Pertempuran Medan Area adalah sebuah peristiwa perlawanan rakyat terhadap Sekutu yang
terjadi di Medan, Sumatera Utara.
Kronologi Peristiwa
Tanggal 27 Agustus 1945 rakyat Medan baru mendengar berita proklamasi yang dibawa oleh Mr.
Teuku Mohammad Hassan sebagai Gubernur Sumatera. Menanggapi berita proklamasi para
pemuda dibawah pimpinan Achmad Tahir membentuk barisan Pemuda Indonesia. Pendaratan
Sekutu di kota Medan terjadi pada tanggal 9 Oktober 1945 dibawah pimpinan T.E.D Kelly.
Pendaratan tentara sekutu (Inggris) ini diikuti oleh pasukan sekutu dan NICA yang dipersiapkan
untuk mengambil alih pemerintahan. Kedatangan tentara sekutu dan NICA ternyata memancing
berbagai insiden. Pada tanggal 13 Oktober 1945 pemuda dan TKR bertempur melawan Sekutu
dan NICA dalam upaya merebut dan mengambil alih gedung-gedung pemerintahan dari tangan
Jepang. Inggris mengeluarkan ultimatum kepada bangsa Indonesia agar menyerahkan senjata
kepada Sekutu. Ultimatum ini tidak pernah dihiraukan. Pada tanggal 1 Desember 1945, Sekutu
memasang papan yang tertuliskan "Fixed Boundaries Medan Area" (batas resmi wilayah Medan)
di berbagai pinggiran kota Medan. Tindakan Sekutu itu merupakan tantangan bagi para pemuda.
Pada tanggal 10 Desember 1945, Sekutu dan NICA melancarkan serangan besar-besaran
terhadap kota Medan. Serangan ini menimbulkan banyak korban di kedua belah pihak. Pada
bulan April 1946, Sekutu berhasil menduduki kota Medan. Pusat perjuangan rakyat Medan
kemudian dipindahkan ke Pemantangsiantar.
Untuk melanjutkan perjuangan di Medan maka pada bulan Agustus 1946 dibentuk Komando
Resimen Laskar Rakyat Medan Area. Komandan initerus mengadakan serangan terhadap Sekutu
diwilayah Medan. Hampir di seluruh wilayah Sumatera terjadi perlawanan rakyat terhadap
Jepang, Sekutu, dan Belanda. Pertempuran itu terjadi, antara lain di Padang, Bukit Tinggi dan
Aceh.
Peristiwa 10 November
Pertempuran Surabaya
Komandan
Kekuatan
Korban
6,000[2] - 16,000[1]
600[3] - 2,000[1] tewas
tewas
Pertempuran Surabaya merupakan peristiwa sejarah perang antara pihak tentara Indonesia dan
pasukan Belanda. Peristiwa besar ini terjadi pada tanggal 10 November 1945 di Kota Surabaya,
Jawa Timur. Pertempuran ini adalah perang pertama pasukan Indonesia dengan pasukan asing
setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dan satu pertempuran terbesar dan terberat dalam
sejarah Revolusi Nasional Indonesia yang menjadi simbol nasional atas perlawanan Indonesia
terhadap kolonialisme. [2]
Tanggal 1 Maret 1942, tentara Jepang mendarat di Pulau Jawa, dan tujuh hari kemudian tanggal
8 Maret 1942, pemerintah kolonial Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang berdasarkan
Perjanjian Kalijati. Setelah penyerahan tanpa syarat tesebut, Indonesia secara resmi diduduki
oleh Jepang.
Tiga tahun kemudian, Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu setelah dijatuhkannya bom
atom (oleh Amerika Serikat) di Hiroshima dan Nagasaki. Peristiwa itu terjadi pada bulan
Agustus 1945. Dalam kekosongan kekuasaan asing tersebut, Soekarno kemudian
memproklamirkan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945.
Setelah kekalahan pihak Jepang, rakyat dan pejuang Indonesia berupaya melucuti senjata para
tentara Jepang. Maka timbullah pertempuran-pertempuran yang memakan korban di banyak
daerah. Ketika gerakan untuk melucuti pasukan Jepang sedang berkobar, tanggal 15 September
1945, tentara Inggris mendarat di Jakarta, kemudian mendarat di Surabaya pada tanggal 25
Oktober 1945. Tentara Inggris datang ke Indonesia tergabung dalam AFNEI (Allied Forces
Netherlands East Indies) atas keputusan dan atas nama Blok Sekutu, dengan tugas untuk
melucuti tentara Jepang, membebaskan para tawanan perang yang ditahan Jepang, serta
memulangkan tentara Jepang ke negerinya. Namun selain itu tentara Inggris yang datang juga
membawa misi mengembalikan Indonesia kepada administrasi pemerintahan Belanda sebagai
negeri jajahan Hindia Belanda. NICA (Netherlands Indies Civil Administration) ikut
membonceng bersama rombongan tentara Inggris untuk tujuan tersebut. Hal ini memicu gejolak
rakyat Indonesia dan memunculkan pergerakan perlawanan rakyat Indonesia di mana-mana
melawan tentara AFNEI dan pemerintahan NICA.
Setelah munculnya maklumat pemerintah Indonesia tanggal 31 Agustus 1945 yang menetapkan
bahwa mulai 1 September 1945 bendera nasional Sang Saka Merah Putih dikibarkan terus di
seluruh wilayah Indonesia, gerakan pengibaran bendera tersebut makin meluas ke segenap
pelosok kota Surabaya. Klimaks gerakan pengibaran bendera di Surabaya terjadi pada insiden
perobekan bendera di Yamato Hoteru / Hotel Yamato (bernama Oranje Hotel atau Hotel Oranye
pada zaman kolonial, sekarang bernama Hotel Majapahit) di Jl. Tunjungan no. 65 Surabaya.
Sekelompok orang Belanda di bawah pimpinan Mr. W.V.Ch. Ploegman pada sore hari tanggal 18
September 1945, tepatnya pukul 21.00, mengibarkan bendera Belanda (Merah-Putih-Biru), tanpa
persetujuan Pemerintah RI Daerah Surabaya, di tiang pada tingkat teratas Hotel Yamato, sisi
sebelah utara. Keesokan harinya para pemuda Surabaya melihatnya dan menjadi marah karena
mereka menganggap Belanda telah menghina kedaulatan Indonesia, hendak mengembalikan
kekuasan kembali di Indonesia, dan melecehkan gerakan pengibaran bendera Merah Putih yang
sedang berlangsung di Surabaya.
Pengibaran bendera Indonesia setelah bendera belanda berhasil disobek warna birunya di hotel Yamato
Tak lama setelah mengumpulnya massa di Hotel Yamato, Residen Soedirman, pejuang dan
diplomat yang saat itu menjabat sebagai Wakil Residen (Fuku Syuco Gunseikan) yang masih
diakui pemerintah Dai Nippon Surabaya Syu, sekaligus sebagai Residen Daerah Surabaya
Pemerintah RI, datang melewati kerumunan massa lalu masuk ke hotel Yamato dikawal Sidik
dan Hariyono. Sebagai perwakilan RI dia berunding dengan Mr. Ploegman dan kawan-kawannya
dan meminta agar bendera Belanda segera diturunkan dari gedung Hotel Yamato. Dalam
perundingan ini Ploegman menolak untuk menurunkan bendera Belanda dan menolak untuk
mengakui kedaulatan Indonesia. Perundingan berlangsung memanas, Ploegman mengeluarkan
pistol, dan terjadilah perkelahian dalam ruang perundingan. Ploegman tewas dicekik oleh Sidik,
yang kemudian juga tewas oleh tentara Belanda yang berjaga-jaga dan mendengar letusan pistol
Ploegman, sementara Soedirman dan Hariyono melarikan diri ke luar Hotel Yamato. Sebagian
pemuda berebut naik ke atas hotel untuk menurunkan bendera Belanda. Hariyono yang semula
bersama Soedirman kembali ke dalam hotel dan terlibat dalam pemanjatan tiang bendera dan
bersama Koesno Wibowo berhasil menurunkan bendera Belanda, merobek bagian birunya, dan
mengereknya ke puncak tiang bendera kembali sebagai bendera Merah Putih.
Setelah insiden di Hotel Yamato tersebut, pada tanggal 27 Oktober 1945 meletuslah pertempuran
pertama antara Indonesia melawan tentara Inggris . Serangan-serangan kecil tersebut di
kemudian hari berubah menjadi serangan umum yang banyak memakan korban jiwa di kedua
belah pihak Indonesia dan Inggris, sebelum akhirnya Jenderal D.C. Hawthorn meminta bantuan
Presiden Sukarno untuk meredakan situasi.
Setelah gencatan senjata antara pihak Indonesia dan pihak tentara Inggris ditandatangani tanggal
29 Oktober 1945, keadaan berangsur-angsur mereda. Walaupun begitu tetap saja terjadi
bentrokan-bentrokan bersenjata antara rakyat dan tentara Inggris di Surabaya. Bentrokan-
bentrokan bersenjata di Surabaya tersebut memuncak dengan terbunuhnya Brigadir Jenderal
Mallaby, (pimpinan tentara Inggris untuk Jawa Timur), pada 30 Oktober 1945 sekitar pukul
20.30. Mobil Buick yang ditumpangi Brigadir Jenderal Mallaby berpapasan dengan sekelompok
milisi Indonesia ketika akan melewati Jembatan Merah. Kesalahpahaman menyebabkan
terjadinya tembak menembak yang berakhir dengan tewasnya Brigadir Jenderal Mallaby oleh
tembakan pistol seorang pemuda Indonesia yang sampai sekarang tak diketahui identitasnya, dan
terbakarnya mobil tersebut terkena ledakan granat yang menyebabkan jenazah Mallaby sulit
dikenali. Kematian Mallaby ini menyebabkan pihak Inggris marah kepada pihak Indonesia dan
berakibat pada keputusan pengganti Mallaby, Mayor Jenderal Eric Carden Robert Mansergh
untuk mengeluarkan ultimatum 10 November 1945 untuk meminta pihak Indonesia
menyerahkan persenjataan dan menghentikan perlawanan pada tentara AFNEI dan administrasi
NICA.
