Anda di halaman 1dari 7

NAMA KELOMPOK: 1.

ZAINAL FAHMI

2. M.ABDUL GHONI

3. IVAN ADRIANS A
Pada waktu itu, orang menamakan panggilan itu aneka warna. Ada yang
mengatakan panggilan Ibu pertiwi dan sebagainya. Bagi umat Islam,
panggilan itu sudah 13 abad, yaitu “wa jahidu fi sabilillah”, dengan taat
tunduk menyerahkan diri kepada Allah
Swt. – Mohammad
Natsir-

Dalam membaca sejarah, kita akan dihadapkan dengan dua kemungkinan;


realita atau distorsi. Tidak dapat dimungkiri, bahwa Sejarah yang ditulis
sangat tergantung pada interpretasi sejarawan. Interpretasi inilah yang akan
menghasilkan produk sejarah yang jujur maupun yang manipulatif.
Sejarawan, Prof.Ahmad Mansur Suryanegara mengungkap banyak sekali
distorsi Sejarah yang diajarkan pada pelajar Indonesia. Di antaranya adalah
kiprah umat Islam dalam kemerdekaan Indonesia yang “ditiadakan”. Temuan
tersebut diamini Sejarawan UI, Dr.Tiar Anwar Bachtiar dengan menulis
buku “Sejarah Nasional Indonesia Perspektif Baru”, Beliau memunculkan
fakta yang sebelumnya – sengaja – “disembunyikan”. Semisal tokoh-tokoh
Muslim, eksistensi Kejaraan Islam, dan kiprah organisasi Islam dalam meraih
kemerdekaan.

Dalam Tafsir al-Azhar, Prof.Hamka membuat uraian khusus tentang


rangkuman strategi misionaris Kristen dan Orientalis dalam menyerang
Islam. Antara lain, Hamka mencatat: “Diajarkan secara halus apa yang
dinamai nasionalisme, dan hendaklah Nasionalisme diputuskan dengan
Islam. Sebab itu bangsa Indonesia hendaklah mencintai Gajah Mada
daripada Raden Patah. Orang Mesir lebih memuja Fir’aun daripada
mengagungkan sejarah Islam…” (Lihat, Hamka, Tafsir al-Azhar, hal 300).
Pernyataan Hamka benar adanya, sejarah Indonesia yang dikenalkan sejak
dini adalah sejarah simbol-simbol Hindu dan Budha. Wajar, jika kemudian
negara ini lebih dikenal dengan Candi ketimbang masjid atau pesantren.
Distorsi atas sejarah eksistensi umat Islam dalam memerjuangkan
kemedekaan Indonesia menjadi satu babak yang menarik untuk dikaji.
Polanya sama; meniadakan yang ada, mengadakan yang tidak ada.
Eksistensi Islam ditiadakan, mitos-mitos Hindu-Budha disemarakan. Ini
sengaja dilakukan oleh Kolonialis-Orientalis. Mereka menjajah dengan cara
cerdas. Bukan hanya fisik yang dicabik-cabik, tapi juga pengetahuan yang
diputarbalik. Gagal menguasai “fisik” bangsa Indonesia, mereka berhasil
menjajah pengetahuan anak bangsa. Pengaburan sejarah diantaranya.

Pengaburan sejarah kemerdekaan menjadi sangat penting dalam perspektif


politik. Politik kolonial dalam pendidikan sejarah Indonesia berhasil membuat
bangsa lupa akan latar belakang berdirinya bangsa ini; dasar perjuangan
para pahlawan merebut kemerdekaan. Maka tulisan ini berusaha
menghadirkan kiprah para pahlawan (baca: umat Islam) yang selama ini
banyak disembunyikan.

K.H.Hasyim Asy’ari dan sejumlah ulama lainnya menyatakan bahwa awalnya


Soekarno tidak mau memproklamirkan Kemerdekaan Republik Indonesia
karena dihalangi Inggris dan diancam akan dibuat seperti Hiroshima dan
Nagasaki. Namun atas dorongan dan desakan para Ulama, akhirnya
Soekarno mau. Para Ulama pada saat itu berpendapat jika tidak segera
Memproklamirkan Kemerdekaan, maka Indonesia harus menunggu
kemerdekaan selama 300 tahun mendatang.

