Anda di halaman 1dari 4

Jejak Anna Kumari Meniti Seni

ANNA KUMARI kecil ketika itu sedang bermain. Tiba-tiba, adiknya, Anwar Fuady,
memanggil si gadis kecil ini untuk naik ke rumah panggung mereka. Lalu, Anna dihadapkan pada
bentangan kain putih di dalam kamar bagian depan rumah itu. Lalu, Anwar berlari ke belakang
bentangan kain ini, menghidupkan lampu teplok. Terlihatlah bayangan-bayangan menyerupai orang
di "layar" yang berada di hadapan Anna. Ya, Anna menonton film yang disutradarai sekaligus
diproduseri Anwar. Para pemain film itu, adalah guntingan karton yang dibentuk serupa manusia,
yang kemudian digerak-gerakkan Anwar.
Penggalan masa kecil kedua kakak beradik ini, ternyata kemudian menghantarkan keduanya
pada dunia mereka masing-masing. Dunia seni yang penuh dengan bahasa kasih. Anna, kemudian
lebih dikenal sebagai pemimpin sanggar tari dan koreografer, juga penggiat kebudayaan di
Palembang. Sedangkan Anwar Fuady, saat ini tercatat sebagai salah seorang aktor ternama di
Tanah Air.
Anna begitu dekat dengan Anwar. Kedua bersaudara ini, lebih erat hubungan dibanding
keeratan dengan saudara mereka yang lain. Main berdua, pergi ke mana-mana pun berdua. Tapi, itu
bukan berarti tak ada warna protes di antara mereka. Suatu hari, Anwar dengan nada protes berkata
kepada Anna, "Enak saja. Acik (begitu Anwar menyebut dirinya) yang beli. kau yang baca."
Protes ini timbul kala Anna, hanya tahu membaca. Sedangkan yang membeli buku, adalah
Anwar. Memang sejak kecil, Anwar hobi membaca. Komik-komik, seperti Ramayana yang
panjangnya hingga 40 jilid atau Mahabharata, habis dilalapnya. Anna, hanya meminjam dan
membaca setelah Anwar usai dengan bukunya.
Lahir dalam sebuah keluarga pejuang. Anna, yang hingga kini masih setia pada "ikatan"
seninya, Anna terdidik untuk berlaku sama seperti sang ayah, A.R. Amantjik Rozak, yang
merupakan salah seorang pejuang di daerah ini. Ketegasan dan kejujuran sang ayah, tampaknya
begitu kuat tertanam dalam dirinya. Di balik sikap tegas itu, kemampuan berseni pun secara sengaja
diajarkan kepada Anna. Selanjutnya, "warisan" sang ayah mengaliri darahnya.
A.R. Amantjik Rozak, sejak masa remaja telah giat berjuang melawan penjajah. Sikap itu
terejawantah lewat perjuangan --sebelum perjuangan fisik-- intelektual. Dalam usia yang sangat
muda, Amantjik yang kelak lebih dikenal sebagai Pak Sabil, telah mendirikan sekolah untuk warga
kampungnya di 14 Ulu (kini masuk dalam kawasan Kecamatan SU II). Lewat Islamic School yang
didirikannya, Amantjik mengajarkan semangat perjuangan selain membebaskan warga
kampungnya dari buta huruf.
Perlawanan ini dilakukan antara lain lewat pengajaran lagu-lagu dan syair --karangan
sendiri-- kepada anak didiknya. Karena lagu-lagu itu pula, Amantjik pernah ditahan selama tiga
bulan. Selama itu pula, Islamic School ditutup dan baru dibuka kembali setelah Amantjik keluar
dari tahanan. Namun akhirnya, sekolah itu ditutup secara permanen oleh Belanda.
Saat perjuangan fisik, Amantjik pun mengangkat senjata. Sapaan Pak Sabil, yang kemudian
disandangnya, merupakan bagian dari idiom perjuangannya. Masa itu, Amantjik menjadi
Komandan Pasukan Sabilillah Andalas Selatan. Dalam masa perjuangan inilah, putra-putrinya
lahir. Setelah Hj Nuraini (kemudian diperistri H Rusdi Cosim, tokoh Sumsel), Nurneli, lahirlah
Anna Kumari. Anna lahir pada masa perjuangan memertahankan kemerdekaan begitu gencarnya,
yaitu 10 November 1945. Saat Anwar Fuady lahir pada tahun 1947, Pak Sabil justru sedang
berjuang di tengah hutan. Kemudian, lahir pula Ir. Huriah Iriani.
Pak Sabil kemudian memilih untuk pensiun dari karier militer pada tahun 1951 karena
merasa perjuangan bersenjata telah selesai. Pangkat terakhirnya mayor. Masa ini, perjuangan
dilanjutkannya dalam bidang lain setelah dia diangkat sebagai Kepala Penerangan Kewedanaan
Seberang Ulu. Kehidupan yang dititi Pak Sabil ini kemudian dijadikan sari pendidikan bagi anak-
anaknya. Kegigihan dan keuletan dalam menjalani hidup merupakan modal bagi mereka.
Pesan yang selalu terngiang di telinga dan dipegang Anna bersama saudara-saudaranya,
"Jadilah pemimpin. Pemimpin apa pun. Tekuni pekerjaan yang kamu sukai."

