PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
Tentang :
Disusun oleh :
Klompok 1 (satu)
STMIK LOMBOK
KATA PENGANTAR
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR 1
DAFTAR ISI 2
BAB 1
PENDAHULUAN 3
Type chapter title (level 1) 4
Type chapter title (level 2) 5
Type chapter title (level 3) 6
BAB 1
PENDAHULUAN
A.LATAR BLAKANG
Puncak permasalahan politik di Irian Jaya bermula pada perbedaan pandangan antara
pihak Indonesia dengan Belanda di dalam KMB akhir tahun 1949. Dalam perundingan itu pihak
Indonesia dan Belanda tidak berhasil mencapai kesepakatan mengenai wilayah kedaulatan
Indonesia. Delegasi Indonesia yang di ketuai oleh Moh. Hatta tidak mau mundur dari sikap yang
pernah dipegang para nasionalis sebelum proklamasi. Bahwa wilayah Indonesia meliputi seluruh
wilayah Hindia Belanda. Keinginan Indonesia untukmemasukkan Irian Barat ke daam
wilayahnya telah melahirkan kesepakatan dengan Belanda, bahwa penyelesaian tentang Irian
Barat di tunda setahun kemudian.
Penundaan penyelesaian Irian Barat telah dimanfaatkan oleh pemerintah Belanda, yaitu
dengan mendirikan lembaga-lembaga untuk mempersiapkan orang-orang Irian dalam
menghadapi kemerdekaan. Dipihak lain untuk menghadapi politik dekolonisasi dari pemerintah
Belanda, maka Presiden Soekarno mencetuskan Trikora. Dimana Trikora merupakan momentum
politik bagi pemerintah Indonesia, sebab dengan Trikora pemerintah Belanda dipaksa untuk
menandatangi perjanjian New York. Dengan perjanjian New York ini Belanda akan melakukan
pengalihan administrasi di Irian Barat kepada UNTEA 1Oktober 1962 dan 1 Mei 1963 UNTEA
akan menyerahkan Irian Barat kepada Indonesia. Dan Indonesia berkewajiban melaksanakan
Pepera, akhirnya Pepera dilaksanakan oleh Indonesia dengan hasil yang diterima oleh Majelis
umum PBB . Hasil Pepera menunjukan bahwa rakyat Irian Barat bergabung dengan Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Namun dengan hasil Pepera yaitu rakyat Irian Barat bergabung dengan NKRI, ternyata
menimbulkan pro dan kontra diantara rakyat Irian Barat iti sendiri. Alasan rakyat yang kontra
dengan Pepera adalah persetujuan politik Belanda dengan Indonesia yang melahirkan perjanjian
New York 1962 itu tidak melibatkan bangsa Papua (wakilnya) sebagai bangsa dan tanah air yang
dipersengketakan . Nama Organisasi Papua Merdeka (OPM) adalah nama yang diberikan oleh
pemerintah RI kepada setiap organisasi atau faksi baik di Irian Jaya maupun di luar negeri yang
dipimpin oleh putra-putra Irian Jaya yang pro Papua Barat dengan tujuan untuk memisahkan atau
memerdekakan Irian Jaya(Papua Barat lepas dari NKRI).
