Anda di halaman 1dari 6

BAB I PEMBAHASAN

1. PERNIKAHAN ADAT Proses pernikahan ini di mulai dari pelaporan hubungan calon pengantin kepada orang tua calon pengantin perempuan,dalam sebuah upacara yang di sebut ketok pintu .Pada proses ini pihak calon pengantin laki-laki membawa paling tida 3 kerbau atau kuda.jika telah di setujui proses akan berlanjut pada sebuah prosesiyang di sebut paherang inna ama setara dengan tunangan.pada tahap ini pengantinlaki-laki membawa minimal 4 ekor kuda dan kerbau setalah itu pihak pengantin perempuan bersama tetua adat kampung setempat akan membicarakan tanggal sekaligus jumlah hewan yang akan di minta sebagai mas kawin anak mereka minimal (30 ekor)yang di simbolkan lewat 3 pasang kain sarung yang di serahkan ke pihak laki-laki satelah mereka selesai berunding. Pada waktu yang telah di tentukan,pihak laki-laki akan datang membawa hewan sebagai mas kawin dan melangsungkan pernikahan adat,yang di saksikan warga kampong.proses ini bisa memakan waktu sampai 2hari bergantung pada perundingan tetua adat dan juru bicara tetua laki-laki,sebelum pengantin perempuan di serahkan kepada pengantin laki-laki,ia akan melalui sebuah proses yang disebut tada mata huhu tada mata ana ,di mana ia menyarahkan sebuah mamuli yakni perhiasaan khas sumba dari emas yang seberat minimal 14 gram. Setelah itu pengantin perempuan akan di serahkan pada pihak laki-laki 2. TRADISI PASOLA A. Selayang Pandang Jika memilih berlibur ke Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur, sebaiknya Anda mempertimbangkan waktu yang tepat agar dapat menyaksikan permainan perang-perangan tradisional yang disebut Pasola. Pasola adalah permainan perang dua kelompok pasukan berkuda yang saling melempar lembing (tombak kayu) di sebuah padang savana. Secara etimologis, Pasola berasal dari kata sola atau hola yang bermakna tombak kayu atau lembing. Setelah mendapat imbuhan pa menjadi pasola atau pahola , maka artinya menjadi permainan ketangkasan menggunakan lembing. Menurut cerita setempat, tradisi unik ini lahir dari kisah percintaan janda cantik jelita bernama Rabu Kaba. Sebelum menerima status janda, Rabu Kaba adalah istri sah dari Umbu Dula, satu di antara tiga bersaudara pemimpin warga Waiwuang. Dua saudara lainnya bernama Ngongo Tau Masusu dan Yagi Waikareri. Ketiga bersaudara ini kemudian berpamitan kepada warga Waiwuang untuk pergi melaut. Namun, ternyata mereka pergi ke daerah selatan Pantai Sumba Timur untuk mengambil padi. Setelah sekian lama, ternyata ketiga bersaudara tersebut tak kunjung pulang. Warga pun mencari jejak mereka tetapi tak berhasil menemukannya. Akhirnya,

warga bersepakat mengadakan upacara perkabungan dan menganggap ketiga bersaudara itu telah meninggal. Singkat cerita, janda cantik istri mendiang Umbu Dulla kemudian menjalin kasih dengan Teda Gaiparona, seorang pemuda tampan dari Kampung Kodi. Tetapi, karena peraturan adat tidak menghendaki percintaan mereka, sepasang kekasih ini kemudian melakukan kawin lari. Janda cantik itu pun diboyong oleh Teda Gaiparona ke Kampung Kodi. Tak berapa lama setelah peristiwa kawin lari tersebut, tiga bersaudara Ngongo Tau Masusu, Yagi Waikareri, dan Umbu Dula pulang kembali ke Kampung Waiwuang, dan mendapati berita bahwa Rabu Kaba telah dibawa lari oleh Teda Gaiparona. Perselisihan pun tak dapat dielakkan. Tiga bersaudara ini bersama seluruh warga Waiwuang meminta pertanggungjawaban Teda Gaiparona karena telah melarikan Rabu Kaba. Akhirnya kesepakatan pun lahir, yaitu Teda Gaiparona harus mengganti belis (mas kawin) yang diterima oleh si janda cantik dari keluarga Umbu Dulla. Setelah itu barulah pernikahan secara adat dapat dilaksanakan. Usai pernikahan tersebut, Teda Gaiparona berpesan supaya warga melaksanakan Pasola. Dengan cara ini, diharapkan dendam kedua kampung tersebut dapat dilepaskan dengan permainan perang-perangan dan adu ketangkasan melempar lembing dari atas kuda. Pelaksanaan Pasola sendiri sebetulnya merupakan bagian dari ritual kepercayaan Marapu (agama lokal masyarakat Sumba). Dalam kepercayaan Marapu, elemen terpenting adalah menjaga keharmonisan antara manusia dengan nenek moyangnya. Sebab, arwah nenek moyang inilah yang akan membawa kesuburan dan kemakmuran bagi mereka. Nah, permainan Pasola biasanya diadakan sebagai puncak dari Pesta Adat Nyale, yaitu upacara adat untuk memohon restu para dewa dan arwah nenek moyang agar panen tahun tersebut berhasil dengan baik. Waktu penyelenggaraan Pasola sangat bergantung pada hitungan para tetua adat (Rato) yang menafsirkan berbagai tanda-tanda alam, termasuk peredaran bulan. Perhitungan para Rato ini konon tidak pernah meleset. Buktinya, setiap hari pelaksanaan Pasola, di tepi pantai biasanya terdapat banyak nyale (cacing laut) sebagai tanda dimulainya permainan Pasola. Dalam kalender Masehi, Pasola diadakan antara bulan Februari hingga Maret di beberapa tempat di Kabupaten Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur.

