Anda di halaman 1dari 62

BAB V

PERTEMPURAN MELAWAN SEKUTU DAN NICA

P
ada bab sebelumnya telah dibahas bagaimana kedatangan tentara Sekutu
dan Belanda pada awal kemerdekaan Indonesia dengan alasan
membebaskan tentara Belanda yang ditahan oleh dan penyerahan
kekuasaan Jepang kepada Sekutu. Dalam bab ini akan dibahas mengenai reaksi
rakyat Indonesia atas intervensi politik dan militer pihak Sekutu dan Belanda
terhadap kemerdekaan Indonesia. Seiring waktu berjalan tentara Sekutu dan
Belanda memiliki maksud dan tujuan lain untuk mengganggu kestabilan negara
Indonesia. Rakyat bersama tokoh-tokoh perjuangan serentak melakukan
perlawanan terhadap intervensi tentara Sekutu dan Belanda, banyak terjadi
peperangan di berbagai daerah di Indonesia seperti peristiwa Ambarawa, Bandung
Lautan Api, Perang lima hari lima malam di Palembang, sampai peristiwa
pertempuran di Surabaya menjadi bukti bahwa Indonesia adalah negara merdeka.
TIK
Setelah membahas bab 5 ini, mahasiswa diharapkan dapat:
1. Menganalisis faktor penyebab pertempuran yang terjadi antara rakyat
Indonesia dengan sekutu di beberapa wilayah Indonesia
2. Mendeskripsikan pertempuran Surabaya, pertempuran Ambarawa,
Bandung lautan Api, Peristiwa Manggarana di Bali, pertempuran Medan
Area, Perang lima Hari Lima Malam di Palembang, Perang Lima Hari di
Semarang
3. Mendeskripsikan upaya penyelesaian konflik yang terjadi antara rakyat
Indonesia, Sekutu, dan Belanda.

Pasca proklamasi 17 Agustus 1945 bangsa Indonesia dihadapkan kepada


upaya mempertahankan kemerdekaan dari ancaman Sekutu yang ingin
menancapkan kembali kekuasaan Belanda di Indonesia. Pasukan Sekutu yang
bertugas di Indonesia merupakan komando bawahan dengan nama Allied Forces
Netherlands East Indies (AFNEI). Pada mulanya kedatangan pasukan Sekutu
tersebut disikapi dengan netral oleh pihak Indonesia, akan tetapi setelah diketahui

110 | S N I 5
bahwa kedatangan pasukan Sekutu tersebut membonceng Netherlands Indische
Civil Administration (NICA ) yang terang-terangan hendak menegakkan kembali
kekuasaan Hindia Belanda, sikap Indonesia mulai berubah (Poesponegoro dan
Notosusanto, 1993).
Kedatangan Pasukan Sekutu di berbagai kota besar di Indonesia seperti
Jakarta, Bandung, Semarang dan Surabaya menimbulkan insiden-insiden bahkan
pertempuran–pertempuran dengan pihak RI. Hal itu terjadi karena setiap tempat
yang dijadikan pendaratan tentara Sekutu kehadirannya selalu diikuti oleh
tindakan-tindakan provokasi dan teror terhadap rakyat dan pemimpin-pemimpin
RI dengan tidak menghargai kedaulatan Republik Indonesia (Nasution, 1978).
Reaksi Bangsa Indonesia terhadap provokasi Sekutu diwujudkan dengan
perlawanan-perlawanan hebat yang terjadi di berbagai daerah. Berikut ini
beberapa pertempuran yang terjadi di berbagai daerah dalam melawan Sekutu:
1. Pertempuran Surabaya
“Pertempuran Surabaya” merupakan satu rangkaian peristiwa yang
dimulai pada hari kedua sejak Brigade 49/Divisi India ke-23 tentara Sekutu
(AFNEI) di bawah Komando Brigadir Jenderal A.W.S Mallaby mendarat untuk
pertama kali di Surabaya pada tanggal 25 Oktober 1945. (Sekretaris Negara RI,
1985)

Gambar. Suasana setelah penghentian tembak-menembak yang disepakati para pemimpin Pemerintahan
Republik Indonesia dengan tentara Sekutu, pada gambar tampak Brigadir Jenderal A.W.S Mallaby dab Dr.
Soegiri sedang berkeliling kota memberitahukan adanya gencatan senjata. Sumber: Repro Foto 30 Tahun
Indonesia Merdeka

111 | S N I 5
Pertempuran Surabaya menjadi peristiwa sejarah perang antara pihak
tentara Indonesia dan pasukan Belanda. Peristiwa besar ini terjadi pada tanggal
10 November 1945 di Kota Surabaya, Jawa Timur. Pertempuran ini adalah
perang pertama pasukan Indonesia dengan pasukan asing setelah Proklamasi
Kemerdekaan Indonesia dan satu pertempuran terbesar dan terberat dalam sejarah
Revolusi Nasional Indonesia yang menjadi simbol nasional atas perlawanan
Indonesia terhadap kolonialisme ( Ricklefs,1991).
Kronologi penyebab terjadinya pertempuran Surabaya adalah sebagai
berikut:
a. Kedatangan Tentara Jepang ke Indonesia
Tanggal 1 Maret 1942, tentara Jepang mendarat di Pulau Jawa, dan
tujuh hari kemudian tanggal 8 Maret 1945, pemerintah kolonial Belanda
menyerah tanpa syarat kepada Jepang berdasarkan perjanjian Kalidjati.
Setelah penyerahan tanpa syarat tesebut, Indonesia secara resmi diduduki
oleh Jepang.
b. Proklamasi Kemerdekaan Indonesia
Tiga tahun kemudian, Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu
setelah dijatuhkannya bom atom (oleh Amerika Serikat) di Hiroshima dan
Nagasaki. Peristiwa itu terjadi pada bulan Agustus 1945. Dalam
kekosongan kekuasaan asing tersebut, Soekarno kemudian
memproklamirkan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945.
c. Kedatangan Tentara Inggris dan Belanda
Setelah kekalahan pihak Jepang, rakyat dan pejuang Indonesia
berupaya melucuti senjata para tentara Jepang. Maka timbullah
pertempuran-pertempuran yang memakan korban di banyak daerah. Ketika
gerakan untuk melucuti pasukan Jepang sedang berkobar, tanggal 15
September 1945, tentara Inggris mendarat di Jakarta, kemudian mendarat
di Surabaya pada 25 Oktober 1945. Tentara Inggris datang ke Indonesia
tergabung dalam AFNEI (Allied Forces Netherlands East Indies) atas
keputusan dan atas nama Blok Sekutu, dengan tugas untuk melucuti
tentara Jepang, membebaskan para tawanan perang yang ditahan Jepang,

112 | S N I 5
serta memulangkan tentara Jepang ke negerinya. Namun selain itu tentara
Inggris yang datang juga membawa misi mengembalikan Indonesia
kepada administrasi pemerintahan Belanda sebagai negeri jajahan Hindia
Belanda. NICA (Netherlands Indies Civil Administration) ikut
membonceng bersama rombongan tentara Inggris untuk tujuan tersebut.
Hal ini memicu gejolak rakyat Indonesia dan memunculkan pergerakan
perlawanan rakyat Indonesia di mana-mana melawan tentara AFNEI dan
pemerintahan NICA.

d. Insiden di Hotel Yamato, Tunjungan, Surabaya

Setelah munculnya maklumat


pemerintah Indonesia tanggal
31 Agustus 1945 yang
menetapkan bahwa mulai 1
September 1945 bendera
nasional Sang Saka Merah
Putih dikibarkan terus di
seluruh wilayah Indonesia,
gerakan pengibaran bendera
tersebut makin meluas ke
segenap pelosok kota
Surabaya. Klimaks gerakan
pengibaran bendera

Gambar : Rakyat Indonesia menyobek bendera Bekabda di Hotel Yamato.


Sumber:Wikipedia.com

di Surabaya terjadi pada insiden perobekan bendera di Hotel Yamato


(bernama Oranje Hotel atau Hotel Oranye pada zaman kolonial, sekarang
bernama Hotel Majapahit) di Jl. Tunjungan no. 65 Surabaya.
Sekelompok orang Belanda di bawah pimpinan Mr. W.V.Ch
Ploegman pada sore hari tanggal 18 September 1945, tepatnya pukul

113 | S N I 5
21.00, mengibarkan bendera Belanda (Merah-Putih-Biru), tanpa
persetujuan Pemerintah RI Daerah Surabaya, di tiang pada tingkat teratas
Hotel Yamato, sisi sebelah utara. Keesokan harinya para pemuda Surabaya
melihatnya dan menjadi marah karena mereka menganggap Belanda telah
menghina kedaulatan Indonesia, hendak mengembalikan kekuasan
kembali di Indonesia, dan melecehkan gerakan pengibaran bendera Merah
Putih yang sedang berlangsung di Surabaya. Tak lama setelah
mengumpulnya massa di Hotel Yamato, Residen Sudirman, pejuang dan
diplomat yang saat itu menjabat sebagai Wakil Residen (Fuku Syuco
Gunseikan) yang masih diakui pemerintah Dai Nippon Surabaya Syu,
sekaligus sebagai Residen Daerah Surabaya Pemerintah RI, datang
melewati kerumunan massa lalu masuk ke hotel Yamato dikawal Sidik dan
Hariyono. Sebagai perwakilan RI dia berunding dengan Mr. Ploegman dan
kawan-kawannya dan meminta agar bendera Belanda segera diturunkan
dari gedung Hotel Yamato. Dalam perundingan ini Ploegman menolak
untuk menurunkan bendera Belanda dan menolak untuk mengakui
kedaulatan Indonesia. Perundingan berlangsung memanas, Ploegman
mengeluarkan pistol, dan terjadilah perkelahian dalam ruang perundingan.
Ploegman tewas dicekik oleh Sidik, yang kemudian juga tewas oleh
tentara Belanda yang berjaga-jaga, dan mendengar letusan pistol
Ploegman, sementara Sudirman dan Hariyono melarikan diri ke luar Hotel
Yamato. Sebagian pemuda berebut naik ke atas hotel untuk menurunkan
bendera Belanda. Hariyono yang semula bersama Sudirman kembali ke
dalam hotel dan terlibat dalam pemanjatan tiang bendera dan bersama
Kusno Wibowo berhasil menurunkan bendera Belanda, merobek bagian
birunya, dan mengereknya ke puncak tiang bendera kembali sebagai
bendera Merah Putih.
Setelah insiden di Hotel Yamato tersebut, pada tanggal 27 Oktober
1945 meletuslah pertempuran pertama antara Indonesia melawan tentara
Inggris. Serangan-serangan kecil tersebut di kemudian hari berubah
menjadi serangan umum yang banyak memakan korban jiwa di kedua

114 | S N I 5
belah pihak Indonesia dan Inggris, sebelum akhirnya Jenderal D.C.
Hawthorn meminta bantuan Presiden Sukarno untuk meredakan situasi.
e. Kematian Brigadir Mallaby
Setelah gencatan senjata antara pihak Indonesia dan pihak tentara
Inggris ditandatangani tanggal 29 Oktober 1945, keadaan berangsur-
angsur mereda. Walaupun begitu tetap saja terjadi bentrokan-bentrokan
bersenjata antara rakyat dan tentara Inggris di Surabaya. Bentrokan-
bentrokan bersenjata di Surabaya tersebut memuncak dengan terbunuhnya
Brigadir Jenderal Mallaby, (pimpinan tentara Inggris untuk Jawa Timur),
pada 30 Oktober 1945 sekitar pukul 20.30. Mobil Buick yang ditumpangi
Brigadir Jenderal Mallaby berpapasan dengan sekelompok milisi
Indonesia ketika akan melewati Jembatan Merah.

Mobil Buick Brigadir Jenderal Mallaby yang meledak di dekat Gedung Internatio
dan Jembatan Merah Surabaya

Kesalahpahaman menyebabkan terjadinya tembak menembak


yang berakhir dengan tewasnya Brigadir Jenderal Mallaby oleh tembakan
pistol seorang pemuda Indonesia yang sampai sekarang tak diketahui
identitasnya, dan terbakarnya mobil tersebut terkena ledakan granat yang
menyebabkan jenazah Mallaby sulit dikenali. Kematian Mallaby ini
menyebabkan pihak Inggris marah kepada pihak Indonesia dan berakibat
pada keputusan pengganti Mallaby, Mayor Jenderal E.C. Mansergh untuk
mengeluarkan ultimatum 10 November 1945 untuk meminta pihak
Indonesia menyerahkan persenjataan dan menghentikan perlawanan pada
tentara AFNEI dan administrasi NICA.

115 | S N I 5
f. Perdebatan tentang pihak penyebab baku tembak
Tom Driberg, seorang Anggota Parlemen Inggris dari Partai Buruh
Inggris (Labour Party). Pada 20 Februari 1946, dalam perdebatan di
Parlemen Inggris (House of Commons) meragukan bahwa baku tembak ini
dimulai oleh pasukan pihak Indonesia. Dia menyampaikan bahwa
peristiwa baku tembak ini disinyalir kuat timbul karena kesalahpahaman
20 anggota pasukan India pimpinan Mallaby yang memulai baku tembak
tersebut tidak mengetahui bahwa gencatan senjata sedang berlaku karena
mereka terputus dari kontak dan telekomunikasi. Berikut kutipan dari Tom
Driberg:
“… Sekitar 20 orang (serdadu) India (milik Inggris), di sebuah
bangunan di sisi lain alun-alun, telah terputus dari komunikasi
lewat telepon dan tidak tahu tentang gencatan senjata. Mereka
menembak secara sporadis pada massa (Indonesia). Brigadir
Mallaby keluar dari diskusi (gencatan senjata), berjalan lurus ke
arah kerumunan, dengan keberanian besar, dan berteriak kepada
serdadu India untuk menghentikan tembakan. Mereka patuh
kepadanya. Mungkin setengah jam kemudian, massa di alun-alun
menjadi bergolak lagi. Brigadir Mallaby, pada titik tertentu dalam
diskusi, memerintahkan serdadu India untuk menembak lagi.
Mereka melepaskan tembakan dengan dua senapan Bren dan massa
bubar dan lari untuk berlindung; kemudian pecah pertempuran lagi
dengan sungguh gencar. Jelas bahwa ketika Brigadir Mallaby
memberi perintah untuk membuka tembakan lagi, perundingan
gencatan senjata sebenarnya telah pecah, setidaknya secara lokal.
Dua puluh menit sampai setengah jam setelah itu, ia (Mallaby)
sayangnya tewas dalam mobilnya-meskipun (kita) tidak benar-
benar yakin apakah ia dibunuh oleh orang Indonesia yang
mendekati mobilnya; yang meledak bersamaan dengan serangan
terhadap dirinya (Mallaby). Saya pikir ini tidak dapat dituduh
sebagai pembunuhan licik… karena informasi saya dapat
secepatnya dari saksi mata, yaitu seorang perwira Inggris yang
benar-benar ada di tempat kejadian pada saat itu, yang niat jujurnya
saya tak punya alasan untuk pertanyakan“

116 | S N I 5
g. Ultimatum 10 November 1945
Setelah terbunuhnya Brigadir Jenderal
Mallaby, penggantinya, mengeluarkan
ultimatum yang menyebutkan bahwa
semua pimpinan dan orang Indonesia
yang bersenjata harus melapor dan
meletakkan senjatanya di tempat yang
ditentukan dan menyerahkan diri
dengan mengangkat tangan di atas.
Batas ultimatum adalah jam 6.00 pagi
tanggal 10 November 1945. Ultimatun
Mayor Jenderal Mansergh
tersebut kemudian dianggap sebagai
penghinaan bagi para pejuang dan rakyat yang telah membentuk banyak
badan-badan perjuangan / milisi. Ultimatum tersebut ditolak oleh pihak
Indonesia dengan alasan bahwa Republik Indonesia waktu itu sudah
berdiri, dan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) juga telah dibentuk sebagai
pasukan negara. Selain itu, banyak organisasi perjuangan bersenjata yang
telah dibentuk masyarakat, termasuk di kalangan pemuda, mahasiswa dan
pelajar yang menentang masuknya kembali pemerintahan Belanda yang
memboncengi kehadiran tentara Inggris di Indonesia.
Pada 10 November pagi, tentara Inggris mulai melancarkan
serangan berskala besar, yang diawali dengan bom udara ke gedung-
gedung pemerintahan Surabaya, dan kemudian mengerahkan sekitar
30.000 infanteri, sejumlah pesawat terbang, tank, dan kapal perang.
Berbagai bagian kota Surabaya dibombardir dan ditembak dengan meriam
dari laut dan darat. Perlawanan pasukan dan milisi Indonesia kemudian
berkobar di seluruh kota, dengan bantuan yang aktif dari penduduk.
Terlibatnya penduduk dalam pertempuran ini mengakibatkan ribuan
penduduk sipil jatuh menjadi korban dalam serangan tersebut, baik
meninggal mupun terluka.
Di luar dugaan pihak Inggris yang menduga bahwa perlawanan di
Surabaya bisa ditaklukkan dalam tempo tiga hari, para tokoh masyarakat

