Anda di halaman 1dari 7

KELOMPOK 1

PERLAWANAN BANGSA INDONESIA MELAWAN SEKUTU

ANGGOTA :

1. AISYAH ZAHRANI
2. ALYA PUTRIANI RAHMAH
3. ARIF QALBANULLAH
4. EKAHIDO SAPATI
5. LA ODIYANTO
6. MUH. FACHRI SYAHRIZAL
7. SITTI ATIFA AMIRUDDIN
Pasca-Perang Dunia Kedua, Jepang mengakui kekalahan dari Sekutu. Oleh karena itu, Sekutu mulai
mengambil alih daerah kekuasaan Jepang. Belanda yang beraliansi dengan tentara Sekutu berusaha
merebut kembali Indonesia. Hal ini dimulai pada 29 September 1945 ketika AFNEI (Allied Forces
Netherland East Indies) mulai mendarat di Tanjung Priok di bawah pimpinan Letjen Sir Philip Christison.
Pasukan Sekutu diboncengi NICA (Netherland Indies Civil Administration) pimpinan Van Der Plass
sebagai wakil Van Mook.

Tujuan kedatangan AFNEI ke Indonesia adalah untuk menerima penyerahan kekuasaan dari tangan
Jepang, melucuti dan memulangkan tentara Jepang, membebaskan tentara Sekutu yang ditawan Jepang,
serta yang terpenting adalah untuk kembali menguasai Indonesia.

Awalnya, kedatangan tentara Sekutu disambut terbuka oleh pihak Indonesia. Namun, setelah diketahui
bahwa pasukan Sekutu tersebut diboncengi NICA yang dengan terang-terangan ingin menegakkan
kembali kekuasaan Hindia-Belanda maka sikap Indonesia pun berubah menjadi curiga dan mulai
memerangi mereka. Peperangan tersebut terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Berikut rangkuman
pertempuran-pertempuran mempertahankan kemerdekaan Indonesia:

A. Pertempuran Ambarawa
Peristiwa Pertempuran Ambarawa dimulai saat terjadi insiden di Magelang. Pada 20 Oktober 1945,
Brigade Artileri dari Divisi India ke-23 atau militer Inggris mendarat di Semarang yang dipimpin oleh
Brigadir Bethell. Oleh pihak Republik Indonesia, Bethell diperkenankan untuk mengurus pelucutan
pasukan Jepang. Ia juga diperbolehkan untuk melakukan evakuasi 19.000 interniran Sekutu (APW) yang
berada di Kamp Banyu Biru Ambarawa dan Magelang. Tetapi, ternyata mereka diboncengi oleh orang-
orang NICA (Netherland Indies Civil Administration) atau Pemerintahan Sipil Hindia Belanda. Mereka
kemudian mempersenjatai para tawanan Jepang. Pada 26 Oktober 1945, insiden ini pecah di Magelang.
Pertempuran pun berlanjut antara Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dengan tentara Inggris. Pertempuran
sempat berhenti setelah kedatangan Presiden Soekarno dan Brigadir Bethell di Magelang pada 2
November 1945. Mereka pun mengadakan perundingan untuk melakukan gencatan senjata.

Melalui perundingan tersebut tercapai sebuah kesepakatan, antara lain:

1. Pihak Inggris akan tetap menempatkan pasukannya di Magelang untuk melakukan kewajibannya
melindungi dan mengurus evakuasi APW.

2. Jalan raya Magelang-Ambarawa terbuka bagi lalu lintas Indonesia dan Inggris.

3. Inggris tidak akan mengakui aktivitas NICA dalam badan-badan yang berada di bawah kekuasaannya.
Sayangnya, pihak Inggris mengingkari perjanjian tersebut. Kesempatan dan kelemahan yang ada dalam
pasal tersebut dipergunakan Inggris untuk menambah jumlah pasukannya yang berada di Magelang.
Pada 11 Desember 1945, Kolonel Soedirman mengadakan perundingan dengan mengumpulkan para
komandan sektor. Berdasarkan dari laporan para komandan sektor, Kolonel Soedirman menyimpulkan
bahwa posisi musuh sudah terjepit. Maka perlu segera dilancarkan serangan terakhir, yaitu:

