Kronologi Peristiwa[
Masuknya Tentara Jepang ke Indonesia
Pada 1 Maret 1942, tentara Jepang mendarat di Pulau Jawa, dan tujuh hari kemudian,
tepatnya, 8 Maret, pemerintah kolonial Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang. Sejak
itu, Indonesia diduduki oleh Jepang
Peristiwa Lain]
1. Sebelum tanggal 20 Oktober, ada kejadian Gencatan Senjata antara kedua belah pihak,
tetapi kendati demikian kejadian ini tidak memadamkan situasi, kejadian diperparah
dengan pembunuhan sandera (lihat no. 2)
merekam peristiwa penting selama lima hari pertempuran di Semarang, yaitu di pertemuan
antara Jl. Pemuda, Jl. Imam Bonjol, Jl. Dr. Sutomo, dan Jl. Pandanaran dengan lawang sewu.
Selain pembangunan Tugu Muda, Nama dr. Kariadi diabadikan sebagai nama salah satu
rumah sakit di Semarang.
2. Peristiwa 10 November
Pertempuran Surabaya merupakan peristiwa sejarah perang antara pihak tentara Indonesia dan
pasukan Belanda. Peristiwa besar ini terjadi pada tanggal 10 November 1945 di Kota
Surabaya, Jawa Timur. Pertempuran ini adalah perang pertama pasukan Indonesia dengan pasukan
asing setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dan satu pertempuran terbesar dan terberat
dalam sejarah Revolusi Nasional Indonesia yang menjadi simbol nasional atas perlawanan
Indonesia terhadap kolonialisme. [2]
September 1945, tentara Inggris mendarat di Jakarta, kemudian mendarat di Surabaya pada
tanggal 25 Oktober 1945. Tentara Inggris datang ke Indonesia tergabung dalam AFNEI (Allied
Forces Netherlands East Indies) atas keputusan dan atas namaBlok Sekutu, dengan tugas untuk
melucuti tentara Jepang, membebaskan para tawanan perang yang ditahan Jepang, serta
memulangkan tentara Jepang ke negerinya. Namun selain itu tentara Inggris yang datang juga
membawa misi mengembalikan Indonesia kepada administrasi pemerintahan Belanda sebagai
negeri jajahan Hindia Belanda. NICA(Netherlands Indies Civil Administration) ikut membonceng
bersama rombongan tentara Inggris untuk tujuan tersebut. Hal ini memicu gejolak rakyat Indonesia
dan memunculkan pergerakan perlawanan rakyat Indonesia di mana-mana melawan tentara AFNEI
dan pemerintahan NICA.
Setelah munculnya maklumat pemerintah Indonesia tanggal 31 Agustus 1945 yang menetapkan
bahwa mulai 1 September 1945 bendera nasional Sang Saka Merah Putih dikibarkan terus di
seluruh wilayah Indonesia, gerakan pengibaran bendera tersebut makin meluas ke segenap pelosok
kota Surabaya. Klimaks gerakan pengibaran bendera di Surabaya terjadi pada insiden perobekan
bendera di Yamato Hoteru / Hotel Yamato (bernama Oranje Hotel atau Hotel Oranye pada zaman
kolonial, sekarang bernama Hotel Majapahit) di Jl. Tunjungan no. 65 Surabaya.
Sekelompok orang Belanda di bawah pimpinan Mr. W.V.Ch. Ploegman pada sore hari tanggal 18
September 1945, tepatnya pukul 21.00, mengibarkan bendera Belanda (Merah-Putih-Biru), tanpa
persetujuan Pemerintah RI Daerah Surabaya, di tiang pada tingkat teratas Hotel Yamato, sisi
sebelah utara. Keesokan harinya para pemuda Surabaya melihatnya dan menjadi marah karena
mereka menganggap Belanda telah menghina kedaulatan Indonesia, hendak mengembalikan
kekuasan kembali di Indonesia, dan melecehkan gerakan pengibaran bendera Merah Putih yang
sedang berlangsung di Surabaya.
