Anda di halaman 1dari 50

RESUME HUKUM PERDATA

Oleh :

KELOMPOK 2

1. Dina Ariska Putri (12103193035)


2. Novia Syawitri (12103193051)
3. Afifa Tyastiti (12103193062)
4. Noer Mukarrom Putra (12103193067)
5. Farid Ainil Hami (12103193068)
6. M. Zein Hafizzudin (12103193103)

Judul Buku : Hukum Perdata Indonesia

Penulis : Prof. Abdulkadir Muhammad, S.H.

Penerbit : PT. Citra Aditya Bakti

Tahun Terbit : 2000

BAB I

HUKUM PERDATA

1. PENDAHULUAN

Dalam bab ini dibahas beberapa hal mengenai hukum perdata. Pembahasan ini
menekankan pada pengertian dasar, pembentukan, dan berlakunya hukum perdata. Hal ini
lebih diutamakan karena mengingat keadaan hukum perdata meliputi lingkup hukum perdata,
sejarah hukum perdata, hukum perdata nasional, sumber hukum perdata, kodifikasi dan
sistematika, berlakunya hukum perdata, dan beberapa pertanyaan latihan.

2. LINGKUP HUKUM PERDATA

1. Pengertian hukum perdata


Hukum perdata adalah segala peraturan hukum yang mengatur hubungan hukum
antara orang yang satu dengan yang lain. Dalam definisi ini ada Tiga unsur yang perlu
dibahas. Unsur-unsur tersebut adalah:

1. Peraturan hukum

Peraturan artinya rangkaian ketentuan mengenai ketertiban. Peraturan itu ada tertulis
dan tidak tertulis. Hukum artinya segala peraturan tertulis dan tidak tertulis yang mempunyai
sanksi yang tegas terhadap pelanggarnya

2. Hubungan Hukum

Hubungan hukum adalah hubungan yang di atur oleh hukum. Hubungan yang diatur
oleh hukum adalah hak dan kewajiban warga, pribadi yang satu dengan pribadi yang lain
dalam bermasyarakat. Jadi hubungan hukum adalah hak dan kewajiban setiap warga atau
pribadi dalam masyarakat. Apabila kewajiban tersebut tidak dipenuhi dapat dikenakan saksi
menurut hukum.

3. Orang (Persoon)

Orang (Persoon) adalah subjek hukum, yaitu, pendukung hak dan kewajiban.
Pendukung hak dan kewajiban ini berupa manusia pribadi dan badan hukum.

Dari uraian mengenai definisi hukum perdata tersebut dapat disimpulkan bahwa

2. Materi Hukum Perdata

Timbulnya hukum adalah karena adanya manusia yang hidup bermasyarakat. Hukum
mengatur hak dan kewajiban dalam hidup masyarakat dan juga mengatur bagaimana cara
melaksanakan dan mempertahankan han dan kewajiban itu. Dalam pergaulan hidup
bermasyarakat manusia dalah sentral. Manusia adalah penggerak kehidupan masyarakat,
karena manusia adalah pendukung hak dan kewajiban.

Sebagai mahluk sosial, manusia mempunyai kebutuhan. Kebetuhuna itu hanya dapat
terpenuhi apabila di lakukan dengan usaha dan kerja keras. Mereka berintraksi hubungan
antara satu dan yang lain. Keberhasilan dalam usaha kehidupan adalah harta kekayaan yang
mereka miliki, dan kelangsungan hidup keluarga terjamin. Dengan demikian, hukum perdata
material mengatur tentang harta kekayaan. Manusia hidup tidak abadi. Siapakah yang berhak
mengurus dan memiliki harta kekayaan it. Dengan demikian, hukum perdata material
mengatur tentang pewarisan.

Atas dasar siklus kehidupan manusia ini, maka hukum peradata material memuat dan
mengatur segala persoalan mengenai:

1. Orang sebagai pendukung hak dan kewajiaban (personenrecht)

2. Keluarga sebagai unit masyarakat terkecil (familierecht)

3. Harta kekayaan (vermogensrecht)

4. Pewaris (erfrecht)

Inilah sub-sub bidang hukum perdata yang termasuk dalam hukum perdata material.
Sedangkan sub-bidang mengenai cara melaksanakan dan mempertahankan hak dan
kewajiban, termasuk dalam hukum acara perdata. Hukum acara perdata merupakan sub-
disiplin ilmu hukum yang berdiri sendiri.

3. Sejarah Hukum Perdata

1. Hukum Perdata Belanda

Hukum perdata Belanda berasal dari hukum perdata Prancis, yang berinduk pada
Code Civil Prancis. Pada zaman pemerintahan Napoleon Prancis pernah menjajah Belanda
dan Code Civil di berlakukan pula di Belanda. kemudian setelah Belanda merdeka dari
kekuasan Prancis, Belanda menginginkan pembentukan kitab undang-undang hukum perdata
sendiri yang lepas dari pengaruh kekuasaan Prancis. Pembentukan kodifikasi Belanda
tersebut selesai pada tanggal 5 Juli 1830 dan direncanakan diberlakukan pada tanggal 1
Februari 1831.

2. Hukum Perdata Indonesia

Yang dimaksud dengan Hukum perdata Indonesia adalah Hukum perdata yang
berlaku di Indonesia. Hukum perdata yang berlaku di Indonesia adalah hukum perdata Barat
(Belanda), yang berinduk pada kitab Undang-Undang Hukum perdata (KUHPdt), dalam
bahasa aslinya disebut Burgerlijk Wetboek ini yang berlaku pada di Hindia Belanda dulu. Di
samping KUHPdt, hukum perdata Indonesia itu meliputu Undang-undang hukum perdata
buatan pembentukan undang-undang Republik Indonesia, misalnya Undang-undang
perkawinan No. 1 Tahun 1974, Undang-undang pokok Agraria No. 5 Tahun 1960, keputusan
presiden No. 12 tahun 1983 tentang penataan dan peningkatan pembinaan penyelengaraan
Catatan sipil. Dengan demikian jelaslah rumusan hukum perdata Indonesia.

3. B.W. (KUHPdt) sebagai Himpunan Hukum tak tertulis

B.W. Hindia Belanda diperuntukkan bagi penduduk golongan Eropah dan yang
dipersamakan berdasarkan pasal 1 3 1 I.S. jo 163 I.S. setelah Indonesia merdeka, keberlakuan
untuk warga negara Indonesia keturunan Eropa dan yang di persamakan terus berlangsung.
Keberlakuan yang demikian adalah formal berdasarkan aturan peralihan UUD 45.

