Anda di halaman 1dari 18

Pertempuran Ambarawa

Pertempuran Ambarawa pada tanggal 20 November berakhir tanggal 15 Desember 1945,


antara pasukan TKR melawan pasukan inggris. Ambarawa merupakan kota yang terletak
antara kota Semarang dan magelang, serta Semarang dan Salatiga. Peristiwa ini
dilatarbelakangi oleh mendaratnya pasukan Sekutu dari Divisi India ke-23 di Semarang pada
tanggal 20 oktober 1945. Pemerintah Indonesia memperkenankan mereka untuk mengurus
tawanan perang yang berada di penjara Ambarawa dan Magelang.

Kedatangan pasukan Sekutu (Inggris) diikuti oleh pasukan NICA. Mereka mempersenjatai
para bekas tawanan perang Eropa, sehingga pada tanggal 26 Oktober 1945 terjadi insiden di
Magelang yang kemudian terjadi pertempuran antara pasukan TKR dengan pasukan Sekutu.
Insiden berakhir setelah Presiden Soekarno dan Brigadir Jenderal Bethell datang ke
Magelang pada tanggal 2 November 1945. Mereka mengadakan perundingan gencatan
senjata dan memperoleh kata sepakat yang dituangkan da1am 12 pasal. Naskah persetujuan
itu berisi antara lain:

1. Pihak Sekutu akan tetap menempatkan pasukannya di Magelang untuk melakukan


kewajibannya melindungi dan mengurus evakuasi pasukan Sekutu yang ditawan
pasukan Jepang (RAPWI) dan Palang Merah (Red Cross) yang menjadi bagian dari
pasukan Inggris. Jumlah pasukan Sekutu dibatasi sesuai dengan tugasnya.
2. Jalan raya Ambarawa dan Magelang terbuka sebagai jalur lalu lintas Indonesia dan
Sekutu.
3. Sekutu tidak akan mengakui aktivitas NICA dan badan-badan yang ada di bawahnya.

Terjadinya Pertempuran Ambarawa

Pihak Sekutu temyata mengingkari janjinya. Pada tanggal 20 November 1945 dipertempuran
Ambarawa pecah pertempuran antara TKR di bawah pimpinan Mayor Sumarto dan pihak
Sekutu. Pada tanggal 21 November 1945, pasukan Sekutu yang berada di Magelang ditarik
ke Ambarawa di bawah lindungan pesawat tempur. Namun, tanggal 22 November 1945
pertempuran berkobar di dalam kota dan pasukan Sekutu melakukan terhadap perkampungan
di sekitar Ambarawa. Pasukan TKR di Ambarawa bersama dengan pasukan TKR dari
Boyolali, Salatiga, dan Kartasura bertahan di kuburan Belanda, sehingga membentuk garis
medan di sepanjang rel kereta api yang membelah kota Ambarawa.Sedangkan dari arah
Magelang pasukan TKR Divisi V/Purwokerto di bawah pimpinan Imam Androngi melakukan
serangan fajar pada tanggal 21 November 1945. Serangan itu bertujuan untuk memukul
mundur pasukan Sekutu yang bertahan di desa Pingit. Pasukan yang dipimpin oleh Imam
Androngi herhasil menduduki desa Pingit dan melakukan perebutan terhadap desa-desa
sekitarnya. Batalion Imam Androngi meneruskan gerakan pengejarannya. Kemudian Batalion
Imam Androngi diperkuat tiga hatalion dari Yogyakarta, yaitu Batalion 10 di bawah
pimpinan Mayor Soeharto, Batalion 8 di bawah pimpinan Mayor Sardjono, dan batalion
Sugeng. Akhirnya musuh terkepung, walaupun demikian, pasukan musuh mencoba untuk
menerobos kepungan itu. Caranya adalah dengan melakukan gerakan melambung dan
mengancam kedudukan pasukan TKR dengan menggunakan tank-tank dari arah belakang.
Untuk mencegah jatuhnya korban, pasukan TKR mundur ke Bedono. Dengan bantuan
Resimen Dua yang dipimpin oleh M. Sarbini, Batalion Polisi Istimewa yang dipimpin oleh
Onie Sastroatmojo, dan batalion dari Yogyakarta mengakibatkan gerakan musuh berhasil
ditahan di desa Jambu. Di desa Jambu, para komandan pasukan mengadakan rapat koordinasi
yang dipimpin oleh Kolonel Holland Iskandar.

Rapat itu menghasilkan pembentukan komando yang disebut Markas Pimpinan Pertempuran,
bertempat di Magelang. Sejak saat itu, Ambarawa dibagi atas empat sektor, yaitu sektor
utara, sektor timur, sektor selatan, dan sektor barat. Kekuatan pasukan tempur disiagakan
secara bergantian. Pada tanggal 26 November 1945, pimpinan pasukan dari Purwokerto
Letnan Kolonel Isdiman gugur maka sejak saat itu Kolonel Sudirman Panglima Divisi V di
Purwokerto mengambil alih pimpinan pasukan. Situasi pertempuran menguntungkan pasukan
TKR.

Strategi Pertempuran Ambarawa

Musuh terusir dari Banyubiru pada tanggal 5 Desember 1945. Setelah mempelajari situasi
pertempuran, pada tanggal 11 Desember 1945 Kolonel Sudirman mengambil prakarsa untuk
mengumpulkan setiap komandan sektor. Dalam kesimpulannya dinyatakan bahwa musuh
telah terjepit sehingga perlu dilaksanakan serangan yang terakhir. Rencana serangan disusun
sebagai berikut.

1. Serangan dilakukan serentak dan mendadak dari semua sector.


2. Setiap komandan sektor memimpin pelaksanaan serangan.
3. Pasukan badan perjuangan (laskar) menjadi tenaga cadangan.
4. Hari serangan adalah 12 Desember 1945, pukul 04.30.

