Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

Dosen pengampu :hasyim

Tentang :

ORGANISASI PAPUA MERDEKA

Disusun oleh :

Klompok 1 (satu)

1. Lalu hairul fahmi TI172000


2. khairul kahfi TI172000
3. Sapwan Hafiz TI172000
4. rudi irawan TI172000
5. Warizal ilwi TI172000
6. Ihza dirgantara TI172000

STMIK LOMBOK

PROGRAM STUDI TEHNIK INFORMATIKA KLS A

PRAYA TAHUN 2021

KATA PENGANTAR
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR 1
DAFTAR ISI 2
BAB 1
PENDAHULUAN 3
Type chapter title (level 1) 4
Type chapter title (level 2) 5
Type chapter title (level 3) 6
BAB 1
PENDAHULUAN
A.LATAR BLAKANG

1.Pengertian Organisasi Papua Merdeka (OPM)


Organisasi Papua Merdeka (OPM) adalah sebuah organisasi yang dibentuk pada tahun
1965 dengan tujuan membantu dan melaksanakan penggulingan pemerintahan yang saat ini
berdiri di provinsi Papua dan Papua Barat di Indonesia, sebelumnya bernama Irian Jaya,
memisahkan diri dari Indonesia, dan menolak pembangunan ekonomi dan modernitas. Menurut
tokoh Papua Nicolaas Jouwe, Organisasi Papua Merdeka dibentuk pada 1965 pada saat pecahnya
peristiwa Gerakan 30 September, oleh para serdadu Belanda di Papua dengan tujuan untuk
memusuhi Republik Indonesia dan mengganggu keamanan di wilayah paling timur dan paling
baru negara Indonesia.
Organisasi ini sempat mendapatkan dana dari pemerintah Libya pimpinan Muammar Gaddafi
dan pelatihan dari grup gerilya New People’s Army beraliran Maois yang ditetapkan sebagai
organisasi teroris asing oleh Departemen Keamanan Nasional Amerika Serikat.
Organisasi ini dianggap tidak sah di Indonesia. Perjuangan meraih kemerdekaan di tingkat
provinsi dapat dituduh sebagai tindakan pengkhianatan terhadap negara. Sejak berdiri, OPM
berusaha mengadakan dialog diplomatik, mengibarkan bendera Bintang Kejora, dan
melancarkan aksi militan sebagai bagian dari konflik Papua.
Para pendukungnya sering membawa-bawa bendera Bintang Kejora dan simbol persatuan Papua
lainnya, seperti lagu kebangsaan “Hai Tanahku Papua” dan lambang nasional. Lambang nasional
tersebut diadopsi sejak tahun 1961 sampai pemerintahan Indonesia diaktifkan bulan Mei 1963
sesuai Perjanjian New York.

2.Sejarah OPM (Organisasi Papua Merdeka)


Berdirinya OPM berawal darai pengaruh pemerintahan Belanda pada masa Residen J. P.
Eechoud yang ditandai dengan lahirnya elit Papua terdidik yang bersikap pro-Papua. Belanda
akan memberi kemerdekaan kepada Papua Barat selambat-lambatnya tahun 1970-an, namun
cita-cita Papua Barat untuk menjadi negara yang merdeka telah dihadang oleh Perjanjian New
York (15 Agustus 1962) antara Belanda dengan Indonesia yang tidak melibatkan bangsa Papua
dan Papua Barat menjadi wilayah Indonesia.

Puncak permasalahan politik di Irian Jaya bermula pada perbedaan pandangan antara
pihak Indonesia dengan Belanda di dalam KMB akhir tahun 1949. Dalam perundingan itu pihak
Indonesia dan Belanda tidak berhasil mencapai kesepakatan mengenai wilayah kedaulatan
Indonesia. Delegasi Indonesia yang di ketuai oleh Moh. Hatta tidak mau mundur dari sikap yang
pernah dipegang para nasionalis sebelum proklamasi. Bahwa wilayah Indonesia meliputi seluruh
wilayah Hindia Belanda. Keinginan Indonesia untukmemasukkan Irian Barat ke daam
wilayahnya telah melahirkan kesepakatan dengan Belanda, bahwa penyelesaian tentang Irian
Barat di tunda setahun kemudian.
Penundaan penyelesaian Irian Barat telah dimanfaatkan oleh pemerintah Belanda, yaitu
dengan mendirikan lembaga-lembaga untuk mempersiapkan orang-orang Irian dalam
menghadapi kemerdekaan. Dipihak lain untuk menghadapi politik dekolonisasi dari pemerintah
Belanda, maka Presiden Soekarno mencetuskan Trikora. Dimana Trikora merupakan momentum
politik bagi pemerintah Indonesia, sebab dengan Trikora pemerintah Belanda dipaksa untuk
menandatangi perjanjian New York. Dengan perjanjian New York ini Belanda akan melakukan
pengalihan administrasi di Irian Barat kepada UNTEA 1Oktober 1962 dan 1 Mei 1963 UNTEA
akan menyerahkan Irian Barat kepada Indonesia. Dan Indonesia berkewajiban melaksanakan
Pepera, akhirnya Pepera dilaksanakan oleh Indonesia dengan hasil yang diterima oleh Majelis
umum PBB . Hasil Pepera menunjukan bahwa rakyat Irian Barat bergabung dengan Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Namun dengan hasil Pepera yaitu rakyat Irian Barat bergabung dengan NKRI, ternyata
menimbulkan pro dan kontra diantara rakyat Irian Barat iti sendiri. Alasan rakyat yang kontra
dengan Pepera adalah persetujuan politik Belanda dengan Indonesia yang melahirkan perjanjian
New York 1962 itu tidak melibatkan bangsa Papua (wakilnya) sebagai bangsa dan tanah air yang
dipersengketakan . Nama Organisasi Papua Merdeka (OPM) adalah nama yang diberikan oleh
pemerintah RI kepada setiap organisasi atau faksi baik di Irian Jaya maupun di luar negeri yang
dipimpin oleh putra-putra Irian Jaya yang pro Papua Barat dengan tujuan untuk memisahkan atau
memerdekakan Irian Jaya(Papua Barat lepas dari NKRI).