Tom Driberg, seorang Anggota Parlemen Inggris dari Partai Buruh Inggris (Labour Party). Pada
20 Februari 1946, dalam perdebatan di Parlemen Inggris (House of Commons) meragukan bahwa
baku tembak ini dimulai oleh pasukan pihak Indonesia. Dia menyampaikan bahwa peristiwa
baku tembak ini disinyalir kuat timbul karena kesalahpahaman 20 anggota pasukan India
pimpinan Mallaby yang memulai baku tembak tersebut tidak mengetahui bahwa gencatan senjata
sedang berlaku karena mereka terputus dari kontak dan telekomunikasi. Berikut kutipan dari
Tom Driberg:
"... Sekitar 20 orang (serdadu) India (milik Inggris), di sebuah bangunan di sisi lain alun-alun, telah
terputus dari komunikasi lewat telepon dan tidak tahu tentang gencatan senjata. Mereka menembak
secara sporadis pada massa (Indonesia). Brigadir Mallaby keluar dari diskusi (gencatan senjata), berjalan
lurus ke arah kerumunan, dengan keberanian besar, dan berteriak kepada serdadu India untuk
menghentikan tembakan. Mereka patuh kepadanya. Mungkin setengah jam kemudian, massa di alun-
alun menjadi bergolak lagi. Brigadir Mallaby, pada titik tertentu dalam diskusi, memerintahkan serdadu
India untuk menembak lagi. Mereka melepaskan tembakan dengan dua senapan Bren dan massa bubar
dan lari untuk berlindung; kemudian pecah pertempuran lagi dengan sungguh gencar. Jelas bahwa ketika
Brigadir Mallaby memberi perintah untuk membuka tembakan lagi, perundingan gencatan senjata
sebenarnya telah pecah, setidaknya secara lokal. Dua puluh menit sampai setengah jam setelah itu, ia
(Mallaby) sayangnya tewas dalam mobilnya-meskipun (kita) tidak benar-benar yakin apakah ia dibunuh
oleh orang Indonesia yang mendekati mobilnya; yang meledak bersamaan dengan serangan terhadap
dirinya (Mallaby). Saya pikir ini tidak dapat dituduh sebagai pembunuhan licik... karena informasi saya
dapat secepatnya dari saksi mata, yaitu seorang perwira Inggris yang benar-benar ada di tempat kejadian
pada saat itu, yang niat jujurnya saya tak punya alasan untuk pertanyakan ... " [4]
10 November 1945
Setelah terbunuhnya Brigadir Jenderal Mallaby, penggantinya, Mayor Jenderal Robert Mansergh
mengeluarkan ultimatum yang menyebutkan bahwa semua pimpinan dan orang Indonesia yang
bersenjata harus melapor dan meletakkan senjatanya di tempat yang ditentukan dan
menyerahkan diri dengan mengangkat tangan di atas. Batas ultimatum adalah jam 6.00 pagi
tanggal 10 November 1945.
Ultimatum tersebut kemudian dianggap sebagai penghinaan bagi para pejuang dan rakyat yang
telah membentuk banyak badan-badan perjuangan / milisi. Ultimatum tersebut ditolak oleh pihak
Indonesia dengan alasan bahwa Republik Indonesia waktu itu sudah berdiri, dan Tentara
Keamanan Rakyat TKR juga telah dibentuk sebagai pasukan negara. Selain itu, banyak
organisasi perjuangan bersenjata yang telah dibentuk masyarakat, termasuk di kalangan pemuda,
mahasiswa dan pelajar yang menentang masuknya kembali pemerintahan Belanda yang
memboncengi kehadiran tentara Inggris di Indonesia.
Pada 10 November pagi, tentara Inggris mulai melancarkan serangan berskala besar, yang
diawali dengan pengeboman udara ke gedung-gedung pemerintahan Surabaya, dan kemudian
mengerahkan sekitar 30.000 infanteri, sejumlah pesawat terbang, tank, dan kapal perang.
Inggris kemudian membombardir kota Surabaya dengan meriam dari laut dan darat. Perlawanan
pasukan dan milisi Indonesia kemudian berkobar di seluruh kota, dengan bantuan yang aktif dari
penduduk. Terlibatnya penduduk dalam pertempuran ini mengakibatkan ribuan penduduk sipil
jatuh menjadi korban dalam serangan tersebut, baik meninggal maupun terluka.
Bung Tomo di Surabaya, salah satu pemimpin revolusioner Indonesia yang paling dihormati. Foto
terkenal ini bagi banyak orang yang terlibat dalam Revolusi Nasional Indonesia mewakili jiwa perjuangan
revolusi utama Indonesia saat itu.[5]
Di luar dugaan pihak Inggris yang menduga bahwa perlawanan di Surabaya bisa ditaklukkan
dalam tempo tiga hari, para tokoh masyarakat seperti pelopor muda Bung Tomo yang
berpengaruh besar di masyarakat terus menggerakkan semangat perlawanan pemuda-pemuda
Surabaya sehingga perlawanan terus berlanjut di tengah serangan skala besar Inggris.
Tokoh-tokoh agama yang terdiri dari kalangan ulama serta kyai-kyai pondok Jawa seperti KH.
Hasyim Asy'ari, KH. Wahab Hasbullah serta kyai-kyai pesantren lainnya juga mengerahkan
santri-santri mereka dan masyarakat sipil sebagai milisi perlawanan (pada waktu itu masyarakat
tidak begitu patuh kepada pemerintahan tetapi mereka lebih patuh dan taat kepada para kyai)
shingga perlawanan pihak Indonesia berlangsung lama, dari hari ke hari, hingga dari minggu ke
minggu lainnya. Perlawanan rakyat yang pada awalnya dilakukan secara spontan dan tidak
terkoordinasi, makin hari makin teratur. Pertempuran skala besar ini mencapai waktu sampai tiga
minggu, sebelum seluruh kota Surabaya akhirnya jatuh di tangan pihak Inggris.
Setidaknya 6,000 - 16,000 pejuang dari pihak Indonesia tewas dan 200,000 rakyat sipil
mengungsi dari Surabaya. [2]. Korban dari pasukan Inggris dan India kira-kira sejumlah 600 -
2000 tentara. [3] Pertempuran berdarah di Surabaya yang memakan ribuan korban jiwa tersebut
telah menggerakkan perlawanan rakyat di seluruh Indonesia untuk mengusir penjajah dan
mempertahankan kemerdekaan. Banyaknya pejuang yang gugur dan rakyat sipil yang menjadi
korban pada hari 10 November ini kemudian dikenang sebagai Hari Pahlawan oleh Republik
Indonesia hingga sekarang.
Kutipan:
Puluhan pembom B-29 Angkatan Udara Sekutu memusnahkan Kota Manado sampai menjadi
puing. Banyak penduduk tewas. Tokoh-tokoh nasionalis dicurigai Jepang sebagai mata-mata
Sekutu, sebagiannya terdiri dari para raja Sangihe-Talaud, tokoh Tionghoa dan beberapa
pejabat polisi dan pamong praja yang menjalankan hukuman mati.
Kronologi
Juli 1944:
Tentara Jepang menderita kekalahan dalam pertempuran di lautan Pasifik terhadap serangan
pasukan Sekutu lalu mundur dan memperkuat kubu pertahanannya di Sulawesi dan Maluku
Utara.
Mereka diberangkatkan dengan kereta api ke Surabaya dan mereka menaiki kapal Dai Yu Maru
langsung ke Manado. Mereka dihentar ke stasiun Gambir di Jakarta oleh Dr Ratulangi, Mr
Maramis dan perwira Kaigun-Jepang, Maeda.
September 1944:
Puluhan pembom B-29 Angkatan Udara Sekutu memusnahkan Kota Manado sampai menjadi
puing. Banyak penduduk tewas. Tokoh-tokoh nasionalis dicurigai Jepang sebagai mata-mata
Sekutu, sebagiannya terdiri dari para raja Sangihe-Talaud, tokoh Tionghoa dan beberapa pejabat
polisi dan pamong praja yang menjalankan hukuman mati.
Tentara Sekutu di bawah Jendral Mac Arthur menduduki Morotai dan menyerang kubu-kubu
pertahanan Jepang di Sulawesi Utara lalu beralih dan menduduki pada 10 Oktober pulau Leyte di
Filipina.
April-Agustus 1945:
Pimpinan tentara Kaigun yang pindah ke Tondano mempersiapkan Indonesia Merdeka sesuai
janjinya. Bendera Merah-Putih mulai dikibarkan di samping bendera Hinomaru sedangkan
jabatan-jabatan sipil berangsur-angsur diserahkan kepada bangsa Indonesia. Tentara keamanan
diserahkan oleh panglima Laksamana Hamanaka kepada Indonesia dalam bentuk pasukan
Pembela Tanah Air (PTA), pimpinan Wangko Sumanti, tetapi tidak dengan penyerahan senjata.
Panglima Hamanaka menyerah kepada Tentara Sekutu di Morotai dengan seluruh pasukannya
sejumlah 8000 orang yang dikumpulkan di kamp tawanan di Girian-Bitung.
September 1945
Pemuda Sulawesi Utara membentuk Barisan Pemuda Nasional Indonesia (BPNI) sementara
NICA-Belanda di bawah perlindungan Sekutu menduduki kembali Indonesia Timur, khususnya
Sulawesi Utara, dan segera berusaha memulihkan kekuasaannya dari masa Hindia-Belanda tetapi
terlibat clash dengan pasukan pemuda BPNI.
NICA telah membentuk kembali LOI (organisasi pusat ketentaraan) sebesar 8 kompi yang terdiri
dari tentara KNIL bekas pasukan Sekutu dengan menerima juga bekas Heiho-Jepang dan
pensiunan militer (reserve corps).
Sesuai misi dari Ratulangi pasukan NICA ini harus disusupi oleh para pemuda pejuang militer
untuk kemudian dibantu oleh pemuda (BPNI) mewujudkan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus
1945. Hal ini terlaksana sehingga di asrama militer di Teling-Manado dibentuk suatu organisasi
gelap yang sangat rahasia oleh Freddy Lumanauw dan Wangko Sumanti yang dinamakan
mereka: Pasukan Tubruk.
Januari 1946:
Akhir Desember 1945, seluruh pasukan Sekutu (Australia) meninggalkan Manado dan tugas
Sekutu diserahkan kepada NICA-KNIL di bawah pimpinan Tentara Inggris yang berpusat di
Makassar. BPNI melihat kesempatan ini dan pemimpinnya, John Rahasia dan Wim Pangalila,
merancangkan suatu pemberontakan pemuda yang akan dibantu oleh Freddy Lumanauw dari
Pasukan Tubruk di Teling.
Bagian NEFIS-Belanda mulai mencurigai Lumanauw dan Pakasi yang kedapatan telah
disusupkan oleh Dr Ratulangi dari Jakarta ke dalam KNIL. Mereka berdua dimasukkan dalam
penjara di Manado oleh oditur militer Schravendijk dan akan diproses untuk diadili.