Akhir dari Pertempuran Ambarawa terjadi pada tanggal 12 Desember 1945 dini hari, pasukan
TKR bergerak menuju sasarannya masing-masing. Dalam waktu setengah jam pasukan TKR
berhasil mengepung pasukan musuh yang ada di dalam kota. Pertahanan musuh yang terkuat
diperkirakan di Benteng Willem yang terletak di tengah-tengah kota Ambarawa. Kota
Ambarawa dikepung selama empat hari empat malam. Musuh yang merasa kedudukannya
terjepit berusaha keras untuk mundur dari medan pertempuran. Pada tanggal 15 Desember
1945, musuh meninggalkan kota Ambarawa dan mundur ke Semarang.
Pertempuran 5 Hari di Semarang
Pertempuran 5 Hari di Semarang adalah serangkaian pertempuran rakyat Indonesia dalam
mempertahankan status kemerdekaan NKRI. Pertempuran ini terjadi antara warga Semarang
melawan tentara Jepang yang meletus pada 15 Oktober 1945 dan berakhir pada 20 Oktober
1945. Karena lamanya pertempuran selama lima hari maka pertempuran ini diberi nama
"Pertempuran Lima Hari di Semarang"

Tokoh-tokoh yang terlibat langsung dalam Pertempuran 5 Hari di Semarang :

1. Mr. Wongsonegoro selaku Gubernur Jawa Tengah waktu itu (dia sempat ditahan
tentara Jepang)
2. Dr. Karyadi selaku Kepala Laboratorium Dinas Pusat Purusara
3. Dr. Sukaryo dan Sudanco Mirza Tokoh indonesia (ditangkap tentara Jepang bersama
dengan Mr. Wongsonegoro)
4. Mayor Kido pimpinan Kido Butai yang memiliki sebuah markas di Jalan Jatingaleh
5. drg. Sunarti. Sesosok wanita gigih (isteri Dr. Karyadi)
6. Jendral Nakamura, Sosok Jendral dari Jepang yang berhasil ditangkap oleh TKR di
Magelang.

Sejarah Pertempuran 5 Hari di Semarang


Berita Proklamasi yang telah dikumandangkan di Jakarta, akhirnya terdengar juga sampai
kora Semarang. Sebagaimana telah terjadi pelucutan senjata tentara Jepang di beberapa kota
di Indonesia. Pemuda Semarang pun mengikuti langkah yang sama dengan melakukan
pelucutan senjata tentara Jepang yang dipimpin Mayor Kido yang kala itu bermarkas di
Jatingaleh.

Padatanggal 13 Oktober 1945, suasana semakin mencekam dan tentara Jepang pun merasa
semakin terdesak. Pada tanggal 14 Oktober 1945 Mayor Kido melakukan tendakan yang
nekat, dengan menolak secara tegas penyerahan senjata.

Tindakan yang dilakukan Mayor Kido ini ternyata menyulut amarah Pemuda Semarang,
mereka pun langsung bergerak menjadikan aula rumah sakit Purusara sebagai markas
pejuang, ternyata pergerakan pemuda Semarang mendapat sambutan dari para pemuda yang
ada di rumah sakit tersebut.. Para pemuda saling bahu-membahu menghadapi tentara Jepang
dengan menggunakan taktik perang gerilya.

Pada tanggal 14 Oktober 1945 tepatnya jam 06.30 WIB, Para pemuda rumah sakit mendapat
intruksi guna mencegat semua kendaraan Tentara Jepang yang melewati area Rumah Sakit
Purusara. Pemuda berhasil menyita Mobil Sedan milik Kompetai dan melucuti senjata. Pada
sore harinya, tanpa mengenal lelah para pemuda pun aktif mencari tentara Jepang dan
menjeblokan mereka ke Penjara Bulu.Sekitar pukul 18.00 tentara Jepang melakukan serangan
balasan secara mendadak dan melucuti delapan anggota Polisi Istimewa yang waktu itu
menjaga sumber air minum warga semarang "reservoir Siranda".

Tentara Jepang pun menangkap kedelapan anggota Polisi Istimewa dan melakukan
penyiksaan dengan membawanya ke Markas Kido Butai di Jatingaleh. Pada waktu yang sama
tersiar kabar tentara jepang telah menebar racun di Sumber air "Reservoir Siranda".

Selepas Maghrib, Dr Kariadi mendapat telepon dari Pimpinan RS. Purusara yang
memerintahkan agar beliau memeriksa Reservoir Siranda. Karena sudah tersiar kabar sumber
air tersebut diracuni Tentara Jepang. Dr. Kariadi pun bergegas pergi menuju ke sumber air
minum warga Semarang tersebut, tanpai menghiraukan keselamatannya, karena pada waktu
yang sama tentara Jepang gencar melakukan serangan dibeberapa tempat di Semarang dan
salah satunya tempat menuju Reservoir yang akan di teliti Dr Kariadi.

Isteri Dr. Kariada yang bernama drg. Sunarti mencoba menahan beliau karena keadaan yang
sedang genting diluar. Akan tetapi Dr. Kariadi bertekat bulat guna memeriksa Reservoir
Siranda, karena menyangkut nyawa banyak orang. Mendengar alasan ini drg Sunarti tidak
bisa berbuat apa-apa.

Akhirna Dr. Kariadi berangkat menuju Reservoir Siranda guna memastikan berita bahwa
tentara Jepang telah merauni sumber air minum tersebut, belum sampai di lokasi, tepatnya di
jalan Pandanaran, mobil yang ditumpangi Dr. Kariadi dihadang tentara Jepang, dan bilau
ditembaki secara keci oleh Jepang, walau sempat dibawa ke rumah sakit, nyawa Dr. Kariadi
tidak tertolong, karena lukanya yang terlalu parang.

Kejadian kematian Dr. Kariadi yang dibunuh tentara jepang inilah yang menjadi penyulut
amarah Pemuda Semarang.

Pada tanggal 15 Oktober 2045 sekitar pukul 03.00 WIB, Mayor Kido memerintahkan 1.000
tentara Jepang untuk melakukan penyerangan ke Pusat Kota Semarang. Sementara itu berita
Gugurnya Dr. Kariadi yang beredar dengan cepat sehingga menyulut amarah seluruh warga
Semarang, hari berikutnya peperangan pun semakin meluas ke penjuru kota.

Pada tanggal 17 Oktober 1945, tentara Jepang mengumumkan Genjatan Senjata, namun
diam-diam mereka melakukan serangan ke berbagai kampung.

Pada tanggal 19 Oktober 1945, pertempuran sengit terus terjadi di seluruh penjuru kota
Semarang. Pertempuran ini sendiri berlangsung Hingga 5 hari yang memakan korban 2.000
jiwa warga Semarang dan 850 tentara Jepang.

