Anda di halaman 1dari 12

PEMBAHASAN

A. Latar Belakang Pertempuran Ambarawa


Perjuangan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang dipimpin Jenderal Soedirman
pada pertengahan Desember 1945, membuat tentara sekutu terjepit dan akhirnya
mundur dari Ambarawa menuju Semarang. Walaupun dihadang dengan seluruh
kekuatan persenjataan modern serta kemampuan taktik dan strategi sekutu, para
pejuang RI tak pernah gentar sedikitpun. Mereka melancarkan serangan dengan
gigih seraya melakukan pengepungan ketat di semua penjuru kota Ambarawa.
Dengan gerakan pengepungan rangkap ini sekutu benar-benar terkurung dan
kewalahan.
Jenderal Soedirman sebagai pemimpin pasukan menegaskan perlunya mengusir
tentara sekutu dan Ambarawa secepat mungkin. Sebab sekutu akan menjadikan
Ambarawa sebagai basis kekuatan untuk merebut Jawa Tengah. Dengan
semboyan “Rawe-rawe rantas malang-malang putung, patah tumbuh hilang
berganti”, pasukan TKR memiliki tekad bulat membebaskan Ambarawa atau
dengan pilihan lain gugur di pangkuan ibu pertiwi.
Menyerahnya Jepang kepada Sekutu pada tanggal 15 Agustus 1945, menyebabkan
vacuum of Power (kekosongan kekuasaan) di Hindia Belanda (Indonesia).
Kekosongan kekuasaan tersebut tidak disia-siakan oleh bangsa Indonesia untuk
segera memproklamasikan kemerdekaan Bangsa Indonesia pada tanggal 17
Agustus 1945 oleh Ir. Soekarno dan Drs. Moh Hatta. Hal ini berarti, bangsa lain
tidak lagi mempunyai hak untuk melakukan penjajahan di atas bumi Indonesia.
Proklamasi berarti pengumuman yang dilakukan oleh suatu bangsa yang
menyatakan bahwa bangsa tersebut telah merdeka dan lepas dari penjajahan.
Meskipun demikian, terdapat pihak-pihak yang berusaha untuk mengembalikan
Indonesia sebagai jajahan Belanda. Hal ini dikarenakan pemerintah Belanda
merasa masih mempunyai historiesch recht (hak sejarah) untuk meneruskan
pemerintahan kolonialnya. Hal ini didasarkan dari perjanjian yang dilakukan
Inggris dengan Belanda yang disebut Civil Affairs Aggreement pada tanggal 24
Agustus 1945 yang mengatur pemindahan kekuasaan di Indonesia dari British
Military Administration kepada NICA (Netherlands Indies Civil Administration).
Oleh sebab itu, Belanda dengan organisasi pemerintahannya, NICA membonceng
tentara sekutu kembali ke Indonesia.
Maksud kedatangan Sekutu adalah pertama, menerima penyerahan kekuasaan dari
tangan Jepang. kedua, membebaskan para tawanan perang dan inteniran Sekutu.
Ketiga, melucuti dan mengumpulkan orang Jepang untuk kemudian dipulangkan.
Keempat, menegakkan dan mempertahankan keadaan damai untuk kemudian
diserahkan kepada pemerintah sipil. Kelima, menghimpun keterangan tentang dan
menuntut penjahat perang. Oleh sebab itu, RI menerima kedatangan Sekutu
dengan sambutan yang baik.
Pendaratan tentara Sekutu pada tanggal 20 Oktober 1945 di Semarang,
berbarengan dengan usaha perebutan kekuasaan dan senjata rakyat Indonesia
terhadap Jepang. Usaha melucuti tentara Jepang oleh para pejuang Indonesia ini
memang merupakan tindakan yang harus dilakukan sesegera mungkin. Sebab,
usaha tersebut sudah diperhitungkan akan adanya suatu kemungkinan bahaya
yang ditimbulkan sehubungan dengan mendaratnya Sekutu di Indonesia.
Bagaimanapun, pasti Sekutu tidak akan rela melepaskan bangsa Indonesia
menjadi bangsa yang merdeka begitu saja. Dengan demikian, tujuan kedatangan
Sekutu yang bermaksud untuk melucuti tentara Jepang telah dilakukan oleh para
pejuang Indonesia, sehingga menimbulkan kekecewaan dari pihak Sekutu.
Selanjutnya, ketika pasukan Sekutu dan NICA telah sampai di Ambarawa dan
Magelang untuk membebaskan para tawanan tentara Belanda, para tawanan
tersebut justru dipersenjatai. Ketegangan dimulai ketika tawanan-tawanan
Belanda yang dibebaskan bertingkah congkak dan sombong, serta mengabaikan
kedaulatan pemerintah dengan terang-terangan berusaha untuk menduduki
kembali Indonesia. Hal ini menimbulkan kemarahan rakyat Indonesia, sehingga
