Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar belakang masalah

Sejarahnya
Menurut cerita rakyat Sumba, pasola berawal dari seorang
janda cantik bernama Rabu Kaba di Kampung Waiwuang.Rabu
Kaba mempunyai seorang suami yang bernama Umbu Amahu,
salah satu pemimpin di kampung Waiwuang.Selain Umbu Amahu,
ada dua orang pemimpin lainnya yang bernama Ngongo Tau
Masusu dan Bayang Amahu.Suatu saat, ketiga pemimpin ini
memberitahu warga Waiwuang bahwa mereka akan melaut.Tapi,
mereka pergi ke selatan pantai Sumba Timur untuk mengambil
padi.Warga menanti tiga orang pemimpin tersebut dalam waktu
yang

lama,

namun

mereka

belum

pulang

juga

ke

kampungnya.Warga menyangka ketiga pemimpin mereka telah


meninggal

dunia,

sehingga

warga

pun

mengadakan

perkabungan.Dalam kedukaan itu, janda cantik dari almarhum


Umbu Dula, Rabu Kaba terjerat asmara dengan Teda Gaiparona
yang berasal dari Kampung Kodi.Namun keluarga dari Rabu Kaba
dan Teda Gaiparona tidak menyetujui

perkawinan mereka,

sehingga

lari.Teda

mereka

mengadakan

kawin

Gaiparona

membawa janda tersebut ke kampung halamannya.Beberapa


waktu berselang, ketiga pemimpin warga Waiwuang (Ngongo Tau
Masusu, Bayang Amahu dan Umbu Amahu) yang sebelumnya telah
dianggap

meninggal,

muncul

kembali

di

kampung

halamannya.Umbu Amahu mencari isterinya yang telah dibawa


oleh

Teda

Gaiparono.Walaupun

berhasil

ditemukan

warga

Waiwuang, Rabu Kaba yang telah memendam asmara dengan


Teda Gaiparona tidak ingin kembali.Kemudian Rabu Kaba meminta

pertanggungjawaban Teda Gaiparona untuk mengganti belis yang


diterima dari keluarga Umbu Dulla.Belis merupakan banyaknya nilai
penghargaan pihak pengambil isteri kepada calon isterinya, seperti
pemberian

kuda,

sapi,kerbau,

dan

barang-barang

berharga

lainnya.Teda Gaiparona lalu menyanggupinya dan membayar belis


pengganti.Setelah seluruh belis dilunasi diadakanlah upacara
perkawinan pasangan Rabu Kaba dengan Teda Gaiparona.Pada
akhir pesta pernikahan, keluarga Umbu Dulla berpesan kepada
warga Waiwuang agar mengadakan pesta nyale dalam wujud
pasola untuk melupakan kesedihan mereka karena kehilangan
janda cantik, Rabu Kaba.
Mengapa hal itu ada?
Pasola diawali dengan pelaksanaan adat nyale. Adat nyale
adalah salah satu upacara rasa syukur atas anugerah yang
didapatkan, yang ditandai dengan datangnya musim panen dan
cacing laut yang melimpah di pinggir pantai.Adat tersebut
dilaksanakan pada waktu bulan purnama dan cacing-cacing laut
(dalam bahasa setempat disebut nyale) keluar di tepi pantai.Para
Rato (pemuka suku) akan memprediksi saat nyale keluar pada pagi
hari, setelah hari mulai terang.Setelah nyale pertama didapat oleh
Rato, nyale dibawa ke majelis para Rato untuk dibuktikan
kebenarannya dan diteliti bentuk serta warnanya.Bila nyale tersebut
gemuk, sehat, dan berwarna-warni, pertanda tahun tersebut akan
mendapatkan kebaikan dan panen yang berhasil.Sebaliknya, bila
nyale kurus dan rapuh, akan didapatkan malapetaka.Setelah itu
penangkapan nyale baru boleh dilakukan oleh masyarakat.Tanpa
mendapatkan nyale, Pasola tidak dapat dilaksanakan.Pasola
dilaksanakan di bentangan padang luas, disaksikan oleh segenap
warga dari kedua kelompok yang bertanding, masyarakat umum,
dan wisatawan asing maupun lokal.Setiap kelompok terdiri atas
lebih dari 100 pemuda bersenjatakan tombak yang dibuat dari kayu

