Anda di halaman 1dari 6

BANDUNG LAUTAN API

Bandung Lautan Api merupakan peristiwa heroik yang terjadi dalam awal perjuangan
kemerdekaan. Bandung Lautan Api merupakan manifestasi dari api dan semangat jiwa
kepahlawanan dalam membela hak suatu bangsa.
Setelah Jepang menyerah pada sekutu pada tanggal 14 Agustus 1945, sekutu kemudian
memerintahkan Jepang untuk melaksanakan status quo, yaitu menjaga situasi dan kondisi
sebagaimana adanya pada saat itu sampai kedatangan tentara sekutu ke Indonesia. Pihak
sekutu memutuskan bahwa pasukan-pasukan Amerika Serikat akan memusatkan perhatian
pada pulau-pulau di Jepang, sedangkan tanggung jawab terhadap Indonesia dipindahkan
dari SWPC (South West Pasific Command) di bawah komando Amerika Serikat kepada SEAC
(South East Asia Command) di bawah komando Inggris yang dipimpin Laksamana Lord Louis
Mountbatten. Sebelum kedatangan tentara sekutu ke Indonesia, pada tanggal 8 September
Laksamana L.L. Mountbatten mengutus tujuh perwira Inggris di bawah pimpinan Mayor A.G.
Greenhalgh ke Indonesia. Tugasnya adalah mempelajari serta melaporkan keadaan di
Indonesia menjelang pendaratan pasukan sekutu.

Pada tanggal 16 September 1945 rombongan perwakilan sekutu berlabuh di Tanjung Priok.
Rombongan ini dipimpin oleh Laksamana Muda W.R. Patterson. Dalam rombongan ini ikut
pula C.H.O. Van der Plas yang mewakili pimpinan NICA yaitu Dr. H. J. Van Mook. Setelah itu
pada tanggal 29 September 1945 tibalah pasukan SEAC di Tanjung Priok, Jakarta di bawah
pimpinan Letjend Sir Philip Christison. Pasukan ini bernaung di bawah bendera AFNEI (Allied
Forces Netherlands East Indies). Pasukan AFNEI dipusatkan di Barat Indonesia terutama
wilayah Sumatera dan Jawa, sedangkan daerah Indonesia lainnya, terutama wilayah Timur
diserahkan kepada angkatan perang Australia.
Kedatangan sekutu ke Indonesia semula mendapatkan sambutan hangat dari rakyat
Indonesia, seperti kedatangan Jepang dulu. Akan tetapi setelah diketahui mereka datang
disertai orang-orang NICA (Netherlands Indies Civil Administration), sikap rakyat Indonesia
berubah menjadi penuh kecurigaan dan bahkan akhirnya bermusuhan. Bangsa Indonesia
mengetahui bahwa NICA berniat menegakkan kembali kekuasaannya. Situasi berubah
memburuk tatkala NICA mempersenjatai kembali bekas anggota KNIL (Koninklijk Nederlands
Indies Legger). Satuan-satuan KNIL yang telah dibebaskan Jepang kemudian bergabung
dengan tentara NICA. Di berbagai daerah, NICA dan KNIL yang didukung Inggris melancarkan
provokasi dan melakukan teror terhadap para pemimpin nasional.

Untuk meredakan ketegangan tersebut, pada tanggal 1 Oktober 1945 panglima AFNEI
menyatakan pemberlakuan pemerintahan Republik Indonesia yang ada di daerah-daerah
sebagai kekuasaan de facto. Karena pernyataan tersebut pemerintah RI menerima pasukan
AFNEI dengan tangan terbuka, bahkan pemerintah RI memerintahkan pejabat daerah untuk
membantu tugas-tugas AFNEI.