1. Serangan pendadakan dilakukan serentak dari semua sektor.

2. Tiap-tiap komandan sektor memimpin serangan.

3. Para pasukan badan-badan perjuangan (laskar) disiapkan sebagai tenaga cadangan.

4. Serangan akan dimulai pada 12 Desember pukul 04.30.

Pada 12 Desember 1945, pasukan TKR bergerak menuju target masing-masing. Dalam kurun waktu
1,5 jam, mereka sudah berhasil mengepung kedudukan musuh dalam kota. Kota Ambarawa dikepung
selama empat hari empat malam. Pasukan Inggris yang sudah merasa terdesak berusaha untuk memutus
pertempuran. Pada 15 Desember 1945, pasukan Inggris meninggalkan Kota Ambarawa dan mundur ke
Semarang.

B. Pertempuran Surabaya
Pertempuran Surabaya menjadi pertempuran pertama setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia.
Pertempuran Surabaya terjadi selama tiga minggu, yaitu 27 Oktober – 28 November 1945.

Puncak pertempuran Surabaya terjadi pada 10 November 1945. Pertempuran ini menjadi salah satu
pertempuran terbesar dan terberat dalam sejarah Revolusi Nasional Indonesia yang menjadi simbol
nasional atas perlawanan Indonesia terhadap kolonialisme.

Pada 1 September 1945, pemerintah Indonesia mengeluarkan maklumat bahwa bendera nasional Sang
Saka Merah Putih dikibarkan setiap hari di seluruh wilayah Indonesia. Gerakan pengibaran bendera
semakin meluas hingga ke segenap pelosok Kota Surabaya. Klimaks gerakan pengibaran bendera di
Surabaya terjadi pada insiden perobekan bendera di Hotel Yamato. Sekelompok orang Belanda di bawah
pimpinan Mr. W.V.Ch. Ploegman mengibarkan bendera Belanda (Merah-Putih-Biru), tanpa persetujuan
Pemerintah RI Daerah Surabaya, di Hotel Yamato. Para pemuda Surabaya melihatnya dan menjadi marah
karena mereka menganggap Belanda telah menghina kedaulatan Indonesia, hendak mengembalikan
kekuasaan kembali di Indonesia, dan melecehkan gerakan pengibaran bendera Merah Putih yang sedang
berlangsung di Surabaya.

Tanggal 27 Oktober perwakilan Indonesia melakukan musyawarah dengan pihak Belanda.


Perundingan berakhir meruncing karena salah satu perwakilan Belanda, W.V.Ch. Ploegman
mengeluarkan senjata api hingga akhirnya menimbulkan pertikaian. Ploegman kemudian tewas oleh
salah satu rakyat Surabaya bernama Sidik di depan Hotel Yamato. Diwaktu yang sama terjadi kericuhan
yang menyebabkan warga masuk ke hotel dan berhasil merobek warna biru di bendera Belanda sehingga
tersisa warna merah dan putih saja. Tanggal 29 Oktober Indonesia dan sekutu akhirnya sepakat untuk
melakukan gencatan senjata. Namun, kesepakatan tersebut diingkari, kedua belah pihak kembali bentrok.
Pertikaian yang meletus ini menyebabkan tewasnya salah satu perwira Inggris, yakni Brigadir Jenderal
(Brigjen) Aubertin Mallaby. Setelah Mallaby tewas, AFNEI kemudian menunjuk Jenderal Robert
Mansergh sebagai pemimpin pasukan sekutu di Surabaya. Robert Mansergh mengeluarkan ultimatum
yang menyebutkan bahwa semua pimpinan dan orang Indonesia yang bersenjata harus melapor dan
meletakkan senjatanya di tempat yang ditentukan dan menyerahkan diri dengan mengangkat tangan di
atas. Batas ultimatum adalah jam 6.00 pagi pada tanggal 10 November 1945.

Pada 10 November 1945, pasukan Sekutu menyerang Kota Surabaya dan pejuang Indonesia tak gentar
untuk menghadapinya. Senjata yang digunakan pejuang Indonesia salah satunya adalah bambu runcing.
Tak sedikit pejuang Indonesia yang gugur pada saat itu, mencapai 20.000 orang. Sedangkan pihak Sekutu
kehilangan 1.500 orang. Pertempuran berakhir pada 28 November 1945. Semangat pejuang dalam
mempertahankan kemerdekaan membuat Presiden Soekarni menetapkan 10 November sebagai Hari
Pahlawan melalui Keppres Nomor 316 Tahun 1959 tanggal 16 Desember 1959.