Rencana John Rahasia dan Wim Pangalila untuk merebut kekuasaan pada upacara NICA 10
Januari, juga diketahui NEFIS dan semua tokoh pemuda BPNI di Manado dan Tondano telah
ditangkap pada hari sebelumnya. Dua minggu kemudian mereka dilepaskan karena belum ada
bukti hukum untuk dapat dituntut di mahkamah militer.
Februari 1946
Komplotan militer KNIL di Teling masih dicurigai oleh bagian intel NEFIS dan panglima KNIL
yang bermarkas di Tomohon memerintahkan supaya menahan dalam streng arrest di Teling
para pemimpinnya, yakni Furir Taulu, Sersan Wuisan, Wangko Sumanti, Frans Lantu, Yan
Sambuaga dan Wim Tamburian, karena mereka telah menghasut tentara Indonesia dari kompi-
kompi di Teling, Tomohon dan di Girian supaya berontak karena kekurangan gaji, ransun, rokok,
berbeda dengan jaminan yang terima oleh sesama tentara bangsa Belanda. Apalagi tentara
Indonesia yang berpegang di bawah pimpinan Sekutu dalam Perang Dunia II dihargai dan
dijamin sama terhadap seluruh pasukan.
Belanda tidak mengetahui bahwa hasutan-hasutan di seluruh kalangan militer Indonesia hanyalah
untuk menutupi rahasia yang bertujuan sebenarnya untuk menggulingkan kekuasaan Belanda dan
menegakkan kemerdekaan Indonesia.
Pimpinan rencana kup ini hanya menggunakan strategi kampanye untuk memuluskan
pelaksanaannya dengan melancarkan provokasi tentang ketidakadilan jaminan antara tentara
Indonesia dan tentara Belanda. Tentara KNIL umumnya bukan inginkan kemerdekaan.
14 Februari 1946
Khusus Kompi-VII bekas Pasukan Sekutu yang terkenal pemberani dan menjadi tumpuan
harapan pimpinan KNIL tidak diduga Belanda telah dapat dipengaruhi, bahkan komandan
peleton I Kopral Mambi Runtukahu telah ditunjuk oleh Taulu dan Wuisan untuk memulaikan
aksi penyergapan pos-pos di markas garnisun Teling-Manado tepat nanti pada jam satu tengah
malam. Dan menangkap semua tentara Belanda, mulai dengan komandan garnisun Kapten Blom,
komandan Kompi-VII Carlier, CPM dan seterusnya di Kota Manado. Hal ini telah berlangsung
sesuai rencana rahasia dari Taulu-Wuisan.
Tidak ada perlawanan, karena semua tentara Indonesia yang tidak termasuk Pasukan Tubruk
hanya menganggap bahwa pemberontakan militer ini hanya perlu untuk menuntut keadilan serta
perbaikan nasib dan jaminan yang sama bagi tentara Indonesia. Ketiga pimpinan Taulu, Wuisan
dan Lumanauw dibebaskan dari tahanan dan semua tentara Belanda ditampung sementara oleh
Kopral Wim Tamburian dalam satu gedung di Teling. Keluarga mereka di berbagai kompleks
militer tidak diapa-apakan tetapi mereka semua akhirnya dikumpulkan di Sario.
Kaum nasionalis yang ditangkap NICA karena dituduh kolaborator Jepang seperti Nani
Wartabone, OH Pantouw, Geda Dauhan, yang berada di penjara termasuk pimpinan pemuda
BPNI, John Rahasia dan Chris Ponto yang berniat memberontak pada Januari yang lalu,
semuanya dibebaskan oleh aksi militer Kompi-VII.
Frans Bisman dan Freddy Lumanauw berangkat dengan dua peleton pada pagi hari ke markas
besar KNIL di Tomohon untuk menangkap komandan KNIL De Vries dan Residen NICA
Koomans de Ruyter. Kemudian satu regu pemberontak militer dari Manado menuju ke Girian-
Tonsea untuk menahan Letnan Van Emden, komandan kompi yang menjaga kamp tawanan
Jepang. Mula-mula mereka alami kesulitan tetapi Kumaunang dapat menangkapnya dengan
cepat.
Kapten KNIL J Kaseger yang selama ini non-aktif di Tondano dan sedang memulihkan
kesehatannya karena penderitaan selama ditahan tentara Jepang, tidak menyangka berhasilnya
kup militer Indonesia terhadap atasannya Belanda. Ia segera ke Manado dan Furir Taulu, Sersan
Wuisan dan Sersan Nelwan mengajaknya untuk mengambil alih pimpinan pemberontakan karena
pangkatnya yang lebih tinggi. Kaseger adalah tamatan Akademi Militer di Breda, Belanda, dan
apa salahnya ia sebagai orang Indonesia melepaskan sumpah kesetiannya pada Ratu Belanda dan
ikut dalam perjuangan kemerdekaan bangsanya.
15 Februari 1946
Komandan KNIL De Vries yang tertawan dihadapkan oleh Kaseger kepada Taulu dan Wuisan
untuk memperoleh kesepakatan dalam menyelesaikan perselisihan mereka. De Vries bertanya
apakah kup militer ini dapat menjamin kelangsungan hidup dan keamanan 8 kompi tentara dan
8000. Tawanan Jepang tanpa bantuan suplai Belanda atau Sekutu atau dari manapun? Pada saat
itu sebenarnya Taulu sudah harus menyerah tetapi ia katakan bahwa kup militer ini: kami
bersama pemuda sedang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dan ini kami pertahankan.
Kaseger hanya membiarkan Taulu dan Wuisan tetap pada pendirian mereka tetapi ia juga tidak
memihak pada De Vries, apalagi pemuda BPNI telah menguasai situasi dan membantu
pemberontakan. Di seluruh daerah Minahasa mulai dikibarkan bendera Merah-Putih dan semua
pamong praja ditertibkan dalam alam pemerintahan baru yang merdeka.
16 Februari 1946
Sidang darurat Dewan Minahasa di Manado menetapkan sesuai rencana semula Kepala Distrik
Manado, BW Lapian sebagai Kepala Pemerintah Merah-Putih Merdeka dengan kabinet serta
berbagai departemennya, yakni W Saerang (sekretariat), DA Th Gerungan (pemerintahan), Alex
Ratulangi (keuangan), drh Wim Ratulangi (perekonomian), R Hidayat (kehakiman), Mayor SD
Wuisan (merangkap kepolisian), dr Ch Singal (kesehatan), E Katoppo (pengajaran), Max Tumbel
(perhubungan/pelabuhan).
Selanjutnya barisan pemuda PPI dipercayakan untuk memelihara keamanan di seluruh wilayah
di bawah hulubalang-besar ED Johannes dan para hulubalang dengan kota serta kecamatan,
yakni untuk kota besar Manado John Rahasia, selanjutnya untuk berbagai wilayah kecamatan
para komandan Mat Canon, Eddy Mondong, Jo Supit, John Malonda, Max Roringkon, Ton
Lumenta dan lain-lain.
Sedangkan untuk markas besar PPI di Tondano terdapat nama-nama Wim Pangalila, Chris Ponto,
Ben Wowor, Engel Parengkuan, Andi Masengi, Mat dan Usman Pulukadang, Nona Wuli Supit
dan lain-lain.
22 Februari 1946
Rapat umum di lapangan Tikala yang diselenggarakan oleh pemerintah merdeka Merah-Putih
Sulawesi Utara dan dihadiri para tokoh militer, sipil, pamongpraja dan masyarakat rakyat,
menyatakan bergabung dengan perjuangan kemerdekaan seluruh Indonesia di bawah pemerintah
RI Sukarno-Hatta di Yogyakarta.
Pimpinan Sekutu dari Makassar datang berunding di Manado di atas kapal El Libertador,
dipimpin oleh kepala perutusannya, Letkol Purcell didampingi pimpinan NICA-Belanda dan
Panglima KNIL Kol Giebel. Perutusan Pemerintah Merah-Putih dipimpin oleh BW Lapian
didampingi komandan Ch Taulu, Pemuda PPI dan anggota stafnya.
Rapat rakyat ini dihadiri oleh semua tokoh nasionalis, pemuda dan para wakil dari daerah-daerah
Sulut yang akhirnya juga menolak pemulihan kekuasaan Belanda di daerah ini.
Maka keputusan Sekutu yang disampaikan oleh wakilnya Purcell menyatakan mulai saat itu
Kekuasaan daerah setempat berada dalam status perang dengan Sekutu, namun meminta
supaya seluruh warga Belanda dievakuasi ke Morotai dan kamp tawanan Jepang tetap dijaga atas
nama Sekutu. Delegasi Indonesia menerima pernyataan perang dan permintaan Sekutu tersebut.
Kapal El Libertador selama dua hari mengangkut semua warga Belanda di Manado-Minahasa ke
pangkalan Sekutu di Morotai, lalu delegasi Sekutu itu kembali ke Makassar.
Tindakan Sekutu-Belanda selanjutnya ialah meletakkan blokade di sekitar perairan Sulawesi
Utara dan melakukan embargo terhadap suplai kebutuhan bahan dan makanan yang datang dari
luar daerah ini.
10 Maret 1946
Setelah 24 hari mengalami blokade Sekutu, rakyat di daerah Minahasa mulai gelisah dan kaum
militer yang ikut memberontak untuk tujuan perbaikan nasib beralih sikap dan mulai menentang
pimpinan TRISU. Kapten Kaseger menyiapkan suatu kontra aksi dari kalangan militer dan
menunggu saatnya untuk menggulingkan pemerintah merdeka Merah-Putih Lapian-Taulu,
sedangkan PPI masih menuntut supaya para anggotanya dipersenjatai. Ternyata semua senjata
dari tentara Jepang setelah dikumpulkan Sekutu yang segera dibuang ke dasar laut sedang
TRISU tidak dapat meluluskan senjata yang dipegang oleh anggota pasukannya untuk
diserahkan atau dibagikan kepada PPI.
Mula-mula Gorontalo diduduki oleh tentara marinir Belanda dari kapal perang HMS Piet Hein,
kemudian pasukan-pasukan yang pernah ikut pemberontakan Taulu di Teling berbalik mulai
menyerang pimpinan TRISU di Manado, Tomohon, dan Girian. Pemberontak dan pejuang utama
Mambi Runtukahu tewas dalam pertempuran di Girian. Pada pagi tanggal 10 Maret itu juga
pimpinan TRISU ditangkap di Teling dan pasukan Kaseger beranjak mematahkan seluruh
pertahanan pemuda PPI di Manado san selanjutnya yang giat di Tomohon dan Kakas, kemudian
pada 16 Maret markas PPI dan seluruh pimpinannya di Tondano ditangkap Kaseger dan
dimasukkan dalam penjara Manado.
