PERTEMPURAN SURABAYA
Ketika pasukan sekutu mendarat pada akhir oktober 1945, Surabaya digambarkan sebagai
“banteng bersatu yang kuat di bawah pemuda”. Pertempuran pecah pada 30 oktober setelah
komandan pasukan britania, brigadir A. W. S. Mallaby tewas dalam baku tembak. britania
melakukan serangan balasan punitif pada 10 november dengan bantuan pesawat tempur.
Pasukan kolonial merebut sebagian besar kota dalam 3 hari, pasukan republik yang minim
senjata melawan selama 3 minggu, dan ribuan orang meninggal dunia ketika penduduk kota
mengungsi ke pedesaan.
Meskipun kalah dan kehilangan anggota dan persenjataan, pertempuran yang dilancarkan
pasukan Republik membangkitkan semangat Bangsa Indonesia untuk memperjuangkan
kemerdekaannya dan menarik perhatian internasional. Belanda tidak lagi memandang
Republik sebagai kumpulan pengacau tanpa dukungan rakyat. Pertempuran ini juga
meyakinkan Britania untuk mengambil sikap netral dan revolusi Nasional Indonesia;
beberapa tahun kemudian, Britania mendukung perjuangan Indonesia di Perserikatan
Bangsa-Bangsa.
Sekelompok orang Belanda di bawah pimpinan Mr.W.V.Ch Ploegman pada malam hari
tanggal 18 September 1945, Tepatnya pukul 21.00, mengibarkan bendera Belanda
(merah-putih-biru), tanpa persetujuan pemerintahan RI daerah Surabaya, di tiang pada
tingkat teratas Hotel Yamato, sisi sebelah utara. keesokan harinya para pemuda Surabaya
melihatnya dan menjadi marah karena mereka menganggap Belanda telah menghina
kedaulatan Indonesia, hendak mengembalikan kekuasaan kembali di Indonesia, dan
melecehkan gerakan pengibaran bendera merah putih yang sedang berlangsung di
Surabaya. Setelah insiden di Hotel Yamato tersebut pada tanggal 27 Oktober 1945
meletuslah pertempuran pertama antara Indonesia melawan tentara Inggris.
serangan-serangan kecil tersebut di kemudian hari berubah menjadi serangan umum yang
banyak memakan korban jiwa di kedua belah pihak Indonesia dan Inggris, sebelum akhirnya
Jenderal D.C. Hawthorn meminta bantuan presiden Soekarno untuk meredakan situasi.
2. PERTEMPURAN LIMA HARI DI SEMARANG
Akhir Pertempuran : Pada akhirnya, Pertempuran Lima Hari Semarang berhasil diakhiri
setelah Kasman Singodimedjo dan Mr Sartono yang mewakili Indonesia berunding
dengan Komandan Tentara Jepang Letkol Nomura. Keduanya berunding untuk
mengupayakan gencatan senjata.
3. PERTEMPURAN AMBARAWA
Pertempuran Medan Area merupakan peristiwa sejarah pada era revolusi fisik atau masa
perang mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Ternyata, Sekutu diboncengi
oleh pasukan Belanda yang saat itu memakai nama Netherland Indies Civil Administration
(NICA). Belanda rupanya ingin kembali menguasai wilayah Indonesia yang dulu
beratus-ratus tahun mereka duduki. Rakyat dan kaum pejuang di Sumatera Utara,
khususnya di Medan, tentu tidak tinggal diam melihat gelagat buruk tersebut. Maka,
terjadilah konflik bersenjata yang kemudian dikenal sebagai Pertempuran Medan Area.