muncul gerakan pemboikotan keperluan makanan dan kebutuhan sehari-hari
terhadap Sekutu yang semula dibantu oleh rakyat Indonesia dalam usaha melucuti
tentara Jepang[4]. Akhirnya pecah pertempuran melawan Sekutu di Semarang
pada tanggal 20 Oktober 1945, disusul tanggal 31 Oktober 1945 di Magelang.
Di Magelang tentara Sekutu bertindak sebagai penguasa yang mencoba melucuti
Tentara Keamanan Rakyat dan membuat kekacauan. TKR Resimen Magelang
pimpinan Letkol. M. Sarbini membalas tindakan tersebut dengan mengepung
tentara Sekutu dari segala penjuru. Namun mereka selamat dari kehancuran berkat
campur tangan Presiden Soekarno yang berhasil menenangkan suasana[5].
Kemudian pasukan Sekutu secara diam-diam meninggalkan Kota Magelang
menuju ke benteng Ambarawa. Akibat peristiwa tersebut, Resimen Kedu Tengah
di bawah pimpinan Letkol. M. Sarbini segera mengadakan pengejaran terhadap
mereka dan meluas sampai ke Ambarawa.
Pada tanggal 20 Oktober 1945, tentara Sekutu di bawah pimpinan Brigadir Bethell
mendarat di Semarang dengan maksud mengurus tawanan perang dan tentara
Jepang yang berada di Jawa Tengah. Kedatangan sekutu ini diboncengi oleh
NICA. Kedatangan Sekutu ini mulanya disambut baik, bahkan Gubernur Jawa
Tengah Mr Wongsonegoro menyepakati akan menyediakan bahan makanan dan
keperluan lain bagi kelancaran tugas Sekutu, sedang Sekutu berjanji tidak akan
mengganggu kedaulatan Republik Indonesia.
Namun, ketika pasukan Sekutu dan NICA telah sampai di Ambarawa dan
Magelang untuk membebaskan para tawanan tentara Belanda, para tawanan
tersebut malah dipersenjatai sehingga menimbulkan kemarahan pihak Indonesia.
Insiden bersenjata timbul di kota Magelang, hingga terjadi pertempuran. Di
Magelang, tentara Sekutu bertindak sebagai penguasa yang mencoba melucuti
Tentara Keamanan Rakyat dan membuat kekacauan. TKR Resimen Magelang
pimpinan Letkol. M. Sarbini membalas tindakan tersebut dengan mengepung
tentara Sekutu dari segala penjuru. Namun mereka selamat dari kehancuran berkat
campur tangan Presiden Soekarno yang berhasil menenangkan suasana.
Kemudian pasukan Sekutu secara diam-diam meninggalkan Kota Magelang
menuju ke benteng Ambarawa. Akibat peristiwa tersebut, Resimen Kedu Tengah
di bawah pimpinan Letkol. M. Sarbini segera mengadakan pengejaran terhadap
mereka. Gerakan mundur tentara Sekutu tertahan di Desa Jambu karena dihadang
oleh pasukan Angkatan Muda di bawah pimpinan Oni Sastrodihardjo yang
diperkuat oleh pasukan gabungan dari Ambarawa, Suruh dan Surakarta.
Tentara Sekutu kembali dihadang oleh Batalyon I Soerjosoempeno di Ngipik.
Pada saat pengunduran, tentara Sekutu mencoba menduduki dua desa di sekitar
Ambarawa. Pasukan Indonesia di bawah pimpinan Letkol. Isdiman berusaha
membebaskan kedua desa tersebut, namun ia keburu gugur terlebih dahulu. Sejak
gugurnya Letkol. Isdiman, Komandan Divisi V Banyumas, Kol. Soedirman
merasa kehilangan seorang perwira terbaiknya dan ia langsung turun ke lapangan
untuk memimpin pertempuran. Kehadiran Kol. Soedirman memberikan napas
baru kepada pasukan-pasukan RI. Koordinasi diadakan di antara komando-
komando sektor dan pengepungan terhadap musuh semakin ketat. Siasat yang
diterapkan adalah serangan pendadakan serentak di semua sektor. Bala bantuan
terus mengalir dari Yogyakarta, Solo, Salatiga, Purwokerto, Magelang, Semarang,
dan lain-lain.
Tanggal 23 November 1945 ketika matahari mulai terbit, mulailah tembak-
menembak dengan pasukan Sekutu yang bertahan di kompleks gereja dan kerkhop
Belanda di Jl. Margo Agoeng. Pasukan Indonesia terdiri dari Yon. Imam Adrongi,
Yon. Soeharto dan Yon. Soegeng. Tentara Sekutu mengerahkan tawanan-tawanan
Jepang dengan diperkuat tanknya, menyusup ke tempat kedudukan Indonesia dari
arah belakang, karena itu pasukan Indonesia pindah ke Bedono.
Pertempuran Ambarawa berlangsung empat hari, dari 13-15 Desember 1945.
Semangat juang pasukan TKR menjadi penentu kemenangan dalam melawan
musuh.