Tentara Belanda KL diturunkan ke darat membantu pasukan kapten KNIL Kaseger untuk
memulihkan kekuasaan Belanda di Sulawesi Utara. Sebaliknya para anggota pucuk pimpinan
Merah-Putih ditahan dan dikurung di kapal Piet Hein. Juga pasukan KNIL pimpinan Kaseger
yang tadinya melatih para pemuda PPI memegang senjata menyebar ke daerah Minahasa dan
menangkap semua pimpinan pemuda PPI itu yang menyerah tanpa ada perlawanan.
Kecuali No Korompis dan pasukan pemuda yang masih bertahan di perbukitan Tonsaru dan
Paleloan. Begitupun hulubalang PPI John Rahasia yang tidak mau menyerahkan diri dan lari
dengan perahu untuk bergabung dengan perjuangan di Sulawesi Selatan.
Para warga Belanda yang dievakuasi ke Morotai dipulangkan kembali ke Manado yang telah
dikuasai dan dipulihkan kembali oleh NICA. Semua pemimpin pemberontakan militer dan
pemuda ditangkap dan dipenjarakan. Mereka yang diadili oleh mahkamah militer Belanda
dijatuhkan hukuman sampai 20 tahun. Anggota militer No Korompis dan Freddy Lumanauw
dijatuhkan hukuman penjara 20 dan 15 tahun sedang yang lainnya dari Pasukan Tubruk dan para
tokoh nasionalis dan pemuda kurang dari 10 tahun. Mereka semua dipindahkan ke penjara
Bandung, Jakarta dan Nusa Kembangan, di antara mereka tokoh sipil: BW Lapian, Nani
Wartabone, Kusno DP, ED Johannes, John Rahasia, Wim Pangalila, Mat Canon, John Malonda,
W Saerang. Mereka semua dibebaskan setelah tercapai persetujuan KMB.
Demikian sekilas kronologi fakta perjuangan Merah-Putih untuk kemerdekaan Indonesia pada
1946 di Sulawesi Utara. Setelah berakhir kekuasaan de facto kemerdekaan pada 10 Maret 1946,
perjuangan revolusi dilanjutkan dengan berbagai gerakan politik atau perjuangan di bawah tanah
selama masa kekuasaan NIT-NICA sampai tercapainya persetujuan KMB di Den Haag-Belanda
pada akhir 1949.
Di Sulawesi Utara peristiwa Merah-Putih 14 Februari 1946 masih dikenangkan, namun arti dan
nilai peristiwa terlupakan. Dampaknya tidak ada lagi sekarang. Waktu Presiden Soekarno
memaklumkan pada peringatannya 10 Maret 1965 di Istana bahwa Hari 14 Februari adalah hari
Sulawesi Utara (1) sejarah dunia membenarkan ucapan Bung Karno ini dan, (2) sejarah
perjuangan Indonesia mensyukurinya.
Berturut-turut radio-radio Australia, San Franscisco dan BBC London dan Harian Merdeka di
Jakarta menyiarkan tentang Pemberontakan Besar di Minahasa.
Dampak peristiwa ini pada tentara Sekutu (AS-Inggris-Belanda) menggemparkan. Bagi tentara
AS yang sudah payah dan ingin pulang ke tanah airnya, masih harus mendeportasi 8000 tawanan
tentara Jepang di Girian.
Apa akan jadi kalau mereka dilepaskan dan bergabung dengan pasukan PPI-Merah Putih?
Mereka belum lupa bahwa di Pulau Okinawa 1500 tentara AS menjadi korban menghadapi
tentara Nippon yang juga bertempur habis karena hara kiri. Tentara Inggris di Makassar
(South East-Asia Command Outer Islands) masih trauma karena Jenderal Mallaby terbunuh pada
peristiwa 10 November 1945 di Surabaya.
Tentara Belanda yang menjadikan Minahasa sebagai basisnya yang kuat untuk menyerang
Republik Indonesia yang berpusat di Yogya, malah harus menyerahkan diri kepada TRISU-
Taulu di Teling. Peristiwa 14 Februari 1946 di Manado tercatat dalam sejarah dunia, karena
wakil Sekutu-Inggris di Makassar Col Purcell menyatakan pada 24 Februari 1946 di Teling-
Manado bahwa pada hari ini tentara Sekutu menyatakan perang dengan kekuasaan Sulawesi-
Utara (Lapian-Taulu).
Sulawesi Utara sudah dianggapnya suatu negara merdeka yang memiliki wilayah, pemerintah,
tentara dan rakyatnya sendiri secara utuh dari 14 Februari tetapi akhirnya menyerah kalah pada
11 Maret 1946.
Selama perang kemerdekaan RI dari 1945-1949, hanya kudeta 14 Februari 1946 yang berhasil
merebut kekuasaan Belanda dan menggantikannya dengan suatu pemerintahan nasional yang
merdeka di bawah pimpinan Lapian-Taulu. Semua pejabat Belanda NICA-KNIL ditangkap,
ditawan dan dideportasi ke Morotai. Di tahun 1946-1948 sesuai perjanjian Linggarjati dan
Renville oleh kedua pihak RI dan Belanda, wilayah nusantara yang di luar Jawa-Sumatera tidak
termasuk dalam kekuasaan RI yang berpusat di Yogya, namun pemerintah Merah-Putih Lapian-
Taulu pada 22 Februari 1946 menyatakan dalam rapat umum di Lapangan Tikala Manado, bahwa
Sulawesi Utara adalah bagian dari NKRI yang berpusat di Yogya.
LN Palar wakil Indonesia di PBB menyatakan sendiri bahwa RI diperjuangkan oleh seluruh
bangsa Indonesia, termasuk rakyat Sulawesi Utara, buktinya dengan peristiwa Merah-Putih di
Manado, seraya membantah Wakil Belanda Kleffen yang berargumentasi bahwa perjuangan
kemerdekaan RI hanya untuk Jawa dan Sumatera.
Bagaimana tentang perjuangan KRIS di Jawa? Di tahun 1945 daerah Minahasa, khususnya
kawanua, begitupun KRIS, dicurigai oleh laskar-laskar seperjuangan di Jawa, sebagai kaki-
tangan Belanda. Kawanua di Jawa menghadapi hambatan ini sejak tentara Jepang mendarat di
Indonesia. Dr Sam Ratulangi di Jakarta dan Joop Warouw di Surabaya waktu Jepang mendarat,
berusaha menyelamatkan para keluarga kawanua di Jawa, karena mereka dituduh dan dianggap
Londo (Belanda), musuh Nippon. Di waktu revolusi kemerdekaan yang berkobar pada 1945,
KRIS pun masih dicurigai malah dinista bahwa laskar-laskar perjuangannya tidak ikhlas, hanya
untuk menyelamatkan muka dan kulitnya.
Tetapi dengan peristiwa 14 Februari 1946 segala kecurigaan ini terhapus sudah dan KRIS diakui
benar sebagai comrade-in-arms dalam menegakkan NKRI, bahkan di Minahasa rakyat
seluruhnya sudah mendahului. Pada peristiwa 14 Februari 1946, Pasukan Pemuda Indonesia
(PPI) menghitung 5000 anggota yang bergabung dengan TRISU dari Letkol Taulu. Tokoh utama
yang berhasil merebut tangsi KNIL di Teling, Mambi Runtukahu, akhirnya gugur pada 10 Maret
1946 sebagai kusuma bangsa. Juga Alo Porayouw telah gugur pada pagi 14 Februari 1946 waktu
hendak menangkap Komandan KNIL di Tomohon.
Karena senjata tidak ada pada PPI dan hanya dipegang oleh TRISU maka Sekutu/Belanda
dengan mudah mengambil alih kekuasaan dengan pendaratan Divisi 7 Desember pada 10
Maret 1946 oleh kapal perang HMS Piet Hein.
Sejarah perjuangan ini tidak dikenal apalagi dihayati oleh generasi penerus termasuk anak-anak
yang masih di bangku sekolah. Ada buku sejarah yang dianjurkan berturut-turut oleh dua Kepala
Dinas PDK di Sulut untuk dipakai di semua sekolah, tetapi effeknya dalam kehidupan sehari-hari
tampaknya tidak ada.
Hari Sulawesi Utara yang dipuja oleh Bung Karno waktu peringatan di Istana Negara 10 Maret
1965 tidak dikenal atau digubris oleh masyarakat Provinsi Sulawesi Utara.
Otto Rondonuwu, Ketua Komisi LN pada KNIP di Yogyakarta menyampaikan suatu ucapan
Bung Karno, ketika mendengar berita Pemberontakan Besar di Minahasa dari AFP-Radio
Australia, yang berbunyi: (baca buku Sulawesi Utara Bergolak).
Minahasa, walaupun daerah terkecil dan terpencil di wilayah Republik Indonesia, namun
putera-puteranya telah memperlihatkan kesatriaannya terhadap panggilan Ibu Pertiwi.
Laksanakan tugasmu dengan seksama dan penuh tanggung-jawab!.
Peristiwa Bandung Lautan Api adalah peristiwa kebakaran besar yang terjadi di kota Bandung,
provinsi Jawa Barat, Indonesia pada 24 Maret 1946. Dalam waktu tujuh jam, sekitar 200.000
penduduk Bandung[1] membakar rumah mereka, meninggalkan kota menuju pegunungan di
daerah selatan Bandung. Hal ini dilakukan untuk mencegah tentara Sekutu dan tentara NICA
Belanda untuk dapat menggunakan kota Bandung sebagai markas strategis militer dalam Perang
Kemerdekaan Indonesia.
Latar belakang
Pasukan Inggris bagian dari Brigade MacDonald tiba di Bandung pada tanggal 12 Oktober 1945.
Sejak semula hubungan mereka dengan pemerintah RI sudah tegang. Mereka menuntut agar
semua senjata api yang ada di tangan penduduk, kecuali TKR dan polisi, diserahkan kepada
mereka. Orang-orang Belanda yang baru dibebaskan dari kamp tawanan mulai melakukan
tindakan-tindakan yang mulai mengganggu keamanan. Akibatnya, bentrokan bersenjata antara
Inggris dan TKR tidak dapat dihindari. Malam tanggal 21 November 1945, TKR dan badan-
badan perjuangan melancarkan serangan terhadap kedudukan-kedudukan Inggris di bagian utara,
termasuk Hotel Homann dan Hotel Preanger yang mereka gunakan sebagai markas. Tiga hari
kemudian, MacDonald menyampaikan ultimatum kepada Gubernur Jawa Barat agar Bandung
Utara dikosongkan oleh penduduk Indonesia, termasuk pasukan bersenjata.
