Anda di halaman 1dari 23

PERBANDINGAN KONSEP KENEGARAAN BARAT DAN NEGARA-NEGARA

ISLAM : SEJARAH NEGARA DAN PEMERINTAHAN

MAKALAH
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
Muqaranat al-Madzahib fi al-Siyasah yang diampu oleh :
Ibu Siti Khoirotul Ula, M.H.I

Disusun oleh :

1. CHURIYA A’LIYA SEPTIKA (12103193037)


2. AFIFA TYASTITI (12103193062)
3. FARID AINIL HAMI (12103193068)

JURUSAN HUKUM TATA NEGARA

FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI TULUNGAGUNG

MEI 2021

1
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr.Wb

Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT karena telah memberikan
kelancaran dan kemurahan-Nya terhadap kami, sehingga dapat menyelesaikan tugas
mata kuliah “Muqaranat al-Madzahib fi al-Siyasah" dalam bentuk makalah, Sholawat
serta salam semoga senantiasa terlimpahkan kepada junjungan kita Nabiyullah
Muhammad, SAW.
Dalam penulisan makalah ini, kami menyadari bahwa sesuai dengan
kemampuan dan pengetahuan yang terbatas, maka makalah yang berjudul "
PERBANDINGAN KONSEP KENEGARAAN BARAT DAN NEGARA-NEGARA
ISLAM : SEJARAH NEGARA DAN PEMERINTAHAN" ini, masih jauh dari kata
sempurna. Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak sangat kami harapkan demi
penyempurnaan pembuatan makalah ini. Kami berharap dari makalah yang kami susun
ini dapat bermanfaat dan menambah wawasan bagi kami maupun pembaca. Amin.

Wassalamualaikum Wr.Wb.

Tulungagung, Mei 2021

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...................................................................................................................i
DAFTAR ISI................................................................................................................................ii
BAB I : PENDAHULUAN..........................................................................................................1
A. Latar Belakang.................................................................................................................1
B. Rumusan Masalah............................................................................................................2
C. Tujuan..............................................................................................................................2
BAB II : PEMBAHASAN...........................................................................................................3
A. Konsep Negara dan Pemerintahan dalam Kenegaraan Barat dan Negara Islam...............3
B. Sejarah Negara dan Pemerintahan Barat...........................................................................7
C. Sejarah Negara dan Pemerintahan Islam........................................................................13
BAB III : PENUTUP.................................................................................................................18
A. Kesimpulan....................................................................................................................18
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................20

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Negara adalah suatu badan atau organisasi tertinggi yang mempunyai
wewenang untuk mengatur hal-hal yang berkaitan untuk kepentingan orang
banyak serta mempunyai kewajiban-kewajiban untuk melindungi,
menyejahterakan masyarakat yang dinaunginya. Sedangkan menurut istilah
negara atau "state" berasal dari bahasa Latin status (stato dalam bahasa Itali,
estat dalam bahasa Perancis dan state dalam bahasa Inggris). 1 Miriam Budiardjo
mendefinisikan negara sebagai suatu organisasi yang dalam suatu wilayah yang
dapat memaksakan kekuasaanya secara sah terhadap semua golongan dan yang
dapat menetapkan tujuan-tujuan dari kehidupan bersama itu.2 Konsep negara
selalu mendapatkan tempat yang istimewa, baik dalam konsep barat maupun
islam. Hal itu terjadi sejak zaman Yunani bahkan sampai sekarang. Banyak
gagasan yang telah dikemukakan dalam kurun waktu tersebut tentang konsep
negara. Seperti yang kita ketahui para pemikir Yunani kuno, seperti Socrates,
Plato, dan Aristoteles dalam karya-karyanya membicarakan tentang konsep
negara.3
Dalam ranah pemikiran politik Islam mengenai negara maupun politik,
sebenarnya sudah muncul sejak abad klasik, abad pertengahan dan sampai
modern. Seperti Al-Farabi, Al Mawardi, Al Ghazali yang mampu menjadi
pemikir politik di abad klasik dan pertengahan, sedangkan di abad modern yang
terkenal seperti, Muhammad Abduh, Muhammad Rasyid Ridha, Muhammad
Iqbal dan tokoh-tokoh yang lain. Islam tidak hanya sekedar agama yang
mengurus mengenai hubungan antara Tuhan dan hambaNya, namun termasuk
pada seluruh aspek kehidupan, termasuk politik kenegaraan. Islam dan negara
merupakan dua konsep yang tidak dapat dipisahkan. Sebagai agama yang

1
Ahmad Syafi'i Maarif, Islam dan Cita-cita dan Masalah Kenegaraan, Jakarta: LP3ES, 1985, Cet. ke-1,
hlm. 12
2
Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia, 1984, hlm. 38.
3
Lili Romli, Islam Yes Partai Islam Yes Sejarah Perkembangan Partai-partai Islam di Indonesia,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar , 2006, hlm. 16.

1
sempurna, Islam juga membahas konsep kenegaraan dan kepemimpinan. Tentu
saja konsep ini tidak terlepas dari sejarah-sejarah yang terjadi. Oleh sebab itu,
kelompok kami akan membahas mengenai sejarah negara dan pemerintahan
dalam dunia barat dan Islam.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana konsep negara dan pemerintahan dalam kenegaraan barat dan
negara Islam?
2. Bagaimana sejarah negara dan pemerintahan barat?
3. Bagaimana sejarah negara dan pemerintahan Islam?
C. Tujuan
1. Untuk memahami konsep negara dan pemerintahan dalam kenegaraan barat
dan negara Islam.
2. Untuk mengetahui sejarah negara dan pemerintahan barat.
3. Untuk mengetahui sejarah negara dan pemerintahan Islam.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Konsep Negara dan Pemerintahan dalam Kenegaraan Barat dan Negara