Sedangkan alasan OPM melakukan pemberontakan di Irian Jaya adalah adanya ketidak
puasan terhadap keadaan , kekecewaan dan telah tumbuh suatu kesadaran nasionalisme Papua
Barat. OPM lahir dan tumbuh berkembang di Irian Jaya. Pada awalnya, OPM ini terdiri dari dua
fraksi, 1) organisasi atau fraksi yang didirikan oleh Aser Demotekay tahun 1963 di Jayapura, 2)
organisasi atau fraksi yang didirikan oleh Terianus Aronggoar di Manokwari tahun 1964. kedua
fraksi ini bergerak dibawah tanah (JRG. Djopari, 1993)

3.Perjuangan Organisasi Papua Merdeka (OPM)


Perjuangan OPM dalam mencapai tujuannya juga mencari dukungan sebagian besar
masyarakat Irian Jaya, terutama rakyat yang anti Indonesia atau pro Papua. Di antara dukungan
yang diberikan oleh rakyat Irian Jaya kepada OPM adalah terlibat dalam aksi-aksi OPM,
memberikan dukungan sandang, pangan, obat-obatan dan dana, memberikan dukungan semangat
dan dorongan kepada OPM, memberi pemikiran (Tuhana Taufik A, 2006).

Dukungan terhadap OPM bukan saja diberikan oleh rakyat Irian Jaya di desa, tetapi juga
oleh aparat xix pemerintah sipil dan kaum terpelajar yaitu cendekiawan, mahasiswa dan pelajar
termasuk kelompok kecil ABRI dan polisi (JRG. Djopari, 1993). Organisasi Papua Merdeka
(OPM) guna mencapai cita-citanya yaitu kemerdekaan Papua Barat, OPM mencari dukungan
politik luar negeri selain aktivitasnya di dalam negeri ( Irian Jaya). Pencarian dukungan ke luar
negeri seperti dilakukan OPM sejak tahun 1951, tujuan OPM terutama untuk mencari dukungan
politik, dan mencari dukungan senjata atau bantuan persenjataan.

4.Deklarasi Republik Papua Barat


Protes “Bebaskan Papua Barat” di Melbourne, Australia, Agustus 2012
Menanggapi hal tersebut, Nicolaas Jouwe dan dua komandan OPM, Seth Jafeth Roemkorem dan
Jacob Hendrik Prai, berencana mendeklarasikan kemerdekaan Papua pada tahun 1971. Tanggal 1
Juli 1971, Roemkorem dan Prai mendeklarasikan Republik Papua Barat dan segera merancang
konstitusinya. Konflik strategi antara Roemkorem dan Prai berujung pada perpecahan OPM
menjadi dua faksi: PEMKA yang dipimpin Prai dan TPN yang dipimpin Roemkorem.
Perpecahan ini sangat memengaruhi kemampuan OPM sebagai suatu pasukan tempur yang
terpusat.

Sejak 1976, para pejabat perusahaan pertambangan Freeport Indonesia sering menerima
surat dari OPM yang mengancam perusahaan dan meminta bantuan dalam rencana
pemberontakan musim semi. Perusahaan menolak bekerja sama dengan OPM. Mulai 23 Juli
sampai 7 September 1977, milisi OPM melaksanakan ancaman mereka terhadap Freeport dan
memotong jalur pipa slurry dan bahan bakar, memutus kabel telepon dan listrik, membakar
sebuah gudang, dan meledakkan bom di sejumlah fasilitas perusahaan. Freeport memperkirakan
kerugiannya mencapai $123.871,23.

Tahun 1982, Dewan Revolusi OPM (OPMRC) didirikan dan di bawah kepemimpinan
Moses Werror, OPMRC berusaha meraih kemerdekaan melalui kampanye diplomasi
internasional. OPMRC bertujuan mendapatkan pengakuan internasional untuk kemerdekaan
Papua Barat melalui forum-forum internasional seperti PBB, Gerakan Non-Blok, Forum Pasifik
Selatan, dan ASEAN. Tahun 1984, OPM melancarkan serangan di Jayapura, ibu kota provinsi
dan kota yang didominasi orang Indonesia non-Melanesia. Serangan ini langsung diredam militer
Indonesia dengan aksi kontra-pemberontakan yang lebih besar. Kegagalan ini menciptakan
eksodus pengungsi Papua yang diduga dibantu OPM ke kamp-kamp di Papua Nugini.

Tanggal 14 Februari 1986, Freeport Indonesia mendapatkan informasi bahwa OPM


kembali aktif di daerah mereka dan sejumlah karyawan Freeport adalah anggota atau simpatisan
OPM. Tanggal 18 Februari, sebuah surat yang ditandatangani “Jenderal Pemberontak”
memperingatkan bahwa “Pada hari Rabu, 19 Februari, akan turun hujan di Tembagapura”.
Sekitar pukul 22:00 WIT, sejumlah orang tak dikenal memotong jalur pipa slurry dan bahan
bakar dengan gergaji, sehingga “banyak slurry, bijih tembaga, perak, emas, dan bahan bakar
diesel yang terbuang.” Selain itu, mereka membakar pagar jalur pipa dan menembak polisi yang
mencoba mendekati lokasi kejadian. Tanggal 14 April 1986, milisi OPM kembali memotong
jalur pipa, memutus kabel listrik, merusak sistem sanitasi, dan membakar ban. Kru teknisi
diserang OPM saat mendekati lokasi kejadian, sehingga Freeport terpaksa meminta bantuan
polisi dan militer.