Pengibaran bendera Indonesia setelah bendera belanda berhasil disobek warna birunya di hotel Yamato
Tak lama setelah mengumpulnya massa di Hotel Yamato, Residen Soedirman, pejuang
dan diplomat yang saat itu menjabat sebagai Wakil Residen (Fuku Syuco Gunseikan) yang masih
diakui pemerintah Dai Nippon Surabaya Syu, sekaligus sebagai Residen Daerah Surabaya
Pemerintah RI, datang melewati kerumunan massa lalu masuk ke hotel Yamato dikawal Sidik dan
Hariyono. Sebagai perwakilan RI dia berunding dengan Mr. Ploegman dan kawan-kawannya dan
meminta agar bendera Belanda segera diturunkan dari gedung Hotel Yamato. Dalam perundingan
ini Ploegman menolak untuk menurunkan bendera Belanda dan menolak untuk mengakui
kedaulatan Indonesia. Perundingan berlangsung memanas, Ploegman mengeluarkan pistol, dan
terjadilah perkelahian dalam ruang perundingan. Ploegman tewas dicekik oleh Sidik, yang kemudian
juga tewas oleh tentara Belanda yang berjaga-jaga dan mendengar letusan pistol Ploegman,
sementara Soedirman dan Hariyono melarikan diri ke luar Hotel Yamato. Sebagian pemuda berebut
naik ke atas hotel untuk menurunkan bendera Belanda. Hariyono yang semula bersama Soedirman
kembali ke dalam hotel dan terlibat dalam pemanjatan tiang bendera dan bersama Koesno
Wibowo berhasil menurunkan bendera Belanda, merobek bagian birunya, dan mengereknya ke
puncak tiang benderakembali sebagai bendera Merah Putih.
Setelah insiden di Hotel Yamato tersebut, pada tanggal 27 Oktober 1945 meletuslah pertempuran
pertama antara Indonesia melawan tentara Inggris . Serangan-serangan kecil tersebut di kemudian
hari berubah menjadi serangan umum yang banyak memakan korban jiwa di kedua belah pihak
Indonesia dan Inggris, sebelum akhirnya Jenderal D.C. Hawthorn meminta bantuan
Presiden Sukarno untuk meredakan situasi.
Setelah gencatan senjata antara pihak Indonesia dan pihak tentara Inggris ditandatangani
tanggal 29 Oktober 1945, keadaan berangsur-angsur mereda. Walaupun begitu tetap saja terjadi
bentrokan-bentrokan bersenjata antara rakyat dan tentara Inggris di Surabaya. Bentrokan-bentrokan
bersenjata di Surabaya tersebut memuncak dengan terbunuhnya Brigadir Jenderal Mallaby,
(pimpinan tentara Inggris untuk Jawa Timur), pada 30 Oktober 1945 sekitar pukul 20.30.
Mobil Buick yang ditumpangi Brigadir Jenderal Mallaby berpapasan dengan sekelompok milisi
Indonesia ketika akan melewati Jembatan Merah. Kesalahpahaman menyebabkan terjadinya
tembak menembak yang berakhir dengan tewasnya Brigadir Jenderal Mallaby oleh
tembakan pistol seorang pemuda Indonesia yang sampai sekarang tak diketahui identitasnya, dan
terbakarnya mobil tersebut terkena ledakan granat yang menyebabkan jenazah Mallaby sulit
dikenali. Kematian Mallaby ini menyebabkan pihak Inggris marah kepada pihak Indonesia dan
berakibat pada keputusan pengganti Mallaby, Mayor Jenderal Eric Carden Robert Mansergh untuk
mengeluarkan ultimatum 10 November 1945 untuk meminta pihak Indonesia menyerahkan
persenjataan dan menghentikan perlawanan pada tentara AFNEI dan administrasi NICA.