Islam
Negara merupakan konsep yang paling penting dalam ilmu politik.
Negara selalu menjadi wilayah kajian karena di sana terdapat pergulatan politik
dan kekuasaan yang paling mudah untuk dilihat dan dikenali. Negara merupakan
integrasi dari kekuasaan politik.4 Negara adalah suatu badan atau organisasi
tertinggi yang mempunyai wewenang untuk mengatur hal-hal yang berkaitan
untuk kepentingan orang banyak serta mempunyai kewajiban-kewajiban untuk
melindungi, menyejahterakan masyarakat yang dinaunginya. Sedangkan
menurut istilah negara atau "state" berasal dari bahasa Latin status (stato dalam
bahasa Itali, estat dalam bahasa Perancis dan state dalam bahasa Inggris). 5
Negara menetapkan cara-cara dan batas-batas kekuasaan dapat digunakan dalam
kehidupan bersama baik yang dilakukan oleh individu maupun golongan atau
asosiasi, maupun oleh negara itu sendiri. Negara dapat menyatukan dan
membimbing kegiatan-kegiatan social dari penduduknya kearah tujuan bersama.
Dalam hal ini, dapat dikatakan bahwa sebuah negara mempunyai dua tugas :
1. Mengendalikan dan mengatur gejala-gejala kekuasaan yang a-sosial, yakni
yang bertentangan satu sama lain, supaya tidak menjadi antagonisme yang
membahayakan, dan
2. Mengorganisasi dan mengintegrasikan kegiatan manusia dan
golongangolongan kearah tercapainya tujuan-tujuan dari masyarakat
seluruhnya. Negara menentukan bagaimana kegiatan asosiasi-asosiasi
kemasyarakatan disesuaikan satu sama lain dan diarahkan kepada tujuan
nasional.6
Dalam sejarah perkembangan ilmu politik, konsep negara merupakan
konsep yang dominan, sehingga bila membicarakan ilmu politik berarti
4
Abu Bakar Abyhara, Pengantar Ilmu Politik, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2010, hlm. 229.
5
Ahmad Syafi'i Maarif, Islam dan Cita-cita dan Masalah Kenegaraan, Jakarta: LP3ES, 1985, Cet. ke-1,
hlm. 12.
6
Abu Bakar Abyhara, Pengantar Ilmu Politik, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2010, hlm. 230.

3
membicarakan negara dan segala sesuatu yang berhubungan denganya. Pada
awalnya ilmu politik mempelajari masalah negara. Dengan itu, pendekatan yang
muncul dalam ilmu politik adalah pendekatan legal-formal, yaitu suatu
pendekatan yang memahami ilmu politik dari sudut formal legalistic dengan
melihat lembaga-lembaga politik sebagai obyek studinya, termasuk didalamnya
masalah negara.
Konsep negara selalu mendapatkan tempat yang istimewa, hal itu terjadi
sejak zaman Yunani bahkan sampai sekarang. Banyak gagasan yang telah
dikemukakan dalam kurun waktu tersebut tentang konsep negara. Seperti yang
kita ketahui para pemikir yunani kuno, seperti Socrates, Plato, dan Aristoteles
dalam karya-karyanya membicarakan tentang konsep negara. 7 Dalam ranah
pemikiran politik Islam mengenai dasar negara maupun politik sudah muncul
sejak abad klasik, abad pertengahan dan sampai modern. Seperti Al-Farabi, Al
Mawardi, Al Ghazali yang mampu menjadi pemikir politik di abad klasik dan
pertengahan, sedangkan di abad modern yang terkenal seperti, Muhammad
Abduh, Muhammad Rasyid Ridha, Muhammad Iqbal dan tokoh-tokoh yang lain.
Rasyid Ridha, seorang ulama terkemuka Islam, yang dianggap paling
bertanggung jawab dalam merumuskan konsep negara Islam modern,
menyatakan bahwa premis pokok dari konsep negara Islam adalah syari’ah,
menurut beliau syari’ah merupakan sumber hukum paling tinggi. Dalam
pandangan Rasyid Ridho, syari’ah harus membutuhkan bantuan kekuasaan
untuk tujuan mengimplementasinya, dan mustahil untuk menerapkan hukum
Islam tanpa adanya Negara Islam. Karena itu, dapat dikatakan bahwa penerapan
hukum Islam merupakan satu-satunya kriteria utama yang sangat menentukan
untuk membedakan antara suatu negara Islam dengan negara non-Islam. 8
Sedangkan Fazlur Rahman, tidak menyatakan secara jelas pendapatnya
mengenai konsep Islam mengenai negara, memberikan definisi negara Islam
secara fleksibel, tak begitu ketat dengan syarat-syarat tertentu. Fazlur Rahman
menilai negara Islam adalah suatu negara yang didirikan atau dihuni oleh umat
7
Lili Romli, Islam Yes Partai Islam Yes Sejarah Perkembangan Partai-partai Islam diIndonesia,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar , 2006, hlm. 16.
8
Asghar Ali Engineer, Devolusi Negara Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000, hlm. 168.

4
Islam dalam rangka memenuhi keinginan mereka untuk melaksanakan perintah
Allah melalui wahyu-Nya. Tentang bagaimana implementasi penyelenggaraan
negara itu, Fazlur Rahman tidak memformat secara kaku, tetapi elemen yang
paling penting yang harus dimiliki adalah syura‟ sebagai dasarnya. Dengan
adanya lembaga syura’ itu sudah tentu dibutuhkan ijtihad dari semua pihak yang
berkompeten. Dengan demikian, kata Fazlur Rahman, akan sangat mungkin
antara satu negara Islam dengan negara Islam yang lain, implementasi syari‟ah
Islam akan berbeda, oleh karena tergantung hasil ijtihad para mujtahid di negara
yang bersangkutan.9
Dari pemahaman bahwa mustahil menerapkan hukum Islam tanpa adanya
negara Islam ini secara otomatis timbul juga perdebatan mengenai hubungan
antara agama (dalam hal ini Islam) dan negara oleh para sarjana Muslim.
Perbedaan pemahaman tentang hubungan ini sesuai dengan setting sosiologis,
historis, antropologis, dan intelektual para sarjana tersebut. Hal itu juga
dicampur dengan berbagai corak penafsiran terhadap teks Al-Qur’an dan al-
Hadits yang dijadikan rujukan utama. Aristoteles, berusaha membandingkan
bentuk-bentuk negara pada waktu itu, dengan ukuran baik dan buruk. Begitu
pula pada abad pertengahan, pemikir seperti Aquinas dan Agustinus juga
membicarakan tentang konsep negara.
Pada masa pencerahan, muncul pemikir-pemikir Barat, seperti Thomas
Hobbes, Jhon Locke dan J.J. Rousseau, untuk menyebut beberapa nama sebagai
pelopor teori tentang berdirinya suatu negara. 10 Menurut Azhary, ada beberapa
gagasan tentang konsep negara di Barat dalam proses perjalananya mengalami
perubahan-perubahan dari masa ke masa, sehingga tidak ada konsistensi di
dalam penerapanya.11 Semula konsep negara di Barat ditandai dengan
kekosongan doktrin antara negara dalam agama Kristen. Dalam proses
perkembanganya pada abad pertengahan agama Kristen menduduki posisi
sentral dan yang paling dominan dalam menguasai kedudukan negara. Ketika
9
Amiruddin M Hasbi, Konsep Negara Islam Menurut Fazlurrahman, Yogyakarta: UII Press, 2000, hlm.
80-84.
10
Deliar Noer, Pemikiran Politik di Negeri Barat, Bandung: Mizan, 1998, hlm. 78.
11
M. Tahir Azhary, Negara Hukum: Suatu Tinjauan Prinsip-prinsipnya dilihat dari Segi Hukum,
Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini, Jakarta: Bulan Bintang, 1992, hlm. 30.

