Anda di halaman 1dari 7

1.

PERTEMPURAN SURABAYA

Pertempuran Surabaya merupakan pertempuran tentara dan milisi Proklamasi


Kemerdekaan Indonesia, Puncaknya terjadi pada tanggal 10 November 1945. Pertempuran
ini adalah perang pertama pasukan Indonesia dengan pasukan asing setelah proklamasi
kemerdekaan Indonesia dan satu pertempuran terbesar dan terberat dalam sejarah revolusi
Nasional Indonesia yang menjadi simbol nasional atas perlawanan Indonesia terhadap
kolonialisme. Usai pertempuran ini dukungan rakyat Indonesia dan dunia internasional
terhadap perjuangan kemerdekaan Indonesia semakin kuat. 10 November diperingati setiap
tahun sebagai hari Pahlawan di Indonesia.

Ketika pasukan sekutu mendarat pada akhir oktober 1945, Surabaya digambarkan sebagai
“banteng bersatu yang kuat di bawah pemuda”. Pertempuran pecah pada 30 oktober setelah
komandan pasukan britania, brigadir A. W. S. Mallaby tewas dalam baku tembak. britania
melakukan serangan balasan punitif pada 10 november dengan bantuan pesawat tempur.
Pasukan kolonial merebut sebagian besar kota dalam 3 hari, pasukan republik yang minim
senjata melawan selama 3 minggu, dan ribuan orang meninggal dunia ketika penduduk kota
mengungsi ke pedesaan.

Meskipun kalah dan kehilangan anggota dan persenjataan, pertempuran yang dilancarkan
pasukan Republik membangkitkan semangat Bangsa Indonesia untuk memperjuangkan
kemerdekaannya dan menarik perhatian internasional. Belanda tidak lagi memandang
Republik sebagai kumpulan pengacau tanpa dukungan rakyat. Pertempuran ini juga
meyakinkan Britania untuk mengambil sikap netral dan revolusi Nasional Indonesia;
beberapa tahun kemudian, Britania mendukung perjuangan Indonesia di Perserikatan
Bangsa-Bangsa.

INSIDEN DI HOTEL YAMATO, TUNJUNGAN, SURABAYA

Setelah munculnya Maklumat pemerintah Indonesia tanggal 31 Agustus 1945 yang


menetapkan bahwa mulai 1 September 1945 bendera nasional sang saka merah putih
dikibarkan terus di seluruh wilayah Indonesia, gerakan pengibaran bendera tersebut makin
meluas ke segenap pelosok Kota Surabaya. klimaks gerakan pengibaran bendera di
Surabaya terjadi pada insiden perobekan bendera di Yamato Hotel atau Hotel Yamato.

Sekelompok orang Belanda di bawah pimpinan Mr.W.V.Ch Ploegman pada malam hari
tanggal 18 September 1945, Tepatnya pukul 21.00, mengibarkan bendera Belanda
(merah-putih-biru), tanpa persetujuan pemerintahan RI daerah Surabaya, di tiang pada
tingkat teratas Hotel Yamato, sisi sebelah utara. keesokan harinya para pemuda Surabaya
melihatnya dan menjadi marah karena mereka menganggap Belanda telah menghina
kedaulatan Indonesia, hendak mengembalikan kekuasaan kembali di Indonesia, dan
melecehkan gerakan pengibaran bendera merah putih yang sedang berlangsung di
Surabaya. Setelah insiden di Hotel Yamato tersebut pada tanggal 27 Oktober 1945
meletuslah pertempuran pertama antara Indonesia melawan tentara Inggris.
serangan-serangan kecil tersebut di kemudian hari berubah menjadi serangan umum yang
banyak memakan korban jiwa di kedua belah pihak Indonesia dan Inggris, sebelum akhirnya
Jenderal D.C. Hawthorn meminta bantuan presiden Soekarno untuk meredakan situasi.
2. PERTEMPURAN LIMA HARI DI SEMARANG

