Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Kebudayaan lokal Indonesia adalah kebudayaan yang hanya
dimiliki oleh bangsa indonesia dan setiap kebudayaan mempunyai ciri
khas masingmasing. Bangsa indonesia juga sangat mempunyai
kebudayaan local yang sangat kaya dan beraneka ragam oleh sebab
itu sebagai penerus kita wajib menjaganya karena ketahanan
kebudayaan lokal berada pada generasi mudanya dan jangan sampai
kita terbuai apalagi terjerumus pada budaya asing karena tidak semua
budaya asing sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia bahkan
tidak sedikit kebudayaan asing membawa dampak negatif. Sebagai
negara kepulauan pasti sulit untuk mempertahankan persatuan dan
kesatuan antara masyarakat. Namun hal itu pasti bisa terwujud jika
kita perduli untuk menjaga, mempelajari, serta melestarikan sehingga
kebudayaan lokal yang sangat kaya di Indonesia ini tetap utuh dan
tidak punah apalagi sampai dibajak atau dicuri oleh negara lain karena
kebudayaan tersebut merupakan identitas suatu bangsa dan negara.

Sejarah Tari Ranup Lampuan


Tari Ranup Lampuan pertama kali diciptakan pada tahun 1959 oleh
salah satu seniman terkenal dari Aceh yang bernama Yusrizal. Nama
Tari Ranup Lampuan ini diambil dari kata Ranup dan Lampuan.
Kata Ranup sendiri dalam bahasa Aceh berarti Sirih, sedangkan
Puan adalah tempat/wadah sirih khas Aceh. Konon, tarian ini diangkat
dari kebiasaan adat masyarakat Aceh dalam menyambut tamu
terhormat dengan menyuguhkan sirih sebagai tanda terima mereka.

Menurut beberapa sumber sejarah yang ada, Tari Ranup Lampuan


telah mengalami perjalanan beberapa perubahan hingga menjadi
seperti bentuk yang sekarang ini. Tarian ini awalnya dibawakan oleh
beberapa penari wanita dengan diiringi musik orkestra atau band.
Pada tahun

1959 Tari Ranup Lampuan dimodifikasi

dengan

menambahkan 3 orang penari pria, yang terdiri dari 2 orang pengawal


menggunakan pedang dan satu orang pemegang vandel.
Namun sekitar tahun 1966 tarian ini kemudian didiubah lagi ke
bentuknya yang semula. Hal ini dilakukan sesuai dengan saran dari
para tetua adat, yaitu dengan menampilkan para penari wanita saja.
Selain itu perubahan durasi juga dilakukan karena dirasa terlalu
panjang, sehingga tarian ini mulai mengalami pemadatan.
Pengembangan Tari Ranup Lampuan ini tidak berhenti begitu saja,
pada tahun 1972 tarian ini mengalami perubahan lagi, yaitu pada
musik pengiringnya. Iringan musik yang awalnya merupakan musik
orkestra atau band kemudian diganti dengan alat musik tradisional
seperti serune kale, gendrang, dan rampai agar kesan tradisionalnya
lebih terasa. Setelah berbagai perubahan tersebut, kemudian menjadi
bentuknya yang sekarang.

Mengapa tarian ranup lampuan ada ?


Ranup lampuan dalam bahasa aceh, berarti sirih dalam puan, oleh
yuslizar istilah ranup lampuan di ambil sebagai judul dari beberapa
karya-karya tari yang diciptakannya dengan mengangkat latar
belakang adat istiadat masyarakat aceh, khususnya adat pada
penyambutan tamu. Bedasarkan hal yang demikian, maka tari ini
digolongkan ke dalam tari adat atau upacara. Sebagai koreografi tari
ini menceritakan bagaimana dara aceh menghidangkan sirih kepada
tamu

yang

datang:

mulai

proses

dari

memetik

daun

sirih,
2

membungkus, kemudian meletakkannya ke dalam puan, hingga


sampai menyungguhkan sirih kepada orang-orang tertentu dari
kelompok tamu yang datang.
Peristiwa Pekan Kebudayaan Aceh 1 dapat dipastikan membawa
dampak positif bagi pengembangan tarian Aceh ke depan. Dikatakan
demikian setelah Pekan Kebudayaan Aceh 1, para sesupuh Aceh
melihat dan merasakan betapa pentingnya peran kesenian untuk
mempersatukan daerah Aceh yang waktu itu terombang-ambing
dalam konflik DI-TII pada waktu itu. Dari pengalaman tersebut
akhirnya mereka para pemuka masyarakat sepakat, bahwa Aceh perlu
memiliki sebuah tarian monumental untuk penyambutan tamu.
Gagasan ini berawal dari pemikiran A. K. Abdullah seorang tentara
yang bertugas di bidang ROHDAM (Rohaniwan KODAM) yang sudah
bertugas hampir seluruh sumatera. Ia melihat hampir di seluruh
daerah yang pernah di kunjunginya selalu ada tari penyambutan tamu
dengan

menyungguhkan

sirih

dalam

cerana.

Disinilah

timbul

pemikirannya; Mengapa Aceh tidak membuat hal yang sama?


Berangkat dari pertanyaan tersebut A. K. Abdullah pun berinisiatif
mengumpulkan beberapa seniman tari untuk melakukan dialog dan
mencari kesepakatan untuk membuat sebuah tarian penyambutan
tamu. Atas kesepakatan bersama untuk menggarap tarian tersebut
akhirnya di percaya kepada Yuslizar.
Sebagai langkah pertama untuk menunjang proses kreasi Yuslizar,
A. K. Abdullah menceritakan pengalaman pengalamanya ketika
berada di provinsi lain di sumatera, seperti di Provinsi Sumatera Utara
dan Sumatera Selatan. Setelah mendengar saran dari A. K. Abdullah,
Yuslizar mulai membuat persiapan-persiapan yang diperlukan untuk
terciptanya tari tersebut, antara lain menjumpai orang-orang tua adat
guna mencari informasi untuk mendapatkan masukan dalam proses
perciptaan tari persembahan tersebut.