117 | S N I 5
seperti pelopor muda Bung Tomo yang berpengaruh besar di masyarakat
terus menggerakkan semangat perlawanan pemuda-pemuda Surabaya
sehingga perlawanan terus berlanjut di tengah serangan skala besar
Inggris. Tokoh-tokoh agama yang terdiri dari kalangan ulama serta kyai-
kyai pondok Jawa seperti KH. Hasyim Asy’ari, KH. Wahab Hasbullah
serta kyai-kyai pesantren lainnya juga mengerahkan santri-santri mereka
dan masyarakat sipil sebagai milisi perlawanan (pada waktu itu
masyarakat tidak begitu patuh kepada pemerintahan tetapi mereka lebih
patuh dan taat kepada para kyai) sehingga perlawanan pihak Indonesia
berlangsung lama, dari hari ke hari, hingga dari minggu ke minggu
lainnya.
Perlawanan rakyat yang pada awalnya dilakukan secara spontan
dan tidak terkoordinasi, makin hari makin teratur. Pertempuran skala besar
ini mencapai waktu sampai tiga minggu, sebelum seluruh kota Surabaya
akhirnya jatuh di tangan pihak Inggris. Setidaknya 6,000 pejuang dari
pihak Indonesia tewas dan 200,000 rakyat sipil mengungsi dari Surabaya.
Korban dari pasukan Inggris dan India kira-kira sejumlah 600.
Pertempuran berdarah di Surabaya yang memakan ribuan korban jiwa
tersebut telah menggerakkan perlawanan rakyat di seluruh Indonesia untuk
mengusir penjajah dan mempertahankan kemerdekaan. Banyaknya
pejuang yang gugur dan rakyat sipil yang menjadi korban pada hari 10
November ini kemudian dikenang sebagai Hari Pahlawan oleh Republik
Indonesia hingga sekarang.

2. Palangan Ambarawa

Palagan Ambarawa adalah sebuah peristiwa perlawanan rakyat


terhadap Sekutu yang terjadi di Ambarawa, sebelah selatan Semarang, Jawa
Tengah.
a. Latar Belakang Pertempuran Ambarawa
Pada tanggal 20 Oktober 1945, tentara Sekutu di bawah pimpinan Brigadir
Bethell mendarat di Semarang dengan maksud mengurus tawanan perang dan

118 | S N I 5
tentara Jepang yang berada di Jawa Tengah. Kedatangan sekutu ini diboncengi
oleh NICA. Kedatangan Sekutu ini mulanya disambut baik, bahkan Gubernur
Jawa Tengah Mr. Wongsonegoro menyepakati akan menyediakan bahan makanan
dan keperluan lain bagi kelancaran tugas Sekutu, sedang Sekutu berjanji tidak
akan mengganggu kedaulatan Republik Indonesia.
Namun, ketika pasukan Sekutu dan NICA telah sampai di Ambarawa dan
Magelang untuk membebaskan para tawanan tentara Belanda, para tawanan
tersebut malah dipersenjatai sehingga menimbulkan kemarahan pihak Indonesia.
Insiden bersenjata timbul di kota Magelang, hingga terjadi pertempuran. Di
Magelang, tentara Sekutu bertindak sebagai penguasa yang mencoba melucuti
Tentara Keamanan Rakyat dan membuat kekacauan. TKR Resimen Magelang
pimpinan Letkol. M. Sarbini membalas tindakan tersebut dengan mengepung
tentara Sekutu dari segala penjuru. Namun mereka selamat dari kehancuran berkat
campur tangan Presiden Soekarno yang berhasil menenangkan suasana.
Kemudian pasukan Sekutu secara diam-diam meninggalkan Kota Magelang
menuju ke benteng Ambarawa. Akibat peristiwa tersebut, Resimen Kedu Tengah
di bawah pimpinan Letkol. M. Sarbini segera mengadakan pengejaran terhadap
mereka. Gerakan mundur tentara Sekutu tertahan di Desa Jambu karena dihadang
oleh pasukan Angkatan Muda di bawah pimpinan Oni Sastrodihardjo yang
diperkuat oleh pasukan gabungan dari Ambarawa, Suruh dan Surakarta.
Tentara Sekutu kembali dihadang oleh Batalyon I Soerjosoempeno di
Ngipik. Pada saat pengunduran, tentara Sekutu mencoba menduduki dua desa di
sekitar Ambarawa. Pasukan Indonesia di bawah pimpinan Letkol Isdiman
berusaha membebaskan kedua desa tersebut, namun ia gugur terlebih dahulu.
Sejak gugurnya Letkol. Isdiman, Komandan Divisi V Banyumas, Kol. Soedirman
merasa kehilangan seorang perwira terbaiknya dan ia langsung turun ke lapangan
untuk memimpin pertempuran.
Kehadiran Kol. Soedirman memberikan napas baru kepada pasukan-
pasukan RI. Koordinasi diadakan di antara komando-komando sektor dan
pengepungan terhadap musuh semakin ketat. Siasat yang diterapkan adalah
serangan dadakan serentak di semua sektor. Bala bantuan terus mengalir dari

119 | S N I 5
Yogyakarta, Solo, Salatiga, Purwokerto, Magelang, Semarang, dan lain-lain.
Tanggal 23 November 1945 ketika matahari mulai terbit, mulailah tembak-
menembak dengan pasukan Sekutu yang bertahan di kompleks gereja dan kerkhop
Belanda di Jl. Margo Agoeng. Pasukan Indonesia terdiri dari Yon. Imam Adrongi,
Yon. Soeharto dan Yon. Soegeng. Tentara Sekutu mengerahkan tawanan-tawanan
Jepang dengan diperkuat tanknya, menyusup ke tempat kedudukan Indonesia dari
arah belakang, karena itu pasukan Indonesia pindah ke Bedono.
Perjuangan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang dipimpin Kolonel
Soedirman pada pertengahan Desember 1945, membuat tentara sekutu terjepit dan
akhirnya mundur dari Ambarawa menuju Semarang. Walaupun dihadang dengan
seluruh kekuatan persenjataan modern serta kemampuan taktik dan strategi
sekutu, para pejuang RI tak pernah gentar sedikitpun. Mereka melancarkan
serangan dengan gigih seraya melakukan pengepungan ketat di semua penjuru
kota Ambarawa. Dengan gerakan pengepungan rangkap ini sekutu benar-benar
terkurung dan kewalahan.
Jenderal Soedirman sebagai pemimpin pasukan menegaskan perlunya
mengusir tentara sekutu dari Ambarawa secepat mungkin. Sebab sekutu akan
menjadikan Ambarawa sebagai basis kekuatan untuk merebut Jawa Tengah.
Dengan semboyan “Rawe-rawe rantas malang-malang putung, patah tumbuh
hilang berganti”, pasukan TKR memiliki tekad bulat membebaskan Ambarawa
atau dengan pilihan lain gugur di pangkuan ibu pertiwi.
b. Jalannya Pertempuran Ambarawa
Pada tanggal 11 Desember 1945, Kol. Soedirman mengadakan rapat
dengan para Komandan Sektor TKR dan Laskar. Pada tanggal 12 Desember 1945
jam 04.30 pagi, serangan mulai dilancarkan. Pembukaan serangan dimulai dari
tembakan mitraliur terlebih dahulu, kemudian disusul oleh penembak-penembak
karaben. Pertempuran berkobar di Ambarawa.
Pejuang yang telah bersiap-siap di seluruh penjuru Ambarawa mulai
merayap mendekati sasaran yang telah ditentukan, dengan siasat penyerangan
mendadak secara serentak di segala sektor. Seketika, dan segala penjuru
Ambarawa penuh suara riuh desingan peluru, dentuman meriam, dan ledakan

120 | S N I 5
granat. Serangan dadakan tersebut diikuti serangan balasan musuh yang kalang
kabut.
Satu setengah jam kemudian, jalan raya Semarang-Ambarawa dikuasai
oleh kesatuan-kesatuan TKR. Pertempuran Ambarawa berlangsung sengit. Kol.
Soedirman langsung memimpin pasukannya yang menggunakan taktik gelar supit
urang, atau pengepungan rangkap dari kedua sisi sehingga musuh benar-benar
terkurung. Suplai dan komunikasi dengan pasukan induknya terputus sama sekali.
Sekitar pukul 16.00 WIB, TKR berhasil menguasai Jalan Raya Ambarawa
Semarang, dan pengepungan musuh dalam kota Ambarawa berjalan dengan
sempurna. Terjadilah pertempuran jarak dekat. Musuh mulai mundur pada 14
Desember 1945. Persediaan logistik maupun amunisi musuh sudah jauh
berkurang. Setelah bertempur selama 4 hari, pada tanggal 15 Desember 1945
pertempuran berakhir dan Indonesia berhasil merebut Ambarawa dan Sekutu
dibuat mundur ke Semarang.
Akhirnya, pasukan Sekutu mundur dari Ambarawa menuju Semarang
sambil melancarkan aksi bumi hangus pada 15 Desember 1945, pukul 17.30 WIB.
Pertempuran berakhir dengan kemenangan gemilang pada pihak TKR. Pasukan
TKR berhasil merebut benteng pertahanan sekutu yang tangguh. Keberhasilan
Panglima Besar Jenderal Soedirman ini kemudian diabadikan dalam bentuk
monumen Palagan Ambarawa.
Kemenangan pertempuran ini kini diabadikan dengan didirikannya
Monumen Palagan Ambarawa dan diperingatinya Hari Jadi TNI Angkatan Darat
atau Hari Juang Kartika.

Gambar. Monumen Palangan Ambarawa dan Museum kereta api Ambarawa. Sumber: Google.com

121 | S N I 5
3. Perjuangan Gerilya
lya Jenderal Sudirman, di Jawa Tengah dan Jawa
Timur

Jenderal Soedirman

Setelah kota Yogyakarta dikuasai oleh Belanda, Panglima Besar Jenderal


Je
Sudirman bersama prajurit TNI menyingkir keluar kota untuk melakukan perang
gerilya. Sebelum memimpin perang gerilya, Jenderal Sudirman mengirimkan
perintah kilat kepada seluruh jajaran TNI sebagai berikut:
1. Kita telah diserang oleh tentara Belanda dengan serbuan pertama adalah kota
Yogyakarta dan Lapangan Terbang Maguwo
2. Pemerintah Belanda telah membatalkan persetujuan gencatan senjata
3. Semua angkatan perang menjalankan
menjalankan rencana yang telah ditetapkan untuk
menghadapi serangan tersebut
Ketika perang gerilya akan di mulai,
mulai Soedirman pertama-tama
tama pergi ke
rumah dinasnya dan mengumpulkan dokumen-dokumen
dokumen dokumen penting, lalu
membakarnya untuk mencegahnya jatuh ke tangan Belanda (Imran,
ran, 1980:61).
Soedirman, bersama sekelompok kecil tentara dan dokter pribadinya, mulai
bergerak ke arah selatan menuju Kretek, Parangtritis, Bantul.. Setibanya di sana,
mereka disambut oleh bupati pada pukul 18.00. Selama di Kretek, Soedirman
mengutus tentaranya yang menyamar ke kota yang telah diduduki oleh Belanda
untuk melakukan pengintaian, dan meminta istrinya menjual perhiasannya untuk
membantu mendanai gerakan gerilya. Setelah beberapa hari di Kretek, ia dan
kelompoknya melakukan perjalanan ke timur di sepanjang pantai selatan menuju

122 | S N I 5
Wonogiri (Adi, 2011:97-99). Sebelum Belanda menyerang, sudah diputuskan
bahwa Soedirman akan mengontrol para gerilyawan dari Jawa Timur, yang masih
memiliki beberapa pangkalan militer. Sementara itu, Alfiah dan anak-anaknya
diperintahkan untuk tinggal di Kraton. Sadar bahwa Belanda sedang memburu
mereka, pada tanggal 23 Desember Soedirman memerintahkan pasukannya untuk
melanjutkan perjalanan ke Ponorogo. Di sana, mereka berhenti di rumah seorang
ulama bernama Mahfuz; Mahfuz memberi sang jenderal sebuah tongkat untuk
membantunya berjalan, meskipun Soedirman terus dibopong dengan
menggunakan tandu di sepanjang perjalanan. Mereka kemudian melanjutkan
perjalanan ke timur.
Di dekat Trenggalek, Soedirman dan kelompoknya dihentikan oleh
prajurit TNI dari Batalion 102. Para tentara ini diberitahu bahwa Soedirman yang
saat itu berpakaian sipil dan dan tidak dikenali oleh tentara yang menghentikan
mereka adalah tahanan dan menolak untuk melepaskan Soedirman dan
kelompoknya; mereka mencurigai konvoi Soedirman yang membawa peta dan
catatan militer Indonesia, benda yang mungkin dimiliki oleh mata-mata. Ketika
sang komandan, Mayor Zainal Fanani, datang untuk memeriksa keadaan, ia
menyadari bahwa orang itu adalah Soedirman dan segera meminta maaf. Fanani
beralasan bahwa tindakan anak buahnya sudah tepat karena menjaga wilayah
dengan saksama. Ia juga menyebutkan tentang sebuah pos di Kediri dan
menyediakan mobil untuk mengangkut Soedirman dan pasukannya. Setelah
beberapa saat di Kediri, mereka melanjutkan perjalanan lebih jauh ke timur;
setelah mereka meninggalkan kota pada tanggal 24 Desember, Belanda berencana
untuk menyerang Kediri.
Serangan Belanda yang berkelanjutan menyebabkan Soedirman harus
mengganti pakaiannya dan memberikan pakaian lamanya pada salah seorang
prajuritnya, Letnan Heru Kesser yang memiliki kemiripan dengan Soedirman.
Kesser diperintahkan untuk menuju selatan bersama sekompi besar tentara,
mengganti pakaiannya, dan diam-diam kembali ke utara, sedangkan Soedirman
menunggu di Karangnongko. Pengalihan ini berhasil, dan pada 27 Desember,
Soedirman dan anak buahnya bergerak menuju Desa Jambu dan tiba pada 9

123 | S N I 5
Januari 1949. Di sana, Soedirman bertemu dengan beberapa menteri yang tidak
berada di Yogyakarta saat penyerangan: Supeno, Susanto Tirtoprojo, dan
Susilowati. Bersama para politisi ini, Soedirman berjalan ke Banyutuwo sambil
memerintahkan beberapa tentaranya untuk menahan pasukan Belanda. Di
Banyutuwo, mereka menetap selama seminggu lebih. Namun, pada 21 Januari,
tentara Belanda mendekati desa. Soedirman dan rombongannya terpaksa
meninggalkan Banyutuwo, berjuang menembus jalan dalam hujan lebat.
Soedirman dan pasukannya terus melakukan perjalanan melewati hutan
dan rimba, akhirnya tiba di Sobo, di dekat Gunung Lawu, pada tanggal 18
Februari. Selama perjalanannya ini, Soedirman menggunakan sebuah radio untuk
memberi perintah pada pasukan TNI setempat jika ia yakin bahwa daerah itu
aman. Merasa lemah karena kesulitan fisik yang ia hadapi, termasuk
perjuangannya melewati hutan dan kekurangan makanan, Soedirman yakin bahwa
Sobo aman dan memutuskan untuk menggunakannya sebagai markas gerilya.
Komandan tentara setempat, Letnan Kolonel Wiliater Hutagalung, berperan
sebagai perantara antara dirinya dengan pemimpin TNI lain. Mengetahui bahwa
opini internasional yang mulai mengutuk tindakan Belanda di Indonesia bisa
membuat Indonesia menerima pengakuan yang lebih besar, Soedirman dan
Hutagalung mulai membahas kemungkinan untuk melakukan serangan besar-
besaran. Sementara itu, Belanda mulai menyebarkan propaganda yang mengklaim
bahwa mereka telah menangkap Soedirman; propaganda tersebut bertujuan untuk
mematahkan semangat para gerilyawan.
Soedirman memerintahkan Hutagalung untuk mulai merencanakan
serangan besar-besaran, dengan prajurit TNI berseragam akan menyerang Belanda
dan mununjukkan kekuatan mereka di depan wartawan asing dan tim investigasi
PBB. Hutagalung, bersama para prajurit dan komandannya, Kolonel Bambang
Sugeng, serta pejabat pemerintahan di bawah pimpinan Gubernur Wongsonegoro,
menghabiskan waktu beberapa hari dengan membahas cara-cara untuk
memastikan agar serangan itu berhasil. Pertemuan ini menghasilkan rencana
Serangan Umum 1 Maret 1949; pasukan TNI akan menyerang pos-pos Belanda di
seluruh Jawa Tengah. Pasukan TNI di bawah komando Letnan Kolonel Soeharto