Latar Belakang : Pasca-proklamasi kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945,


masih ada beberapa prajurit Jepang yang belum kembali ke negara asalnya. Beberapa
prajurit Jepang yang belum bisa kembali pun dipekerjakan di pabrik-pabrik atau sektor
lain. Bersamaan dengan hal itu, pasukan Sekutu, termasuk Belanda mulai kembali
datang ke Indonesia. Tujuan kedatangan mereka adalah untuk melucuti senjata dan
memulangkan para mantan tentara Jepang yang masih ada di Indonesia. Tanggal 14
Oktober 1945, para tawanan Jepang yang bekerja di Pabrik Gula Cepiring hendak
dipindahkan ke Bulu. Namun, di tengah jalan, pasukan Jepang melarikan diri dan
bergabung dengan pasukan Kidobutai yang dipimpin oleh Jenderal Nakamura dan
Mayor Kido. Kidobutai adalah prajurit yang ditarik mundur dari medan pertempuran Asia
Pasifik. Mengetahui hal tersebut, rakyat Semarang pun berusaha melawan dan meminta
Jepang untuk menyerahkan senjata mereka. Namun, Mayor Kido menolak untuk
menyerahkan senjata kepada rakyat Semarang. Setelah kaburnya para tawanan Jepang,
masih di hari yang sama, para pemuda memutuskan untuk melakukan perlawanan lebih
lanjut. Mereka berdiskusi di aula RS Purusara yang dijadikan sebagai markas
perjuangan. Para pemuda rumah sakit kemudian mendapat instruksi untuk mencegat
dan memeriksa mobil Jepang yang melintas di depan RS Purusara. Namun, sekitar pukul
18.00, tiba-tiba pasukan Jepang melakukan serangan sekaligus melucuti senjata
delapan anggota polisi istimewa. Saat itu, kedelapan anggota polisi istimewa sedang
menjaga sumber air minum bagi warga Semarang bernama Reservoir Siranda di
Candilama. Setelah para anggota polisi istimewa ini ditawan oleh Jepang, muncul berita
bahwa Jepang telah meracuni Reservoir Siranda. Akhirnya, guna mengusut lebih lanjut,
pimpinan RS Purusara menelepon Kepala Laboratorium Malaria RS Purusara, dr Kariadi,
untuk segera memeriksa Reservoir Siranda. Di tengah perjalanan, tiba-tiba mobil yang
ditumpangi dr Kariadi dicegat oleh pasukan Jepang. Kariadi kemudian ditembak secara
keji oleh mereka.

Pertempuran : Larinya para tawanan Jepang serta meninggalnya dr Kariadi menyulut


kemarahan warga Semarang. Keesokan harinya, tanggal 15 Oktober 1945, Angkatan
Muda Semarang yang didukung Tentara Keamanan Rakyat menyambut kedatangan
2.000 tentara Jepang ke Kota Semarang. Perang pun terjadi di empat titik di Semarang,
yaitu daerah Kintelan, Pandanaran, Jombang, dan Simpang Lima. Pukul 14.00, Mayor
Kido memerintah anak buahnya untuk melancarkan serangan terhadap pasukan
Indonesia. Rakyat Indonesia sendiri juga ikut menyerang Jepang dengan membakar
gudang amunisi mereka. Alhasil, Mayor Kido memerintahkan serangan balik sekitar
pukul 15.00. Mayor Kido membagi pasukannya menjadi dua kelompok, masing-masing
terdiri dari 383 dan 94 orang. Pada pukul 15.00, Mayor Kido mengerahkan semua
anggotanya untuk melakukan serangan di sekitar wilayah di bawah komandonya.
Mengetahui serangan tersebut, Tentara Keamanan Rakyat mengirim bala bantuan ke
Kota Semarang. Pertempuran antara Jepang dan rakyat Indonesia di Semarang pun
terus berlangsung sampai hari telah berganti. Tanggal 16 Oktober 1945, pasukan Jepang
berhasil merebut penjara Bulu sekitar pukul 16.30. Sejak saat itu, anak buah Mayor Kido
semakin menggila dan terus melakukan serangan sampai tanggal 19 Oktober 1945.
Pada tanggal 19 Oktober 1945, sempat terjadi gencatan senjata antara kedua belah
pihak, tetapi hal ini tetap tidak memadamkan situasi yang sedang genting.