B. Peristiwa Pertempuran di Ambarawa


Pada tanggal 11 Desember 1945, Kol. Soedirman mengadakan rapat dengan para
Komandan Sektor TKR dan Laskar. Pada tanggal 12 Desember 1945 jam 04.30
pagi, serangan mulai dilancarkan. Pembukaan serangan dimulai dari tembakan
mitraliur terlebih dahulu, kemudian disusul oleh penembak-penembak karaben.
Pertempuran berkobar di Ambarawa. Satu setengah jam kemudian, jalan raya
Semarang-Ambarawa dikuasai oleh kesatuan-kesatuan TKR. Pertempuran
Ambarawa berlangsung sengit. Kol. Soedirman langsung memimpin pasukannya
yang menggunakan taktik gelar supit urang, atau pengepungan rangkap dari kedua
sisi sehingga musuh benar-benar terkurung. Suplai dan komunikasi dengan
pasukan induknya diputus sama sekali. Setelah bertempur selama 4 hari, pada
tanggal 15 Desember 1945 pertempuran berakhir dan Indonesia berhasil merebut
Ambarawa dan Sekutu dibuat mundur ke Semarang.
Serangan pembebasan Ambarawa yang berlangsung selama empat hari empat
malam dilancarkan dengan penuh semangat pantang mundur. Dari tanggal 12
hingga 15 Desember 1945, para pejuang tidak menghiraukan desingan-desingan
peluru maut dan lawan.
Letusan tembakan sebagai isyarat dimulainya serangan umum pembebasan
Ambarawa, terdengar tepat pukul 04.30 WIB pada 12 Desember 1945. Pejuang
yang telah bersiap-siap di seluruh penjuru Ambarawa mulai merayap mendekati
sasaran yang telah ditentukan, dengan siasat penyerangan mendadak secara
serentak di segala sektor. Seketika, dan segala penjuru Ambarawa penuh suara
riuh desingan peluru, dentuman meriam, dan ledakan granat. Serangan dadakan
tersebut diikuti serangan balasan musuh yang kalang kabut.