Ultimatum Tentara Sekutu agar Tentara Republik Indonesia (TRI, sebutan bagi TNI pada saat
itu) meninggalkan kota Bandung mendorong TRI untuk melakukan operasi "bumihangus". Para
pejuang pihak Republik Indonesia tidak rela bila Kota Bandung dimanfaatkan oleh pihak Sekutu
dan NICA. Keputusan untuk membumihanguskan Bandung diambil melalui musyawarah
Madjelis Persatoean Perdjoangan Priangan (MP3) di hadapan semua kekuatan perjuangan pihak
Republik Indonesia, pada tanggal 23 Maret 1946[2]. Kolonel Abdoel Haris Nasoetion selaku
Komandan Divisi III TRI mengumumkan hasil musyawarah tersebut dan memerintahkan
evakuasi Kota Bandung.[rujukan?] Hari itu juga, rombongan besar penduduk Bandung mengalir
panjang meninggalkan kota Bandung dan malam itu pembakaran kota berlangsung.
Bandung sengaja dibakar oleh TRI dan rakyat setempat dengan maksud agar Sekutu tidak dapat
menggunakan Bandung sebagai markas strategis militer. Di mana-mana asap hitam mengepul
membubung tinggi di udara dan semua listrik mati. Tentara Inggris mulai menyerang sehingga
pertempuran sengit terjadi. Pertempuran yang paling besar terjadi di Desa Dayeuhkolot, sebelah
selatan Bandung, di mana terdapat gudang amunisi besar milik Tentara Sekutu. Dalam
pertempuran ini Muhammad Toha dan Ramdan, dua anggota milisi BRI (Barisan Rakjat
Indonesia) terjun dalam misi untuk menghancurkan gudang amunisi tersebut. Muhammad Toha
berhasil meledakkan gudang tersebut dengan dinamit. Gudang besar itu meledak dan terbakar
bersama kedua milisi tersebut di dalamnya. Staf pemerintahan kota Bandung pada mulanya akan
tetap tinggal di dalam kota, tetapi demi keselamatan mereka, maka pada pukul 21.00 itu juga ikut
dalam rombongan yang mengevakuasi dari Bandung. Sejak saat itu, kurang lebih pukul 24.00
Bandung Selatan telah kosong dari penduduk dan TRI. Tetapi api masih membubung membakar
kota, sehingga Bandung pun menjadi lautan api.
Pembumihangusan Bandung tersebut dianggap merupakan strategi yang tepat dalam Perang
Kemerdekaan Indonesia karena kekuatan TRI dan milisi rakyat tidak sebanding dengan kekuatan
pihak Sekutu dan NICA yang berjumlah besar. Setelah peristiwa tersebut, TRI bersama milisi
rakyat melakukan perlawanan secara gerilya dari luar Bandung. Peristiwa ini mengilhami lagu
Halo, Halo Bandung yang nama penciptanya masih menjadi bahan perdebatan.
Beberapa tahun kemudian, lagu "Halo, Halo Bandung" secara resmi ditulis, menjadi kenangan
akan emosi yang para pejuang kemerdekaan Republik Indonesia alami saat itu, menunggu untuk
kembali ke kota tercinta mereka yang telah menjadi lautan api.
Asal istilah
Istilah Bandung Lautan Api menjadi istilah yang terkenal setelah peristiwa pembumihangusan
tersebut. Jenderal A.H Nasution adalah Jenderal TRI yang dalam pertemuan di Regentsweg
(sekarang Jalan Dewi Sartika), setelah kembali dari pertemuannya dengan Sutan Sjahrir di
Jakarta, memutuskan strategi yang akan dilakukan terhadap Kota Bandung setelah menerima
ultimatum Inggris tersebut.
"Jadi saya kembali dari Jakarta, setelah bicara dengan Sjahrir itu. Memang dalam pembicaraan
itu di Regentsweg, di pertemuan itu, berbicaralah semua orang. Nah, disitu timbul pendapat dari
Rukana, Komandan Polisi Militer di Bandung. Dia berpendapat, Mari kita bikin Bandung
Selatan menjadi lautan api. Yang dia sebut lautan api, tetapi sebenarnya lautan air." - A.H
Nasution, 1 Mei 1997
Istilah Bandung Lautan Api muncul pula di harian Suara Merdeka tanggal 26 Maret 1946.
Seorang wartawan muda saat itu, yaitu Atje Bastaman, menyaksikan pemandangan pembakaran
Bandung dari bukit Gunung Leutik di sekitar Pameungpeuk, Garut. Dari puncak itu Atje
Bastaman melihat Bandung yang memerah dari Cicadas sampai dengan Cimindi.
Setelah tiba di Tasikmalaya, Atje Bastaman dengan bersemangat segera menulis berita dan
memberi judul "Bandoeng Djadi Laoetan Api". Namun karena kurangnya ruang untuk tulisan
judulnya, maka judul berita diperpendek menjadi "Bandoeng Laoetan Api".
Kerajaan Sriwijaya adalah nama kerajaan yang tentu sudah tidak asing, karena Sriwijaya adalah
salah satu kerajaan maritim terbesar di Indonesia bahkan di Asia Tenggara pada waktu itu (abad
7 15 M). Perkembangan Sriwijaya hingga mencapai puncak kebesarannya sebagai kerajaan
Maritim. Sumber-sumber sejarah kerajaan Sriwijaya selain berasal dari dalam juga berasal dari
luar seperti dari Cina, India, Arab, Persia.
Kerajaan Sriwijaya berpusat di daerah yang sekarang dikenali sebagai Palembang di Sumatra
Pengaruhnya amat besar di atas semenanjung malayasia dan Pilipina. Kuasa Sriwijaya merosot
pada abad ke-11.Kerajaan Sriwijaya mulai ditakluk berbagai kerajaan Jawa, pertama oleh
kerajaan Singosari (Singhasari) dan akhirnya oleh kerajaan Kerajaan Majapahit. Malangnya,
sejarah Asia Tenggara tidak didokumentasikan dengan baik. Sumber sejarahnya berdasarkan
laporan dari orang luar, prasasti dan penemuan arkaelogi, artifak seperti patung dan lukisan, dan
hikayat.
Dapunta Hyang Sri Yayanaga (Prasasti Kedukan Bukit 683 M, Prasasti Talangtuo 684 M)
Cri Indrawarman (berita Cina, 724 M)
Rudrawikrama (berita Cina, 728 M)
Wishnu (Prasasti Ligor, 775 M)
Maharaja (berita Arab, 851 M)
Balaputradewa (Prasasti Nalanda, 860 M)
Cri Udayadityawarman (berita Cina, 960 M)
Cri Udayaditya (Berita Cina, 962 M)
Cri Cudamaniwarmadewa (Berita Cina, 1003. Prasasti Leiden, 1044 M)
Maraviyatunggawarman (Prasasti Leiden, 1044 M)
Cri Sanggrama Wijayatunggawarman (Prasasti Chola, 1004 M)
Pengaruh Budaya
Kerajaan Sriwijaya banyak dipengaruhi budaya India , pertama oleh budaya agama Hindu dan
kemudiannya diikuti pula oleh agama Buddha. Agama Buddha diperkenalkan di Sriwijaya pada
tahun 425 Masehi. Sriwijaya merupakan pusat terpenting agama Buddha Mahayana.Raja-raja
Sriwijaya menguasai kepulauan Melayu menerusi perdagangan dan penaklukan dari kurun abad
ke-7 hingga abad ke-9. Kerajaan Sriwijaya juga membantu menyebarkan kebudayaan Melayu ke
seluruh Sumatra, Semenanjung Melayu, dan Borneo Barat.Pada masa yang sama, agama Islam
memasuki Sumatra menerusi Aceh yang telah disebarkan menerusi perhubungan dengan
pedagang Arab dan India. Pada tahun 1414 pangeran terakhir Majapahit, Paramisora , memeluk
agama Islam dan berhijrah ke Tanah Melayu di mana dia telah mendirikan kesultanan Melaka.
Agama Buddha aliran Buddha Hinayana dan Buddha Mahayana disebarkan di pelosok
kepulauan Melayu dan Palembang menjadi pusat pembelajaran agama Buddha. Pada tahun
1025 , Sriwijaya telah diserbu kerajaan Cholas dari India. Pada masa itu juga, Sriwijaya telah
hilang kuasa monopoli ke atas lalu-lintas perdagangan Tiongkok -India . Dengan itu, kemewahan
Sriwijaya menurun. Kerajaan Singhasari yang berada di bawah naungan
Sriwijaya melepaskan diri daripadanya. Pada tahun 1088 kerajaan Melayu Jambi, yang
dahulunya berada di bawah naungan Sriwijaya menjadikan Sriwijaya taklukannya. Kekuatan
kerajaan Melayu Jambi berangsur hingga 2 abad.
Kunjungan I-sting, seorang peziarah Budha dari China pertama adalah tahun 671 M. Dalam
catatannya disebutkan bahwa, saat itu terdapat lebih dari seribu orang pendeta Budha di
Sriwijaya. Aturan dan upacara para pendeta Budha tersebut sama dengan aturan dan upacara
yang dilakukan oleh para pendeta Budha di India. I-tsing tinggal selama 6 bulan di Sriwijaya
untuk belajar bahasa Sansekerta, setelah itu, baru ia berangkat ke Nalanda, India. Setelah lama
belajar di Nalanda, tahun 685 I-tsing kembali ke Sriwijaya dan tinggal selama beberapa tahun
untuk menerjemahkan teks-teks Budha dari bahasa Sansekerta ke bahasa Cina.
Catatan Cina yang lain menyebutkan tentang utusan Sriwijaya yang datang secara
rutin ke Cina, yang terakhir adalah tahun 988 M
Gerakan 30 September
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Untuk artikel mengenai film tentang peristiwa Gerakan 30 September, lihat Pengkhianatan G 30 S/PKI.
Lihat pula:
Prasejarah
Kerajaan Hindu-Buddha
Tarumanagara (358669)
Kediri (10451221)
Singhasari (12221292)
Majapahit (12931500)
Kerajaan Islam
Kerajaan Kristen
Portugis (15121850)
VOC (1602-1800)
Belanda (18001942)
Kemunculan Indonesia
Kebangkitan Nasional (1899-1942)
Indonesia Merdeka
Daftar isi
1 Latar belakang
2 Peristiwa
o 2.4 Korban
3 Pasca kejadian
o 3.2 Supersemar
4 Peringatan
5 Lihat pula
7 Pranala luar
Latar belakang
Partai Komunis Indonesia (PKI) merupakan partai komunis yang terbesar di seluruh dunia, di
luar Tiongkok dan Uni Soviet. Sampai pada tahun 1965 anggotanya berjumlah sekitar 3,5 juta,
ditambah 3 juta dari pergerakan pemudanya. PKI juga mengontrol pergerakan serikat buruh yang
mempunyai 3,5 juta anggota dan pergerakan petani Barisan Tani Indonesia yang mempunyai 9
juta anggota. Termasuk pergerakan wanita (Gerwani), organisasi penulis dan artis dan pergerakan
sarjananya, PKI mempunyai lebih dari 20 juta anggota dan pendukung.