Untuk memperingati Semangat Perjuangan Para Pemuda dan Pejuang kota Semaang maka
dibangunlah sebuah Monumen bernama "Tugu Muda". Monumen tugu ini dibangun pada
tanggal 10 November 1950 dan diresmikan oleh Presiden RI Ir. Sukarno pada tanggal 20 Mei
1953.
Sejarah Pertempuran Medan Area
merupakan sebuah peristiwa perlawanan rakyat Medan Sumatera Utara untuk melawan
pasukan Sekutu. Pertempuran diawali dengan mendaratnya pasukan serikat yang di
pemimpin Brigadir Jendral T.E.D Kelly pada tanggal 9 Oktober 1945. Rombongan ini
berjumlah 1 Brigade, merupakan brigade 4 dari Divisi India ke 26.

Ternyata bukan cuma rombongan ini saja yang datang, pasukan dari NICA ikut membonceng
mereka dengan tujuan merebut kembali pemerintahan Republik Indonesia. Sikap pemerintah
Indonesia yang ada di Sumut (sumatera utara) memperbolehkan para pasukan untuk
menginap di beberapa hotel di Medan, beberapa penginapan yang ditempati meliputi Hotel
Astoria, Grand Hotel dan Hotel de Boer. Diizinkannya pasukan tersebut terpaksa dilakukan
karena untuk menghormati mereka.

Sebagian tentara kemudian ditempatkan di Tanjung Morawa, Binjai dan di wilayah


sekitarnya dengan membuat tenda sebagai tempat menginap. Setelah satu hari mendarat, tim
dari RAPWI kemudian menuju camp-camp tempat tawanan di Rantau Prapat, Saentis,
Pematang Siantar, Pulu Berayan, dan Beras Tagi. Atas persetujuan Gubernur M. Hasan,
pasukan tersebut datang dengan tujuan membebaskan tawanan yang ada.

Setelah dibebaskan, para tawanan dikirim ke kota Medan. Ternyata dari kelompok yang
dibebaskan dibentuk pasukan KNIL atau Batalyon KNIL Medan. Pembentukan pasukan ini
membuat sikap bekas para tawanan berubah.

Medan Area

Latar Belakang Pertempuran Medan Area


Perubahan sikap para bekas tawanan tersebut terlihat merasa seperti "pemenang" pada sebuah
perang. Kondisi ini kemudian menimbulkan berbagai terjadinya insiden yang dilakukan oleh
pasukan tersebut di Medan. Insiden pertama muncul pada 13 Oktober tahun 1945, terjadi di
salah satu hotel tempat menginap yaitu di Jl. Bali kota Medan.

Awal dari insiden ini adalah seseorang penghuni hotel dirampas dan mereka menginjak
lencana merah-putih yang sedang digunakan oleh seseorang di hotel tersebut. Akibat
serangan ini, terdapat 96 orang luka-luka, kebanyakan dari KNIL.

Insiden tersebut kemudian menjalar ke beberapa kota lainnya seperti Berastagi dan Pematang
Siantar. Kemudian tepat pada tanggal 10-8-1945, pasukan TKR di Sumatera Timur terbentuk.
Pasukan ini dipimpin oleh Achmad Tahir. Setelah dibentuk, ia mengumpulkan para bekas
Heiho dan Giyugun untuk ke Sumatera Timur.

Respon dari para bekas tentara masa pendudukan Jepang sangat luar biasa. Selain pasukan
TKR, beberapa badan perjuangan juga terbentuk di Sumatera Timur. Badan perjuangan
tersebut terbentuk sejak 15 Oktober. Salah satu badan perjuangan yakni PRI Sumatera timur
atau Pemuda Republik Indonesia Sumatera Timur dan Setelah sebulan kemudian berubah
menjadi partai Pesindo. Dari terbentuknya partai politik itu, akhirnya terbentuklah laskar-
laskar partai.

Sejarah Pertempuran Medan Area


Strategi Inggris untuk melemahkan kekuatan Republik Indonesia di Medan ternyata sama
seperti di daerah/kota lain, yaitu mereka membuat ultimatum kepada seluruh rakyat Indonesia
untuk menyerahkan senjata yang dimiliki kepada pihak serikat. Hal yang sama juga
dilakukan oleh Brigadir TED Kely terhadap para pemuda yang ada di Medan tepat pada 18
Oktober 1945. Hal tersebut menimbulkan militer NICA merasa didukung oleh pihak Inggris.
Kemudian mereka melancarkan aksi teror yang kemudian menimbulkan permusuhan dengan
kalangan pemuda.

Patroli-patroli Inggris ke luar kota tidak pernah berlangsung secara aman. Keselamatan
mereka tidak dijamin oleh pemerintah RI. Inggris melakukan pendudukan dan menentukan
wilayah kekuasaan secara sepihak, hal ini dilakukan karena banyak pasukan Inggris yang
menjadi sasaran pemuda. Kemudian pada 1 Desember 1945 Inggris memasang papan dengan
tulisan " Fixed Bondaries Medan Area" di seluruh kota Medan, sehingga sejak itulah Medan
Area menjadi terkenal.

Tindakan pasukan NICA dan Inggris dengan melakukan pembersihan yang berkaitan dengan
Republik Indonesia di kota Medan merupakan tantangan pagi para pemuda setempat.
Langkah yang dilakukan para pemuda adalah membalas aksi-aksi tersebut. Pembalasan ini
menimbulkan daerah medan tidak aman. Usaha pasukan NICA maupun Inggris untuk
mengusir, dibalas dengan aksi pengepungan oleh pemuda, bahkan sampai terjadi tembak
menembak antara kedua belah pihak. Pasukan Serikat kemudian berusaha menghentikan
konsentrasi TKR di Medan, tepatnya pada tanggal 10-12-1945 tetapi akhirnya gagal.
Selanjutnya perwira Inggris diculik oleh pemuda, dan beberapa truk berhasil dihancurkan.