Atas dasar pertimbangan situasi dan kondisi sebagai negara dan bangsa yang
merdeka, dan dalam rangka penyesuaian hukum kolonial ke dalam hukum Indonsesia
maerdeka, maka pada tahun 1962 Dr. Sahardjo, S.H. Menteri Kehakiman R.I. pada waktu itu
menegeluarkan gagasan, yang menggangap B.W. (KUHPdt) Indonesia sebagai himpunan
hukum tak tertulis. Oleh karena itu sebagai himpunan tak tertulis, maka dapat dipedomani
oleh semua warga negara Indonesia.

4. HUKUM PERDATA NASIONAL

Hukum perdata yang berlaku di Indonesia ada hukum perdata barat dan ada hukum
perdata nasional. Hukum perdata barata adalah hukum perdata bekas peninggalan zaman
kolonial Belanda yang berlakunya di Indonesia berdasarkan aturan peralihan UUD45.
Sedangakan hukum perdata nasional adalah hukum perdata yang diciptakan oleh Indonesia
merdeka.

Untuk mengetahui bahwa hukum perdata itu berpredikat nasional perlu ditentukan
kriteria yang jelas. Kriteria tersebut adalah sebagai berikut:

1. berasal dari hukum perdata Indonesia.

2. berdasarkan pada sistem nilai budaya pancasila

3. produk hukum pembentuk undang-undang Indonesia

4. berlaku untuk semua warga negara Indonesia


5. berlaku untuk seluruh wilayah Indonesia

5. SUMBER HUKUM PERDATA

1. Arti Sumber Hukum

Sumber hukum perdata adalah asal mula hukum perdata, atau tempat di mana hukum
perdata ditemukan. Asal mula itu menunjuk kepada sejarah asalnya dan pembentukanya.
Sedangkan tempat menunjuk kepada rumusan-rumusan itu dimuat dan dapat dibaca.

2. Sumber dalam arti formal

Sumber dalam arti sejarah asalnya hukum perdata asumber dalah hukum perdata
buatan pemerintah kolonial Belanda yang terhimpun dalam B.W. (KUHPdt). Sumber dalam
arti pembentukanya adalah pembentuk undang-undang berdasrkan UUD45. UUD45
ditetapkan oleh rakyat Indonesia, yang di dalamnya termasuk juga aturan peralihan.

3. sumber dalam arti material

Sumber hukum perdata dalam arti material umunya masih bekas peninggalan zaman
kolonial dahulu, terutama terdapat dalam Staatsblad. Sedangkan yang lainya sebagian besar
yurisprodensi Mahkamah Agung R.I. yang memuat hukum perdata nasional R.I.

6. KODIFIKASI DAN SISTEMATIKA

1. Himpunan undang-undang dan kodifikasi

Undang-undang dan peraturan pelaksanaanya itu dapat dihimpun dalam satu bundel
peraturan perundang-undangan. Himpunan ini disebut ‘himpunan undang-undang’, misalnya
himpunan undang-undang agraria, himpunan undang-undang perkawinan, himpunan undang-
undang perusahaan dll.

Sedangkan kodifikasi berasal dari kata ‘’cope’’ bahasa Prancis, artinya kitab undang-
undang. Kodifikasi artinya penghimpunan ketentuan-ketentuan bidang hukum tertentu dalam
satu kitab undang-undang yang tersusun secara sistematis, lengkap dan tuntas.

2. Sistematika Kodifikasi

Sistematika artinya susunan yang teratur. Sistematika kodifikasi artinya susunan yang
teratur dari suatu kodifikasi. Sistematika kodifikasi hukum perdata juga meliputi bentuk dan
isi. Sistematika isi kitab undang-undang hukum perdata meliputi kelompok materi
berdasarkan sistem fungsional. Sistem fungsional ini ada dua macam, yaitu menurut
pembentukan undang-undang dan menurut ilmu pengetahuan hukum.

7. BERLAKUNYA HUKUM PERDATA

Berlaku artinya diterima untuk dilaksanakan. Berlakunya hukum perdata artinya


diterimanya hukum perdata untuk dilaksanakan. Adapun dasar berlakunya hukum perdata
adalah ketentuan undang-undang, perjanjian yang dibuat oleh pihak pihak, dan keputusan
Hakim. Realisasi berlakunya melaksanakan perintah dan menjauhi laranganya. Yang
ditetpakan oleh hukum kewajiban selalu diimbangi dengan hak.

1. Ketentuan Undang-Undang

Berlakunya hukum perdata karena ketentuan undang-undang. Artinya undang-undang


yang menetapkan diterimanya kewajiban hukum yang dilaksanakan. Undang-undang
mengikat semua orang. Setiap orang wajib mematuhi undang-undang. Jika tidak dipatuhi, itu
adalah pelanggaran.

Berlakunya hukum perdata ada bersifat memaksa, dan ada pula bersifat sukarela.
Bersifat memaksa artinya kewajiban hukum harus dilaksanakan, baik dengan berbuat atau
tudak berbuat. Jika tidak dilaksanakan, kepada yang bersangkutan dikenakan sanksi. Adanya
kewajiban hukum itu karena danya hubungan hukum. Hubungan hukum tersebut ditetapkan
oleh undang-undang. Jadi, undang-undang menciptakan hubungan hukum antara pihak-pihak.

Undang-undang juga menentukan bahwa setiap keadaan tertentu dapat menimbulkan


hubungan hukum antara dua pihak. Undang-undang juga menentukan bahwa setiap perbuatan
yang merugikan orang lain menimbulkan hubungan hukum antara pihak yang berbuat dan
pihak yang di rugikan (Pasal 1365 KUHPdt). Artinya undang-undang mewajibkan pihak yang
berbuat membayar ganti kerugian kepada pihak yang dirugikan.

2. Perjanjian antara pihak-pihak

Hukum perdata juga berlaku karena ditentukan oleh perjanjian. Artinya perjanjian
yang dibuat oleh pihak-pihak hukum untuk dilaksanakan. Perjanjian berlaku sebagai undang-
undang bagi pihak-pihak yang membuatnya. Perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad
baik (te goeder trouw, pasal 1338 KUHPdt)

Ada dua macam perjanjian, yaitu:


1. Perjanjian harta kekayaan, yaitu perjanjian yang menimbulkan kewajiban dan hak
yang bertimbal balik mengenai harta kekayaan.