Dalam insiden terpisah pada bulan Januari dan Agustus 1996, OPM menawan sejumlah
orang Eropa dan Indonesia, pertama dari grup peneliti, kemudian dari kamp hutan. Dua sandera
dari grup pertama dibunuh dan sisanya dibebaskan. Bulan Juli 1998, OPM mengibarkan bendera
mereka di menara air kota Biak di pulau Biak. Mereka menetap di sana selama beberapa hari
sebelum militer Indonesia membubarkan mereka. Filep Karma termasuk di antara orang-orang
yang ditangkap. Tanggal 24 Oktober 2011, Dominggus Oktavianus Awes, kepala polisi Mulia,
ditembak oleh orang tak dikenal di Bandara Mulia, Puncak Jaya. Kepolisian Indonesia menduga
sang penembak adalah anggota OPM. Rangkaian serangan terhadap polisi Indonesia memaksa
mereka menerjunkan lebih banyak personil di Papua.

Pada tanggal 21 Januari 2012, orang-orang bersenjata yang diduga anggota OPM
menembak mati seorang warga sipil yang sedang menjaga warung. Ia adalah transmigran asal
Sumatera Barat.  Tanggal 8 Januari 2012, OPM melancarkan serangan ke bus umum yang
mengakibatkan kematian 3 warga sipil dan 1 anggota TNI. 4 lainnya juga cedera. Tanggal 31
Januari 2012, seorang anggota OPM tertangkap membawa 1 kilogram obat-obatan terlarang di
perbatasan Indonesia-Papua Nugini. Obat-obatan tersebut diduga akan dijual di Jayapura.

Tanggal 8 April 2012, OPM menyerang sebuah pesawat sipil Trigana Air setelah mendarat yang
akan parkir di Bandara Mulia, Puncak Jaya, Papua. Lima militan bersenjata OPM tiba-tiba
melepaskan tembakan ke pesawat, sehingga pesawat kehilangan kendali dan menabrak sebuah
bangunan. Satu orang tewas, yaitu Leiron Kogoya, seorang jurnalis Papua Pos yang mengalami
luka tembak di leher. Pilot Beby Astek dan Kopilot Willy Resubun terluka akibat pecahan
peluru. Yanti Korwa, seorang ibu rumah tangga, terluka di lengan kanannya dan anaknya yang
berusia 4 tahun, Pako Korwa, terluka di tangan kirinya. Pasca-serangan, para militan mundur ke
hutan sekitar bandara. Semua korban adalah warga sipil.

Tanggal 1 Juli 2012, patroli keamanan rutin yang diserang OPM mengakibatkan seorang warga
sipil tewas. Korban adalah presiden desa setempat yang ditembak di bagian kepala dan perut.
Seorang anggota TNI terluka oleh pecahan kaca. Tanggal 9 Juli 2012, tiga orang diserang dan
tewas di Paniai, Papua. Salah satu korban adalah anggota TNI. Dua lainnya adalah warga sipil,
termasuk bocah berusia 8 tahun. Bocah tersebut ditemukan dengan luka tusuk di bagian dada.

Tanggal 28 Juli 1965 adalah awal dari gerakan-gerakan kemerdekaan Papua Barat yang
ditempeli satu label yaitu OPM (Organisasi Papua Merdeka).

Lahirnya OPM di kota Manokwari pada tanggal itu ditandai dengan penyerangan orang-orang
Arfak terhadap barak pasukan Batalyon 751 (Brawijaya) di mana tiga orang anggota kesatuan itu
dibunuh. Picu “proklamasi OPM” yang pertama itu adalah penolakan para anggota Batalyon
Papua (PVK = Papoea Vrijwilligers Korps ) dari suku Arfak dan Biak untuk didemobilisasi, serta
penahanan orang-orang Arfak yang mengeluh ke penguasa setempat karena pengangguran yang
tinggi serta kekurangan pangan di kalangan suku itu (Ukur dan Cooley, 1977: 287; Osborne,
1985: 35-36; Sjamsuddin, 1989: 96-97; Whitaker, 1990: 51).

Pada tanggal 14 Desember 1988, sekitar 60 orang berkumpul di stadion Mandala di kota
Jayapura, untuk menghadiri upacara pembacaan “proklamasi OPM” serta “pengibaran bendera
OPM” yang kesekian kali. Peristiwa ini agak berbeda dari peristiwa-peristiwa serupa
sebelumnya. Soalnya, untuk pertama kalinya, bukan bendera Papua Barat hasil rancangan
seorang Belanda di masa pemerintahan Belanda yang dikibarkan, melainkan sebuah bendera
baru rancangan si pembaca proklamasi, Thomas Wanggai, yang dijahit oleh isterinya yang
berkebangsaan Jepang, Ny. Teruko Wanggai.

Selain itu, Wanggai tidak menggunakan istilah “Papua Barat”, seperti para pencetus proklamasi-
proklamasi OPM maupun para pengibar bendera OPM sebelumnya, melainkan
memproklamasikan berdirinya negara “Melanesia Barat”. Kemudian, Thomas Wanggai sendiri
adalah pendukung OPM berpendidikan paling tinggi sampai saat itu. Ia telah menggondol gelar
Doktor di bidang Hukum dan Administrasi Publik dari Jepang dan AS, sebelum melamar bekerja
di kantor gubernur Irian Jaya di Jayapura.

Dibandingkan dengan gerakan-gerakan nasionalisme Papua sebelumnya, gerakan Tom Wanggai


mendapat perhatian yang paling luas dan terbuka dari masyarakat Irian Jaya. Sidang pengadilan
negeri di Jayapura yang menghukumnya dengan 20 tahun penjara tertinggi dibandingkan dengan
vonis-vonis sebelumnya untuk para aktivis OPM mendapat perhatian luas.

Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat


Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB), ialah sayap militer Organisasi Papua
Merdeka (OPM). TPNPB dibentuk pada 26 Maret 1973, setelah Proklamasi Kemerdekaan Papua
Barat pada 1 Juli 1971 di Markas Besar Victoria. Pembentukan TPNPB adalah Tentara Papua
Barat berdasarkan Konstitusi Sementara Republik Papua Barat yang didirikan pada tahun 1971
di Bab V bagian Pertahanan dan Keamanan. Sejak 2012 lewat reformasi TPN, Jenderal. Goliath
Tabuni diangkat sebagai Komandan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat.