C. Akhir pertempuran
Sekitar pukul 16.00 WIB, TKR berhasil menguasai Jalan Raya Ambarawa
Semarang, dan pengepungan musuh dalam kota Ambarawa berjalan dengan
sempurna. Terjadilah pertempuran jarak dekat. Musuh mulai mundur pada 14
Desember 1945. Persediaan logistik maupun amunisi musuh sudah jauh berkurang.
Akhirnya, pasukan sekutu mundur dan Ambarawa sambil melancarkan aksi bumi
hangus pada 15 Desember 1945, pukul 17.30 WIB. Pertempuran berakhir dengan
kemenangan gemilang pada pihak TKR. Pasukan TKR berhasil merebut benteng
pertahanan sekutu yang tangguh. Kemenangan pertempuran Ambarawa pada 15
Desember 1945. Keberhasilan Panglima Besar Jenderal Soedirman ini kemudian
diabadikan dalam bentuk monumen Palagan Ambarawa. TNI AD memperingati
tanggal tersebut setiap tahun sebagai Hari Infanteri.
Pertempuran di Ambarawa, merupakan pertempuran yang cukup penting. Sebab
pertempuran Ambarawa merupakan salah satu dari rangkaian peristiwa
mempertahankan kemerdekaan pada masa revolusi[6]. Sebab, bagi Indonesia
revolusi Indonesia bertujuan untuk melengkapi dan menyempurnakan proses
penyatuan dan kebangkitan nasional yang telah dimulai empat dasawarsa
sebelumnya. Namun di lain pihak, bagi Belanda masa revolusi sebagai suatu
zaman yang merupakan kelanjutan dari masa lampau untuk melakukan penjajahan
yang menurut mereka sudah dilakukan selama 300 tahun. Pada masa ini pulalah,
hak Indonesia akan kemerdekaan dan kedaulatan atas nama revolusi mendapatkan
banyak dukungan dari rakyat Indonesia.
Demikian pentingnya arti pertempuran Ambarawa bagi bangsa Indonesia dalam
rangka mempertahankan kemerdekaan Indonesia, sehingga meskipun pertempuran
itu berlangsung singkat (12 Desember 1945 – 15 Desember 1945) tetapi
memberikan kemenangan yang gilang-gemilang bagi Indonesia. Dipimpin oleh
Kolonel Sudirman, para pejuang berhasil memukul Sekutu yang terdesak ke
mundur Semarang.
Disamping itu, pertempuran di Ambarawa berhasil mempengaruhi dan
melemahkan kekuatan Belanda, sehingga Belanda kesulitan dalam melakukan
pertempuran di wilayah lainnya. Berakhirnya pertempuran pada tanggal 15
Desember 1945 dengan kemenangan di pihak Indonesia tersebut kini diperingati
sebagai Hari Infanteri/hari jadi TNI Angkatan Darat atau Hari Juang Kartika.
Peristiwa tersebut diabadikan dalam sebuah karya monumental, yaitu Monumen
Palagan Ambarawa yang dibangun pada tanggal 15 Desember 1974.
Dalam pertempuran Ambarawa, memunculkan tokoh yang paling berjasa dalam
upaya mengusir Sekutu dari bumi Ambarawa yang kelak menjadi Jenderal
Panglima Besar Republik Indonesia, yaitu Kolonel Sudirman. Dalam pertempuran
ini pulalah dikenal strategi yang sangat jitu yang dapat dirumuskan dari hasil
pemikiran dan kerja keras beliau bersama para pejuang lainnya. Strategi tersebut
dikenal dengan sebutan “Strategi Supit Urang” atau dalam terjemahan bahasa
Indonesia disebut “Strategi Supit udang”. Dengan kedisiplinan yang tinggi dari
para pejuang yang termasuk dalam bagian strategi Kolonel Sudirman, dan dengan
didukung perencanaan yang matang, strategi tersebut berhasil dilaksanakan
dengan baik sehingga membawa kemenangan yang gilang gemilang bagi para
pejuang tanah air.
Kemenangan pertempuran ini kini diabadikan dengan didirikannya Monumen
Palagan Ambarawa dan diperingatinya Hari Jadi TNI Angkatan Darat atau Hari
Juang Kartika.
Untuk memperingati pertempuran itu, maka di kota Ambarawa didirikan
Monumen Palagan Ambarawa.

LATAR BELAKANG PERTEMPURAN AMBARAWA

Menyerahnya Jepang kepada Sekutu pada tanggal 15 Agustus 1945,


menyebabkan vacuumof Power (kekosongan kekuasaan) di Hindia Belanda
(Indonesia). Kekosongan kekuasaan tersebut tidak disia-siakan oleh bangsa
Indonesia untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Bangsa Indonesia pada
tanggal 17 Agustus 1945 oleh Ir. Soekarno dan Drs. Moh Hatta. Hal ini berarti,
bangsa lain tidak lagi mempunyai hak untuk melakukan penjajahan di atas bumi
Indonesia. Proklamasi berarti pengumuman yang dilakukan oleh suatu bangsa
yang menyatakan bahwa bangsa tersebut telah merdeka dan lepas dari
penjajahan[1].

Meskipun demikian, terdapat pihak-pihak yang berusaha untuk mengembalikan


Indonesia sebagai jajahan Belanda. Hal ini dikarenakan pemerintah Belanda
merasa masih mempunyai historiesch recht (hak sejarah) untuk meneruskan
pemerintahan kolonialnya. Hal ini didasarkan dari perjanjian yang dilakukan
Inggris dengan Belanda yang disebut Civil Affairs Aggreement pada tanggal 24
Agustus 1945 yang mengatur pemindahan kekuasaan di Indonesia dari British
Military Administration kepada NICA (Netherlands Indies Civil Administration).
Oleh sebab itu, Belanda dengan organisasi pemerintahannya, NICA membonceng
tentara sekutu kembali ke Indonesia[2].

Maksud kedatangan Sekutu adalah pertama, menerima penyerahan kekuasaan dari


tangan Jepang. kedua, membebaskan para tawanan perang dan inteniran Sekutu.
Ketiga, melucuti dan mengumpulkan orang Jepang untuk kemudian dipulangkan.
Keempat, menegakkan dan mempertahankan keadaan damai untuk kemudian
diserahkan kepada pemerintah sipil. Kelima, menghimpun keterangan tentang dan
menuntut penjahat perang[3]. Oleh sebab itu, RI menerima kedatangan Sekutu
dengan sambutan yang baik.