2. Perjanjian kawin, yaitu perjanjian yang menimbulkan kewajiban dan hak suami istri
secara bertimbal balik dalam hubungan perkawinan. Perjanjian ini terletak pada
bidang moral dan kesusilaan tidak dapat dinilai dengan uang.

3. Keputusan Hakim

Hukum perdata juga berlaku karena ditetapkan oleh hakim melalui putusanya. Hali ini
dapat terjadi karena ada perbedaan pendapat atau perselisihan mengenai pelaksanaan
kewajiban dan hak yang di tetapkan oleh hukum perdata. Keputusan hakim inilah yang
menetapkan diterimanya kewajiban dan hak mereka yang bersengketa.

Putusan Hakim selalu bersifat memaksa artinya jika ada pihak yang tidak
mematuhinya, Hakim dapat memerintahkan pihak yang bersangkutan supaya
mematuhinyadengan kesadaran sendiri. Jika masih tidak dipatuhi, Hakim dapat
melaksanakan putusanya dengan kekerasan (paksa), bila perlu dengan bantuan alat negara
semisal polisi.

4. Akibatnya Berlakunya Hukum Perdata

Sebagai akibat berlakunya hukum perdata ialah adanya pelaksanaan, pemenuhan,


realisasi, kewajiban hukum perdata. Ada tiga kemungkinan hasilnya, yaitu:

1. tercapai tujuan, apabila kedua pihak memenuhi kewajiban dan hak bertimbal balik secara
penuh.

2. tidak tercapai tujuan, apabila salah satu pihak tidak memenuhi kewajiban.

3. terjadi keadaan yang bukan tujuan, yaitu kerugian akibat perbuatan melanggar hukum.
BAB II

HUKUM BADAN PRIBADI

A. Orang sebagai Subjek Hukum


1. Subjek Hukum
Adalah pendukung hak dan kewajiban, yaitu orang yang terdiri dari manusia
pribadi dan badan hukum. Manusia pribadi adalah subjek hukum dalam arti
bilogis, badan hukum adalah subjek hukum dalam arti yuridis
2. Pengakuan sebagai Subjek Hukum
Pengakuan terhadap manusia pribadi sebagai subjek hukum dapat dilakukan sejak
ia masih di dalam kandungan ibunya (pasal 2 KUHPdt). Negara Indonesia sebagai
negara hukum mengakui manusia pribadi sebagai subjek hukum, pendukung hak
dan kewajiban.
B. Badan Hukum
1. Klasifikasi Badan Hukum
Pasal 1653 KUHPdt :
a. Badan hukum yang dibentuk oleh pemerintah, seperti badan-badan
pemerintahan, perusahaan-perusahaan negara.
b. Badan hukum yang diakui pemerintah, seperti Perseroan Terbatas, Koperasi.
c. Badan hukum yang diperbolehkan pemerintah atau untuk suatu tujuan tertentu
yang bersifat ideal, seperti yayasan.

Dilihat dari wewenang hukum yang diberikan pada badan hukum :

a. Badan hukum publik (kenegaraan) : dibentuk oleh pemerintah, diberi


wewenang menurut hukum publik (MPR, DPR, MA, dsb)
b. Badan hukum privat (keperdataan) : dibentuk oleh pemerintah atau swasta,
diberi wewenang menurut hukum perdata.

Dilihat dari segi tujuan keperdataan yang hendak dicapai ;

a. Badan hukum yang bertujuan memperoleh laba : (Perum, Persero, Perjan, PT)
b. Badan hukum yang bertujuan memenuhi kesejahteraan para anggotanya :
Koperasi
c. Badan hukum yang bertujuan bersifat ideal di bidang sosial, pendidikan, ilmu
pengetahuan, kebudayaan, keagamaan
2. Syarat-syarat Pembentukan Badan Hukum
Menurut Prof. Meyers (1948) :
a. Ada harta kekayaan sendiri
b. Ada tujuan tertentu
c. Ada kepentingan sendiri
d. Ada organisasi yang teratur

Empat syarat tersebut disebut syarat material pembentukan badan hukum,


sedangkan syarat formal adalah pembuatan akta Notaris atau pembuatan undang-
undang yang melahirkan badan hukum itu.

3. Prosedur Pembentukan Badan Hukum


Pembentukan badan hukum dapat dilakukan dengan perjanjian dan dapat pula
dilakukan dengan undang-undang. Pada badan hukum yang dibentuk dengan
perjanjian, status badan hukum itu diakui oleh pemerintah melalui pengesahan
anggaran dasar yang termuat dalam akta pendirian. Anggaran dasar itu adalah
kesepakatan yang dibuat oleh para pendirinya. Misalnya pada PT, Koperasi. Pada
badan hukum yang dibentuk dengan undang-undang, status badan hukum itu
ditetapkan oleh undang-undang, misalnya pembentukan Perum, Persero, Perjan,
dll.
C. Tempat Tinggal
1. Definisi
Tempat dimana seseorang tinggal/berkeddukan serta mempunyai hak dan
kewajiban hukum.
2. Hak dan Kewajiban
Dapat timbul dalam bidang hukum publik dan hukum perdata. Dalam bidang
hukum publik :
a. Hak mengikuti pemilu di TPS dimana yang bersangkutan tinggal
b. Kewajiban membayar pajak bumi
c. Kewajiban membayar pajak kendaraan bermotor