Setelah perciptaan tari selesai, timbul masalah dan tantangan


berikutnya dimana Yuslizar agak kewalahan untuk memberikan nama
bagi tarian yang di ciptakannya dan belum adanya musik iringan yang
sekaligus merupakan pariner dari tarian tersebut.
Adapun orang-orang yang hadir di rumah Tuanku Burhan tempat di
adakannya

pertemuan tersebut adalah ; Tuanku Burhan adalah

sebagai tuan rumah sekaluarga, A. K. Abdullah, A Aziz kunun dan istri,


Sjamaun gaharu, T Hamzah dan istri, Mayor T Ismail dan istri (cut jah
samalanga), Nyak adam kamil dan istri, Alm T Djohan, Cut ainun
mardiah (Pocut Seulimum), T Ismail Bitai, Alm Ny Hamidi, A. D.
Manua, yang nantinya menciptakan musik iringi ranup lampuan.Atas
kesepakatan para tokoh-tokoh di atas setuju menjadikan tari tersebut
sebagai tari persembahan, dan pemberian nama yang diusulkan oleh
Tuanku Burhan, yaitu Ranup Lampuan pun mendapat senggahan
semua dari pihak yang hadir. Persetujuan juga di berikan terhadap A.
D. Manua untuk membuat musik iringan yang selanjutnya di aransir
oleh Max Sapulete, Max Sapulete tersebut mengubah variasi
pembukaan lagu tersebut,
penari pertama adalah; Ida Burhan, Tri suyatinah, Murniati, Nong
bit, Sri mukmintasi, Cut keumala, Romlah, Nurhasmi Hamidi dan Ola.
Mereka menari secara bergiliran. Dalam hal ini Sal Murgiyanto
mengatakan, Ruang, Waktu dan Tenaga adalah elemen-elemen dasar
dari gerak. Untuk penampilan pertama tari tersebut dinarikan oleh 9
orang penari, Dengan demikian akhirnya lengkap sudah perangkat tari
tersebut sebagai tari persembahan yang siap di tampilkan.
Tari Ranup Lampuan merupakan salah satu karya seni monumental
yang dilahirkan oleh para seniman Aceh. Ranup Lampuan dalam
bahasa Aceh, berarti sirih dalam puan. Puan adalah tempat sirih khas
Aceh. Karya tari yang berlatar belakang adat istiadat ini secara

koreografi menceritakan bagaimana kebiasaan masyarakat Aceh


menyambut tamu ini setiap gerakannya mempunyai arti tersendiri.
Seperti gerakan salam sembah, memetik sirih lalu membuang
tangkainya, membersihkan sirih, menyapukan kapur, lalu memberi
gambir dan pinang, sampai menyuguhkan sirih kepada yang datang.
Almarhum Yusrizar yang yang lahir di Banda Aceh pada 23 Juli 1937,
adalah pencipta Tarian Ranup Lam Puan yang fenomenal. Tarian
Ranup Lampuan diciptakan beliau ditahun 1959,. Dan juga beliau
menciptakan: Tari Meusare-sare, Bungong Sieyueng-yueng, Tron U
Laot, Poh Kipah, Tari Rebana, dan Sendratari Cakra Donya Iskandar
Muda.Tari ini,pada mulanya hanya terdapat di Kota Banda Aceh,dan
dengan cepat menyebar ke setiap kabupaten dan kota lainnya di
seluruh Aceh.
Pada awalnya, tari ini tidak menggunakan selendang sebagai
properti, dan penarinya memakai sanggul Aceh yang tinggi dihiasi
hiasan kepala. Tarian yang berdurasi tiga sampai sembilan menit ini
diiringi orkestra atau band. Adapun sosok pencipta musik dari irama
tarian lanup lam puan adalah Almarhum T Djohan pengarang lagu
Tanoh Lon Sayang. Tari Ranup Lampuan merupakan kreasi mentradisi
setelah menjalani proses panjang untuk menjadi tari tradisi dengan
terus menyesuaikan diri sesuai zaman. Maka tahun 1959 ketika tim
kesenian Aceh akan melakukan lawatan kerajaan ke Malaysia dalam
rangka pertukaran cendramata, tari Ranup Lampuan dimodifikasi
dengan menambah tiga orang penari pria, dua penari sebagai
pemegang pedang dan satu penari sebagai pemegang vandel.
Kemudian sekitar tahun 1966, setelah mendengar saran dari para
tetua adat, bahwa pekerjaan menyuguhkan sirih adalah pekerjaan
kaum perempuan, maka alangkah baiknya jika tari tersebut ditarikan
oleh perempuan saja. Begitu juga tentang persoalan durasi waktu
pertunjukan yang dirasakan terlalu panjang, sehingga tari Ranup

Lampuan mengalami pemadatan. Hal ini berjalan sekitar delapan


tahun.
Pasca PKA II tahun 1972, dengan munculnya seni tradisional
memberi pengaruh terhadap tari Ranup Lampuan khususnya untuk
iringan tarian. Semula iringan musik Orkes atau band selanjutnya
peran ini diganti dengan iringan alat musik tradisional yaitu Serune
kale, Gendrang, dan Rapai. Pengubahan ini sejalan dengan
permintaan dari panitia Festival tari tingkat nasional 1974 yang
meminta tari tradisional tampil dengan diiringi musik tradisional pula.
Hal itu diubah ketika acara peresmian gedung pertamina di Blang
Padang.
Bagi mereka pencinta tari Aceh, menelusuri jejak Tari Ranup
Lampuan

sama

seperti

merekam

budaya

Aceh,

tari

yang

merefleksikan kehidupan sehari-hari orang Aceh yang terkenal ramah


dan suka memuliakan tamu. Sudah seharusnya penciptanya pun
mendapat tempat untuk diabadikan dan selalu diingat masyarakat
Aceh.
B. Permasalahan yang akan dikaji
.Dari latar belakang dan sejarah diatas maka permasalahan yang
akan saya kaji yaitu sebagai berikut:
a. bagaimana kesuksesan pelestarian terbukti dengan fenomena tari
kreasi menjadi tari tradisi (Tari Ranup Lampuan)?
b. Apakah Tari Ranup Lampuan itu?
c. Bagaimanakah pandangan menurut agama,sosial dan budaya
tentang tari saman?