C. Pertempuran Bandung Lautan Api


Awal peristiwa Bandung Lautan Api dimulai ketika pada tanggal 13 Oktober 1945 pasukan Sekutu
diboncengi NICA tiba di kota Bandung. Pasukan Sekutu mulai menduduki kota Bandung dengan alasan
melucuti dan menawan tentara Jepang. Pada 27 November 1945, mereka pun mengeluarkan ultimatum
kepada para pejuang agar meninggalkan area Bandung Utara, namun para pejuang menolak.

Baru setelah pemerintah pusat Jakarta turun tangan Tentara Republik Indonesia (TRI) bersedia
mengosongkan Bandung. Sebelum meninggalkan Bandung, pada tanggal 23-24 Maret 1946 para pejuang
menyerbu pos-pos Sekutu dan membumihanguskan kota Bandung. Peristiwa ini disebut dengan Bandung
Lautan Api.

Penyebab Bandung Lautan Api Sebelum Bandung Lautan Api memuncak, pada 12 Oktober 1945, pasukan
Inggris dari Brigade MacDonald tiba di Bandung. Mereka berniat menguasai Bandung untuk dijadikan markas
strategis militer. Mereka menuntut agar semua senjata api yang dirampas dari tentara Beladna dikembalikan.
Selain itu, tawanan Belanda yang baru saja dibebaskan juga kembali berulah dan melakukan tindakan yang
mengganggu keamanan.

Akibatnya, terjadi bentrokan bersenjata antara pihak Inggris dan tentara Indonesia. Tiga hari setelahnya,
MacDonald memberi ultimatum kepada Gubernur Jawa Barat, agar wilayah Bandung Utara segera
dikosongkan. Setelah ultimatum dikeluarkan, terjadi pertempuran sporadis di berbagai daerah. Sementara itu,
Sekutu yang mulai terdesak kembali mengeluarkan ultimatum kedua agar pasukan Indonesia segera
meninggalkan Bandung, paling lambat pada 24 Maret 1946 pukul 24.00. Mendengar ultimatum tersebut,
tentara Indonesia pun segera mengatur strategi. Karena jumlah tentara pihak Indonesia lebih sedikit dibanding
Sekutu, tentara Indonesia memutuskan untuk merancang operasi "Bumi Hangus".

Kolonel AH Nasution sebagai Komandan Divisi III TRI memerintahkan untuk mengevakuasi warga
menuju tempat yang lebih aman. Setelah penduduk meninggalkan Kota Bandung, operasi bumi hangus pun
segera dilakukan dengan membakar rumah atau gedung di Bandung. Hanya dalam waktu singkat, Kota
Bandung sudah ditelan oleh lautan api. Kondisi ini dimanfaatkan oleh tentara Indonesia untuk menyerang
NICA secara gerilya. Setelah membumihanguskan Kota Bandung, TRI segera hengkang dari kota tersebut.
D. Pertempuran Medan Area
Kedatangan Sekutu pada 9 Oktober 1945, di bawah kempimpinan Brigadir Jenderal TED Kelly,
awalnya disambut baik oleh warga Indonesia. Namun, di balik kedatangan Sekutu ini ternyata mereka
berniat untuk merebut kembali pemerintahan Indonesia. Dalih kedatangan Sekutu di Medan ialah untuk
tugas kemanusiaan, yakni membebaskan para tentara Belanda yang menjadi tawanan perang.
Kedatangannya disambut baik oleh warga Indonesia, saat itu.

Setelah mengetahui jika Sekutu datang dengan diboncengi NICA, warga Indonesia menjadi curiga dan
memusuhi pihak Sekutu. Tidak hanya itu, setelah para tawanan dibebaskan, Inggris justru mempersenjatai
mereka. Para tawanan yang dibebaskan tersebut menjadi arogan serta bersikap semena-mena terhadap
masyarakat Indonesia. Terlebih lagi, tujuan mereka telah berubah, yakni untuk merebut kembali
Pemerintahan Indonesia.