Dalam bidang hukum perdata :

a. Jika dalam perjanjian tidak ditentukan tempat pembayaran, debitur wajib


membayar di tempat tinggal kreditur
b. Debitur wajib membayar wesel/cek kepada kreditur di tempat tinggal
debitur
c. Debitur berhak menerima kredit dari kreditur (bank) di kantor kreditur,
demikian juga kewajiban membayar kredit dilakukan di kantor kreditur
(bank)
3. Status Hukum
Status hukum seseorang juga menentukan tempat tinggalnya, sehingga akan
menentukan pula hak dan kewajiban menurut hukum. Misalnya tempat tinggal
seorang istri ditentukan oleh pemufakatan dengan suaminya. Dengan demikian,
hak dan kewajiban hukum mengikuti tempat tinggal yang ditentukan itu.
4. Jenis Tempat Tinggal
Dilihat dari segi terjadinya peristiwa hukum :
a. Tempat tinggal yuridis
b. Tempat tinggal nyata
c. Tempat tinggal ikutan (tergantung)
5. Arti penting tempat tinggal
Yaitu dalam hal pemenuhan hak dan kewajiban, penentuan status hukum
seseorang dalam lalu lintas hukum, dan berurusan dengan pengadilan.
D. Kewenangan Berhak dan Berbuat
1. Kewenangan Berhak
Hukum perdata mengatur tentang hak keperdataan. Manusia pribadi mempunyai
kewenangan berhak sejak ia dilahirkan, bahkan sejak dalam kandungan ibunya,
asal ia lahir hidup apabila kepentingannya menghendaki (pasal 2 KUHPdt).
Kewenangan berhak tidak dapat dihilangkan/ditiadakan oleh suatu hukuman
apapun (pasal 3 KUHPdt). Hak perdata merupakan hak asasi yang melekat pada
diri pribadi setiap orang, contohnya adalah hak hidup, hak memiliki, hak tempat
tinggal, dll. Hak perdata berbeda dengan hak publik, hak publik dapat hilang
apabila negara menghendakinya. Contohnya adalah hak memilih dan dipilih
dalam pemilu, hak menjadi PNS, dsb.
2. Kewenangan Berbuat
Ada dua pengertian tentang wenang berbuat :
a. Cakap atau mampu berbuat karena memenuhi syarat hukum (bekwaam,
capable)
b. Kuasa atau berhak berbuat karena diakui oleh hukum walaupun tidak
memenuhi syarat hukum (bevoegd, competent)
E. Kedewasaan dan Pendewasaan
1. Menurut Konsep Hukum Perdata Barat
Kedewasaan merujuk pada keadaan sudah dewasa, yang memenuhi syarat hukum.
Pendewasaan menunjuk pada keadaan belum dewasa yang oleh hukum dinyatakan
sebagai dewasa. Pasal 330 KUHPdt menyatakan belum dewasa (minderjarig)
adalah belum berumur 21 tahun penuh dan belum pernah kawin. Apabila mereka
yang kawin sebelum umur 21 tahun penuh kemudian bercerai, mereka tidak
kembali lagi dalam keadaan belum dewasa.
2. Menurut Konsep Hukum Adat
Hukum adat tidak mengenal batas umur untuk menentukan belum dewasa atau
sudah dewasa. Hukum adat menentukan secara insidental saja apakah seseorang
itu, berhubung umur dan perkembangan jiwanya patut dianggap cakap atau tidak,
mampu atau tidak mampu melakukan perbuatan hukum tertentu dalam hubungan
hukum tertentu pula. Artinya apakah ia dapat memperhitungkan dan memelihara
kepentingannya sendiri dalam perbuatan hukum yang dihadapinya itu.
3. Menurut Konsep Undang-Undang R.I. sekarang
Pengertian belum dewasa dan dewasa dapat dinyatakan seragam untuk semua
warga negara Indonesia. Dikatakan belum dewasa apabila belum berumur 21
tahun penuh dan belum pernah kawin. Pengertian sudah berumur 21 tahun penuh
atau sudah pernah kawin disebut dewasa undang-undang (dewasa hukum).
F. Pencatatan Peristiwa Hukum
1. Peristiwa Hukum yang Dicatat
Ada 5 peristiwa :
a. Kelahiran, menentukan status hukum seseorang sebagai subjek hukum;
b. Perkawinan, menentukan status hukum seseorang sebagai suami atau istri
dalam ikatan perkawinan menurut hukum;
c. Perceraian, menentukan status hukum seseorang sebagai janda atau duda, yang
bebas dari ikatan perkawinan;
d. Kematian, menentukan status hukum seseorang sebagai ahli waris, sebagai
janda atau duda dari almarhum/almarhumah’
e. Penggantian nama, menentukan status hukum seseorang dengan identitas
tertentu dalam hukum perdata.
2. Tujuan Pencatatan
Untuk memperoleh kepastian hukum tentang status perdata seseorang yang
mengalami peristiwa hukum tersebut.
3. Fungsi Pencatatan
Yaitu pembuktian bahwa peristiwa hukum yang dialami oleh seseorang itu benar
telah terjadi. Untuk membuktikannya, diperlukan surat keterangan yang
menyatakan telah terjadi peristiwa hukum pada hari, tanggal, bulan, tahun di
tempat tertentu atas nama seseorang. Yang memberikan surat keterangan itu
adalah pejabat/petugas yang menangani atau berwenang untuk itu.
4. Lembaga Catatan Sipil
Untuk melakukan pencatatan, maka dibentuk lembaga khusus yang disebut
Catatan Sipil (Burgerlijka Stand). Catatan sipil artinya catatan mengenai peristiwa
perdata yang dialami seseorang. Catatan sipil meliputi kegiatan pencatatan
peristiwa hukum yang berlaku umum untuk semua warga negara Indonesia dan
yang berlaku khusus untuk warga negara Indonesia yang beragama Islam
mengenai perkawinan dan perceraian. Fungsi kantor catatan sipil adalah untuk
mencatat dan menerbitkan kutipan akta kelahiran, perkawinan, perceraian,
kematian, pengakuan dan pengesahan anak, dan akta ganti nama.
5. Syarat dan Prosedur Pencatatan
Syarat yaitu adanya surat keterangan yang menyatakan telah terjadi peristiwa
hukum ybs. Surat keterangan ini kemudian dibawa oleh yag berkepentingan
kepada pejabat kantor catatan sipil untuk dicatat/didaftarkan dalam buku akta
yang disediakan untuk setiap peristiwa hukum. Kemudian pejabat kantor catatan
sipil akan menerbitkan kutipan akta yang bersifat otentik.
6. Pengaturan Catatan Sipil Indonesia
Undang-undang yang mengatur tentang catatan sipil di Indonesia :
a. Reglemen Catatan Sipil Stb. 1849-25 tentang Pencatatan Perkawinan dan
Perceraian bagi warga negara Indonesia keturunan Eropa.
b. Reglemen Catatan Sipil Stb. 1917-130 jo. Stb. 1919-81 tentang Pencatatan
Perkawinan dan Perceraian bagi warga negara Indonesia keturunan Cina.
c. Reglemen Catatan Sipil Stb. 1933-75 jo. Stb. 1936-81 tentang Pencatatan
Perkawinan dan Percerian bagi warga negara Indonesia yang beragama
Kristen di Jawa, Madura, Minahasa, Ambon, dan sebagainya.
d. Reglemen Catatan Sipil Stb. 1904-279 tentang Pencatatan Perkawinan dan
Perceraian bagi warga negara Indonesia perkawinan campuran.
e. Reglemen Catatan Sipil Stb. 1920-751 jo. Stb. 1927-564 tentang Pencatatan
Kelahiran dan kematian bagi warga negara Indonesia asli di Jawa dan Madura.
f. B.W. Stb. 1847-23 yang mengatur pencatatan sipil lainnya.
g. Undang-Undang No. 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan
Rujuk bagi warga negara Indonesia beragama Islam.