Kronologi Peristiwa : Perang Medan Area Sukarno dan Mohammad Hatta atas nama
bangsa Indonesia telah menyatakan proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945 di
Jakarta. Kabar gembira tersebut baru sampai ke rakyat Medan 10 hari berselang atau pada
27 Agustus 1945. Namun, kedatangan pasukan Sekutu yang disertai oleh NICA atau bala
tentara Belanda membuat rakyat dan kaum pejuang di Sumatera Utara merasa terusik.
mengisahkan, di Medan, Belanda mulai menunjukkan pergerakan yang mencurigakan. NICA
mengumpulkan para mantan serdadu Belanda di Medan untuk membentuk kembali
kekuatan militer mereka. Para pemuda di Medan pun segera mengambil sikap. Dimotori
oleh Ahmad Tahir yang pernah bergabung dengan tentara sukarela (giyugun) pada masa
pendudukan Jepang, dibentuklah Barisan Pemuda sebagai tindakan antisipasi. Barisan
Pemuda di Medan punya ciri khas, yakni mengenakan lencana merah-putih. Tanggal 13
Oktober 1945, tentara Belanda menginjak-injak lencana kebanggaan tersebut. Insiden inilah
yang memicu pecahnya perang di Medan. Dalam peristiwa yang disebut Pertempuran
Medan Area itu, pihak republik berhasil melumpuhkan hampir 100 orang serdadu Belanda.
Hal ini membuat militer Belanda murka dan menetapkan sejumlah aturan. Ditegaskan oleh
Belanda bahwa rakyat Indonesia di Medan tidak boleh membawa senjata. Mereka yang
masih membawa senjata diwajibkan menyerahkannya kepada pihak Belanda atau Sekutu.
Tentu saja, rakyat Medan tidak mematuhi aturan tersebut. Petrik Matanasi dalam “Sejarah
Pertempuran Medan Area” menuliskan, tanggal 1 Desember 1945, Sekutu menetapkan
beberapa garis batas di beberapa titik kota Medan. Simbol pembatas ini adalah
papan-papan yang di dalamnya terdapat tulisan Fixed Boundaries Medan Area. Penyebutan
‘Medan Area’ sebagai nama pertempuran ini diklaim berawal dari papan tersebut. Konflik
kian membara. Terjadilah peperangan lagi pada 10 Desember 1945. Pasukan RI di bawah
komando Abdul Karim meladeni tentara Sekutu atau Belanda di Deli Tua. Di Kota Medan,
Sekutu dan NICA melancarkan serangan besar-besaran. Tercatat dalam Sejarah Nasional
Indonesia VI (1984) karya Marwati Djoened Poesponegoro dan kawan-kawan, kaum rakyat
pejuang di Medan meladeni serbuan tersebut. Perang yang terjadi membuat jatuhnya
banyak korban dari kedua belah pihak. Buku Republik Indonesia: Sumatera Utara (1953),
mencatat, kala itu Kota Medan digempur peperangan, situasi kacau-balau, para prajurit
Sekutu melakukan berbagai tindakan keji yang membuat rakyat Medan kian murka.
“Selanjutnya seorang perwira Inggris diculik oleh pemuda, beberapa truk berhasil
dihancurkan. Dengan peristiwa ini TED Kelly kembali mengancam para pemuda [Republik]
agar menyerahkan senjata mereka,” tulis penyusun buku Sejarah Nasional Indonesia VI
(1984) karya Marwati Djoened Poesponegoro. Aksi-aksi bersenjata itu lalu dikenal sebagai
Pertempuran Medan Area. Setelah itu, Medan terbagi dua. Sisi timur yang dekat laut
dikuasai Sekutu, sementara sisi timur yang ke arah pedalaman Sumatra Utara dikuasai
Republik. Jalan kereta api dari Pulo Brayan ke Medan jadi pembatasnya. Pada bulan April
1946, pemerintah RI di dalam kota Medan terus didesak militer-militer asing itu hingga
akhirnya Gubernur Sumatera, Walikota Medan, dan petinggi TKR menyingkir ke Pematang
Siantar. Setelah itu, Medan menjadi salah satu kota penting bagi NICA dan menjadi ibu kota
Negara Sumatera Timur.