Desakan para Ulama akan proklamasi adalah satu dari banyak kiprah Umat
Islam dalam mempersembahkan kemerdekaan. Perlawanan terhadap
Kolonial selalu dimotori para Ulama. Pekik Takbir yang menjadi simbol Jihad
fi Sabilillah menjadi dasar para pejuang dalam mengusir penjajah. Nahdlatul
Ulama tentu tidak akan melupakan “Resolusi Jihad” yang dicetuskan
gurunya, Hasyim Asy’ari. Resolusi Jihad itu di antaranya berisi seruan untuk
berjihad melawan penjajahan. Dan Resolusi itulah yang kemudian membakar
dada Bung Tomo untuk menggemakan takbir di langit Surabaya. Berikut
petikan pidato Bung Tomo:
Dan kita yakin saudara-saudara, pada akhirnya pastilah kemenangan akan
jatuh ke tangan kita.Sebab Allah selalu berada di pihak yang benar.
Percayalah saudara-saudara, Tuhan akan melindungi kita sekalian. Allahu
Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar! Merdeka!!!

Bermodalkan semangat Tauhid, KH.Hasyim Asy’ari dan santrinya tak gentar


melawan kecanggihan senjata musuh. Mereka bahkan membentuk kesatuan
militer yang dinamai dengan Hizbullah dan Sabilillah. Fatwa Hasyim Asy’ari
tentang hukum membela agama dan tanah air mengilhami umat Islam
Indonesia untuk terus melawan. Dan itu memperkuat kesimpulan Belanda
bahwa Pesantren adalah tempat yang berbahaya bagi penjajah. Karena dari
Pesantren-lah perlawanan itu meletus.

Jauh sebelum Resolusi Jihad difatwakan, Indonesia telah banjir dengan darah
para Syuhada. Pangeran Dipenogoro, Pangeran Antasari, Fatahillah, Syarif
Hidayatullah, Teuku Cik Ditiro, Cut Nyak Dien, Hasanuddin Imam Bonjol,
Sultan Mahmud Syah adalah sebagian kecil pejuang yang menumpahkan
darahnya demi bangsa Indonesia, di atas dasar Jihad fi Sabilillah.
Semangat fi sabilillah ini tampak salah satunya dalam Perang Aceh. Perang
ini berlangsung cukup lama (1873 – 1910) antara Kesultanan Aceh dan
Belanda. Dan Perang ini oleh Belanda dianggap perang yang menyulitkan.
Indikasinya adalah lamanya Belanda dalam menaklukan Aceh. Semangat
Jihad Aceh tak mampu dibendung oleh Belanda. Pada Perang Aceh I
misalkan (1873-1874), 3000 serdadu Belanda yang dipimpin Rudolf Kohler
dapat ditaklukan. Dan Kohler sendiri tewas pada 14 April 1873 pada saat
perebutan Masjid Raya Baiturrahman. Perang yang berlangsung puluhan
tahun tersebut menjadi sejarah perjuangan Umat Islam Indonesia,
khususnya Aceh.

Negara Kesatuan Republik Indonesia

Proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, ternyata belum membuat


Belanda berhenti melancarkan misinya. Belanda tidak mau mengakui
kemerdekaan Indonesia sebagai negara yang merdeka dan berdaulat.
Belanda berusaha kembali menjajah. Agresi Militer Belanda I (1947) dan
Agresi Militer II (1949) menjadi buktinya. Selain itu, melalui diplomasi licik
yang dilancarkan dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) Belanda berhasil
membentuk Republik Indonesia Serikat (RIS). KMB yang berlangsung di Kota
Den Haag, Belanda tersebut menjadikan Indonesia terbagi ke dalam 15
bagian negara (Federal). RIS oleh sebagian besar rakyat Indonesia dinilai
sebagai taktik Belanda untuk memecah belah bangsa. Selain itu, negara
serikat tidak sesuai dengan cita-cita Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus
1945.

Melihat kenyataan seperti itu, Mohammad Natsir, yang saat itu menjadi
anggota DPR-RIS sekaligus menjadi Ketua Fraksi Masyumi, melakukan upaya
penyatuan kembali negara. Natsir melakukan lobi-lobi politik yang alot dan
menyita waktu dengan kepala-kepala negara bagian dan ketua fraksi lainnya
di parlemen untuk memusyawarahkan gagasan pemulihan Negara Kesatuan
RI. Perjuangan Natsir cukup melelahkan. Natsir mengaku, “Dua setengah
bulan saya melakukan lobi, terutama dengan negara-negara bagian di luar
Jawa.” Di Parlemen RIS, Natsir tidak hanya melobi politisi Islam, tetapi juga
berbicara dengan I.J. Kasimo dari Partai Katholik, A.M. Tambunan dari Partai
Kristen, dan Sukirman dari PKI. Natsir menemui Pejabat Presiden RI di
Yogya, dan pergi ke daerah-daerah lain untuk melakukan pendekatan dan
mengetahui pendapat mereka.