Dari tujuh undang-undang tersebut, dapat dihimpun tiga macam catatan sipil :

a. Catatan Sipil untuk warga negara Indonesia tentang : a) kelahiran, b)


kematian, c) penggantian nama.
b. Catatan Sipil untuk warga negara Indonesia non Islam tentang : a) perkawinan,
b) perceraian.
c. Catatan Sipil untuk warga negara Indonesia beragama Islam tentang : a)
perkawinan, b) perceraian.
G. Keadaan Tak Hadir
1. Definisi
Keadaan tidak adanya seseorang di tempat kediamannya karena bepergian atau
meninggalkan tempat kediaman baik dengan izin atau tanpa izin dan tidak
diketahui dimana tempat ia berada. Dalam definisi ini terdapat unsur-unsur yang
perlu diperhatikan, yaitu :
a. Seseorang, ini menunjuk kepada salah satu anggota keluarga mungkin suami,
mungkin istri, mungkin anak.
b. Tidak ada di tempat kediaman, artinya tidak ada di lingkungan keluarga
dimana mereka berdiam serta mempunyai hak dan kewajiban hukum.
c. Bepergian atau meninggalkan tempat kediam, artinya menuju dan berada di
tempat lain karena suatu keperluan atau tanpa keperluan.
d. Dengan izin atau tanpa izin, artinya dengan atau tanpa persetujuan dan
sepengetahuan anggota keluarga.
e. Tak diketahui dimana tempat ia berada, artinya tempat yang dituju dan dimana
ia berada tidak diketahui sama sekali, karena ybs tidak memberi kabar atau
karena sulit berkomunikasi.
2. Pengaruh Keadaan tak Hadir
Keadaan tak hadir mempengaruhi dan memberi akibat hukum kepada ybs sendiri
dan kepada keluarga yang ditinggalkan. Pengaruh keadaan tak hadir itu ialah pada
:
a. Penyelenggaraan kepentingan yang bersangkutan;
b. Status hukum yang bersangkutan sendiri atau status hukum anggota keluarga
yang ditinggalkan mengenai perkawinan dan pewarisan.
3. Tahap-tahap Penyelesaian Keadaan Tak Hadir
KUHPdt mengatur tahap-tahap penyelesaian keadaan tak hadir dalam tiga tahap,
yaitu :
a. Tahap tindakan sementara
b. Tahap pernyataan barangkali meninggal dunia
c. Tahap pewarisan secara definitif
4. Beberapa Pertimbangan
Keadaan tak hadir perlu mendapat pengaturan dalam hukum perdata nasional,
dengan memperhatikan :
a. Kepergian atau meninggalkan tempat kediaman dilakukan oleh ybs tanpa izin
keluarga yang ditinggalkan, tanpa alasan yang sah, atau karena hal lain di luar
kemampuannya.
b. Keluarga yang ditinggalkan.
c. Yang meninggalkan tempat kediaman itu tidak memberi kuasa kepada pihak
keluarga yang ditinggalkan untuk mengurus harta kekayaan dan
kepentingannya, sedangkan tempat ia berada tidak diketahui sama sekali.
d. Meninggalkan tempat kediaman itu dalam tenggang waktu dua tahun berturut-
turut, dan jika ada kepastian peristiwa-peristiwa penyebab ketidakhadirannya,
maka tenggang waktu tersebut dapat diperpendek menjadi satu tahun.
e. Pengadilan Negeri adalah yang berwenang menetapkan ketidakhadiran yang
bersangkutan dan menetapkan pihak yang berkepentingan mengurus segala
harta kekayaan dan kepentingan orang yang tak hadir itu, atas permohonan
keluarga yang ditinggalkan.
f. Tahap-tahap dan prosedur penyelesaian keadaan tak hadir dapat diikuti dan
dipertahankan.
BAB III

HUKUM KELUARGA

1. PENDAHULUAN

Dalam bab ini dibahas tentang hukum keluarga. Pembahasan ini menekankan pada
Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974. Hal ini dilakukan mengingat undang-undang
tersebut mencabut berlakunya ketentuan-ketenatuan mengenai perkawinan dan segala akibat
hukumnya yang terdapat dalam buku I KUHPdt.

Pembahasan ini mengikuti sistematika ilmu pengetahuan hukum dalam sistematika


mana mengenai keluarga ditempatkan dalam buku II.

Dengan demikian, pembahasan tentang hukum keluarga dalam bab ini meliputi
hubungan keluarga, hubungan darah, perkawinan, keturunan, kekuasaan orang tua, harta
benda perkawinan, perwalian, perceraian, dan pertanyaan-pertanyaan latihan.

2. HUBUNGAN KELUARGA DAN HUBUNGAN DARAH

1. Pengertian Keluarga

Keluarga adalah kesatuan masyarakat terkecil yang terdiri dari suami, istri, dan anak
yang berdiam dalam satu tempat tinggal. Ini pengertian keluarga dalam arti sempit. Apabila
dalam satu tempat tinggal itu berdiam pula pihak lain sebagai akibat adanya perkawinan,
maka terjadilah kelompok anggota keluarga yang terdiri dari orang-orang yang mempunyai
hubungan karena perkawinan dank arena pertalian darah. Ini pengertian keluarga dalam arti
luas.

Hubungan keluarga dan hubungan darah adalah dua pengertian yang berbeda.
Hubungan keluarga adalah hubungan dalam kehidupan keluarga, yang terjadi karena
hubungan perkawinan dan karena hubungan darah.