Mengutip dari situs Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), pada 13 Oktober 1945,
pertempuran antara warga Indonesia dengan Sekutu tidak dapat dihindarkan. Pertempuran ini
mengakibatkan 99 prajurit KNIL luka-luka. Pada 14 Oktober 1945, seorang penghuni hotel di Jalan Bali,
Medan, telah mencabut secara paksa dan menginjak-injak lencana Merah Putih yang digunakan oleh
seorang pemuda Indonesia. Hal ini kian membuat masyarakat naik pitam atas perbuatan Sekutu dan
NICA. Sikap semena-mena Sekutu dan NICA semakin terlihat saat pinggiran Kota Medan diberi papan
pembatas dengan tulisan "Fixed Boundaries Medan Area" atau Batas Resmi Medan Area, pada 1
Desember 1945. Selain itu, Sekutu dan NICA juga mengeluarkan ultimatum yang berisikan perintah
larangan rakyat Indonesia membawa senjata, yang mana harus diserahkan kepada pihak Sekutu.

Maka jika disimpulkan, ada empat faktor penyebab meletusnya Pertempuran Medan Area, yakni:

Sikap arogansi dan sewenang-wenang dari para tawanan perang yang telah dibebaskan. Aksi seorang
penghuni hotel yang telah merebut secara paksa dan menginjak-injak lencana Merah Putih. Area Kota
Medan dipasangi papan pembatas "Fixed Boundaries Medan Area". Sekutu mengultimatum rakyat
Indonesia untuk menyerahkan senjatanya kepada mereka. Pada 10 Desember 1945, Sekutu dan NICA
menyerang Kota Medan. Akibatnya banyak korban jiwa dari pihak Sekutu dan Indonesia berjatuhan.
Pertempuran ini terus berlangsung, hingga April 1946, Sekutu menguasai Kota Medan. Namun, warga
Indonesia tidak tinggal diam, mereka membentuk Komando Resimen Laskar Rakyat Medan Area untuk
menyerang Sekutu

E. Pertempuran Puputan Margarana


Perang Puputan Margarana di Bali disebabkan oleh hasil Perjanjian Linggarjati antara Belanda dan
Indonesia. Dalam Perjanjian Linggarjati, salah satu isinya menyebutkan bahwa pengakuan Belanda secara
de facto atas eksistensi Negara Republik Indonesia hanya meliputi Sumatera, Jawa, dan Madura. Setelah
Perjanjian Linggarjati disepakati, maka pasukan Belanda harus meninggalkan daerah de facto itu paling
lambat 1 Januari 1946. Itu artinya, Perjanjian Linggarjati tidak memasukan Bali sebagai bagian dari
Republik Indonesia yang membuat rakyat Bali kecewa dan kemudian memicu perlawanan. Selain akibat
dari Perjanjian Linggarjati, Perang Puputan Margarana juga dipicu oleh penolakan Letkol I Gusti Ngurah
Rai yang saat itu menjadi Kepala Divisi Sunda Kecil terhadap Belanda untuk mendirikan Negara
Indonesia Timur (NIT). Kedatangan pasukan Belanda di Bali dengan tujuan ingin menyatukan Bali
dengan wilayah Negara Indonesia Timur (NIT) lainnya turut menjadi alasan munculnya perlawanan.

Pasca Perjanjian Linggarjati ditandatangani kedua belah pihak pada tanggal 25 Maret 1947, Belanda
memulai usahanya untuk mendirikan Negara Indonesia Timur (NIT). I Gusti Ngurah Rai kemudian
berangkat ke Yogyakarta yang kemudian menunjuknya sebagai Komandan Resimen Sunda Kecil dengan
pangkat Letnan Kolonel. Letkol I Gusti Ngurah Rai yang berangkat ke Yogyakarta untuk melakukan
konsultasi dengan markas besar TRI menolak untuk bekerja sama membentuk NIT.

Diketahui selepas proklamasi kemerdekaan, Letkol I Gusti Ngurah Rai dan rekan-rekannya membentuk
Tentara Keamanan Rakyat (TKR) Sunda Kecil dimana I Gusti Ngurah Rai menjadi komandannya. Di
bawah I Gusti Ngurah Rai, TKR Sunda Kecil memiliki kekuatan 13,5 kompi yang tersebar di seluruh kota
di Bali dan dikenal dengan sebutan Ciung Wanara. I Gusti Ngurah Rai bersama pasukannya kemudian
bertekad melakukan perlawanan terhadap Belanda.

