TA 2022/2023 PERJUANGAN FISIK MEMPERTAHANKAN KEMERDEKAAN
1. Pertempuran 10 November di Surabaya
Pertempuran di Surabaya diawali dengan pendaratan pasukan Sekutu dibawah pimpinan Brigjen A.W.S. Mallaby pada tanggal 25 Oktober 1945. Pada tanggal 27 Oktober, mereka menyerbu penjara dan membebaskan perwira-perwira Sekutu yang sebelumnya ditawan oleh pejuang-pejuang republik. Pembebasan tanpa izin pemerintah RI telah menimbulkan kemarahan rakyat setempat, sehingga mereka secara serentak mengadakan serangan terhadap Sekutu. Dalam suatu pertempuran, Mallaby terbunuh. Hal ini menimbulkan kemarahan Sekutu, sehingga komandan pasukan Sekutu di Jawa Timur, Mayjend R. Mansergh mengeluarkan ultimatum. Ultimatum tersebut berisi : a. Semua pemimpin Indonesia termasuk pemimpin pergerakan, pemuda, polisi, dan petugas radio harus melapor kepada Inggris dalam batas waktu sampai pukul 18.00 pada tanggal 9 November 1945; b. Mereka harus berbaris satu-persatu dengan membawa senjata yang dimilikinya; c. Setelah meletakkan senjata, mereka harus berjalan dengan tangan di atas kepala menuju pos yang telah ditentukan; d. Jika ultimatum ini tidak ditaati, Inggris akan menghancurkan seluruh kota Surabaya. Ultimatum tersebut tidak digubris oleh rakyat Surabaya yang didukung juga oleh gubernurnya R. Soerjo. Semangat untuk membela dan mempertahankan kemerdekaan telah mendorong rakyat rela berkorban. Bung Tomo salah seorang pimpinan para pejuang selalu membangkitkan semangat perjuangan melalui radio agar rakyat Surabaya tidak menghiraukan ultimatum Inggris. Akhirnya, pasukan Inggris dan Belanda menggempur Surabaya dari segala jurusan dengan persenjatan berat dan lengkap pada tanggal 10 November 1945. Penduduk Surabaya bertempur mati-matian sehingga banyak korban yang tewas. Pertempuran di Surabaya bagi pasukan Inggris sendiri merupakan perang terbesar yang dialaminya setelah Perang Dunia II, sehingga mereka menyebutnya “neraka”. Peristiwa tanggal 10 November tersebut kemudian diperingati sebagaiHari Pahlawan. 2. Bandung Lautan Api (23 Maret 1946) Pada bulan Oktober 1945, Tentara Republik Indonesia (TRI) dan pemuda serta rakyat sedang berjuang melawan tentara Jepang untuk merebut senjata dari tangan Jepang. Pada saat itu, pasukan AFNEI sudah memasuki kota Bandung. Pasukan AFNEI menuntut pasukan Indonesia untuk menyerahkan senjata. Disamping itu, TRI harus mengosongkan kotra Bandung bagian utara paling lambat tanggal 29 Oktober 1945. Tuntutan dari AFNEI tersebut tidak diindahkan oleh TRI maupun rakyat Bandung. Dipimpin oleh Arudji Kartawinata, TRI dan pemuda Bandung melakukan serangan terhadap kedudukan AFNEI. Pertempuran itu berlanjut hingga memasuki tahun 1946. Pada tanggal 23 maret 1946, AFNEI kembali mengeluarkan ultimatum supaya TRI meninggalkan kota Bandung. Ultimatum itu diperkuat dengan adanya perintah dari pemerintah pusat Jakarta supaya TRI meninggalkan Bandung. Pemerintah dari pusat tersebut memang bertentangan dengan instruksi dari markas TRI di Yogyakarta. Sebelum meninggalkan Bandung, TRI mengadakan perlawanan dengan cara membumihanguskan kota Bandung bagian selatan. Tindakan itu membawa akibat fatal bagi pasukan AFNEI, karena mengalami kesulitan akomodasi dan logistik di kota Bandung. Tindakan membumihanguskan kota dikenal dengan Bandung Lautan Api.