2. Hubungan Darah

Hubungan darah adalah pertalian darah antara orang yang satu dan orang lain karena
berasal dari leluhur yang sama (ketunggalan leluhur). Hubungan darah itu terdiri dari dua
garis, yaitu hubungan darah menurut garis lurus ke atas dank e bawah, dan hubungan darah
menurut garis ke samping.
Daftar yang menggabarkan ketunggalan leluhur antara orang-orang yang mempunyai
pertalian darah disbut “silsilah”.

Istilah-istilah atau sebutan dan tingkatan hubungan darah itu adalah sbb :

1. Hubungan darah antara anak dan ayah/ibu disebut hubungan satu tingkat;
2. Hubungan darah antara anak dan nenek/kakek disebut hubungan dua tingkat;
3. Hubungan darah antara anak dan puyang disebut hubungan tiga tingkat;
4. Hubungan darah antara ayah/ibu dan anak disebut hubungan satu tingkat;
5. Hubungan darah antara ayah/ibu dan cucu disebut hubungan dua tingkat;
6. Hubungan darah antara ayah/ibu dan cicit disebut hubungan tiga tingkat;
7. Hubungan darah antara saudara kandung disebut hubungan dua tingkat;
8. Hubungan darah antara anak dan paman/bibi disebut hubungan tiga tingkat;
9. Hubungan darah antara anak dan anak paman/bibi disebut hubungan empat tingkat;
10. Hubungan darah antara saya dan anak saudara kandung saya (antara saya dan
keponakan saya) disebut hubungan tiga tingkat;
11. Hubungan darah antara anak saya dan anak saudara kandung saya (antara anak saya
dan keponakan saya) disebut hubungan empat tingkat;

3. Arti Penting Hubungan Darah

Jauh dekat hubungan darah mempunyai arti penting dalam hal perkawinan, pewarisan,
dan perwalian dalam keluarga. Demikian juga dengan urutan dalam pewarisan. Hubungan
darah sampai batas tertentu menentukan urutan prioritas sebagai ahli waris.

Demikian juga dalam perwalian. Hubungan darah sampai batas tertentu menentukan
urutan prioritas menjadi wali.

4. Hubungan Darah Dilihat dari Garis Keturunan

Garis keturunan sebenarnya hanya memberikan keistimewaan tertentu dalam hubungan


keluarga. Ada tiga hubungan darah dilihat dari garis keturunan, yaitu:

1. Patrilineal, hubungan darah yang mengutamakan garis ayah;


2. Matrilineal, hubungan darah yang mengutamakan garis ibu;
3. Parental, bilateral, hubungan darah yang mengutamakan garis ayah dan ibu, atau garis
orang tua.

5. Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974


Apabila dikaji dengan teliti, ternyata Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974
menitikberatkan pada hubungan darah yang mengutamakan garis kedua-duanya ayah dan ibu
(parental, bilateral) dalam hubungan keluarga. Hal ini dapat dibuktikan melalui ketentuan-
ketentuan yang terdapat dalam undang-undang tersebut seperti terurai di bawah ini.

Dalam perkawinan

1. Anak yang belum mencapai umur 21 tahun apabila melangsungkan perkawinan harus
mendapat izin kedua orang tua (pasal 6 ayat 2), bukan hanya ayah atau ibu.
2. Larangan perkawinan antara pria dan wanita yang mempunyai hubungan darah terlalu
dekat dan karena hubungan semenda (pasal 8).
3. Perkawinan tidak mengenal sistem jujur, hal ini tidak diatur dalam Undang-Undang
Perkawinan No.1 Tahun 1974.
4. Rumah tempat kediaman ditentukan oleh suami istri bersama (pasal 32), bukan oleh
suami atau istri.
5. Hak dan kedudukan suami istri adalah seimbang dalam kehidupan rumah tangga dan
pergaulan hidup bermasyarakat (pasal 31).

Kekuasaan orang tua

1. Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya
(pasal 45 ayat 1).
2. Anak yang belum berumur 18 tahun atau belum kawin berada di bawah kekuasaan
orang tua (pasal 47), bukan kekuasaan ayah atau ibu.
3. Kedua orang tua dilarang memindahkan hak atau mengadaikan barang tetap anak
mereka yang belum berumur 18 tahun atau belum kawin (pasal 48).

Kekuasaan terhadap harta

1. Harta yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersam dan dikuasai bersama
(pasal 35 ayat 1).
2. Sejak terjadi perkawinan harta disatukan dan dikuasai bersama apabila dibuat
perjanjian (pasal 35 ayat 2).

Perwalian

Wali sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak tersebut (pasal 51 ayat 2). Ini berarti
dapat diambil dari keluarga pihak ibu atau pun ayah.
1. Suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang
menjadi sendi besar susunan masyarakat (pasal 30).
2. Suami istri wajib saling cinta-mencinta, hormat-menghormati, setia, dan memberi
bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain (pasal 33).
3. Suami adalah kepala keluarga dan istri adalah ibu rumah tangga (pasal 31 ayat 3).

3. ASAS-ASAS, PENGERTIAN DAN TUJUAN PERKAWINAN

1. Asas-Asas Perkawinan

Beberapa asas perkawinan dalam Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 dapat
diperinci dan diuraikan di bahaw ini. Asas-asas ini mendasari ketentuan-ketentuan dalam
Undang-Undang Perkawinan dan peraturan-peraturan pelaksanaannya.

1. Perkawinan monogami
2. Kebebasan kehendak
3. Pengakuan kelamin secara kodrati
4. Tujuan perkawinan
5. Perkawinan kekal
6. Perkawinan menurut hukum agama
7. Perkawinan terdaftar
8. Kedudukan suami-istri seimbang
9. Poligami sebagai pengecualian
10. Batas minimal usia kawin
11. Membentuk keluarga sejahtera
12. Larangan dan pembatalan perkawinan
13. Tanggung jawab perkawinan dan perceraian
14. Kebebasan mengadakan jani perkawinan
15. Pembedaan anak sah dan tidak sah
16. Perkawinan campuran
17. Perceraian dipersulit
18. Hubungan dengan pengadilan

2. Pengertian Perkawinan
Menurut ketentuan pasal 1 Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 (selanjutnya
disebut UUP), perkawinan ialah lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai
suami istri.

Ikatan lahir adalah hubungan formal yang dapat dilihat karena dibentuk menurut
undang-undang, hubungan mana mengikat kedua pihak dan pihak lain dalam masyarakat.

Antara seorang pria dan seorang wanita, artinya dalam satu masa ikatan lahir batin itu
hanya terjadi antara seorang pria dan seorang wanita saja.