5.Penyimpangan OPM Terhadap Sila Pancasila


Organisasi Papua Merdeka (OPM) dinilai telah melakukan penyimpangan terhadap sila
ke-3 dari pancasila yang berbunyi “Persatuan Indonesia”. Nilai persatuan indonesia mengandung
makna usaha ke arah bersatu dalam kebulatan rakyat untuk membina rasa nasionalisme dalam
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Persatuan Indonesia sekaligus mengakui dan menghargai
sepenuhnya terhadap keanekaragaman yang dimiliki bangsa indonesia.
Organisasi Papua Merdeka (OPM) adalah sebuah gerakan nasionalis yang didirikan tahun 1965
yang bertujuan untuk mewujudkan kemerdekaan Papua bagian barat dari pemerintahan
Indonesia. Sebelum era reformasi, provinsi yang sekarang terdiri atas Papua dan Papua Barat ini
dipanggil dengan nama Irian Jaya.

OPM merasa bahwa mereka tidak memiliki hubungan sejarah dengan bagian Indonesia yang lain
maupun negara-negara Asia lainnya. Penyatuan wilayah ini ke dalam NKRI sejak tahun 1969
merupakan buah perjanjian antara Belanda dengan Indonesia dimana pihak Belanda
menyerahkan wilayah tersebut yang selama ini dikuasainya kepada bekas jajahannya yang
merdeka, Indonesia. Perjanjian tersebut oleh OPM dianggap sebagai penyerahan dari tangan satu
penjajah kepada yang lain.

Menutur hasil diskusi kelompok kami hal ini dinilai sangat bertentangan dengan sila ke-3
pancasila yaitu “Persatuan Indonesia” dimana menurut kami apabila Papua berhasil memisahkan
diri dari Indonesia berarti telah terjadi perpecahan dalam Negara Indonesia yang akan
mengakibatkan kerugian untuk Negara Indonesia sendiri. Selain itu Negara-negara lain akan
memandang lemah bangsa Indonesia karena dinilai tidak dapat mempertahankan wilayahnya
sehingga kemungkinan Indonesia dijajah kembali akan muncul. Selain itu, gerakan Papua
merdeka ini juga dapat memancing kerusuhan daerah-daerah lain yang ingin memisahkan diri
juga dari Indonesia.

6.Penyebab Konflik Sosial OPM


Menurut tim Papua Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) membagi sumber konflik
Papua ke dalam empat isu Utama:

1.sejarah integrasi dan status identitas politik. Pada problem ini konflik papua di dasarkan
pada adanya perbedaan cara pandang antara nasionalis Indonesia dan nasionalis Papua
atas sejarah peralihan papua kekuasaan papua dari Belanda ke Indonesia. Nasionalis
Indonesia memandang polemik penyerahan kekuasaan dan status politik Papua telah
selesai dengan adanya PEPERA 1969 dan di terimanya  hasil penentuan tersebut  oleh
majelis umum sidang PBB. Sementara, nasionalis Papua berpandangan PEPERA 1969
itu sendiri terjadi banyak kecurangan yang di lakukan oleh pemerintah Indonesia, kalah
itu termasuk dalam 1.025 perwakilan warga.Terlebih nasionalis papua berpegang pada
insiden 1 desmber 1961.

2.problem kekerasan politik dan pelanggaran HAM. Lipi mencatat problem ini muncul 
sebagai ekses dari pandangan dari keutuhan NKRI adalah  harga mati dan gagasan
memisahkan diri  merupakan tindakan melawan  hukum yang di kemudian di
identifikasikan secara militeristik sehingga upaya tersebut di artikan dengan
menggunakan pendekatan keamanan sebagai solusi untuk mengakhiri perbedaan.
Hasilnya rakyat Papua mengalami kekerasan politik dan terlanggar hak asasinya akibat
pelaksanaan tugas memerangi organisasi Papua Merdeka (OPM). Negara seharusnya
hadir sebagai institusi yang mensejahterahkan justru muncul sebagai sosok yang berwajah
sangar.

3.adalah problem kegagalan pembangunan. Topik pembangunan di jadikan salah satu isu
utama yang menjadi akar konflik di Papua  di karenahkan adanya ketimpangan yang
terjadi. Gap ekonomi dan pembangunan, jika di bandingkan dengan daerah lain, lalu
diskriminasi kebijakan pusat ke daerah dan eksploitasi besar-besaran yang di lakukan
terhadap kekayaan alam Papua  adalah beberapa hal yang menjadikan  pemerintah gagal
melakukan pembangunan di Papua. Ironisnya, data menunjukan pembangunan ekonomi
justru lebih banyak di lakukan di erah sebelum  dari pada setelah pelaksanaan
otsus.kondisi ini di perparah dengan adanya tingkat kecemburuan sosial yang tinggi
antara penduduk asli  dan pendatang atas penguasaan sektor perekonomian.

4.persoalan marginalisasi orang papua dan inkonsistensi kebijakan otsus. Seperti juga
telah di singgung Amich Alhumami,praktek marginalisaidapat jelas terlihat di Papua. Tim
lipi menjelaskan marginalisasi dapat di lihat pada asprk demografi, sosial politik, sosial
ekonomi dan sosial budaya, seringkali di identikan dengan kegiatan separatisme.
Sedangkan dari bidang politik terutama di erah orde baru, orang  Papua tercatat beberapa
kali menduduki jabatan gubernur

7.Sejarah Konfik Papua


Ketika Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, Indonesia
mengklaim seluruh wilayah Hindia Belanda, termasuk wilayah barat Pulau Papua. Namun
demikian, pihak Belanda menganggap wilayah itu masih menjadi salah satu provinsi Kerajaan
Belanda, sama dengan daerah-daerah lainnya. Pemerintah Belanda kemudian memulai persiapan
untuk menjadikan Papua negara merdeka selambat-lambatnya pada tahun 1970-an.