BAB II

PEMBAHASAN
A. PEMBAHASAN MATERI
a. Tari Ranup Lampuan
merupakan salah satu tarian tradisional yang berasal dari
daerah Aceh. Tarian ini termasuk tarian penyambutan yang
biasanya dibawakan oleh penari wanita dengan menyuguhkan
sirih sebagai tanda terima masyarakat. Tari Ranup Lampuan
merupakan salah satu tarian tradisional yang cukup terkenal di
Aceh, dan sering ditampilkan untuk menyambut para tamu
terhormat maupun acara penyambutan adat lainnya.
b. Fungsi Dan Makna Tari Ranup Lampuan
Tari Ranup Lampuan lebih difungsikan sebagai tarian
penyambutan adat atau penyambutan para tamu terhormat
yang sedang berkunjung ke sana. Tarian penyambutan ini selalu
identik dengan sirih dan puan, yang dalam tradisi masyarakat
Aceh memiliki nilai-nilai dan makna khusus di dalamnya. Dalam
adat masyarakat Aceh, sirih dan puan dapat dimaknai sebagai
simbol persaudaraan antar masyarakat. Sehingga ketika tamu
disuguhkan sirih tersebut,berarti dia sudah diterima dengan baik
oleh masyarakat di sana. Begitu juga apabila tamu sudah
menikmati suguhan tersebut, berarti dia menerima sambutan
baik yang diberikan oleh masyarakat di sana.
c. Pertunjukan Tari Ranup Lampuan
Tari Ranup Lampuan biasanya dibawakan oleh para penari
wanita. Jumlah penari tersebut biasanya terdiri dari 5-7 orang
penari. Dalam pertunjukannya, para penari dibalut dengan
busana tradisional yang cantik serta membawa puan dan sirih
yang nantinya akan disuguhkan kepada para tamu. Dengan
diiringi oleh alunan musik tradisional, mereka menari dengan
gerakannya yang khas di hadapan para tamu dan penonton.
Gerakan dalam Tari Ranup Lampuan ini biasanya didominasi
oleh gerakan lemah lembut yang melambangkan kesopanan

dan ketulusan para penari. Apabila di perhatikan secara


seksama, setiap gerakan pada tarian ini memiliki makna khusus
di dalamnya. Gerakan gerakan tersebut seperti gerakan salam
sembah, memetik sirih, membersihkan sirih, meyapukan kapur,
memberi gambir serta pinang dan yang terakhir adalah
menyuguhkan sirih kepada para tamu.
d. Pengiring Tari Ranup Lampuan
Tari Ranup Lampuan awalnya diiringi oleh musik orkestra
atau band. Namun setelah tahun 1972 musik pengiring Tari
Ranup Lampuan ini diubah dengan menggunakan alat musik
tradisonal Aceh seperti sarune kale, genderang dan rampai. Hal
ini dilakukan agar terkesan lebih tradisional dan mewakili
kesenian tradisional Aceh. Untuk irama yang dimainkan saat
mengiringi tarian ini tentunya juga disesuaikan dengan gerakan
para penari.
e. Kostum Tari Ranup Lampuan
Kostum yang digunakan para penari dalam pertunjukan Tari
Ranup Lampuan ini biasanya adalah busana tradisional acah.
Untuk busana yang digunakan para penari biasanya baju
lengan panjang dan celana panjang. Pada bagian pinggang
menggunakan kain sarong atau kain sonket khas Aceh dan
sabuk sebagai pemanis. Sedangkan pada bagian kepala
menggunakan kerudung yang dihias dengan bunga-bunga dan
kain selendang yang menjutai ke bawah.
f. Perkembangan Tari Ranup Lampuan
Dalam perkembangannya, Tari Ranup Lampuan masih terus
dilestarikan dan dikembangkan hingga sekarang. Berbagai
kreasi serta variasi dalam segi gerak, pengiring, dan busana,
juga sering ditambahkan di setiap penampilannya. Hal ini tentu
hanya

dilakukan

agar

terlihat

menarik,

namun

tidak

meninggalkan ciri khas dan keasliannya.

B. PANDANGAN SISI AGAMA


Tari ranup lampuan di tarikan secara massal oleh yuslizar untuk
keidahan

tarian

ini

maka

di

lengkapi

dengan

propeti

selendang.Dalam penampilanya saat ini para penari ranup lampuan


menggunakan jiebab,hal ini disesuaikan dengan syariat islam yang
berlaku di provinsi aceh saat ini.Selain itu juga tari ranup lampuan
sudah di tampilkan di dalam dan di luar gedung pertunjuksn.Namun
sangat ironis masyarakat tidak mengetahui lagi siapa penciptanya
Menurut sisi agama Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU)
Aceh Utara setuju dengan imbauan Bupati Muhammad Thaib yang
melarang wanita dewasa menari di tempat umum dan tidak menjadi
hal bila tarikan oleh anak anak dibawah umur. Majelis Ulama
berpendapat menari seperti itu adalah sebuah maksiat berlabel
haram bila dikerjakan oleh wanita dewasa.
Ketua MPU Aceh Utara, Mustafa Ahmad, mengatakan imbauan
Bupati Muhammad Thaib adalah sebuah terobosan sangat positif.
Sebab, dalam Islam perempuan dewasa dilarang menari di depan
laki-laki. "Dalam Hadist Turmizi, ada 15 larangan bagi kaum
perempuan yang dapat mengundang musibah dan malapetaka.
Satu poin di antaranya disebutkan wanita dewasa dilarang menari
di hadapan kaum lelaki. Wanita di sini adalah perempuan akil baliq
atau sudah disukai oleh laki-laki," kata Mustafa.
Tarian yang dimaksud bukan hanya tarian Aceh Ranup
Lampuan,

tapi

semua

tarian

yang

diperagakan

dengan

menggerakkan anggota tubuh yang dilakukan perempuan dewasa.