Pada 18 November 1946, markas pertahanan atau militer Belanda di Tabanan, Bali diserang secara
habis-habisan. Hal ini membuat Belanda murka dan mengerahkan seluruh kekuatannya untuk mengepung
Bali, khususnya Tabanan. Belanda mengirimkan pasukan 'Gajah Merah', 'Anjing Hitam', 'Singa', 'Polisi
Negara', 'Polisi Perintis dan tiga pesawat pemburu miliknya. Pasukan yang dikirim Belanda tersebut
mulai melakukan serangan pada 20 November 1946 pukul 05.30 WITA, dengan menembaki area pasukan
warga Bali. Kekuatan persenjataan yang dimiliki pasukan tersebut tergolong minim, sehingga mereka
belum bisa melakukan aksi serangan balasan kepada pasukan Belanda. Sekitar pukul 09.00 WITA,
pasukan Belanda yang kira-kira berjumlah 20 orang mulai mendekat dari arah barat laut, dan Beberapa
saat kemudian terdengarlah suara tembakan. Sebanyak 17 orang pasukan Belanda ditembak mati oleh
pasukan Ciung Wanara yang dipimpin oleh I Gusti Ngurah Rai. Setelah mengetahui jika pasukannya
mati, Belanda melakukan aksi serangan dari berbagai arah.

Namun, upayanya ini beberapa kali mengalami kegagalan karena pasukan Ciung Wanara berhasil
melakukan aksi serangan balik. Tidak hanya itu, Belanda juga sempat menghentikan aksi serangannya
selama satu jam. Beberapa saat kemudian, Belanda kembali menyerang dengan mengirimkan banyak
pasukan serta pesawat terbang pengintai, kira-kira pukul 11.30 WITA. Serangan ini kembali berhasil
dihentikan oleh pasukan Ciung Wanara. Akhirnya Belanda dan pasukannya mundur sejauh 500 meter ke
belakang untuk menghindari pertempuran. Kesempatan ini digunakan oleh I Gusti Ngurah Rai dan
pasukannya untuk meloloskan diri dari kepungan musuh. Dalam perjalannya meloloskan diri, tiba-tiba
Belanda mengirimkan pesawat terbang untuk memburu I Gusti Ngurah Rai bersama pasukannya. Untuk
terakhir kalinya I Gusti Ngurah Rai menyerukan "Puputan!', yang berarti habis-habisan. I Gusti Ngurah
Rai bersama pasukannya bertempur melawan Belanda hingga titik darah penghabisan.
Dikutip dari situs Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), I Gusti Ngurah Rai dan 1372
pejuang Dewan Perjuangan Republik Indonesia Sunda Kecil gugur dalam Puputan Margarana. Dampak
Puputan Margarana Akibat kekalahan pasukan I Gusti Ngurah Rai pada Puputan Margarana, Belanda
semakin mudah dalam meaksanakan tugasnya untuk mendirikan Negara Indonesia Timur (NIT). Dalam
peristiwa heroik itu, I Gusti Ngurah Rai dan 69 anggota pasukannya gugur akibat serangan tentara
Belanda. Sedangkan di kubu lawan, sekitar 400 orang tewas dalam peperangan itu. Namun rakyat tidak
berhenti berjuang karena usaha Belanda kembali gagal setelah Indonesia kembali menjadi negara
kesatuan pada 1950.

Hal ini karena pada 8 Maret 1950 pemerintah RIS dengan persetujuan DPR dan Senat RIS
mengeluarkan Undang-undang Darurat No. 11 Tahun 1950 tentang Tata Cara Perubahan Susunan
Kenegaraan RIS. Dengan undang-undang tersebut, maka negara-negara bagian atau daerah otonom
seperti Jawa Timur, Jawa Tengah dan Madura bergabung dengan RI di Yogayakarta. Setelah itu semakin
banyak negara-negara bagian atau daerah yang bergabung dengan RI, maka sejak 22 April 1950, negara
RIS hanya tinggal tiga yaitu Republik Indonesia, Negara Sumatera Timur dan Negara Indonesia Timur.
Semenjak itu setiap tanggal 20 November, masyarakat Bali akan memperingati Hari Puputan Margarana
dan mengenang jasa-jasa pahlawan yang telah gugur membela bangsa dan negaranya.

Anda mungkin juga menyukai