Setelah ada pasal tersebut, ternyata pihak Sekutu justru ingkar janji. Sekutu memanfaatkan
kesempatan dan kelemahan dalam pasal-pasal itu untuk menambah jumlah pasukannya di
Magelang.
Di Magelang tepatnya, tentara Sekutu mulai bertindak sebagai penguasa yang mencoba
melucuti Tentara Keamanan Rakyat dan menciptakan kekacauan. TKR atau Tentara
Keamanan Rakyat dari Resimen I Kedu pimpinan Letkol .M.Sarbini juga membalas
tindakan tersebut dengan cara mengepung tentara Sekutu dari berbagai penjuru. Pada
akhirnya mereka selamat dari kehancuran dengan adanya campur tangan langsung dari
Presiden Soekarno yang berhasil mendinginkan suasana. Pasukan Sekutu setelahnya
secara diam-diam meninggalkan Kota Magelang dan bergegas menuju ke benteng
Ambarawa.
Akibat peristiwa ini Resimen Kedu Tengah di bawah pimpinan Letkol.M.Sarbini
mengadakan berbagai pengejaran kepada mereka. Gerakan mundur tentara Sekutu yang
sebelumnya tertahan di Desa Jambu akibat dihadang para pasukan Angkatan Muda yang
dipimpin oleh Oni Sastrodiharjo yang juga diperkuat oleh pasukan gabungan dari
Surakarta, Suruh dan Ambarawa.
Tentara Sekutu juga kembali dihadang oleh Batalyon I Soerjosoemarno di Ngipik. Waktu
pengunduran ini terjadi, tentara Sekutu berusaha menduduki dua desa di sekitaran
Ambarawa.
Pasukan Indonesia yang berada di bawah pimpinan Letkol Sudirman berupaya
membebaskan kedua desa ini namun akhirnya gugur terlebih dahulu. Sejak gugurnya
Letkol. Isdiman, Komandan Divisi V Banyumas, Kol. Soedirman merasa kehilangan seorang
perwira terbaiknya dan langsung turun tangan ke lapangan untuk kemudian memimpin
pertempuran. Kehadiran Kol. Soedirman juga memberikan napas baru kepada
pasukan-pasukan Republik Indonesia.
Koordinasi yang diadakan oleh komando-komando sektor untuk diadakan pengepungan
terhadap para musuh kian ketat. Siasat yang diterapkan diantaranya adalah serangan
pendadakan serentak di semua sektor. Bala bantuan terus berjalan dari Magelang,
Semarang, Yogyakarta, Surakarta, Salatiga, Purwokerto, dan lain lain.
Pertempuran ambarawa pecah antara pasukan TKR di bawah pimpinan Mayor Sumarto
melawan tentara Sekutu yang telah melakukan penyerangan pada tanggal 20 November
1945.
Pada tanggal 21 November 1945, pasukan sekutu yang berada di Magelang ditarik ke
Ambarawa di bawah perlindungan pesawat tempur.
Keesokan harinya tanggal 22 November 1945 ,pertempuran berkobar di dalam kota dan
pasukan sekutu melakukan pengeboman terhadap kampung-kampung yang berada di
Ambarawa.
Pasukan TKR bersama para pemuda yang berasal dari Boyolali, Salatiga, Kartasura
bertahan di kuburan Belanda sehingga membentuk garis medan sepanjang garis rel kereta
dan membelah kota Ambarawa.
Sementara itu, dari arah Magelang dan Divisi V/Purwokerto di bawah pimpinan Imam
Androngi melakukan serangan fajar pada tanggal 21 November 1945 dengan Tujuan
memukul mundur pasukan yang berkedudukan di desa Pingit.
Pasukan Imam Androngi berhasil menduduki desa dan merebut desa-desa sekitarnya.
Selain itu, Batalyon Imam Androngi meneruskan gerakan pengejarannya. Kemudian
disusul 3 batalyon yang berasal dari Yogyakarta,yaitu: batalyon 10 Divisi III di bawah
pimpinan Mayor Suharto, Batalyon 8 di bawah pimpinan Mayor Sarjono, dan Batalyon
Sugeng.
Pasukan Sekutu berhasil dikepung, meskipun mereka terus berusaha mematahkan
kepungan dengan mengancam kedudukan pasukan RI dari belakang dengan tank-tanknya.
Untuk mencegah jatuhnya korban, pasukan mundur ke Bedono.
Dengan bantuan resimen kedua yang dipimpin oleh M.Sarbini, Batalyon Polisi Istimewa
yang dipimpin Onie Sastroatmodjo dan Batalyon dari Yogyakarta,, gerakan musuh
berhasil di tahan di desa Jambu.
Para komandan mengadakan rapat koordinasi di Desa Jambu yang dipimpin oleh
Kolonel Holland Iskandar.. Rapat itu menyepakati pembentukan komando yang disebut
Markas Pimpinan Pertempuran dan berlokasikan di Magelang.
Sejak itu, Ambarawa dipecah menjadi 4 sektor, yaitu sektor Utara, sektor Selatan, sektor
Barat dan Timur. Kekuatan pasukan bertempur dilakukan secara bergantian.
Pada tanggal 26 November 1945,pimpinan dari pasukan Purwokerto Letnan Kolonel
Isdiman yang gugur dalam pertempuran. Selanjutnya, pimpinan pasukan diambil alih oleh
Kolonel Soedirman, Panglima Divisi Purwokerto.
Situasi pertempuran berubah menguntungkan pasukan TKR, dengan terusirnya pasukan
musuh dari Desa Banyubiru, yang merupakan garis pertahanan terdepan pada tanggal 5
Desember 1945.
Setelah mempelajari situasi, pada tanggal 11 Desember 1945 Kolonel Soedirman
mengumpulkan para sektor. Setelah mendengarkan laporan dari para komandan sektor,
Kolonel Soedirman menyimpulkan bahwa musuh telah terjepit.
Pada tanggal 12 Desember 1945 pada waktu 04.30, pasukan TKR bergerak secara
serentak menuju sasaran masing-masing melancarkan serangan ke pihak musuh.
Dalam waktu setengah jam pasukan TKR berhasil mengepung musuh di dalam kota.
Pertahanan terkuat musuh diperkirakan berada di benteng Willem yang terletak di
tengah-tengah kota Ambarawa.
Kemudian terjadi pengepungan di kota Ambarawa selama 4 hari 4 malam. Musuh yang
terjepit berusaha keras untuk melakukan pertempuran.Kemudian, Palagan Ambarawa yang
pada saat itu dipimpin oleh Kolonel Soedirman menerapkan strategi Gelar Supit Urang.
Strategi ini adalah taktik pengepungan sehingga akhirnya musuh benar-benar terkurung dan
menyerah. Nama Supit Urang berasal dari bahasa pewayangan yang bermakna kepungan.
•Brigadier Bethell, merupakan pemimpin tentara sekutu pada Perang Palagan Ambarawa. Ia
datang ke Semarang pada tanggal 20 Oktober 1945.
•Letnan Kolonel Isdiman, merupakan pemimpin para pejuang dalam Pertempuran Palagan
Ambarawa. Namun, gugur di tengah Pertempuran Palagan Ambarawa.
•Kolonel Soedirman, merupakan pemimpin Pertempuran Palagan Ambarawa yang
menggantikan Letnan Kolonel Isdiman. Pada saat pertempuran, ia menerapkan strategi
Gelar Supit Urang.