Akhir Pertempuran : Pada akhirnya, Pertempuran Lima Hari Semarang berhasil diakhiri
setelah Kasman Singodimedjo dan Mr Sartono yang mewakili Indonesia berunding
dengan Komandan Tentara Jepang Letkol Nomura. Keduanya berunding untuk
mengupayakan gencatan senjata.
3. PERTEMPURAN AMBARAWA

Latar Belakang : Peristiwa Pertempuran Ambarawa dimulai saat terjadi insiden di


Magelang. Pada 20 Oktober 1945, Brigade Artileri dari Divisi India ke-23 atau militer
Inggris mendarat di Semarang yang dipimpin oleh Brigadir Bethell. Oleh pihak Republik
Indonesia, Bethell diperkenankan untuk mengurus pelucutan pasukan Jepang. Ia juga
diperbolehkan untuk melakukan evakuasi 19.000 interniran Sekutu (APW) yang berada di
Kamp Banyu Biru Ambarawa dan Magelang. Tetapi, ternyata mereka diboncengi oleh
orang-orang NICA (Netherland Indies Civil Administration) atau Pemerintahan Sipil
Hindia Belanda. Mereka kemudian mempersenjatai para tawanan Jepang. Pada 26
Oktober 1945, insiden ini pecah di Magelang. Pertempuran pun berlanjut antara Tentara
Keamanan Rakyat (TKR) dengan tentara Inggris. Pertempuran sempat berhenti setelah
kedatangan Presiden Soekarno dan Brigadir Bethell di Magelang pada 2 November
1945. Mereka pun mengadakan perundingan untuk melakukan gencatan senjata.

Puncak Pertempuran : Pada 20 November 1945, di Ambarawa pecah pertempuran


antara TKR di bawah pimpinan Mayor Sumarto dan pasukan Inggris. Pada 21 November
1945, pasukan Inggris yang berada di Magelang ditarik ke Ambarawa dan dilindungi oleh
pesawat-pesawat udara. Pertempuran mulai berkobar pada 22 November 1945, saat
pasukan Inggris melakukan pengeboman terhadap kampung-kampung di sekitar
Ambarawa. Pasukan TKR bersama pasukan pemuda lain yang berasal dari Boyolali,
Salatiga, dan Kartasura membentuk garis pertahanan sepanjang rel kereta api dan
membelah Kota Ambarawa. Dari arah Magelang, pasukan TKR dari Divisi V/Purwokerto
di bawah pimpinan Imam Adrongi melakukan serangan fajar. Serangan ini bertujuan
untuk memukul pasukan Inggris yang berkedudukan di Desa Pingit. Pasukan Imam pun
berhasil menduduki Pingit. Sementara itu, kekuatan di Ambarawa semakin bertambah
dengan datangnya tiga batalyon yang berasal dari Yogyakarta. Mereka adalah Batalyon
10 Divisi X di bawah pimpinan Mayor Soeharto, Batalion 8 di bawah pimpinan Mayor
Sardjono, dan Batalion Sugeng. Meskipun tentara Inggris sudah dikepung, mereka tetap
mencoba menghancurkan kepungan tersebut. Kota Ambarawa dihujani dengan
tembakan meriam. Untuk mencegah jatuhnya korban, TKR diperintahkan untuk mundur
ke Bedono oleh masing-masing komandannya. Bala bantuan dari Resimen 2 dipimpin
M. Sarbini dan Batalyon Polisi Istimewa dipimpin Onie Sastroatmodjo serta Batalyon dari
Yogyakarta berhasil menahan gerakan musuh di Desa Jambu. Di Desa Jambu terjadi
rapat koordinasi dipimpin oleh Kolonel Holland Iskandar. Rapat ini menghasilkan
terbentuknya suatu komando yang disebut Markas Pimpinan Pertempuran bertempat di
Magelang. Pada 26 November 1945, salah satu pimpinan pasukan harus gugur. Ia
adalah Letnan Kolonel Isdiman, pemimpin pasukan asal Purwokerto. Posisinya pun
digantikan oleh Kolonel Soedirman. Sejak saat itu, situasi pertempuran berubah
semakin menguntungkan pihak TKR. Pada 5 Desember 1945, musuh berhasil terusir
dari Desa Banyubiru.