B. Keistimewaan Dalam permainan yang menantang dan berbahaya ini, wisatawan dapat melihat secara langsung dua kelompok Kstaria Sumba yang saling berhadap-hadapan, kemudian memacu kuda secara lincah sambil sesekali melesatkan lembing ke arah lawan. Tak hanya mahir berkuda dan melempar lembing, para peserta Pasola ini juga sangat tangkas menghindari terjangan tongkat yang dilempar oleh lawan. Derap kaki kuda yang menggemuruh di tanah lapang, suara ringkikan kuda dan teriakan garang penunggangnya menjadi musik alami yang mengiringi permainan ini.

Belum lagi pekikan para penonton perempuan yang menyemangati para pahlawan mereka di medan laga. Itulah suasana tegang dan menantang dalam permainan Pasola. Dalam permainan ini, para peserta telah menyiapkan tongkat kayu khusus sepanjang 1,5 meter dengan diamater 1,5 centimeter. Meskipun tongkat tersebut dibiarkan tumpul, tak jarang permainan ini melukai para pesertanya, bahkan bisa memakan korban jiwa. Darah yang mengucur di arena Pasola dianggap bermanfaat bagi kesuburan tanah dan kesuksesan panen. Sementara apabila terdapat korban jiwa, maka korban tersebut dianggap mendapat hukuman dari para dewa karena telah melakukan suatu pelanggaran. Para peserta yang terkena lembing jika memungkinkan dapat membalasnya di arena ini. Akan tetapi jika pertandingan telah usai, sementara peserta masih penasaran untuk membalas terjangan tongkat lawan, maka ia harus bersabar untuk menunggu Pasola pada tahun berikutnya. Sebab, dalam Pasola tidak dibenarkan untuk mendendam, apalagi melakukan pembalasan di luar arena Pasola. Pelaksanaan Pasola tidak hanya merupakan permainan yang bersifat badaniah (profan), melainkan juga merepresentasikan ketaatan para pemeluk kepercayaan Marapu dalam melaksanakan adat istiadat para leluhurnya. Oleh karena bersifat sakral, maka sebelum pelaksanaan Pasola para tetua adat melakukan semedi dan lakutapa (puasa) untuk memohon berkah kebaikan kepada para leluhur dan para dewa. Selain memiliki nilai sakral, secara fungsional Pasola juga dapat dilihat sebagai elemen pemersatu dalam masyarakat Sumba. Sebagaimana cerita tentang asal muasal Pasola, yaitu untuk menghilangkan dendam antara Kampung Waiwuang dan Kodi, maka Pasola hingga kini telah menjadi ajang silaturrahmi dan persaudaraan di antara warga. Pada waktu istirahat, misalnya, yaitu ketika masuk jam makan siang, para peserta dan penonton akan melebur menjadi satu untuk menikmati makanan khas Pasola, yaitu ketupat. Pendek kata, warga di antara dua kubu yang berperang dalam Pasola sama-sama diajak untuk tertawa serta bergembira bersama sambil menyaksikan ketangkasan para penunggang kuda.

C. Lokasi Permainan Pasola diselenggarakan di empat kampung di Kabupaten Sumba Barat. Keempat kampung tersebut antara lain Kampung Kodi, Kampung Lamboya, Kampung Wanokaka, dan Kampung Gaura, Kabupaten Sumba Barat, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Indonesia. Pelaksanaan Pasola di keempat kampung tersebut dilakukan secara bergiliran, antara bulan Februari hingga Maret setiap tahunnya (bertepatan dengan Upacara Adat Nyale).

D. Akses Kabupaten Sumba Barat terletak di Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur. Di pulau ini terdapat empat kabupaten, antara lain Kabupaten Sumba Barat, Kabupaten Sumba Barat Daya, kabupaten Sumba Tengah, serta Kabupaten Sumba Timur. Untuk menuju Pulau Sumba,

wisatawan dapat memafaatkan penerbangan menuju Bandara Mauhau, Kota Waingapu, Ibu Kota Kabupaten Sumba Timur dari berbagai kota besar di Indonesia. Jika Anda berangkat dari Jakarta, pesawat akan melakukan transit di Bandara Ngurah Rai, Denpasar Bali, sebelum melanjutkan penerbangan menuju Waingapu. Di kota ini juga terdapat pelabuhan laut yang melayani pelayaran dari Pulau Sumbawa, Pulau Flores, maupun Pulau Timor dengan jasa pelayaran Kapal Pelni. Dari Kota Waingapu, wisatawan dapat memanfaatkan transportasi umum seperti bus atau menyewa jasa travel untuk menuju lokasi Pasola di Kabupaten Sumba Barat.