***

DI kampung ibunya, Lrg. Sungai Aur, 9 Ulu (kini dalam wilayah Kelurahan 9/10 Ulu
Kecamatan SU II), Anna menikmati masa kecilnya. Di bawah bimbingan seni dari ayahnya
ditambah sentuhan pengetahuan adat istiadat dari ibunda, Masnatjik, Anna merenda bakat. Di
rumah panggung penuh kenangan, Anna belajar bersyair. Pak Sabil mengajarkan bait demi bait
kata indah penuh makna. Dari ibunda, Anna diajarkan bersahut pantun.
Pengajaran dan pendidikan yang diterimanya, tak hanya saat berada di rumah. Sejak kecil,
Anna sering diajak pergi kondangan keluarga, yang prosesinya disarati rangkaian adat bari. Ketika
berumur lima tahun, saat anak seusianya duduk manis di pangkuan ibunya, Anna justru ngelayap
ke kamar pengantin. Memainkan roncean bunga di sanggul pengantin, melihat pakaian yang
dikenakan, mengamati laku orang menjalankan adat.
Sepulang dari kondangan, Anna kecil mempraktikkan apa yang dilihatnya. Termasuk,
pantun yang dibawakan dalam bagian prosesi pernikahan adat Palembang.
Ado pun akan penganten betino
cantik parasnyo bak bulan purnamo
sangat disayang ayah dan bundo
dicinto pulo ole semanyo
Apa yang disaksikan ini, kelak begitu kuat mengisi batinnya. Perjalanan batin panjang yang
menempanya untuk tak sekadar dapat berseni tetapi juga memaknai jiwa seni itu. Pak Sabil, yang
berjiwa pendidik, seakan cermat membaca bakat dan kemampuan anak-anaknya. Misalnya, Hj
Nuraini Rusdi Cosim --kemudian menjadi aktivis politik-- dididik berpidato dan ilmu pendidikan.
Anna dibekali ilmu-ilmu seni. Sedangkan Anwar Fuady, diberi bobot ilmu kebahasaan. Ini juga
masuk dalam cara berpakaian. Nuraini, yang proyeksinya menjadi orang politik, takkan diizinkan
memakai gaun backless. Sedang Anna, malah diberi majalah-majalah mode untuk mendalami
pengenaan busana layaknya artis.