3. Peristiwa Palagan Ambarawa (21 November – 15 Desember 1945)
Pertempuran di Ambarawa terjadi pada tanggal 21 November 1945 dan berakhir tanggal 15 Desember 1945, antara pasukan TKR dan laskar pemuda melawan pasukan Inggris. Peristiwa tersebut dilatar-belakangi sebuah insiden di Magelang sesudah mendaratnya Brigade Artileri dari Divisi India ke-23 di Semarang. Pihak RI memperkenankan mereka untuk mengurus tawanan perang yang berada di penjara Ambarawa dan Magelang. Tetapi kedatangan pasukan Inggris ternyata diikuti oleh pasukan NICA yang kemudian mempersenjati para bekas tawanan perang Jepang tersebut. Maka pecahlah pertempuran di Ambarawa- Magelang Pada waktu itu, TKR dibawah pimpinan Panglima Divisi V Banyumas, Kolonel Soedirman dan berhasil memukul mundur Sekutu sampai ke Semarang pada tanggal 15 Desember 1945. Kemenangan di Ambarawa itu mempunyai arti yang sangat penting karena letaknya yang strategis. Apabila musuh menguasai Ambarawa, mereka bisa mengancam tiga kota utama di Jawa Tengah, yaitu Surakarta (Solo), Magelang, dan terutama Yogyakarta yang merupakan tempat kedudukan markas tertinggi TKR. Pertempuran di Ambarawa tersebut terkenal dengan sebutan “Palagan Ambarawa”, dan sampai sekarang selalu diperingati sebagai “Hari Infanteri” oleh TNI-AD.
4. Pertempuran Medan Area
Berita Proklamasi Kemerdekaan baru sampai di Medan pada tanggal 27 Agustus 1945. Hal ini disebabkan sulitnya komunikasi dan adanya sensor dari tentara Jepang. Berita tersebut dibawa oleh Mr. Teuku M. Hassan yang diangkat menjadi Gubernur Sumatra. Ia ditugaskan oleh pemerintah untuk menegakkan kedaulatan Republik Indonesia di Sumatera dengan membentuk Komite Nasional Indonesia di wilayah itu. Pada tanggal 9 Oktober 1945 pasukan Sekutu mendarat di Sumatera Utara di bawah pimpinan Brigadir Jenderal T.E.D. Kelly. Serdadu Belanda dan NICA ikut membonceng pasukan ini yang dipersiapkan mengambil alih pemerintahan. Pasukan Sekutu membebaskan para tawanan atas persetujuan Gubernur Teuku M. Hassan. Para bekas tawanan ini bersikap congkak sehingga menyebabkan terjadinya insiden di beberapa tempat. Achmad Tahir, seorang bekas perwira tentara Sukarela memelopori terbentuknya TKR Sumatra Tirnur. Pada tanggal l0 Oktober 1945. Di samping TKR, di Sumatera Timur terbentuk Badan- badan perjuangan dan laskar-laskar partai. Pada tanggal 18 Oktober 1945 Brigadir Jenderal T.E.D. Kelly memberikan ultimatum kepada pemuda Medan agar menyerahkan senjatanya. Aksi-aksi teror mulai dilakukan oleh Sekutu dan NICA. Pada tanggal 1 Desember 1945 Sekutu memasang papan-papan yang bertuliskan Fixed Boundaries Medan Area di berbagai sudut pinggiran kota Medan. Bagaimana sikap para pemuda kita? Mereka dengan gigih membalas setiap aksi yang dilakukan pihak Inggris dan NICA. Pada tanggal 10 Desember 1945 pasukan Sekutu melancarkan serangan militer secara besar-besaran dengan menggunakan pesawat-pesawat tempur. Pada bulan April 1946 pasukan Inggris berhasil mendesak pemerintah RI ke luar Medan. Gubernur, Markas Divisi TKR, Walikota RI pindah ke Pematang Siantar. Walaupun belum berhasil menghalau pasukan Sekutu, rakyat Medan terus berjuang dengan membentuk Laskar Rakyat Medan Area. Selain di daerah Medan, di daerah-daerah sekitarnya juga terjadi perlawanan rakyat terhadap Jepang, Sekutu, dan Belanda. Di Padang dan Bukittinggi pertempuran berlangsung sejak bulan November 1945. Sementara itu dalam waktu yang sama di Aceh terjadi pertempuran melawan Sekutu. Dalam pertempuran ini Sekutu memanfaatkan pasukan-pasukan Jepang untuk menghadapi perlawanan rakyat sehingga pecah pertempuran yang dikenal dengan peristiwa Krueng Panjol Bireuen. Pertempuran di sekitar Langsa/Kuala Simpang Aceh semakin sengit ketika pihak rakyat dipimpin langsung oleh Residen Teuku Nyak Arif. Dalam pertempuran ini pejuang kita berhasil mengusir Jepang. Dengan demikian di seluruh Sumatera rakyat bersama pemerintah membela dan mempertahankan kemerdekaan.