5
pada masa itu muncul teori negara teokrasi mutlak dari pemikiran Agustinus.
Dalam pemikiranya Agustinus menolak negara diterapkan di muka bumi karena
ia anggap sebagai negara iblis yang hanya memberikan kesengsaraan kepada
12
manusia. Dengan begitu ia lebih sepakat dan mendambakan Negara Tuhan
yang penuh dengan kedamaian dan ketentraman, karena menurut ia faktor
ketuhananlah yang sangat dominan untuk membangun sebuah negara.
Dalam Islam, organisasi negara memperoleh kekuasaan dari rakyat, yaitu
masyarakat muslim yang bersifat demokratik. Menurut teori Islam, negara dapat
dibentuk apabila ada sekelompok orang yang telah menyatakan bersedia
melaksanakan kehendak Allah sebagaimana tercantum dalam Wahyu-Nya.
Negara seperti ini terkenal di sejarah yang dipelopori oleh Nabi Muhammad
SAW. Negara Islam mempunyai tujuan yaitu mempertahankan keselamatan dan
integritas negara, memelihara terlaksananya undang-undang dan ketertiban serta
membangun negara.13 Sehingga setiap warga negaranya menyadari
kemampuankemampuan demi mewujudkan kesejahteraan masyarakatnya. Islam
memberikan kebebasan untuk mengemukakan pendapat dan kritik yang
konstruktif dalam pengertianya yang paling utuh, bahkan Islam menganggap
perbuatan itu sebagai tugas keagamaan. Namun hal itu tidak sama dengan partai-
partai yang melakukan oposisi (terhadap partai lain yang memerintah). Dalam
Islam, persoalan legislatif merupakan persoalan masyarakat sebagai suatu
kesatuan, karena itu peranan wakil-wakil rakyat yang duduk dalam badan
legislatif adalah membuat undang-undang. Anggapan dari ulama yang
menyatakan bahwa persoalan legislatif dalam Islam merupakan tugas yang
dibebankan kepada para ulama, bukan saja salah tetapi juga sekaligus
mengingkari kebenaran adanya proses pembentukan hukum Islam yang dikenal
dalam sejarah.14 Kepemimpinan di bidang keagamaan ini akan membantu
menciptakan dan menyusun gagasan-gagasan (ijtihad), gagasan-gagasan tersebut
akan dibahas luas dalam masyarakat melalui berbagai macam media komunikasi
masa dan jika telah timbul kesepakatan pendapat atau ijma’, maka pendapat ini
12
A. Rahman Zainuddin, Kekuasaan dan Negara, Jakarta: Gramedia, 1992, hlm. 146.
13
Fazlurrahman, Cita-cita Islam, Bandung: Pustaka Pelajar, 1988, hlm. 130-131.
14
Ibid, hlm. 132.

6
akan dituangkan dalam bentuk undang-undang oleh wakil rakyat, undang-
undang hasil kesepakatan itulah yang secara sempurna dalam peraturan hukum
Islam.15 Dengan perkataan lain, antara ulama dan wakil rakyat merupakan tiang
utama yang mendukung bangunan perundang-undangan Islam yaitu hasil dari
pemikiran perorangan (ijtihad) dan hasil pemikiran bersama (ijma). Dalam
konsep Islam dalam negara ada 3 perspektif yaitu Islam dan demokrasi,
Pemerintah (Islam), dan Paradigma Pemikiran Politik Konsep Negara.

B. Sejarah Negara dan Pemerintahan Barat


Dalam sejarah Barat, emikiran kenegaraan baru berkembang setelah
Yunani kuno, khususnya Athena, mengalami kemunduran. Hal ini merupakan
akibat dari perang Peloponesus. Adalah Socrates (470 – 399 SM)16 yang pertama
kali membicarakan masalah-masalah kenegaraan secara sistematis. Sebelum
Socrates, Pericles yang banyak memberikan pidato kenegaraan dalam karirnya
sebagai politisi hingga disebandingkan dengan posisi perdana menteri pada saat
itu. Socrates menyatakan bahwa tugas negara adalah mendidik warga negara
dalam keutamaannya, yaitu memajukan kebahagiaan warga negara dan membuat
jiwa mereka sebaik mungkin.
Pemikiran ini berkembang pada kondisi polis yang penuh dengan
penyalahgunaan penguasa akibat ajaran para sophis yang menyesatkan (keadilan
dalam negara merupakan segala hal yang menguntungkan bagi para penguasa
negara, jadi hukum bersifat subyektif). Negara bukanlah suatu organisasi yang
dibuat untuk manusia demi kepentingan pribadi, tetapi merupakan susunan
obyektif yang bersandarkan kepada sifat hakikat manusia yang karenanya
bertugas melaksanakan dan menerapkan hukum obyektif “keadilan”. Maka
keadilan sejatilah yang harus menjadi dasar pedoman negara. Jika hal ini
dilakukan, maka warga negara akan merasakan kenyamanan dan ketenangan
jiwa.