Penari Istana
HASRAT menyanyi dan berseni Anna makin menggebu. Masa remaja yang penuh bunga
pun ditapaki lewat lagu dan tari. Di OM Pelipur Hati --grup musik perempuan-- pimpinan Hasanah
Husin, Anna mulai merajut profesinalisme. Dia pun mengolah vokal yang sesungguhnya.
Tak hanya satu grup, Anna juga bergabung dalam OM Putri Islam Sriwijaya pimpinan
Zainab Abdullah (pemilik OM dan OT IKKI Group). Tak hanya menyanyi, seperti juga anggota
grup musik kala itu-- Anna juga memainkan alat musik.
Saat bergabung dengan OM Putri Islam Sriwijaya, kebetulan di depan rumah Zainab di 28
Ilir, terdapat pula Orkes Minang Modern Pagaruyung. Sang pimpinan, M Zein, rupanya tertarik
untuk merekrut Anna. Ketika meminta izin kepada ayahnya, ternyata sang ayah keberatan. Soalnya,
sang ayah belum banyak mengenal pimpinan serta kru orkes itu.
Selain bergabung dengan grup-grup musik di Palembang kala itu, Anna pun sempat
mendirikan Band Ayam Molek. Lewat grup musik --kala itu diawaki antara lain, Nurjanah (istri
Rachman Muchtar, pegawai TVRI Palembang yang kemudian pindah ke Padang), Nurjanah Zaini,
Mastura, dan Vivi (putri pemilik Hotel Tjahaja Bulan 32 Ilir)-- ini, Anna mulai melagukan
ciptaanya, antara lain Ayam Molek. Mereka juga tampil di RRI Palembang dalam acara
Gelanggang Remaja lewat lagu-lagu pop, barat, dan daerah.
Sebelum mendirikan Ayam Molek, rentak kaki dan gemulai jemari Anna telah
membawanya ke Istana Negara. Pada tahun 1962 itu, Anna kerap tampil sebagai penari Bali
--Kecak, Pendet-- di hadapan Presiden Soekarno. Tangan dingin I Wayan Linggih, yang
mengajarkan nyanyian, dan Nyoman Suwarning (tari) makin membentuk karakter gerakan Anna.
Kala itu, Anna bolak-balik Jakarta-Palembang. Pada kepulangannya ke Palembang tahun
1962, Anna bertemu dengan Sukainah Rozak (pencipta Tari Gending Sriwijaya). Pada masa ini,
Sukainah akan membawa tim tari yang akan tampil dalam pembukaan Ganefo (selanjutnya menjadi
SEA Games). Anna, yang berguru pada Tante Kainah --sapaan Sukainah-- kemudian bergabung
dalam tim ini. Tampillah Anna bersama-sama Maimunah Arsyad (kemudian dikenal sebagai Ny.
Hasbullah Bandarkati), Ramaliyati Rozak (adik Sukainah), Asri Rozak, Reny (putri Sukainah),
Mala Noerdin (kakak kandung Alex Noerdin; Gubernur Sumatera Selatan dua periode), dan Zainab
Hasyim.

***

NAMA Anna Kumari telah berkibar sejak awal 1960-an. Wajah dan ulasan tentang dirinya
menghias halaman surat kabar dan majalah nasional dan lokal. Juara Tari Pergaulan Tingkat
Nasional (Jakarta) diraihnya tahun 1964. Setahun kemudian, dia menyabet gelar Juara II Bintang
Radio Sumsel untuk jenis lagu Melayu. Sayangnya, saat bertarung dalam Bintang Jakarta Raya
(1965), Anna hanya sampai ke semifinal. Saat itu, lawannya pun tak main-main, yaitu Ivo Nila
Kresna (ibunda aktris Astri Ivo).
Pada masa itu, Anna telah mengukir nama dalam ajang nasional. Penampilan Tari
Selendang, dibawakannya bersama Nurdjanah dalam Pekan Seni Rakyat di Taman Ismail Marzuki
(TIM) mendapat pujian kritikus seni (dimuat Harian Pedoman). Dia pun tampil di Ramayana,
Hotel Indonesia dengan tarian ini.
Untuk penampilan di tingkat lokal, tak terhitung pula kiprahnya. Termasuk, penampilan di
bidang teater. Baik sebagai pengisi acara atraksi --setelah mendirikan Studio Seni Tari Anna
Kumari, yang kemudian berganti nama menjadi Sanggar Tari Anna Kumari—maupun tampil
sebagai aktrisnya. Salah satu prestasinya, sebagai Aktris Terbaik I pada Festival Drama se-Sumsel
(1973). Dia pun mendapatkan tambatan hati, A. Hakky Alian, B.A., pada salah satu even kesenian
yang diikutinya.