124 | S N I 5
berhasil merebut kembali Yogyakarta dalam waktu enam belas jam, menjadi
unjuk kekuatan yang sukses dan menyebabkan Belanda kehilangan muka di mata
internasional; Belanda sebelumnya menyatakan bahwa TNI sudah diberantas.
Namun, siapa tepatnya yang memerintahkan serangan ini masih belum jelas:
Soeharto dan Hamengkubuwono IX sama-sama mengaku bertanggung jawab atas
serangan ini, sedangkan saudara Bambang Sugeng juga menyatakan bahwa dia
lah yang telah memerintahkan serangan tersebut.
Karena semakin meningkatnya tekanan dari PBB, pada 7 Mei 1949
Indonesia dan Belanda menggelar perundingan, yang menghasilkan Perjanjian
Roem-Royen. Perjanjian ini menyatakan bahwa Belanda harus menarik
pasukannya dari Yogyakarta, beserta poin-poin lainnya; Belanda mulai menarik
pasukannya pada akhir Juni, dan para pemimpin Indonesia di pengasingan
kembali ke Yogyakarta pada awal Juli. Soekarno lalu memerintahkan Soedirman
untuk kembali ke Yogyakarta, tapi Soedirman menolak untuk membiarkan
Belanda menarik diri tanpa perlawanan; ia menganggap pasukan TNI pada saat itu
sudah cukup kuat untuk mengalahkan pasukan Belanda. Meskipun ia dijanjikan
akan diberi obat-obatan dan dukungan di Yogyakarta, Soedirman menolak untuk
kembali ke kalangan politisi, yang menurutnya telah sepaham dengan Belanda.
Soedirman baru setuju untuk kembali ke Yogyakarta setelah menerima sebuah
surat, yang pengirimnya masih diperdebatkan. Pada tanggal 10 Juli, Soedirman
dan kelompoknya kembali ke Yogyakarta, mereka disambut oleh ribuan warga
sipil dan diterima dengan hangat oleh para elit politik di sana. Wartawan Rosihan
Anwar, yang hadir pada saat itu, menulis pada 1973 bahwa "Soedirman harus
kembali ke Yogyakarta untuk menghindari anggapan adanya keretakan antar
pemimpin tertinggi republik" (Setiadi, 2012).

125 | S N I 5
Peta Perang Gerilya Jenderal Soedirman

4. Bandung Lautan Api,


Api di daerah Bandung dan sekitarnya

Monumen Bandung Lautan Api

Bandung
ung Lautan Api merupakan sebuah sebutan untuk peris
peristiwa
terbakarnya kota Bandung, Provinsi Jawa Barat, Indonesia dalam upaya
mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Pembakaran ini dilakukan oleh
penduduk Bandung sebagai bentuk tanggapan atas ultimatum oleh sekutu
sekutu yang
memerintahkan untuk mengosongkan Bandung. Peristiwa Bandung Lautan Api
terjadi pada bulan Maret 1946. Sejarah besar ini dilakukan oleh para penduduk
Bandung yang jumlahnya sekitar 200.000 orang. Mereka, dalam waktu tujuh jam

126 | S N I 5
melakukan pembakaran rumah dan harta benda mereka sebelum akhirny pergi
meninggalkan Bandung..

Suasan kota Bandung ketika dibakar

a. Latar Belakang Peristiwa Bandung Lautan Api


Peristiwa Bandung Lautan Api ini dilatarbelakangi oleh beberapa hal,
yakni :
1. Brigade Mac Donald atau Sekutu
ekutu menuntut para penduduk Bandung agar
menyerahkan semuaa senjata dari hasil pelucutan Jepang
Jepang kepada pihak sekutu.
2. Sekutu mengeluarkan ultimatum yang isinya memerintahkan agar kota
Bandung bagian utara dikosongkan dari penduduk Indonesia paling lambat
tanggal 29 November 1945.
3. Sekutu membagi Bandung menjadi dua sektor, yakni sektor utara dan sektor
selatan.
4. Rencana pembangunan kembali markas sekutu di Bandung.
b. Kronologi Terjadinya Bandung Lautan Api
Kronologi Bandung Lautan Api dapat dimulai dari peristiwa ketika
pasukan Sekutu
ekutu mendarat di Bandung. Pasukan Inggris bagian dari Brigade Mac
Donald tiba di Bandung pada Oktober 1945. Para pejuang Bandung kala itu
sedang gencar-gencarnya
gencarnya merebut senjata dan kekuasaan dari tangan Jepang
Jepang.
Hubungan antara pemerintah RI dengan sekutu pun juga sedang tegang. Di saat
seperti itu, pihak sekutu menuntut agar semua senjata api yang ada di tangan
penduduk, kecuali TKR dan polisi, diserahkan kepada pihak sekutu.

127 | S N I 5
Namun, sekutu yang baru tiba meminta pihak Indonesia untuk
menyerahkan semua senjata hasil pelucutan Jepang ini. Hal ini ditegaskan melalui
ultimatum yang dikeluarkan pihak Sekutu. Isi ultimatum tersebut adalah agar
senjata hasil pelucutan Jepang segera diserahkan pada Sekutu dan penduduk
Indonesia segara mengosongkan kota Bandung paling lambat tanggal 29
November 1945 dengan alasan untuk keamanan rakyat. Ditambah lagi, orang-
orang Belanda yang baru dibebaskan dari kamp tawanan juga mulai melakukan
tindakan-tindakan yang mengganggu keamanan rakyat. Hal ini pun semakin
mendorong adanya bentrokan bersenjata antara Inggris dan TKR (Tentara
Keamanan Rakyat) menjadi tidak dapat dihindari.
Pada malam tanggal 21 November 1945, TKR dan badan-badan
perjuangan Indonesia melancarkan serangan terhadap kedudukan-kedudukan
Inggris di wilayah Bandung bagian utara. Hotel Homann dan Hotel Preanger yang
digunakan musuh sebagai markas juga tak luput dari serangan. Menanggapi
serangan ini, tiga hari kemudian, Mac Donald menyampaikan ultimatum kepada
Gubernur Jawa Barat. Ultimatum ini berisi agar Bandung Utara dikosongkan oleh
penduduk Indonesia, termasuk dari pasukan bersenjata. Masyarakat Indonesia
yang mendengar ultimatum ini tidak mengindahkannya. Karenanya, pecahlah
pertempuran antara Sekutu dan pejuang Bandung di tanggal 6 Desember 1945.
Kemudian, di tanggal 23 Maret 1946, Sekutu kembali mengulang
ultimatumnya. Sekutu memerintahkan agar TRI (Tentara Republik Indonesia)
segera meninggalkan kota Bandung. Mendengar ultimatum tersebut, pemerintah
Indonesia di Jakarta lalu menginstrusikan agar TRI mengosongkan kota Bandung
demi keamanan rakyat.
Akan tetapi, perintah ini berlainan dengan yang diberikan dari markas TRI
di Yogyakarta. Dari Yogyakarta, keluar instruksi agar tetap bertahan di Bandung.
Dalam masa ini, sekutu juga membagi Bandung dalam dua sektor, yakni Bandung
Utara dan Bandung Selatan. Lalu, sekutu meminta orang-orang Indonesia untuk
meninggalkan Bandung Utara.
Situasi di kota Bandung menjadi semakin genting. Suasana kota ini
menjadi mencekam dan dipunuhi orang-orang yang panik. Para pejuang juga

128 | S N I 5
bingung dalam mengikuti intruksi yang berlainan dari pusat Jakarta dan
Yogyakarta. Akhirnya, para pejuang Indonesia memutuskan untuk melancarkan
serangan besar -besaran terhadap Sekutu di tanggal 24 Maret 1946.
Para pejuang Indonesia menyerang pos-pos Sekutu. Mereka juga
membakar seluruh isi kota Bandung Utara. Setelah sukses membumihanguskan
kota Bandung Utara, barulah mereka pergi mengundurkan diri dari Bandung
Utara. Aksi ini dilakukan oleh 200.000 orang selama 7 jam. Kondisi Bandung
yang dipenuhi dengan kobaran api laksana lautan inilah yang membuat peristiwa
ini dijuluki dengan sebutan Bandung Lautan Api.
c. Tujuan membakar Bandung
Para pejuang Bandung memilih membakar Bandung dan kemudian
meninggalkannya dengan alasan tertentu. Tujuannya adalah untuk mencegah
tentara Sekutu dan tentara NICA Belanda dalam memanfaatkan kota Bandung
sebagai markas strategis militer mereka dalam Perang Kemerdekaan Indonesia.
Operasi pembakaran Bandung ini disebut sebagai operasi "bumi hangus".
Keputusan untuk membumihanguskan kota Bandung diambil melalui
musyawarah Madjelis Persatoean Perdjoangan Priangan (MP3), yang dilakukan di
hadapan semua kekuatan perjuangan pihak Republik Indonesia, tanggal 23 Maret
1946.
Hasil musyawarah tersebut kemudian diumumkan oleh Kolonel Abdoel
Haris Nasoetion selaku Komandan Divisi III TRI. Ia juga memerintahkan
evakuasi Kota Bandung. Lalu, hari itu juga, rombongan besar penduduk Bandung
mengalir. Pembakaran kota berlangsung malam hari sembari para penduduknya
pergi meninggalkan Bandung. Dengan terbakarnya kota Bandung, maka Sekutu
tidak dapat menggunakan Bandung sebagai markas strategis militer. Operasi bumi
hangus ini membuat asap hitam mengepul tinggi menyelimuti kota Bandung.
Semua listrik ikut padam.
Di tengah situasi genting ini, tentara Inggris pun menyerang sehingga
pertempuran sengit tak terhindarkan. Pertempuran terbesar terjadi di Desa
Dayeuhkolot, sebelah selatan Bandung. Di tempat inilah terdapat gudang amunisi
besar milik Tentara Sekutu.

129 | S N I 5
Rupanya, pejuang Indonesia Muhammad Toha dan Ramdan, dua anggota
milisi BRI (Barisan Rakjat Indonesia) mendapat misi penghancurkan gudang
amunisi tersebut. Muhammad Toha sukses meledakkan gudang senjata itu dengan
dinamit. Akan tetapi, kedua milisi tersebut ikut terbakar di dalam gudang besar
yang diledakkannya itu.
Awalnya, staf pemerintahan kota Bandung berencana tetap tinggal di
dalam kota. Akan tetapi, demi keselamatan mereka, maka pukul 21.00 itu, mereka
pun ikut dalam rombongan yang dievakuasi dari Bandung. Sejak saat itu, sekitar
pukul 24.00, Bandung kosong dari penduduk dan TRI. Sementara, api masih
membubung membakar kota, sehingga Bandung menjadi lautan api. Strategi
operasi bumihangus ini adalah strategi yang tepat karena kekuatan TRI dan milisi
rakyat memang tidak sebanding dengan kekuatan pihak Sekutu dan NICA yang
besar. Setelah perisitiwa Bandung Lautan Api tersebut, kemudian TRI bersama
dengan milisi rakyat melakukan perlawanan dari luar Bandung dengan cara
bergerilya.
d. Asal Julukan Bandung Lautan Api
Istilah atau sebutan ‘Bandung Lautan Api’ terhadap peristiwa ini muncul
di harian Suara Merdeka pada tanggal 26 Maret 1946. Saat peristiwa pembakaran
itu berlangsung, seorang wartawan muda, Atje Bastaman, menyaksikannya dari
bukit Gunung Leutik di sekitar Pameungpeuk, Garut. Dari puncak itulah, Atje
Bastaman melihat Bandung memerah mulai dari Cicadas hingga ke Cimindi.
Karenanya, begitu ia tiba di Tasikmalaya, Atje Bastaman dengan penuh semangat
segera menuliskan berita tentang peristiwa ini dan memberinya judul "Bandoeng
Djadi Laoetan Api".

5. Pertempuran Medan Area

Pertempuran Medan Area adalah sebuah peristiwa perlawanan rakyat


terhadap Sekutu yang terjadi di Medan, Sumatera Utara.
a. Latar Belakang Pertempuran Medan Area
Pada tanggal 9 november 1945, Pasukan Sekutu memasuki Kota Medan
dibawah pimpin Brigadir Jenderal Ted Kelly diikuti pasukan NICA, yang

130 | S N I 5
didahului oleh pasukan komando pimpinan Kapten Westerlling. Brigadir ini
menyatakan kepada pemerintah RI akan melaksanakan tugas kemanusiaan,
mengevakuasi tawanan dari beberapa kamp di luar Kota Medan. Dengan dalih
menjaga keamanan, para bekas tawanan diaktifkan kembali dan dipersenjatai.
Latar belakang pertempuran Medan Area, antara lain:
1. Bekas tawanan yang menjadi arogan dan sewenang-wenang.
2. Ulah seorang penghuni hotel yang merampas dan menginjak-injak lencana
merah putih.
3. Pemberian batas daerah Medan secara sepihak oleh Sekutu dengan memasang
papan pembatas yang bertuliskan “Fixed Boundaries Medan Area (Batas
Resmi Medan Area)” di sudut-sudut pinggiran Kota Medan.
4. Pada tanggal 18 Oktober 1945 Sekutu mengeluarkan ultimatum yang isinya :
melarang rakyat membawa senjata dan semua senjata harus diserahkan
kepada pasukan Sekutu
Karena ultimatumnya tidak dihiraukan oleh rakyat Medan, Pasukan
Sekutu mengerahkan kekuatannya untuk menggempur kota Medan dan
sekitarnya. Serangan Sekutu ini dihadapi dengan gagah berani oleh pejuang RI
dibawah koordinasi kolonel Ahmad Tahir
b. Proses Terjadinya Pertempuran Medan Area
Pada tanggal 24 Agustus 1945, antara pemerintah Kerajaan Inggris dan
Kerajaan Belanda tercapai suatu persetujuan yang terkenal dengan nama Civil
Affairs Agreement. Dalam persetujuan ini disebutkan bahwa panglima tentara
pendudukan Inggris di Indonesia akan memegang kekuasaan atas nama
pemerintah Belanda.
Dalam melaksanakan hal-hal yang berkenaan dengan pemerintah sipil,
pelaksanaannya diselenggarakan oleh NICA dibawah tanggungjawab komando
Inggris. Kekuasaan itu kelak di kemudian hari akan dikembalikan kepada
Belanda. Inggris dan Belanda membangun rencana untuk memasuki berbagai kota
strategis di Indonesia yang baru saja merdeka. Salah satu kota yang akan
didatangi Inggris dengan “menyelundupkan” NICA Belanda adalah Medan.