Mobil Buick Brigadir Jenderal Mallaby yang meledak di dekat Gedung Internatio dan Jembatan MerahSurabaya
Tom Driberg, seorang Anggota Parlemen Inggris dari Partai Buruh Inggris (Labour Party). Pada 20
Februari 1946, dalam perdebatan diParlemen Inggris (House of Commons) meragukan bahwa baku
tembak ini dimulai oleh pasukan pihak Indonesia. Dia menyampaikan bahwa peristiwa baku tembak
ini disinyalir kuat timbul karena kesalahpahaman 20 anggota pasukan India pimpinan Mallaby yang
memulai baku tembak tersebut tidak mengetahui bahwa gencatan senjata sedang berlaku karena
mereka terputus dari kontak dan telekomunikasi. Berikut kutipan dari Tom Driberg:
"... Sekitar 20 orang (serdadu) India (milik Inggris), di sebuah bangunan di sisi lain alun-alun, telah
terputus dari komunikasi lewat telepon dan tidak tahu tentang gencatan senjata. Mereka menembak
secara sporadis pada massa (Indonesia). Brigadir Mallaby keluar dari diskusi (gencatan senjata),
berjalan lurus ke arah kerumunan, dengan keberanian besar, dan berteriak kepada serdadu India
untuk menghentikan tembakan. Mereka patuh kepadanya. Mungkin setengah jam kemudian, massa
di alun-alun menjadi bergolak lagi. Brigadir Mallaby, pada titik tertentu dalam diskusi,
memerintahkan serdadu India untuk menembak lagi. Mereka melepaskan tembakan dengan
dua senapan Bren dan massa bubar dan lari untuk berlindung; kemudian pecah pertempuran lagi
dengan sungguh gencar. Jelas bahwa ketika Brigadir Mallaby memberi perintah untuk membuka
tembakan lagi, perundingan gencatan senjata sebenarnya telah pecah, setidaknya secara lokal. Dua
puluh menit sampai setengah jam setelah itu, ia (Mallaby) sayangnya tewas dalam mobilnyameskipun (kita) tidak benar-benar yakin apakah ia dibunuh oleh orang Indonesia yang mendekati
mobilnya; yang meledak bersamaan dengan serangan terhadap dirinya (Mallaby). Saya pikir ini
tidak dapat dituduh sebagai pembunuhan licik... karena informasi saya dapat secepatnya dari saksi
mata, yaitu seorang perwira Inggris yang benar-benar ada di tempat kejadian pada saat itu, yang
niat jujurnya saya tak punya alasan untuk pertanyakan ... " [4]
10 November 1945
Setelah terbunuhnya Brigadir Jenderal Mallaby, penggantinya, Mayor Jenderal Robert Mansergh
mengeluarkan ultimatum yang menyebutkan bahwa semua pimpinan dan orang Indonesia yang
bersenjata harus melapor dan meletakkan senjatanya di tempat yang ditentukan dan menyerahkan
diri dengan mengangkat tangan di atas. Batas ultimatum adalah jam 6.00 pagi tanggal 10 November
1945.
Ultimatum tersebut kemudian dianggap sebagai penghinaan bagi para pejuang dan rakyat yang
telah membentuk banyak badan-badan perjuangan / milisi. Ultimatum tersebut ditolak oleh pihak
Indonesia dengan alasan bahwa Republik Indonesia waktu itu sudah berdiri, dan Tentara Keamanan
Rakyat TKR juga telah dibentuk sebagai pasukan negara. Selain itu, banyak organisasi perjuangan
bersenjata yang telah dibentuk masyarakat, termasuk di kalangan pemuda, mahasiswa dan pelajar
yang menentang masuknya kembali pemerintahan Belanda yang memboncengi kehadiran tentara
Inggris di Indonesia.
Pada 10 November pagi, tentara Inggris mulai melancarkan serangan berskala besar, yang diawali
dengan pengeboman udara ke gedung-gedung pemerintahan Surabaya, dan kemudian
mengerahkan sekitar 30.000 infanteri, sejumlah pesawat terbang, tank, dan kapal perang.
Inggris kemudian membombardir kota Surabaya dengan meriam dari laut dan darat. Perlawanan
pasukan dan milisi Indonesia kemudian berkobar di seluruh kota, dengan bantuan yang aktif dari
penduduk. Terlibatnya penduduk dalam pertempuran ini mengakibatkan ribuan penduduk sipil jatuh
menjadi korban dalam serangan tersebut, baik meninggal maupun terluka.
Bung Tomo di Surabaya, salah satu pemimpin revolusioner Indonesia yang paling dihormati. Foto terkenal ini
bagi banyak orang yang terlibat dalamRevolusi Nasional Indonesia mewakili jiwa perjuangan revolusi utama
Indonesia saat itu.[5]
Di luar dugaan pihak Inggris yang menduga bahwawanan di Surabaya bisa ditaklukkan dalam
tempo tiga hari, para tokoh masyarakat seperti pelopor muda Bung Tomo yang berpengaruh besar
di masyarakat terus menggerakkan semangat perlawanan pemuda-pemuda Surabaya sehingga
perlawanan terus berlanjut di tengah serangan skala besar Inggris.