Pendaratan tentara Sekutu pada tanggal 20 Oktober 1945 di Semarang,


berbarengan dengan usaha perebutan kekuasaan dan senjata rakyat Indonesia
terhadap Jepang. Usaha melucuti tentara Jepang oleh para pejuang Indonesia ini
memang merupakan tindakan yang harus dilakukan sesegera mungkin. Sebab,
usaha tersebut sudah diperhitungkan akan adanya suatu kemungkinan bahaya
yang ditimbulkan sehubungan dengan mendaratnya Sekutu di Indonesia.
Bagaimanapun, pasti Sekutu tidak akan rela melepaskan bangsa Indonesia
menjadi bangsa yang merdeka begitu saja. Dengan demikian, tujuan kedatangan
Sekutu yang bermaksud untuk melucuti tentara Jepang telah dilakukan oleh para
pejuang Indonesia, sehingga menimbulkan kekecewaan dari pihak Sekutu.

Selanjutnya, ketika pasukan Sekutu dan NICA telah sampai di Ambarawa dan
Magelang untuk membebaskan para tawanan tentara Belanda, para tawanan
tersebut justru dipersenjatai. Ketegangan dimulai ketika tawanan-tawanan
Belanda yang dibebaskan bertingkah congkak dan sombong, serta mengabaikan
kedaulatan pemerintah dengan terang-terangan berusaha untuk menduduki
kembali Indonesia. Hal ini menimbulkan kemarahan rakyat Indonesia, sehingga
muncul gerakan pemboikotan keperluan makanan dan kebutuhan sehari-hari
terhadap Sekutu yang semula dibantu oleh rakyat Indonesia dalam usaha melucuti
tentara Jepang[4]. Akhirnya pecah pertempuran melawan Sekutu di Semarang
pada tanggal 20 Oktober 1945, disusul tanggal 31 Oktober 1945 di Magelang.

Di Magelang tentara Sekutu bertindak sebagai penguasa yang mencoba


melucutiTentara Keamanan Rakyat dan membuat kekacauan. TKR Resimen
Magelang pimpinan Letkol. M. Sarbini membalas tindakan tersebut dengan
mengepung tentara Sekutu dari segala penjuru. Namun mereka selamat dari
kehancuran berkat campur tangan Presiden Soekarnoyang berhasil menenangkan
suasana[5]. Kemudian pasukan Sekutu secara diam-diam meninggalkan Kota
Magelang menuju ke benteng Ambarawa. Akibat peristiwa tersebut, Resimen
Kedu Tengah di bawah pimpinan Letkol. M. Sarbini segera mengadakan
pengejaran terhadap mereka dan meluas sampai ke Ambarawa.

Pertempuran di Ambarawa, merupakan pertempuran yang cukup penting. Sebab


pertempuran Ambarawa merupakan salah satu dari rangkaian peristiwa
mempertahankan kemerdekaan pada masa revolusi[6]. Sebab, bagi Indonesia
revolusi Indonesia bertujuan untuk melengkapi dan menyempurnakan proses
penyatuan dan kebangkitan nasional yang telah dimulai empat dasawarsa
sebelumnya. Namun di lain pihak, bagi Belanda masa revolusi sebagai suatu
zaman yang merupakan kelanjutan dari masa lampau untuk melakukan penjajahan
yang menurut mereka sudah dilakukan selama 300 tahun. Pada masa ini pulalah,
hak Indonesia akan kemerdekaan dan kedaulatan atas nama revolusi mendapatkan
banyak dukungan dari rakyat Indonesia.

Demikian pentingnya arti pertempuran Ambarawa bagi bangsa Indonesia dalam


rangka mempertahankan kemerdekaan Indonesia, sehingga meskipun pertempuran
itu berlangsung singkat (12 Desember 1945 – 15 Desember 1945) tetapi
memberikan kemenangan yang gilang-gemilang bagi Indonesia. Dipimpin oleh
Kolonel Sudirman, para pejuang berhasil memukul Sekutu yang terdesak ke
mundur Semarang.