15
Fazlurrahman, Cita-cita Islam, Bandung: Pustaka Pelajar, 1988, hlm. 133.
16
Sjahran Basah, Ilmu Negara; Pengantar, Metode dan Sejarah Perkembangannya, (Bandung: Alumni,
1987), hal. 87-88.

7
Walaupun Socrates harus mati dalam hukuman minum racun karena
pendapatnya tersebut, namun banyak pandangannya yang diteruskan dan
dibukukan oleh muridnya, Plato (429 -–347 SM). Plato dalam merumuskan
pemikirannya menggunakan metode deduktif-spekulatif-transendental yang
kemudian diajarkan dalam sekolahnya yang diberi nama academica. Tiga buku
utama karya Plato adalah Politeia (the Republic), Politicos (the statement), dan
Nomoi (the law), disamping buku lain seperti Gorgias (soal kebahagiaan),
Sophist (tentang hakikat pengetahuan), Phaedo (tentang keabadian jiwa), dan
Protagoras (tentang hakikat kebajikan).
Buku pertama Plato, yaitu the Republic menunjukkan pandangan yang
ideal tentang kebaikan dan negara. Pandangan Plato tentang negara dilandasi
oleh pendapatnya tentang dunia yang terdiri dari dua macam, yaitu (1) dunia cita
(ideenwerwld) yaitu “kenyataan sejati” yang ada dalam alam tersendiri terpisah
dari “dunia palsu” dan bersifat immateriil, dan (2) dunia alam (natuurwereld)
yaitu dunia fana yang palsu dan bersifat materiil.
Dunia cita adalah latar belakang dan yang menjelmakan diri dalam dunia
alam. Maka dunia alam harus selalu diusahakan untuk menyerupai bentuk yang
sempurna dari dunia cita. Ukuran persamaan antara dunia alam dan dunia cita
adalah norm (yang seharusnya). Dunia cita memiliki tiga macam cita-cita mutlak
(absolute ideen), yaitu (1) cita kebenaran (logika, ide der waarheid), (2) cita
keindahan (asthetica, idee der schoonheid), dan (3) cita kesusilaan (ethica, idee
der zedelijkheid). Ketiga cita mutlak ini merupakan pedoman bagi perilaku
manusia yang digerakkan oleh kemampuan dasar yang dimiliki manusia yaitu;
(1) pikiran (verstand), demi mencari kebenaran, (2) rasa (gevoel), demi
mencapai keindahan, dan (3) kehendak (willen), demi mencapai kesusilaan.
Perilaku manusia dan cita-cita tersebut harus dijalani manusia untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya. Dalam memenuhi kebutuhan hidup tersebut
manusia tidak bisa melakukan sendiri, dan sesuai keahliannya masing-masing
manusia saling membantu dengan pembagian tugas masing-masing. Inilah dasar
pembentukan negara menurut Plato. Negara adalah suatu kesatuan dan keluarga
yang besar yang harus dapat memelihara warga negara dalam kesatuan.

8
Sehingga negara harus memiliki wilayah yang terbatas. Karena negara
merupakan dunia alam, maka tujuan negara adalah untuk mencapai, mempelajari
dan mengetahui cita yang sebenarnya. Masyarakat akan berbahagia bila
mengetahui cita yang sebenarnya yaitu kebenaran dan kebaikan universal. Untuk
mengetahui cita tersebut memerlukan cara dan kemampuan tertentu yang hanya
dimiliki oleh segolongan orang saja.
Negara tidak dapat dijalankan dengan sistem demokrasi karena dua
alasan; pertama, karena demokrasi memungkinkan setiap orang menduduki
pemerintahan, dan kedua, demokrasi berpotensi menimbulkan kekerasan dan
perselisihan kepentingan. Sehingga negara harus dipimpin oleh segolongan
orang ini yang dinamakan Philosopher King, karena kelompok inilah yang
mengetahui apa kebaikan dan bagaimana cara mencapainya. Untuk mencapai
negara yang sempurna diperlukan tiga syarat, yaitu; (1) negara harus dijalankan
oleh pegawai yang terdidik khusus, (2) Pemerintahan harus ditujukan demi
kepentingan umum, dan (3) harus dicapai kesempurnaan susila dari rakyat.
Masyarakat sebagai bentuk keluarga yang besar dan kesatuan kerja sama
manusia memiliki kelas sosial yang terbentuk berdasarkan sifat manusia;
kebenaran, keberanian, dan kebutuhan. Kelas-kelas tersebut adalah:
1. The rulers, yaitu golongan pegawai yang terdidik khusus yang merupakan
pemimpinpemimpin negara yang berusaha tercapainya dan
terselenggarannya kesempurnaan, good dan good life serta kepentingan
umum. The rulers ini adalah Philosopher King.
2. The Guardians adalah mereka yang menyelenggarakan keamanan,
ketertiban, dan keselamatan negara.
3. The artisans, yaitu mereka yang menjamin makanan bagi kedua golongan
tersebut di atas.

The rulers adalah orang-orang ini memang dilahirkan sebagai ruler dan
dididik untuk menjadi ruler. Kelompok ini dapat dilahirkan dari kelompok
manapun tanpa memandang jenis kelamin. Karena itulah pendidikan menjadi
salah satu perhatian utama Plato dalam Republic. Selain itu, demi terwujudnya
kebaikan negara, maka elemen-elemen lain yang berpotensi merusak negara atau

9
menyaingi kesetiaan warga kepada negara harus dihapuskan. Dalam hal ini Plato
mengusulkan komunisme berupa pembatasan hak milik dan penghilangan
lembaga perkawinan monogami bagi kaum the guardian dan the ruler.