Pada kenyataannya kedatangan pihak sekutu selalu menimbulkan insiden di beberapa


daerah. Tentara sekutu sering menunjukkan sikap tidak menghormati kedaulatan bangsa
Indonesia. Lebih dari itu, tampak jelas bahwa NICA ingin mengambil alih kembali kekuasaan
di Indonesia. Hal ini membuktikan bahwa AFNEI telah menyimpang dari misi awalnya.
Pada awalnya tanggal 15 Oktober 1945 pasukan sekutu mendarat di Bandung. Pada waktu
itu para pejuang Bandung sedang gencar-gencarnya merebut senjata dan kekuasaan dari
tangan Jepang. Oleh sekutu agar semua senjata pihak Indonesia hasil pelucutan Jepang
diserahkan mereka. Menurut mereka, yang dibenarkan memakai atau memiliki hanyalah
polisi dan tentara. Jika selain polisi dan tentara masih ada yang memegang senjata, maka
keamanan umum tidak dapat terjamin.
Itu pulalah alasan pihak Inggris mengapa mereka meminta kepada pihak Republik Indonesia
agar polisi Indonesia mengumpulkan senjata-senjata itu untuk kemudian diserahkan kepada
pihak Inggris. Jika pihak Indonesia memerlukan pertolongan untuk melakukan itu, maka
pihak Inggris akan memberikan bantuan tenaga militernya. Jika rumah-rumah yang didiami
oleh orang-orang Belanda atau Indobelanda diduga menyimpan atau memiliki senjata, maka
akan dilakukan penggeledahan penggeledahan dan pelaksanaannya harus dilakukan oleh
kedua belah pihak, yakni oleh polisi militer Inggris bersama-sama dengan polisi Indonesia.
Hal ini ditegaskan melalui ultimatum yang dikeluarkan pihak sekutu. Isi ultimatum tersebut
adalah agar senjata hasil peluncuran Jepang segera diserahkan pada sekutu dan penduduk
Indonesia segera mengosongkan kota Bandung paling lambat tanggal 29 November 1945
dengan alasan untuk keamanan rakyat.
Orang-orang Belanda yang baru dibebaskan dari kamp tawanan mulai melakukan tindakan-
tindakan yang mulai mengganggu keamanan. Akibatnya, bentrokan bersenjata antara Inggris
dan TKR tidak dapat dihindari. Malam tanggal 21 November 1945, TKR dan badan-badan
perjuangan melancarkan serangan terhadap kedudukan kedudukan Inggris di bagian Utara,
termasuk hotel Homan dan hotel Preanger yang mereka gunakan sebagai markas.

Tiga hari kemudian, Mac Donald menyampaikan ultimatum kepada gubernur Jawa Barat
agar Bandung Utara dikosongkan oleh penduduk Indonesia, termasuk pasukan bersenjata.
Tentara sekutu memberikan ultimatum pertama dengan alasan untuk menjaga keamanan,
mereka menuntut agar kota Bandung bagian Utara dikosongkan oleh pihak Indonesia
selambat-lambatnya pada 29 November 1945. Ancaman-ancaman seperti itu semakin
membuat pejuang Indonesia yang ada di daerah Bandung merasa kesal. Pihak sekutu
membatasi wilayah di tanah yang jelas-jelas bukan milik mereka dan memerintahkan warga
Bandung mengosongkan wilayah Bandung.
Batas kota bagian utara dan selatan yang harus dikosongkan adalah rel kereta api yang
melintasi kota Bandung. Para pejuang Republik Indonesia tidak mau mengindahkan
ultimatum sekutu tersebut. Sejak saat itu, sering terjadi insiden antara pasukan sekutu dan
pejuang Republik. Insiden tersebut seperti sebuah rangkaian peristiwa pertempuran
Bandung lautan api yang jauh lebih dahsyat. Beberapa hari sebelumnya, tepatnya pada 25
November 1945, rakyat Bandung ditimpa musibah, yakni banjir besar akibat meluapnya
sungai Cikapundung. Bencana alam tersebut menelan ratusan korban yang dihanyutkan
derasnya arus sungai. Ribuan penduduk Bandung juga kehilangan tempat tinggal. Keadaan
tersebut justru dimanfaatkan tentara sekutu dan Belanda atau NICA (Netherland Indies Civil
Administration). Mereka menyerang warga Bandung yang sedang tertimpa musibah. Pada 5
Desember 1945, pesawat-pesawat tempur Inggris mengebom daerah Lengkong besar.
Dengan segala kelebihan yang dimiliki oleh para tentara sekutu, persenjataan lengkap,
semuanya serba terbaru, mereka menyerang warga Bandung yang saat itu tengah dilanda
musibah banjir.
Tentara sekutu mengeluarkan ultimatum kedua pada 23 Maret 1946. Kali ini, mereka
menuntut Tentara Republik Indonesia (TRI) mengosongkan seluruh kota Bandung.
Pemerintah Republik Indonesia memerintahkan agar TRI mengosongkan kota Bandung.
Menteri keamanan rakyat Mr. Amir Sjarifuddin tiba di Bandung dengan perintah kepada TRI
untuk mengundurkan diri dari kota Bandung. Sementara itu, dari markas TRI di Yogyakarta
datang perintah yang berbeda. Tentara Republik Indonesia diinstruksikan untuk tidak
meninggalkan kota Bandung. Dalam menyikapi dua perintah dari pemerintah pusat, sikap
para pejuang terbelah. Meski begitu, tujuan mereka sama yakni menolak keras upaya
tentara sekutu menguasai Bandung. Karena menghadapi dua perintah yang berbeda ini,
akhirnya pada 24 Maret 1946 pukul 10.00 WIB, para petinggi TRI mengadakan rapat untuk
menyikapi perintah PM Sjahrir di markas divisi III TKR.