Tokoh-tokoh agama yang terdiri dari kalangan ulama serta kyai-kyai pondok Jawa seperti
KH. Hasyim Asy'ari, KH. Wahab Hasbullah serta kyai-kyai pesantren lainnya juga
mengerahkan santri-santri mereka dan masyarakat sipil sebagai milisi perlawanan (pada waktu itu
masyarakat tidak begitu patuh kepada pemerintahan tetapi mereka lebih patuh dan taat kepada para
kyai) shingga perlawanan pihak Indonesia berlangsung lama, dari hari ke hari, hingga dari minggu
ke minggu lainnya. Perlawanan rakyat yang pada awalnya dilakukan secara spontan dan tidak
terkoordinasi, makin hari makin teratur. Pertempuran skala besar ini mencapai waktu sampai tiga
minggu, sebelum seluruh kota Surabaya akhirnya jatuh di tangan pihak Inggris.
Setidaknya 6,000 - 16,000 pejuang dari pihak Indonesia tewas dan 200,000 rakyat sipil mengungsi
dari Surabaya. [2]. Korban dari pasukan Inggris dan India kira-kira sejumlah 600 - 2000
tentara. [3] Pertempuran berdarah di Surabaya yang memakan ribuan korban jiwa tersebut telah
menggerakkan perlawanan rakyat di seluruh Indonesia untuk mengusir penjajah dan
mempertahankan kemerdekaan. Banyaknya pejuang yang gugur dan rakyat sipil yang menjadi
korban pada hari 10 November ini kemudian dikenang sebagai Hari Pahlawan oleh Republik
Indonesia hingga sekarang.
3. Palagan Ambarawa
Palagan Ambarawa adalah sebuah peristiwa perlawanan rakyat terhadap Sekutu yang terjadi
di Ambarawa, sebelah selatanSemarang, Jawa Tengah.
Kronologi peristiwa
Pada tanggal 20 Oktober 1945, tentara Sekutu di bawah pimpinan Brigadir Bethell mendarat di
Semarang dengan maksud mengurus tawanan perang dan tentara Jepang yang berada di
Jawa Tengah. Kedatangan sekutu ini diboncengi oleh NICA. Kedatangan Sekutu ini mulanya
disambut baik, bahkan Gubernur Jawa Tengah Mr Wongsonegoro menyepakati akan
menyediakan bahan makanan dan keperluan lain bagi kelancaran tugas Sekutu, sedang Sekutu
berjanji tidak akan mengganggu kedaulatan Republik Indonesia.
Namun, ketika pasukan Sekutu dan NICA telah sampai di Ambarawa dan Magelang untuk
membebaskan para tawanan tentara Belanda, para tawanan tersebut malah dipersenjatai
sehingga menimbulkan kemarahan pihak Indonesia. Insiden bersenjata timbul di
kota Magelang, hingga terjadi pertempuran. Di Magelang, tentara Sekutu bertindak sebagai
penguasa yang mencoba melucuti Tentara Keamanan Rakyat dan membuat kekacauan. TKR
Resimen Magelang pimpinan Letkol. M. Sarbinimembalas tindakan tersebut dengan
mengepung tentara Sekutu dari segala penjuru. Namun mereka selamat dari kehancuran berkat
campur tangan Presiden Soekarno yang berhasil menenangkan suasana. Kemudian pasukan
Sekutu secara diam-diam meninggalkan Kota Magelang menuju ke benteng Ambarawa. Akibat
peristiwa tersebut, Resimen Kedu Tengah di bawah pimpinan Letkol. M. Sarbini segera
mengadakan pengejaran terhadap mereka. Gerakan mundur tentara Sekutu tertahan di Desa
Jambu karena dihadang oleh pasukan Angkatan Muda di bawah pimpinan Oni
Sastrodihardjo yang diperkuat oleh pasukan gabungan dari Ambarawa, Suruh dan Surakarta.
Tentara Sekutu kembali dihadang oleh Batalyon I Soerjosoempeno di Ngipik. Pada saat
pengunduran, tentara Sekutu mencoba menduduki dua desa di sekitar Ambarawa. Pasukan
Indonesia di bawah pimpinan Letkol. Isdiman berusaha membebaskan kedua desa tersebut,
namun ia gugur terlebih dahulu. Sejak gugurnya Letkol. Isdiman, Komandan Divisi V
Banyumas, Kol. Soedirman merasa kehilangan seorang perwira terbaiknya dan ia langsung
turun ke lapangan untuk memimpin pertempuran. Kehadiran Kol. Soedirman memberikan
napas baru kepada pasukan-pasukan RI. Koordinasi diadakan di antara komando-komando
sektor dan pengepungan terhadap musuh semakin ketat. Siasat yang diterapkan adalah
serangan pendadakan serentak di semua sektor. Bala bantuan terus mengalir
dari Yogyakarta, Solo, Salatiga, Purwokerto, Magelang, Semarang, dan lain-lain.