Suami istri adalah fungsi masing-masing pihak sebagai akibat dari adanya ikatan lahir
batin.

3. Tujuan Perkawinan

Menurut ketentuan pasal 1 UUP, tujuan perkawinan ialah membentuk keluarga/rumah


tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Membentuk keluarga artinya membentuk kesatuan masyarakat terkecil yang terdiri dari
suami, istri, dan anak-anak.

Perkawinan berdasarkan Ketuhana Yang Maha Esa, artinya perkawinan tidak terjadi
begitu saja menurut kemauan pihak-pihak, melainkan sebagai karunia Tuhan kepada manusia
sebagai mahkluk beradab.

Tujuan perkawinan dalam UUP dirumuskan dengan jelas yaitu membentukm


keluarga/rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

4. SYARAT-SYARAT PERKAWINAN

1. Pengertian Syarat dan Syarat Perkawinan

Yang dimaksud dengan syarat ialah segala hal yang harus dipenuhi berdasarkan
peraturan undang-undang. Syarat perkawinan ialah segala hal mengenai perkawinan yang
harus dipenuhi berdasarkan peraturan undang-undang, sebelum perkawinan dilangsungkan.

Ada dua macam syarat-syarat perkawinan, yaitu syarat-syrata material dan syarat-syarat
formal. Syarat-syarat material adalah syarat-syarat yang ada dan melekat pada diri pihak-
pihak yang melangsungkan perkawinan. Sedangkan syarat-syarat formal adalah tata cara atau
prosedur melangsungkan perkawinan menurut hukum agama dan undang-undang.
2. Syarat-syarat Perkawinan Monogami
1. Persetujuan kedua calon mempelai
2. Pria sudah berumur 19 tahun, wanita 16 tahun
3. Izin orang tua/pengadilan jika belum berumur 21 tahun
4. Tidak masih terikat dalam satu perkawinan
5. Tidak bercerai untuk kedua kali dengan suami/istri yang sama yang hendak dikawini.
6. Bagi janda, sudah lewatwaktu tunggu
7. Sudah memberi tahu kepada Pegawai Pencatat Perkawinan 10 hari sebelum
dilangsungkan perkawinan
8. Tidak ada yang mengajukan pencegahan
9. Tidak ada larang perkawinan

3. Syarat-syarat Perkawinan Poligami

Menurut ketentuan pasal 3 UUP, pada asasnya dalam satu perkawinan seorang pria
hanya boleh mempunyai seorang istri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang
suami.

Dari ketentuan pasal ini dapat disimpulkan bahwa walaupun pada asasnya perkawinan
itu monogami, suami masih dimungkinkan untuk kawin lagi dengan wanita lain, dengan
ketentuan dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Artinya suami menghendaki
perkawinan dengan wanita lain itu, sedangkan istri tidak keberatan atas perkawinan tersebut.

5. TATA CARA MELANGSUNGKAN PERKAWINAN

1. Penelitian dan Pengumuman

Menurut ketentuan pasal 6 P.P.No.9 Tahun 1975, pegawai pencatat yang menerima
pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan meneliti apakah syarat-syarat
perkawainan telah dipenuhi dan apakah tidak terdapat halangan perkawainan menurut
undang-undang. Penelitian itu dilakukan terhadap surat-surat keterangan yang diperlukan,
yang membuktikan syarat-syarat perkawainan telah terpenuhi.

Setelah dipenuhi syarat-syarat pemberitahuan serta tidak ada halangan perkawinan,


pegawai pencatat menyelenggarakan pengumuman tentang pemberitahuan kehendak
melangsungkan perkawinan dengan cara menempelkan surat pengumuman menurut formulir
yang telah ditetapkan oleh kantor pencatatan perkawainan pada suatu tempat yang sudah
ditentukan dan mudah dibaca oleh umum (pasal 8 P.P. No.9 Tahun 1975).

2. Tata Cara Perkawinan

Dalam tenggang waktu sepuluh hari sejak pengumuman yang dilakukan oleh pegawai
pencatat tidak ada keberatan dari pihak-pihak yang berkepentingan, maka pemberitahuan
kehendak melangsungkan perkawinan dianggap memenuhi syarat-syarat dan tidak ada
halangan.

Menurut ketentuan pasal 10 P.P.No.9 Tahun 1975, perkawinan dilangsungkan setelah


hari kesepuluh sejak pengumuman kehendak perkawinan yang dilakukan oleh pegawai
pencatat.

Bagi yang beragama Islam, tata cara perkawainan adalah upacara akad nikah. Biasanya
akad nikah dilakukan di rumah mempelai laki-laki atau di rumah mempelai perempuan yang
dihadiri oleh sanak keluarga dan para undangan.

Setelah selesai upacara akad nikah, mempelai laki-laki boleh membaca taklik talak dan
boleh juga tidak, tergantung pada kemauan pihak-pihak yang kawin ini.

3. Pelanggaran Dalam Pelangsungan Perkawinan

Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 memberikan hukuman kepada


mempelai atau pegawai pencatat yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan
pelangsunagn perkawinan.

Hukuman bagi mempelai

Bagi mempelai yang tidak melakukan pemberitahuan untuk kawin, atau


melangsungkan perkawinan tidak dihadapan pegawai pencatat, atau tidak memperoleh izin
dari Pengadilan dalam hal poligami, diancan dengan pidana denda setinggi-tingginya
Rp.7.500,00 (pasal 45 ayat 1(a) P.P.No.9 Tahun 1975).

4. Perjanjian Perkawinan

Mempelai laki-laki dan mempelai perempuan yang melangsungkan perkawinan dapat


membuat perjanjian perkawinan. Hal ini diatur dalam pasal 29 UUP. Menurut isi ketentuan
pasal 29 UUP, perjanjian perkawinan harus memenuhi syarat-syarat berikut ini:

1. Dibuat pada waktu, atau sebelum perkawinan dilangsungkan;


2. Dalam bentuk tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat;
3. Isi perjanjian tidak melanggar batas-batas hukum, agama, dan kesusuliaan;
4. Mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan;
5. Selama perkawinan berlangsung, perjanjian tak dapat diubah;
6. Perjanjian dimuat dalam akta perkawinan (pasal 12 P.P.No.9 Tahun 1975).