"Tarian-tarian seperti itu haram karena sudah mengarah ke
pekerjaan maksiat," kata dia. Bahkan, katanya, tari Saman sudah
termasuk

haram

karena

pergerakannya

berlebihan

dalam

memainkan anggota tubuh."Kami sebagai pemberi saran bidang


agama sangat mendukung Bupati bila ini diterapkan. Dan, kalau ini

perlu jalan, maka Bupati harus menuangkan ke dalam satu bentuk


aturan seperti qanun," ujarnya.
Walaupun banyak pendapat dari berbagai pihak ulama seperti
diatas namun Tari Ranup Lampuan ini juga masih sering
ditampilkan di berbagai acara penyambutan, seperti penyambutan
tamu terhormat maupun jenis penyambutan adat lainnya sampai
saat sekarang.
Selain itu tarian ini juga sering ditampilkan di berbagai acara
budaya seperti pertunjukan seni, festival budaya, dan promosi
pariwisata. Hal ini dilakukan sebagai usaha pelestarian dan
memperkenalkan kepada generasi muda maupun masyarakat luas
akan Tari Ranup Lampuan ini.
.
C. SISI SOSIAL DAN BUDAYA
A. pentingnya Pelestarian Suatu Kebudayaan
Dalam sebuah kebudayaan sangatlah penting adanya bentukbentuk pelestarian yang dilakukan. Dengan tujuan meminimalisir
dampak dari budaya grobal yang mengancam masuk ke suatu
daerah, haruslah ada upaya untuk menjaga nilai-nilai yang berlaku
dalam satu kebudayaan agar ancaman tersebut dapat dihindari.
Diketahui bersama bahwa suatu kebudayaan memiliki sifat
dinamis, yang berarti kebudayaan itu teruslah bergerak dan
berubah-ubah. Namun yang harus di perhatikan ialah bahwa suatu
kebudayaan itu dapat bergerak atau berubah-ubah haruslah
melihat nilai normatif yang berlaku pada kebudayaan suatu
daerah. Kebudayaan dapat dilestarikan dalam dua bentuk yaitu :
1. Culture Experience
Merupakan pelestarian budaya yang dilakukan dengan cara
terjun langsung kedalam sebuah pengalaman kultural.
contohnya, jika kebudayaan tersebut berbentuk tarian, maka
masyarakat dianjurkan untuk belajar dan berlatih dalam
menguasai tarian tersebut. Dengan demikian dalam setiap
tahunnya selalu dapat dijaga kelestarian budaya kita ini.

10

2. Culture Knowledge
Merupakan pelestarian budaya yang dilakukan dengan cara
membuat suatu pusat informasi mengenai kebudayaan yang
dapat difungsionalisasi kedalam banyak bentuk. Tujuannya
adalah

untuk

pengembangan

edukasi

ataupun

kebudayaan

itu

untuk
sendiri

kepentingan
dan

potensi

kepariwisataan daerah. Dengan demikian para Generasi


Muda dapat mengetahui tentang kebudayaanya sendiri.
Selain dilestarikan dalam dua bentuk diatas, kita juga
dapat melestarikan kebudayaan dengan cara mengenal
budaya itu sendiri. Dengan hal ini setidaknya kita dapat
mengantisipasi pencurian kebudayaan yang dilakukan oleh
negara - negara lain. Penyakit masyarakat kita ini adalah
mereka terkadang tidak bangga terhadap produk atau
kebudayaannya sendiri. Kita lebih bangga terhadap budayabudaya impor yang sebenarnya tidak sesuai dengan budaya
kita sebagai orang timur. Budaya daerah banyak hilang
dikikis zaman. Oleh sebab kita sendiri yang tidak mau
mempelajari dan melestarikannya. Akibatnya kita baru
bersuara ketika negara lain sukses dan terkenal dengan
budaya yang mereka curi secara diam-diam.
Selain itu peran pemerintah dalam melestarikan budaya
bangsa juga sangatlah penting. Bagaimanapun pemerintah
memiliki

peran

yang

cukup

strategis

dalam

upaya

pelestarian kebudayaan daerah ditanah air. Pemerintah


harus

mengimplementasikan

kebijakan-kebijakan

yang

mengarah pada upaya pelestarian kebudayaan nasional.


Salah satu kebijakan pemerintah yang pantas didukung
adalah

penampilan

kebudayaan-kebudayaan

daerah

disetiap event-event akbar nasional, misalnya tari-tarian ,


lagu daerah, dan sebagainya. Semua itu harus dilakukan
sebagai upaya pengenalan kepada generasi muda, bahwa

11

budaya yang ditampilkan itu adalah warisan dari leluhurnya.