Akhir Pertempuran : Medan Area Sekutu dan NICA akhirnya berhasil menduduki Kota
Medan pada April 1946. Pusat perjuangan rakyat Medan pun terpaksa digeser ke Pematang
Siantar. Kendati begitu, masih terjadi perlawanan, termasuk pada 10 Agustus 1946 di Tebing
Tinggi. Para komandan pasukan RI yang berjuang di Medan kemudian bertemu dan
membentuk satuan komando bernama Komando Resimen Laskar Rakyat Medan Area.
Tanggal 19 Agustus 1946, dibentuk Barisan Pemuda Indonesia (BPI) di Kabanjahe. Dikutip
dari artikel "Terbentuknya TKR di Tanah Karo" dalam laman Pemerintah Kabupaten Karo,
BPI menjadi salah satu unsur pembentuk Badan Keselamatan Rakyat (BKR) yang
merupakan cikal-bakal Tentara Nasional Indonesia (TNI). Laskar-laskar rakyat di berbagai
daerah di Sumatera Utara terus melancarkan perlawanan terhadap Sekutu dan NICA
meskipun Kota Medan telah diduduki. Tak hanya di Sumatera Utara, gelora perlawanan juga
terjadi di berbagai daerah lain di Sumatera, seperti Padang, Bukittinggi, Aceh, dan lainnya.
Peristiwa Bandung Lautan Api terjadi tanggal 23 Maret 1946. Salah satu titik penting dalam
sejarah kemerdekaan Indonesia ini ditandai dengan pengosongan dan pembakaran
Bandung oleh rakyat dan tentara agar tidak dijadikan markas pasukan Sekutu dan NICA
(Belanda). Aksi bumi hangus di Bandung dipandang sebagai taktik yang dirasa paling ideal
dalam situasi saat itu karena kekuatan pasukan Republik Indonesia tidak sebanding dengan
kekuatan Sekutu dan NICA. Bandung Lautan Api menjadi salah satu peristiwa paling heroik
dalam sejarah mempertahankan kemerdekaan Indonesia dan diabadikan dalam berbagai
bentuk karya seni, seperti lagu atau film.
Latar Belakang dan Penyebab : Beberapa pekan setelah Proklamasi Kemerdekaan RI,
pasukan Sekutu yang tergabung dalam AFNEI (Allied Forces Netherlands East Indies)
datang ke Indonesia usai memenangkan Perang Dunia II melawan Jepang. Mohamad Ully
Purwasatria dalam penelitian bertajuk "Peranan Sukanda Bratamanggala dan Sewaka di
Bandung Utara dalam Mempertahankan Kemerdekaan Tahun 1945-1948" (2014),
menyampaikan, awalnya kedatangan mereka hanya untuk membebaskan tentara Sekutu
dari tahanan Jepang. Namun, ternyata Belanda atau NICA membonceng pasukan Sekutu
dan ingin menguasai Indonesia lagi. Bertolaklah perlawanan dari prajurit dan rakyat
Indonesia atas kehadiran Belanda.
Kronologi Peristiwa Bandung Lautan Api : Pasukan Sekutu mulai melancarkan propaganda.