Akibat peristiwa perlawanan yang dilakukan pemuda, kemudian Jenderal TED Kely
mengancam agar semua senjata pemuda harus diserahkan kepada mereka. Siapa saja yang
melanggar ketentuan tersebut akan ditembak mati ditempat. Kota medan dan sekitarnya
merupakan daerah yang ditentukan pihak serikat untuk menyerahkan senjata yang beredar di
kalangan pemuda atau pun masyarakat. Ancaman yang dikeluarkan tidak meredamkan
perlawanan pemuda, bahkan perlawanan terus memuncak. Tentara Inggris terus berusaha
medesak pemerintah Republik Indonesia untuk keluar dari kota Medan. Akhirnya kontor
Gubernur, Walikota dan Markas Divisi TKR berhasil didesak keluar dari kota Medan,
kemudian dipindahkan ke Pematang Siantar. Hal ini membuat Inggris berhasil menguasai
seluruh kota Medan. Tanpa adanya suatu komando, mustahil dapat melakukan serangan yang
efektif terhadap kedudukan-kedudukan pasukan Inggris.

Dampak Pertempuran Medan Area


Kemudian diadakan pertemuan antara komandan perang pasukan yang berjuang pada
pertempuran Medan Area. Pertemuan ini berlangsung pada tanggal 10-8-1945, tepatnya di
daerah Tebingtinggi. Pertemuan tersebut memutuskan dibentuknya suatu komando dengan
nama "Resimen Laskar Rakyat Medan Area" dibagi atas empat sektor dan setiap sektor
dibagi atas empat sub sektor. Setiap sektor berkekuatan 1 bataliyon. Markas komando
berkedudukan daerah Trepes. Komando yang dibentuk ini bertujuan untuk meneruskan
perjuangan yang telah dilakukan di pertempuran Medan Area yang semakin sulit untuk
menumpas serta menguasai kota Medan kembali.

Dampak dari pertempuran Medan area dapat dilihat dari dua sisi yakni positif dan negatif.
Dampak positif dari pertempuran ini meliputi meningkatkan rasa nasionalisme para pemuda
terutama para pemuda di kota medan, pertempuran ini juga menginspirasi perjuangan daerah-
daerah lain. Sementara itu, dampak negatif meliputi banyak korban berjatuhan dalam perang
ini, selanjutnya hancur dan porak poranda kota medan yang dijadikan sebagai tempat
pertempuran.
Pertempuran Surabaya

Pertempuran Surabaya adalah salah satu pertempuran terbesar yang terjadi pasca
kemerdekaan Republik Indonesia. Pertempuran antara pasukan Indonesia melawan pasukan
sekutu, tidak lepas kaitannya dengan peristiwa yang mendahuluinya, yaitu perebutan
kekuasaan dan senjata tentara Jepang. Perebutan senjata telah dimulai sejak tanggal 2
September 1945. Pada akhirnya perebutan senjata ini membangkitkan suatu pergolakan, yang
berubah menjadi situasi revolusi yang menegangkan.

Kedatangan Sekutu di Surabaya


Pasca proklamasi kemerdekaan, para pemuda Surabaya berhasil memperoleh senjata dari
tentara Jepang. Selain itu, gerakan pemuda juga diorganisir sedemikian rupa, sehingga
mereka siap menghadapi berbagai ancaman yang datang dari mana pun.
Pada tanggal 25 Oktober 1945, Brigade 49 dari Divisi 23 Sekutu yang berkekuatan sekitar
5.000 tentara mendarat di Surabaya di bawah pimpinan Brigadir Aulbertin Walter Sothern
Mallaby. Setibanya di Surabaya, mereka segera masuk ke dalam kota dan mendirikan pos
pertahanan di delapan tempat.

Awalnya, mereka ingin segera melucuti semua persenjataan yang telah dikuasai rakyat,
namun karena memperoleh tetangan keras dari pemimpin Indonesia di Surabaya, akhirnya
mereka mengalah.

Tanggal 26 Oktober 1945, dicapai kesepakatan antara pimpinan Indonesia dengan Brigadir
Mallaby, yang isinya antara lain:

1. Yang dilucuiti senjata-senjatanya hanya Tentara Jepang.


2. Tentara Inggris selaku wakil sekutu akan membantu Indonesia dalam pemeliharaan
keamanan dan perdamaian.
3. Setelah semua senjata Tentara Jepang dilucuti, mereka akan diangkut melalui laut.
Meskipun kesepakatan baru saja tercapai, Sekutu justru mengingkarinya. Pada malam hari
tanggal 26 Oktober 1945, Sekutu menyerang penjara Kalisolok. Tentara Sekutu
membebaskan Kolonel Huiyer, seorang perwira Belanda beserta beberapa tentara Belanda
yang ditawan pasukan Indonesia.

Pada tanggal 27 Oktober pukul 11.00 pagi, sebuah pesawat Dakota melintas dari Jakarta, atas
perintah Mayjen Hawthorn pesawat itu menyebarkan pamflet yan isinya adalah perintah
penyerahan senjata yang dimiliki rakyat Indonesia kepada Tentara Sekutu.

Dalam waktu 2×24 jam seluruh senjata harus sudah diserahkan, dan bagi yang masih
membawa senjata melewati batas waktu itu akan ditembak di tempat. Hal ini jelas
bertentangan dengan kesepakatan sehari sebelumnya, yang telah disetujui Mallaby.

Dikabarkan Mallaby sempat terkejut dengan adanya pamflet tersebut, tetapi ia tetap
mematuhi perintah pimpinannya di Jakarta, dan segera memerintahkan pasukannya untuk
melucuti senjata rakyat Surabaya. Rakyat Surabaya menilai pihak Inggris telah melanggar
perjanjian. Akhirnya, pimpinan militer di Surabaya memberikan perintah untuk menyerbu
seluruh pos pertahanan Inggris.
Pada saat yang hampir bersamaan para pemimpin Nahdlatul Ulama dan Masyumi
menyatakan bahwa perang mempertahankan kemerdekaan Indonesia adalah Perang Sabil,
maka suatu kewajiban yang melekat pada semua muslim. Para Kyai dan santri kemudian
mulai bergerak dari pesantren-pesantren di Jawa Timur menuju ke Surabaya.

Rakyat Surabaya Menyerbu Sekutu


Serangan total dilakukan tanggal 28 Oktober 1945, pukul 04.30 pagi. Delapan pos pertahanan
Sekutu diserbu sekitar 30.000 rakyat bersenjata api, dan ditambah sekitar 100.000 rakyat
bersenjata tajam. Setelah digempur secara total, tentara Sekutu yang tidak siap bertempur,
mengibarkan bendera putih dan memohon untuk berunding.