Alhasil, setelah mendapat keyakinan bahwa usulannya tidak akan ada yang
menolak, Natsir segera menyampaikan pidato dalam Sidang Parlemen RIS.
Pada akhir pidatonya, Natsir menyampaikan mosi yang berbunyi:

Menganjurkan kepada Pemerintah supaya mengambil inisiatif untuk mencari


penyelesaian atau sekurang-kurangnya menyusun suatu konsepsi
penyelesaian bagi soal-soal yang hangat, yang tumbuh sebagai akibat
perkembangan politik di waktu yang akhir-akhir ini, dengan cara integral dan
program yang tertentu.

Mosi yang kemudian dikenal dengan nama “Mosi Integral Natsir”


menghasilkan satu putusan penting dalam sejarah Indonesia. Dari Mosi
itulah, bangsa Indonesia yang hendak dipecah-belah oleh Belanda berhasil
digagalkan. Tepat pada 17 Agustus 1950 RIS secara resmi dibubarkan dan
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) diproklamasikan kembali.
Mohammad Natsir, Ulama Persatuan Islam (Persis) adalah aktor di baliknya.

Mensyukuri Kemerdekaan

Indonesia telah merdeka, umat Islam telah merasakan kebebasan. Tidak ada
lagi larangan menerjemah al-Qur’an seperti di zaman Belanda. Tidak ada
larangan berjilbab, anak-anak pergi mengaji, atau larangan pergi
menunaikan ibadah Haji. Semuanya bisa dilakukan. Merdeka, tanpa
intervensi kaum penjajah. Jasa para Pejuang ada di balik ketercapaian
tersebut. Dengan gigih dan gagahnya, mereka berhasil melepaskan belenggu
yang diderita negara ini selama ratusan tahun. Keberanian yang didasari
keimanan adalah alasan pejuang untuk terus bertahan, walau nyawa harus
dikorbankan. Dan itu semua tidak terjadi kecuali atas kehendak Allah Swt.

Mohammad Natsir dalam pidatonya mengatakan, “Kalau kita mau jujur


melihat Sejarah, mau jujur mengambil pelajaran dari keadaan itu, sehingga
dapat bertahan sampai ratusan tahun lamanya di dalam memperjuangkan
kemerdekaan bangsa kita. Tidak lain saudara-saudara, ini disebabkan oleh
pelajaran Islam, dan berkat tauhid yang dapat menghilangkan sifat takutnya,
keragu-raguannya, dan kekhawatirannya karena menyerahkan dirinya
kepada Allah Swt. Setiap muslimin dengan tabah dapat menunaikan
kewajibannya.”

Pengakuan bahwa kemerdekaan Indonesia diraih atas izin Allah Ta’ala,


termaktub dalam pembukaan UUD 1945, “Atas berkat rahmat Allah Yang
Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur…”. Kemerdekaan
adalah limpahan nikmat yang Allah anugerahkan untuk mereka yang
berjuang lillah. Maka betapa angkuhnya manusia Indonesia yang menafikan
nikmat kemerdekaan; nikmat yang sesungguhnya masih menjadi mimpi bagi
negara sahabat, Palestina. Nikmat yang sudah semestinya disyukuri dengan
ragam pengabdian. Dan ingat, Indonesia bahkan dikaruniai kekayaan sumber
daya manusia (SDA) yang tidak dimilki bangsa lain. Maka nikmat Rabb-mu
yang manakah yang kamu dustakan?
Kini Indonesia telah merdeka. Berkarya adalah wujud syukur yang nyata.
Saat malas, ingatlah sebab kemerdekaan bangsa ini diraih. Saat melihat
pemimpin khianat, ingatkan pada mereka latar belakang kemerdekaan
bangsa ini diperjuangkan. Ingatlah, tanpa tauhid yang menjadi dasar
perjuangan, Indonesia barangkali akan tetap menjadi negeri jajahan, atau
bahkan hilang dari peradaban. Wallahu A’lam

Anda mungkin juga menyukai