Namun pemerintah Indonesia menentang hal ini dan Papua menjadi daerah yang
diperebutkan antara Indonesia dan Belanda. Hal ini kemudian dibicarakan dalam beberapa
pertemuan dan dalam berbagai forum internasional. Dalam Konferensi Meja Bundar tahun 1949,
Belanda dan Indonesia tidak berhasil mencapai keputusan mengenai Papua Barat, namun setuju
bahwa hal ini akan dibicarakan kembali dalam jangka waktu satu tahun.

Pada bulan Desember 1950, PBB memutuskan bahwa Papua Barat memiliki hak merdeka
sesuai dengan pasal 73e Piagam PBB. Karena Indonesia mengklaim Papua Barat sebagai
daerahnya, Belanda mengundang Indonesia ke Mahkamah Internasional untuk menyelesaikan
masalah ini, namun Indonesia menolak. Setelah Indonesia beberapa kali menyerang Papua Barat,
Belanda mempercepat program pendidikan di Papua Barat untuk persiapan kemerdekaan.
Hasilnya antara lain adalah sebuah akademi angkatan laut yang berdiri pada 1956 dan tentara
Papua pada 1957.

Sebagai kelanjutan, pada 1956 Indonesia membentuk Provinsi Irian Barat dengan ibukota
di Soasiu yang berada di Pulau Halmahera, dengan gubernur pertamanya, Zainal Abidin Syah.
Pada tanggal 6 Maret 1959, harian New York Times melaporkan penemuan emas oleh
pemerintah Belanda di dekat laut Arafura. Pada tahun 1960, Freeport Sulphur menandatangani
perjanjian dengan Perserikatan Perusahaan Borneo Timur untuk mendirikan tambang tembaga di
Timika, namun tidak menyebut kandungan emas ataupun tembaga.

Bendera Papua’Barat, sekarang digunakan sebagai bendera Organisasi Papua Merdeka


Karena usaha pendidikan Belanda, pada tahun 1959 Papua memiliki perawat, dokter gigi, arsitek,
teknisi telepon, teknisi radio, teknisi listrik, polisi, pegawai kehutanan, dan pegawai meteorologi.
Kemajuan ini dilaporkan kepada PBB dari tahun 1950 sampai 1961. Selain itu juga diadakan
berbagai pemilihan umum untuk memilih perwakilan rakyat Papua dalam pemerintahan, mulai
dari tanggal 9 Januari 1961 di 15 distrik. Hasilnya adalah 26 wakil, 16 di antaranya dipilih, 23
orang Papua, dan 1 wanita. Dewan Papua ini dilantik oleh gubernur Platteel pada tanggal 1 April
1961, dan mulai menjabat pada 5 April 1961. Pelantikan ini dihadiri oleh wakil-wakil dari
Australia, Britania Raya, Perancis, Belanda dan Selandia Baru. Amerika Serikat diundang tapi
menolak.

Dewan Papua bertemu pada tanggal 19 Oktober 1961 untuk memilih sebuah komisi
nasional untuk kemerdekaan, bendera Papua, lambang negara, lagu kebangsaan (”Hai Tanahkoe
Papua”), dan nama Papua. Pada tanggal 31 Oktober 1961, bendera Papua dikibarkan untuk
pertama kali dan manifesto kemerdekaan diserahkan kepada gubernur Platteel. Belanda
mengakui bendera dan lagu kebangsaan Papua pada tanggal 18 November 1961, dan peraturan-
peraturan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Desember 1961. Pada 19 Desember 1961, Soekarno
menanggapi’pembentukan Dewan Papua ini dengan menyatakan Trikora di Yogyakarta, yang
isinya adalah:

1.Gagalkan pembentukan negara boneka Papua buatan kolonial Belanda.

2.Kibarkan Sang Saka Merah Putih di seluruh Irian Barat

3.Bersiaplah untuk mobilisasi umum, mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan tanah