Tercatat korban pertempuran yang berlangsung tanggal 28-29 Oktober, Inggris mencatat 18
perwira dan 374 serdadu tewas, luka-luka, dan hilang. Sementara di pihak Indonesia, sekitar
6000 orang tewas, luka-luka, dan hilang. Kapten R. C Smith menulis, Mallaby saat itu
menyadari apabila petempuran dilanjutkan mereka akan disapu bersih.

Dalam posisi yang terdesak Inggris menghubungi pimpinan Indonesia di Jakarta. Mereka
sadar, tidak ada jalan lain selain meminta bantuan pimpinan Indonesia di Jakarta, untuk
menyelamatkan nyawa ribuan tentara Inggris yang sudah terkepung.

Sore hari tanggal 29 Oktober, Presiden Soekarno, Wakil Presiden Moh. Hatta, dan Menteri
Penerangan Amir Syarifuddin tiba di Surabaya dengan menumpang pesawat militer Inggris.
Hari itu juga Presiden bertemu dengan Mallaby di gubernuran. Malam itu dicapai
kesepakatan yang tertuang dalam Armistic Agreement regarding the Surabaya-incident: a
provisional agreement between President Soekarno of the Republic Indonesia and Brigadie
Mallaby, Concluded on the 29 October 1945.
Mengenai hal lain dirundingkan dengan Mayjen Hawthorn, yang datang ke Surabaya pada
tanggal 30 Oktober. Berikut beberapa hasil kesepakatan yang diperoleh pada tanggal 30
Oktober, antara pemimpin Indonesia dan pemimpin pasukan Sekutu di Indonesia:

1. Pamflet yang ditanda tangani Mayjen Hawthorn dinyatakan tidak berlaku.


2. Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dan polisi diakui oleh sekutu.
3. Seluruh kota Surabaya tidak dijaga lagi oleh Sekutu, kecuali kamp-kamp tawanan
dijaga tentara Sekutu bersama TKR.
4. Untuk sementara waktu Tanjung Perak dijaga bersama TKR, polisi, dan tentara
Sekutu untuk menyelesaikan tugas menerima obat-obatan untuk tawanan perang.
Hasil perundingan untuk menyelamatkan pasukan Mallaby dari kekalahan total dipertegas
oleh menteri penerangan sebagai berikut:

1. Pembentukan suatu Kontak Biro yang terdiri dari unsur pemerintah RI di Surabaya
bersama-sama tentara Inggris.
2. Daerah pelabuhan dijaga bersama, yang ditentukan kedudukan masing-masing oleh
Kontak Biro.
3. Daerah Darmo, daerah kamp interniran orang-orang Eropa dijaga oleh sekutu.
Hubungan antara daerah Darmo dan pelabuhan Tanjung Perak diamankan, untuk
mempercepat proses pemindahan tawanan.
4. Tawanan dari kedua belah pihak harus dikembalikan kepada masing-masing pihak.
Pada perundingan itu juga disepakati nama-nama anggota Kontak Biro dari kedua belah
pihak. Dari Inggris ada 5 orang (Brigjen Mallaby, Kolonel L. H.O Pugh, Wing Commander
Groom, Mayor M. Hudson, dan Kapten H. Shaw). Dari pihak Indonesia 9 perwakilan
(Residen Sudirman, Doel Arnowo, Atmaji, Mohammad, Soengkono, Soeyono, Koesnandar,
Roeslan Abdulgani, dan T. D Kundan selaku juru bahasa). Pasca tercapainya kesepakatan
Presiden Soekarno beserta rombongan kembali ke Jakarta pada pukul 13.00.

Tewasnya Mallaby
Pasca Presiden dan rombongan kembali ke Jakarta, di beberapa tempat masih terjadi
pertempuran, sekali pun sudah diumumkan genjatan senjata. Untuk menghentikan
pertempuran, para anggota Kontak Biro dari kedua belah pihak mulai mendatangi lokasi-
lokasi yang masih terjadi pertempuran.

Pada pukul 17.00, tanggal 30 Oktober, seluruh anggota Kontak Biro pergi bersama-sama
menuju satu lokasi pertempuran. Tempat terakhir ini adalah Gedung Bank Internatio di
Jembatan Merah. Gedung ini masih diduduki pasukan Inggris, dan pemuda-pemuda masih
mengepungnya.

Setibanya di lokasi pertempuran, pemuda-pemuda menuntut supaya pasukan Mallaby


menyerah. Mallaby tidak bisa menerima tuntutan itu. Setelah penolakan tersebut, terjadi
insiden baku tembak yang mengakibatkan tewasnya Mallaby, Komadan Brigade 49 di
Surabaya. Inggris menyalahkan pihak Indonesia yang telah melanggar gencatan senjata dan
membunuh Mallaby.

Mobil Mallaby terbakar terkena ledakan granat


Dari berbagai kesaksian mantan perwira Inggris di tempat kejadian, ternyata yang memulai
tembakan adalah pihak Inggris, sesuai kesaksian Mayor Gopal tahun 1974. Penyebab
tewasnya Mallaby sendiri masih menjadi misteri. Ada yang mengatakan tertusuk bayonet dan
bambu runcing pemuda, namun berdasarkan surat dari Kapten Smith kepada Parrot tahun
1973-1974, kemungkinan besar Mallaby terbunuh karena ledakan granat yang dilempar
pengawalnya sendiri.

Reaksi Sekutu Pasca Terbunuhnya Mallaby

Pasca tewasnya Mallaby, baik Letnan Jenderal Christison, panglima AFNEI atau pun Mayor
Jenderal Mansergh menyatakan, pihak Indonesia telah melanggar genjatan senjata dan secara
licik membunuh Brigjend Mallaby. Dengan tuduhan tersebut, Inggris memperoleh alasan
untuk memenuhi perjanjiannya dengan Belanda, yaitu membersihkan kekuatan bersenjata
Indonesia.

Pihak Inggris menuntut pertanggung jawaban pihak Indonesia. Pada tanggal 31 Oktober
1945, Letnan Jenderal Christison, memperingatkan kepada rakyat Surabaya untuk menyerah,
apabila tidak mereka akan dihancurkan. Rakyat Surabaya tidak mau memenuhi tuntutan
tersebut, Kontak Biro Indonesia mengumumkan bahwa kematian Mallaby merupakan suatu
kecelakaan.