Tanggal 23 November 1945 ketika matahari mulai terbit, mulailah tembak-menembak dengan
pasukan Sekutu yang bertahan di kompleks gereja dan kerkhop Belanda di Jl. Margo Agoeng.
Pasukan Indonesia terdiri dari Yon. Imam Adrongi, Yon. Soeharto dan Yon. Soegeng. Tentara
Sekutu mengerahkan tawanan-tawanan Jepang dengan diperkuat tanknya, menyusup ke
tempat kedudukan Indonesia dari arah belakang, karena itu pasukan Indonesia pindah ke
Bedono.
Pertempuran di Ambarawa
Pada tanggal 11 Desember 1945, Kol. Soedirman mengadakan rapat dengan para Komandan
Sektor TKR dan Laskar. Pada tanggal 12 Desember 1945 jam 04.30 pagi, serangan mulai
dilancarkan. Pembukaan serangan dimulai dari tembakan mitraliur terlebih dahulu, kemudian
disusul oleh penembak-penembak karaben. Pertempuran berkobar di Ambarawa. Satu
setengah jam kemudian, jalan raya Semarang-Ambarawa dikuasai oleh kesatuan-kesatuan
TKR. Pertempuran Ambarawa berlangsung sengit. Kol. Soedirman langsung memimpin
pasukannya yang menggunakan taktik gelar supit urang, atau pengepungan rangkap dari kedua
sisi sehingga musuh benar-benar terkurung. Suplai dan komunikasi dengan pasukan induknya
diputus sama sekali. Setelah bertempur selama 4 hari, pada tanggal 15
Desember 1945 pertempuran berakhir dan Indonesia berhasil merebut Ambarawa dan Sekutu
dibuat mundur ke Semarang.
Kemenangan pertempuran ini kini diabadikan dengan didirikannya Monumen Palagan
Ambarawa dan diperingatinya Hari Jadi TNI Angkatan Darat atau Hari Juang Kartika.
Rakyat) yang merupakan tentara resmi pemerintah dimana Djamin Gintings ditetapkan sebagai
komandan pasukan teras bersama-sama Nelang Sembiring dan Bom Ginting yang anggotanya
antara lain Selamat Gintings, Nahud Bangun, Rimrim Ginting, Kapiten Purba, Tampak
Sebayang dan lain-lain. Pada umumnya yang menjadi anggota BKR ini adalah para bekas
anggota Gyugun atau Heiho dan berisan-barisan bentukan Jepang. Djamin Ginting.S bekas
komandan pleton Gyugun ditunjuk menjadi Komandan Batalyon BKR Tanah Karo. Untuk
melanjutkan perjuangan di Medan maka pada bulan Agustus 1946 dibentuk Komando Resimen
Laskar Rakyat Medan Area. Komando resimen ini terus mengadakan serangan terhadap
Sekutu diwilayah Medan. Hampir di seluruh wilayah Sumatera terjadi perlawanan rakyat
terhadap Jepang, Sekutu, dan Belanda. Pertempuran itu terjadi, antara lain
di berastagi, Padang, Bukit Tinggi dan Aceh.
5. Pembantaian Rawagede(Kerawamg-Bekasi)
Pembantaian Rawagede adalah peristiwa pembantaian penduduk Kampung Rawagede (sekarang
terletak di Desa Balongsari, Rawamerta, Karawang), di antara Karawang danBekasi, oleh tentara
Belanda pada tanggal 9 Desember 1947 sewaktu melancarkan agresi militer pertama. Sejumlah 431
penduduk menjadi korban pembantaian ini.
Ketika tentara Belanda menyerbu Bekasi, ribuan rakyat mengungsi ke arah Karawang. Pertempuran
kemudian berkobar di daerah antara Karawang dan Bekasi, mengakibatkan jatuhnya ratusan korban
jiwa dari kalangan sipil. Pada tanggal 4 Oktober 1948, tentara Belanda melancarkan pembersihan.