Sedangkan alasan OPM melakukan pemberontakan di Irian Jaya adalah adanya ketidak
puasan terhadap keadaan , kekecewaan dan telah tumbuh suatu kesadaran nasionalisme Papua
Barat. OPM lahir dan tumbuh berkembang di Irian Jaya. Pada awalnya, OPM ini terdiri dari dua
fraksi, 1) organisasi atau fraksi yang didirikan oleh Aser Demotekay tahun 1963 di Jayapura, 2)
organisasi atau fraksi yang didirikan oleh Terianus Aronggoar di Manokwari tahun 1964. kedua
fraksi ini bergerak dibawah tanah (JRG. Djopari, 1993)
Dukungan terhadap OPM bukan saja diberikan oleh rakyat Irian Jaya di desa, tetapi juga
oleh aparat xix pemerintah sipil dan kaum terpelajar yaitu cendekiawan, mahasiswa dan pelajar
termasuk kelompok kecil ABRI dan polisi (JRG. Djopari, 1993). Organisasi Papua Merdeka
(OPM) guna mencapai cita-citanya yaitu kemerdekaan Papua Barat, OPM mencari dukungan
politik luar negeri selain aktivitasnya di dalam negeri ( Irian Jaya). Pencarian dukungan ke luar
negeri seperti dilakukan OPM sejak tahun 1951, tujuan OPM terutama untuk mencari dukungan
politik, dan mencari dukungan senjata atau bantuan persenjataan.
Sejak 1976, para pejabat perusahaan pertambangan Freeport Indonesia sering menerima
surat dari OPM yang mengancam perusahaan dan meminta bantuan dalam rencana
pemberontakan musim semi. Perusahaan menolak bekerja sama dengan OPM. Mulai 23 Juli
sampai 7 September 1977, milisi OPM melaksanakan ancaman mereka terhadap Freeport dan
memotong jalur pipa slurry dan bahan bakar, memutus kabel telepon dan listrik, membakar
sebuah gudang, dan meledakkan bom di sejumlah fasilitas perusahaan. Freeport memperkirakan
kerugiannya mencapai $123.871,23.
Tahun 1982, Dewan Revolusi OPM (OPMRC) didirikan dan di bawah kepemimpinan
Moses Werror, OPMRC berusaha meraih kemerdekaan melalui kampanye diplomasi
internasional. OPMRC bertujuan mendapatkan pengakuan internasional untuk kemerdekaan
Papua Barat melalui forum-forum internasional seperti PBB, Gerakan Non-Blok, Forum Pasifik
Selatan, dan ASEAN. Tahun 1984, OPM melancarkan serangan di Jayapura, ibu kota provinsi
dan kota yang didominasi orang Indonesia non-Melanesia. Serangan ini langsung diredam militer
Indonesia dengan aksi kontra-pemberontakan yang lebih besar. Kegagalan ini menciptakan
eksodus pengungsi Papua yang diduga dibantu OPM ke kamp-kamp di Papua Nugini.
Dalam insiden terpisah pada bulan Januari dan Agustus 1996, OPM menawan sejumlah
orang Eropa dan Indonesia, pertama dari grup peneliti, kemudian dari kamp hutan. Dua sandera
dari grup pertama dibunuh dan sisanya dibebaskan. Bulan Juli 1998, OPM mengibarkan bendera
mereka di menara air kota Biak di pulau Biak. Mereka menetap di sana selama beberapa hari
sebelum militer Indonesia membubarkan mereka. Filep Karma termasuk di antara orang-orang
yang ditangkap. Tanggal 24 Oktober 2011, Dominggus Oktavianus Awes, kepala polisi Mulia,
ditembak oleh orang tak dikenal di Bandara Mulia, Puncak Jaya. Kepolisian Indonesia menduga
sang penembak adalah anggota OPM. Rangkaian serangan terhadap polisi Indonesia memaksa
mereka menerjunkan lebih banyak personil di Papua.
Pada tanggal 21 Januari 2012, orang-orang bersenjata yang diduga anggota OPM
menembak mati seorang warga sipil yang sedang menjaga warung. Ia adalah transmigran asal
Sumatera Barat. Tanggal 8 Januari 2012, OPM melancarkan serangan ke bus umum yang
mengakibatkan kematian 3 warga sipil dan 1 anggota TNI. 4 lainnya juga cedera. Tanggal 31
Januari 2012, seorang anggota OPM tertangkap membawa 1 kilogram obat-obatan terlarang di
perbatasan Indonesia-Papua Nugini. Obat-obatan tersebut diduga akan dijual di Jayapura.