131 | S N I 5
Sementara pada tanggal 27 Agustus 1945 rakyat Medan baru mendengar
berita proklamasi yang dibawa oleh Mr. Teuku Moh Hassan sebagai Gubernur
Sumatera. Mengggapi berita proklamasi para pemuda dibawah pimpinan Achmad
Tahir membentuk barisan Pemuda Indonesia. Pada tanggal 9 Oktober 1945
rencana dalam Civil Affairs Agreement benar-benar dilaksanakan.
Tentara NICA yang telah dipersiapkan untuk mengambil alih
pemerintahan ikut membonceng pasukan Inggris itu. Mereka menduduki beberapa
hotel di Medan. Pasukan Inggris bertugas untuk membebaskan tentara Belanda
yang ditawan Jepang. Para tawanan dari daerah Rantau Prapat, Pematang Siantar,
dan Brastagi dikirim ke Medan atas persetujuan Gubernur Moh. Hasan. Ternyata
kelompok tawanan itu dibentuk menjadi “Medan Batalyon KNIL”, dan bersikap
congkak. Para pemuda dipelopori oleh Achmad Tahir, seorang mantan perwira
Tentara Sukarela (Giyugun) membentuk Barisan Pemuda Indonesia. Mereka
mengambil alih gedung-gedung pemerintahan dan merebut senjata dari tangan
tentara Jepang. Kemudian pada tanggal 10 Oktober 1945 dibentuklah TKR
(Tentara Keamanan Rakyat) Sumatera Timur. Anggotanya para pemuda bekas
Giyugun dan Heiho Sumatera Timur yang dipimpin oleh Ahmad Tahir.
Pada tanggal 13 Oktober 1945 terjadi insiden di sebuah hotel di Jalan Bali,
Medan. Seorang anggota NICA menginjak-injak bendera merah putih yang
dirampas dari seorang pemuda. Pemuda-pemuda Indonesia marah. Hotel tersebut
dikepung dan diserang oleh para pemuda dan TRI (Tentara Republik Indonesia).
Terjadilah pertempuran. Dalam peristiwa itu banyak orang Belanda terluka.
Peperangan pun menjalar ke Pematang Siantar dan Brastagi.
Pada tanggal 1 Desember 1945, pihak Sekutu memasang papan-papan
yang bertuliskan Fixed Boundaries Medan Area di berbagai sudut kota
Medan. Dengan cara itu, Inggris menetapkan secara sepihak batas-batas
kekuasaan mereka. Sejak saat itulah Medan Area menjadi terkenal. Jenderal
T.E.D Kelly kembali mengancam para pemuda agar menyerahkan senjata. Siapa
yang melanggar akan ditembak mati.
Hal ini jelas menimbulkan reaksi para pemuda dan TKR untuk melawan
kekuatan asing yang mencoba berkuasa kembali. Pada tanggal 10 Agustus 1946 di

132 | S N I 5
Tebingtinggi diadakan pertemuan antara komandan-komandan pasukan yang
berjuang di Medan Area. Pertemuan tersebut memutuskan dibentuknya satu
komando yang bernama Komando Resimen Laskar Rakyat Medan
Area. Komando resimen itu terdiri atas empat sektor, dan tiap sektor terdiri dari
empat subsektor. Tiap-tiap sektor berkekuatan satu batalyon. Di bawah komando
itulah mereka meneruskan perjuangan di Medan Area.
Komanda ini terus mengadakan serangan terhadap Sekutu diwilayah
Medan. Hampir di seluruh wilayah Sumatera terjadi perlawanan rakayat terhadap
Jepang, Sekutu, dan Belanda. Pertempuran itu terjadi, antara lain di Pandang,
Bukit tinggi dan Aceh.
Dalam waktu 3 minggu Komando Medan Area (KMA) mengadakan
konsolidasi, disusun rencana serangan baru terhadap Kota Medan. Kekuatannya
sekitar 5 batalyon dengan pembagian sasaran yang tepat. Hari "H" ditentukan 15
Februari 1947 pukul 06.00 WIB. Untuk masing-masing sektor telah ditentukan
Komandannya yakni pertempuran di front Medan Barat dipimpin oleh Mayor
Hasan Achmad dari Resimen Istimewa Medan Area atau RIMA.
Pertempuran di front Medan Area Selatan dipimpin oleh Mayor Martinus
Lubis dan pertempuran di front Koridor Medan Belawan berasal dari pasukan
Yahya Hasan dan Letnan Muda Amir Yahya dari Kompi II Batalyion III RIMA.
Sayang karena kesalahan komunikasi serangan ini tidak dilakukan secara
serentak, tapi walaupun demikian serangan umum ini berhasil membuat Belanda
kalang kabut sepanjang malam. Karena tidak memiliki senjata berat, jalannya
pertempuran tidak berubah. Menjelang Subuh, pasukan kita mundur ke
Mariendal. Serangan umum 15 Februari 1947 ini merupakan serangan besar
terakhir yang dilancarkan oleh pejuang-pejuang di Medan Area.

6. Pertempuran Puputan Margarana, di Bali


Puputan adalah tradisi perang masyarakat Bali. Puputan berasal dari kata
puput. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia kata puput bermakna terlepas dan
tanggal. Adapun yang dimaksud dengan kata puputan versi pribumi Bali adalah
perang sampai nyawa lepas atau tanggal dari badan. Dapat dikatakan kalau

133 | S N I 5
puputan adalah perang sampai game over atau titik darah terakhir. Istilah
Margarana diambil dari lokasi pertempuran hebat yang saat itu berlangsung di
daerah Marga, Tababan-Bali.

Menurut sejarah, ada sejumlah puputan yang meletus di Bali. Namun,


yang terkenal dan termasuk hebat, terdapat sekitar dua puputan. Pertama, Puputan
Jagaraga yang dipimpin oleh Kerajaan Buleleng melawan imprealis Belanda.
Strategi puputan yang diterapkan ketika itu adalah sistem tawan karang dengan
menyita transportasi laut imprealis Belanda yang bersandar ke pelabuhan
Buleleng. Kedua, puputan Margarana yang berpusat di Desa Adeng, Kecamatan
Marga, Tababan, Bali. Tokoh perang ini adalah Letnan Kolonel I Gusti Ngurah
Rai. I Gusti Ngurah Rai dilahirkan di Desa Carangsari, Kabupaten Badung, Bali,
30 Januari 1917.

Pemimpin Perang Puputan Margarana Gusti Ngurah Rai

Pertempuran Puputan Margarana merupakan salah satu pertempuran


antara Indonesia dan Belanda dalam masa Perang kemerdekaan Indonesia yang
terjadi pada 20 November 1946. Pertempuran ini dipimpin oleh Kepala Divisi
Sunda Kecil Kolonel I Gusti Ngurah Rai. Dimana Pasukan TKR di wilayah ini
bertempur dengan habis habisan untuk mengusir Pasukan Belanda yang kembali
datang setelah kekalahan Jepang, untuk menguasai kembali wilayahnya yang

134 | S N I 5
direbut Jepang pada Perang Dunia II, mengakibatkan kematian seluruh pasukan I
Gusti Ngurah Rai yang kemudian dikenang sebagai salah-satu Puputan di era awal
kemerdekaan serta mengakibatkan Belanda sukses mendirikan Negara Indonesia
Timur (Wikipedia).
a. Latar Belakang Perang Puputan Margarana
Latar belakang munculnya puputan Margarana sendiri bermula dari
Perundingan Linggarjati. Pada tanggal 10 November 1946, Belanda melakukan
perundingan Linggarjati dengan pemerintah Indonesia. Dijelaskan bahwa salah
satu isi dari perundingan Linggajati adalah Belanda mengakui secara de facto
Republik Indonesia dengan wilayah kekuasaan yang meliputi Sumatera, Jawa, dan
Madura. Dan selanjutnya Belanda diharuskan sudah meninggalkan daerah de
facto paling lambat tanggal 1 Januari 1949. Pada tanggal 2 dan 3 Maret 1949
Belanda mendaratkan pasukannya kurang lebih 2000 tentara di Bali yang diikuti
oleh tokoh-tokoh yang memihak Belanda. Tujuan dari pendaratan Belanda ke Bali
sendiri adalah untuk menegakkan berdirinya Negara Indonesia Timur. Pada waktu
itu Letnan Kolonel I Gusti Ngurah Rai yang menjabat sebagai Komandan
Resiman Nusa Tenggara sedang pergi ke Yogyakarta untuk mengadakan
konsultasi dengan Markas tertinggi TRI, sehingga dia tidak mengetahui tentang
pendaratan Belanda tersebut.
Di saat pasukan Belanda sudah berhasil mendarat di Bali, perkembangan
politik di pusat Pemerintahan Republik Indonesia kurang menguntungkan akibat
perundingan Linggajati, di mana pulau Bali tidak diakui sebagai bagian wilayah
Republik Indonesia. Pada umumnya Rakyat Bali sendiri merasa kecewa terhadap
isi perundingan tersebut karena mereka merasa berhak masuk menjadi bagian dari
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Terlebih lagi ketika Belanda
berusaha membujuk Letnan Kolonel I Gusti Ngurah Rai untuk diajak membentuk
Negara Indonesia Timur. Untung saja ajakan tersebut ditolak dengan tegas oleh I
Gusti Ngurah Rai, bahkan dijawab dengan perlawanan bersenjata Pada tanggal 18
November 1946. Pada saat itu I Gusti Ngurah Rai bersama pasukannya Ciung
Wanara Berhasil memperoleh kemenangan dalam penyerbuan ke tangsi NICA di
Tabanan. Karena geram, kemudian Belanda mengerahkan seluruh kekuatannya di

135 | S N I 5
Bali dan Lombok untuk menghadapi perlawanan I Gusti Ngurah Rai dan Rakyat
Bali. Selain merasa geram terhadap kekalahan pada pertempuran pertama,
ternyata pasukan Belanda juga kesal karena adanya konsolidasi dan pemusatan
pasukan Ngurah Rai yang ditempatkan di Desa Adeng, Kecamatan Marga,
Tabanan, Bali. Setelah berhasil mengumpulkan pasukannya dari Bali dan
Lombok, kemudian Belanda berusaha mencari pusat kedudukan pasukan Ciung
Wanara.
b. Puncak Peristiwa Perang Puputan Margarana
Pada tanggal 20 November 1946 I Gusti Ngurah Rai dan pasukannya (Ciung
Wanara), melakukan longmarch ke Gunung Agung, ujung timur Pulau Bali.
Tetapi tiba-tiba ditengah perjalanan, pasukan ini dicegat oleh serdadu Belanda di
Desa Marga, Tabanan, Bali. Pertempuran sengit pun tidak dapat diindahkan.
Sehingga sontak daerah Marga yang saat itu masih dikelilingi ladang jagung yang
tenang, berubah menjadi pertempuran yang menggemparkan dan mendebarkan
bagi warga sekitar. Bunyi letupan senjata tiba-tiba serentak mengepung ladang
jagung di daerah perbukitan yang terletak sekitar 40 kilometer dari Denpasar itu.
Pasukan pemuda Ciung Wanara yang saat itu masih belum siap dengan
persenjataannya, tidak terlalu terburu-buru menyerang serdadu Belanda. Mereka
masih berfokus dengan pertahanannya dan menunggu komando dari I Gusti
Ngoerah Rai untuk membalas serangan. Begitu tembakan tanda menyerang
diletuskan, puluhan pemuda menyeruak dari ladang jagung dan membalas
sergapan tentara Indische Civil Administration (NICA) bentukan Belanda. Dengan
senjata rampasan, akhirnya Ciung Wanara berhasil memukul mundur serdadu
Belanda.
Namun ternyata pertempuran belum usai. Kali ini serdadu Belanda yang
sudah terpancing emosi berubah menjadi semakin brutal. Kali ini, bukan hanya
letupan senjata yang terdengar, namun NICA menggempur pasukan muda I Gusti
Ngoerah Rai ini dengan bom dari pesawat udara. Hamparan sawah dan ladang
jagung yang subur itu kini menjadi ladang pembantaian penuh asap dan darah.
Perang sampai habis atau puputan inilah yang kemudian mengakhiri hidup
I Gusti Ngurah Rai. Peristiwa inilah yang kemudian dicatat sebagai peristiwa

136 | S N I 5
Puputan Margarana. Malam itu pada 20 November 1946 di Marga adalah sejarah
penting tonggak perjuangan rakyat di Indonesia melawan kolonial Belanda demi
Nusa dan Bangsa.

7. Pertempuran Lima Hari Lima Malam, di Palembang


Pertempuran Lima Hari Lima Malam di Palembang merupakan perang
tiga matra yang pertama kali kita alami, begitu pula pihak Belanda. Perang
tersebut terjadi melibatkan kekuatan darat, laut, dan udara. Belanda sangat
berkepentingan untuk menguasai Palembang secara total karena tinjauan Belanda
terhadap Palembang dari aspek politik, ekonomi dan militer. Dalam aspek politik,
Belanda berusaha untuk menguasai Palembang karena ingin membuktikan kepada
dunia internasional bahwa mereka benar-benar telah menguasai Jawa dan
Sumatera. Ditinjau dari aspek ekonomi berarti jika Kota Palembang dikuasai
sepenuhnya maka berarti juga dapat menguasai tempat penyulingan minyak di
Plaju dan Sei Gerong. Selain itu, dapat pula perdagangan karet dan hasil bumi
lainnya untuk tujuan ekspor. Sedangkan jika ditinjau dari segi militer, sebenarnya
Pasukan TRI dan pejuang yang dikonsentrasikan di Kota Palembang merupakan
pasukan yang relatif mempunyai persenjataan yang terkuat, jika dibandingkan
dengan pasukan-pasukan di luar kota. Oleh karena itu, jika Belanda berhasil
menguasai Kota Palembang secara total, maka akan mempermudah gerakan
operasi militer mereka ke daerah-daerah pedalaman.
Daerah Keresidenan Palembang pada masa-masa menjelang Pertempuran
Lima Hari Lima Malam memiliki keunikan tersendiri, bila dibandingkan dengan
daerah-daerah Indonesia lainnya yang telah diduduki oleh Sekutu (NICA), seperti
Medan, Padang, Jakarta, Bandung, dan lain-lainnya, yang masih terdapat
pemerintahan RI lengkap dengan pasukan, karena keberhasilan diplomasi yang
dilakukan oleh kepala pemerintah setempat. Setelah Belanda menggantikan
Inggris di Palembang pada 24 Oktober 1946, Kolonel Mollinger menjadi
Komandan territorial Belanda untuk Sumatera Selatan (Palembang, Lampung,
Bangka, dan Jambi). Penyerahan pendudukan Inggris kepada Belanda
berlangsung pada 7 November 1946. Setelah menggantikan Inggris, Belanda

137 | S N I 5
menuntut garis demarkasi yang lebih jauh. Untuk mencegah timbulnya insiden
dilakukanlah perundingan antara pihak Belanda dan RI pada November 1946.
Hal terpenting dari perundingan itu antara lain tentara Belanda tidak akan
memperluas atau melewati batas daerah yang diserahkan kepadanya oleh Inggris
dan akan memelihara status quo. Sementara itu di Palembang mulai dilakukan
pengembangan kekuatan militer oleh Pasukan TRI, sedangkan pihak Belanda giat
menyusun posisi dan memperkuat pasukannya di Palembang.
Pada bulan Desember 1946, pihak Belanda telah menyusun pasukan-
pasukannya di Kota Palembang dan sekitarnya. Kapal-kapal perang Belanda
mulai melakukan pencegahan terhadap lalu lintas pelayaran antara Palembang,
Lampung, Jambi, Singapura, yang bertujuan untuk mengadakan blokade ekonomi
dan militer. Blokade bertujuan agar hubungan timbal balik antara Jambi,
Lampung, Palembang dan Singapura terputus sehingga hasil bumi, barang
kebutuhan hidup dan senjata tidak dapat diimpor dan diseludupkan dari
Singapura. Dr. A.K. Gani melakukan kegiatan menembus blokade tersebut untuk
memperkuat perjuangan sehingga dia dijuluki “The biggest smuggler of South
East.”
Panglima Komando Sumatera, Jendral Mayor Suharjo Harjowardoyo
mengeluarkan Perintah Harian lewat corong Radio Republik Indonesia di
Palembang pada akhir Desember 1946 yang ditujukan kepada pasukan-pasukan
RI di daerah pendudukan Belanda di Medan, Padang dan terutama yang di
Palembang untuk selalu siap siaga dan waspada menunggu instruksi dari
pemerintah pusat.
Pada tanggal 28 Desember 1946, seorang anggota Lasykar Napindo
bernama Nungcik ditembak mati karena melewati pos pasukan Belanda di
Benteng. Malam harinya Belanda melanggar garis demargasi yang telah
ditentukan. Dua buah jeep yang dikendarai oleh pasukan Belanda dari Talang
Semut melewati Jalan Merdeka, Jalan Tengkuruk (sekarang jalan Sudirman).
Rumah Sakit Charitas sambil melepaskan tembakan-tembakan yang
membabibuta. Pancingan itu mendapatkan jawaban dari pasukan RI. Meletuslah
pertempuran yang berlangsung sekitar 13 jam lamanya, situasi Palembang dalam

