C. Akhir pertempuran
Sekitar pukul 16.00 WIB, TKR berhasil menguasai Jalan Raya Ambarawa
Semarang, dan pengepungan musuh dalam kota Ambarawa berjalan dengan
sempurna. Terjadilah pertempuran jarak dekat. Musuh mulai mundur pada 14
Desember 1945. Persediaan logistik maupun amunisi musuh sudah jauh berkurang.
Akhirnya, pasukan sekutu mundur dan Ambarawa sambil melancarkan aksi bumi
hangus pada 15 Desember 1945, pukul 17.30 WIB. Pertempuran berakhir dengan
kemenangan gemilang pada pihak TKR. Pasukan TKR berhasil merebut benteng
pertahanan sekutu yang tangguh. Kemenangan pertempuran Ambarawa pada 15
Desember 1945. Keberhasilan Panglima Besar Jenderal Soedirman ini kemudian
diabadikan dalam bentuk monumen Palagan Ambarawa. TNI AD memperingati
tanggal tersebut setiap tahun sebagai Hari Infanteri.
Pertempuran di Ambarawa, merupakan pertempuran yang cukup penting. Sebab
pertempuran Ambarawa merupakan salah satu dari rangkaian peristiwa
mempertahankan kemerdekaan pada masa revolusi[6]. Sebab, bagi Indonesia
revolusi Indonesia bertujuan untuk melengkapi dan menyempurnakan proses
penyatuan dan kebangkitan nasional yang telah dimulai empat dasawarsa
sebelumnya. Namun di lain pihak, bagi Belanda masa revolusi sebagai suatu
zaman yang merupakan kelanjutan dari masa lampau untuk melakukan penjajahan
yang menurut mereka sudah dilakukan selama 300 tahun. Pada masa ini pulalah,
hak Indonesia akan kemerdekaan dan kedaulatan atas nama revolusi mendapatkan
banyak dukungan dari rakyat Indonesia.
Demikian pentingnya arti pertempuran Ambarawa bagi bangsa Indonesia dalam
rangka mempertahankan kemerdekaan Indonesia, sehingga meskipun pertempuran
itu berlangsung singkat (12 Desember 1945 – 15 Desember 1945) tetapi
memberikan kemenangan yang gilang-gemilang bagi Indonesia. Dipimpin oleh
Kolonel Sudirman, para pejuang berhasil memukul Sekutu yang terdesak ke
mundur Semarang.
Disamping itu, pertempuran di Ambarawa berhasil mempengaruhi dan
melemahkan kekuatan Belanda, sehingga Belanda kesulitan dalam melakukan
pertempuran di wilayah lainnya. Berakhirnya pertempuran pada tanggal 15
Desember 1945 dengan kemenangan di pihak Indonesia tersebut kini diperingati
sebagai Hari Infanteri/hari jadi TNI Angkatan Darat atau Hari Juang Kartika.
Peristiwa tersebut diabadikan dalam sebuah karya monumental, yaitu Monumen
Palagan Ambarawa yang dibangun pada tanggal 15 Desember 1974.
Dalam pertempuran Ambarawa, memunculkan tokoh yang paling berjasa dalam
upaya mengusir Sekutu dari bumi Ambarawa yang kelak menjadi Jenderal
Panglima Besar Republik Indonesia, yaitu Kolonel Sudirman. Dalam pertempuran
ini pulalah dikenal strategi yang sangat jitu yang dapat dirumuskan dari hasil
pemikiran dan kerja keras beliau bersama para pejuang lainnya. Strategi tersebut
dikenal dengan sebutan “Strategi Supit Urang” atau dalam terjemahan bahasa
Indonesia disebut “Strategi Supit udang”. Dengan kedisiplinan yang tinggi dari
para pejuang yang termasuk dalam bagian strategi Kolonel Sudirman, dan dengan
didukung perencanaan yang matang, strategi tersebut berhasil dilaksanakan
dengan baik sehingga membawa kemenangan yang gilang gemilang bagi para
pejuang tanah air.