air bangsa

8.Kegiatan yang di lakukan opm

Grafiti Gerakan Papua Merdeka di Sentani, Papua


1970-anMulai tahun 1976, pejabat di perusahaan pertambangan Freeport
Indonesia menerima surat dari OPM yang mengancam perusahaan dan meminta bantuan dalam
rencana pemberontakan di musim semi. Perusahaan menolak bekerja sama dengan OPM. Dari
Juli hingga 7 September 1977, pemberontak OPM melakukan ancaman terhadap Freeport dan
memotong pipa bubur dan bahan bakar , memotong kabel telepon dan listrik, membakar gudang,
dan meledakkan bahan peledak di berbagai fasilitas. Freeport memperkirakan kerugian sebesar
$US123.871,23.
1980-an
Pada tahun 1982 Dewan Revolusi OPM (OPMRC) didirikan, dan di bawah kepemimpinan
Moses Werror OPMRC telah mencari kemerdekaan melalui kampanye diplomasi
internasional. OPMRC bertujuan untuk memperoleh pengakuan internasional atas kemerdekaan
West Papua melalui forum-forum internasional seperti Perserikatan Bangsa-
Bangsa, Gerakan Bangsa-Bangsa Non-Blok , Forum Pasifik Selatan dan Perhimpunan Bangsa-
Bangsa Asia Tenggara .
Pada tahun 1984 OPM melancarkan serangan ke Jayapura , ibu kota provinsi dan kota yang
didominasi oleh orang Indonesia non-Melanesia. Serangan itu dengan cepat ditolak oleh militer
Indonesia, yang mengikutinya dengan aktivitas kontra-pemberontakan yang lebih luas. Hal ini
memicu eksodus pengungsi Papua , yang tampaknya didukung oleh OPM, ke kamp-kamp di
seberang perbatasan di Papua Nugini .
Pada 14 Februari 1986, Freeport Indonesia mendapat informasi bahwa OPM kembali aktif di
wilayahnya, dan beberapa pegawai Freeport adalah anggota atau simpatisan OPM. Pada tanggal
18 Februari, sebuah surat yang ditandatangani oleh "Jenderal Pemberontak" memperingatkan
bahwa "Pada Rabu 19, akan ada hujan di TembagapuraSekitar pukul 22:00 malam itu beberapa
orang tak dikenal memotong pipa bubur dan bahan bakar Freeport dengan gergaji besi,
menyebabkan "kehilangan besar bubur, yang mengandung bijih tembaga, perak dan emas dan
bahan bakar diesel." Selain itu, para penyabot membakar di sepanjang istirahat di saluran bahan
bakar, dan menembak polisi yang mencoba mendekati api. Pada 14 April tahun yang sama,
pemberontak OPM memotong lebih banyak pipa, memotong kabel listrik, merusak pipa, dan
membakar ban peralatan. Kru perbaikan diserang oleh tembakan OPM sebagai mereka
mendekati lokasi kerusakan, sehingga Freeport meminta bantuan polisi dan militer. 
1990-an Protes Free West Papua di Belanda, 2008
Dalam insiden terpisah pada Januari dan Agustus 1996, OPM menangkap sandera Eropa dan
Indonesia; pertama dari kelompok penelitian dan kemudian dari kamp penebangan . Dua sandera
dari kelompok sebelumnya tewas dan sisanya dibebaskan.
Pada Juli 1998 OPM mengibarkan bendera kemerdekaan di menara air Kota Biak di
pulau Biak . Mereka tinggal di sana selama beberapa hari berikutnya sebelum Tentara Indonesia
membubarkan kelompok itu. Filep Karma termasuk di antara mereka yang ditangkap.
2000 dan seterusnya
Pada tahun 2009, sebuah kelompok komando OPM yang dipimpin oleh Jenderal Goliath Tabuni
(Kabupaten Puncak Jaya) ditampilkan dalam laporan penyamaran tentang gerakan kemerdekaan
Papua Barat. 
Pada tanggal 24 Oktober 2011, Adj. Komisaris Dominggus Oktavianus Awes, Kapolres Mulia,
ditembak oleh orang tak dikenal di Bandara Mulia di Kabupaten Puncak Jaya. Polisi Nasional
Indonesia menuduh para pelaku adalah anggota kelompok separatis Gerakan Papua Merdeka
(OPM). Serangkaian serangan mendorong pengerahan lebih banyak personel ke Papua. 
Pada 21 Januari 2012, orang-orang bersenjata, yang diyakini sebagai anggota OPM, menembak
dan membunuh seorang warga sipil yang sedang menjalankan kios pinggir jalan. Ia adalah
seorang transmigran dari Sumatera Barat. 
Pada tanggal 8 Januari 2012, OPM melakukan penyerangan terhadap sebuah bus umum yang
menyebabkan tewasnya tiga warga sipil dan satu anggota pasukan keamanan Indonesia. Empat
orang lainnya juga terluka.
Protes Free West Papua di Melbourne, Agustus 2012
Pada tanggal 31 Januari 2012, seorang anggota OPM tertangkap membawa 1 kilogram (2,2 lb)
narkoba di Perbatasan Indonesia – Papua Nugini. Diduga narkoba tersebut akan dijual di kota
Jayapura.
Pada tanggal 8 April 2012, sumber media Indonesia menuduh bahwa anggota bersenjata OPM
melakukan serangan terhadap pesawat sipil yang diterbangkan oleh Trigana Air pada layanan
terjadwal setelah mendarat dan meluncur menuju apron di Bandara Mulia di Puncak Jaya,
Papua. Lima gerilyawan OPM bersenjata tiba-tiba melepaskan tembakan ke pesawat yang
bergerak, menyebabkannya lepas kendali dan menabrak sebuah gedung. Satu orang tewas,
Leiron Kogoya, wartawan Papua Pos, mengalami luka tembak di leher. Di antara mereka yang
terluka adalah pilot, Beby Astek, dan co-pilot, Willy Resubun, keduanya terluka oleh pecahan
peluru; Yanti Korwa, seorang ibu rumah tangga yang terkena pecahan peluru di lengan
kanannya, dan bayinya yang berusia empat tahun, Pako Korwa, yang terkena pecahan peluru di
tangan kirinya.  Menanggapi tuduhan tersebut, sumber media Papua Barat membantah bahwa
OPM bertanggung jawab atas serangan itu, menuduh bahwa militer Indonesia telah menyerang
pesawat itu sebagai bagian dari operasi bendera palsu .
Pada bulan Desember 2012, seorang calon tentara bayaran Australia yang dilatih dalam pelatihan
yang diatur oleh perusahaan pelatihan militer/polisi di Ukraina ,ditangkap di Australia karena
berencana melatih OPM.Dia kemudian mengaku bersalah atas pelatihan penggunaan senjata atau
bahan peledak dengan tujuan melakukan pelanggaran terhadap Undang - Undang Kejahatan
(Serangan Asing dan Perekrutan Asing) 1978 . 
Pada tanggal 26 April 2018, seorang simpatisan OPM Polandia dan seorang nasionalis sayap
kanan ditangkap di Wamena bersama dengan empat orang Papua yang digambarkan polisi terkait
dengan “kelompok kriminal bersenjata” dan didakwa melakukan makar. Ia kemudian dijatuhi
hukuman lima tahun penjara . 
Pada 1 Desember 2018, kelompok bersenjata yang terkait dengan OPM menculik 25 pekerja
konstruksi sipil di Kabupaten Nduga , Papua. Keesokan harinya, kelompok itu membunuh 19
pekerja dan seorang tentara.Salah satu pekerja konstruksi diduga memotret kelompok yang
mengibarkan bendera Bintang Kejora pada perayaan kemerdekaan - yang dianggap sebagai
tindakan ilegal oleh pihak berwenang Indonesia.Para pekerja konstruksi sedang membangun
bagian dari jalan raya Trans Papua yang bertujuan untuk menghubungkan masyarakat terpencil
di Papua.Beberapa hari setelah kejadian, OPM diduga mengirim surat terbuka kepada Presiden
Indonesia Joko Widodo, menuntut kemerdekaan Papua, menolak proyek pembangunan
infrastruktur pemerintah pusat, dan menuntut hak jurnalis asing dan pekerja bantuan untuk
masuk ke Papua. Dalam pembalasan untuk memperoleh tubuh pekerja dibantai, militer Indonesia
diduga dilakukan serangan udara pada setidaknya empat desa dan digunakan fosfor
putih , sebuah senjata kimia yang dilarang oleh banyak negara dan organisasi
internasional.Namun hal ini dibantah oleh pemerintah Indonesia. 
Protes Papua 2019 