Setelah mendapat penolakan, Divisi 5 Inggris yang berkekuatan 24.000 tentara di bawah
komando Mayjend R. C. Mansergh mendarat secara diam-diam di Surabaya. Selain diperkuat
oleh sisa Brigade 49, masih ditambah 1500 marinir, di bawah komando Rear Admiral Sir W.
R. Patterson yang memimpin beberapa kapal perang. Letjen Sir Philip Christison, melengkapi
pasukan Inggris dengan pesawat tempur Thunderbolt, Mosquito, dan tank kelas Sherman,
yang merupakan persenjataan tercanggih saat itu.

Kemudian, pada tanggal 7 November, Mansergh menulis surat kepada gubernur Soeryo, yang
isinya menuduh gubernur tidak mampu menguasai keadaan, akibatnya seluruh kota dikuasai
oleh perampok. Mereka dianggap menghalangi tugas sekutu, untuk itu Sekutu mengancam
akan menduduki kota Surabaya. Serta memanggil Gubernur Soeryo untuk menghadap.

Dalam surat jawabannya tanggal 9 November, Gubernur membantah semua tuduhan


Mansergh. Gubernur Soeryo mengutus Residen Sudirman dan Roeslan Abdulgani untuk
menyampaikan surat balasan tersebut.

Di hari yang sama pukul 14.00, Mansergh menyampaikan ultimatum di Surabaya. Butir
kedua dalam ultimatum itu diformulasikan sedimikian rupa sehingga mustahil untuk dipenuhi
pemimpin sipil dan militer Indonesia. Berikut isi dari ultimatum dari Mansergh:

Seluruh pimpinan Indonesia, termasuk pimpinan gerakan pemuda, kepala polisi,


dan kepala radio Surabaya harus melapor ke Bataviaweg tanggal 9 November pukul 18.00.
Mereka harus berbaris satu persatu membawa segala jenis senjata yang mereka miliki.
Senjata tersebut harus diletakkan di tempat yang berjarak 100 yard dari tempat pertemuan,
setelah itu orang-orang Indonesia harus datang dengan tangan di atas kepala mereka, dan
akan ditahan, dan harus siap untuk menandatangani pernyataan menyerah tanpa syarat.

Bagi pemuda-pemuda bersenjata diharuskan menyerahkan senjatanya dengan berbaris dan


membawa bendera putih. Batas waktu yang ditentukan adalah pukul 06.00 pagi tanggal 10
November 1945. Apabila tidak diindahkan Inggris akan mengerahkan seluruh kekuatan darat,
laut, dan udara untuk menghancurkan Surabaya.

Persiapan Menghadapi Sekutu dan Penolakan Ultimatum

Mendapatkan ultimatum sedemikian rupa, para pemuda yang sudah siap siaga membuat
pertahanan di dalam kota. Komandan Pertahanan Kota, Soengkono, pada tanggal 9
November pukul 17.00 mengundang semua unsur kekuatan rakyat, yang terdiri dari
komandan TKR, PRI, BPRI, Tentara Pelajar, Polisi Istimewa, BBI, PTKR, TKR Laut untuk
berkumpul di Markas Pregolan 4.

Tentara Keamanan Rakyat di Surabaya


Soengkono mempersilahkan siapa pun yang ingin meninggalkan kota. Namun, mereka
bertekad untuk mempertahankan kota Surabaya. Mereka membubuhkan tanda tangan pada
secarik kertas sebagai tanda setuju, dan diteruskan dengan ikrar bersama.

Dengan adanya ultimatum ini, pemimpin Surabaya mengadakan pertemuan. Mereka


melaporkan kepada presiden, namun hanya diterima oleh Menteri Luar Negeri Ahmad
Subardjo. Menteri luar negeri menyerahkan keputusan kepada rakyat Surabaya. Secara resmi
pada pukul 22.00, Gubernur Soeryo melalui radio, menyatakan menolak ultimatum Inggris.

Sebelum waktu ultimatum habis, kota Surabaya telah dibagi menjadi 3 sektor pertahanan.
Garis pertahanan ditentukan dari JalanJakarta, tetapi penempatan pasukan agak mundur ke
Krembangan, Kapasan, dan Kedungcowek. Garis kedua di sekitar Viaduct. Garis ketiga di
daerah Darmo.

Bung Tomo mengobarkan semangat pejuang Indonesia


Pembagian tiga sektor meliputi sektor barat, sektor tengah, dan timur. Sektor barat dipimpin
oleh Koenkiyat. Sektor tengah dipimpin oleh Kretarto, dan Marhado, sedangkan sektor timur
dipimpin oleh Kadim Prawirodihardjo. Sementara itu, radio perlawanan yang dipimpin oleh
Bung Tomo membakar semangat juang rakyat. Siaran ini dipancarkan dari Jln. Mawar No. 4.

Klimaks Pertempuran Surabaya: Pertempuran 10 November


Tanggal 10 November 1945 pukul 06.00, setelah habisnya waktu ultimatum, Inggris mulai
menggempur Surabaya dengan seluruh armada darat, laut, dan udara. Pemboman secara
brutal di hari pertama telah menimbulkan korban yang sangat besar. Di pasar Turi, ratusan
orang tewas dan luka-luka. Inggris juga berhasil menguasai garis pertama pertahanan rakyat
Surabaya.

Tank Inggris menggempur Surabaya


Rakyat Surabaya tidak tinggal diam, mereka melakukan perlawanan atas serangan tersebut.
Pertempuran yang tidak seimbang selama tiga minggu telah mengakibatkan sekitar 20.000
rakyat Surabaya menjadi korban, sebagian besar adalah warga sipil. Selain itu, diperkirakan
150.000 orang terpaksa meninggalkan kota Surabaya, yang hampir hancur total terkena
serangan Sekutu. Sementara di pihak Inggris tercatat 1.500 tentara Inggris tewas, hilang, dan
luka-luka.

Pertempuran terakhir terjadi di Gunungsari, pada tanggal 28 November 1945, namun


perlawanan secara sporadis masih dilakukan setelah itu. Sebagai penghormatan atas jasa para
pahlawan yang dengan berperang dengan gigih melawan Sekutu di Surabaya, tanggal 10
November 1946 Soekarno menetapkan tanggal 10 November sebagai Hari Pahlawan.