Tanggal 8 April 2012, OPM menyerang sebuah pesawat sipil Trigana Air setelah mendarat yang
akan parkir di Bandara Mulia, Puncak Jaya, Papua. Lima militan bersenjata OPM tiba-tiba
melepaskan tembakan ke pesawat, sehingga pesawat kehilangan kendali dan menabrak sebuah
bangunan. Satu orang tewas, yaitu Leiron Kogoya, seorang jurnalis Papua Pos yang mengalami
luka tembak di leher. Pilot Beby Astek dan Kopilot Willy Resubun terluka akibat pecahan
peluru. Yanti Korwa, seorang ibu rumah tangga, terluka di lengan kanannya dan anaknya yang
berusia 4 tahun, Pako Korwa, terluka di tangan kirinya. Pasca-serangan, para militan mundur ke
hutan sekitar bandara. Semua korban adalah warga sipil.
Tanggal 1 Juli 2012, patroli keamanan rutin yang diserang OPM mengakibatkan seorang warga
sipil tewas. Korban adalah presiden desa setempat yang ditembak di bagian kepala dan perut.
Seorang anggota TNI terluka oleh pecahan kaca. Tanggal 9 Juli 2012, tiga orang diserang dan
tewas di Paniai, Papua. Salah satu korban adalah anggota TNI. Dua lainnya adalah warga sipil,
termasuk bocah berusia 8 tahun. Bocah tersebut ditemukan dengan luka tusuk di bagian dada.
Tanggal 28 Juli 1965 adalah awal dari gerakan-gerakan kemerdekaan Papua Barat yang
ditempeli satu label yaitu OPM (Organisasi Papua Merdeka).
Lahirnya OPM di kota Manokwari pada tanggal itu ditandai dengan penyerangan orang-orang
Arfak terhadap barak pasukan Batalyon 751 (Brawijaya) di mana tiga orang anggota kesatuan itu
dibunuh. Picu “proklamasi OPM” yang pertama itu adalah penolakan para anggota Batalyon
Papua (PVK = Papoea Vrijwilligers Korps ) dari suku Arfak dan Biak untuk didemobilisasi, serta
penahanan orang-orang Arfak yang mengeluh ke penguasa setempat karena pengangguran yang
tinggi serta kekurangan pangan di kalangan suku itu (Ukur dan Cooley, 1977: 287; Osborne,
1985: 35-36; Sjamsuddin, 1989: 96-97; Whitaker, 1990: 51).
Pada tanggal 14 Desember 1988, sekitar 60 orang berkumpul di stadion Mandala di kota
Jayapura, untuk menghadiri upacara pembacaan “proklamasi OPM” serta “pengibaran bendera
OPM” yang kesekian kali. Peristiwa ini agak berbeda dari peristiwa-peristiwa serupa
sebelumnya. Soalnya, untuk pertama kalinya, bukan bendera Papua Barat hasil rancangan
seorang Belanda di masa pemerintahan Belanda yang dikibarkan, melainkan sebuah bendera
baru rancangan si pembaca proklamasi, Thomas Wanggai, yang dijahit oleh isterinya yang
berkebangsaan Jepang, Ny. Teruko Wanggai.
Selain itu, Wanggai tidak menggunakan istilah “Papua Barat”, seperti para pencetus proklamasi-
proklamasi OPM maupun para pengibar bendera OPM sebelumnya, melainkan
memproklamasikan berdirinya negara “Melanesia Barat”. Kemudian, Thomas Wanggai sendiri
adalah pendukung OPM berpendidikan paling tinggi sampai saat itu. Ia telah menggondol gelar
Doktor di bidang Hukum dan Administrasi Publik dari Jepang dan AS, sebelum melamar bekerja
di kantor gubernur Irian Jaya di Jayapura.