9.strategi pemerintah dalam menangani opm


Indonesia memiliki tanggung jawab untuk menjaga kedaulatan bangsa dan negara dari
segala ancaman asing  yang ingin merusak tatanan kehidupan NKRI, salah satu cara yang
dilakukan oleh Pemerintah Indonesia adalah melakukan kontra propaganda atas propaganda yang
dilakukan oleh OPM.  Propaganda yang dilakukan oleh OPM mencakup empat isu-isu non-
tradisional, yaitu HAM, Demokrasi, Kerusakan Lingkungan, dan  Kesamaan Ras dan Latar
Belakang. Isu-isu tersebut dilakukan melalui 3 jalur, yaitu media online, diskusi dan kampanye
politik, dan pendekatan secara personal ke tokoh-tokoh strategis di melanesia spearhead group
MSG. Strategi yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia ini bertujuan untuk mengurai
persoalan dalam strategi kontra propaganda serta bagaimana pemerintah Indoensia  memelihara
hubungan diplomatik dengan negara-negara anggota MSG. Metode yang digunakan ialah
metodologi kualitatif deskriptif analitik, kemudian teori yang digunakan ialah teori  strategi dan
teori diplomasi publik. Hasil Penelitian menemukan bahwa Pemerintah Indonesia telah
melakukan beberapa langkah konkrit. Ada 3 langkah yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia,
yaitu menguatkan pembinaan teritorial oleh TNI AD di Papua, meng-counter isu-isu yang
dipropagandakan oleh OPM melalui dukungan tekhnologi dan informasi, dan melalui jalur
diplomasi. Upaya pemerintah Indonesia melakukan diplomasi terhadap negara-negara MSG,
terutama Republik Vanuatu, dilakukan dengan menggunakan pendekatan diplomasi total. Dalam
prakteknya Pemerintah Indonesia telah melakukan 4 upaya diplomasi, antara lain diplomasi
bilateral, diplomasi budaya, diplomasi ekonomi kemaritiman, dan Bali Democracy Forum.
Meskipun demikian, strategi Pemerintah Indonesia masih belum berhasil dikarenakan Indonesia
minim menggunakan non state actor sebagai bagian garda terdepan dalam melakukan kontra-
propaganda.

10.Solusi Konflik Papua


Hingga saat ini, konflik itu belumlah usai, malah semakin meruncing. Menurut Wakil Ketua
Komisi I DPR TB Hassanudin, melihat data tindakan kekerasan yang terjadi dalam 18 bulan
terakhir, korban telah berjatuhan tersebar di hampir semua kota di wilayah Papua. Menurut Ben
Mboi, mantan tentara yang pernah ikut upaya pembebasan Irian barat, pemerintah belum
mengutamakan nation building.
Selama ini pemerintah hanya mengembangkan state building yang hanya sebatas teritorial, bukan
membangun manusianya. Maka dari itu, pengembangan state buildingerat kaitannya dengan
motif ekonomi. Ketimpangan ekonomi dalam perspektif tersendiri, menjadi salah satu alasan
utama konflik di Papua. Untuk itu, saya ingin menganalogikan konflik Papua dengan peristiwa
Quiet Revolution di Kanada (1960-1966).

1. Belajar dari Quebec


Quiet Revolution dikenal sebagai periode yang konfliktual sejarah Kanada, dimana periode ini
menandai kebangkitan separatisme Quebec. Namun, salah satu hal menarik yang bisa dipelajari
dari kasus ini adalah, bahwa melalui hubungan yang konfliktual antara pemerintah federal
dengan pemerintah Quebec dan berhasilnya konstruksi nasionalisme Quebecois tersebutlah,
konsep koeksistensi masyarakat keturunan Inggris dan masyarakat keturunan Perancis
mendapatkan tempatnya di Kanada.

Untuk menanggulangi konflik ketidakpuasan politik yang terjadi di Quebec, PM Kanada kala itu,
Pierre Trudeuau memberlakukan Official Languages Act yang secara resmi membuat Kanada
menjadi negara dwibahasa. Diberlakukannya Official Language Act menunjukkan bahwa
pemerintah Kanada tidak lagi mendiskriminasikan, mengabaikan, atau menutup mata terhadap
keluhan warga Quebecois. Kondisi ekonomi pun semakin membaik karena perdagangan mulai
berjalan seimbang dan adil.

Kita dapat memahami dari contoh kasus ini, bahwa di dalam sebuah negara demokratis yang
menolak penggunaan kekuatan militer sebagai jalan cepat penyelesaian konflik separatisme,
negosiasi dan debat konstitusi merupakan jalan yang paling legal dan akomodatif. Dalam
konteks separatisme di Quebec, pemerintah federal memberikan ruang seluas-luasnya bagi warga
Quebec untuk berdebat dan mempertahankan argumen-argumen mereka sebagai bagian dari
upaya mereka menentukan arah masa depan negara.