Pada bulan Juli 1959 parlemen dibubarkan dan Sukarno menetapkan konstitusi di bawah dekrit
presiden - sekali lagi dengan dukungan penuh dari PKI. Ia memperkuat tangan angkatan
bersenjata dengan mengangkat para jendral militer ke posisi-posisi yang penting. Sukarno
menjalankan sistem "Demokrasi Terpimpin". PKI menyambut "Demokrasi Terpimpin" Sukarno
dengan hangat dan anggapan bahwa dia mempunyai mandat untuk persekutuan Konsepsi yaitu
antara Nasionalis, Agama dan Komunis yang dinamakan NASAKOM.
Pada era "Demokrasi Terpimpin", kolaborasi antara kepemimpinan PKI dan kaum burjuis
nasional dalam menekan pergerakan-pergerakan independen kaum buruh dan petani, gagal
memecahkan masalah-masalah politis dan ekonomi yang mendesak. Pendapatan ekspor
menurun, foreign reserves menurun, inflasi terus menaik dan korupsi birokrat dan militer
menjadi wabah.
Angkatan kelima
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Angkatan Kelima
Pada kunjungan Menlu Subandrio ke Tiongkok, Perdana Menteri Zhou Enlai menjanjikan
100.000 pucuk senjata jenis chung, penawaran ini gratis tanpa syarat dan kemudian dilaporkan
ke Bung Karno tetapi belum juga menetapkan waktunya sampai meletusnya G30S.
Pada awal tahun 1965 Bung Karno atas saran dari PKI akibat dari tawaran perdana mentri RRC,
mempunyai ide tentang Angkatan Kelima yang berdiri sendiri terlepas dari ABRI. Tetapi
petinggi Angkatan Darat tidak setuju dan hal ini lebih menimbulkan nuansa curiga-mencurigai
antara militer dan PKI.
Dari tahun 1963, kepemimpinan PKI makin lama makin berusaha memprovokasi bentrokan-
bentrokan antara aktivis massanya dan polisi dan militer. Pemimpin-pemimpin PKI juga
menginfiltrasi polisi dan tentara denga slogan "kepentingan bersama" polisi dan "rakyat".
Pemimpin PKI DN Aidit mengilhami slogan "Untuk Ketentraman Umum Bantu Polisi". Di bulan
Agustus 1964, Aidit menganjurkan semua anggota PKI membersihkan diri dari "sikap-sikap
sektarian" kepada angkatan bersenjata, mengimbau semua pengarang dan seniman sayap-kiri
untuk membuat "massa tentara" subjek karya-karya mereka.
Di akhir 1964 dan permulaan 1965 ribuan petani bergerak merampas tanah yang bukan hak
mereka atas hasutan PKI. Bentrokan-bentrokan besar terjadi antara mereka dan polisi dan para
pemilik tanah.
Bentrokan-bentrokan tersebut dipicu oleh propaganda PKI yang menyatakan bahwa petani
berhak atas setiap tanah, tidak peduli tanah siapapun (milik negara = milik bersama).
Kemungkinan besar PKI meniru revolusi Bolsevik di Rusia, di mana di sana rakyat dan partai
komunis menyita milik Tsar dan membagi-bagikannya kepada rakyat.
Pada permulaan 1965, para buruh mulai menyita perusahaan-perusahaan karet dan minyak milik
Amerika Serikat. Kepemimpinan PKI menjawab ini dengan memasuki pemerintahan dengan
resmi. Pada waktu yang sama, jenderal-jenderal militer tingkat tinggi juga menjadi anggota
kabinet. Jendral-jendral tersebut masuk kabinet karena jabatannya di militer oleh Sukarno
disamakan dengan setingkat mentri. Hal ini dapat dibuktikan dengan nama jabatannya
(Menpangab, Menpangad, dan lain-lain).
Menteri-menteri PKI tidak hanya duduk di sebelah para petinggi militer di dalam kabinet
Sukarno ini, tetapi mereka terus mendorong ilusi yang sangat berbahaya bahwa angkatan
bersenjata adalah merupakan bagian dari revolusi demokratis "rakyat".
Aidit memberikan ceramah kepada siswa-siswa sekolah angkatan bersenjata di mana ia berbicara
tentang "perasaan kebersamaan dan persatuan yang bertambah kuat setiap hari antara tentara
Republik Indonesia dan unsur-unsur masyarakat Indonesia, termasuk para komunis".
Rezim Sukarno mengambil langkah terhadap para pekerja dengan melarang aksi-aksi mogok di
industri. Kepemimpinan PKI tidak berkeberatan karena industri menurut mereka adalah milik
pemerintahan NASAKOM.
Tidak lama PKI mengetahui dengan jelas persiapan-persiapan untuk pembentukan rezim militer,
menyatakan keperluan untuk pendirian "angkatan kelima" di dalam angkatan bersenjata, yang
terdiri dari pekerja dan petani yang bersenjata. Bukannya memperjuangkan mobilisasi massa
yang berdiri sendiri untuk melawan ancaman militer yang sedang berkembang itu,
kepemimpinan PKI malah berusaha untuk membatasi pergerakan massa yang makin mendalam
ini dalam batas-batas hukum kapitalis negara. Mereka, depan jendral-jendral militer, berusaha
menenangkan bahwa usul PKI akan memperkuat negara. Aidit menyatakan dalam laporan ke
Komite Sentral PKI bahwa "NASAKOMisasi" angkatan bersenjata dapat dicapai dan mereka
akan bekerjasama untuk menciptakan "angkatan kelima". Kepemimpinan PKI tetap berusaha
menekan aspirasi revolusioner kaum buruh di Indonesia. Di bulan Mei 1965, Politbiro PKI masih
mendorong ilusi bahwa aparatus militer dan negara sedang diubah untuk mengecilkan aspek anti-
rakyat dalam alat-alat negara.
Sejak tahun 1964 sampai menjelang meletusnya G30S telah beredar isu sakit parahnya Bung
Karno. Hal ini meningkatkan kasak-kusuk dan isu perebutan kekuasaan apabila Bung Karno
meninggal dunia. Namun menurut Subandrio, Aidit tahu persis bahwa Bung Karno hanya sakit
ringan saja, jadi hal ini bukan merupakan alasan PKI melakukan tindakan tersebut.
Pada tahun 1960 keluarlah Undang-Undang Pokok Agraria (UU Pokok Agraria) dan Undang-
Undang Pokok Bagi Hasil (UU Bagi Hasil) yang sebenarnya merupakan kelanjutan dari Panitia
Agraria yang dibentuk pada tahun 1948. Panitia Agraria yang menghasilkan UUPA terdiri dari
wakil pemerintah dan wakil berbagai ormas tani yang mencerminkan 10 kekuatan partai politik
pada masa itu. Walaupun undang-undangnya sudah ada namun pelaksanaan di daerah tidak jalan
sehingga menimbulkan gesekan antara para petani penggarap dengan pihak pemilik tanah yang
takut terkena UUPA, melibatkan sebagian massa pengikutnya dengan melibatkan backing aparat
keamanan. Peristiwa yang menonjol dalam rangka ini antara lain peristiwa Bandar Betsi di
Sumatera Utara dan peristiwa di Klaten yang disebut sebagai aksi sepihak dan kemudian
digunakan sebagai dalih oleh militer untuk membersihkannya.
Keributan antara PKI dan Islam (tidak hanya NU, tapi juga dengan Persis dan Muhammadiyah)
itu pada dasarnya terjadi di hampir semua tempat di Indonesia, di Jawa Barat, Jawa Timur, dan di
propinsi-propinsi lain juga terjadi hal demikian, PKI di beberapa tempat bahkan sudah
mengancam kyai-kyai bahwa mereka akan disembelih setelah tanggal 30 September 1965 (hal
ini membuktikan bahwa seluruh elemen PKI mengetahui rencana kudeta 30 September tersebut).
Faktor Malaysia
Negara Federasi Malaysia yang baru terbentuk pada tanggal 16 September 1963 adalah salah
satu faktor penting dalam insiden ini[1]. Konfrontasi Indonesia-Malaysia merupakan salah satu
penyebab kedekatan Presiden Soekarno dengan PKI, menjelaskan motivasi para tentara yang
menggabungkan diri dalam gerakan G30S/Gestok (Gerakan Satu Oktober), dan juga pada
akhirnya menyebabkan PKI melakukan penculikan petinggi Angkatan Darat.
Sejak demonstrasi anti-Indonesia di Kuala Lumpur, di mana para demonstran menyerbu
gedung KBRI, merobek-robek foto Soekarno, membawa lambang negara Garuda Pancasila ke
hadapan Tunku Abdul RahmanPerdana Menteri Malaysia saat itudan memaksanya untuk
menginjak Garuda, amarah Soekarno terhadap Malaysia pun meledak.
Soekarno yang murka karena hal itu mengutuk tindakan Tunku yang menginjak-injak lambang
negara Indonesia[2] dan ingin melakukan balas dendam dengan melancarkan gerakan yang
terkenal dengan sebutan "Ganyang Malaysia" kepada negara Federasi Malaysia yang telah sangat
menghina Indonesia dan presiden Indonesia. Perintah Soekarno kepada Angkatan Darat untuk
meng"ganyang Malaysia" ditanggapi dengan dingin oleh para jenderal pada saat itu. Di satu
pihak Letjen Ahmad Yani tidak ingin melawan Malaysia yang dibantu oleh Inggris dengan
anggapan bahwa tentara Indonesia pada saat itu tidak memadai untuk peperangan dengan skala
tersebut, sedangkan di pihak lain Kepala Staf TNI Angkatan Darat A.H. Nasution setuju dengan
usulan Soekarno karena ia mengkhawatirkan isu Malaysia ini akan ditunggangi oleh PKI untuk
memperkuat posisinya di percaturan politik di Indonesia.
Posisi Angkatan Darat pada saat itu serba salah karena di satu pihak mereka tidak yakin mereka
dapat mengalahkan Inggris, dan di lain pihak mereka akan menghadapi Soekarno yang
mengamuk jika mereka tidak berperang. Akhirnya para pemimpin Angkatan Darat memilih
untuk berperang setengah hati di Kalimantan. Tak heran, Brigadir Jenderal Suparjo, komandan
pasukan di Kalimantan Barat, mengeluh, konfrontasi tak dilakukan sepenuh hati dan ia merasa
operasinya disabotase dari belakang[3]. Hal ini juga dapat dilihat dari kegagalan operasi gerilya di
Malaysia, padahal tentara Indonesia sebenarnya sangat mahir dalam peperangan gerilya.