Rapat pun berlangsung sangat alot dan panas. Berbagai usulan perlawanan disampaikan
hampir seluruh peserta rapat. Salah satu usul adalah meledakkan terowongan sungai
Citarum di Rajamandala sehingga airnya merendam Bandung. Usul tersebut disampaikan
oleh Rukana. Namun sampai emosinya, Rukana menyebut usulnya agar Bandung menjadi
“lautan api”, padahal maksudnya adalah “lautan air” diduga, dari rapat inilah muncul istilah
Bandung lautan api.
Usul lain juga muncul dari tokoh Angkatan Muda Pos Telegrap dan Telepon (AMPTT),
Soetoko, yang tidak setuju jika hanya TRI saja yang meninggalkan Bandung. Menurutnya,
rakyat harus bersama dengan TKR mengosongkan kota Bandung. Komandan divisi III Kolonel
Nasution sangat kesulitan untuk menentukan sikap karena dihadapkan pada pertimbangan
kekuatan yang tidak seimbang saat itu yaitu sekutu dengan kekuatan divisi India 12.000
orang dengan persenjataan lengkap, dan ditunjang dengan kendaraan tempur (tank) serta
meriam-meriam yang berbanjar dan juga truk di Jl. Sumatera dengan garis demarkasi yang
sudah siap apabila TRI menyerang. Sedangkan kekuatan TRI hanya 4 batalyon dengan 100
pucuk senjata senapan. Sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam militer di Bandung,
Kolonel Abdul Haris Nasution akhirnya memutuskan untuk mentaati keputusan pemerintah
RI.

Walau dengan berat hati, TRI di Bandung akhirnya mematuhi perintah dari Jakarta. Akan
tetapi, sebelum meninggalkan kota Bandung, para pejuang Republik melancarkan serangan
ke arah kedudukan-kedudukan tentara sekutu. Hal tersebut bukan lantas menghentikan
perjuangan warga Bandung untuk mempertahankan wilayahnya. Membela dengan cara lain
pun dilakukan, pertempuran Bandung lautan api menjadi salah satu cara peristiwa dari cara
yang dipilih. Selain itu, kepada pemerintah kota Bandung dikirimkan pesan oleh kolonel
Nasution agar belum pukul 22.00 sudah harus meninggalkan kota, sebab seluruh kota akan
dihancurkan.
Masyarakat betul-betul terkejut menerima keputusan ini, lebih-lebih sesudah pidato
Walikota Bandung Sjamsurizal yang menyatakan bahwa pemerintah sipil akan rakyat pun
tetap tenang dan tidak meninggalkan kota. Akan tetapi rakyat ternyata menerima keputusan
mengungsi itu dengan penuh ketabahan dan penuh pengertian.
Dapat pula dibayangkan betapa kalutnya Walikota Bandung, segera Sjamsurizal berusaha
untuk menjumpai Kolonel Nasution guna merundingkan tindakan-tindakan selanjutnya.
Akan tetapi Kolonel Nasution tidak dapat dijumpainya karena kesibukannya di luar pos
komando.
Perintah pengosongan kota Bandung sebelum jam 22.00 dari komandan divisi III itu
menyebabkan seluruh instansi-instansi yang dan jawatan-jawatan pemerintah di kota
Bandung sibuk mempersiapkan pengungsian ke luar kota. Pada mulanya memang tidak
sedikit penduduk yang menolak untuk meninggalkan kota Bandung, akan tetapi akhirnya
mereka menyadari betapa pentingnya untuk meninggalkan kota yang mereka cintai itu
dengan tekad suatu ketika akan kembali lagi ke Bandung dengan membawa panji-panji
kemenangan. Memang, tidak ada perjuangan tanpa pengorbanan. Para pengungsi
berbondong-bondong menuju ke arah selatan.

