ZAINAL FAHMI
2. M.ABDUL GHONI
3. IVAN ADRIANS A
Pada waktu itu, orang menamakan panggilan itu aneka warna. Ada yang
mengatakan panggilan Ibu pertiwi dan sebagainya. Bagi umat Islam,
panggilan itu sudah 13 abad, yaitu “wa jahidu fi sabilillah”, dengan taat
tunduk menyerahkan diri kepada Allah
Swt. – Mohammad
Natsir-
Desakan para Ulama akan proklamasi adalah satu dari banyak kiprah Umat
Islam dalam mempersembahkan kemerdekaan. Perlawanan terhadap
Kolonial selalu dimotori para Ulama. Pekik Takbir yang menjadi simbol Jihad
fi Sabilillah menjadi dasar para pejuang dalam mengusir penjajah. Nahdlatul
Ulama tentu tidak akan melupakan “Resolusi Jihad” yang dicetuskan
gurunya, Hasyim Asy’ari. Resolusi Jihad itu di antaranya berisi seruan untuk
berjihad melawan penjajahan. Dan Resolusi itulah yang kemudian membakar
dada Bung Tomo untuk menggemakan takbir di langit Surabaya. Berikut
petikan pidato Bung Tomo:
Dan kita yakin saudara-saudara, pada akhirnya pastilah kemenangan akan
jatuh ke tangan kita.Sebab Allah selalu berada di pihak yang benar.
Percayalah saudara-saudara, Tuhan akan melindungi kita sekalian. Allahu
Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar! Merdeka!!!
Jauh sebelum Resolusi Jihad difatwakan, Indonesia telah banjir dengan darah
para Syuhada. Pangeran Dipenogoro, Pangeran Antasari, Fatahillah, Syarif
Hidayatullah, Teuku Cik Ditiro, Cut Nyak Dien, Hasanuddin Imam Bonjol,
Sultan Mahmud Syah adalah sebagian kecil pejuang yang menumpahkan
darahnya demi bangsa Indonesia, di atas dasar Jihad fi Sabilillah.
Semangat fi sabilillah ini tampak salah satunya dalam Perang Aceh. Perang
ini berlangsung cukup lama (1873 – 1910) antara Kesultanan Aceh dan
Belanda. Dan Perang ini oleh Belanda dianggap perang yang menyulitkan.
Indikasinya adalah lamanya Belanda dalam menaklukan Aceh. Semangat
Jihad Aceh tak mampu dibendung oleh Belanda. Pada Perang Aceh I
misalkan (1873-1874), 3000 serdadu Belanda yang dipimpin Rudolf Kohler
dapat ditaklukan. Dan Kohler sendiri tewas pada 14 April 1873 pada saat
perebutan Masjid Raya Baiturrahman. Perang yang berlangsung puluhan
tahun tersebut menjadi sejarah perjuangan Umat Islam Indonesia,
khususnya Aceh.
Melihat kenyataan seperti itu, Mohammad Natsir, yang saat itu menjadi
anggota DPR-RIS sekaligus menjadi Ketua Fraksi Masyumi, melakukan upaya
penyatuan kembali negara. Natsir melakukan lobi-lobi politik yang alot dan
menyita waktu dengan kepala-kepala negara bagian dan ketua fraksi lainnya
di parlemen untuk memusyawarahkan gagasan pemulihan Negara Kesatuan
RI. Perjuangan Natsir cukup melelahkan. Natsir mengaku, “Dua setengah
bulan saya melakukan lobi, terutama dengan negara-negara bagian di luar
Jawa.” Di Parlemen RIS, Natsir tidak hanya melobi politisi Islam, tetapi juga
berbicara dengan I.J. Kasimo dari Partai Katholik, A.M. Tambunan dari Partai
Kristen, dan Sukirman dari PKI. Natsir menemui Pejabat Presiden RI di
Yogya, dan pergi ke daerah-daerah lain untuk melakukan pendekatan dan
mengetahui pendapat mereka.
Alhasil, setelah mendapat keyakinan bahwa usulannya tidak akan ada yang
menolak, Natsir segera menyampaikan pidato dalam Sidang Parlemen RIS.
Pada akhir pidatonya, Natsir menyampaikan mosi yang berbunyi:
Mensyukuri Kemerdekaan
Indonesia telah merdeka, umat Islam telah merasakan kebebasan. Tidak ada
lagi larangan menerjemah al-Qur’an seperti di zaman Belanda. Tidak ada
larangan berjilbab, anak-anak pergi mengaji, atau larangan pergi
menunaikan ibadah Haji. Semuanya bisa dilakukan. Merdeka, tanpa
intervensi kaum penjajah. Jasa para Pejuang ada di balik ketercapaian
tersebut. Dengan gigih dan gagahnya, mereka berhasil melepaskan belenggu
yang diderita negara ini selama ratusan tahun. Keberanian yang didasari
keimanan adalah alasan pejuang untuk terus bertahan, walau nyawa harus
dikorbankan. Dan itu semua tidak terjadi kecuali atas kehendak Allah Swt.