Disamping itu, pertempuran di Ambarawa berhasil mempengaruhi dan


melemahkan kekuatan Belanda, sehingga Belanda kesulitan dalam melakukan
pertempuran di wilayah lainnya. Berakhirnya pertempuran pada tanggal 15
Desember 1945 dengan kemenangan di pihak Indonesia tersebut kini diperingati
sebagai Hari Infanteri/hari jadi TNI Angkatan Darat atau Hari Juang Kartika.
Peristiwa tersebut diabadikan dalam sebuah karya monumental, yaitu Monumen
Palagan Ambarawa yang dibangun pada tanggal 15 Desember 1974.
Dalam pertempuran Ambarawa, memunculkan
tokoh yang paling berjasa dalam upaya mengusir Sekutu dari bumi Ambarawa
yang kelak menjadi Jenderal Panglima Besar Republik Indonesia, yaitu Kolonel
Sudirman. Dalam pertempuran ini pulalah dikenal strategi yang sangat jitu yang
dapat dirumuskan dari hasil pemikiran dan kerja keras beliau bersama para
pejuang lainnya. Strategi tersebut dikenal dengan sebutan “Strategi Supit
Urang” atau dalam terjemahan bahasa Indonesia disebut “Strategi Supit udang”.
Dengan kedisiplinan yang tinggi dari para pejuang yang termasuk dalam bagian
strategi Kolonel Sudirman, dan dengan didukung perencanaan yang matang,
strategi tersebut berhasil dilaksanakan dengan baik sehingga membawa
kemenangan yang gilang gemilang bagi para pejuang tanah air

Pertempuran Lima Hari di Semarang


Dengan menyerahnya Jepang terhadap Sekutu pada tanggal 15 Agustus 1945, dan
disusul dengan diproklamarkan Republik Indonesia 17 Agustus 1945, maka
seharusnya tammatlah kekuasaan Jepang di Indonesia.

Dan ditunjuknya Mr Wongsonegero sebagai Penguasa Republik di Jawa Tengah


dan pusat pemerintahannya di Semarang, maka adalah kewajiban Pemerintah di
Jawa Tengah mengambilalih kekuasaan yang selama ini dipegang Jepang,
termasuk bidang pemerintahan, keamanan dan ketertibannya. Maka terbentuklah
Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang kemudian menjadi Tentara Keamanan
Rakyat (TKR).

Di beberapa tempat di Jawa Tengah telah terjadi pula kegiatan perlucutan senjata
Jepang tanpa kekerasan antara lain di Banyumas, tapi terjadi kekerasan justru di
ibu kota Semarang. Kido Butai (pusat Ketentaraan Jepang di Jatingaleh) nampak
tidak memberikan persetujuannya secara menyeluruh, meskipun dijamin oleh
Gubernur Wongsonegoro, bahwa senjata tersebut tidak untuk melawan Jepang.
Permintaan yang berulang-ulang cuma menghasilkan senjata yang tak seberapa,
dan itu pun senjata-senjata yang sudah agak usang.

Kecurigaan BKR dan Pemuda Semarang semakin bertambah, setelah Sekutu


mulai mendaratkan pasukannya di Pulau Jawa. Pihak Indonesia khawatir Jepang
akan menyerahkan senjata-senjatanya kepada Sekutu, dan berpendapat
kesempatan memperoleh senjata harus dimanfaatkan sebelum Sekutu mendarat di
Semarang. Karena sudah pasti pasukan Belanda yang bergabung dengan Sekutu
akan ikut dalam pendaratan itu yang tujuannya menjajah Indonesia lagi.

Pertempuran 5 hari di Semarang ini dimulai menjelang minggu malam tanggal 15


Oktober 1945. Keadaan kota Semarang sangat mencekam apalagi di jalan-jalan
dan kampung-kampung dimana ada pos BKR dan Pemuda tampak dalam keadaan
siap. Pasukan Pemuda terdiri dari beberapa kelompok yaitu BKR, Polisi Istimewa,
AMRI, AMKA (Angkatan Muda Kereta Api) dan organisasi para pemuda lainnya.

Dapat pula kita tambahkan di sini, bahwa Markas Jepang dibantu oleh pasukan
Jepang sebesar 675 orang, yang mereka dalam perjalanan dari Irian ke Jakarta,
tapi karena persoalan logistik, pasukan ini singgah di Semarang. Pasukan ini
merupakan pasukan tempur yang mempunyai pengalaman di medan perang Irian.

Keadaan kontras sekali, karena para pemuda pejuang kita harus menghadapi
pasukan Jepang yang berpengalaman tempur dan lebih lengkap persenjataannya,
sementara kelompok pasukan pemuda belum pernah bertempur, dan hampir-
hampir tidak bersenjata. Juga sebagian besar belum pernah mendapat latihan,
kecuali diantaranya dari pasukan Polisi Istimewa, anggota BKR, dari ex-PETA
dan Heiho yang pernah mendapat pendidikan dan latihan militer, tapi tanpa
pengalaman tempur.

Pertempuran lima hari di Semarang ini diawali dengan berontakan 400 tentara
Jepang yang bertugas membangun pabrik senjata di Cipiring dekat Semarang.
Pertempuran antara pemberontak Jepang melawan Pemuda ini berkobar sejak dari
Cipiring (kl 30 Km sebelah barat Semarang) hingga Jatingaleh yang terletak di
bagian atas kota. Di Jatingaleh ini pasukan Jepang yang dipukul mundur
menggabungkan diri dengan pasukan Kidobutai yang memang berpangkalan di
tempat tersebut.