berujung tumpul dan berdiameter kira-kira 1,5 cm.Walaupun


berujung tumpul, permainan ini dapat memakan korban jiwa.Kalau
ada korban dalam pasola, menurut kepercayaan Marapu, korban
tersebut mendapat hukuman dari para dewa karena telah telah
melakukan suatu pelanggaran atau kesalahan.Dalam permainan
pasola, penonton dapat melihat secara langsung dua kelompok
ksatria sumba yang sedang berhadap-hadapan, kemudian memacu
kuda

secara

lincah

sambil

melesetkan

lembing

ke

arah

lawan.Selain itu, para peserta pasola ini juga sangat tangkas


menghindari terjangan tongkat yang dilempar oleh lawan.Derap
kaki kuda yang menggemuruh di tanah lapang, suara ringkikan
kuda, dan teriakan garang penunggangnya menjadi musik alami
yang mengiringi permainan ini.Pekikan para penonton perempuan
yang menyemangati para peserta pasola, menambah suasana
menjadi tegang dan menantang.Pada saat pelaksanaan pasola,
darah yang tercucur dianggap berkhasiat untuk kesuburan tanah
dan kesuksesan panen.Apabila terjadi kematian dalam permainan
pasola, maka hal itu menandakan sebelumnya telah terjadi
pelanggaran norma adat yang dilakukan oleh warga pada tempat
pelaksanaan pasola.
B. Permasalahan yang akan dikaji
Permasalahan yang saya kaji yaitu tentang :
a. Pasola menjadi adat istiadat daerah sumba dan sekitarnya tiap
tahunan
b. Pasola

menggambarkan

rasa

syukur

dan

ekspresi

kegembiraan masyarakat setempat, karena hasil panen yang


melimpah
c. pasola berasal dari skandal janda cantik jelita

BAB II

PEMBAHASAN
A. Sisi agama
Pasola tidak sekadar menjadi bentuk keramaian, tetapi menjadi salah satu
bentuk pengabdian dan aklamasi ketaatan kepada sang leluhur.Pasola
merupakan kultur religius yang mengungkapkan inti religiositas agama
Marapu.Pasola menjadi perekat jalinan

persaudaraan antara dua

kelompok yang turut dalam pasola dan bagi masyarakat umum.Pasola


menggambarkan rasa syukur dan ekspresi kegembiraan masyarakat
setempat, karena hasil panen yang melimpah.Pasola dapat dijadikan
tonggak kemajuan pariwisata Sumba, karena atraksi budaya ini sudah
diketahui banyak wisatawan mancanegara.Hal ini terlihat dalam setiap
acara pasola selalu ada turis asing yang datang.Warisan budaya ini
merupakan aset untuk meningkatkan pendapatan asli daerah.
B. Sisi sosial dan budaya
Membedah pulau Sumba terbersit pesan Sumba adalah pulaunya para
arwah. Di setiap sudut kota dan kampungnya tersimpan persembahan dan pujian
para abdi. Nama Sumba atau Humba berasal dari nama ibu model Rambu
Humba, istri kekasih hati Umbu Mandoku, salah satu peletak landasan suku-suku
atas kabisu-kabisu Sumba.
Dua pertiga penduduknya adalah pemeluk yang khusuk berbakti kepada
arwah para leluhurnya, khususnya kepada bapak besar bersama, sang pengasal
semua suku. Marapu menurut petunjuk dan perhitungan para Rato, Pemimpin
Suku dan Imam agung para Merapu. Altar megalik dan batu kuburan keramat
yang menghias setiap jantung kampung dan dusun (paraingu) adalah bukti pasti
akan kepercayaan animisme itu.

Sumba, pulau padang savana yang dipergagah kuda-kuda liar yang


kuat yang tak kenal lelah menjelajah lorong, lembah dan pulau berbatu
warisan leluhur. Binatang unggulan tingkatan mondial itu semakin
merambah maraknya perang akbar pasola, perang melempar lembing
kayu sambil memacu kuda, untuk menyambut putri nyale, si putri cantik
yang menjelma diri dalam ujud cacing laut yang nikmat gurih.