***
SELAMA lebih dari lima dasawarsa, Anna berkiprah dalam dunianya. Bermusik dan
menyanyi, menari, bermain drama, sempat pula menjadi penyiar. Di bidang musik, selain
bergabung dengan grup-grup musik pada masanya dan mendirikan grup band serta menjadi Juara II
Bintang Radio Sumsel (1964, 1966, dan 1967), Anna pun sempat bergabung dengan Band Arulan
pimpinan Syahrul Bayumi. Saat itu, teman seangkatannya, Diah Iskandar. Jika Diah sempat
rekaman, Anna berhenti di tengah jalan.
Sebagai penyiar, Anna merupakan salah seorang penyiar di Radio Rama Samudra (TNI AL)
pada tahun 1967-1969. Dia pun sempat berteater secara "serius" dengan bergabung bersama Teater
Subuh pimpinan Nurhasan R. Sedangkan festiva-festival tari, cukup banyak diaikutinya selama
kurun waktu itu. Sedikitnya, 48 tarian tercipta lewat tangan dinginnya. Di antaranya, Tari Elang
Terbang, difestivalkan untuk Hardiknas tahun 1984, Kumpe Berayun (festival 1988), Mega
Mendung --lagunya diciptakan E.A. Alcaff-- (festival 1990).
Kepiawaiannya menari dan mengajarkan tari membuat Anna sempat diminta mengajar seni
tari di Singapura pada tahun 1991. Atas kiprahnya itu, wajah dan kiprah Anna kembali menghias
media massa Malaysia dan Singapura. Di antaranya, Berita Harian dan The Straits Times.
Dalam padatnya kegiatan Anna, termasuk pekerjaannya di Depdikbud (kini Anna sebagai
penilik sekolah), dia sempat pula mendirikan Sanggar Kerajinan Songket Anna Kumari. Usahanya
di bidang kerajinan ini pun sempat membawanya melanglangbuana lewat pameran-pameran
industri. Singapura, Brunei Darussalam, Hongkong, Jeddah (Arab Saudi), Dubai (Uni Emirat
Arab), California (AS), dan Hiroshima (Jepang), merupakan kota dan negara yang pernah
dikunjunginya. Dari kunjungan itu pula, beberapa kali dia sempat umrah.
Aktivitas Anna menerjui dunia songket ini tak lepas dari kecintaan budaya yang ditanamkan
ibunya, Masnatjik, sejak Anna kecil. Koleksi songket keluarga pun menjadi awal kiprahnya dalam
bidang ini. Karena keseriusannya menekuni dunia ini, Anna memeroleh anugerah Upakarti untuk
Pelopor Pembina Industri Kecil. Penghargaan ini diterimanya dari (mantan) Presiden Soeharto, 29
Desember 1993. Anna mendapat Penghargaan Seni dari Pemprov Sumsel, melalui Dewan Kesenian
Sumatera Selatan (DKSS) pada tahun 2001. Sedangkan pemerintah RI, melalui Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan, telah menganugerahinya sebagai Pelestari Seni pada tahun 2016.
Dari perkawinannya dengan H.A. Hakky Alian, B.A., Anna dikaruniai empat anak. Yaitu,
Hanuri Farah Dewi (20 Mei 1975), Mirza Indah Dewi, S.Pd. (11 Maret 1977), Muamar Khadafi (29
Mei 1979), dan Farhan Segentar Alam (25 September 1980). Darah seninya, tampaknya menurun
pada putra-putrinya ini. Semuanya terlibat dalam bidang seni, terutama tari. Bahkan, Mirza
(alumnus FKIP Unsri) sempat meraih Juara III Dongeng Tingkat Nasional (Yogyakarta, 2000) dan
Juara III Dongeng Tingkat Nasional (Jakarta, 2001).
Dengan semua prestasi --yang diraihnya selama empat dasawarsa-- ini, menjadikan Anna
mantap menapaki dunianya. Tak ada kata berhenti untuk berkarya selagi hayat dikandung badan.
Bedanya, pada masa lalu dia banyak berkiprah langsung untuk dirinya, kini sebagian besar
ditujukan untuk pembinaan.

Anda mungkin juga menyukai