Ultimatum tentara sekutu agar tentara Republik Indonesia (TRI, sebutan bagi TNI pada saat
itu) meninggalkan kota Bandung mendorong TRI untuk melakukan operasi “bumi hangus”.
Para pejuang pihak Republik Indonesia tidak rela bila kota Bandung dimanfaatkan oleh pihak
sekutu dan NICA. Keputusan untuk membumihanguskan Bandung diambil melalui
musyawarah Madjelis Persatoean Perjuangan Priangan (MP3) di hadapan semua kekuatan
perjuangan pihak Republik Indonesia, pada tanggal 23 Maret 1946. Kolonel Abdoel Haris
Nasoetion selaku komandan divisi III TRI mengumumkan hasil musyawarah tersebut dan
memerintahkan evakuasi kota Bandung. Hari itu juga, rombongan besar penduduk Bandung
mengalir panjang meninggalkan kota Bandung dan malam itu pembakaran kota berlangsung.
Selain menyerang kedudukan tentara sekutu, para pejuang juga membumihanguskan kota
Bandung bagian Selatan, pembumihangusan kota Bandung diputuskan melalui musyawarah
Majelis Persatuan Perjuangan Priangan (MP3) pada 24 Maret 1946. Keputusan musyawarah
tersebut diumumkan oleh Kolonel Abdoel Haris Nasoetion selaku panglima divisi III dan
meminta rakyat untuk meninggalkan kota.
Peristiwa Bandung lautan api dilakukan dengan banyak pertimbangan, mengingat akibat
yang akan dirasakan oleh warganya. Bersama rakyat, TRI sengaja membakar kota mereka.
Udara kota Bandung yang biasanya sejuk dipenuhi asap hitam yang membumbung tinggi dan
listrik di kota Bandung juga mati.
Bandung sengaja dibakar oleh TRI dan rakyat setempat dengan maksud agar sekutu tidak
dapat menggunakan Bandung sebagai markas strategis militer. Di mana-mana asap hitam
mengepul membumbung tinggi di udara dan semua listrik mati. Tentara Inggris mulai
menyerang sehingga pertempuran sengit terjadi. Pasukan sekutu pun mulai menyerang yang
mengakibatkan pertempuran sengit karena para pejuang memberikan perlawanan hebat. Di
desa Dayeuhkolot, sebelah Selatan Bandung, pertempuran paling dahsyat terjadi karena
terdapat gudang mesiu yang dikuasai sekutu. Para pejuang bermaksud menghancurkan
gedung mesiu tersebut. Dua orang pemuda, Muhammad Toha dan Muhammad Ramdan
diperintahkan untuk meledakkan gedung mesiu di Dayeuhkolot dan berhasil meledakkannya
dengan menggunakan granat tangan. Dalam peristiwa tersebut Muhammad Toha dan
Muhammad Ramdan gugur karena ikut terbakar bersama gudang mesiu yang mereka
ledakkan.
Staf pemerintahan kota Bandung pada mulainya akan tetap tinggal di dalam kota, tetapi
demi keselamatan mereka, maka pada pukul 21.00 itu juga ikut dalam rombongan yang
mengevakuasi dari Bandung. Sejak saat itu, kurang lebih pukul 24.00 Bandung Selatan telah
kosong dari penduduk dan TRI. Tetapi api masih membumbung membakar kota, sehingga
Bandung pun menjadi lautan api. Dalam waktu kira-kira tujuh jam sekitar, 200 ribu
penduduk Bandung membakar rumah mereka dan meninggalkan kota menuju pegunungan
di daerah Selatan Bandung. Di mana-mana asap hitam mengepul membumbung tinggi di
udara dan juga semua listrik saat itu mati. Tentara sekutu mulai menyerang dan karena hal
tersebut para pejuang Republik memberikan perlawanan hebat, maka pertempuran sengit
pun terjadi.
Di desa Dayeuhkolot, tepatnya sebelah Selatan Bandung, pertempuran paling dahsyat
terjadi, di sana terdapat gedung mesiu yang dikuasai oleh sekutu. Muhammad Toha dan
Ramdan yaitu dua anggota milisi BRI (Barisan Rakyat Indonesia) diutus untuk terjun langsung
dalam misi meledakkan gedung mesiu di Dayeuhkolot tersebut. Mereka meledakkan gudang
mesiu dengan dinamit berupa granat tangan.

