Anda di halaman 1dari 4

Pertempuran Ambarawa

Latar Belakang Terjadinya Pertempuran Ambarawa


Pertempuran Ambarawa atau yang dikenal dengan Palagan Ambarawa merupakan salah
satu pertempuran yang terjadi setelah kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus
1945. Pertempuran Ambarawa berlangsung untuk tujuan mempertahankan kemerdekaan
Indonesia. Hal ini dilakukan karena setelah kemerdekaan, pasukan NICA (Netherland Indies
Civil Administration) dan militer Inggris datang kembali ke Indonesia untuk berusaha
menggoyahkan pemerintahan yang sudah terbentuk.
Ambarawa merupakan sebuah kecamatan dengan daratan subur yang berada di Jawa
Tengah. Kota kecamatan ini dikelilingi oleh perbukitan, di antaranya yaitu Weru, Kendil,
Blabag, Kendalisodo, dan Jonggol.
Palagan Ambarawa merupakan peristiwa perlawanan rakyat Indonesia melawan sekutu
yang terjadi antara tanggal 20 Oktober sampai 15 Desember 1945 di Ambarawa.
Palagan Ambarawa atau Pertempuran Ambarawa bermula dari kekalahan Jepang pada
Perang Dunia ke-2 sehingga membuat sekutu tertarik untuk menguasai Indonesia kembali.
Pembukaan serangan ini dimulai dari tembakan mitraliur terlebih dahulu, yang disusul juga
oleh penembak-penembak senapan karabin. Pertempuran ini kemudian berkobar di
Ambarawa. Satu setengah jam setelahnya rayadi Semarang-Ambarawa telah dikuasai oleh
kesatuan Tentara Keamanan Rakyat atau TKR. Pertempuran Ambarawa sendiri
berlangsung dengan sangat sengit.
Sekutu pun kembali datang ke Indonesia pada tanggal 20 Oktober 1945 dengan alasan
ingin mengurus tawanan perang.Padahal alasan sebenarnya Sekutu datang ke indonesia
adalah untuk merebut kembali wilayah Indonesia.
Saat itu, kedatangan sekutu ke Ambarawa dan Magelang dipimpin oleh Brigadir Bethell.
Kedatangan yang pada mulanya disambut baik, oleh Gubernur Jawa Tengah Mr
Wongsonegoro yang menyepakati akan menyediakan bahan makanan serta berbagai
keperluan lain demi kelancaran tugas Sekutu, sementara Sekutu berjanji tak akan
mengganggu kedaulatan Republik Indonesia.
Namun, ketika pasukan Sekutu dan NICA tiba di Magelang dan Ambarawa untuk
membebaskan para tawanan tentara Belanda, para tawanan ini bahkan dipersenjatai
sehingga akhirnya menimbulkan kemarahan dari pihak Indonesia. Insiden bersenjata
akhirnya dimulai di kota Magelang, hingga akhirnya terjadi pertempuran.
Enam hari kemudian,pada tanggal 26 Oktober 1945 , diketahui bahwa Sekutu dan NICA
diam-diam mempersenjatai tawanan perang atau tentara Belanda. Hal ini juga membuat
marah Indonesia dan akhirnya memicu pertempuran antara Sekutu dan Pasukan Keamanan
Rakyat (TKR).
Pada tanggal 2 November 1945, terjadi perundingan antara Soekarno dan Brigjen
Bethel. Tujuan dari pertemuan ini sendiri adalah untuk menenangkan suasana dan
mencapai gencatan senjata, sampai kata sepakat yang dituangkan dalam 12 pasal. Adapun
isi kesepakatannya yaitu:
1.Pihak sekutu tetap akan menempatkan pasukannya di Magelang, untuk melakukan
kewajibannya melindungi dan mengurus evakuasi Allied Prisoners Wars and Interneers
(APWI-tawanan perang dan interniran Sekutu)
2. Jalan raya Magelang-Ambarawa terbuka bagi lalu lintas Indonesia-Sekutu.
3. Aktivitas NICA tidak akan diakui Sekutu dalam badan-badan yang berada di bawahnya.

