A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan
BAB II PEMBAHASAN
Pengertian Iman
Pengamalan Iman
Tingkatan Iman
Karakteristik Iman
Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
MAKALAH
“IMAN”
Oleh :
Makalah ini disusun agar pembaca dapat memperluas ilmu tentang “PENGERTIAN IMAN”,
yang saya sajikan berdasarkan pengamatan dari berbagai sumber
Saya berharap semoga makalah ini bisa menambah pengetahuan para pembaca. Namun
terlepas dari itu, saya memahami bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna, sehingga
saya sangat mengharapkan kritik serta saran yang bersifat membangun demi terciptanya
makalah selanjutnya yang lebih baik lagi.
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Adanya alam semesta beserta isinya, termasuk manusia dengan segala kelebihan dan
kekurangannya pasti ada yang menciptakan. Siapa Dia? Sudah tentu “Sang Pencipta” Dialah Allah
SWT. Untuk mengakui kebenaran dan keberadaan Allah SWT dibutuhkan dalam hati, mengakui
dan membenarkan tentang adanya Allah SWT.
Sebenarnya semua makhluk hidup yg berakal itu ingin bahagia, Masing-masing dalam
hidup ini mendambakan ketenangan kedamaian kerukunan dan kesejahteraan. Namun di
manakah sebenarnya dapat kita peroleh hal itu semua?
Sesungguhnya menurut ajaran Islam hanya iman yg disertai dgn amal shaleh yg dapat
menghantarkan kita baik sebagai individu maupun masyarakat ke arah itu.
Dengan iman masyarakat mereka menjadi masyarakat adil dan makmur. Para umara’ melaksanakan
perintah Allah para ulama beramar ma’ruf dan nahi mungkar dan rakyat saling tolong-menolong atas
kebajikan dan kebaikan. Kalimatul Haq mereka junjung tinggi tiada yg mengikat antar mereka selain
tali persaudaraan iman.
B. Rumusan Masalah
Di dalam makalah ini saya akan membahas mengenai :
1. Apa arti/pengertian Iman kepada Allah SWT.
2. Bagaimana pengamalan iman
3. Tingkatan iman
4. Karakteristik Iman
C. Tujuan
Tujuan yg ingin penulis capai antara lain yaitu :
1. Untuk mengerti apa itu iman
2. Untuk mengetahui cara pengamalan iman
3. Untuk mengetahui tingkatan iman
4. Untuk mengetahui karakteristik iman
BAB II
PEMBAHASAN
Pengertian Iman
Pengertian iman secara bahasa menurut Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin adalah
pengakuan yang melahirkan sikap menerima dan tunduk. Kata beliau makna ini cocok dengan
makna iman dalam istilah syari’at. Dan beliau mengkritik orang yang memaknai iman secara
bahasa hanya sekedar pembenaran hati (tashdiq) saja tanpa ada unsur menerima dan tunduk.
Kata ’iman’ adalah fi’il lazim (kata kerja yang tidak butuh objek), sedangkan tashdiq adalah fi’il
muta’addi (butuh objek) (Lihat Syarh Arba’in, hal. 34)
‘Iman itu berupa pembenaran hati’ artinya hati menerima semua ajaran yang dibawa oleh
Rasul shallallahu ‘alahi wa sallam. ‘Pengakuan dengan lisan’ artinya mengucapkan dua
kalimat syahadat ‘asyhadu an la ilaha illallah wa asyhadu anna Muhammadar rasulullah’.
Sedangkan ‘perbuatan dengan anggota badan’ artinya amal hati yang berupa keyakinan-
keyakinan dan beramal dengan anggota badan yang lainnya dengan melakukan ibadah-ibadah
sesuai dengan kemampuannya (Lihat Kitab At Tauhid li Shaff Ats Tsaani Al ‘Aali, hal. 9)
Dan salah satu pokok penting dari aqidah Ahlus sunnah wal jama’ah ialah keyakinan bahwa
iman itu bertambah dan berkurang (Lihat Fathu Rabbbil Bariyah, hal. 102). Hal ini telah
ditunjukkan oleh dalil-dalil dari Al Kitab maupun As Sunnah. Salah satu dalil dari Al Kitab yaitu
firman Allah ta’ala (yang artinya), “Agar bertambah keimanan mereka di atas keimanan
mereka yang sudah ada.” (QS. Al Fath [48] : 4).
Dalil dari As Sunnah di antaranya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang
sosok kaum perempuan, ”Tidaklah aku melihat suatu kaum yang kurang akal dan agamanya
dan lebih cepat membuat hilang akal pada diri seorang lelaki yang kuat daripada kalian ini
(kaum perempuan).” (HR. Al Bukhari dan Muslim). Maka ayat tersebut menunjukkan
penetapan bahwa iman itu bisa bertambah, sedangkan di dalam hadits tersebut terdapat
penetapan tentang berkurangnya agama. Sehingga masing-masing dalil ini menunjukkan
adanya pertambahan iman. Dan secara otomatis hal itu juga mengandung penetapan bisa
berkurangnya iman, begitu pula sebaliknya.