E. Harga Tiket Tidak dipungut biaya.

F. Akomodasi dan Fasilitas Lainnya Untuk keperluan penginapan, wisatawan dapat memperoleh jasa hotel di Kota Waikabukak, Ibu Kota Kabupaten Sumba Barat. Di kota ini juga tersedia berbagai restoran dengan menu masakan khas Sumba. Tak hanya itu, jika memiliki waktu yang cukup, cobalah menuju pusat-pusat suvenir di kota ini untuk membeli kain ikat khas Sumba. Kain ini terkenal indah dan sangat cocok sebagai buah tangan. 3. TRADISI PEMAKAMAN ORANG MENINGGAL Prosesinya membutuhkan waktu lima hari sampai satu minggu. Pada tiga hari pertama, adalah proses menunggu kedatangan semua keluarga dan sanak famili. Selama waktu tersebut jenasah diawetkan secara tradisinal dan dijaga oleh kerabat terdekat di rumah adat keluarga. Sebagai jamuan untuk tamu yang datang, pihak tuan rumah akan menyembelih babi dua atau tiga ekor menyesuaikan jumlah orang yang hadir. Sanak saudara dan kenalan yang datang akan membawa kain, sarung atau parang sesuai hubungan keluarganya dengan almarhum. Pada hari keempat dan setelahnya, proses dilanjutkan dengan pembukaan batu kubur. Biasanya batu kubur atau makam ini terletak di depan rumah adat keluarga yang bersangkutan. Saat membuka batu kubur itulah disembelih hewan berupa kerbau yang tanduknya nanti akan diletakkan di dekat batu kubur itu pada bagian kepala. Pada hari penguburan, keluarga dan kerabat akan datang membawa kerbau atau kuda untuk disembelih. Jumlah hewan yang disembelih biasanya sekitar 15 ekor bergantung pada status sosial keluarga.

4. MAKANAN KHAS Sebagai daerah yang mayoritas lahannya adalah lahan kering, maka jenis tumbuhan yang tumbuh di sumba sangat terbatas. Dan yang paling mayoritas daun ubi umbi-umbian jagung singkong daun papaya kangkung,kacang panjang,dan sejenisnya.karena itu makanan khas sumba byasanya berbahan dasar umbi-umbian tersebut.

Beberapa di antaranya 1. Ouhu Kangojang yakni makanan yang terbuat dari singkong mentah di potong-potong,dan dimasak bersama beras. Penyajiannya bersama sayur daun singkong yang ditumbuk bersama bumbu dan dimasak dengan santan kental. 2. Ouhu Kariwang yakni terbuat dari campuran beras, labu kuning, dan daun mudanya serta bunganya. 3. Kue Putu yakni terbuat dari tepung ketan,kacang tanah,kelapa,gula dan cara buatnya dengan di kukus Dan uniknya lagi orang sumba,cara menghilangkan bulu ayam setelah di sembelih yakni dengan cara di bakar sampai bulu-bulunya bersih 5. RUMAH ADAT Rumah adat Sumba bernama Umma Kalada atau Umma Rato yang berarti rumah besar. Yakni rumah beratap alang yang terdiri dari tiga tingkat. Tingkat pertama dari bawah yakni binatang peliharaan dan tingkat ke dua yaitu untuk tempat tinggal orang yang mempunnyai rumah tersebut, dan yang tingkat ke tiga adalah untuk menyimpan makanan dan lumbung padi. 6. TARIAN DAERAH Sumba memiliki berbagai tarian tradisional, yang paling terkenal adalah tarian Kataga dan tarian Woleka . Tarian Kataga adalah tarian yang melambangkan kegagahan pemuda Sumba pada zaman perang dahulu. Sedangkan tarian Woleka adalah tarian yang melambangkan keanggunan para putri Sumba.

BAB III

PENUTUP
A. KESIMPULAN Berbagai budaya menjadikan Indonesia Negara multicultural. Walaupun demikian, jika sebagai generasi bangsa kita tidak menjaga kelestarian budaya kita, kita akan kehilangan identitas Negara kita. Untuk melestarikannya, kita perlu mengetahui lebih jauh tentang setiap kebuadayaan itu dengan pasti. B. SARAN Mengingat banyaknya kekurangan dalam penulisan makalah ini, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari pembaca agar dapat menyempurnakan pembahasan makalah ini. Akhir kata, penulis berharap makah ini dapat membawa manfaat bagi pembaca.

Anda mungkin juga menyukai