OPM merasa bahwa mereka tidak memiliki hubungan sejarah dengan bagian Indonesia yang lain
maupun negara-negara Asia lainnya. Penyatuan wilayah ini ke dalam NKRI sejak tahun 1969
merupakan buah perjanjian antara Belanda dengan Indonesia dimana pihak Belanda
menyerahkan wilayah tersebut yang selama ini dikuasainya kepada bekas jajahannya yang
merdeka, Indonesia. Perjanjian tersebut oleh OPM dianggap sebagai penyerahan dari tangan satu
penjajah kepada yang lain.
Menutur hasil diskusi kelompok kami hal ini dinilai sangat bertentangan dengan sila ke-3
pancasila yaitu “Persatuan Indonesia” dimana menurut kami apabila Papua berhasil memisahkan
diri dari Indonesia berarti telah terjadi perpecahan dalam Negara Indonesia yang akan
mengakibatkan kerugian untuk Negara Indonesia sendiri. Selain itu Negara-negara lain akan
memandang lemah bangsa Indonesia karena dinilai tidak dapat mempertahankan wilayahnya
sehingga kemungkinan Indonesia dijajah kembali akan muncul. Selain itu, gerakan Papua
merdeka ini juga dapat memancing kerusuhan daerah-daerah lain yang ingin memisahkan diri
juga dari Indonesia.
1.sejarah integrasi dan status identitas politik. Pada problem ini konflik papua di dasarkan
pada adanya perbedaan cara pandang antara nasionalis Indonesia dan nasionalis Papua
atas sejarah peralihan papua kekuasaan papua dari Belanda ke Indonesia. Nasionalis
Indonesia memandang polemik penyerahan kekuasaan dan status politik Papua telah
selesai dengan adanya PEPERA 1969 dan di terimanya hasil penentuan tersebut oleh
majelis umum sidang PBB. Sementara, nasionalis Papua berpandangan PEPERA 1969
itu sendiri terjadi banyak kecurangan yang di lakukan oleh pemerintah Indonesia, kalah
itu termasuk dalam 1.025 perwakilan warga.Terlebih nasionalis papua berpegang pada
insiden 1 desmber 1961.
2.problem kekerasan politik dan pelanggaran HAM. Lipi mencatat problem ini muncul
sebagai ekses dari pandangan dari keutuhan NKRI adalah harga mati dan gagasan
memisahkan diri merupakan tindakan melawan hukum yang di kemudian di
identifikasikan secara militeristik sehingga upaya tersebut di artikan dengan
menggunakan pendekatan keamanan sebagai solusi untuk mengakhiri perbedaan.
Hasilnya rakyat Papua mengalami kekerasan politik dan terlanggar hak asasinya akibat
pelaksanaan tugas memerangi organisasi Papua Merdeka (OPM). Negara seharusnya
hadir sebagai institusi yang mensejahterahkan justru muncul sebagai sosok yang berwajah
sangar.
3.adalah problem kegagalan pembangunan. Topik pembangunan di jadikan salah satu isu
utama yang menjadi akar konflik di Papua di karenahkan adanya ketimpangan yang
terjadi. Gap ekonomi dan pembangunan, jika di bandingkan dengan daerah lain, lalu
diskriminasi kebijakan pusat ke daerah dan eksploitasi besar-besaran yang di lakukan
terhadap kekayaan alam Papua adalah beberapa hal yang menjadikan pemerintah gagal
melakukan pembangunan di Papua. Ironisnya, data menunjukan pembangunan ekonomi
justru lebih banyak di lakukan di erah sebelum dari pada setelah pelaksanaan
otsus.kondisi ini di perparah dengan adanya tingkat kecemburuan sosial yang tinggi
antara penduduk asli dan pendatang atas penguasaan sektor perekonomian.
4.persoalan marginalisasi orang papua dan inkonsistensi kebijakan otsus. Seperti juga
telah di singgung Amich Alhumami,praktek marginalisaidapat jelas terlihat di Papua. Tim
lipi menjelaskan marginalisasi dapat di lihat pada asprk demografi, sosial politik, sosial
ekonomi dan sosial budaya, seringkali di identikan dengan kegiatan separatisme.