138 | S N I 5
kondisi cease fir. Insiden ini menunjukkan akan meletusnya perang yang lebih
besar, karena Belanda berusaha meningkatkan pertahanannya.
Penghentian tembakan-tembakan tersebut tidaklah berlangsung lama,
Belanda kembali melanggar kesepakatan pada 29 Desember 1946 dengan
melakukan penembakan terhadap Letnan Satu A. Riva’i, Komandan Divisi Dua,
yang mengendarai sepeda motor Harley Davidson saat sedang melakukan inspeksi
kepada pasukan-pasukan dan pos-pos pertahanan TRI-Subkoss/Lasykar. Ketika
melintas di depan Charitas, ia ditembak dengan senjata otomatis oleh pasukan
Belanda yang berada di Charitas. Letnan Satu A. Riva’i berhasil menyelamatkan
diri walaupun tembakan itu tepat mengenai perutnya.
Provokasi Belanda terus terjadi pada tanggal 31 Desember 1946
menyebabkan insiden dengan pihak TRI yang sifatnya sporadis. Belanda
melakukan konvoi dari Talang Semut menuju arah Jalan Jendral Sudirman. Mobil
tersebut melaju dengan kencang dan melepaskan tembakan-tembakan. Kontak
senjata tidak terelakkan di depan Masjid Agung dan sekitar rumah penjara Jalan
Merdeka. Pasukan TRI melakukan pengepungan dan serangan terhadap kekuatan
Belanda di Charitas sehingga tidak mungkin Belanda untuk keluar dan menerima
bantuan dari luar. Akhirnya Belanda meminta bantuan Panglima Divisi II (Kol
Hasan Kasim) dan Gubernur Sumatera Selatan (dr. M. Isa) untuk menghentikan
tembak-menembak (cease fire).
Tujuan dilakukan penghentian tembak-menembak bagi Belanda adalah
untuk menyusun kembali kekuatan tempurnya. Sebelum Belanda melakukan
serangan udara itu memakan waktu yang relatif singkat, yaitu beberapa jam
sebelum matahari terbenam menjelang malam. Belanda melakukan penembakan
dengan mortir ketempat dimana Pasukan TRI/Lasykar berada yaitu di Gedung
Perjuangan (sekarang pusat perbelanjaan Bandung), di daerah dekat Sungai
Jeruju, daerah Tangga Buntung, dan sebagainya. Dengan demikian telah berakhir
kesepakatan penghentian tembak-menembak oleh Belanda. Insiden-insiden yang
terjadi pada akhir tahun 1946 tersebut menjadikan situasi di Kota Palembang dan
sekitarnya menjadi panas (Perwiranegara, 1987). Insiden yang terjadi

139 | S N I 5
sesungguhnya adalah cara Belanda untuk memicu keributan dengan tujuan agar
terjadi pertempuran yang lebih besar.
Pada hari Rabu, tanggal 1 Januari 1947, sekitar pukul 05.30 pagi, sebuah
kendaraan Jeep yang berisi pasukan Belanda keluar dari Benteng dengan
kecepatan tinggi. Mereka melampaui daerah garis demarkasi yang sudah
disepakati. Ternyata mereka mabuk setelah pesta semalam suntuk merayakan
datangnya tahun baru. Kendaraan Jeep itu melintasi Jalan Tengkuruk membelok
dari Jalan Kepandean (sekarang Jalan TP. Rustam Effendi) lalu menuju Sayangan,
kemudian melintasi ke arah Jalan Segaran di 15 Ilir, yang banyak terdapat markas
Pasukan RI/Lasykar seperti Markas Napindo, Markas TRI di Sekolah Methodist,
rumah kediaman A.K. Gani, Markas Divisi 17 Agustus, Markas Resimen 15, dan
Markas Polisi Tentara.
Pada kesempatan yang sama para pemimpin militer dan Lasykar
mengadakan rapat komando untuk menentukan sikap dalam menghadapi
provokasi Belanda. Rapat dihadiri pimpinan pemerintah sipil Gubernur Muda M.
Isa. Dalam rapat tersebut, Panglima Divisi II Kolonel Bambang Utoyo, Gubernur
Muda M. Isa, maupun Panglima Lasykar 17 Agustus, Kolonel Husin Achmad
menyatakan bahwa dalam menghadapi provokasi Belanda, pihak RI bertindak
tidak lagi sekedar membalas serangan, melainkan harus berinisiatif untuk
menggempur semua kedudukan dan posisi pertahanan Belanda di seluruh sektor.
Kepala staf Devisi II, Kapten Alamsyah, mengeluarkan perintah “Siap dan Maju”
untuk bertempur menghadapi Belanda.
a. Front Pertempuran Lima Hari Lima Malam
1) Front Seberang Ilir Timur
Front Seberang Ilir Timur meliputi kawasan mulai dari Tengkuruk sampai
RS Charitas-Lorong Pagar Alam-Jalan Talang Betutu-16 Ilir-Kepandean-Sungai
Jeruju-Boom Baru-Kenten. Pertempuran pertama terjadi pada hari Rabu 1 Januari
1947. Belanda melancarkan serangan dan tembakan yang terus menerus diarahkan
ke lokasi pasukan RI yang ada di sekitar RS Charitas. RS Charitas berada di
tempat yang strategis karena berada di atas bukit sehingga menjadi basis
pertahanan yang baik bagi Belanda. Daerah Front Seberang Ilir (RS Charitas)

140 | S N I 5
menjadi tanggung jawab dari Komandan Resimen Mayor Dani Effendi. Basis
strategi pertahan di Front Seberang Ilir Timur terutama berlokasi di depan Masjid
Agung, simpang tiga Candi Walang, Pasar Lingkis (sekarang Pasar Cinde),
Lorong Candi Angsoko dan di Jalan Ophir (sekarang Lapangan Hatta).
Dibawah pimpinan Mayor Dani Effendi, Pasukan TRI melancarkan
serangan ke Rumah Sakit Charitas dan daerah di Talang Betutu. Serangan ini
dilakukan bersama dengan satu kompi dan Batalyon Kapten Animan Akhyat yang
bertahan di simpang Jalan Talang Betutu (Perwiranegara, 1987). Tujuan serangan
ini adalah untuk memblokir bantuan Belanda yang datang dari arah Lapangan
Udara Talang Betutu menuju arah Palembang dan menghalangi hubungan antara
pusat pertahanan Belanda di RS Charitas dengan Benteng.
Pada sore harinya, pihak Belanda telah mengerahkan pasukan tank dan
panser untuk menerobos pertahanan dan barikade Pasukan TRI di sepanjang Jalan
Tengkuruk. Mereka kemudian berhasil menduduki Kantor Pos dan Kantor
Telepon melalui perlawanan yang seru dari Pasukan TRI. Dengan berhasilnya
Belanda menduduki Kantor Telepon, maka hubungan melalui alat komunikasi
menjadi terputus secara total. Setelah itu, belanda memperluas gerakannya hingga
menduduki Kantor Residen dan Kantor Walikota. Pasukan TRI yang berada di
daerah tersebut mengundurkan diri ke Jalan Kebon Duku dan Jalan Kepandean
sedangkan di RS Charitas, kekuatan Belanda semakin terdesak karena serangan
dari Pasukan TRI.
Pada pertempuran hari kedua, konsentrasi pasukan terutama diarahkan
terhadap pasukan dan pertahan Belanda di RS Charitas. Namun, Belanda berhasil
menerobos lini Talang Betutu setelah terlebih dahulu berhadapan dengan Lettu
Wahid Uddin bersama Kapten Anima Achyat. Belanda telah memperkuat tempat-
tempat yang telah mereka kuasai, terutama di depan Masjid Agung. Sementara itu,
kapal-kapal perang (korvet) Belanda mulai hilir mudik di Sungai Musi sambil
menembakan peluru mortirnya kesegala arah. Secara spontanitas, rakyat dan
pemuda di dalam kota dan luar kota turut serta bertempur melawan Belanda.
Mobilisasi umum di kalangan masyarakat agraris-tradisional terus berlangsung
untuk menghadapi Belanda. Melihat kemajuan-kemajuan dipihak kita, Belanda

141 | S N I 5
pun segera mengadakan pengintaian, bahkan melakukan tembakan dari udara
terhadap kereta api yang membawa bahan makanan, bantuan dari Baturaja, Lubuk
Linggau, dan Lahat. Rakyat yang berada di Front Seberang Ilir menjadi sangat
menderita karena keterbatasan kesediaan pangan akibat Sungai Musi dikuasai
Belanda dan penembakan kereta api.
Oleh karena lokasi Markas Besar Staf Komando Divisi II tidak lagi aman,
maka dipindahkan dari Sungai Jeruju ke daerah Kenten, tepatnya di Jalan Duku.
Hal ini disebabkan karena Belanda terus-menerus melakukan pengintaian dan
pengeboman terhadap markas-markas Pasukan TRI/Lasykar. Keberhasilan
pengeboman jarak jauh yang dilakukan Belanda tidak terlepas dari peranan para
pengintai atau mata-mata.
Ternyata dalam pemeriksaan dan interogerasi yang dilaksanakan, memberi
banyak petunjuk bahwa pihak Belanda secara licik menggunakan warga kota
keturunan Tionghoa sebagai informan mereka, disamping sebagai pelayan
kegiatan ekonomi bagi kepentingan Belanda. Kapten Alamsyah Ratu
Perwiranegara menilai bahwa kasus mata-mata ini sangat sensitif, ia segera
memerintahkan Letnan Dua Asmuni Nas untuk merazia dan menyita semua
telepon yang digunakan oleh keturunan Tionghoa di sepanjang Pasar 16 Ilir.
Pertempuran hari ketiga berlangsung pada hari Jum’at, tanggal 3 Januari
1947. Saat itu, Kolonel Mollinger memerintahkan angkatan perangnya (Darat,
Laut, dan Udara) untuk menghancurkan semua garis pertahanan Pasukan
TRI/Lasykar. Ini menunjukan terjadinya konsep perang tiga matra yang dilakukan
Belanda di Palembang.
Berdasarkan perintah tersebut, maka konvoi kendaraan berlapis baja keluar
dari Benteng menuju RS Charitas menerobos Jalan Tengkuruk, melepaskan
tembakan di sekitar Masjid Agung dan Markas BPRI. Gerakan penerobosan
Belanda ke Charitas itu dihambat oleh pasukan kita yang berada di Pasar Cinde
dengan ranjau-ranjau, manun gagal karena ranjau-ranjau tersebut gagal meledak.
Akibatnya Pasar Lingkis (Cinde) dapat dikuasai oleh musuh. Tapi, sore harinya
pasar itu dapat dikuasai kembali oleh pasukan kita (Resimen XVII). Senjata dan
amunisi yang dimiliki pasukan RI jumlahnya terbatas, dan sebagian besar senjata

142 | S N I 5
yang digunakan oleh pasukan kita banyak yang telah tua (out of date) sebagai
hasil rampasan dari serdadu Jepang (Abdullah, 1996). Sampai hari ketiga,
keadaaan Palembang sebenarnya sudah parah. Hampir seperlima kota telah hancur
terkena serangan bom dan peluru mortir Belanda.
Kehancuran Kota Palembang karena bom-bom Belanda tersebut ditambah
lagi dengan adanya aksi bumi hangus, seperti jembatan kayu di 24 Ilir, atas
perintah Kepala Pertahanan Divisi II, Kapten Alamsyah. Pembongkaran ini
dimaksudkan agar jembatan tidak digunakan oleh Belanda untuk menerobos dari
arah Bukit Kecil menuju Charitas. Bahka, perintah yang benar-benar ditakuti
Belanda adalah “aksi bumi hangus Plaju dan Sungai Gerong.”
Pada pertempuran hari keempat (4 Januari 1947), Belanda menfokuskan
pertahanan di Plaju. Sehingga pasukan Mayor Dani Effendi berhasil
memanfaatkan situasi tersebut untuk menguasai Charitas dan sekitarnya.
Akibatnya pasukan Belanda mulai terdesak. Pasukan TRI berhasil mendekati
gudang amunisi di RS Charitas dan menembak serdadu Belanda yang berusaha
mendekati gudang tersebut.
Pada 5 Januari 1947, pihak Belanda dapat menguasai beberapa tempat
dengan bantuan kapal-kapal perang yang hilir mudik di Sungai Musi dan pesawat
terbang yang menjatuhkan bom-bom ke arah posisi Pasukan TRI. Namun
demikian pasukan Belanda mengalami hal yang sama dengan Pasukan TRI yaitu
letih, kurang tidur dan merasa stress, sedangkan Pasukan TRI telah banyak
menderita kerugian baik dari materi ataupun yang gugur dan luka-luka.
2) Front Seberang Ilir Barat
Front Seberang Ilir Barat meliputi kawasan mulai dari 36 Ilir yaitu
meliputi Tangga Buntung-Talang-Bukit Besar-Talang Semut-Talang Kerangga -
Emma Laan -Sungai Tawar -Sekanak-Benteng. Markas Batalyon 32 Resimen XV
Divisi II dipimpin Makmun Murod yang berda di Front Seberang Ilir Barat, yaitu
di Sekanak. Komandan Resimen XV dan Komandan Batalyon 32/XV beserta para
perwira yang berada di markas, sibuk mengatur pertahanan dan merencanakan
untuk menyerang benteng-benteng pertahanan Belanda. Suara tembakan yang
saling bersahutan sudah semakin gencar diselingi oleh dentuman senjata-senjata

143 | S N I 5
berat yang ditembakan dari pos-pos dan gedung-gedung pertahanan Belanda ke
arah kubu pertahana Pasukan TRI dan barisan pertahanan rakyat.
Pada pertempuran yang terjadi pada tanggal 1 Januari 1947, pasukan-
pasukan disekitar belakang Benteng mulai terdesak lalu mengundurkaan diri ke
sekitar Jalan Kelurahan Madu dan Jalan Kebon Duku. TRI/Lasykar yang
berlokasi di Bukit terpaksa mengubah taktik yaitu memencarkan diri masuk ke
kampung-kampung di sekitar Bukit Siguntang dan sekitarnya. Tindakan ini
dilakukan untuk mencegah pasukan Belanda yang akan menerobos ke 35 Ilir.
Karena apabila pasukan Belanda yang akan beroperasi di 36 Ilir, Suro, 29 Ilir dan
Sekanak akan terkepung. Usaha pasukan TRI dibawah pimpinan Mayor Surbi
Bustam dilakukan untuk menyerang Gedung BPM Handelszaken. Serangan ini
dibantu oleh Kapten Makmun Murod, Letnan Satu Asnawi Mangkualam dan
Kapten Riyacudu. Dalam pertempuran tersebut, seorang prajurit yang diketahui
pemuda keturunan Tionghoa, Sing, tertembak dan gugur. Belanda dengan
menggunakan kendaraan berlapis baja dan persenjataan modern berhasil
menguasai Kantor Pos, Kantor Telegraf, Kantor Residen, Kantor Walikota dan di
sekitar Jalan Guru-guru di 19 Ilir.
Secara keseluruhan, pertempuran pada hari pertama tersebut, inisiatif
sepenuhnya berada di tangan Pasukan TRI dan pejuang. Belanda dengan segala
kemampuannya berusaha mempertahankan pos-pos pertahanan dan kedudukannya
sambil terus malancarkan tembakan-tembakan ke arah pasukan yang menyerang.
Pasukan Belanda boleh dikatakan tidak berani keluar dari kubu pertahannya,
terutama yang berkududkan di Seberang Ilir, karena gencarnya serangan Pasukan
TRI dan Lasykar. Pasukan Belanda hanya membalas tembakan dari tempat
perlindungan, dengan memuntahkan peluru mortir dan dengan tembakan howitzer
untuk sasaran jarak jauh.
Belanda menerapkan sistem pertahanan saling dukung antar pos-pos
mereka. Jika satu tempat pertahanan terkepung oleh Pasukan TRI, maka dalam
waktu singkat mendapat bantuan dari kubu pertahanan Belanda lainnya. Bantuan
sering berupa tembakan, mortir atau howitzer atau dukungan tembakan dari kapal