2. Pendekatan Keamanan vs Kesejahteraan


Pemerintah Kanada percaya bahwa kebebasan berwacana tidak perlu dibatasi, dan bahwa
tindakan inkonstitusional seperti separatisme seharusnya dikelola dan dibatasi oleh jaring
konstitusi, melalui upaya-upaya negosiasi. Akan tetapi, pendekatan kekerasan dan stigma
terhadap orang Papua yang diangggap bodoh dan separatis, yang dipraktekkan pemerintah kita,
justru membuat warga merasa tak diterima. Pendekatan militeristiklah yang membuat orang
Papua berpikir untuk merdeka, setidaknya itu ungkapan Ketua Sinode Kingmi Benny Giay

Penulis menganggap masalah yang timbul di Papua adalah akibat inkonsistensi pemerintah
dalam pelaksanaan otonomi khusus. Kebijakan yang ada tidaklah mampu mengakomodasi
kepentingan warga Papua, bahkan cenderung diskriminatif terhadap mereka. Pemerintah federal
Kanada, yang secara kasar dapat kita sebut representasi warga keturunan Inggris, telah berhasil
menjalankan kewajibannya untuk menjamin kesetaraan bagi warga keturunan Perancis,
sedangkan, pemerintah kita cenderung mengutamakan pendekatan keamanan daripada
pendekatan kesejahteraan.

Fakta berbicara bahwa pemerintah pusat mengalokasikan sebesar 15 persen dari dana nasional
untuk dana alokasi Papua. Ini pun belum termasuk dana tambahan yang jumlahnya ditetapkan
DPR atas usulan dari Gubernur. Ditambah dengan dana Otsus yang setiap lima tahun mencapai
30 triliun, harusnya pembangunan Papua sudah sangat terjamin. Dengan dana sebesar itu, kalau
memang masih ada konflik berarti ada salah urus kebijakan di Papua, dan hal itu wajib diselidiki
KPK, maupun pihak-pihak terkait.

Pijakan pembangunan yang terlalu berpihak kepada pendatang dan secara otomatis
menyingkirkan eksistensi orang asli, harus dihilangkan. Semua kalangan harus mendapat akses
ekonomi yang equal. Selain itu, kehadiran aparat memang penting, akan tetapi harus didampingi
oleh orang-orang yang paham metode-metode penyelesaian konflik. Pembangunan yang dikawal
dengan aparat yang represif berpotensi menimbulkan benih bertumbuhnya nasionalisme Papua.
Dan kondisi seperti ini harus direduksir dari hulu.

Tidak ada salahnya kita belajar dari bagaimana pemerintah Kanada berhasil meredam
separatisme di wilayah mereka. Walau memang, hasilnya belum mampu menekan secara total
kelompok separatisme di Quebec, namun para pendukung gerakan ini semakin berkurang
junlahnya di setiap pemilu. Oleh karena itu, manajemen konflik pemerintah kanada dalam
menyelesaikan konflik ini seringkali dipandang dunia sebagai sebuah model demokrasi
konsesional yang paling berhasil dalam kasus pengelolaan konflik interkultural dalam sebuah
negara.

Terakhir, kedamaian dan keadilan di Papua hanya bisa diperoleh melalui dialog. Dialog tidak
akan mengambil nyawa siapapun, malah akan bermuara pada kesejahteraan. Dialog hanya
menakutkan bagi mereka yang selama ini mengambil keuntungan dari kekacauan, kekerasan,
ketidakjelasan, dan status quo. Mereka yang anti dialog adalah orang-orang yang menjadikan
kekerasan dan ketidakadilan sebagai sumber mata pencaharian dan kekuasaan yang biasanya
mengatasnamakan bangsa dan negara atau mengatasnamakan rakyat Papua, atau bahkan
mengatasnamakan suku atau agama[9]. Dilain pihak, kordinator Jaringan Damai Papua (JDP)
berpendapat bahwa solusi konflik papua yaitu :

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:

1.Penjelasan mengenai Organisasi Papua Merdeka (OPM)?

2. Apa yang melatar belakangi munculnya Organisasi Papua Merdeka?

3. Bagaimana perjuangan Organisasi Papua Merdeka?


4.Deklarasi Republik Papua Barat?

5.Penyimpangan OPM Terhadap Sila Pancasila?


6.Penyebab Konflik Sosial opm?
7.Sejarah Konfik Papua?

8.kegiatan atau komplik yang di akibatkan oleh opm?


9.strategi pemerintah dalam menangani opm

10.Solusi Konflik Papua?

C. Tujuan
1.untuk mengetahui penjelasan mengenai Organisasi Papua Merdeka (OPM)?

2. untuk mengetahui apa yang melatar belakangi munculnya Organisasi Papua Merdeka?

3. untuk mengetahui bagaimana perjuangan Organisasi Papua Merdeka?

4.untuk mengetahui sejarah deklarasi Republik Papua Barat?

5.untuk mengetahui penyimpangan OPM Terhadap Sila Pancasila?


6.untuk mengetahui penyebab Konflik Sosial opm?
7.untuk mengetahui sejarah komplik papua?
8. untuk mengetahui kegiatan atau komplik yang di akibatkan oleh opm?
9.untuk mengetahui strategi pemerintah dalam menangani opm

10.mengetahui solusi Konflik Papua?

D.Mamfaat
1.Untuk menambah wawasan dan pengetahuan tentang opm organisasi Papua Merdeka
2.mengetahui apa yang melatar belakangi munculnya Organisasi Papua Merdeka
3.mengetahui bagaimana perjuangan Organisasi Papua Merdeka
4.mengetahui sejarah deklarasi Republik Papua Barat
5.mengetahui penyimpangan OPM Terhadap Sila Pancasila

6.mengetahui penyebab Konflik Sosial opm

7.mengetahui kegiatan atau komplik yang di akibatkan oleh opm

8.untuk mengetahui strategi pemerintah dalam menangani opm


9.mengetahui solusi Konflik Papua?

10.Memperluas wawasan bagi penulis pada khususnya dan para pembaca pada umumnya

Anda mungkin juga menyukai