Sedangkan dari bidang politik terutama di erah orde baru, orang Papua tercatat beberapa
kali menduduki jabatan gubernur
Namun pemerintah Indonesia menentang hal ini dan Papua menjadi daerah yang
diperebutkan antara Indonesia dan Belanda. Hal ini kemudian dibicarakan dalam beberapa
pertemuan dan dalam berbagai forum internasional. Dalam Konferensi Meja Bundar tahun 1949,
Belanda dan Indonesia tidak berhasil mencapai keputusan mengenai Papua Barat, namun setuju
bahwa hal ini akan dibicarakan kembali dalam jangka waktu satu tahun.
Pada bulan Desember 1950, PBB memutuskan bahwa Papua Barat memiliki hak merdeka
sesuai dengan pasal 73e Piagam PBB. Karena Indonesia mengklaim Papua Barat sebagai
daerahnya, Belanda mengundang Indonesia ke Mahkamah Internasional untuk menyelesaikan
masalah ini, namun Indonesia menolak. Setelah Indonesia beberapa kali menyerang Papua Barat,
Belanda mempercepat program pendidikan di Papua Barat untuk persiapan kemerdekaan.
Hasilnya antara lain adalah sebuah akademi angkatan laut yang berdiri pada 1956 dan tentara
Papua pada 1957.
Sebagai kelanjutan, pada 1956 Indonesia membentuk Provinsi Irian Barat dengan ibukota
di Soasiu yang berada di Pulau Halmahera, dengan gubernur pertamanya, Zainal Abidin Syah.
Pada tanggal 6 Maret 1959, harian New York Times melaporkan penemuan emas oleh
pemerintah Belanda di dekat laut Arafura. Pada tahun 1960, Freeport Sulphur menandatangani
perjanjian dengan Perserikatan Perusahaan Borneo Timur untuk mendirikan tambang tembaga di
Timika, namun tidak menyebut kandungan emas ataupun tembaga.
Dewan Papua bertemu pada tanggal 19 Oktober 1961 untuk memilih sebuah komisi
nasional untuk kemerdekaan, bendera Papua, lambang negara, lagu kebangsaan (”Hai Tanahkoe
Papua”), dan nama Papua. Pada tanggal 31 Oktober 1961, bendera Papua dikibarkan untuk
pertama kali dan manifesto kemerdekaan diserahkan kepada gubernur Platteel. Belanda
mengakui bendera dan lagu kebangsaan Papua pada tanggal 18 November 1961, dan peraturan-
peraturan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Desember 1961. Pada 19 Desember 1961, Soekarno
menanggapi’pembentukan Dewan Papua ini dengan menyatakan Trikora di Yogyakarta, yang
isinya adalah:
Untuk menanggulangi konflik ketidakpuasan politik yang terjadi di Quebec, PM Kanada kala itu,
Pierre Trudeuau memberlakukan Official Languages Act yang secara resmi membuat Kanada
menjadi negara dwibahasa. Diberlakukannya Official Language Act menunjukkan bahwa
pemerintah Kanada tidak lagi mendiskriminasikan, mengabaikan, atau menutup mata terhadap
keluhan warga Quebecois. Kondisi ekonomi pun semakin membaik karena perdagangan mulai
berjalan seimbang dan adil.
Kita dapat memahami dari contoh kasus ini, bahwa di dalam sebuah negara demokratis yang
menolak penggunaan kekuatan militer sebagai jalan cepat penyelesaian konflik separatisme,
negosiasi dan debat konstitusi merupakan jalan yang paling legal dan akomodatif. Dalam
konteks separatisme di Quebec, pemerintah federal memberikan ruang seluas-luasnya bagi warga
Quebec untuk berdebat dan mempertahankan argumen-argumen mereka sebagai bagian dari
upaya mereka menentukan arah masa depan negara.