Setelah ada pasal tersebut, ternyata pihak Sekutu justru ingkar janji. Sekutu memanfaatkan
kesempatan dan kelemahan dalam pasal-pasal itu untuk menambah jumlah pasukannya di
Magelang.
Di Magelang tepatnya, tentara Sekutu mulai bertindak sebagai penguasa yang mencoba
melucuti Tentara Keamanan Rakyat dan menciptakan kekacauan. TKR atau Tentara
Keamanan Rakyat dari Resimen I Kedu pimpinan Letkol .M.Sarbini juga membalas
tindakan tersebut dengan cara mengepung tentara Sekutu dari berbagai penjuru. Pada
akhirnya mereka selamat dari kehancuran dengan adanya campur tangan langsung dari
Presiden Soekarno yang berhasil mendinginkan suasana. Pasukan Sekutu setelahnya
secara diam-diam meninggalkan Kota Magelang dan bergegas menuju ke benteng
Ambarawa.
Akibat peristiwa ini Resimen Kedu Tengah di bawah pimpinan Letkol.M.Sarbini
mengadakan berbagai pengejaran kepada mereka. Gerakan mundur tentara Sekutu yang
sebelumnya tertahan di Desa Jambu akibat dihadang para pasukan Angkatan Muda yang
dipimpin oleh Oni Sastrodiharjo yang juga diperkuat oleh pasukan gabungan dari
Surakarta, Suruh dan Ambarawa.
Tentara Sekutu juga kembali dihadang oleh Batalyon I Soerjosoemarno di Ngipik. Waktu
pengunduran ini terjadi, tentara Sekutu berusaha menduduki dua desa di sekitaran
Ambarawa.
Pasukan Indonesia yang berada di bawah pimpinan Letkol Sudirman berupaya
membebaskan kedua desa ini namun akhirnya gugur terlebih dahulu. Sejak gugurnya
Letkol. Isdiman, Komandan Divisi V Banyumas, Kol. Soedirman merasa kehilangan seorang
perwira terbaiknya dan langsung turun tangan ke lapangan untuk kemudian memimpin
pertempuran. Kehadiran Kol. Soedirman juga memberikan napas baru kepada
pasukan-pasukan Republik Indonesia.
Koordinasi yang diadakan oleh komando-komando sektor untuk diadakan pengepungan
terhadap para musuh kian ketat. Siasat yang diterapkan diantaranya adalah serangan
pendadakan serentak di semua sektor. Bala bantuan terus berjalan dari Magelang,
Semarang, Yogyakarta, Surakarta, Salatiga, Purwokerto, dan lain lain.
Pertempuran ambarawa pecah antara pasukan TKR di bawah pimpinan Mayor Sumarto
melawan tentara Sekutu yang telah melakukan penyerangan pada tanggal 20 November
1945.
Pada tanggal 21 November 1945, pasukan sekutu yang berada di Magelang ditarik ke
Ambarawa di bawah perlindungan pesawat tempur.
Keesokan harinya tanggal 22 November 1945 ,pertempuran berkobar di dalam kota dan
pasukan sekutu melakukan pengeboman terhadap kampung-kampung yang berada di
Ambarawa.
Pasukan TKR bersama para pemuda yang berasal dari Boyolali, Salatiga, Kartasura
bertahan di kuburan Belanda sehingga membentuk garis medan sepanjang garis rel kereta
dan membelah kota Ambarawa.
Sementara itu, dari arah Magelang dan Divisi V/Purwokerto di bawah pimpinan Imam
Androngi melakukan serangan fajar pada tanggal 21 November 1945 dengan Tujuan
memukul mundur pasukan yang berkedudukan di desa Pingit.
Pasukan Imam Androngi berhasil menduduki desa dan merebut desa-desa sekitarnya.
Selain itu, Batalyon Imam Androngi meneruskan gerakan pengejarannya. Kemudian
disusul 3 batalyon yang berasal dari Yogyakarta,yaitu: batalyon 10 Divisi III di bawah