Dengan demikian dalam pandangan ahlus sunnah definisi iman memiliki 5 karakter :
keyakinan, ucapan, amal, bisa bertambah, dan bisa berkurang. Atau bisa diringkas menjadi 3 :
keyakinan, ucapan, dan amal. Karena amal bagian dari iman, secara otomatis iman bisa
bertambah dan berkurang. Atau bisa diringkas lebih sedikit lagi menjadi 2 : ucapan dan amal,
sebab keyakinan sudah termasuk dalam amal yaitu amal hati. Wallahu a’lam
Adapun secara istilah, dalam mendefinisikan iman manusia terbagi menjadi beragam
pendapat [dikutip dari Al Minhah Al Ilahiyah, hal. 131-132 dengan sedikit perubahan
redaksional] :
Pertama
Imam Malik, Asy Syafi’i, Ahmad, Al Auza’i, Ishaq bin Rahawaih, dan segenap ulama ahli
hadits serta ahlul Madinah (ulama Madinah) –semoga Allah merahmati mereka- demikian
juga para pengikut madzhab Zhahiriyah dan sebagian ulama mutakallimin berpendapat
bahwa definisi iman itu adalah : pembenaran dengan hati, pengakuan dengan lisan, dan amal
dengan anggota badan. Para ulama salaf –semoga Allah merahmati mereka- menjadikan amal
termasuk unsur keimanan. Oleh sebab itu iman bisa bertambah dan berkurang, sebagaimana
amal juga bertambah dan berkurang (lihat Kitab Tauhid li Shaff Ats Tsaani Al ‘Aali, hal. 9).
Kedua
Banyak di antara ulama madzhab Hanafi yang mengikuti definisi sebagaimana yang
disebutkan oleh Ath Thahawi rahimahullah yang mengatakan bahwa iman itu pengakuan
dengan lisan dan pembenaran dengan hati.
Ketiga
Ada pula yang mengatakan bahwa pengakuan dengan lisan adalah rukun tambahan saja
dan bukan rukun asli. Inilah pendapat Abu Manshur Al Maturidi rahimahullah, dan Abu
Hanifah pun diriwayatkan memiliki sebuah pendapat seperti ini.
Keempat
Sekte Al Karramiyah mengatakan bahwa iman itu hanya pengakuan dengan lisan saja!
Maka dari definisi mereka ini orang-orang munafiq itu dinilai sebagai orang-orang beriman
yang sempurna keimanannya, akan tetapi menurut mereka orang-orang munafiq itu berhak
mendapatkan ancaman yang dijanjikan oleh Allah untuk mereka! Pendapat mereka ini sangat
jelas kekeliruannya.
Kelima
Jahm bin Shafwan dan Abul Hasan Ash Shalihi –salah satu dedengkot sekte Qadariyah-
berpendapat bahwa iman itu cukup dengan pengetahuan yang ada di dalam hati! [Dan inilah
yang diyakini oleh kaum Jabariyah, lihat. Syarh ‘Aqidah Wasithiyah, hal. 163]. Pendapat ini
jauh lebih jelas kerusakannya daripada pendapat sebelumnya! Sebab kalau pendapat ini
dibenarkan maka konsekuensinya Fir’aun beserta kaumnya menjadi termasuk golongan
orang-orang yang beriman, karena mereka telah mengetahui kebenaran Musa dan Harun
‘alaihimash sholatu was salam dan mereka tidak mau beriman kepada keduanya. Karena
itulah Musa mengatakan kepada Fir’aun, ”Sungguh kamu telah mengetahui dengan jelas
bahwa tidaklah menurunkan itu semua melainkan Rabb pemilik langit dan bumi.” (QS. Al
Israa’ [17] : 102). Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), ”Mereka telah menentangnya,
padahal diri mereka pun meyakininya, hal itu dikarenakan sikap zalim dan perasaan sombong.
Maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang melakukan kerusakan itu.” (QS.
An Naml [27] : 14). Bahkan iblis pun dalam pengertian Jahm ini juga termasuk kaum beriman
yang sempurna imannya! Karena ia tidaklah bodoh tentang Rabbnya, bahkan dia adalah sosok
yang sangat mengenal Allah (yang artinya), ”Iblis berkata,’Rabbku, tundalah kematianku
hingga hari mereka dibangkitkan nanti.’.” (QS. Al Hijr [15] : 36). Dan hakekat kekufuran dalam
pandangan Jahm ini adalah ketidaktahuan tentang Allah ta’ala, padahal tidak ada yang lebih
bodoh tentang Rabbnya daripada dia!!
Pengamalan Iman
Beriman kepada Allah SWT artinya meyakini Dia sebagai Tuhan semesta alam, juga yakin
akan kebenaran keberadaan para malaikat-Nya, wahyu-Nya (kitab-kitab Allah), para rasul-
Nya, hari akhir, dan takdir Allah SWT bagi setiap manusia. Dan pembenaran atas semua itu
harus diikuti dengan tindakan nyata, sebagai pengamalan atas keimanan tersebut.