Penulis menganggap masalah yang timbul di Papua adalah akibat inkonsistensi pemerintah
dalam pelaksanaan otonomi khusus. Kebijakan yang ada tidaklah mampu mengakomodasi
kepentingan warga Papua, bahkan cenderung diskriminatif terhadap mereka. Pemerintah federal
Kanada, yang secara kasar dapat kita sebut representasi warga keturunan Inggris, telah berhasil
menjalankan kewajibannya untuk menjamin kesetaraan bagi warga keturunan Perancis,
sedangkan, pemerintah kita cenderung mengutamakan pendekatan keamanan daripada
pendekatan kesejahteraan.
Fakta berbicara bahwa pemerintah pusat mengalokasikan sebesar 15 persen dari dana nasional
untuk dana alokasi Papua. Ini pun belum termasuk dana tambahan yang jumlahnya ditetapkan
DPR atas usulan dari Gubernur. Ditambah dengan dana Otsus yang setiap lima tahun mencapai
30 triliun, harusnya pembangunan Papua sudah sangat terjamin. Dengan dana sebesar itu, kalau
memang masih ada konflik berarti ada salah urus kebijakan di Papua, dan hal itu wajib diselidiki
KPK, maupun pihak-pihak terkait.
Pijakan pembangunan yang terlalu berpihak kepada pendatang dan secara otomatis
menyingkirkan eksistensi orang asli, harus dihilangkan. Semua kalangan harus mendapat akses
ekonomi yang equal. Selain itu, kehadiran aparat memang penting, akan tetapi harus didampingi
oleh orang-orang yang paham metode-metode penyelesaian konflik. Pembangunan yang dikawal
dengan aparat yang represif berpotensi menimbulkan benih bertumbuhnya nasionalisme Papua.
Dan kondisi seperti ini harus direduksir dari hulu.
Tidak ada salahnya kita belajar dari bagaimana pemerintah Kanada berhasil meredam
separatisme di wilayah mereka. Walau memang, hasilnya belum mampu menekan secara total
kelompok separatisme di Quebec, namun para pendukung gerakan ini semakin berkurang
junlahnya di setiap pemilu. Oleh karena itu, manajemen konflik pemerintah kanada dalam
menyelesaikan konflik ini seringkali dipandang dunia sebagai sebuah model demokrasi
konsesional yang paling berhasil dalam kasus pengelolaan konflik interkultural dalam sebuah
negara.
Terakhir, kedamaian dan keadilan di Papua hanya bisa diperoleh melalui dialog. Dialog tidak
akan mengambil nyawa siapapun, malah akan bermuara pada kesejahteraan. Dialog hanya
menakutkan bagi mereka yang selama ini mengambil keuntungan dari kekacauan, kekerasan,
ketidakjelasan, dan status quo. Mereka yang anti dialog adalah orang-orang yang menjadikan
kekerasan dan ketidakadilan sebagai sumber mata pencaharian dan kekuasaan yang biasanya
mengatasnamakan bangsa dan negara atau mengatasnamakan rakyat Papua, atau bahkan
mengatasnamakan suku atau agama[9]. Dilain pihak, kordinator Jaringan Damai Papua (JDP)
berpendapat bahwa solusi konflik papua yaitu :
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
C. Tujuan
1.untuk mengetahui penjelasan mengenai Organisasi Papua Merdeka (OPM)?
2. untuk mengetahui apa yang melatar belakangi munculnya Organisasi Papua Merdeka?
D.Mamfaat
1.Untuk menambah wawasan dan pengetahuan tentang opm organisasi Papua Merdeka
2.mengetahui apa yang melatar belakangi munculnya Organisasi Papua Merdeka
3.mengetahui bagaimana perjuangan Organisasi Papua Merdeka
4.mengetahui sejarah deklarasi Republik Papua Barat
5.mengetahui penyimpangan OPM Terhadap Sila Pancasila
10.Memperluas wawasan bagi penulis pada khususnya dan para pembaca pada umumnya