Tindakan Inggris untuk menghukum pasukan Indonesia di Surabaya, dianggap Mansergh


sebagai hukuman yang pantas atas pelanggaran terhadap peradaban. Akan tetapi, tindakan
yang dilakukan oleh Inggris pada tanggal 10 November, justru mencerminkan tindakan
pelanggaran terhadap peradaban dan kemanusiaan secara nyata. Kematian Mallaby seakan
hanya dijadikan Casus Belli, untuk menghancurkan kekuatan militer Indonesia di Surabaya.
Selain itu, pertempuran Surabaya, dimanfaatkan untuk memenuhi perjanjian bilateral mereka
dengan Belanda serta menjalankan keputusan Konferensi Yalta yakni pengembalian situasi
pada Status Quo, seperti sebelum invasi Jepang.
Pertempuran Surabaya berakhir dengan kekalahan pihak Indonesia. Akan tetapi, perang
tersebut membuktikan bahwa rakyat Indonesia rela berkorban demi mempertahankan
kemerdekaan mereka, meskipun harus dibayar dengan nyawa.
Agresi Militer Belanda I

A. Pengertian Agresi Militer I


"Operatie Product (bahasa Indonesia: Operasi Produk) atau yang dikenal di Indonesia dengan
nama Agresi Militer Belanda I adalah operasi militer Belanda di Jawa dan Sumatera terhadap
Republik Indonesia yang dilaksanakan dari 21 Juli 1947 sampai 5 Agustus 1947. Operasi
militer ini merupakan bagian Aksi Polisionil yang diberlakukan Belanda dalam rangka
mempertahankan penafsiran Belanda atas Perundingan Linggarjati. Dari sudut pandang
Republik Indonesia, operasi ini dianggap merupakan pelanggaran dari hasil Perundingan
Linggajati.

B. Latar Belakang Agresi Militer I atau Penyebab Terjadinya Agresi Militer Belanda I
Agresi militer Belanda I diawali oleh perselisihan Indonesia dan Belanda akibat perbedaan
penafsiran terhadap ketentuan hasil Perundingan Linggarjati. Pihak Belanda cenderung
menempatkan Indonesia sebagai negara persekmakmuran dengan Belanda sebagai negara
induk. Sebaliknya, pihak Indonesia tetap teguh mempertahankan kedaulatannya, lepas dari
Belanda.

C. Tujuan Belanda Mengadakan Agresi Militer I


Adapun tujuan Belanda mengadakan agresi militer I yaitu sebagai berikut:
1. Tujuan politik Mengepung ibu kota Republik Indonesia dan menghapus kedaulatan
Republik Indonesia.
2. Tujuan ekonomi. Merebut pusat-pusat penghasil makanan dan bahan ekspor.
3. Tujuan militer Menghancurkan Tentara Nasional Indonesia (TNI).

D. Sejarah Agresi Militer I


Agresi Militer Belanda I direncanakan oleh H.J. van Mook. Van Mook berencana mendirikan
negara boneka dan ingin mengenbalikan kekuasaan Belanda atas wilayah Indonesia. Untuk
mencapai tujuan iitu, pihak Belanda tidak mengakui Perundingan Linggarjati, bahkan
merobek-robek kertas persetujuan itu. Selanjutnya pada tanggal 21 Juli 1947, Belanda
melancarkan aksi militer yang pertama dengan menyerang daerah-daerah Republik Indonesia
di Pulau Jawa dan Sumatra.
Pasukan TNI belum siap menghadang serangan yang datangna secara tiba-tiba itu. Serangan
tersebut mengakibatkan pasukan TNI terpencar-pencar. Dalam keadaan seperti itu, pasukan
TNI berusaha untuk membangun daerah pertahanan baru. Pasukan TNI kemudian
melancarkan taktik perang gerilya, ruang gerak untuk menghadapi pasukan Belanda. Dengan
taktik perang gerilya, ruang gerak pasukan Belanda berhasil dibatasi. Gerakan pasukan
Belanda hanya berada di kota besar dan jalan raya, sedangkan di luar kota, kekuasaan berada
di tangan pasukan TNI.

Agresi Militer Belanda I ternyata menimbulkan reaksi yang hebat dari dunia Internasional.
Pada tanggal 30 Juli 1947. Permintaan resmi agar masalah Indonesia segera dimasukkan
dalam daftar acara Dewan Keamanan PBB. Pada tanggal 1 Agustus 1947, Dewan Keamanan
PBB memerintah penghentian permusuhan antara kedua belah pihak. Gencatan senjata mulai
berlaku tanggal 4 Agustus 1947. Guna mengawasi pelaksanaan gencatan senjata, dibentuk
Komisi Konsuler yang anggotanya terdiri atas konsul jenderal yang ada di Indonesia. Komisi
Konsuler yang dikuasi oleh Konsuler Jenderal Amerika Serikat Dr. Walter Foote dengan
anggotanya Konsul Jenderal Cina, Prancis, Australia, Belgia dan Inggris.
Komisi Konsuler itu diperkuat dengan militer Amerika Serikat dan Prancis, yaitu sebagai
peninjau militer. Dalam laporannya kepada Dewan Keamanan PBB, Komisi Konsuler
menyatakan bahwa antara tanggal 30 Juli 1947 - 4 Agustus 1947 pasukan Belanda masih
mengadakan gerakan militer. Pemerintah Indonesia menolak garis demarkasi yang dituntut
oleh pemerintah Belanda berdasarkan kemajuan pasukannya setelah perintah gencatan
senjata. Namun penghentian tembak-menembak telah dimusyawarahkan, meski belum
menemukan tindakan yang dapat mengurangi jatuhnya korban jiwa.
Agresi Militer Belanda 2

dimulai ketika pihak Belanda yang tetap bersikukuh menguasai Indonesia mencari dalih
untuk dapat melanggar perjanjian yang telah disepakati. Bahkan pihak Belanda menuduh jika
pihak Indonesia tidak menjalankan isi perundinganRenville. Oleh karena itu pihak TNI dan
pemerintah Indonesia sudah memperhitungkan bahwa sewaktu-waktu Belanda akan
melakukan aksi militernva untuk menghancurkan republik dengan kekuatan senjata. Untuk
menghadapi kekuatan Belanda itu, didirikan Markas Besar Komando Djawa (NIBKD) vang
dipimpin oleh Kolonel Abdul Haris Nasution dan Markas Resar Ko.mando Sumatra (MBKS)
yang dipimpin oleh Kolonel Hidayat.