Karya Plato yang selanjutnya, yaitu the Statesman dan the Laws,
menunjukkan refleksi lebih lanjut terhadap masalah-masalah yang dihadapi
negara kota. Kedua buku tersebut telah menyentuh pada pendekatan atas
kenyataan kehidupan politik. Berbeda dengan karya pertama yang mengidealkan
bentuk monarki murni oleh the philosopher king, dalam the Laws Plato
meletakan hukum sebagai sesuatu yang supreme. Hal ini merupakan bentuk
negara terbaik kedua (second-best) yang dapat dicapai. Negara ideal sebagai
perwujudan kerajaan surga di bumi ternyata tidak dapat dicapai. Maka
pemerintahan menurut hukum adalah lebih baik dari pada suatu pemerintahan
oleh seseorang. Seseorang dalam hal ini adalah seorang tiran yang memerintah
dengan paksaan, berbeda dengan raja atau negarawan yang memerintah
berdasarkan kesukarelaan. Dalam the Statesman, Plato membagi negara di dunia
menjadi 4 macam sesuai dengan sifat-sifat manusia, yaitu; (1) timocracy atau
negara militer; (2) oligarchy atau pemerintahan oleh orang kaya; (3) democracy
atau pemerintahan oleh semua orang; dan (4) tyrani yang merupakan
pemerintahan terburuk oleh seorang penguasa. Tipe ideal adalah monarchy yang
diperintah oleh the philosopher-king. Namun bentuk ideal ini terlalu sempurna
bagi manusia. Berdasarkan tingkat kemungkinan kepatuhan kepada hukum,
maka demokrasi merupakan bentuk yang paling baik. Namun, demokrasi harus
dilaksanakan dengan mengkombinasikannya dengan monarki (mixed-state)
untuk mencapai harmoni dan keseimbangan kekuatan. Demokrasi
menyumbangkan prinsip kebebasan, sedangkan monarki menyumbangkan
prinsip kebijaksanaan (wisdom).

Tokoh Yunani setelah Plato adalah Aristoteles (384 – 322 SM)17yang juga
merupakan murid Plato. Politics, merupakan karya utama Aristoteles yang
terdiri buku I – VIII. Namun Sabine meragukan apakah memang Aristoteles
17
Sjahran Basah, Ilmu Negara; Pengantar, Metode dan Sejarah Perkembangannya, (Bandung: Alumni,
1987), hal. 17.

10
menyusunnya seperta adanya sekarang atau telah mengalami proses editing.
Werner Jaeger membagi Politics menjadi dua bagian besar. Bagian pertama
terkait dengan negara ideal, meliputi buku II berupa studi historis tentang teori-
teori awal dan pemikiran Plato serta kritik-kritiknya; buku III mengenai hakikat
(nature) negara dan kewarganegaraan sebagai pengantar teori negara ideal; dan
buku VII dan VIII yang mengkonstruksikan negara ideal. Bagian kedua
merupakan kajian terhadap negara dalam realitas terutama demokrasi dan
oligarki, penyebab kemerosotannya dan bagaimana menjaga stabilitasnya.
Bagian kedua ini meliputi buku IV, V, dan VI. Karya Aristoteles menunjukkan
perkembangan baru ilmu pengetahuan yang tidak hanya harus empiris dan
deskriptif, tetapi juga menghormati tujuan-tujuan etis tertentu.

Negara menurut Aristoteles, seperti halnya Plato, bertujuan untuk; (1)


menyelenggarakan kepentingan warga negaranya; dan (2) berusaha supaya
warga negara hidup baik dan bahagia (good life) berdasarkan keadilan yang
harus menjelma dalam negara. Berdasarkan hasil penyelidikan Aristoteles
terhadap 158 kontitusi polis-polis di Yunani, dapat dibedakan bentuk negara
menjadi 3 besar yaitu (1) bentuk ideal (ideal form); (2) bentuk pemerosotan (the
corruption form); dan (3) bentuk gabungan (mixed form). Bentuk ideal bisa
dicapai apabila pemerintahan negara ditujukan untuk kepentingan umum
berdasarkan keadilan yang menjelma dalam negara. Bentuk pemerosotan terjadi
apabila pemerintahan negara ditujukan untuk kepentingan pribadi pemegang
kekuasaan, sehingga kepentingan umum dan keadilan dikesampingkan.

Terdapat tiga macam bentuk ideal negara yaitu; monarki, aristokrasi, dan
democracy. Bentuk pemerosotan juga memiliki tiga macam bentuk yaitu;
tirani/despoty, oligharki/plutokrasi, dan demokrasi ekstrem, yaitu mobokrasi.
Namun menurut pengamat Aristoteles, secara empiris di dunia ini tidak ada
bentuk negara ideal, baik itu monarki, aristokrasi maupun republik. Yang ada
adalah bentuk negara pemerosotan, atau setinggi-tingginya adalah bentuk negara
campuran. Apa yang disebut oleh Plato sebagai bentuk negara the second-best,
menurut Aristoteles adalah yang terbaik, yang disebut dengan polity. Dia selalu

11
mengidealkan konstitusional dan tidak pada despotisme, meskipun despotisme
yang tercerahkan oleh philospher-king. Selanjutnya dikatakan bahwa bentuk
negara ideal adalah: “… if not a democracy, at least includes a democratic
element. It is “a community of equals, aiming at the best life possible…”.
Supremasi hukum merupakan salah satu ciri dari bentuk negara yang terbaik ini.

Negara lebih baik diatur menurut hukum dari pada oleh seseorang, meskipun
orang tersebut paling bijaksana. Seorang yang paling cerdik sekalipun, tidak
dapat terkecualikan oleh hukum karena hukum memiliki kualitas impersonal.
Pemerintahan yang terikat oleh hukum juga dapat menghindari keinginan negatif
manusia (the law is “reason unaffected by desire”). Inilah bentuk dari sebuah
constitutional rule. Constitutional rule memiliki tiga elemen, yaitu; pertama,
memisahkan antara kepentingan umum dengan kepentingan kelompok tertentu
atau individual (it is rule in the public or general interest as distinguished from
a factional or tyrannous rule in the interest of a single class or individual);
kedua, sah secara hukum untuk memerintah karena pemerintah terikat pada
peraturan umum dan bukan keputusan yang sewenang-wenang (it is lawful rule
in the sense that government is carried on by general regulations and not by
arbitrary decrees, and also in the vaguer sense that the government does not
flout standing customs and conventions of the constitutions); dan ketiga,
keinginan pemerintah dijalankan berbeda dari despotisme yang dijalankan
dengan paksaan (government of willing subject as distinguished from a
despotism that it supported merely by force).