Suasana kota Semarang menjadi panas. Terdengar bahwa pasukan Kidobutai


Jatingaleh akan segera mengadakan serangan balasan terhadap para Pemuda
Indonesia. Situasi hangat bertambah panas dengan meluasnya desas-desus yang
menggelisahkan masyarakat, bahwa cadangan air minum di Candi telah diracuni.
Pihak Jepang yang disangka telah melakukan peracunan lebih memperuncing
keadaan dengan melucuti 8 orang polisi Indonesia yang menjaga tempat tersebut
untuk menghindarkan peracunan cadangan air minum itu.

Dr Karyadi, Kepala Laboratorium Pusat Rumah Sakit Rakyat (Purasara) ketika


jenazahnya diketemukan di jalan Pandanaran Semarang, karena dibunuh oleh
tentara Jepang, dan keesokan harinya 15 Oktober 1945 jam 03.00 pasukan
Kidobutai benar-benar melancarkan serangannya ke tengah-tengah kota Semarang.

Markas BKR kota Semarang menempati komplek bekas sekolah MULO di Mugas
(sekarang Akubank). di belakangnya terdapat sebuah bukit rendah dari sinilah di
waktu fajar Kidobutai melancarkan serangan mendadak terhadap Markas BKR.
Secara tiba-tiba mereka melancarkan serangan dari dua jurusan dengan tembakan
tekidanto (pelempar granat) dan senapan mesin yang gencar. Diperkirakan
pasukan Jepang yang menyerang berjumlah 400 orang. Setelah memberikan
perlawanan selama setengah jam, pimpinan BKR akhirnya menyadari markasnya
tak mungkin dapat dipertahankan lagi dan untuk menghindari kepungan tentara
Jepang, pasukan BKR mengundurkan diri meninggalkan markasnya.

Kemudian pasukan Jepang bergerak membebaskan markas Kempeitai yang


sedang dikepung para Pemuda. Setelah mematahkan para Pemuda pasukan Jepang
menuju ke markas Polisi Istimewa di Kalisari dan berhasil menduduki markas
tersebut. Di sini terjadi pembunuhan kejam yang dilakukan oleh tentara Jepang
terhadap anggota Polisi Istimewa yang tidak berhasil meloloskan diri dari
pengepungan.

Juga di depan markas Kempeitai terjadi pertempuran sengit antara pasukan Jepang
melawan para Pemuda yang bertahan di bekas Gedung NIS dan di Gubernuran
(bekas APDN). Pasukan gabungan yang terdiri dari BKR, Polisi Istimewa dan
AMKA melawan secara gigih, sehingga banyak jatuh korban di kedua belah pihak.

Meskipun dalam pertempuran tahap pertama pihak Jepang bagian timur dapat
berhasil menduduki beberapa tempat penting, mereka tidak dapat bertahan karena
selalu mendapat serangan dari BKR dan Pemuda. Terpaksa mereka meninggalkan
tempat-tempat tersebut, yang kemudian dikuasai kembali oleh para Pemuda.
Demikianlah pasukan silih berganti antara Jepang dan pemuda menempati posisi
strategis.

Selain menangkap Mr Wongsonegoro, Jepang juga menangkap pimpinan Rumah


Sakit Purusara yaitu Dr Sukaryo, Komandan Kompi BKR ialah ex-Sudanco Mirza
Sidharta dan banyak pimpinan-pimpinan lainnya. Untuk menuntut balas, bantuan
dari luar kota terus berdatangan yang menggabungkan diri dengan para Pemuda
yang ada dalam kota.

Pasukan BKR dan para pemudanya dari Pati bergabung dengan pasukan Mirza
Sidharta dan mengadakan serangan balasan terhadap Jepang yang telah menguasai
tempat-tempat penting dalam kota, sehingga berlangsung dengan sengitnya.
Taktik gerilya-kota dapat dilaksanakan dengan menghindari pertempuran terbuka,
dengan tiba-tiba menyerang dan segera menghilang. Sekalipun belum ada
komando terpusat, namun datangnnya serangan terhadap Jepang selalu bergantian
dan bergelombang. Keberanian mereka benar-benar patut dibanggakan, sehingga
menyulitkan Jepang menguasai kota.

Markas Jepang di Jatingaleh pun tak luput dari serangan BKR dan para
pemudanya yang menimbulkan korban yang tidak sedikit kepada pihak Jepang.
Gerak maju Jepang selanjutnya tidak berjalan lancar, karena tertahan di depan
kantor PLN, bahkan sempat dipukul mundur.