Pengamalan keimanan kepada Allah harus diikuti dengan pembenaran atas semua firman-
Nya, yang kini tertuang dalam Alquran, sekaligus mengamalkan apa yang diperintahkan-Nya
dan menjauhi apa yang dilarang-Nya. Minimal, seorang Mukmin harus membuktikan
keimanannya dengan mengerjakan shalat lima waktu.
Dalam sebuah hadis disebutkan, pembeda antara seorang Mukmin dan kafir adalah shalat.
Dari shalat, jika dikerjakan dengan khusyuk, maka akan tercipta kondisi diri yang benar-benar
tunduk kepada Allah SWT.
Keimanan kepada para malaikat minimal dibuktikan dengan adanya kesadaran, bahwa di
kiri-kanan kita selalu ada malaikat pencatat amal Rakib dan Atid. Kedua malaikat itu selalu
mengawasi perilaku kita dan mencatatnya, untuk kemudian Allah SWT meminta
pertanggungjawaban kita di akhirat kelak.
Dengan adanya kesadaran tersebut, maka perilaku kita akan terkendali. Hanya akan
mengarah kepada hal-hal yang diwajibkan dan dibolehkan oleh ajaran Allah semata (syariat
Islam).
Menjadikan Alquran sebagai pedoman hidup wajib hukumnya bagi setiap Mukmin. Alquran
merupakan petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa (QS. Al-Baqarah:2) dalam berpikir dan
bertindak dalam kehidupan ini.
Keimanan kepada para utusan Allah, minimal dibuktikan dengan membenarkan kenabian
dan kerasulan Nabi Muhammad SAW dan para nabi/rasul sebelumnya. Hal itu diikuti dengan
menjalankan apa yang disampaikan atau didakwahkannya. Perilaku Nabi, baik berupa
perkataan, perbuatan, maupun persetujuannya, merupakan sunnah, sebagai teladan
sekaligus pedoman perilaku bagi kaum Mukmin.
Tingkatan Iman
KESIMPULAN
Perkataan iman yang berarti ‘membenarkan’ itu disebutkan dalam al-Quran, di antaranya
dalam Surah At-Taubah ayat 62 yang bermaksud: “Dia (Muhammad) itu membenarkan
(mempercayai) kepada Allah dan membenarkan kepada para orang yang beriman.” Iman itu
ditujukan kepada Allah , kitab kitab dan Rasul. Iman itu ada dua Iman Hak dan Iman Batil.
Definisi Iman berdasarkan hadist merupakan tambatan hati yang diucapkan dan dilakukan
merupakan satu kesatuan. Iman memiliki prinsip dasar segala isi hati, ucapan dan perbuatan
sama dalam satu keyakinan, maka orang – orang beriman adalah mereka yang di dalam
hatinya, disetiap ucapannya dan segala tindakanya sama, maka orang beriman dapat juga
disebut dengan orang yang jujur atau orang yang memiliki prinsip. atau juga pandangan dan
sikap hidup.
Para imam dan ulama telah mendefinisikan istilah iman ini, antara lain, seperti diucapkan
oleh Imam Ali bin Abi Talib: “Iman itu ucapan dengan lidah dan kepercayaan yang benar
dengan hati dan perbuatan dengan anggota.” Aisyah r.a. berkata: “Iman kepada Allah itu
mengakui dengan lisan dan membenarkan dengan hati dan mengerjakan dengan anggota.”
Imam al-Ghazali menguraikan makna iman: “Pengakuan dengan lidah (lisan) membenarkan
pengakuan itu dengan hati dan mengamalkannya dengan rukun-rukun (anggota-anggota).”
Berbicara tentang iman, tentu berbicara tentang keyakinan. Maka secara mutlak orientasi
pembahasan dititik beratkan pada jiwa seseorang atau lazimnya di sebut “qalbu”. Hati
merupakan pusat dari satu keyakinan, kita semua sepakat bahwa dalam diri manusia terdapat
dua unsur pokok kejadian, terbentuknya jazad dan rohani, apabila keduanya pincang atau
salah satu di antaranya kurang, maka secara mutlak tidak mungkin terbentuk makhluk yang
bernama manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Atifah,Nurul.2013.“Makalah:IMAN|N.U.R.U.L”,https://nhurelnuyyuabbass.wordpress.co
m/2013/04/18/makalah-iman/ diakses pada 22 september 2019
Rizqa, Hasanul. 2019. “Tentang Iman dalam ajaran islam”,
https://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/19/05/23/pry7td458-
tentang-iman-dalam-ajaran-islam-1 diakses pada 22 september 2019
Wahyudi, Ari. 2012. “Definisi Iman”, https://muslim.or.id/8631-definisi-iman.html diakses
pada 22 september 2019