Bukan berasal dari negara tetangga.Demikian juga upayaupaya melalui jalur formal pendidikan. Masyarakat harus
memahami dan mengetahui berbagai kebudayaan yang kita
miliki. Pemerintah juga dapat lebih memusatkan perhatian
pada pendidikan muatan lokal kebudayaan daerah.
Selain hal-hal tersebut diatas, secara umum masih ada
berbagai cara dalam melestarikan budaya, salah satunya
adalah sebagai berikut :
a. Meningkatkan kualitas sumber daya manusia dalam
memajukan budaya local
b. Lebih mendorong kita untuk memaksimalkan potensi
budaya lokal beserta pemberdayaan dan pelestariannya
c. Berusaha menghidupkan kembali semangat toleransi,
kekeluargaan, keramah-tamahan dan solidaritas yang
tinggi.
d. Selalu mempertahankan budaya Indonesia agar tidak
punah
e. Mengusahakan agar semua orang mampu mengelola
keanekaragaman budaya local

Secara kontekstual langkah atau upaya yang dapat


dilakukan adalah :
1. Mengajarkan ke orang lain
2. Menciptakan Ruang Apresiasi
3. Mendiskripsikan kedalam bentuk buku-buku

B.Hal-hal Yang Terjadi Setelah Ada Pelestarian

12

Sifat dinamis dalam suatu kebudayaan mengakibatkan adanya


perubahan-perubahan. Perubahan tersebut dapat dilihat dari dua
aspek. Yakni;
1. Aspek positif

Perubahan gerak dapat meningkatkan nilai estetika dalam

tari ranup lampuan


Eksistensi Tari Ranup Lampuan tersebut akan menjadi

kebanggaan suatu daerah


Terjadinya penyebaran Tari Ranup lampuan kedaerah

lainnya
Keberadaan Tari Ranup Lampuan tidak menjadi benturan-

benturan nilai pada suatu tertentu.


Memperjelas Identitas Kedaerahan

2. Aspek negatif

Perubahan gerak mampu memicu hilangnya keaslian

gerak dari tari ranup lampuan


Akan mengalami degradasi nilai ketika terjadi perubahan

secara ekstrim
Secara tekstual (jumlah penari, music pengiring, kostum,
pola lantai, dll) bentuk penyajian Tari Ranup Lampuan

mengalami pergeseran
Tradisi sawer bertentangan dengan nilai normative yang
berlaku di Aceh sehingga terlihat seperti satu bentuk
pelecehan kepada bentuk kesenian Tari Ranup Lampuan.
(sawer bukan budaya aceh melainkan berkembang di
jawa dan daerah lain Nusantara)
Namun demikian sangatlah penting adanya rasa tanggup

jawab moral kepada kebudayan saat ini agar kebudayaan


yang ada di Indonesia teruslah terjaga kelestariannya.
13

C. Pandangan kebudayaan daerah


Matee Aneuk Meupat Jeurat, Gadoh Adat Pat Tamita
Narit maja di atas menyiratkan makna yang sangat mendalam,
agar adat dan kebudayaan dijaga dan dilestarikan. Pesan tersebut
juga memberi inpirasi dan motivasi yang kuat agar kita semua untuk
merenung kembali betapa pentingnya melestarikan kebudayaan.
Dalam hal ini, sudah menjadi kewajiban kita untuk melestarikan dan
menjaga kemurnian kebudayaan Aceh yang sudah mentradisi dalam
masyarakat Aceh.
Kebudayaan merupakan cerminan dari kehidupan suatu
masyarakat. Kebudayaan itu sangat kental dengan corak kehidupan
suatu masyarakat. Untuk memahami kebudayaan secara mendalam,
pengertian budaya dapat dilihat dari pendapat beberapa ahli. Ki Hajar
Dewantara mengatatakan bahwa kebudayaan berarti buah budi
manusia yang merupakan hasil perjuangan manusia terhadap
pengaruh alam dan zaman. Sutan Takdir Ali Syahbana mengatakan
bahwa kebudayaan adalah manifestasi dari cara berpikir manusia.
Koentjaraningrat mengatakan bahwa kebudayaan berarti keseluruhan
gagasan dan karya manusia yang harus dibiasakannya dengan
belajar secara keseluruhan hasil budi pekertinya.
Kesemua pendapat ahli di atas mempunyai

inti

yang

mengatakan bahwa kebudayaan itu merupakan ciptaan manusia


dalam mejalani kehidupan. Selanjutnya, C. Kluckhohn mengatakan
bahwa kebudayaan universal mengandung tujuh unsur, yaitu sistem
religi dan upacara keagamaan, sistem organisasi kemasyarakatan,
sistem pengetahuan, sistem mata pencaharian hidup, sistem teknologi
dan peralatan, bahasa, dan kesenian.
Salah-satu dari tujuh unsur kebudayaan tersebut di atas, di
dalamnya terdapat seni, tari (kesenian). Pada kesempatan ini, seni tari
yang dibahas yang akan ditekankan pada tari tradisional Aceh. Seni
tari tersebut merupakan hasil ciptaan manusia yang digunakan untuk
tujuan tertentu.
14

Seni

tari

tradisional

Aceh

mempunyai

keindahan

yang

menyebabkan seseorang tidak merasa bosan untuk mendengar atau


melihatnya. Apabila kita menyaksikan tari tradisional Aceh akan
menimbulkan rasa senang, serta merasa puas, rasa aman, nyaman
dan bahagia, dan bila perasaan itu sangat kuat, kita merasa terpaku,
terharu, terpesona, serta menimbulkan keinginan untuk mengalami
kembali perasaan itu walaupun sudah dinikmati berkali-kali.
Kesenian tradisional di Aceh pada umumnya mempunyai
keindahan yang mengagumkan. Hal ini dapat kita saksikan jika ada
pertunjukan seni misalnya, seudati, saman, didong, rapai geleng, dan
lain-lain selalu banyak penonton, walaupun sudah sering melihatnya.
Pertunjukan seudati selalu banyak penantonnya, pertandingan saman
juga selalu ramai pengunjung, padahal pertunjukan kesenian sudah
berkali-kali dilihatnya. Jadi, dapat kita katakan bahwa tari tradisional di
Aceh sudah merupakan kebanggan masyarakat Aceh.
Kesenian tradisional di Aceh semua mempunyai ciri-ciri
tersendiri. Saman, seudati, meusekat, rapai geleng, rapai pulot, rath
duk, dan ranub lampuan mempunyai ciri dan bahasa tersendiri walau
terlihat ada unsur-unsur yang sama. Hal ini sesuai dengan konsep
seni bahwa semua benda atau peristiwa kesenian mengandung tiga
aspek yang mendasar, yakni wujud atau rupa (appearance), bobot
atau isi (content, subtance), dan penampilan, penyajian (presentation).
Wujud kesenian terdiri atas bentuk (form) atau unsur yang mendasar,
dan susunan/struktur (structure). Bobot kesenian mempunyai tiga
aspek yakni suasana (mood), gagasan (idea), dan ibarat/pesan
(message). Penampilan seni ada tiga unsur yang berperan yaitu bakat
(talent), keterampilan (skill), dan sarana atau media (medium atau
vehicle).
Diakui atau tidak tari tradisional Aceh telah mulai bergeser dari
nilai-nilai budaya keacehannya. Keprihatinan ini di depan mata kita.
Siapa yang akan peduli? Mungkinkah generasi muda Aceh suatu saat
nanti tidak dapat melihat lagi keberadaan tari tradisional yang murni.