Pasola berasal dari kata `sola atau `hola, yang berarti sejenis
lembing kayu yang dipakai untuk saling melempar dari atas kuda yang
sedang dipacu kencang oleh dua kelompok yang berlawanan. Setelah
mendapat imbuhan `pa (pa-sola, pa-hola), artinya menjadi permainan.
Jadi pasola atau pahola berarti permainan ketangkasan saling melempar
lembing kayu dari atas punggung kuda yang sedang dipacu kencang
antara dua kelompok yang berlawanan.
Pasola diselenggarakan di Sumba Barat setahun sekali pada bulan
Februari di Kodi dan Lamboya. Sedangkan bulan Maret di Wanokaka.
Pasola dilaksanakan di bentangan padang luas, disaksikan oleh segenap
warga Kabisu dan Paraingu dari kedua kelompok yang bertanding dan
oleh masyarakat umum.
Sedangkan peserta permainan adalah pria pilih tanding dari kedua
Kabisu yang harus menguasai dua keterampilan sekaligus yakni memacu
kuda dalam kecepatan super tinggi (super speed power) dan melempar
lembing (hola). Pasola biasanya menjadi klimaks dari seluruh rangkaian
kegiatan dalam rangka pesta nyale.
Skandal Janda Cantik
Menelurusi asal-usulnya, pasola berasal dari skandal janda cantik
jelita, Rabu Kaba sebagaimana dikisahkan dalam hikayat orang
Waiwuang. Alkisah ada tiga bersaudara: Ngongo Tau Masusu, Yagi
Waikareri dan Umbu Dula memberitahu warga Waiwuang bahwa mereka
hendak melaut. Tapi nyatanya mereka pergi ke selatan pantai Sumba
Timur untuk mengambil padi. Setelah dinanti sekian lama dan dicari kian
ke mari tidak membuahkan hasil, warga Waiwuang merasa yakin bahwa
tiga

bersaudara

mengadakan

pemimpin

mereka

perkabungan

itu

dengan

telah

tiada.

Mereka

belasungkawa

pun
atas

kepergian/kematian para pemimpin mereka.

Dalam kedukaan mahadahsyat itu, janda cantik jelita `almarhum


Umbu Dulla, Rabu Kaba mendapat pelabuhan hati Rda Gaiparona, si
gatotkaca asal Kampung Kodi. Mereka terjerat dalam asmara dan saling
berjanji menjadi kekasih.
Namun adat tidak menghendaki perkawinan mereka. Karena itu
sepasang anak manusia yang tak mampu memendam rindu asmara ini
nekat melakukan kawin lari. Janda cantik jelita, Rabu Kaba diboyong sang
gatot kaca Teda Gaiparona ke kampung halamannya.
Beberapa waktu berselang, ke tiga pemimpin warga Waiwuang
(Ngongo Tau Masusu, Yagi Waikareri dan Umbu Dula) yang sebelumnya
telah dinyatakan hilang atau meninggal dunia oleh para pengikutnya tibatiba muncul kembali di kampung halamannya. Warga Waiwuang
menyambut mereka dengan penuh sukacita.
Namun mendung duka tak dapat dibendung tatkala Umbu Dulla
menanyakan perihal istrinya. Yang mulia Sri Ratu telah dilarikan Teda
Gaiparona ke Kampung Kodi, jawab warga Waiwulang pilu. Lalu seluruh
warga Waiwulang dikerahkan untuk mencari dua sejoli yang lagi mabuk
kepayang itu. Akhirnya keduanya ditemukan di kaki gunung Bodu Hula.
Walaupun berhasil ditemukan warga Waiwuang di kaki gunung
Bodu Hula namun Rabu Kaba yang telah meneguk madu asmara Teda
Gaiparona tidak ingin kembali. Ia tidak mau dipisahkan lagi oleh sang
tambatan hati yang telah meluluhlantahkan segala rasa cinta dan kasih
sayang yang pernah diberikannya kepada sang mantan suami, Umbu
Dula.
Kemudian

Rabu

Kaba

meminta

pertanggungjawaban

Teda

Gaiparona untuk mengganti belis yang diterima dari keluarga Umbu Dulla.
Teda Gaiparona lalu menyanggupinya dan membayar belis pengganti.