Bagi Aristoteles, manusia adalah binatang terbaik, tetapi menjadi yang


terburuk ketika terpisah dari hukum dan keadilan (Man, when perfected, is the
best of animals, but, when separated from law and justice, he is the worst of all).
Hukum harus memasukkan kebijakan yang sesungguhnya dan akumulasi
kebijakan dalam kebiasaan sosial. Sebuah konstitusi bukan hanya sebuah
pandangan hidup warga negara, tetapi juga sebuah organisasi jabatan untuk
menjalankan urusan publik. Namun sebuah konstitusi politik adalah hal yang
berbeda dengan pelaksanaan konstitusi. Sebuah pemerintahan demokratis dalam

12
bentuknya mungkin memerintah secara oligarkis, sementara sebuah oligarki
mungkin memerintah secara demokratis.

C. Sejarah Negara dan Pemerintahan Islam


Secara tegas dan spesifik al-Qur’an tidak bicara soal bagaimana bentuk
Negara atau pemerintahan versi doktrin Islam. Namun pada tataran riil di
lapangan, bahwa kehadiran sistem Negara dan pemerintahan versi doktrin
Islam realistis adanya. Khuda Bakhs, dalam menguraikan soal politik
dalam Islam berdasarkan atas tulisan Von Kramer, Welhausen, Goldziher dan
lain-lain, menulis bahwa Nabi Muhammad tidak hanya membawa agama baru,
tetapi juga membentuk suatu pemerintahan yang berbentuk teokratis, yang
puncaknya berdiri seorang wakil Tuhan di permukaan bumi. Dari kalangan para
penulis non muslim seperti W. Montgomery Watt juga berpendapat, bahwa
kehadiran Nabi Muhammad saw. disamping berkapasitas sebagai “rasul”-
pesuruh Allah untuk menyampaikan pesan-pesan kewahyuan-Nya-juga
berkapasitas sebagai Kepala Negara. Masyarakat yang beliau bentuk dan bina di
Madinah, bukanlah kalangan agama saja, tapi juga kalangan politik yang berasal
dari kesekutuan suku-suku bangsa Arab, dimana pada tahun 632 M. Nabi
Muhammad sebagai pemimpin (kepala Negara)nya. Bentuk persekutuan
sukusuku bangsa Arab tersebut, pada dasarnya adalah representasi rakyat
Madinah. Philip K. Hitti menulis, bahwa dari masyarakat keagamaan Madinah
terbentuklah suatu Negara yang lebih besar. Untuk pertama kali dalam sejarah
terbentuklah suatu masyarakat yang mempunyai agama, dan bukan darah
sebagai dasar. Di samping tugas kerasulannya, Nabi Muhammad juga memiliki
kekuasaan dunia sama dengan kepala Negara biasa.
Dari Madinah teokrasi Islam tersebar ke seluruh Arabia dan kemudian
mencakup sebagian terbesar dan Asia Barat dan Afrika Utara. Pasca pergeseran
kepemimpinan dari Rasul saw. yang selanjutnya berpindah ke tangan para
khalifah, terjadilah perubahan-perubahan mendasar. Yang semula berbentuk
teokratis berbasis kedaultan Tuhan, kini bergeser ke bentuk non teokratis,
dimana forsi akal dalam menggulirkan berbagai bola kebijakan lebih dominan.
Namun demikian, semangat merujuk kepada kebijakan syari’ah yang

13
diaktualkan dalam bentuk musyawarah mufakat ketika mengambil kebijakan,
juga menjadi prioritas utama. Oleh karena itu, para penulis politik dalam Islam,
menilai bahwa sistem pemerintahan yang dijalankan oleh khilifah yang empat-
Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali adalah paling ideal. Bahkan versi para
pemikir pembaharuan dalam Islam pada abad ke-19 dan abad ke-20, bahwa
paktor utama yang menyebabkan kemunduruan umat Islam, karena lenyapnya
khalifah yang empat dari dunia Islam yang bercorak republik yang demokratis.
Fadhil Zaky Muhammad menulis, bahwa jika sistem pemerintahan Islam
diterjemahkan ke dalam bahasa modern, dapat dikatakan bahwa sistem khilafah
banyak mempunyai persamaan dengan republikanisme. Mengingat, ketika
menentukan kepala Negara dilakukan melalui mekanisme pemilihan oleh rakyat
dan dalam waktu bersamaan kepada Negara juga bertanggung jawab kepada
rakyat. Sementara perbedaan antara keduanya, hanya terletak jabatan kekuasaan.
Dalam sistem khalifah, kepala Negara tetap memegang jabatan selama ia
tunduk kepada syari’ah, sedang dalam sistem republikenisme kepala Negara
menjabat hanya untuk waktu yang ditentukan. Khawaja Nazir Ahmad, menilai
bahwa pemerintahan Islam sampai pada batas puncak perkembangannya ketika
dipimpin oleh khalifah kedua-Umar Ib al-Khatab. Ia mampu membangun
pemerintahan yang sosialistis yang dasar-dasarnya telah diletakkan Nabi
Muhammad. Khawaja Nazir Ahmad, menilai bahwa pemerintahan Islam sampai
pada batas puncak perkembangannya ketika dipimpin oleh khalifah kedua-Umar
Ib al-Khatab. Ia mampu membangun pemerintahan yang sosialistis yang dasar-
dasarnya telah diletakkan Nabi Muhammad. Toha Hussein berpendapat bahwa
sistem khalifah tidak identik dengan teokrasi, absolut, demokrasi, monarki atau
republik, tetapi yang disebut sistem khalifah manakala ia terbangan atas dasar
syari’at Islam, dimana komunitas pendukungnya (umat Islam) sebagai
pengamalnya. Hal yang sama juga diungkapkan oleh H.D alRayes, bahwa
khilafah tidak identik dengan teokrasi, mengingat kedaulatan bukanlah di tangan
orang-orang beragama, tidak identik dengan nomokrasi, mengingat undang-
undangan bukan satu-satunya yang berperan dalam sistem pemerintahan dan