15

Kita semua dapat melihat tari tradisional Aceh masih ditarikan,


masih diajarkan dan bahkan sudah mendunia. Tapi kita jangan
menutup mata terhadap semua permasalaha terhadap eksistensi tari
tradisional Aceh dewasa ini. Tari tardisional Aceh sudah kehilangan
rohnya, sudah kehilangan qithoh-nya. Dari kenyataan tersebut dari
dirumuskan permasalahannya sebagai berikut, (1) bagaimanakah
keseragaman

gerak

tari

tradisional

Aceh

dewasa

ini?,

(2)

bagaimanakah tata rias penari tradisional Aceh dewasa ini?, (3)


bagaimanakah konsistensi penari dan jumlah penari tari tradisional
Aceh dewasa ini?, (4) bagaimanakah roh/image terhadap tari
tradisional Aceh dewasa ini?
Mengapa penyimpangan-penyimpanagan dalam tari tradisional
Aceh kerap terjadi? Solusi terhadap penyimpangan tari tradisional
Aceh harus dipikirkan bersama, pelaku seni, pengajar tari, dan
instansi terkait harus benar-benar mencurahkan perhatian untuk
meluruskan kembali adat budaya kita, khususnya tari tradisional Aceh.
Permasalah-permasalahan di atas perlu direnungi kembali dan
dibahas secara mendalam.

Keseragaman Gerak Tari Tradisional Aceh


Ketimpangan terhadap tari tradisional Aceh yang paling utama
dan paling kentara adalah ketimpangan terhadap keseragaman gerak.
Dewasa ini telah terjadi ketidak seragaman gerak pada tari-tari
tradisional Aceh. Gerakan-gearakan dalam salah satu tarian dapat
berbeda apabila diajarkan/ditarikan oleh orang yang berbeda. Jika tari
diamati dengan teliti, tampak secara jelas terdapat banyak unsur di
dalamnya. Di antara unsur yang sangat signifikan adalah gerak dan
ritme. Seorang penulis dan kritikus tari dari Amerika bernama John
Martin berpendapat bahwa substansi baku dari tari adalah gerak.
Ketidak konsistensi gerak tari tradisional Aceh di antaranya
dapat diperhatikan pada tari ranup lampuan dan tari saman. Pada tari
ranup lampuan telah banyak penyimpangan gerak, yakni dapat dilihat
pada tidak adanya keseragaman gerak antara kelompok tari yang satu
16

dengan kelompok tari lainnya. Hal ini dapat dilihat di antaranya pada
gerak melangkah (ada yang mehentakkan kaki dan ada yang
melangkah biasa). Pada gerak memetik sirih dan mengancip pinang
ada

kelompok

yang

melakukan

dan

ada

pula

yang

tidak

melakukannya.
Pada tari saman terdapat beberapa gerak dan juga ritme yang
khas. Gerak yang ada dalam saman banyak di antaranya singkih,
lingang, tungkuk, langak, anguk, girik, gerak selalu, gerutup, guncang,
dan surang-saring. Ritme yang ada dalam saman adalah rengum,
dering, sek, redet, dan saur. Setiap tari saman yang dimainkan harus
sesuai dengan gerak serta ritme yang ada dalam tari saman karena
memang seperti wujud dari saman. Oleh karena itu, jika ada tari yang
menamakan tari saman yang tidak sesuai dengan pola yang ada,
bukan merupakan tari saman.
Ketimpangan gerak tari saman, dewasa ini kerap terjadi dan
bahkan terdapat gerakan-gerakan yang tidak dilakukan atau dilakukan
dengan tidak sempurna. Tidak dilakukannya salah satu gerak dalam
tari saman atau tidak sesuainya gerak yang dilakukan akan
mengakibatkan bergesernya nilai-nilai sebuah tari tradisional

Tata Rias Penari Tradisional Aceh


Seni terwujud berdasarkan medium tertentu, baik dengaran
(audio), maupun lihatan (visual), dan gabungan keduanya. Tiap-tiap
golongan seni tadi ditentukan bentuknya oleh material seninya atau
mediumnya. Tiap medium memiliki ciri khasnya sendiri dengan
keterbatasan dan kelebihan masing-masing.
Tari tradisional Aceh juga mempunyai medium tersendiri. Warna
pakaian yang dipakai penari juga mempunyai warna tersendiri,
misalnya saja pakaian tari saman yang mempunyai makna, yakni
kuning

sebagai

lambang

keagungan,

hijau

sebagai

lambang

kemakmuran, merah sebagai lambang keberanian, putih sebagai


lambang kesucian. Jenis pakaian yang dipakai juga terdiri atas bulang
teleng, ikotni rongok, baju kantong, upuh pawak, suel naru, ikotni