5. Peristiwa Merah Putih di Manado (14 Februari 1946)
Peristiwa Merah Putih di Manado terjadi tanggal 14 Pebruari 1946. Para pemuda tergabung dalam pasukan KNIL (Koninklijk Nederlands Indische Leger). Kompeni VII bersama laskar rakyat dari barisan pejuang melakukan perebutan kekuasaan pemerintahan di Manado, Tomohon dan Minahasa. Sekitar 600 orang pasukan dan pejabat Belanda berhasil ditahan. Pada tanggal 16 Pebruari 1946 mereka mengeluarkan surat selebaran yang menyatakan bahwa kekuasaan di seluruh Manado telah berada di tangan bangsa Indonesia. Untuk memperkuat kedudukan Republik Indonesia, para pemimpin dan pemuda menyusun pasukan keamanan dengan nama Pasukan Pemuda Indonesia yang dipimpin oleh MayorWuisan. Bendera Merah Putih dikibarkan di seluruh pelosok Minahasa hampir selama satu bulan, yaitu sejak tanggal 14 Pebruari 1946. Dr. Sam Ratulangi diangkat sebagai Gubernur Sulawesi bertugas untuk memperjuangkan keamanan dan kedaulatan rakyat Sulawesi. Ia memerintahkan pembentukan Badan Perjuangan Pusat Keselamatan Rakyat. Dr. Sam Ratulangi membuat petisi yang ditandatangani oleh 540 pemuka masyarakat Sulawesi. Dalam petisi itu dinyatakan bahwa seluruh rakyat Sulawesi tidak dapat dipisahkan dari Republik Indonesia. Oleh karena petisi itu, pada tahun 1946, Dr. Sam Ratulangi ditangkap dan dibuang ke Serui (Irian Barat dan sekarang Papua). 6. Perang Puputan Margarana di Bali (18 November 1946) Salah satu isi perundingan Linggajati padatanggal l0 November 1946 adalah bahwa Belanda mengakui secara de facto RepublikIndonesia dengan wilayah kekuasaan yang meliputi Sumatera, Jawa, dan Madura.Selanjutnya Belanda harus sudah meninggalkan daerah de facto paling lambattanggal 1 Januari 1949. Pada tanggal 2 dan 3 Maret 1949 Belanda mendaratkanpasukannya kurang lebih 2000 tentara di Bali, ikut pula tokoh-tokoh yangmemihak Belanda. Pada waktu itu Letnan Kolonel I Gusti Ngurah Rai KomandanResiman Nusa Tenggara sedang pergi ke Yogyakarta untuk mengadakan konsultasidengan Markas tertinggi TRI. Sementara itu perkembangan politik di pusatPemerintahan Republik Indonesia kurang menguntungkan akibat perundinganLinggajati di mana Bali tidak diakui sebagai bagian wilayah Republik Indonesia.Rakyat Bali merasa kecewa terhadap isi perundingan ini. Lebih-lebih ketikaBelanda membujuk Letnan Kolonel I Gusti Ngurah Rai diajak membentuk NegaraIndonesia Timur. Ajakan tersebut ditolak dengan tegas oleh I Gusti Ngurah Rai,bahkan dijawab dengan perlawanan bersenjata Pada tanggal 18 November 1946 IGusti Ngurah Rai memperoleh kemenangan dalam penyerbuan ke tangsi NICA diTabanan. Kemudian Belanda mengerahkan seluruh kekuatan di Bali dan Lombok untukmenghadapi perlawanan rakyat Bali ini. Pertempuran hebat terjadi pada tanggal29 November 1946 di Margarana, sebelah utara Tabanan. Karena kalah dalampersenjataan maka pasukan Ngurah Rai dapat dikalahkan. I Gusti Ngurai Raimengobarkan perang “Puputan” atau habis-habisan demi membela Nusa dan Bangsa.Akhirnya I Gusti Ngurai Rai bersama anak buahnya gugur sebagai kusuma bangsa.