pimpinan Mayor Suharto, Batalyon 8 di bawah pimpinan Mayor Sarjono, dan Batalyon
Sugeng.
Pasukan Sekutu berhasil dikepung, meskipun mereka terus berusaha mematahkan
kepungan dengan mengancam kedudukan pasukan RI dari belakang dengan tank-tanknya.
Untuk mencegah jatuhnya korban, pasukan mundur ke Bedono.
Dengan bantuan resimen kedua yang dipimpin oleh M.Sarbini, Batalyon Polisi Istimewa
yang dipimpin Onie Sastroatmodjo dan Batalyon dari Yogyakarta,, gerakan musuh
berhasil di tahan di desa Jambu.
Para komandan mengadakan rapat koordinasi di Desa Jambu yang dipimpin oleh
Kolonel Holland Iskandar.. Rapat itu menyepakati pembentukan komando yang disebut
Markas Pimpinan Pertempuran dan berlokasikan di Magelang.
Sejak itu, Ambarawa dipecah menjadi 4 sektor, yaitu sektor Utara, sektor Selatan, sektor
Barat dan Timur. Kekuatan pasukan bertempur dilakukan secara bergantian.
Pada tanggal 26 November 1945,pimpinan dari pasukan Purwokerto Letnan Kolonel
Isdiman yang gugur dalam pertempuran. Selanjutnya, pimpinan pasukan diambil alih oleh
Kolonel Soedirman, Panglima Divisi Purwokerto.
Situasi pertempuran berubah menguntungkan pasukan TKR, dengan terusirnya pasukan
musuh dari Desa Banyubiru, yang merupakan garis pertahanan terdepan pada tanggal 5
Desember 1945.
Setelah mempelajari situasi, pada tanggal 11 Desember 1945 Kolonel Soedirman
mengumpulkan para sektor. Setelah mendengarkan laporan dari para komandan sektor,
Kolonel Soedirman menyimpulkan bahwa musuh telah terjepit.
Pada tanggal 12 Desember 1945 pada waktu 04.30, pasukan TKR bergerak secara
serentak menuju sasaran masing-masing melancarkan serangan ke pihak musuh.
Dalam waktu setengah jam pasukan TKR berhasil mengepung musuh di dalam kota.
Pertahanan terkuat musuh diperkirakan berada di benteng Willem yang terletak di
tengah-tengah kota Ambarawa.
Kemudian terjadi pengepungan di kota Ambarawa selama 4 hari 4 malam. Musuh yang
terjepit berusaha keras untuk melakukan pertempuran.Kemudian, Palagan Ambarawa yang
pada saat itu dipimpin oleh Kolonel Soedirman menerapkan strategi Gelar Supit Urang.
Strategi ini adalah taktik pengepungan sehingga akhirnya musuh benar-benar terkurung dan
menyerah. Nama Supit Urang berasal dari bahasa pewayangan yang bermakna kepungan.

Diperingati Sebagai Hari Juang Kartika


Untuk mengenang jasa para pahlawan yang gugur dalam pertempuran ini, setiap tanggal
15 Desember diperingati sebagai Hari Infanteri yang kemudian menjadi Hari Juang Kartika
sesuai dengan Keputusan Presiden RI nomor 163 tahun 1999 tentang Hari Juang Tentara
Nasional Indonesia Angkatan Darat.
Tokoh Palagan Ambarawa
Adapun tokoh Palagan Ambarawa yaitu:

•Brigadier Bethell, merupakan pemimpin tentara sekutu pada Perang Palagan Ambarawa. Ia
datang ke Semarang pada tanggal 20 Oktober 1945.
•Letnan Kolonel Isdiman, merupakan pemimpin para pejuang dalam Pertempuran Palagan
Ambarawa. Namun, gugur di tengah Pertempuran Palagan Ambarawa.
•Kolonel Soedirman, merupakan pemimpin Pertempuran Palagan Ambarawa yang
menggantikan Letnan Kolonel Isdiman. Pada saat pertempuran, ia menerapkan strategi
Gelar Supit Urang.

Anda mungkin juga menyukai