUP

40
3.1 Kesimpulan

Kondisi bangsa Indonesia pada masa awal kemerdekaan sangat tidak setabil situasinya,
tetapi mereka bisa berjuang untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia, meski
b.anyak hal yang mereka lewatkan seperti kedatangan sekutu Belanda hingga mereka
memberikan perlawanan dari berbagai daerah yakni pengambilalihan kekuasaan Jepang
di Yogyakarta, pertempuran lima hari di Semarang, pertempuran Surabaya, pertempuran
Ambarawa, pertempuran medan area, peristiwa bandung lautan api hingga pertempuran
margarana mereka lewatkan demi mempertahankan kemerdekaan Indonesia, dan pada
akhirnya mereka berhasil menegakkan kedaulatan NKRI.

3.2 Kritik dan Saran

Pada saat pembuatan makalah Penulis menyadari bahwa banyak sekali kesalahan dan
jauh dari kesempurnaan. Dengan sebuah pedoman yang bisa dipertanggungjawabkan
dari banyaknya sumber Penulis akan memperbaiki makalah tersebut. Oleh sebab itu
penulis harapkan kritik serta sarannya mengenai pembahasan makalah dalam
kesimpulan di atas.

DAFTAR PUSTAKA

Kompas.com.2022.Perjanjian Renville.
https://amp.kompas.com/regional/read/2022/01/23/181239178/perjanjian-renville-
isitokoh-latar-belakang-dan-dampaknya-bagi-kedaulatan. Diakses pada 8 Januari 2023.

41
Nanda Akbar Gumilang.2021.Konferensi Meja Bundar.
https://www.gramedia.com/literasi/konferensi-meja-bundar/. Diakses pada 8 Januari
2023.
Kompas.com.2021.Pertempuran Ambarawa.
https://amp.kompas.com/stori/read/2021/05/22/161749679/pertempuran-ambarawalatar-
belakang-tokoh-akibat-dan-akhir. Diakses pada 8 Januari 2023.
Yuda Prinada 2022.Pertempuran Medan Area. https://tirto.id/pertempuran-medan-
areasejarah-kronologi-dan-akhir-perang-gbnU. Diakses pada 8 Januari 2023.
Alhidayath Parinduri.Sejarah Bandung Lautan Api. https://tirto.id/sejarah-
peristiwabandung-lautan-api-penyebab-kronologi-tokoh-gajf. Diakses pada 8 Januari
2023.
Raden Putri.2021.Isi Perjanjian Roem Royen.
https://www.gramedia.com/literasi/isiperjanjian-roem-royen/. Diakses pada 9 Januari
2023.
Kompas.com.2021.Kedatangan Sekutu dan Belanda pada Awal Kemerdekaan.
https://www.kompas.com/skola/read/2020/03/20/130000169/kedatangan-sekutu-
danbelanda-pada-awal-kemerdekaan?page=all. Diakses pada 9 Januari 2023.
Kelas Pintar.2022.Pengambilalihan Kekuasaan Jepang diYogyakarta.
https://www.kelaspintar.id/blog/tips-pintar/kelas-11-tips-pintar/
pengambilalihankekuasaan-jepang-di-yogyakarta-
14604/#:~:text=Dalam%20sejarahnya%2C%20pengambialihan%20kekuasaan%20Jepa
ng,yang%20bekerja%20di%20perkantoran%20Jepang. Diakses pada 10 Januari 2023.
Andrew.2021. Sejarah Pertempuran Surabaya.
https://www.gramedia.com/literasi/sejarah-pertempuran-surabaya/. Diakses pada 10
Januari 2023.
Sumber Sejarah.Dampak Pertempuran Ambarawa.
https://sumbersejarah1.blogspot.com/2018/04/dampak-pertempuran-ambarawa.html.
Diakses pada 10 Januari 2023.
Sofyan.2021. Sejarah Bandung Lautan Api.
https://www.gramedia.com/literasi/bandunglautan-api/. Diakses pada 10 Januari 2023.
Kompas.com.2022.Puputan Margarana.
https://regional.kompas.com/read/2022/07/23/185325878/puputan-margarana-
tokohpenyebab-kronologi-dan-dampak?page=all. Diakses pada 12 Januari 2023.
Mentari Januari.2022.Dampak Agresi Militer II Belanda.
https://www.zenius.net/blog/agresi-militer-belanda-

42
2#Dampak_Agresi_Militer_2_Belanda. Diakses pada 12 Januari 2023.
Ziaggi.2021.Perjanjian Linggarjati.
https://www.gramedia.com/literasi/perjanjianlinggarjati/. Diakses pada 12 Januari 2023.

Lampiran

43
Gedung Agung di Yogyakarta
Sumber : Wikipedia

Tugu Muda Semarang


Sumber: Kompas.com

Sumber : Sindonews.com

Sumber: Kompas.com

44
(sumber: discoveringsurabaya.wordpress.com)

Soedirman dan Soeharto dalam pertempuran ambarawa


Sumber: Kompas.com

Sumber: Kompas.com

Prasasti Bukti Pertempuran Medan Area


Sumber: Wikipedia

45
Sumber: kly.akamaized.net

Serangan Umum 1 Maret


Sumber : Tirto.ID

Sumber : Kompas.com

46

Anda mungkin juga menyukai