Dalam peristiwa ini 35 orang penduduk Rawagede dibunuh tanpa alasan jelas. Peristiwa dikira
menjadi inspirasi dari sajak terkenal Chairil Anwar berjudul Antara Karawang dan Bekasi, namun
ternyata dugaan tersebut tidak terbukti.
Pada 14 September 2011, Pengadilan Den Haag menyatakan pemerintah Belanda harus
bertanggung jawab dan membayar kompensasi bagi korban dan keluarganya [1].
Jalannya peristiwa
Di Jawa Barat, sebelum Perjanjian Renville ditandatangani, tentara Belanda dari Divisi 1 yang juga
dikenal sebagai Divisi 7 Desember melancarkan pembersihan unit pasukan TNIdan laskar-laskar
Indonesia yang masih mengadakan perlawanan terhadap Belanda. Pasukan Belanda yang ikut
ambil bagian dalam operasi di daerah Karawang adalah Detasemen 3-9 RI, pasukan para (1e para
compagnie) dan 12 Genie veld compagnie, yaitu brigade cadangan dari pasukan para dan DST
(Depot Speciaale Troepen).
Sekitar 130.000 tentara Belanda dikirim ke bekas Hindia Belanda, sekarang Indonesia.Dalam
operasinya di daerah Karawang, tentara Belanda memburu Kapten Lukas Kustaryo, komandan
kompi Siliwangi - kemudian menjadi Komandan Batalyon Tajimalela/Brigade II Divisi Siliwangi - yang
berkali-kali berhasil menyerang patroli dan pos-pos militer Belanda. Di wilayah Rawagede juga
berkeliaran berbagai laskar, bukan hanya pejuang Indonesia namun juga gerombolan pengacau dan
perampok.
Pada 9 Desember 1947, sehari setelah perundingan Renville dimulai, tentara Belanda di bawah
pimpinan seorang mayor mengepung Dusun Rawagede dan menggeledah setiap rumah. Namun
mereka tidak menemukan sepucuk senjata pun. Mereka kemudian memaksa seluruh penduduk
keluar rumah masing-masing dan mengumpulkan di tempat yang lapang. Penduduk laki-laki
diperintahkan untuk berdiri berjejer, kemudian mereka ditanya tentang keberadaan para pejuang
Republik. Namun tidak satu pun rakyat yang mengatakan tempat persembunyian para pejuang
tersebut.
Pemimpin tentara Belanda kemudian memerintahkan untuk menembak mati semua penduduk lakilaki, termasuk para remaja belasan tahun. Beberapa orang berhasil melarikan diri ke hutan,
walaupun terluka kena tembakan. Saih, kini berusia 83 tahun menuturkan bahwa dia bersama ayah
dan para tetangganya sekitar 20 orang jumlahnya disuruh berdiri berjejer. Ketika tentara Belanda
memberondong dengan senapan mesin istilah penduduk setempat: "didrdt"- ayahnya yang
berdiri di sampingnya tewas kena tembakan, dia juga jatuh kena tembak di tangan, namun dia purapura mati. Ketika ada kesempatan, dia segera melarikan diri.
Hari itu tentara Belanda membantai 431 penduduk Rawagede. Tanpa ada pengadilan, tuntutan
ataupun pembelaan. Seperti di Sulawesi Selatan, tentara Belanda di Rawagede juga
melakukan eksekusi di tempat (standrechtelijke excecuties), sebuah tindakan yang jelas
merupakan kejahatan perang. Diperkirakan korban pembantaian lebih dari 431 jiwa, karena banyak
yang hanyut dibawa sungai yang banjir karena hujan deras.
Seorang veteran tentara Belanda yang tidak mau disebutkan namanya dari desa Wamel, sebuah
desa di propinsi Gerderland, Belanda Timur mengirim surat kebata korban perang sebagai berikut:
Dari arah Rawa Gedeh tentara Belanda ditembaki. Maka diputuskanlah untuk menghajar desa ini
untuk dijadikan pelajaran bagi desa-desa lain.Saat malam hari Rawa Gedeh dikepung. Mereka yang
mencoba meninggalkan desa, dibunuh tanpa bunyi (diserang, ditekan ke dalam air sampai
tenggelam; kepala mereka dihantam dengan popor senjata dll)Jam setengah enam pagi, ketika
mulai siang, desa ditembaki dengan mortir. Pria, wanita dan anak-anak yang mau melarikan diri
dinyatakan patut dibunuh: semuanya ditembak mati. Setelah desa dibakar, tentara Belanda
menduduki wilayah itu. Penduduk desa yang tersisa lalu dikumpulkan, jongkok, dengan tangan
melipat di belakang leher. Hanya sedikit yang tersisa. Belanda menganggap Rawa Gedeh telah
menerima pelajarannya.Semua lelaki ditembak mati oleh pasukan yang dinamai Angkatan Darat
Kerajaan. Semua perempuan ditembak mati, padahal Belanda negara demokratis. Semua anak
ditembak mati.