144 | S N I 5
perang De Ruiter. Kapal perang Belanda memang hilir mudik di Sungai Musi,
khususnya jenis korvet.
Pada pertempuran hari kedua, Belanda menembakan mortirnya dengan
membabibuta ke arah Sekanak sampai ke Tangga Buntung. Tujuan utama adalah
menembaki markas batalyon dan pos-pos pertahanan TRI dan rakyat yang
terdapat antara Sekanak sampai Tangga Buntung. Tidak dapat dihindari lagi
peluru tersebut telah mengenai daerah pemukiman penduduk. Gencarnya
tembakan yang dilakukan Belanda dari benteng pertahanan dan dan pesawat udara
pada 2 Januari 1947 menyebabkan Staf Komando Batalyon 32/XV oleh Mayor
Zurbi Bustam bersama Kapten Makmun Murod dipindahkan ke Talang. Daerah
Suro dan Talang Kerangga pada saat itu tidak luput dari serangan musuh.
Dengan dorongan semangat dan doa, Pasukan TRI tetap berusaha untuk
mempertahankan diri. Penambahan pasukan terjadi melalui Batalyon Ismail Husin
dari Lampung yang berhasil menyeberang melalui Tangga Buntung. Rakyat atau
penduduk sipil pun ikut serta memberikan bantuan tenaga. Keterbatasan senjata
tidak membuat pasukan kita menyerah. “molotov” adalah bensin yang dimasukan
ke dalam botol dicampur dengan karet untuk kemudian diberi sumbu memjadi alat
yang sangat efisien. Kapten Alamsyah memerintahkan Sersan Mayor M. Amin
Suhud untuk mencuri persediaan bensin Belanda yang akan digunakan untuk
membuat bom molotov. Sersan Mayor M. Amin Suhud mendapatkan bensin.
Kesulitan bahan makanan dialami oleh Front Seberang Ilir Barat karena blokade
yang dilakukan oleh Belanda. Dalam kondisi demikian, bantuan bahan makanan
dari dapur umum di garis belakang yang dikirim ibu-ibu dan remaja puteri sangat
berarti. Begitu pula peran anggota Palang Merah Indonesia (PMI) dan PPI
(Pemuda Puteri Indonesia) yang mengurus korban pertempuran dan mengurus
bahan makanan.
Pada hari ketiga, pertempuran tiga matra yang dilakukan oleh Belanda
semakin aktif, setelah dikeluarkan perintah oleh Kolonel Mollinger untuk
menghancurkan garis pertahanan RI di Emma Laan (Jalan Kartini) dan Sekolah
MULO Talang Semut. Pasukan TRI yang dibawah pimpinan Letda Ali Usman
berhasil menghancuran sekitar 3 regu Pasukan Belanda yaitu Pasukan Gajah

145 | S N I 5
Merah (Perwiranegara, 1987). Belanda tidak tinggal diam, segera membalas
serangan di Emma Laan. Sehingga pada pertempuran hari keempat, Sabtu tanggal
4 Januari 1947, Pasukan TRI/Lasykar terdesak sehingga mundur ke arah Kebon
Gede,Talang dan Tangga Buntung.
Sebagai resiko perjuangan dari bangsa yang baru merdeka, maka setiap
gerakan pasukan musuh berakibat pada pemindahan dislokasi pasukan. Walaupun
situasi pertempuran selalu dilaporkan kepada komando pertempuran. Namun
laporan tersebut mengalami keterlambatan akibat sulitnya hubungan komunikasi.
Pada hari kelima pertempuran di Front Seberang Ilir Barat terus berlangsung,
walaupun Pasukan TRI/Lasykar dan rakyat mulai menampakkan keletihan dan
pengiriman makanan dari dapur umum mulai tidak teratur lagi akibat blokade
Belanda. Sebenarnya blokade ini juga berdampak pada pihak Belanda juga karena
bahan makanan dari luar kota sulit masuk ke Kota Palembang.
3) Front Seberang Ulu
Front Seberang Ulu meliputi kawasan mulai dari 1 Ulu Kertapati sampai
Bagus Kuning, selanjutnya meliputi kawasan Plaju-Kayu Agung -Sungai Gerong.
Untuk tanggung jawab pertahanan dan keamanan di daerah Palembang Ulu
dibebankan kepada Batalyon 34 Resimen XV dengan Komandan Batalyon Kapten
Raden Mas yang bermarkas si sekolah Cina 7 Ulu (sekarang SHD), yang
melakukan perlawanan di Kertapati sampai Plaju.
Pada awal pertempuran tanggal 1 Januari 1947, tembakan mortir dari
pasukan Belanda yang dberada di Bagus Kuning, Plaju dan Sungai Gerongterus
ditujukan ke markas batalyon yang dipimpin Kapten Raden Mas. Namun
demikian, kapal perang Belanda yang berada di Boom Plaju atau Sungai Gerong
belum dapat bergerak leluasa, karena dihambat oleh pasukan ALRI di Boom
Baru.
Lokasi di perairan Sungai Musi sebelum pertempuran merupakan salah
satu tempat berlangsungnya aktivitas perekonomian. Namun ini berbeda pada hari
pertama pertempuran. Motorboat milik Belanda melaju dari arah Plaju menuju
Boom Yetty yang diduga membawa bahan persenjataan pasukan Belanda,
Pasukan TRI berusaha menyerang namun tidak berhasil.

146 | S N I 5
Kompi I yang berkedudukan di Jalan Bakaran Plaju, dipimpin Lettu Abdullah di
Jalan Kayu Agung dan Sungai Bakung diberi tugas untuk menghadapi Belanda.
Begitu juga Kompi II yang dipimpin Letda Sumaji bertugas menghadapi Belanda
di Bagus Kuning dan Sriguna, sedangkan Kompi II dibawah pimpinan Letda Z.
Anwar Lizano bertugas menghadapi Belanda di pinggir Sungai Musi yang
letaknya sejajar dengan Boom Yetty sampai Pasar 16 Ilir. Pertempuran yang telah
terjadi menimbulkan semangat patriotisme di kalangan pasukan TRI. Bantuan
pasukan segara menuju Palembang. Letkol Harun Sohar telah melepaskan
pemberangkatan pasukan menuju Kertapati dan Lahat dengan menggunakan
kereta api.
Kelelahan pasukan Belanda dimanfaatkan oleh Letnan Dua S. Sumaji yang
merencanakan serbuan dini hari, pada tanggal 2 Januari 1947. Pasukannya dibantu
dari Lasykar Pesindo, Napindo dan Hizbullah. penyerbuan tersebut membuahkan
hasil. Pasukan TRI/Lasykar dapat menguasai gudang-gudang persenjataan musuh,
sedangkan pasukan Belanda mengundurkan diri ke kapal-kapal perang mereka.
Bendera Belanda si tiga warna yang terpancang di depan asrama telah diturunkan,
kemudian dirobek warna birunya dan dinaikkan kembali dengan keadaan si
Dwiwarna, Sang Saka Merah Putih. Namun kemenangan ini tidak berlangsung
lama pasukan Belanda kemudian melepaskan tembakan-tembakan mortir ke arah
kedudukan Pasukan TRI/Lasykar.
Setelah Komandan Mollinger mengeluarkan perintah kepada seluruh unsur
kekuatan darat, laut dan udara. Belanda untuk meningkatkan gempuran dan
berusaha menerobos setiap garis pertahanan TRI dan badan-badan perjuangan
rakyat. Pewasat-pesawat terbang dan kapal-kapal perang Belanda semakin
menggiatkan aksinya, terutama di daerah-daerah yang menjadi tempat bertahan
pasukan-pasukan TRI yang berada di Seberang Ulu dan Ilir. Kapal perang jenis
korvet menembakan mesin kesepanjang Sungai Musi terutama di pos-pos
pertahanan RI, terutama yang berlokasi di sekitar 7 Ulu.
Akibatnya Pasukan TRI dan Lasykar terpaksa membalas dengan
menggunakan senjata bekas persenjataan Jepang, yaitu meriam pantai milik
kompi III Batalyon 34 di 7 Ulu di tepi Sungai Musi. Dengan menggunakan senjata

147 | S N I 5
seperti itu, pasukan Hizbullah dibawah pimpinan Letkol (Lasykar) M. Ali Thoyib
berhasil menembak sebuah motorboat Belanda yang sedang mengangkat amunisi
milik Belanda dari Plaju menuju ke Benteng. Serangan terhadap motorboat
Belanda mengakibatkan kemarahan pasukan Belanda. Mereka membalas dengan
mengirim pesawat Mustang dan secara terus-menerus menhujani basis pasukan di
7 Ulu dengan tembakan bertubi-tubi selama dua jam. Hal ini menimbulkan korban
yang besar di kalangan Pasukan TRI/Lasykar dan rakyat. Bantuan terhadap
pasukan Front Seberang Ulu datang dari Lahat dan Baturaja dikirim ke Bagus
Kuning.
Pada tanggal 4 Januari 1947 di Front Seberang Ulu pasukan Belanda
semakin memperhebat tekannya terhadap pasukan RI sehingga pasukan TRI yang
berada di Bagus Kuning mengundurkan diri ke 16 Ulu. Kapal-kapal perang
Belanda melakukan patroli mulai dari perairan Sungai Gerong di bagian Hilir
sampai ke perairan Kertapati, Keramasan di bagian Hulu. Pada hari kelima,
tanggal 5 Januari 1947, pasukan kita dalam keadaan lelah, sekalipun hal itu tidak
mengendorkan semangat perjuangan.
Sejak tanggal 4 Januari 1947 di Kota Palembang telah menerima
kedatangan Kapten A.M. Thalib, utusan Panglima Divisi II Bambang Utoyo, yang
mengabarkan tentang keinginan Mollinger untuk berunding. Ternyata Gubernur
Muda telah menerima berita dari Jakarta lewat telegram yang diterima oleh
pemancar darurat dibawah pimpinan Herry Salim, bahwa akan datang ke
Palembang secepatnya Dokter Adnan Kapau Gani sebagai utusan pemerintah
pusat untuk melakukan perundingan gencatan senjata dengan pihak Belanda.
Perundingan ini dilakukan oleh pihak RI dikarenakan ada kepentingan
strategis dengan alasan:
• pertama, mencegah korban lebih banyak
• kedua, kita perlu mengadakan konsolidasi kekuatan kembali
• ketiga, dari segi politis akan memberikan gambaran kepada dunia
internasional bahwa RI cinta perdamaian, sekaligus menegaskan bahwa
pemerintah pusatnya dipatuhi oleh daerah-daerahnya.

148 | S N I 5
• Perhitungan yang melandasi berunding dari pihak RI adalah berdasarkan:
Pertama, perjuangan kemerdekaan akan memakan waktu cukup lama,
mungkin bertahun-tahun.
• Kedua, hampir 60% pasukan RI di Sumatera Selatan berada di Kota
Palembang, bila sampai bertempur habis-habisan akan memperlemah
kekuatan pada masa selanjutnya.
Setelah itu, ditetapkan tiga orang delegasi yang melakukan pejajakan
perundingan. Mereka adalah dr. M. Isa, Gubernur Muda yang mewakili
Pemerintah Sipil; Mayor M. Rasyad Nawawi, Kepala Staf Divisi Garuda II yang
mewakili pasukan-pasukan dari Komando Pertempuran dan Komisaris Besar
Polisi, Mursoda, yang mewakili Kepolisian (Perikesit, 1995).
Perundingan antara RI-Belanda dilaksanakan pada tanggal 5 Januari 1947,
di Rumah Sakit Charitas. Formasi delegasi pun ditambah dengan Kolonel
Bambang Utoyo, Komandan Divisi Garuda II, yang ditunjuk sebagai Ketua dan
Mayor Laut A.R. Saroingsong. Pertemuan dengan pihak Belanda sebenarnya telah
mereka nanti-nantikan, sebab posisi Belanda benar-benar terjepit dan belum bisa
mengadakan link up. Mereka masih terkurung dalam kubu per kubu yang terpisah
satu sama lainnya.
Dalam perundingan tersebut pihak Belanda menuntut Kota Palembang
dikosongkan dari seluruh pasukan TRI. Namun hal itu ditolak oleh delegasi RI.
Pihak RI bersedia menarik TRI dan Lasykar dari kota, tapi ALRI, Kepolisian dan
Pemerintahan Sipil tetap berada di dalam kota. Dengan alasan bahwa ALRI tidak
mempunyai hubungan dengan Angkatan Darat. Adapun maksud tersembunyi
adalah Pasukan ALRI yang tinggal di Kota Palembang akan menjadi penghubung
dan mata-mata, disamping Polisi dan Pemerintahan Sipil, guna mengawasi
kegiatan Belanda.
Akhirnya Pertempuran Lima Hari Lima Malam diakhiri dengan gencatan
senjata (cease fire) antara kedua belah pihak, dimana TRI/Lasykar harus kelur
dari Kota Palembang sejauh 20 Kilometer kecuali Pemerintah Sipil RI dan ALRI
masih tetap berada di dalam kota. Sedangkan pos-pos Belanda hanya boleh sejauh
14 Km dari pusat kota. Jalan raya di dalam kota dijaga pasukan Belanda dengan

149 | S N I 5
rentang wilayah 3 Km ke kiri dan kanan jalan. Hasil perundingan ini selanjutnya
segera disampaikan ke markas besar TRI di Yogyakarta.

Suasana Pertempuran di Palembang


Sumber: palembangtempodulu.multiply.com

8. Pertempuran Lima Hari,


Hari di Semarang

Perlawanan masyarakat Semarang terhadap tentara Jepang atau sering


disebut dengan istilah pertempuran lima hari di Semarang diawali dari

150 | S N I 5
terbunuhnya Dr. Kariadi seorang dokter muda asal Semarang dan berbagai
tindakan anarkis yang dilakukan oleh tentara tahanan Jepang yang mencoba
melarikan diri dari tahanan kemudian mengakibatkan kekacauan di sekitar tempat
tahanan tentara Jepang. Tentara tahanan Jepang mencoba untuk mengambil alih
kembali kota Semarang dari kemerdekaan bangsa Indonesia. Hal tersebut tentu
mengundang amarah masyarakat menimbulkan perlawanan rakyat Semarang
terhadap tentara Jepang di berbagai daerah Semarang.
Jalannya Perang
Pada tanggal 14 Oktober 1945, pasukan Jepang yang bersenjata lengkap
dengan tiba-iba menyerang dan melucuti 8 orang petugas kepolisian yang sedang
menjaga persediaan air minum di Jln. Wungkai. Peristiwa itu terjadi sekitar pukul
18.00 WIB. Tidak lama berselang, tersiar kabar bahwa Jepang telah meracun air
minum itu. Berkenaan dengan adanya berita mengenai peracunan tandon air
minum di Jln. Wungkal, seorang dokter muda asal Semarang tergerak hatinya
untuk melakukan penelitian mengenai tandon yang sudah di racun tersebut. Beliau
bernama Drs. Kariadi yang pada waktu itu menjabat sebagai kepala laboratorium
di RS Purusara Semarang.
Drs. Kariadi segera berangkat ke tandon penampungan air di Jln Wungkal.
Diluar dugaan mobil yang ditumpangi bersama sopirnya dicegat oleh sekelompok
tentara Jepang. Dr.Kariadi beserta sopir pribadinya ditembak ditempat. Korban
baru bisa dibawa ke rumah sakit pukul 23.00. Sayang sekali keadaan sudah sangat
parah hingga beberapa saat kemudian beliau menutup mata untuk selama-lamanya
(Panitia Penyusun Pertempuran 5 Hari di Semarang, 1977)
Tidak lama setelah gugurnya Drs. Kariadi, masyarakat Semarang
dikejutkan oleh serentetan tembakan yang terdengar dengan gencarnya dari arah
Jln. Pandanaran. Selang beberapa menit kemudian suara tersebut berhenti dan
suasana menjadi kondusif kembali. Barulah diketahui bahwa rentetan suara
tembakan tersebut dilepaskan oleh anggota polisi istimewa yang sedang menjaga
tahanan Jepang di bekas asrama Sekolah Pelayaran yang terletak sebelah kiri
Jln.Pandanaran (sekarang di Jalan Erlangga).