Mengetahui bahwa tentara Indonesia tidak mendukungnya, Soekarno merasa kecewa dan
berbalik mencari dukungan PKI untuk melampiaskan amarahnya kepada Malaysia. Soekarno,
seperti yang ditulis di otobiografinya, mengakui bahwa ia adalah seorang yang memiliki harga
diri yang sangat tinggi, dan tidak ada yang dapat dilakukan untuk mengubah keinginannya
meng"ganyang Malaysia".
Soekarno adalah seorang individualis. Manusia jang tjongkak dengan suara-batin yang
menjala-njala, manusia jang mengakui bahwa ia mentjintai dirinja sendiri tidak mungkin
mendjadi satelit jang melekat pada bangsa lain. Soekarno tidak mungkin menghambakan diri
pada dominasi kekuasaan manapun djuga. Dia tidak mungkin menjadi boneka.
Di pihak PKI, mereka menjadi pendukung terbesar gerakan "ganyang Malaysia" yang mereka
anggap sebagai antek Inggris, antek nekolim. PKI juga memanfaatkan kesempatan itu untuk
keuntungan mereka sendiri, jadi motif PKI untuk mendukung kebijakan Soekarno tidak
sepenuhnya idealis.
Pada saat PKI memperoleh angin segar, justru para penentangnyalah yang menghadapi keadaan
yang buruk; mereka melihat posisi PKI yang semakin menguat sebagai suatu ancaman, ditambah
hubungan internasional PKI dengan Partai Komunis sedunia, khususnya dengan adanya poros
Jakarta-Beijing-Moskow-Pyongyang-Phnom Penh. Soekarno juga mengetahui hal ini, namun ia
memutuskan untuk mendiamkannya karena ia masih ingin meminjam kekuatan PKI untuk
konfrontasi yang sedang berlangsung, karena posisi Indonesia yang melemah di lingkungan
internasional sejak keluarnya Indonesia dari PBB (20 Januari 1965).
Dari sebuah dokumen rahasia badan intelejen Amerika Serikat (CIA) yang baru dibuka yang
bertanggalkan 13 Januari 1965 menyebutkan sebuah percakapan santai Soekarno dengan para
pemimpin sayap kanan bahwa ia masih membutuhkan dukungan PKI untuk menghadapi
Malaysia dan oleh karena itu ia tidak bisa menindak tegas mereka. Namun ia juga menegaskan
bahwa suatu waktu "giliran PKI akan tiba. "Soekarno berkata, "Kamu bisa menjadi teman atau
musuh saya. Itu terserah kamu. ... Untukku, Malaysia itu musuh nomor satu. Suatu saat saya
akan membereskan PKI, tetapi tidak sekarang."[2]
Dari pihak Angkatan Darat, perpecahan internal yang terjadi mulai mencuat ketika banyak
tentara yang kebanyakan dari Divisi Diponegoro yang kesal serta kecewa kepada sikap petinggi
Angkatan Darat yang takut kepada Malaysia, berperang hanya dengan setengah hati, dan
berkhianat terhadap misi yang diberikan Soekarno. Mereka memutuskan untuk berhubungan
dengan orang-orang dari PKI untuk membersihkan tubuh Angkatan Darat dari para jenderal ini.
Amerika Serikat pada waktu itu sedang terlibat dalam perang Vietnam dan berusaha sekuat
tenaga agar Indonesia tidak jatuh ke tangan komunisme. Peranan badan intelejen Amerika
Serikat (CIA) pada peristiwa ini sebatas memberikan 50 juta rupiah (uang saat itu) kepada Adam
Malik dan walkie-talkie serta obat-obatan kepada tentara Indonesia. Politisi Amerika pada bulan-
bulan yang menentukan ini dihadapkan pada masalah yang membingungkan karena mereka
merasa ditarik oleh Sukarno ke dalam konfrontasi Indonesia-Malaysia ini.
Salah satu pandangan mengatakan bahwa peranan Amerika Serikat dalam hal ini tidak besar, hal
ini dapat dilihat dari telegram Duta Besar Green ke Washington pada tanggal 8 Agustus 1965
yang mengeluhkan bahwa usahanya untuk melawan propaganda anti-Amerika di Indonesia tidak
memberikan hasil bahkan tidak berguna sama sekali. Dalam telegram kepada Presiden Johnson
tanggal 6 Oktober, agen CIA menyatakan ketidakpercayaan kepada tindakan PKI yang dirasa
tidak masuk akal karena situasi politis Indonesia yang sangat menguntungkan mereka, dan
hingga akhir Oktober masih terjadi kebingungan atas pembantaian di Jawa Tengah, Jawa Timur,
dan Bali dilakukan oleh PKI atau NU/PNI.
Pandangan lain, terutama dari kalangan korban dari insiden ini, menyebutkan bahwa Amerika
menjadi aktor di balik layar dan setelah dekrit Supersemar Amerika memberikan daftar nama-
nama anggota PKI kepada militer untuk dibunuh. Namun hingga saat ini kedua pandangan
tersebut tidak memiliki banyak bukti-bukti fisik.
Faktor ekonomi
Ekonomi masyarakat Indonesia pada waktu itu yang sangat rendah mengakibatkan dukungan
rakyat kepada Soekarno (dan PKI) meluntur. Mereka tidak sepenuhnya menyetujui kebijakan
"ganyang Malaysia" yang dianggap akan semakin memperparah keadaan Indonesia.
Inflasi yang mencapai 650% membuat harga makanan melambung tinggi, rakyat kelaparan dan
terpaksa harus antri beras, minyak, gula, dan barang-barang kebutuhan pokok lainnya. Beberapa
faktor yang berperan kenaikan harga ini adalah keputusan Suharto-Nasution untuk menaikkan
gaji para tentara 500% dan penganiayaan terhadap kaum pedagang Tionghoa yang menyebabkan
mereka kabur. Sebagai akibat dari inflasi tersebut, banyak rakyat Indonesia yang sehari-hari
hanya makan bonggol pisang, umbi-umbian, gaplek, serta bahan makanan yang tidak layak
dikonsumsi lainnya; pun mereka menggunakan kain dari karung sebagai pakaian mereka.
Faktor ekonomi ini menjadi salah satu sebab kemarahan rakyat atas pembunuhan keenam
jenderal tersebut, yang berakibat adanya backlash terhadap PKI dan pembantaian orang-orang
yang dituduh anggota PKI di Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali serta tempat-tempat lainnya.
Peristiwa
Pada 1 Oktober 1965 dini hari, enam jenderal senior dan beberapa orang lainnya dibunuh dalam
upaya kudeta yang disalahkan kepada para pengawal istana (Cakrabirawa) yang dianggap loyal
kepada PKI dan pada saat itu dipimpin oleh Letkol. Untung. Panglima Komando Strategi
Angkatan Darat saat itu, Mayjen Soeharto kemudian mengadakan penumpasan terhadap gerakan
tersebut.
Pada saat-saat yang genting sekitar bulan September 1965 muncul isu adanya Dewan Jenderal
yang mengungkapkan adanya beberapa petinggi Angkatan Darat yang tidak puas terhadap
Soekarno dan berniat untuk menggulingkannya. Menanggapi isu ini, Soekarno disebut-sebut
memerintahkan pasukan Cakrabirawa untuk menangkap dan membawa mereka untuk diadili
oleh Soekarno. Namun yang tidak diduga-duga, dalam operasi penangkapan jenderal-jenderal
tersebut, terjadi tindakan beberapa oknum yang termakan emosi dan membunuh Letjen Ahmad
Yani, Panjaitan, dan Harjono.
Dokumen Gilchrist yang diambil dari nama duta besar Inggris untuk Indonesia Andrew Gilchrist
beredar hampir bersamaan waktunya dengan isu Dewan Jenderal. Dokumen ini, yang oleh
beberapa pihak disebut sebagai pemalsuan oleh intelejen Ceko di bawah pengawasan Jenderal
Agayant dari KGB Rusia, menyebutkan adanya "Teman Tentara Lokal Kita" yang mengesankan
bahwa perwira-perwira Angkatan Darat telah dibeli oleh pihak Barat[4]. Kedutaan Amerika
Serikat juga dituduh memberikan daftar nama-nama anggota PKI kepada tentara untuk
"ditindaklanjuti". Dinas intelejen Amerika Serikat mendapat data-data tersebut dari berbagai
sumber, salah satunya seperti yang ditulis John Hughes, wartawan The Nation yang menulis
buku "Indonesian Upheaval", yang dijadikan basis skenario film "The Year of Living
Dangerously", ia sering menukar data-data apa yang ia kumpulkan untuk mendapatkan fasilitas
teleks untuk mengirimkan berita.
Hingga saat ini tidak ada bukti keterlibatan/peran aktif Soeharto dalam aksi penculikan tersebut.
Satu-satunya bukti yang bisa dielaborasi adalah pertemuan Soeharto yang saat itu menjabat
sebagai Pangkostrad (pada zaman itu jabatan Panglima Komando Strategis Cadangan Angkatan
Darat tidak membawahi pasukan, berbeda dengan sekarang) dengan Kolonel Abdul Latief di
Rumah Sakit Angkatan Darat.
Meski demikian, Suharto merupakan pihak yang paling diuntungkan dari peristiwa ini. Banyak
penelitian ilmiah yang sudah dipublikasikan di jurnal internasional mengungkap keterlibatan
Suharto dan CIA. Beberapa diantaranya adalah, Cornell Paper, karya Benedict R.O'G. Anderson
and Ruth T. McVey (Cornell University), Ralph McGehee (The Indonesian Massacres and the
CIA), Government Printing Office of the US (Department of State, INR/IL Historical Files,
Indonesia, 1963-1965. Secret; Priority; Roger Channel; Special Handling), John Roosa (Pretext
for Mass Murder: The September 30th Movement and Suharto's Coup d'tat in Indonesia), Prof.
Dr. W.F. Wertheim (Serpihan Sejarah Th65 yang Terlupakan).
Korban
Letjen TNI Ahmad Yani (Menteri/Panglima Angkatan Darat/Kepala Staf Komando Operasi
Tertinggi)
Mayjen TNI Mas Tirtodarmo Haryono (Deputi III Menteri/Panglima AD bidang Perencanaan dan
Pembinaan)
Mayjen TNI Siswondo Parman (Asisten I Menteri/Panglima AD bidang Intelijen)
Jenderal TNI Abdul Harris Nasution yang menjadi sasaran utama, selamat dari upaya
pembunuhan tersebut. Sebaliknya, putrinya Ade Irma Suryani Nasution dan ajudan beliau, Lettu
CZI Pierre Andreas Tendean tewas dalam usaha pembunuhan tersebut.