Kemenangan pertempuran ini kini diabadikan dengan didirikannya Monumen
Palagan Ambarawa dan diperingatinya Hari Jadi TNI Angkatan Darat atau Hari
Juang Kartika.
Untuk memperingati pertempuran itu, maka di kota Ambarawa didirikan
Monumen Palagan Ambarawa.
Selanjutnya, ketika pasukan Sekutu dan NICA telah sampai di Ambarawa dan
Magelang untuk membebaskan para tawanan tentara Belanda, para tawanan
tersebut justru dipersenjatai. Ketegangan dimulai ketika tawanan-tawanan
Belanda yang dibebaskan bertingkah congkak dan sombong, serta mengabaikan
kedaulatan pemerintah dengan terang-terangan berusaha untuk menduduki
kembali Indonesia. Hal ini menimbulkan kemarahan rakyat Indonesia, sehingga
muncul gerakan pemboikotan keperluan makanan dan kebutuhan sehari-hari
terhadap Sekutu yang semula dibantu oleh rakyat Indonesia dalam usaha melucuti
tentara Jepang[4]. Akhirnya pecah pertempuran melawan Sekutu di Semarang
pada tanggal 20 Oktober 1945, disusul tanggal 31 Oktober 1945 di Magelang.
Di beberapa tempat di Jawa Tengah telah terjadi pula kegiatan perlucutan senjata
Jepang tanpa kekerasan antara lain di Banyumas, tapi terjadi kekerasan justru di
ibu kota Semarang. Kido Butai (pusat Ketentaraan Jepang di Jatingaleh) nampak
tidak memberikan persetujuannya secara menyeluruh, meskipun dijamin oleh
Gubernur Wongsonegoro, bahwa senjata tersebut tidak untuk melawan Jepang.
Permintaan yang berulang-ulang cuma menghasilkan senjata yang tak seberapa,
dan itu pun senjata-senjata yang sudah agak usang.
Dapat pula kita tambahkan di sini, bahwa Markas Jepang dibantu oleh pasukan
Jepang sebesar 675 orang, yang mereka dalam perjalanan dari Irian ke Jakarta,
tapi karena persoalan logistik, pasukan ini singgah di Semarang. Pasukan ini
merupakan pasukan tempur yang mempunyai pengalaman di medan perang Irian.
Keadaan kontras sekali, karena para pemuda pejuang kita harus menghadapi
pasukan Jepang yang berpengalaman tempur dan lebih lengkap persenjataannya,
sementara kelompok pasukan pemuda belum pernah bertempur, dan hampir-
hampir tidak bersenjata. Juga sebagian besar belum pernah mendapat latihan,
kecuali diantaranya dari pasukan Polisi Istimewa, anggota BKR, dari ex-PETA
dan Heiho yang pernah mendapat pendidikan dan latihan militer, tapi tanpa
pengalaman tempur.
Pertempuran lima hari di Semarang ini diawali dengan berontakan 400 tentara
Jepang yang bertugas membangun pabrik senjata di Cipiring dekat Semarang.
Pertempuran antara pemberontak Jepang melawan Pemuda ini berkobar sejak dari
Cipiring (kl 30 Km sebelah barat Semarang) hingga Jatingaleh yang terletak di
bagian atas kota. Di Jatingaleh ini pasukan Jepang yang dipukul mundur
menggabungkan diri dengan pasukan Kidobutai yang memang berpangkalan di
tempat tersebut.
Markas BKR kota Semarang menempati komplek bekas sekolah MULO di Mugas
(sekarang Akubank). di belakangnya terdapat sebuah bukit rendah dari sinilah di
waktu fajar Kidobutai melancarkan serangan mendadak terhadap Markas BKR.