Rakyat Indonesia diperingatkan agar meletakkan senjata dan menyerahkannya kepada
Sekutu. Pihak Indonesia tidak menggubris ultimatum tersebut. Angkatan perang RI
merespons dengan melakukan penyerangan terhadap markas–markas Sekutu di Bandung
bagian utara, termasuk Hotel Homan dan Hotel Preanger yang menjadi markas besar
Sekutu, pada malam tanggal 24 November 1945. Pada 27 November 1945, Kolonel
MacDonald selaku panglima perang Sekutu sekali lagi menyampaikan ultimatum kepada
Gubernur Jawa Barat, Mr. Datuk Djamin, agar rakyat dan tentara segera mengosongkan
wilayah Bandung Utara. Peringatan yang berlaku sampai tanggal 29 November 1945 pukul
12.00 harus dipenuhi. Jika tidak, maka Sekutu akan bertindak keras. Ultimatum kedua itu
pun tidak digubris sama sekali. Beberapa pertempuran terjadi di Bandung Utara. Pos-pos
Sekutu di Bandung menjadi sasaran penyerbuan. Tanggal 17 Maret 1946, Panglima
Tertinggi AFNEI di Jakarta, Letnan Jenderal Montagu Stopford, memperingatkan kepada
Sutan Syahrir selaku Perdana Menteri RI agar militer Indonesia segera meninggalkan
Bandung Selatan sampai radius 11 kilometer dari pusat kota. Hanya pemerintah sipil, polisi,
dan penduduk sipil yang diperbolehkan tinggal. Menindaklanjuti ultimatum tersebut, pada 24
Maret 1946 pukul 10.00, Tentara Republik Indonesia (TRI) di bawah pimpinan Kolonel A.H.
Nasution memutuskan untuk membumihanguskan Bandung. Rakyat mulai diungsikan.
Sebagian besar bergerak dari selatan rel kereta api ke arah selatan sejauh 11 kilometer.
Gelombang pengungsian semakin membesar setelah matahari tenggelam.
Pembumihangusan Bandung pun dimulai. Warga yang hendak meninggalkan rumah
membakarnya terlebih dahulu. Pasukan TRI punya rencana yang lebih besar lagi. TRI
merencanakan pembakaran total pada 24 Maret 1945 pukul 24.00, namun rencana ini tidak
berjalan mulus karena pada pukul 20.00 dinamit pertama telah meledak di Gedung Indische
Restaurant. Lantaran tidak sesuai rencana, pasukan TRI melanjutkan aksinya dengan
meledakkan gedung-gedung dan membakar rumah-rumah warga di Bandung Utara. Malam
itu, Bandung terbakar dan peristiwa itu kemudian dikenal dengan sebutan Bandung Lautan
Api.
6. PERTEMPURAN PUPUTAN MARGARANA
PERISTIWA : Awal pertempuran Puputan Margarana pada waktu staf MBO berada di
desa Marga, I Gusti Ngurah Rai memerintahkan pasukannya untuk merebut senjata
polisi NICA yang ada di Kota Tabanan. Perintah itu dilaksanakan pada 20 November
1946 (malam hari) dan berhasil baik. Beberapa pucuk senjata beserta pelurunya dapat
direbut dan seorang komandan polisi NICA ikut menggabungkan diri kepada pasukan
Ngurah Rai. Setelah itu pasukan segera kembali ke Desa Marga. Pada 20 November
1946 sejak pagi-pagi buta tentara Belanda mulai mengadakan pengurungan terhadap
Desa Marga. Kurang lebih pukul 10.00 pagi mulailah terjadi tembak-menembak antara
pasukan NICA dengan pasukan Ngurah Rai. Pada pertempuran tersebut pasukan
bagian depan Belanda banyak yang mati tertembak. Oleh karena itu, Belanda segera
mendatangkan bantuan dari semua tentaranya yang berada di Bali ditambah pesawat
pengebom yang didatangkan dari Makassar. Di dalam pertempuran yang sengit itu
semua anggota pasukan Ngurah Rai bertekad tidak akan mundur sampai titik darah
penghabisan. Di sinilah pasukan Ngurah Rai mengadakan "Puputan" atau perang
habis-habisan di Desa Margarana sehingga pasukan yang berjumlah 96 orang itu
semuanya gugur, termasuk Ngurah Rai sendiri. Sebaliknya, di pihak Belanda ada lebih
kurang 400 orang yang tewas. Untuk mengenang peristiwa tersebut pada tanggal 20
November 1946 dikenal dengan perang puputan margarana, dan kini pada bekas arena
pertempuran itu didirikan Tugu Pahlawan Taman Pujaan Bangsa.