Akibat serangan Jepang yang membabi buta, petugas PMI tidak dapat bergerak
leluasa, yang menyebabkan korban pertempuran sangat menyedihkan. Mereka
yang menderita luka-luka tidak dapat perawatan yang semestinya dan mayat-
mayat bergelimpangan di beberapa tempat sampai membusuk, karena tidak segera
dikubur.

Petugas lain yang sangat besar jasanya yang bermarkas di Hotel du Pavillion
(Dibya Puri) ialah dapur umum dimana para pemuda memperoleh makanannya,
tetapi setelah pertempuran meluas, selanjutnya para pemuda mendapat bantuan
dari rakyat dengan bergotong royong menyediakan makannya, walaupun mereka
sendiri saat itu juga kekurangan. Tapi solidaritas rakyat dalam hal ini patut
dibanggakan dan jangan dilupakan.

Diperkirakan 2.000 pasukan Jepang terlibat dalam pertempuran besar-besaran


melawan pemuda-pemuda kita. Senjata-senjata modern dan lengkap dilawan
semangat joang yang menyala-nyala dari rakyat Semarang. Di tempat yang paling
seru pertempuran terjadi di simpang lima (Tugu Muda). Puluhan Pemuda yang
terkepung oleh Jepang dibantai dengan kejamnya oleh pasukan Kidobutai itu.
Pemuda dan pasukan rakyat dari luar kota sekitar Semarang menunjukkan kesetia-
kawanannya. Bala-bantuan mengalir terus ke kota Semarang. Mereka yang baru
datang, langsung terjun terus ke kancah pertempuran.

Setelah BKR berhasil mengadakan konsolidasi dan mendapat bantuan dari daerah
lain di Jawa Tengah, situasi menjadi berbalik pada saat Jepang berada dalam
keadaan kritis. Untuk mengatasi situasi itu serangan makin diperhebat. Banyaknya
korban di kalangan penduduk telah meninggikan para pemuda untuk menuntut
balas. Diperkirakan 200 pasukan rakyat kita gugur dalam pertempuran besar-
besaran ini, sedangkan dari pihak Jepang tak kurang dari 500 orang kedapatan
tewas.

Jepang kembali mendekati MR Wongsonegoro yang didesak untuk segera


meghentikan pertempuran. Dari hasil peninjauan dapat diketahui banyak rakyat
yang tidak berdosa tewas dalam pertempuran kedua belah pihak. Oleh karena
desakan Jepang untuk menghentikan pertempuran, diterima oleh Mr
Wongsonegoro. Pertimbangan lain adalah untuk menyusun kembali kekuatan
dalam menghadapi musuh yang sebenarnya, ialah tentara Sekutu yang diboncengi
tentara Belanda yang segera akan mendarat di Semarang.

Dalam perundingan dengan Jepang, Jepang menghendaki agar senjata-senjata


yang dirampas oleh orang Indonesia dikembalikan lagi kepada Jepang. Tapi Mr
Wongsonegoro menolak tuntutan itu, karena selain tak menjamin penyerahan
senjata itu, pun tak diketahui siapa-siapa yang memegang senjata itu. lagi pula apa
si pemegang senjata akan menyerahkan senjata itu kembali kepada Jepang?
Akhirnya Jepang menerima pendirian Mr Wongsonegoro itu soal penyerahan
senjata, dan demikian tercapailah persetujuan gencatan senjata dengan pihak
Jepang.

Pada umumnya para pemuda kecewa atas gencetan senjata itu, karena banyak
kawan-kawan yang telah gugur dan mereka menghendaki menuntut balas.

Setelah Sekutu mendarat di Semarang pada tanggal 19 Oktober 1945, maka


berakhir pulalah pertempuran dengan pihak Jepang yang selama 5 hari itu.

Kesimpulan pertempuran lima hari di Semarang itu mempunyai nilai tersendiri,


khususnya bagi rakyat Jawa Tengah. Peristiwa itu menunjukkan kebulatan tekad
rakyat untuk mengambil alih kekuasaan dari Jepang. Tindakan kekerasan harus
diambil, karena cara berunding dan diplomasi diabaikan oleh Jepang.

Beberapa aspek strategis dalam perlawanan bersenjata, terlihat pada kegigihan


rakyat Semarang beserta para pemudanya yang berperan dalam mematahkan
kekuasaan Jepang dalam mempertahankan Kemerdekaan RI serta memberikan
dukungan aktif bagi Pemerintahan Jawa Tengah yang berpusat di Semarang.

Anda mungkin juga menyukai