Desa Wamel pada tanggal 20 September 1944 diserbu tentara Jerman. 14 warga sipil tewas
dibunuh secara keji oleh tentara Jerman. Nampaknya dari peristiwa Wamel ini, sang veteran menulis
surat penyesalan tersebut.
Hujan yang mengguyur mengakibatkan genangan darah membasahi desa tersebut. Yang tersisa
hanya wanita dan anak-anak. Keesokan harinya, setelah tentara Belanda meninggalkan desa
tersebut, para wanita menguburkan mayat-mayat dengan peralatan seadanya. Seorang ibu
menguburkan suami dan dua orang putranya yang berusia 12 dan 15 tahun. Mereka tidak dapat
menggali lubang terlalu dalam, hanya sekitar 50 cm saja. Untuk pemakaman secara Islam, yaitu
jenazah ditutup dengan potongan kayu, mereka terpaksa menggunakan daun pintu, dan kemudian
diurug tanah seadanya, sehingga bau mayat masih tercium selama berhari-hari.
Kejahatan perang
Pimpinan Republik kemudian mengadukan peristiwa pembantaian ini kepada Committee of Good
Offices for Indonesia (Komisi Jasa Baik untuk Indonesia) dari PBB. Namun tindakan Komisi ini
hanya sebatas pada kritik terhadap aksi militer tersebut yang mereka sebut sebagai deliberate and
ruthless, tanpa ada sanksi yang tegas atas pelanggaran HAM, apalagi untuk memandang
pembantaian rakyat yang tak bedosa sebagai kejahatan perang (war crimes).
Tahun 1969 atas desakan Parlemen Belanda, Pemerintah Belanda membentuk tim untuk meneliti
kasus-kasus pelanggaran/penyimpangan yang dilakukan oleh tentara tentara kerajaan Belanda (KL,
Koninklijke Landmacht dan KNIL, Koninklijke Nederlands-Indische Leger) antara tahun 1945 1950.
Hasil penelitian disusun dalam laporan berjudul Nota betreffende het archievenonderzoek naar
gegevens omtrent excessen in Indonesi begaan door Nederlandse militairen in de periode 19451950, disingkat menjadi De Excessennota. Laporan resmi ini disampaikan oleh Perdana Menteri de
Jong pada 2 Juni 1969. Pada bulan Januari 1995 laporan tersebut diterbitkan menjadi buku dengan
format besar (A-3) setebal 282 halaman. Di dalamnya terdapat sekitar 140 kasus pelanggaran/
penyimpangan yang dilakukan oleh tentara Belanda. Dalam laporan De Excessen Nota yang hampir
50 tahun setelah agresi militer mereka- tercatat bahwa yang dibantai oleh tentara Belanda di
Rawagede hanya sekitar 150 jiwa. Juga dilaporkan, bahwa Mayor yang bertanggungjawab atas
pembantaian tersebut, demi kepentingan yang lebih tinggi, tidak dituntut ke pengadilan militer.
Di Belanda sendiri, beberapa kalangan dengan tegas menyebutkan, bahwa yang dilakukan oleh
tentara Belanda pada waktu itu adalah kejahatan perang (oorlogs-misdaden) dan hingga sekarang
masih tetap menjadi bahan pembicaraan, bahkan film dokumenter mengenai pembantaian di
Rawagede ditunjukkan di Australia. Anehnya, di Indonesia sendiri film dokumenter ini belum pernah
ditunjukkan.
Pembantaian di Sulawesi Selatan dan di Rawagede serta berbagai pelanggaran HAM berat lain,
hanya sebagian kecil bukti kejahatan perang yang dilakukan oleh tentara Belanda, dalam upaya
Belanda untuk menjajah kembali bangsa Indonesia, setelah bangsa Indonesia menyatakan
kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945.