14
tidak pula identik dengan demokrasi mengingat rakyat tidak mempunyai
kedaulatan absolut.
Sesudah kekhalifahan Bani Abbas di Baghdad dihancurkan Hulago di
tahun 1258 dan kemudian muncul di sejarah kekhalifahan Turki di Istambul,
keadaan dunia Islam sama dengan keadaan di waktu kekhalifahan Bani Abbas.
Di daerah-daerah yang jauh dari Istambul terdapat Sultan-sultan, anatara lain
Indonesia, yang mengakui khalifah di Istambul sebagai penguasa tertinggi yang
mempunyai sifat kekudusan, Sultansultan itu mempunyai kekuasaan yang
absolut di daerah masingmasing. Bedanya kalau hanya raja-raja Bani Abbas
hanya mempunyai gelar khalifah. Raja-raja Turki Usmani di samping gelar
khalifah mempunyai gelar Sultan. Kekuasaan khalifah yang mempunyai sifat
kekudusan dan kekuasaan keduniaan Sultan berada di satu tangan, bukan dua
orang sebagai di zaman Bani Abbas. Jadi setelah wafatnya khalifah keempat
pada tahun 661 M, pemerintahan di dunia Islam seluruhnya, baik di pusat
maupun di daaerah bercorak monarki absolut. Suasana inilah yang terdapat
ketika pengaruh kebudayaan Barat masuk ke dunia Islam pada abad ke-19.
Dalam bidang politik pada mulanya paham konstitusi dan kemudian paham
republik mempunyai pengaruh pada pemikir-pemikir pembaharuan dalam Islam.
Timbulah di dunia Islam gerakan yang disebut gerakan konstitualisme. Rife’ah
Badawi Rafi’i al-thahthawi (1801-1873) seorang Syeikh dari al-azhar yang
pernah beberapa tahun tinggal di Paris sebagai imam mahasiswa Mesir yang
belajar di Ibu Kota prancis itu pulang ke negerinya dengan membawa ide-ide
baru. Ia sudah mengerti bahwa untuk kemajuan suatu masyarakat kekuasaan
absolut rajanya harus dibatasi. Tetapi ia belum melihat bahwa untuk itu
diperlukan konstitusi model Barat. Ide konstitusi dalam Islam menurut
pendapatnya terdapat dalam paham Syari’ah, yang harus dipatuhi khalifah dan
Sultan. Jamal al-din al-afghani yang kuat menentang kekuasaan absolut khalifah
dan Sultan-sultan di zamannya, juga melihat perlunya kekuasaan dibatasi dengan
kembali ke ajaran Islam yang mewajibkan khalifah dan Sultan tunduk kepada
Syari’ah. Perlu adanya konstitusi dalam arti modern untuk membatasi

15
kekuasaaan khalifah dan Sultan dijumpai buat pertama kali pada diri Khayr al-
Din al-Tunisi (1810-1889) di Tunis dan Namik Kemal (1840-1885) di Turki.
Kemajuan umat Islam di masa lampau diperoleh karena kekuasaan raja
Islam di waktu itu dibatasi oleh syari’ah; syari’ah menjamin hak-hak seorang
baik ia beragama atau tidak beragama Islam. Prinsip-prinsip Islam ini telah
diambil dan dipakai Eropa. Negara-negara yang pernah mencapai kemajuan
setinggitingginya adalah Negara-negara yang di dalamnya terdapat kemerdekaan
yang dijamin konstitusi. Atas usaha-usaha disusunlah konstitusi pertama di
dunia Islam dan diumumkan di Tunis pada bulan Januari 1861. Tetapi karena
rakyat belum matang untuk kehidupan konstitusional, konstitusi itu dibatalkan
pada tahun 1864. Namik Kemal berpendapat bahwa sistem pemerintahan
republik dan konstitusional tidaklah bertentangan dengan Islam. Di sini
kelihatannya pemimpin Usmani itu teringat kembali kepada khalifah Empat
besar yang kekuasaan mereka dibatasi oleh ayat-ayat al-Qur’an serta Sunah Nabi
dan pemerintahan mereka bercorak republik.
Sistem konstitusi dalam bentuk modern telah diamalkan di Eropa dengan
baik maka taklah perlu umat Islam mencari bentuk yang baru. Atas usahanya
dan persetujuan Sultan Abdul Hamid tersusunlah konstitusi kedua di dunia Islam
yang diumumkan Sultan pada tanggal 23 Desember 1876 di Istambul. Usia
konstitusi kerajaan Turki Usmani ini jauh lebih panjang dari konstitusi Tunis.
Pemerintahan monarki yang konstitusional yang dimulai di Tunis dan di Turki
itu kemudian diikuti oleh dunia Islam lainnya sehingga pada pertengahan
pertama abad ke-20 boleh dikatakan seluruh dunia Islam sudah mempunyai
konstitusi. Monarki absolut masa lampau dirubah menjadi monarki
konstitusional.
Perubahan terakhir di abad ke-20 dilakukan oleh Mustafa Kamal
Ataturk. Sebagai telah disebut di atas kepala Negara Turki mempunyai dua
kekuasaan. Kekuasaan yang bersifat kekudusan yang dipegangnya sebagai
Sultan. Atas dasar penegertian, bahwa dua kekuasaan itu bisa dipisahkan.
Ataturk mengusulkan kepada Dewan Nasional Turki untuk menghapuskan
kesultanan yang disetujui Dewan pada tanggal 1923 lahirlah sebagai gantinya