Gudang besar itu berhasil diledakkan dan dibakar, akan tetapi Muhammad Toha dan
Ramdan gugur dalam misinya menghancurkan gudang mesiu. Pembumihangusan Bandung
tersebut dianggap merupakan strategi yang tepat dalam perang kemerdekaan Indonesia
karena kekuatan TRI dan milisi rakyat tidak sebanding dengan kekuatan pihak sekutu dan
NICA yang berjumlah besar. Setelah peristiwa tersebut, TRI bersama milisi rakyat melakukan
perlawanan secara gerilya dari luar Bandung. Peristiwa ini mengilhami lagu Halo, Halo
Bandung yang nama penciptanya masih menjadi bahan perdebatan. Beberapa tahun
kemudian, lagu Halo, Halo Bandung secara resmi ditulis, menjadi kenangan akan emosi yang
para pejuang kemerdekaan Republik Indonesia alami saat itu, menunggu untuk kembali ke
kota tercinta mereka yang telah menjadi lautan api.
Istilah Bandung lautan api menjadi istilah yang terkenal setelah peristiwa pembumihangusan
tersebut. Jenderal A.H. Nasution adalah jenderal TRI yang dalam pertemuan di Regentsweg
(sekarang jalan Dewi Sartika), setelah kembali dari pertemuannya dengan Sutan Sjahrir di
Jakarta, memutuskan strategi yang akan dilakukan terhadap kota Bandung setelah menerima
ultimatum Inggris tersebut.
Istilah Bandung lautan api muncul pula di harian suara merdeka tanggal 26 Maret 1946.
Seorang wartawan muda saat itu, yaitu Atje Bastaman, menyaksikan pemandangan
pembakaran Bandung dari bukit Gunung Leutik di sekitar Pameungpeuk, Garut. Dari puncak
itu Atje Bastaman melihat Bandung yang memerah dari Cicadas sampai dengan Cimindi.
Setelah tiba di Tasikmalaya, Atje Bastaman dengan bersemangat segera menulis berita dan
memberi judul “Bandoeng Djadi Laoetan Api”. Namun karena kurangnya ruang untuk tulisan
judulnya, maka judul berita diperpendek menjadi “Bandoeng Laoetan Api”.
Monumen Bandung lautan api, merupakan monumen yang menjadi markah tanah Bandung.
Monumen ini setinggi 45 meter, memiliki sisi sebanyak sembilan bidang. Monumen ini
dibangun untuk memperingati peristiwa Bandung lautan api, di mana terjadi
pembumihangusan Bandung Selatan yang dipimpin oleh Muhammad Toha. Monumen ini
berada di tengah-tengah kota yaitu terletak di kawasan lapangan Tegallega. Monumen ini
menjadi salah satu monumen terkenal di Bandung. Monumen ini menjadi pusat perhatian
setiap tanggal 23 Maret mengenang peristiwa Bandung lautan Api.

Anda mungkin juga menyukai