Setelah seluruh belis dilunasi diadakanlah upacara perkawinan pasangan


Rabu Kaba dengan Teda Gaiparona.
Pada akhir pesta pernikahan keluarga, Teda Gaiparona berpesan
kepada warga Waiwuang agar mengadakan pesta nyale dalam wujud
pasola untuk melupakan kesedihan mereka karena kehilangan janda
cantik, Rabu Kaba. Atas dasar hikayat ini, setiap tahun warga kampung
Waiwuang, Kodi dan Wanokaka, di Sumba Barat mengadakan bulan
(wula) nyale dan pesta pasola.
Akar pasola yang tertanam jauh dalam budaya masyarakat Sumba
Barat menjadikan pasola tidak sekadar keramaian insani dan menjadi
terminal pengasong keseharian penduduk. Tetapi menjadi satu bentuk
pengabdian dan aklamasi ketaatan kepada sang leluhur.
Pasola adalah perintah para leluhur untuk dijadikan penduduk
pemeluk Marapu. Karena itu pasola pada tempat yang pertama adalah
kultus religius yang mengungkapkan inti religiositas agama Marapu. Hal
ini sangat jelas pada pelaksanaan pasola, pasola diawali dengan doa
semadhi dan Lakutapa (puasa) para Rato, foturolog dan pemimpin religius
dari setiap kabisu terutama yang terlibat dalam pasola.
Sedangkan sebulan sebelum hari H pelaksanaan pasola sudah
dimaklumkan bulan pentahiran bagi setiap warga Paraingu dan pada saat
pelaksanaan pasola, darah yang tercucur sangat berkhasiat untuk
kesuburan tanah dan kesuksesan panenan. Bila terjadi kematian yang
disebabkan oleh permainan pasola, dipandang sebagai bukti pelanggaran
atas norma adat yang berlaku, termasuk bulan pentahiran menjelang
pasola.
Pada tempat kedua, pasola merupakan satu bentuk penyelesaian
krisis suku melalui `bellum pacificum perang damai dalam permainan
pasola. Peristiwa minggatnya janda Rabu Kaba dari Keluarga Waiwuang
7

ke keluarga Kodi dan beralih status dari istri Umbu Dulla menjadi istri Teda
Gaiparona bukanlah peristiwa nikmat. Tetapi peristiwa yang sangat
menyakitkan dan tamparan telak di muka keluarga Waiwuang dan
terutama Umbu Dulla yang punya istri.
Keluarga Waiwuang sudah pasti berang besar dan siap melumat
habis keluarga Kodi terutama Teda Gaiparona. Keluarga Kodi sudah
menyadari bencana itu. Lalu mencari jalan penyelesaian dengan
menjadikan seremoni nyale yang langsung berpautan dengan inti
penyembahan kepada arwah leluhur untuk memohon doa restu bagi
kesuburan dan sukses panen, sebagai keramaian bersama untuk
melupakan kesedihan karena ditinggalkan Rabu Kaba.
Pada tempat ketiga, pasola menjadi perekat jalinan persaudaraan
antara dua kelompok yang turut dalam pasola dan bagi masyarakat
umum. Permainan jenis apa pun termasuk pasola selalu menjadi sarana
sosial ampuh. Apalagi bagi kedua kabisu yang terlibat secara langsung
dalam pasola.
Selama pasola berlangsung semua peserta, kelompok pendukung
dan penonton diajak untuk tertawa bersama, bergembira bersama dan
bersorak-sorai bersama sambil menyaksikan ketangkasan para pemain
dan ringkik pekikan gadis-gadis pendukung kubu masing-masing. Karena
itu pasola menjadi terminal pengasong keseharian penduduk dan tempat
menjalin persahabatan dan persaudaraan.
Sebagai sebuah pentas budaya sudah pasti pasola mempunyai
pesona daya tarik yang sangat memukau. Oleh karenanya pemerintah
dan seluruh warga masyarakat setempat sangat mendukung untuk
menjadikan kegiatan PASOLA sebagai salah satu `mayor event yang
pantas menjadi kekayaan budaya bangsa yang tak ternilai harganya.

BAB III
KESIMPULAN
Pasola berasal dari kata sola atau hola, yang berarti sejenis
lembing kayu yang dipakai untuk saling melempar dari atas kuda
yang sedang dipacu kencang oleh dua kelompok yang berlawanan.
Setelah mendapat imbuhan `pa (pa-sola, pa-hola), artinya menjadi
permainan.Jadi pasola atau pahola berarti permainan ketangkasan
saling melempar lembing kayu dari atas punggung kuda yang
sedang

dipacu

kencang

antara

dua

kelompok

yang

berlawanan.Pasola merupakan bagian dari serangkaian upacara


tradisional yang dilakukan oleh orang Sumba yang masih
menganut agama asli yang disebut Marapu (agama lokal
masyarakat sumba).Permainan pasola diadakan pada empat
kampung di kabupaten Sumba Barat.Keempat kampung tersebut
antara lain Kodi, Lamboya, Wonokaka, dan Gaura.Pelaksanaan
pasola di keempat kampung ini dilakukan secara bergiliran, yaitu
antara bulan Februari hingga Maret setiap tahunnya.

DAFTAR PUSTAKA
https://id.wikipedia.org/wiki/Pasola#Pranala_Luar
https://verykaka.wordpress.com/2008/04/14/tradisi-pasola-di-sumba-baratntt/

10

Lampiran

11

12

Anda mungkin juga menyukai