Akhir Pertempuran : Pada 11 Desember 1945, Kolonel Soedirman mengadakan


perundingan dengan mengumpulkan para komandan sektor. Berdasarkan dari laporan
para komandan sektor, Kolonel Soedirman menyimpulkan bahwa posisi musuh sudah
terjepit. Maka perlu segera dilancarkan serangan terakhir, yaitu: Serangan pendadakan
dilakukan serentak dari semua sektor. Tiap-tiap komandan sektor memimpin serangan.
Para pasukan badan-badan perjuangan (laskar) disiapkan sebagai tenaga cadangan.
Serangan akan dimulai pada 12 Desember pukul 04.30. Pada 12 Desember 1945,
pasukan TKR bergerak menuju target masing-masing. Dalam kurun waktu 1,5 jam,
mereka sudah berhasil mengepung kedudukan musuh dalam kota. Kota Ambarawa
dikepung selama empat hari empat malam. Pada 15 Desember 1945, pasukan Inggris
meninggalkan Kota Ambarawa dan mundur ke Semarang.

4. PERTEMPURAN MEDAN AREA

Pertempuran Medan Area merupakan peristiwa sejarah pada era revolusi fisik atau masa
perang mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Ternyata, Sekutu diboncengi
oleh pasukan Belanda yang saat itu memakai nama Netherland Indies Civil Administration
(NICA). Belanda rupanya ingin kembali menguasai wilayah Indonesia yang dulu
beratus-ratus tahun mereka duduki. Rakyat dan kaum pejuang di Sumatera Utara,
khususnya di Medan, tentu tidak tinggal diam melihat gelagat buruk tersebut. Maka,
terjadilah konflik bersenjata yang kemudian dikenal sebagai Pertempuran Medan Area.