151 | S N I 5
Menurut rencana, para tahanan Jepang akan dipindahkan tempatnya.
Sebelum dipindahkan, polisi istimewa membuka pembicaraan dengan para
pimpinan tahanan Jepang untuk berpidato dan menyuruh anak buahnya apel di
lapangan. Sementara itu polisi istimewa menjaga ketat para tahanan dengan
formasi melingkar. Pemimpin tahana Jepang mulai berpidato dengan bahasa
Jepang didepan anak buahnya. Dalam pidato tersebut ternyata pemimpin tahanan
menyuarakan untuk menyerang para anggota polisi istimewa. Banyak dari mereka
yang berteriak-beteriak “Bakero Indonesia” dan berusaha untuk mengambil besi-
besi dan potongan kayu dari tempat tidur mereka. Bahkan ada juga yang
membawa pistol yang sebelumnya berhasil diselundupkan oleh seorang tahanan
Jepang.
Suasana di tempat tersebut sangat kacau. Meskipun bersenjata, karena
jumlahnya tidak sebanding dengan jumlah tahanan Jepang. Polisi istimewa
akhirnya terdesak. Para tahanan mencoba melarikan diri dari berbagai arah dengan
mengunakan truk yang seyogyanya digunakan polisi istimewa untuk
memindahkan para tahanan ke tempat lain. Namun para tahanan tidak mengenal
betul kawasan Semarang, apalagi disaat malam hari.
Tidak lama setelah pemberontakan para tahanan Jepang sekitar jam 03.00
dini hari, Kido Butai telah mengawali gerakannya dan melakukan gerakan kilat
untuk menguasai kota Semarang dengan tujuan apa yang mereka namakan
“melindungi jiwa orang-orang Jepang. Kido Butai mulai melakukan
pemberontakan disaat ia merasa keadaan sudah dalam titik puncakknya karena
Kido Butai mendengar bahwa Mayor Jendral Nakamura ditawan oleh para
pemuda di Magelang.
Masyarakat Semarang bangkit serentak menghadapi pasukan Jepang yang
sangat agresif pada waktu itu. Mereka sama sekali tidak merasa gentar
menghadapi kekejaman para tentara Jepang anggota Kido dari Jatingaleh tersebut.
Pada waktu itu, bagi mereka hanya ada satu semboyan “ lebih baik mati berkalang
tanah dari pada kehilangan kemerdekaan tanah air.
Karena kuatnya arus serbuan pasukan Jepang yang datang berikutnya,
pertahanan para pemuda akhirnya dapat dipatahkan. Beberapa dari mereka

152 | S N I 5
berhasil ditawan. Perlawanan terjadi di berbagai tempat antara lain di pasar
Kagok, Siranda. Sesudah itu tawanan disiksa dengan kejam dan akhirnya dibunuh
di dekat Taman Pahlawan.
Pada pagi hari itu juga, di depan rumah sakit Purusara terjadi pertempuran
yang sengit. Rumah Sakit diberondong Jepang dengan senapan mesin, hingga
seorang pegawai yakni Soedirman tertembak. Sementara itu, korban-korban yang
datang dari berbagai tempat kian lama kian banyak, hingga bangsal bedah penuh
sesak. Setelah mengepung Purusara, pasukan Jepang selanjutnya bergerak maju
menuju ke markas Polisi Istimewa di Kalisari. Selanjutnya, pasukan Jepang
meneruskan gerakannya untuk membebaskan kembali gedung besar markas
Kenpeital. Dari gedung besar, pasukan Jepang kemudian melancarkan tembakan-
tembakan kearah gedung Lawang Sewu.
Gedung gubernuran dimana Gubernur Jawa Tengah Mr. Wongsonegoro
pada waktu itu sedang berada juga telah diserang oleh pasukan Jepang. Bahkan
gedung inilah yang sebenarnya menjadi sasaran utama dari gerakan Kido Butai
pada tanggal 15 Oktober 1945 dengan maksud untuk menawan Mr.
Wongsonegoro.
Pertahanan di gedung tersebut sangat kuat. Dengan serangan pasukan Kido
yang paling nekad disertai serangan yang berani mati, gedung tersebut akhirnya
baru dapat diduduki pada siang hari. Mr. Wongsonegoro kemudian ditawan di
markas Kido Butai di Jatingaleh, bersama istri dan anak-anaknya tetapi di tempat
yang terpisah.
Maksud penawanan Mr.Wongsonegoro itu tidak dapat dilepaskan dari
penawanan Mayor Jendral Nakamura oleh para pemuda Magelang. Dengan
menawan Gubernur Jawa Tengah, ia bermaksud ingin balas dendam. Seperti
halnya daerah Semarang Selatan dan Semarang Barat, pada tanggal 15 Oktober
1945 daerah Semarang Timur dan Semarang Utara juga tidak luput dari serangan
tentara Jepang.
Pada 16 Oktober 1945, Jepang menambah kekuatan tempurnya dengan
mengikut sertakan orang-orang Jepang yang bukan tentara. Sukarelawan yang
bergabung dengan misi Jepang itu sekitar 300. Disisi lain, pasukan-pasukan

153 | S N I 5
tempur rakyat Semarang pada hari itu juga telah datang pasukan-pasukan bantuan
dari berbagai daerah. Dari daerah Kendal dan Weleri di sebelah barat, dari markas
Demak, Kududs, Pati, Tayu dan Purwodadi di sebelah timur, dan dari daerah
Ambarawa, Yogya, Magelang, Purwokerto dan Solo dari sebelah selatan.
Pada hari itu tujuan Jepang adalah menyerang kawasan Hotel Du Pavilion
(sekarang hotel Dibya Putri), yang dijadikan markas pertahanan oleh para pemuda
di bawah pimpinan Martadi. Di sekitar hotel itu, segera berkobar pertempuran
yang sangat hebat. Pertempuran tersebut dimenangkan oleh pasukan Jepang. Di
samping Hotel Du Pavilion, pada hari itu pasukan Jepang berhasil pula menguasai
Pasar Johar. Kantor Papak dan Kantor Telpon.
Perlawanan bangsa Indonesia melawan tentara Jepang yang sebelumnya
dibantu oleh relawan dan pemuda yang didatangkan dari berbagai daerah
sekitaran Semarang meskipun kalah juga membuahkan hasil yaitu tertangkapnya
sukarelawan Jepang di berbagai daerah dimana terjadi pertempuran. Menginfasi
kemungkinan akibat yang timbul dari perbuatan yang telah mereka lakukan
sendiri, pada waktu itu pihak Jepang benar-benar merasa sangat prihatin. Harapan
pihak Jepang tertuju pada Mr. Wongsonegoro. Ialah yang dipandang dapat
menyelamatkan ratusan orang relawan yang tertangkap.
Semenjak tangal 16 Oktober 1945 malam, mereka telah berusaha
menghubungi Mr. Wongsonegoro yang pada waktu itu tengah mendekam dalam
tahanan di markas Kido Bitai di Jatingaleh. Namun Mr. Wongsonegoro tidak
dapat menjamin akan dapat merealisir tuntutan mereka berupa menyelamatkan
relawan dan pengembalian senjata-senjata milik Jepang yang berhasil direbut oleh
pemuda Indonesia.
Pada hari itu juga 17 Oktober 1945 Mr. Wongsonegoro kemudian
mengeluarkan sebuah maklumat. Sekalipun telah ada maklumat tersebut,
semenjak siang hari hinga malam hari, pertempuran masih terus berlangsung.
Bahkan bertentangan dengan hasratnya untuk mengadakan gencatan senjata dan
mengakhiri pertempuran. Pada hari itu pasukan-pasukan Jepang justru telah
memperhebat serangan-serangannya seakan-akan Maklumat dari Gubernur Jawa
Tengah tersebut tidak pernah ada.

154 | S N I 5
Pada hari itu, Jepang telah mengeluarkan perintah pada pasukan-
pasukannya untuk tetap meneruskan pembersihan di dalam kota Semarang dan
menugaskan pasukan-pasukannya untuk mengadakan pembersihan di daerah
Poncol dan pelabuhan. Sedangkan pasukan Yamada ditugaskan untuk
membersihkan wilayah Gombel dan Srondol.
Sebagai tindak lanjut dari perundingan mengenai gencatan senjata yang
telah dilakukan dengan pihak Jepang pada tanggal 17 Oktober, Mr.
Wongsonegoro dan Dr Soekarjo pada hari itu juga pergi ke Ungaran dengan
maksud menghubungi tentara Indonesia yang sangat kuat dan menyelidiki
keadaan orang-orang Jepang yang ada di daerah itu. Mr. Wongsonegoro juga
mengutus wakilnya yaitu Ir. Abdul Muntalib ke daerah Kendal.
Para pemuda pejuang di Ungaran, ketika mendengar genjatan senjata,
mula-mula mereka marah. Mereka mengajukan pertanyaan mengenai siapa yang
sebenarnya menghentikan pertempuran itu. Mr. Wongsonegoro dengan terus
terang menjawab bahwa yang menghentikan ialah ia sendiri. Belum puas sampai
di situ, mereka juga menanyakan juga mengenai seiapa yang sebenarnya telah
meminta penghentian pertempuran itu. Mr. Wongsonegoro juga menjawab, bahwa
yang meminta adalah Jepang. Selanjutnya mereka juga bertanya syarat-syaratnya
dan Mr. Wongsonegoro dengan terus terang pula mengatakan bahwa syarat-
syaratnya akan dibicarakan pada kari beikutnya.
Pada hari Kamis tanggal 18 Oktober 1945, pihak Jepang berhasil
mematahkan pertahanan para pemuda di sektor Jatingaleh dan Gombel yang
dilakukan oleh pasukan Yamada. Untunglah pada saat yang benar-benar kritis,
Allah telah menguurkan tangan-tangan-Nya. Keesokan harinya, tepat pada tanggal
19 Oktober 1945 jam 07.45 pagi, di pelabuhan Semarang telah berlabuh sebuah
kapal besar “HMS Glenroy” yang mengangkut tentara sekutu yakni pasukan dari
Inggris. Karena kedatangan mereka, kota Semarang telah terlepas dari bahaya
maut yaitu di bom oleh Jepang.
Sehari setelah tentara Sekutu mendarat di Semarang, di Hotel Du Pavilion
diadakan konferensi antara wakil-wakil Pemerintah RI, pihak tentara Jepang dan
pihak tentara Sekutu. Konperensi yang diadakan di Hotel Du Pavilion

155 | S N I 5
berlangsung secara kilat tanpa protokol apa-apa. Perintah ‘cease fire” dari tentara
Sekutu harus segera dilaksanakan.
Untuk itu dibentuk suatu iring-iringan kendaraan yang bertugas sebagai
konvoi perdamaian. Konvoi perdamaian itu segera memulai tugas sucinya dengan
menelusuri jalan-jalan di kota Semarang sampai ke bagian yang sepi-sepi.
Sekalipun tugasnya belum selesai, mereka memutuskan untuk kembali kepusat
konvoi perdamaian di Hotel Du Pavilion

156 | S N I 5
Kesimpulan

Latar belakang perjuangan bangsa Indonesia dalam mempertahankan


kemerdekaan diawali dengan kedatangan pasukan Sekutu ke Indonesia. Pada
mulanya disambut dengan sikap netral oleh pihak Indonesia. Namun, setelah
diketahui bahwa Sekutu membawa NICA (Netherland Indies Civil
Administration) sikap masyarakat berubah menjadi curiga karena NICA adalah
pegawai sipil pemerintah Hindia Belanda yang dipersiapkan untuk mengambil
alih pemerintahan sipil di Indonesia. Hal ini menumbuhkan perlawanan rakyat
Indonesia di berbagai daerah. Upaya bangsa Indonesia dalam mempertahankan
kemerdekaan Indonesia di lakukan dengan perjuangan fisik. Perjuangan fisik
meliputi pertempuran 10 November di Surabaya, pertempuran Ambarawa,
pertempuran Medan Area, pertempuran Bandung Lautan Api, pertempuran
Margarana di Bali, dan pertempuran 5 hari di Semarang.

157 | S N I 5
Glosarium:

AFNEI : (Allied Forces Netherlands East Indies), pasukan Sekutu


yang dikirim ke Indonesia setelah Perang Dunia II, untuk
melucuti tentara Jepang
NICA : Netherlands-Indies Civil Administration ( Pemerintah
Sipil Hindia Belanda) yang merupakan organisasi semi
militer yang dibentuk pada 3 April 1944
Dai Nippon : Entitas politik pemerintahan Jepang dibawah Konsitusi
Kekaisaran Jepang dan daerah-daerah yang dibawah
perintahnya sejak zaman Restorasi Meiji hingga
diberlakukannya Konsitusi 1947
Labour Party : Partai Buruh
House of Commons : Dewan Perwakilan
Sporadis : gerakan-gerakan dan serangan yang dilakukan untuk
mencapai kemerdekaan melawan penjajah tidak utuh
karena gerakan dan serangan ini tidak dilakukan disemua
kota.
TKR : Tentara Keamanan Rakyat.
Resimen : pasukan tentara yang terdiri atas beberapa bataliyon
yang biasanya dikepalai oleh seorang perwira menengah
Gelar supit urang : siasat perang yang dilakukan oleh Jenderal Soedirman
dalam pertempuran ambarawa dengan cara pengepungan
pengepungan rangkap.
Perang Gerilya : bentuk perang yang tidak terberbelit dengan cara resmi
pada ketentuan perang yang dipimpin oleh jenderal
soedirman
Fixed Boundaries : Batas Resmi Medan Area
Medan Area

Giyugun : Tentara Sukarela

158 | S N I 5
Sistem tawan karang : Hak istimewa yang dimiliki raja-raja Bali pada masa lalu
dimana raja akan menyita kapal-kapal yang terdampar
di wilayah mereka lengkap beserta seluruh muatannya
de facto : Pengakuan yang diberikan oleh suatu negara kepada
negara lain yang telah memenuhi unsur-unsur negara,
seperti ada pemimpin, rakyat dan wilayahnya berdasarkan
kenyataan (fakta)
longmarch : perjalanan jarak jauh
status quo : mempertahankan keadaan sekarang yang tetap seperti
keadaan sebelumya
The biggest smuggler : Penyelundupan terbesar dari South East
of South East.

ALRI : Angkatan Laut Republik Indonesia

159 | S N I 5
Latihan 1

1. Buatlah kelompok 5 sampai 6 orang, masing-masing kelompok memilih salah


satu materi tentang Pertempuran melawan Sekutu (pertempuran Suarabaya,
Bandung Lautan Api, Palangan Ambarawa, Perang Puputan, pertempuran 5
hari di Semarang, Pertempuran 5 hari di Palembang). Buatlah makalah dan
presentasekan makalah tersebut.
2. Lakukanlah analisis dari masing-masing pertempuran dalam melawan Sekutu.
3. Bandingkanlah masing-masing faktor penyebab terjadinya pertempuran
dalam melawan Sekutu.
4. Carilah bahan dari berbagai sumber dan media kemudian butlah biografi
tokoh nasional yang telah berjasa dalam perjuangan mempertahankan
proklamasi kemerdekaan (tokoh-tokoh yang terlibat dalam pertempuran
melawan sekutu).
5. Menurut pendapat anda bagaimana dampak yang ditimbulkan dari
pertempuran tersebut bagi kedaulatan negara Indonesia.

Latihan 2

1. Berikut ini merupakan perjuangan bersenjata bangsa Indonesia dalam rangka


mempertahankan kemerdekaan, kecuali....
a. Pertempuran Surabaya
b. Perang Puputan Margarana
c. Palangan Ambarawa
d. Bandung Lautan Api
e. Konferensi Meja Bundar.
2. Insiden bendera yang terjadi di hotel Yamato disebabkan oleh...
a. Pertentangan pejuang Indonesia dengan pasukan Belanda
b. Penghadangan yang dilakukan oleh pejuang Indonesia di depan hotel
Yamato
c. Keinginan bangsa Indonesia untuk mengusir pasukan Belanda dari
Surabaya

160 | S N I 5
d. Pengibaran bendera Belanda yang dilakukan oleh orang Belanda bekas
tawanan Jepang.
e. Penghinaan para pasukan Belanda terhadap para pelayan hotel Yamato.
3. Pemimpin perang Gerilya di Jawa Tengah dan Jawa Timur adalah....
a. Supriadi
b. Urip Sumoharjo
c. R. Sukarman Martokusumo
d. Jenderal Soedirman
e. M. Natsir
4. Dalam peristiwa Perang Ambarawa Jenderal Sudirman menggunakan taktik
gelar supit urang. Yang dimaksud dengan taktik tersebut adalah....
a. Pengepungan rangkap dari kedua sisi sehingga musuh benar-benar
terkurung.
b. Pengempungan yang dilakukan oleh para pemuda TKR
c. Pengepungan yang dilakukan di Ambarawa
d. Taktik perang gerilya
e. Taktik untuk memecah belah persatuan.
5. Bandung Lautan Api adalah salah satu akibat perlawanan Indonesia
menentang segala bentuk penjajahan dalam rangka....
a. Membangun Indonesia merdeka
b. Menegakkan dan mempertahankan Indonesia
c. Merebut kemerdekaan Indonesia
d. Mencapai kemerdekaan Indonesia
e. Mencapai cita-cita pembangunan Indonesia
6. Latar belakang pertempuran Medan Area di bawah ini adalah, kecuali....
a. Bekas tawanan yang menjadi arogan dan sewenang-wenang.
b. Ulah seorang penghuni hotel yang merampas dan menginjak-injak lencana
merah putih.
c. Pemberian batas daerah Medan secara sepihak oleh Sekutu dengan
memasang papan pembatas yang bertuliskan “Fixed Boundaries Medan
Area (Batas Resmi Medan Area)” di sudut-sudut pinggiran Kota Medan.