16
Republik Turki dengan Musthafa Kamal Ataturk sebagai presiden. Dalam pada
itu khalifah di Istambul masih tetap memegang kekuasaan sucinya. Terdapatlah
dua kekuasaan, khalifah di Istambul dan Presiden di Angkara yang memegang
kekuasaan keduniaannya. Keadaan kembali ke zaman Bani Abbas, di Baghdad
ada khalifah dan di daerah-daerah ada Sultan-sultan. Adanya dua kekuasaan di
Turki ini tak bisa bertahan lama. Khalifah di Istambul juga bersikap segabai
kepala Negara, menerima duta-duta asing dan tetap menjalankan upacar-upacara
kebesaran sebagai biasa di samping kegiatan-kegiatan lain. Kekuasaan khalifah
di Istambul merupakan saingan bagi kekuasaan Presiden di Ankara. Akhirnya
pada tanggal 3 Maret 1924, kekhalifahan sebagaimana halnya kesultanan juga
dihapuskan oleh Dewan Nasional. Turki menjadi Negara republik yang murni.
Langkah Turki ini kemudian diikuti oleh dunia Islam lainnya. Indonesia
sewaktu merdeka pada tahun 1945 mengambil bentuk republik, demikian juga
Pakistan pada tahun 1947. Pada tahun 1952 Jamal Abd al-Nasir menggulingkan
raja Faruq, dan sistem pemerintahan konstitusional dirubah menjadi sistem
republik. Dunia Arab dan Islam lainnya mengikuti, dan dewasa ini hanya
sebagian kecil dari Negara-neragara Islam yang masih tetap memegang sistem
monarki konstitusional terutama Arab Saudi, Marokko, dan Yordania. Loncatan
sistem pemerintahan perpektif Islam dalam lintasan sejarah terus bergulir dan
berkembang seiring dengan dinamika perubahan situasi dan kondisi yang
melatarinya . Dari corak teokrasi era Nabi Muhammad ke corak republik
demokratis era khalifah Empat Besar. Dan seterusnya bergeser ke monarki
absolut pada era dinasti-dinasti kecil, baik yang dipusat kota dengan gelar
khalifah, maupun di daerah yang bergelar sultan, yang pada akhirnya terhenti
pada corak republic pada pertengahan kedua abad ke-20.18

18
Saepullah, Islam Dan Sistem Pemerintahan Dalam Lintas Sejarah, Vol. 10, No. 2, hal 31-39.

17
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Dalam Islam, organisasi negara memperoleh kekuasaan dari rakyat, yaitu
masyarakat muslim yang bersifat demokratik. Menurut teori Islam, negara
dapat dibentuk apabila ada sekelompok orang yang telah menyatakan
bersedia melaksanakan kehendak Allah sebagaimana tercantum dalam
Wahyu-Nya. Dalam konsep Islam dalam negara ada 3 perspektif yaitu Islam
dan demokrasi, Pemerintah (Islam), dan Paradigma Pemikiran Politik
Konsep Negara. Menurut Azhary, ada beberapa gagasan tentang konsep
negara di Barat dalam proses perjalananya mengalami perubahan-perubahan
dari masa ke masa, sehingga tidak ada konsistensi di dalam penerapanya.
Semula konsep negara di Barat ditandai dengan kekosongan doktrin antara
negara dalam agama Kristen. Dalam proses perkembanganya pada abad
pertengahan agama Kristen menduduki posisi sentral dan yang paling
dominan dalam menguasai kedudukan negara. Ketika pada masa itu muncul
teori negara teokrasi mutlak dari pemikiran Agustinus. Dalam pemikiranya
Agustinus menolak negara diterapkan di muka bumi karena ia anggap
sebagai negara iblis yang hanya memberikan kesengsaraan kepada manusia.
Dengan begitu ia lebih sepakat dan mendambakan Negara Tuhan yang penuh
dengan kedamaian dan ketentraman, karena menurut ia faktor ketuhananlah
yang sangat dominan untuk membangun sebuah negara.
2. Dalam sejarah Barat, emikiran kenegaraan baru berkembang setelah Yunani
kuno, khususnya Athena, mengalami kemunduran. Hal ini merupakan akibat
dari perang Peloponesus. Adalah Socrates (470 – 399 SM) yang pertama kali
membicarakan masalah-masalah kenegaraan secara sistematis. Sebelum
Socrates, Pericles yang banyak memberikan pidato kenegaraan dalam
karirnya sebagai politisi hingga disebandingkan dengan posisi perdana
menteri pada saat itu. Socrates menyatakan bahwa tugas negara adalah

18
mendidik warga negara dalam keutamaannya, yaitu memajukan kebahagiaan
warga negara dan membuat jiwa mereka sebaik mungkin.
3. Secara tegas dan spesifik al-Qur’an tidak bicara soal bagaimana bentuk
Negara atau pemerintahan versi doktrin Islam. Namun pada tataran riil di
lapangan, bahwa kehadiran sistem Negara dan pemerintahan versi doktrin
Islam realistis adanya. Khuda Bakhs, dalam menguraikan soal politik
dalam Islam berdasarkan atas tulisan Von Kramer, Welhausen, Goldziher
dan lain-lain, menulis bahwa Nabi Muhammad tidak hanya membawa agama
baru, tetapi juga membentuk suatu pemerintahan yang berbentuk
teokratis, yang puncaknya berdiri seorang wakil Tuhan di permukaan bumi.
Dari kalangan para penulis non muslim seperti W. Montgomery Watt juga
berpendapat, bahwa kehadiran Nabi Muhammad saw. disamping
berkapasitas sebagai “rasul”-pesuruh Allah untuk menyampaikan pesan-
pesan kewahyuan-Nya-juga berkapasitas sebagai Kepala Negara.

19
DAFTAR PUSTAKA

Ali Engineer, Asghar, Devolusi Negara Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000.

Azhary, M. Tahir, Negara Hukum: Suatu Tinjauan Prinsip-prinsipnya dilihat dari Segi
Hukum, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini,
Jakarta: Bulan Bintang, 1992.

Bakar Abyhara, Abu, Pengantar Ilmu Politik, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2010.

Basah, Sjahran, Ilmu Negara; Pengantar, Metode dan Sejarah Perkembangannya,


(Bandung: Alumni, 1987).

Budiardjo, Miriam, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia, 1984.

Fazlurrahman, Cita-cita Islam, Bandung: Pustaka Pelajar, 1988.

M Hasbi, Amiruddin, Konsep Negara Islam Menurut Fazlurrahman, Yogyakarta: UII


Press, 2000.

Noer, Deliar, Pemikiran Politik di Negeri Barat, Bandung: Mizan, 1998.

Romli, Lili, Islam Yes Partai Islam Yes Sejarah Perkembangan Partai-partai Islam di
Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar , 2006.

Saepullah, Islam Dan Sistem Pemerintahan Dalam Lintas Sejarah, Vol. 10, No. 2.

Syafi'i Maarif, Ahmad, Islam dan Cita-cita dan Masalah Kenegaraan, Jakarta: LP3ES,
1985.

Zainuddin, A. Rahman, Kekuasaan dan Negara, Jakarta: Gramedia, 1992.

20

Anda mungkin juga menyukai