Kronologi Peristiwa : Perang Medan Area Sukarno dan Mohammad Hatta atas nama
bangsa Indonesia telah menyatakan proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945 di
Jakarta. Kabar gembira tersebut baru sampai ke rakyat Medan 10 hari berselang atau pada
27 Agustus 1945. Namun, kedatangan pasukan Sekutu yang disertai oleh NICA atau bala
tentara Belanda membuat rakyat dan kaum pejuang di Sumatera Utara merasa terusik.
mengisahkan, di Medan, Belanda mulai menunjukkan pergerakan yang mencurigakan. NICA
mengumpulkan para mantan serdadu Belanda di Medan untuk membentuk kembali
kekuatan militer mereka. Para pemuda di Medan pun segera mengambil sikap. Dimotori
oleh Ahmad Tahir yang pernah bergabung dengan tentara sukarela (giyugun) pada masa
pendudukan Jepang, dibentuklah Barisan Pemuda sebagai tindakan antisipasi. Barisan
Pemuda di Medan punya ciri khas, yakni mengenakan lencana merah-putih. Tanggal 13
Oktober 1945, tentara Belanda menginjak-injak lencana kebanggaan tersebut. Insiden inilah
yang memicu pecahnya perang di Medan. Dalam peristiwa yang disebut Pertempuran
Medan Area itu, pihak republik berhasil melumpuhkan hampir 100 orang serdadu Belanda.
Hal ini membuat militer Belanda murka dan menetapkan sejumlah aturan. Ditegaskan oleh
Belanda bahwa rakyat Indonesia di Medan tidak boleh membawa senjata. Mereka yang
masih membawa senjata diwajibkan menyerahkannya kepada pihak Belanda atau Sekutu.
Tentu saja, rakyat Medan tidak mematuhi aturan tersebut. Petrik Matanasi dalam “Sejarah
Pertempuran Medan Area” menuliskan, tanggal 1 Desember 1945, Sekutu menetapkan
beberapa garis batas di beberapa titik kota Medan. Simbol pembatas ini adalah
papan-papan yang di dalamnya terdapat tulisan Fixed Boundaries Medan Area. Penyebutan
‘Medan Area’ sebagai nama pertempuran ini diklaim berawal dari papan tersebut. Konflik
kian membara. Terjadilah peperangan lagi pada 10 Desember 1945. Pasukan RI di bawah
komando Abdul Karim meladeni tentara Sekutu atau Belanda di Deli Tua. Di Kota Medan,
Sekutu dan NICA melancarkan serangan besar-besaran. Tercatat dalam Sejarah Nasional
Indonesia VI (1984) karya Marwati Djoened Poesponegoro dan kawan-kawan, kaum rakyat
pejuang di Medan meladeni serbuan tersebut. Perang yang terjadi membuat jatuhnya
banyak korban dari kedua belah pihak. Buku Republik Indonesia: Sumatera Utara (1953),
mencatat, kala itu Kota Medan digempur peperangan, situasi kacau-balau, para prajurit
Sekutu melakukan berbagai tindakan keji yang membuat rakyat Medan kian murka.
“Selanjutnya seorang perwira Inggris diculik oleh pemuda, beberapa truk berhasil
dihancurkan. Dengan peristiwa ini TED Kelly kembali mengancam para pemuda [Republik]
agar menyerahkan senjata mereka,” tulis penyusun buku Sejarah Nasional Indonesia VI
(1984) karya Marwati Djoened Poesponegoro. Aksi-aksi bersenjata itu lalu dikenal sebagai
Pertempuran Medan Area. Setelah itu, Medan terbagi dua. Sisi timur yang dekat laut
dikuasai Sekutu, sementara sisi timur yang ke arah pedalaman Sumatra Utara dikuasai
Republik. Jalan kereta api dari Pulo Brayan ke Medan jadi pembatasnya. Pada bulan April
1946, pemerintah RI di dalam kota Medan terus didesak militer-militer asing itu hingga
akhirnya Gubernur Sumatera, Walikota Medan, dan petinggi TKR menyingkir ke Pematang
Siantar. Setelah itu, Medan menjadi salah satu kota penting bagi NICA dan menjadi ibu kota
Negara Sumatera Timur.

Akhir Pertempuran : Medan Area Sekutu dan NICA akhirnya berhasil menduduki Kota
Medan pada April 1946. Pusat perjuangan rakyat Medan pun terpaksa digeser ke Pematang
Siantar. Kendati begitu, masih terjadi perlawanan, termasuk pada 10 Agustus 1946 di Tebing
Tinggi. Para komandan pasukan RI yang berjuang di Medan kemudian bertemu dan
membentuk satuan komando bernama Komando Resimen Laskar Rakyat Medan Area.
Tanggal 19 Agustus 1946, dibentuk Barisan Pemuda Indonesia (BPI) di Kabanjahe. Dikutip
dari artikel "Terbentuknya TKR di Tanah Karo" dalam laman Pemerintah Kabupaten Karo,
BPI menjadi salah satu unsur pembentuk Badan Keselamatan Rakyat (BKR) yang
merupakan cikal-bakal Tentara Nasional Indonesia (TNI). Laskar-laskar rakyat di berbagai
daerah di Sumatera Utara terus melancarkan perlawanan terhadap Sekutu dan NICA
meskipun Kota Medan telah diduduki. Tak hanya di Sumatera Utara, gelora perlawanan juga
terjadi di berbagai daerah lain di Sumatera, seperti Padang, Bukittinggi, Aceh, dan lainnya.