17

pumu, dada kupang, sensim ketip, dan tajuk kepies. Dari segi medium
sendiri sudah dapat dilihat ciri pembeda tari saman sehingga
masyarakat dengan mudah mengetahui mana yang disebut saman
dan mana yang bukan.
Demikian juga dengan tari tradisi lainnya, pakaian yang
digunakan untuk tari ranup lampuan tidak mungkin digunakan untuk
seudati, demikian juga pakaian tari seudati tidak mungkin digunakan
untuk tari saman, dan sebaliknya. Dengan demikian pakaian yang
sudah mentradisi itu tidak dapat digunakan secara sembarangan.
Akibat dari tindakan-tindakan yang tidak mentradisi itu akan
mencedrai adat dan budaya Aceh.
Bila dilihat dari tata rias, tata rias dalam tari tradisional Aceh
yang diharapkan adalah tata rias yang sesuai dengan budaya
keacehan. Artinya dari pakaian,

mec-up, sanggul, harus sesuai

budaya Aceh. Budaya Aceh dalam hal ini tidak dapat dipisahkan
dengan syariat Islam. Budaya Aceh dengan syariat Islam bagai dua
sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Oleh karena itu, segala
sesuatu hal yang dihias dalam tata rias tari tradisional Aceh harus
sesuai dengan syariat Islam.
Dewasa ini yang sangat mencolok perbedaanya dengan tata
rias yang keacehan, misalnya pada tata rias sangul yang sebagian
besar menaikannya atau ditinggikan. Selain itu, pada tata rias sanggul
juga terdapat banyak asesoris, sehingga kelihatannya seperti putri
bunga, yang lebih ironis lagi sirihpun diselipkan di kepalanya.

Konsistensi Penari dan Jumlah Penari Tari Tradisional Aceh


Konsistensi penari merupakan ketentuan yang tidak dapat
dipungkiri oleh oleh penari tari tradisional, yang paling utama dilihat
dari jumlah penari, jenis kelamin. Artinya sebuah tari tradisional yang
harus ditarikan oleh 7 orang tidak akan benar jika ditarikan oleh 5 atau
6 orang saja. Hal tersebut kerap terjadi pada tari ranup lampuan. Tari
ranup lampuan semestinya ditarikan oleh 7 orang akan sangat janggal
jika ditarikan oleh 5 atau 6 orang. Selain ketentuan tari tersebut harus

18

tarikan oleh jumlah penari yang ganjil, tari ranup lampuan akan
kehilangan estetisnya jika hanya ditarikan oleh 5 orang penari saja.
Selain konsistensi jumlah penari, kosistensi jenis kelamin
penari menjadi hal utama dalam tari tradisional Aceh. Tari tradisional
Aceh ada yang dikenal dengan tari laki-laki dan ada yang dikenal
dengan tari perempuan. Misalnya saja tari seudati dan tari saman
yang dikenal dengan tarian laki-laki tidak mungkin ditarikan oleh
perempuan. Kemustahilan ditarikan oleh perempuan, karena dalam
tarian-tarian tersebut sebagaimana kita ketahui terdapat gerakangerakan yang tidak mungkin dilakukan oleh perempuan. Misalnya saja
dalam tari seudati, terdapat gerakan grop, dan peh dada, yang sangat
tidak mungkin dilakukan oleh perempuan. Sebagaimana salah satu
penggalan syair lagu Liza Aulia ..jak keuno rakat tajak meunari,
tameuseudati tapeh-peh dada. Jelaslah gerakan-gerakan tersebut
hanya layak dilakukan oleh laki-laki.
Gerakan-gerakan kodrati itu juga terdapat dalam tari saman,
seperti aungan, dereuk, yang juga tidak mungkin dilakukan oleh
seorang perempuan Aceh. Oleh karena itu, untuk seudati dan saman
biarlah menjadi tari tradisinya para laki-laki. Jangan dipaksakan untuk
ditarikan oleh perempuan. Keprihatinan terhadap adanya seudati
inong dan saman inong juga dikemukan Profesor Margaret J. Katomi
Faha, Dr. Phil. di perpustakaan Unsyiah, lantai III pada tanggal 23
November 2012.
Pada kesempatan lain, hal senada juga diungkapkan oleh Dr.
Rajab Bahry, M.Pd. salah seorang tokoh Gayo dan pelatih tari saman
bahwa tari saman itu juga tidak etis ditarikan oleh perempuan.
Komitmen tersebut telah menguatkan pendidirian masyarakata Aceh
untuk menetapkan tari seudati dan tari saman tidak wajar ditarikan
oleh perempuan.
Apabila tarian tersebut ditariakan oleh perempuan akan
menimbulkan pengikisan nilai-nilai budaya dari sebuah tari. Atau
dengan kata lain tari ranup lampuan telah kehilangan rohnya sebagai

19

tari pemulia jamee. Karena menurut orang Aceh mulia jamee ranup
lampuan, mulia rakan mameh suara.
Praktik penyimpangan itu juga berlangsung pada pertukaran
budaya dengan mahasiswa jurusan Dance Course of Art (DCA)
Universitas Deaking Australia belajar tari seudati di sanggar seni
Lempia, taman Budaya, Banda Aceh. Tari seudati tersebut ditarikan
oleh penari perempuan. Memang tidak ada efeknya bagi penari asing
namun telah terjadi kesalahan persepsi dalam memahami budaya
Aceh. Kondisi demikian, baik disadari atau tidak telah mencemari roh
tari seudati sebagai cerminan budaya Aceh.