Namun hingga kini, Pemerintah Belanda tetap tidak mau mengakui kemerdekaan RI adalah
17.8.1945. Pemerintah Belanda tetap menyatakan, bahwa pengakuan kemerdekaan RI telah
diberikan pada 27 Desember 1949, dan hanya menerima 17.8.1945 secara politis dan moral de
facto- dan tidak secara yuridis de jure- sebagaimana disampaikan oleh Menlu Belanda Ben Bot di
Jakarta pada 16 Agustus 2005.
Tuntutan kepada pemerintah Belanda pertama kali disampaikan oleh Komite Nasional Pembela
Martabat Bangsa Indonesia [KNPMBI]. [petisi . KNPMBI didirkan pada 9 Maret 2002.
Karena lingkup kegiatan KNPMBI sangat luas, maka khusus untuk menangani hal-hal yang
sehubungan dengan Belanda, Ketua Umum KNPMBI, Batara R. Hutagalug bersama aktifis KNPMBI
pada 5 Mei 2005 bertempat di gedung Joang '45, mendirikan Komite Utang Kehormatan Belanda
[KUKB].[Lihathttp://batarahutagalung.blogspot.com/2011/11/rawagede-perjuangan-knpmbi-dankukb.html ] Pada 15 Desember 2005, Batara R. Hutagalung, Ketua Komite Utang Kehormatan
Belanda dan Laksamana Pertama TNI (Purn.) Mulyo Wibisono, Ketua Dewan Penasihat KUKB
bersama aktivis KUKB di Belanda diterima oleh Bert Koenders, juru bicara Fraksi Partij van de Arbeit
(PvdA) di gedung parlemen Belanda di Den Haag.[1]
Dalam kunjungannya ke Belanda, pada 18 Desember 2005, Ketua KUKB Batara R. Hutagalung
meresmikan KUKB Cabang Belanda dan mengangkat Jeffry Pondaag sebagai Ketua KUKB Cabang
Belanda, serta Charles Suryandi sebagai sekretaris. KUKB di Belanda membentuk badan hukum
baru, yayasan K.U.K.B. Anggota Dewan Penasihat KUKB, Abdul Irsan SH., yang juga mantan Duta
Besar RI untuk Kerajaan Belanda, memberi sumbangan untuk biaya pendirian yayasan, dan untuk
membayar pengacara di Belanda yang akan mewakili tuntutan para janda korban di Rawagede.
Belakangan, KUKB dan Yayasan KUKB pecah.
Yayasan KUKB bersama para janda, penyintas (survivor), dan saksi korban pembantaian di
Rawagede menuntut kompensasi dari Pemerintah Belanda. Liesbeth Zegveld dari biro hukum
Bohler menjadi pengacara mereka.
Pada 15 Agustus 2006, 15 Agustus 2007 dan 15 Agustus 2008 KUKB pimpinan Batara R.
Hutagalung bersama beberapa janda dan korban yang selamat dari pembantaian di Rawagede
melakukan demonstrasi di depan Kedutaan Belanda di Jakarta, dan setiap kali menyampaikan lagi
tuntutan kepada Pemerintah Belanda.
Parlemen Belanda cukup responsif dan cukup terbuka mengenai pelanggaran HAM yang telah
dilakukan oleh tentara Belanda antara 1945 1950, walaupun kemudian belum ada sanksi atau
tindakan hukum selanjutnya. Juga tidak pernah dibahas, mengenai kompensasi bagi para korban
dan keluarga korban yang tewas dalam pembantaian akibat agresi militer, yang baru pada
16.8.2005 diakui oleh Menlu Belanda, bahwa agresi militer tersebut telah menempatkan Belanda
pada sisi sejarah yang salah.
Pemeriksaan Pengadilan
Tujuh janda korban pembantaian, satu anak perempuan korban, dan seorang lelaki penyintas
(survivor) lantas menggugat pemerintah Belanda atas kejadian pada tahun 1947 itu. Jaksa
pemerintah Belanda berpendapat tuntutan mereka kadaluwarsa.
Namun, pengadilan Den Haag pada 14 September 2012 menyatakan pemerintah Belanda bersalah
dan harus bertanggung jawab. Pemerintah Belanda diperintahkan membayar kompensasi bagi
korban dan keluarganya. kompensasi berupa sejumlah uang masing-masing 1 miliar rupiah.