5. PERTEMPURAN BANDUNG LAUTAN API

Peristiwa Bandung Lautan Api terjadi tanggal 23 Maret 1946. Salah satu titik penting dalam
sejarah kemerdekaan Indonesia ini ditandai dengan pengosongan dan pembakaran
Bandung oleh rakyat dan tentara agar tidak dijadikan markas pasukan Sekutu dan NICA
(Belanda). Aksi bumi hangus di Bandung dipandang sebagai taktik yang dirasa paling ideal
dalam situasi saat itu karena kekuatan pasukan Republik Indonesia tidak sebanding dengan
kekuatan Sekutu dan NICA. Bandung Lautan Api menjadi salah satu peristiwa paling heroik
dalam sejarah mempertahankan kemerdekaan Indonesia dan diabadikan dalam berbagai
bentuk karya seni, seperti lagu atau film.

Latar Belakang dan Penyebab : Beberapa pekan setelah Proklamasi Kemerdekaan RI,
pasukan Sekutu yang tergabung dalam AFNEI (Allied Forces Netherlands East Indies)
datang ke Indonesia usai memenangkan Perang Dunia II melawan Jepang. Mohamad Ully
Purwasatria dalam penelitian bertajuk "Peranan Sukanda Bratamanggala dan Sewaka di
Bandung Utara dalam Mempertahankan Kemerdekaan Tahun 1945-1948" (2014),
menyampaikan, awalnya kedatangan mereka hanya untuk membebaskan tentara Sekutu
dari tahanan Jepang. Namun, ternyata Belanda atau NICA membonceng pasukan Sekutu
dan ingin menguasai Indonesia lagi. Bertolaklah perlawanan dari prajurit dan rakyat
Indonesia atas kehadiran Belanda.

Kronologi Peristiwa Bandung Lautan Api : Pasukan Sekutu mulai melancarkan propaganda.
Rakyat Indonesia diperingatkan agar meletakkan senjata dan menyerahkannya kepada
Sekutu. Pihak Indonesia tidak menggubris ultimatum tersebut. Angkatan perang RI
merespons dengan melakukan penyerangan terhadap markas–markas Sekutu di Bandung
bagian utara, termasuk Hotel Homan dan Hotel Preanger yang menjadi markas besar
Sekutu, pada malam tanggal 24 November 1945. Pada 27 November 1945, Kolonel
MacDonald selaku panglima perang Sekutu sekali lagi menyampaikan ultimatum kepada
Gubernur Jawa Barat, Mr. Datuk Djamin, agar rakyat dan tentara segera mengosongkan
wilayah Bandung Utara. Peringatan yang berlaku sampai tanggal 29 November 1945 pukul
12.00 harus dipenuhi. Jika tidak, maka Sekutu akan bertindak keras. Ultimatum kedua itu
pun tidak digubris sama sekali. Beberapa pertempuran terjadi di Bandung Utara. Pos-pos
Sekutu di Bandung menjadi sasaran penyerbuan. Tanggal 17 Maret 1946, Panglima
Tertinggi AFNEI di Jakarta, Letnan Jenderal Montagu Stopford, memperingatkan kepada
Sutan Syahrir selaku Perdana Menteri RI agar militer Indonesia segera meninggalkan
Bandung Selatan sampai radius 11 kilometer dari pusat kota. Hanya pemerintah sipil, polisi,
dan penduduk sipil yang diperbolehkan tinggal. Menindaklanjuti ultimatum tersebut, pada 24
Maret 1946 pukul 10.00, Tentara Republik Indonesia (TRI) di bawah pimpinan Kolonel A.H.
Nasution memutuskan untuk membumihanguskan Bandung. Rakyat mulai diungsikan.
Sebagian besar bergerak dari selatan rel kereta api ke arah selatan sejauh 11 kilometer.
Gelombang pengungsian semakin membesar setelah matahari tenggelam.
Pembumihangusan Bandung pun dimulai. Warga yang hendak meninggalkan rumah
membakarnya terlebih dahulu. Pasukan TRI punya rencana yang lebih besar lagi. TRI
merencanakan pembakaran total pada 24 Maret 1945 pukul 24.00, namun rencana ini tidak
berjalan mulus karena pada pukul 20.00 dinamit pertama telah meledak di Gedung Indische
Restaurant. Lantaran tidak sesuai rencana, pasukan TRI melanjutkan aksinya dengan
meledakkan gedung-gedung dan membakar rumah-rumah warga di Bandung Utara. Malam
itu, Bandung terbakar dan peristiwa itu kemudian dikenal dengan sebutan Bandung Lautan
Api.
6. PERTEMPURAN PUPUTAN MARGARANA