Bripka Karel Satsuit Tubun (Pengawal kediaman resmi Wakil Perdana Menteri II dr.J. Leimena)
Para korban tersebut kemudian dibuang ke suatu lokasi di Pondok Gede, Jakarta yang dikenal
sebagai Lubang Buaya. Mayat mereka ditemukan pada 3 Oktober.
Pasca kejadian
Pasca pembunuhan beberapa perwira TNI AD, PKI mampu menguasai dua sarana komunikasi
vital, yaitu studio RRI di Jalan Merdeka Barat dan Kantor Telekomunikasi yang terletak di Jalan
Merdeka Selatan. Melalui RRI, PKI menyiarkan pengumuman tentang Gerakan 30 September
yang ditujukan kepada para perwira tinggi anggota Dewan Jenderal yang akan mengadakan
kudeta terhadap pemerintah. Diumumkan pula terbentuknya Dewan Revolusi yang diketuai
oleh Letkol Untung Sutopo.
Di Jawa Tengah dan DI. Yogyakarta, PKI melakukan pembunuhan terhadap Kolonel Katamso
(Komandan Korem 072/Yogyakarta) dan Letnan Kolonel Sugiyono (Kepala Staf Korem
072/Yogyakarta). Mereka diculik PKI pada sore hari 1 Oktober 1965. Kedua perwira ini dibunuh
karena secara tegas menolak berhubungan dengan Dewan Revolusi. Pada tanggal 1 Oktober
1965 Sukarno dan sekretaris jendral PKI Aidit menanggapi pembentukan Dewan Revolusioner
oleh para "pemberontak" dengan berpindah ke Pangkalan Angkatan Udara Halim di Jakarta
untuk mencari perlindungan.
Pada tanggal 6 Oktober Sukarno mengimbau rakyat untuk menciptakan "persatuan nasional",
yaitu persatuan antara angkatan bersenjata dan para korbannya, dan penghentian kekerasan. Biro
Politik dari Komite Sentral PKI segera menganjurkan semua anggota dan organisasi-organisasi
massa untuk mendukung "pemimpin revolusi Indonesia" dan tidak melawan angkatan bersenjata.
Pernyataan ini dicetak ulang di koran CPA bernama "Tribune".
Pada tanggal 16 Oktober 1965, Sukarno melantik Mayjen Suharto menjadi Menteri/Panglima
Angkatan Darat di Istana Negara. Berikut kutipan amanat presiden Sukarno kepada Suharto pada
saat Suharto disumpah[5]:
Saya perintahkan kepada Jenderal Mayor Soeharto, sekarang Angkatan Darat pimpinannya
saya berikan kepadamu, buatlah Angkatan Darat ini satu Angkatan dari pada Republik
Indonesia, Angkatan Bersenjata daripada Republik Indonesia yang sama sekali menjalankan
Panca Azimat Revolusi, yang sama sekali berdiri di atas Trisakti, yang sama sekali berdiri di
atas Nasakom, yang sama sekali berdiri di atas prinsip Berdikari, yang sama sekali berdiri atas
prinsip Manipol-USDEK.
Manipol-USDEK telah ditentukan oleh lembaga kita yang tertinggi sebagai haluan
negara Republik Indonesia. Dan oleh karena Manipol-USDEK ini adalah haluan
daripada negara Republik Indonesia, maka dia harus dijunjung tinggi, dijalankan,
dipupuk oleh semua kita. Oleh Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara,
Angkatan Kepolisian Negara. Hanya jikalau kita berdiri benar-benar di atas Panca
Azimat ini, kita semuanya, maka barulah revousi kita bisa jaya.
Soeharto, sebagai panglima Angkatan Darat, dan sebagai Menteri dalam kabinetku,
saya perintahkan engkau, kerjakan apa yang kuperintahkan kepadamu dengan sebaik-
baiknya. Saya doakan Tuhan selalu beserta kita dan beserta engkau!
Dalam sebuah Konferensi Tiga Benua di Havana di bulan Februari 1966, perwakilan Uni-Sovyet
berusaha dengan segala kemampuan mereka untuk menghindari pengutukan atas penangkapan
dan pembunuhan orang-orang yang dituduh sebagai PKI, yang sedang terjadi terhadap rakyat
Indonesia. Pendirian mereka mendapatkan pujian dari rejim Suharto. Parlemen Indonesia
mengesahkan resolusi pada tanggal 11 Februari, menyatakan "penghargaan penuh" atas usaha-
usaha perwakilan-perwakilan dari Nepal, Mongolia, Uni-Sovyet dan negara-negara lain di
Konperensi Solidaritas Negara-Negara Afrika, Asia dan Amerika Latin, yang berhasil
menetralisir usaha-usaha para kontra-revolusioner apa yang dinamakan pergerakan 30
September, dan para pemimpin dan pelindung mereka, untuk bercampur-tangan di dalam urusan
dalam negeri Indonesia."
Dalam bulan-bulan setelah peristiwa ini, semua anggota dan pendukung PKI, atau mereka yang
dianggap sebagai anggota dan simpatisan PKI, semua partai kelas buruh yang diketahui dan
ratusan ribu pekerja dan petani Indonesia yang lain dibunuh atau dimasukkan ke kamp-kamp
tahanan untuk disiksa dan diinterogasi. Pembunuhan-pembunuhan ini terjadi di Jawa Tengah
(bulan Oktober), Jawa Timur (bulan November) dan Bali (bulan Desember). Berapa jumlah
orang yang dibantai tidak diketahui dengan persis - perkiraan yang konservatif menyebutkan
500.000 orang, sementara perkiraan lain menyebut dua sampai tiga juta orang. Namun diduga
setidak-tidaknya satu juta orang menjadi korban dalam bencana enam bulan yang mengikuti
kudeta itu.
Dihasut dan dibantu oleh tentara, kelompok-kelompok pemuda dari organisasi-organisasi muslim
sayap-kanan seperti barisan Ansor NU dan Tameng Marhaenis PNI melakukan pembunuhan-
pembunuhan massal, terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ada laporan-laporan bahwa
Sungai Brantas di dekat Surabaya menjadi penuh mayat-mayat sampai di tempat-tempat tertentu
sungai itu "terbendung mayat".
Pada akhir 1965, antara 500.000 dan satu juta anggota-anggota dan pendukung-pendukung PKI
telah menjadi korban pembunuhan dan ratusan ribu lainnya dipenjarakan di kamp-kamp
konsentrasi, tanpa adanya perlawanan sama sekali. Sewaktu regu-regu militer yang didukung
dana CIA [1] menangkapi semua anggota dan pendukung PKI yang terketahui dan melakukan
pembantaian keji terhadap mereka, majalah "Time" memberitakan:
Di pulau Bali, yang sebelum itu dianggap sebagai kubu PKI, paling sedikit 35.000 orang menjadi
korban di permulaan 1966. Di sana para Tamin, pasukan komando elite Partai Nasional
Indonesia, adalah pelaku pembunuhan-pembunuhan ini. Koresponden khusus dari Frankfurter
Allgemeine Zeitung bercerita tentang mayat-mayat di pinggir jalan atau dibuang ke dalam galian-
galian dan tentang desa-desa yang separuh dibakar di mana para petani tidak berani
meninggalkan kerangka-kerangka rumah mereka yang sudah hangus.
Di daerah-daerah lain, para terdakwa dipaksa untuk membunuh teman-teman mereka untuk
membuktikan kesetiaan mereka. Di kota-kota besar pemburuan-pemburuan rasialis "anti-
Tionghoa" terjadi. Pekerja-pekerja dan pegawai-pegawai pemerintah yang mengadakan aksi
mogok sebagai protes atas kejadian-kejadian kontra-revolusioner ini dipecat.
Paling sedikit 250,000 orang pekerja dan petani dipenjarakan di kamp-kamp konsentrasi.
Diperkirakan sekitar 110,000 orang masih dipenjarakan sebagai tahanan politik pada akhir 1969.
Eksekusi-eksekusi masih dilakukan sampai sekarang, termasuk belasan orang sejak tahun 1980-
an. Empat tapol, Johannes Surono Hadiwiyino, Safar Suryanto, Simon Petrus Sulaeman dan
Nobertus Rohayan, dihukum mati hampir 25 tahun sejak kudeta itu.
Supersemar
Wikisource memiliki naskah sumber yang berkaitan dengan artikel ini:
Lima bulan setelah itu, pada tanggal 11 Maret 1966, Sukarno memberi Suharto kekuasaan tak
terbatas melalui Surat Perintah Sebelas Maret. Ia memerintah Suharto untuk mengambil
"langkah-langkah yang sesuai" untuk mengembalikan ketenangan dan untuk melindungi
keamanan pribadi dan wibawanya. Kekuatan tak terbatas ini pertama kali digunakan oleh
Suharto untuk melarang PKI. Sebagai penghargaan atas jasa-jasanya, Sukarno dipertahankan
sebagai presiden tituler diktatur militer itu sampai Maret 1967.
Kepemimpinan PKI terus mengimbau massa agar menuruti kewenangan rejim Sukarno-Suharto.
Aidit, yang telah melarikan diri, ditangkap dan dibunuh oleh TNI pada tanggal 24 November,
tetapi pekerjaannya diteruskan oleh Sekretaris Kedua PKI Nyoto.
Hal ini didokumentasikan oleh Jhon Pilger dalam film The New Rulers of World (tersedia di
situs video google) yang menggambarkan bagaimana kekayaan alam Indonesia dibagi-bagi
bagaikan rampasan perang oleh perusahaan asing pasca jatuhnya Soekarno. Freeport mendapat
emas di Papua Barat, Caltex mendapatkan ladang minyak di Riau, Mobil Oil mendapatkan
ladang gas di Natuna, perusahaan lain mendapat hutan tropis. Kebijakan ekonomi pro liberal
sejak saat itu diterapkan.
Peringatan
Pada 29 September - 4 Oktober 2006, para eks pendukung PKI mengadakan rangkaian acara
peringatan untuk mengenang peristiwa pembunuhan terhadap ratusan ribu hingga jutaan jiwa di
berbagai pelosok Indonesia. Acara yang bertajuk "Pekan Seni Budaya dalam rangka
memperingati 40 tahun tragedi kemanusiaan 1965" ini berlangsung di Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Indonesia, Depok. Selain civitas academica Universitas Indonesia, acara itu juga
dihadiri para korban tragedi kemanusiaan 1965, antara lain Setiadi, Murad Aidit, Haryo
Sasongko, dan Putmainah.