161 | S N I 5
d. Pada tanggal 18 Oktober 1945 Sekutu mengeluarkan ultimatum yang
isinya melarang rakyat membawa senjata, semua senjata harus diserahkan
kepada pasukan Sekutu.
e. Terbunuhya Brigader Mallaby
7. Perang Puputan Margarana di Bali dipimpin oleh....
a. Bung Tomo
b. Jenderal Sudirman
c. I Gusti Ngurah Rai
d. Achmad Tahir
e. Dr. Kariadi
8. Dalam pertempuran Lima Hari, Lima Malam di Palembang, Belanda
bermaksud ingin menguasai penuh Palembang terutama dari aspek ekonomi,
aspek ekonomi yang dimaksud adalah....
a. ingin membuktikan kepada dunia internasional bahwa mereka benar-
benar telah menguasai Jawa dan Sumatera.
b. menguasai tempat penyulingan minyak di Plaju dan Sei Gerong.
c. TRI (Tentara Republik Indonesia) dan pejuang di Palembang
d. Sumber daya alam yang dimiliki Palembang
e. Palembang memiliki wilayah yang sangat luas
9. Sebab terjadinya pertempuran Lima Hari di Semarang adalah, kecuali....
a. Tidak adanya perlawanan rakyat Semarang terhadap tahanan Jepang.
b. Terbunuhnya Dr. Kariadi seorang dokter muda asal Semarang
c. Tentara tahanan Jepang mencoba melarikan diri.
d. Adanya berita mengenai peracunan tandon air minum di Jln. Wungkal
e. Jepang ingin kembali menguasai kota Semarang dari kemerdekaan
bangsa Indonesia
10. Terbunuhnya Brigadir Mallabay merupakan sebab terjadinya pertempuran....
a. Pertempuran Surabaya
b. Bandung Lautan Api
c. Puputan Margarana
d. Medan Area

162 | S N I 5
e. Petempuran Lima Hari di Semarang

Kunci Jawaban Latihan 2

1. Jawaban E
Jawaban A, B, C, dan E benar, sedangkan jawaban E salah, sebab Konferensi
Meja Bundar merupakan perjuang diplomasi yang dilakukan oleh bangsa
Indonesia.
2. Jawaban D
Setelah munculnya maklumat pemerintah Indonesia tanggal 31 Agustus 1945
yang menetapkan bahwa mulai 1 September 1945 bendera nasional Sang
Saka Merah Putih dikibarkan terus di seluruh wilayah Indonesia. Dengan
penetapan tersebut rakyat Surabaya mengibarkan bendera Merah Putih
dibeberapa tempat khusnya di Hotel Yamato, namun sekelompok orang
Belanda di bawah pimpinan Mr. W.V.Ch Ploegman pada sore hari tanggal 18
September 1945, tepatnya pukul 21.00, mengibarkan bendera Belanda
(Merah-Putih-Biru), tanpa persetujuan Pemerintah RI Daerah Surabaya. Hal
inilah yang menyebabkan para pemuda marah dan terjadilah insiden
perobekan bendera di Hotel Yamato
3. Jawaban D
Jenderal Sudirman merupakan pemimpin dari perang gerilya di Jawa Tengah
dan Jawa Timur.
4. Jawaban A
Pertempuran Ambarawa berlangsung sengit, Kol. Soedirman langsung
memimpin pasukannya yang menggunakan taktik gelar supit urang, atau
pengepungan rangkap dari kedua sisi sehingga musuh benar-benar terkurung.
5. Jawaban B
Terjadinya peristiwa Bandung Lautan Api merupakan bukti perlawanan
Indonesia menentang segala bentuk penjajahan dalam rangka menegakkan
dan mempertahankan Indonesia yang telah diproklamasikan pada tanggal 17
Agustus 1945.
6. Jawaban E

163 | S N I 5
Sebab terbunuhnya Jenderal Mallaby merupakan sebab terjadinya
pertempuran Surabaya
7. Jawaban C
I Gusti Ngurah Rai merupakan pemimpin pasukan dalam perang Puputan
Margarana yang terjadi di Bali, Bung Tomo memimpin pertempuran
Surabaya, Jenderal Sudirman pemimpin perang gerilya di Jawa Tengah dan
Jawa Timur, Achmad Tahir Pemimpin Medan Area, Dr. Kariadi seorang
dokter muda yang terbunuh di Pertempuran Lima Hari di Semarang.
8. Jawaban B
aspek ekonomi yang dimaksud adalah menguasai tempat penyulingan minyak
di Plaju dan Sei Gerong
9. Jawaban A
Jawaban B, C, D, dan E benar, merupakan sebab terjadinya pertempuran
Lima Hari di Semarang, sedangkan jawaban A salah.
10. Jawaban A
Terbunuhnya Jenderal Mallaby merupakan salah satu sebab terjadinya
Pertempuran Surabaya

Tambahan Soal
1. Mengapa terjadi pertempuran diberbagai daerah dalam melawan NICA.
a. NICA berusaha memprovokasi dan melakukan teror terhadap bangsa
Indonesia
b. NICA berusaha menguasai sumber daya alam Indonesia.
c. Adanya perpecahan diberbagai daerah di Indonesia
d. Sebagian wilayah Indonesia ingin melepaskan diri
2. Mengapa pada setiap tanggal 10 November yang merupakan peristiwa
pertempuran Surabaya dijadikan sebagai “Hari Pahlawan Nasional”.
a. karena pada pertempuran Surabaya banyak korban dari pihak Indonesia
yang gugur dan harus dikenang.
b. karena Surabaya adalah kota penting
c. Surabaya adalah daerah yang memiliki basis petahanan yang kuat

164 | S N I 5
d. Surabaya memiliki wilayah yang strategis
3. Mengapa perjuangan fisik yang dilakukan oleh bangsa Indonesia melalui
pertempuran tidak membuat Belanda meninggalkan Indonesia.
a. Belanda memiliki tentara yang banyak di Indonesia
b. Belanda mampu menahan setiap serangan yang dilakukan oleh bangsa
Indonesia sehingga banyak berjatuhan korban
c. Perjuangan Fisik tidak efektif dilakukan
d. Belanda menggunakan peralata perang seadanya
4. strategi perang tentara indonesia yang paling terkenal adalah...
a. perang paderi
b. perang gerilya
c. perang tombak
d. perang langsug
5. Lagu Bandung Lautan Api diciptakan oleh....
a. Bonal Tobing
b. (masih diperdebatkan)
c. Ismail Marzuki
d. AT. Mahmud
e. Cornel Simanjuntak
6. Salah satu cara yang dilakukan sekutu untuk memperkuat pasukannya, selain
menggunakan alat-alat yang lebih modern adalah....
a. Menggunakan para tawanan Jepang yang telah dipersenjatai untuk ikut
bertempur
b. Mengadu domba penduduk sekitar
c. Melakukan seragam udara dan darat
d. Menggunakan taktik supit urang
7. Pada tanggal 27 Oktober 1945, pesawat terbang Inggris menyebarkan pamflet
yang memerintahkan rakyat Surabaya untuk....
a. Menyerahkan seluruh harta benda
b. Menyerahkan senjata yang dirampas dari Jepang
c. Menyerahkan sejumlah hektar yang dimiliki

165 | S N I 5
d. Diberlakunya jam malam
e. Berhati-hati terhadap mata-mata Jepang
8. Setelah melakukan membumi hanguskan kota Bandung, TRI bersama milisi
rakyat melakukan perlawanan secara....
a. Besar-besaran
b. Operasi militer
c. Sembunyi-sembunyi
d. Gerilya
9. Apa sebab Komando Resimen Laskar Medan Area dibentuk
a. Karena AFNEI membebaskan tawanan perang yang kebanyakan orang
Belanda.
b. Karena AFNEI membatasi daerah Medan dengan memasang papan
pembatas yang bertuliskan Fised Boundaries Medan Area (Batas Resmi
Medan Area) disudut-sudut pinggiran kota Medan.
c. Karena sulitnya komunikasi
d. Karena tidak adanya komando yang jelas sehingga mengakibatkan
serangan para pejuang terhadap AFNEI tidak berarti dan tidak
membuahkan hasil yang baik.
10. Penyebab kegagalan bangsa Indonesia dalam mengusir penjajah adalah...
a. tidak adanya bantuan dari negara lain
b. perlawanan masih bersifat kedaerahan
c. rakyat Indonesia takut melawan penjajah
d. tidak memiliki peralatan perang
Jawaban:

1. Jawaban A
NICA/Belanda berusaha menguasai kembali Indonesia dan kedatangan
Sekutu di Indonesia diboncengi oleh NICA, selain itu NICA berusaha
memprovokasi dan melakukan teror terhadap bangsa Indonesia.
2. Jawaban A

166 | S N I 5
Karena pertempuran Surabaya merupakan pertempuran pertama melawan
Sekutu/NICA, dimana perlawanan rakyat yang pada awalnya dilakukan
secara spontan dan tidak terkoordinasi, makin hari makin teratur.
Pertempuran skala besar ini mencapai waktu sampai tiga minggu, sebelum
seluruh kota Surabaya akhirnya jatuh di tangan pihak Inggris. Setidaknya
6,000 pejuang dari pihak Indonesia tewas dan 200,000 rakyat sipil mengungsi
dari Surabaya. Korban dari pasukan Inggris dan India kira-kira sejumlah 600.
Pertempuran berdarah di Surabaya yang memakan ribuan korban jiwa
tersebut telah menggerakkan perlawanan rakyat di seluruh Indonesia untuk
mengusir penjajah dan mempertahankan kemerdekaan. Banyaknya pejuang
yang gugur dan rakyat sipil yang menjadi korban pada hari 10 November ini
kemudian dikenang sebagai Hari Pahlawan oleh Republik Indonesia hingga
sekarang.
3. Jawaban B
Perjuangan fisik yang dilakukan oleh bangsa Indonesia tidak membuat
bangsa Belanda keluar dari Indonesia karena Belanda berhasil menahan
serangan dari pihak Indonesia
4. Jawaban B
Perang gerilya adalah tekhnik mengepung dengan cara tak terkesan
(infisibble).Perang gerilya adalah bentuk perang yang tak terbelit dengan cara
resmi pada ketentuan perang.Saat itu perang gerilya dipimpin oleh Jenderal
Sudirman.
5. Jawaban B
Nama pencipta resmi dari lagu Halo, Halo Bandung masih diragukan
sebagian masyarakat Indonesia. Perdebatan tentang siapa pencipta lagu Halo-
Halo Bandung sebenarnya sudah lama terjadi. Di dalam buku Saya Pilih
Mengungsi: Pengorbanan Rakyat Bandung untuk Kedaulatan yang
ditulis Ratnayu Sitaresmi, Pestaraja HS Marpaung menyebutkan bahwa
polemik itu mulai terjadi pada 1995. Pestaraja Marpaung adalah salah seorang
pejuang yang sempat bergabung ke dalam Pasukan Istimewa (PI) Indonesia
dan turut terlibat langsung dalam peristiwa Bandung Lautan Api. Komponis

167 | S N I 5
senior Indonesia, AT Mahmud, membenarkan adanya polemik tersebut,
dengan menyebutkan bahwa lagu tersebut tidak diketahui siapa penciptanya,
menurut kutipan dari surat kabar Pikiran Rakyat edisi 23 Maret 2007
6. Jawaban A
Salah satu cara yang ditempuh Sekutu untuk memperkuat pasukannya yaitu
dengan menggunakan alat-alat modern dan mempersenjantai tentara Jepang.
7. Jawaban B
Pada tanggal 27 Oktober 1945 sekitar pukul 11.00, satu pesawat terbang
Dakota yang datang dari Jakarta, menyebarkan pamflet di atas kota Surabaya.
Isi pamflet atas instruksi langsung dari Mayor Jenderal Hawthorn, Panglima
Divisi 23 yang disebarkan di seluruh Jawa, memerintahkan kepada seluruh
penduduk untuk dalam waktu 2 x 24 jam menyerahkan semua senjata yang
mereka miliki kepada Perwakilan Sekutu di Surabaya.
8. Jawaban D
TRI bersama milisi rakyat melakukan perlawanan secara gerilya dari luar
Bandung
9. Jawaban B
Sebab Komando Resimen Laskar Medan Area dibentuk karena AFNEI
membatasi daerah Medan dengan memasang papan pembatas yang
bertuliskan Fised Boundaries Medan Area (Batas Resmi Medan Area)
disudut-sudut pinggiran kota Medan.
10. Jawaban B
Penyebab kegagalan bangsa Indonesia mengusir penjajah karena perlawanan
rakyat masih bersifat kedaerahan

168 | S N I 5
Daftar Pustaka

- Adi, A. Kresna (2011). Soedirman: Bapak Tentara Indonesia. Yogyakarta:


Mata Padi Pressindo.
- Imran, Amrin; Drs.Hayun Ugaya, Drs Tanu Suherly, Sri Suko BA. 1971.
Sedjarah Perkembangan Angkatan Darat. Seri Text-Book Sedjarah ABRI,
Departemen Pertahanan Keamanan, Pusat Sedjarah ABRI.
- Matanasi, Petrik. 2012. Sang Komandan, Yogyakarta: Terompet Book
- Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto. 2010. Sejarah
Nasional Indonesia VI. Jakarta: Balai Pustaka
- Perpustakaan DHD 45 Propinsi Jatim, ” 30 Tahun Indonesia Merdeka 1945-
1949”
- Panitia Pembangunan Monumen Palagan Ambarawa, 1974, Monumen
Palagan Ambarawa 15 Desember 1974, Semarang; Suara Merdeka Semarang
- Panitia Penyusun Sejarah Pertempuran Lima Hari di Semarang,
1977, Sejarah Pertempuran Lima Hari di Semarang, Semarang; Suara
Merdeka.
- Setiadi, Purwanto; Yuliawati (11–18 November 2012). "Sudirman: A
Soldier's Story". Tempo English (Jakarta: Arsa Raya Perdana)
- Sekretaris Negara Republik Indonesia. 1985. 30 Tahun Indonesia Merdeka.
Jakarta:` PT. Citra Lamtoro Gung Persada
- Sekretaris Negara Republik Indonesia. 1985. 30 Tahun Indonesia Merdeka.
Jakarta: PT. Citra Lemtoro Gung Persada.
- Sudirman, Adi. 2014. Sejarah Lengkap Indonesia. Jakarta: Diva Pres
- Sutomo. 2008. Pertempuran 10 November 1945 Kesaksian dan Pengalaman
Seorang Aktor Sejarah. Jakarta: Visi Media

- Ahmad Adhyaksa. Pertempuran Medan Area. Diakses 23 Juni 2016.


http://99sejarah.blogspot.co.id/2014/01/pertempuran-medan-area.html
- Citra Auliyah. Pertempuran Ambarawa. Diakses 23 Juni 2016.
http://citraauliyahthamrin.blogspot.co.id/2014/09/pertempuranambarawa.html

169 | S N I 5
- Dias Diari. Sejarah Awal terjadinya Perang Puputan Margarana. Diakses 23
Juli 2016. http://diasdiari.blogspot.co.id/2014/02/sejarah-awal-terjadinya-
perang-puputan.html
- Jeko Najawani. Pertempuan Lima Hari di Semarang dan Palangan
Ambarawa. Diakses 23 Juni 2016. http://blogspot.co.id/2014/11/pertempuran-
5-hari-di-semarang-dan.html
- Rizqi Wijanarko. Sejarah Pertempuran Surabaya 10 November 1945.
Diakses 22 Juni 2016. http://ujpunj2012.blogspot.co.id/2012/12/sejarah-
pertempuran-surabaya-10.html
- https://id.wikipedia.org/wiki/Bandung_Lautan_Api
- http://www.porosilmu.com/2016/02/bandung-lautan-api.html

170 | S N I 5
BAGAN MATERI

171 | S N I 5

Anda mungkin juga menyukai