Pertempuran Puputan Margarana merupakan salah satu pertempuran antara Indonesia


dan Belanda dalam masa Perang kemerdekaan Indonesia yang terjadi pada 20
November 1946. Pertempuran ini dipimpin oleh Kepala Divisi Sunda Kecil Kolonel I
Gusti Ngurah Rai. Dimana Pasukan TKR di wilayah ini bertempur dengan habis habisan
untuk mengusir Pasukan Belanda yang kembali datang setelah kekalahan Jepang,
untuk menguasai kembali wilayahnya yang direbut Jepang pada Perang Dunia II,
mengakibatkan gugurnya seluruh pasukan termasuk I Gusti Ngurah Rai yang kemudian
dikenang sebagai salah-satu Puputan pada era awal kemerdekaan serta mengakibatkan
Belanda sukses mendirikan Negara Indonesia Timur.

PERISTIWA : Awal pertempuran Puputan Margarana pada waktu staf MBO berada di
desa Marga, I Gusti Ngurah Rai memerintahkan pasukannya untuk merebut senjata
polisi NICA yang ada di Kota Tabanan. Perintah itu dilaksanakan pada 20 November
1946 (malam hari) dan berhasil baik. Beberapa pucuk senjata beserta pelurunya dapat
direbut dan seorang komandan polisi NICA ikut menggabungkan diri kepada pasukan
Ngurah Rai. Setelah itu pasukan segera kembali ke Desa Marga. Pada 20 November
1946 sejak pagi-pagi buta tentara Belanda mulai mengadakan pengurungan terhadap
Desa Marga. Kurang lebih pukul 10.00 pagi mulailah terjadi tembak-menembak antara
pasukan NICA dengan pasukan Ngurah Rai. Pada pertempuran tersebut pasukan
bagian depan Belanda banyak yang mati tertembak. Oleh karena itu, Belanda segera
mendatangkan bantuan dari semua tentaranya yang berada di Bali ditambah pesawat
pengebom yang didatangkan dari Makassar. Di dalam pertempuran yang sengit itu
semua anggota pasukan Ngurah Rai bertekad tidak akan mundur sampai titik darah
penghabisan. Di sinilah pasukan Ngurah Rai mengadakan "Puputan" atau perang
habis-habisan di Desa Margarana sehingga pasukan yang berjumlah 96 orang itu
semuanya gugur, termasuk Ngurah Rai sendiri. Sebaliknya, di pihak Belanda ada lebih
kurang 400 orang yang tewas. Untuk mengenang peristiwa tersebut pada tanggal 20
November 1946 dikenal dengan perang puputan margarana, dan kini pada bekas arena
pertempuran itu didirikan Tugu Pahlawan Taman Pujaan Bangsa.

Anda mungkin juga menyukai