Roh dan Image Tari Tradisional Aceh


Sumardjo mengatakan, Batasan seni yang bertolak dari unsur
seniman akan memunculkan masalah ekspresi, kreasi, orisinilitas,
intuisi, dan lain lain. Sementara itu, yang bertolak dari benda seni
akan menekankan pentingnya aspek bentuk, material, struktur,
simbolik, dan sebagainya. Yang bertolak dari publik seni akan akan
melibatkan

apresiasi,

interprestasi,

evaluasi,

konteks,

dan

sebagainya. Masalah yang perlu mendapat perhatian kita adalah


masalah orisinilitas. Apakah sebuah seni (dalam konteks ini seni tari)
dapat disebut orisinil atau tidak tentu harus kita lihat dari konsep seni,
yaitu wujud, bobot, dan penampilannya. Dengan demikian, nama tari
yang disebutkan harus sesuai dengan wujud, bobot, dan penampilan
yang telah baku. Seandainya menyimpang dari konsep dasarnya,
jangan disebut saman dengan tari yang sudah ada karena akan
merugikan pemilik tari dan juga yang lebih parah akan memberikan
informasi yang keliru tentang budaya Aceh kepada dunia luar.
Informasi yang keliru itu telah terjadi dalam tari tradisional Aceh.
Informasi yang keliru itu terjadi karena praktik-praktik yang mencedrai
tari tradisi itu. Selain dari pakaian dan mec-up yang tidak sesuai,
setelah selesainya tari ranup lampuan kerap terjadi pemberian sirih
yang diikuti dengan pemberian uang/saweran. Sebagaimana kita

20

ketahui

bahwa

tari

ranup

lampuan

merupakan

tari

penyambutan/pemulia jamee.
Dalam konsep masyarakat Aceh tidak ada transaksi pada saat
memberikan sesuatu kepada tamu, apalagi sirih yang disungguhkan
itu sebagai lambang kemuliaan. Tindakan tersebut dapat dikatakan
sebagai tindakan yang mencedrai budaya Aceh.
Keprihatinan itu juga dikemukan oleh Prof. Dr.Bahren T.
Sugihem, M.A. sebagai salah seorang pembedah buku The Musical
Journeys in Sumatra karangan Profesor Margaret J. Katomi Faha, Dr.
Phil. di perpustakaan Unsyiah, lantai III pada tanggal 23 November
2012, bahwa tari ranup lampuan yang ditarikan sekarang telah
kehilangan rohnya sebagai tari memuliakan tamu. Penampilan tari
tersebut, menurut Beliau sudah menyimpang atau bertolak belakang
dengan budaya Aceh. Tari ranup lampuan tidak perlu adanya
saweran/pemberian uang, begitu tukas Prof. Bahren.
Tindakan tersebut telah menimbulkan pengikisan nilai-nilai
budaya dari sebuah tari. Atau dengan kata lain tari ranup lampuan
telah kehilangan rohnya sebagai tari pemulia jamee. Karena menurut
orang Aceh mulia jamee ranup lampuan, mulia rakan mameh suara.

BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Kesimpulan yang dapat saya simpul yaitu:
1. Tari tradisional Aceh dewasa ini sudah mulai bergesel
keberadaan nilai tradisinya. Bergerasernya tradisi dalam
sebuah tari disebabkan dengan munculnya ide-ide kreasi
dari teman-teman yang berkecimpung dalam berkesenian
Aceh. Kreasi-kreasi itu, sangat kita hargai, tapi kreasi-kreasi

21

itu hendaknya tidak mencedrai tradisi. Atau dengan kata


lain kreasi tidak menamakan dirinya sebagai tari tradisi.
2. Tari tradisional Aceh perlu dilakukan revitalisasi dalam
kesesuan pakaian, keseragaman gerak, kesesuaian mec-up
dan kesuaian image yang ditawarkan kepada masyarat luar,
sehingga Aceh dapat menjadi tujuan wisata Islami yang
berkarakter keacehan.
3. Berdasarkan kesimpulan di atas, dapat disarankan hal-hal
berikut.
4. Perlu dilakukan kongres tari tradisi dengan melibatkan
seniman (ahli di bidangnya) seluruh Aceh.
5. Pilahlah antara tari tradisi dan tari kreasi dalam praktek
berkesenian di Aceh, sehingga kreasi tidak mencedrai
tradisi.
6. Pelaku seni, pengajar tari, dan instansi terkait harus benarbenar mencurahkan perhatian untuk meluruskan kembali
adat budaya kita, khususnya tari tradisional Aceh.
7. Fungsi Ranub untuk suguhan kepada tamu (dapat dimakan )
guna menghormati yang menyuguhkannya.tarian tradisional
satu ini merupakan tarian penyambutan yang berasal dari
daerah Aceh. Namanya adalah Tari Ranup Lampuan.

Daftar pustaka
https://dmilano.wordpress.com/2011/05/08/ranup-lam-puan/
[1] Widyosiswoyo, Sartono, 1996. Ilmu Budaya Dasar. Jakarta: Ghalia
Indonesia. Hlm. 33-34.
[2] Ibid, Hlm. 36.
[3] Djelantik, A.A.M., 1999. Estetika: Sebuah Pengantar. Bandung:
Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia. Hlm. 17-18.

22

[4] Sudarsono. tanpa tahun. Tarian-Tarian di Indonesia 1, Jakarta: Proyek


Pengembangn Media Kebudayaan Direktoran Jenderal Kebudayaan
Depdikbud. Hlm. 15.
[5] Kesuma, Asli, dkk., 1991. Diskripsi Tari Saman Propinsi Daerah
Istimewa Aceh. Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan Kanwil Propinsi
Daerah Istimewa Aceh. Hlm. 12-37.
[6] Sumardjo, Jakob. 2000. Filasafat Seni. Bandung: Penerbit ITB, hlm. 30
[7] Ibid. hlm. 58.
[8] Serambi Indonesia, 24 November 2012.
[9] Sumardjo, Jakob. Op.cit. Hlm. 51.

LAMPIRAN

anak aceh tari ranup lampuan

ranup (daun sirih)

23

puan atau tempat sirih

penari lanup lampuan

memberi sirih pada tamu

ranup lam puan

24

Anda mungkin juga menyukai