7. Peristiwa Westerling di Makassar
Sebagai Gubernur Sulawesi Selatan yang diangkat tahun 1945, Dr. G.S.S.J. Ratulangie melakukan aktivitasnya dengan membentuk Pusat Pemuda Nasional Indonesia (PPNI). Organisasi yang bertujuan untuk menampung aspirasi pemuda ini pernah dipimpin oleh Manai Sophian. Sementara itu pada bulan Desember 1946 Belanda mengirimkan pasukan ke Sulawesi Selatan di bawah pimpinan Raymond Westerling. Kedatangan pasukan ini untuk “membersihkan” daerah Sulawesi Selatan dari pejuang-pejuang Republik dan menumpas perlawanan rakyat yang menentang terhadap pembentukan Negara Indonesia Timur. Di daerah ini pula, pasukan Australia yang diboncengi NICA mendarat kemudian membentuk pemerintahan sipil. di Makassar karena Belanda melakukan usaha memecah belah rakyat maka tampillah pemuda-pemuda pelajar seperti A. Rivai, Paersi, dan Robert Wolter Monginsidi melakukan perlawanan dengan merebut tempat-tempat strategis yang dikuasai NICA. Selanjutnya untuk menggerakkan perjuangan dibentuklah Laskar Pemberontak Indonesia Sulawesi (LAPRIS) dengan tokohtokohnya Ranggong Daeng Romo, Makkaraeng Daeng Djarung, dan Robert Wolter Monginsidi sebagai Sekretaris Jenderalnya. Sejak tanggal 7 – 25 Desember 1946 pasukan Westerling secara keji membunuh beribu-ribu rakyat yang tidak berdosa. Pada tanggal 11 Desember 1946 Belanda menyatakan Sulawesi dalam keadaan perang dan hukum militer. Pada waktu itu Raymond Westerling mengadakan aksi pembunuhan massal di desa-desa yang mengakibatkan sekitar 40.000 orang tidak berdosa menjadi korban kebiadaban.
8. Pertempuran Lima Hari di Semarang
Pada tanggal 15 — 20 Oktober 1945 di Semarang terjadi pertempuran hebat antara pejuang Indonesia dengan tentara Jepang. Peristiwa ini diawali dengan adanya desas-desus bahwa cadangan air minum di Candi, Semarang diracun oleh Jepang. Untuk membuktikan kebenarannya, Dr. Karyadi, kepala laboratorium Pusat Rumah Sakit Rakyat melakukan pemeriksaan. Pada saat melakukan pemeriksaan, ia ditembak oleh Jepang sehingga gugur. Dengan gugurnya Dr. Karyadi kemarahan rakyat khususnya pemuda tidak dapat dihindarkan dan terjadilah pertempuran yang menimbulkan banyak korban jiwa. Untuk mengenang peristiwa itu, di Semarang didirikan Tugu Muda. Untuk mengenang jasa Dr. Karyadi diabadikan menjadi nama sebuah Rumah Sakit Umum di Semarang. Selain perjuangan perjuangan di atas masih banyak lagi perjuangan yang dilakukan para pahlawan kita demi mempertahankan kemerdekaan Indonesia.