Secara tiba-tiba mereka melancarkan serangan dari dua jurusan dengan tembakan
tekidanto (pelempar granat) dan senapan mesin yang gencar. Diperkirakan
pasukan Jepang yang menyerang berjumlah 400 orang. Setelah memberikan
perlawanan selama setengah jam, pimpinan BKR akhirnya menyadari markasnya
tak mungkin dapat dipertahankan lagi dan untuk menghindari kepungan tentara
Jepang, pasukan BKR mengundurkan diri meninggalkan markasnya.
Juga di depan markas Kempeitai terjadi pertempuran sengit antara pasukan Jepang
melawan para Pemuda yang bertahan di bekas Gedung NIS dan di Gubernuran
(bekas APDN). Pasukan gabungan yang terdiri dari BKR, Polisi Istimewa dan
AMKA melawan secara gigih, sehingga banyak jatuh korban di kedua belah pihak.
Meskipun dalam pertempuran tahap pertama pihak Jepang bagian timur dapat
berhasil menduduki beberapa tempat penting, mereka tidak dapat bertahan karena
selalu mendapat serangan dari BKR dan Pemuda. Terpaksa mereka meninggalkan
tempat-tempat tersebut, yang kemudian dikuasai kembali oleh para Pemuda.
Demikianlah pasukan silih berganti antara Jepang dan pemuda menempati posisi
strategis.
Pasukan BKR dan para pemudanya dari Pati bergabung dengan pasukan Mirza
Sidharta dan mengadakan serangan balasan terhadap Jepang yang telah menguasai
tempat-tempat penting dalam kota, sehingga berlangsung dengan sengitnya.
Taktik gerilya-kota dapat dilaksanakan dengan menghindari pertempuran terbuka,
dengan tiba-tiba menyerang dan segera menghilang. Sekalipun belum ada
komando terpusat, namun datangnnya serangan terhadap Jepang selalu bergantian
dan bergelombang. Keberanian mereka benar-benar patut dibanggakan, sehingga
menyulitkan Jepang menguasai kota.
Markas Jepang di Jatingaleh pun tak luput dari serangan BKR dan para
pemudanya yang menimbulkan korban yang tidak sedikit kepada pihak Jepang.
Gerak maju Jepang selanjutnya tidak berjalan lancar, karena tertahan di depan
kantor PLN, bahkan sempat dipukul mundur.
Akibat serangan Jepang yang membabi buta, petugas PMI tidak dapat bergerak
leluasa, yang menyebabkan korban pertempuran sangat menyedihkan. Mereka
yang menderita luka-luka tidak dapat perawatan yang semestinya dan mayat-
mayat bergelimpangan di beberapa tempat sampai membusuk, karena tidak segera
dikubur.
Petugas lain yang sangat besar jasanya yang bermarkas di Hotel du Pavillion
(Dibya Puri) ialah dapur umum dimana para pemuda memperoleh makanannya,
tetapi setelah pertempuran meluas, selanjutnya para pemuda mendapat bantuan
dari rakyat dengan bergotong royong menyediakan makannya, walaupun mereka
sendiri saat itu juga kekurangan. Tapi solidaritas rakyat dalam hal ini patut
dibanggakan dan jangan dilupakan.
Setelah BKR berhasil mengadakan konsolidasi dan mendapat bantuan dari daerah
lain di Jawa Tengah, situasi menjadi berbalik pada saat Jepang berada dalam
keadaan kritis. Untuk mengatasi situasi itu serangan makin diperhebat. Banyaknya
korban di kalangan penduduk telah meninggikan para pemuda untuk menuntut
balas. Diperkirakan 200 pasukan rakyat kita gugur dalam pertempuran besar-
besaran ini, sedangkan dari pihak Jepang tak kurang dari 500 orang kedapatan
tewas.
Pada umumnya para pemuda kecewa atas gencetan senjata itu, karena banyak
kawan-kawan yang telah gugur dan mereka menghendaki menuntut balas.