Persiapan untuk menyelenggarakan pemerintahan rniliter juga dilakukan. Dalam


pemerintahan militer, kecamatan merupakan basis utama pertahanan dengan kekuatan utama
tenaga rakyat yang ada di desa-desa. Pasukan TNI dan pejabat-pejabat pemerintah
mempunyai tugas-tugas sebagai koordinator perlawanan di desa-desa. Tempat untuk
mengungsikan kepala negara dan tokoh-tokoh pemerintah telah disiapkan. Pada hakikatnya
Republik Indonesia telah siap menghadapi Agresi Militer Belanda 2. Seperti yang telah
diduga Belanda benar-benar melakukan serangannya.

Serangan Agresi Militer Belanda 2

Serangan dibuka tanggal 19 Desember 1948. Dengan taktik perang kilat (blitkrieg), Belanda
melancarkan serangan di semua front di daerah Republik Indonesia. Serangan diawali dengan
penerjunan pasukan payung di Pangkalan Udara Maguwo (sekarang Adi Sucipto) dan dengan
gerak cepat berhasil menduduki kota Yogyakarta. Presiden Soekarno dan Wakil Presiden
Moh. Hatta memutuskan untuk tetap tinggal di ibukota, walaupun mereka tahu bahwa dengan
demikian mereka akan ditawan oleh musuh. Alasannya, agar mereka dapat melakukan
kegiatan diplomasi dengan pihak Belanda.

Di samping itu, Belanda tidak mungkin menjalankan serangan secara terus-menerus karena
presiden Panglima Tertinggi Angkatan Perang Indonesia dan wakil presiden menteri
pertahanan sudah berada di tangan mereka. Sementara itu, beberapa bulan sebelum Belanda
melakukan serangan terhadap kota Yogyakarta, Jenderal Sudirman (Panglima Besar
Angkatan Perang) menderita sakit paru-paru yang sangat parah sehingga harus dirawat di
rumah sakit dan kemudian dirawat di rumah. Ia berpesan jika Belanda menyerang kembali,
maka ia akan memegang kembali pimpinan Angkatan Perang dan memimpin prajurit-
prajuritnya melakukan perlawanan gerilya.

Peranan Jenderal Sudirman dalam Agresi Militer Belanda 2

Janji itu ditepati, pada saat Belanda menyerang Yogyakarta ia bangkit dari tempat tidurnya
dan mengajak presiden untuk memimpin gerilya, tetapi ajakan tersebut ditolak. Dengan
diiringi ajudan dan pasukan pengawalnya, Jenderal Sudirman naik gunung-turun gunung,
serta keluar-masuk hutan menembus teriknya matahari dan derasnya hujan untuk memimpin
perlawanan rakyat semesta. Bahkan beliau dan para pengawalnya sempat menetap selama 99
hari sejak tanggal 31 Maret 1949 hingga 7 Juli 1949 di desa Pakis, Sobo, Kecamatan
Nawangan, Pacitan, Jawa Timur.
Dari rumah markas gerilya itulah Panglima Besar Jenderal Sudirman memimpin perang
gerilya, termasuk memberi perintah serangan umum. Pada masa yang paling gelap bagi
Republik Indonesia, Jenderal Sudirman memberikan pegangan dan kekuatan batin kepada
rakyat dan prajurit yang berjuang untuk kelangsungan hidup negaranya. Sementara itu
MBKD dan MBKS kembali diaktifkan di bawah komando panglimanya masing-masing.
Pemerintah militer tetap melakukan kegiatarmya. Dengan demilcian, Republik Indonesia
masih berdiri tegak.

Belanda mengira dengan jatuhnya kota Yogyakarta, kekuatan TNI akan hancur berantakan.
Dengan demikian, berarti kampanye militer mereka telah selesai, tinggal melaksanakan
operasi pembersihan yang memerlukan waktu satu dua bulan. Ternyata dugaan Belanda itu
keliru sama sekali. Pada pukulan pertama ternyata pasukan TNI tidak hancur. Pasukan
Belanda dibiarkan bergerak maju untuk menguasai daerah perkotaan. Sedangkan pasukan
mundur ke daerah pedalaman untuk merencanakan pelaksanaan Wingate Operation dan
menyusun daerah perlawanan (wehrkreis).

Titik Balik Agresi Militer Belanda 2

Dalam waktu satu bulan, pasukan TNI telah berhasil melakukan konsolidasi dan mulai
memberikan pukulan secara teratur kepada musuh. Seluruh Jawa dan Sumatra menjadi satu
daerah gerilya yang menyeluruh. Tekanan terhadap pasukan Belanda ditingkatkan.
Penghadangan terhadap konvoi perbekalan tentara Belanda berhasil dilakukan. Serangan
umum yang dilaksanakan terhadap kota-kota yang diduduki Belanda mulai dilaksanakan oleh
pasukan TNI. Serangan yang paling terkenal adalah Serangan Umum 1 Maret 1949 terhadap
kota Yogyakarta di bawah pimpinan Komandan Brigade X Letnan Kolonel Soeharto.

Pasukan I N I berhasil menduduki kota Yogyakarta selama 6 jam. Sementara itu, Sri Sultan
Hamengku Buwono IX menolak kerja sama dari Belanda. Sultan mendukung segala tindakan
para pemimpin gerilya. Di samping itu, perjuangan dalam rangka menegakkan kedaulatan
Republik Indonesia juga dilakukan di luar negeri. Dengan modal sumbangan pesawat rakyat
Aceh, W. Supomo membentuk armada udara komersial vang berpangkalan di Myanmar
(Burma). Hasil penerbangan komersial itu dijadikan modal untuk membiayai pemakilan
Republik Indonesia di luar negeri. Selain itu, dibuka komunikasi radio antara Wonosari,
Bukittinggi, Rangoon (sekarang Yangoon), dan New Delhi.
Agresi Militer Belanda 2 ternyata menarik perhatian PBB, karena Belanda secara terang-
terangan tidak mengakui lagi Perjanjian Renville di depan Komisi Tiga Negara yang
ditugaskan oleh PBB. Pada tanggal 24 Januari 1949 Dewan keamanan PBB mengeluarkan
resolusi agar Republik Indonesia dan Belanda segera menghentikan permusuhan. Kegagalan
Belanda di medan tempur dan tekanan Amerika Serikat yang mengancam akan memutuskan
bantuan ekonomi dan keuangan memaksa Belanda untuk kembali ke meja perundingan.

Anda mungkin juga menyukai