Isi perjanjian itu tidak melanggar batas-batas hukum, misalnya dalam perjanjian
ditentukan istri tidak diberi wewenang melakukan perbuatanhukum, ini melanggar batas-
batas hukum, karena hukum menentukan bahwa wanita bersuami itu wenang melakukan
perbuatan hukum apapun.

Akibat hukum adanya perjanjian perkawinan antara suami dan istri adalah sebagai
berikut:

1. Perjanjian mengikat pihak suami dan istri;


2. Perjanjian mengikat pihak ketiga yang berkepentingan;
3. Perjanjian hanya dapat diubah dengan persetujuan kedua pihak suami dan istri, dan
tidak merugikan kepentingan pihak ketiga, serta disahkan oleh pegawai pencatat
perkawinan.

6. AKIBAT HUKUM ADANYA PERKAWINAN

1. Perkawinan yang Sah dan Tidak Sah

Perkawinan dikatakan tidak sah relatif apabila tidak dipenuhi salah satu atau beberapa
syarat material yang terdapat dalam nomor urut 1 s/d 5, 7 dan 8 syarat perkawinan
monogamy dan nomor urut 1 s/d 3 syarat perkawinan poligami.

Perkawinan dikatan tidak sah absolut apabila tidak dipenuhi syarat material yang
terdapat dalam nomor urut 6 dan 9 syarat perkawinan monogami dan syarat formal
“dilakukan menurut hukum masing-masing agama”.

Permohonan pembatalan

Permohonan pembatalan perkawinan diajukan kepada Pengadilan dalam daerah hukum


di mana perkawinan dilangsungkan atau di tempat tinggal kedua suami istri, suami atau istri.

Akibat hukum pembatalan


Menurut ketetntuan pasal 28 ayat 1 UUP, batalnya suatu perkawinan dimulai setelah
keputusan Pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat
berlangsungnya perkawinan.

Dalam pasal 28 ayat 2 huruf (a) UUP dinyatakan bahwa keputusan tidak berlaku surut
terhadap anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut.

Selanjutnya dalam pada pasal 28 ayat 2 huruf (b) dinyatakan bahwa keputusan tidak
berlaku surut terhadap suami atau istri yang bertindak dengan itikad baik, kecuali terhadap
harta bersama bila pembatalan perkawinan didasarkan atas adanya perkawinan lain yang
lebih dulu.

Terakhir dalam pasal 28 ayat 2 huruf (c) dinyatakan bahwa keputusan tidak berlaku
surut terhadap orang-orang ketiga lainnya yang tidak termasuk dalam huruf (a) dan (b)
sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan itikad baik sebelum keputusan tentang
pembatalan mempunyai kekuatan hukum tetap.

Perkawinan yang sah

Perkawinan yang memenuhi syarat-syarat dinyatakan sebagai perkawinan yang sah.


Akibat adanya perkawinan yang sah ialah timbul hubungan hukum: (1) antara suami dan istri,
(2) antar orang tau dan anak, (3) antara wali dan anak, (4) mengenai harat benda dalam
perkawinan.

2. Hubungan Hukum Antara Suami dan Istri

Dalam hubungan hukum antara suami dan istri tersimpul hak dan kewajiban masing-
masing pihak dalam fungsi sebagai suami dan fungsi sebagai istri.

Hak suami-istri

1. Suami dan istri mempunyai hak dan kedudukan yang seimbang dalam kehidupan
rumah tangga dan pergaulan hidup dalam masyarakat (pasal 31 ayat 1 UUP).
2. Suami dan istri sama-sama berhak melakukan perbuatan hukum (pasal 31 ayat 2
UUP).
3. Suami dan istri mempunyai kesempatanyang sama untuk mengajukan gugatan kepada
Pengadilan apabila ada yang melalaikan kewajibannya (pasal 34 ayat 3 UUP).

Kewajiban suami-istri
1. Suami dan istri berkewajiban luhur menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi
dasar susunan masyarakat (pasal 30 UUP).
2. Suami dan istri mempunyai tempat kediaman yang tetap yang ditentukan oleh suami
istri bersam (pasal 32 UUP).
3. Suami dan istri wajib saling cinta-mencintai, hormat-menghormati, setia, memberi
bantuan lahir batin antara satu sama lain (pasal 33 UUP).
4. Suami dan istri wajib memelihara dan mendidik anak-anak sebaik-baiknya sampai
anak-anak itu dapat berdiri sendiri atau kawin (pasal 45 UUP).

Kewajiban dan kedudukan suami atau istri

1. Suami wajib melindungi istri dan memberi nafkah hidup berrumah tangga sesuai
dengan kemampuan (pasal 34 ayat 1 UUP).
2. Istri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya (pasal 34 ayat 2 UUP).
3. Suami berkedudukan sebagai kepala keluarga dan istri sebagai ibu rumah tangga
(pasal 31 ayat 3 UUP).
3. Hubungan Hukum Antara Orang Tua dan Anak

Salah satu akibat perkawinan antara suami dan istri ialah lahirnya anak.

Anak sah

Anak sah diatur dalam pasal 42 UUP. Menurut ketentuan pasal tersebut ada dua macam
anak sah, yaitu:

1. Anak yang dilahirkan dalam perkawinan, ada dua kemungkinannya:


a) Setelah perkawinan dilangsungkan, istri baru hamil, kemudian melahirkan
anak;
b) Sebelum perkawinan dilangsungkan, istri sudah hamil lebih dulu, sesudah
dilangsungkan perkawinan, istri melahirkan anak.
2. Anak yang dilahirkan sebagai akibat perkawinan.

Anak tidak sah

Anak yang tidak sah adalah anak yang dilahirkan di luar perkawinan. Menurut
ketetntuan pasal 43 ayat 1 UUP, anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai
hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.
Seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh istrinya, bilamana
ia dapat membuktikan bahwa istrinya telah berzina dan anak itu akibat dari perzinahan
tersebut (pasal 44 ayat 1 UUP). Pengadilan memberikan keputusan tentang sah/tidaknya anak
atas permintaan pihak yang berkepentingan (pasal 44 ayat 2).

Menurut hukum Islam, memungkiri seseorang anak zina sebagai anaknya dilakukan
dengan jalan li’an. Dasarnya Surat An-Nur ayat 6 s/d 9.

Kekuasaan orang tua

Kekuasaan orang tua terhadap anak berlangsung hingga anak itu mencapai umur 18
tahun atau anak itu kawin, atau ada pencabutan kekuasaan orang tua oleh Pengadilan (pasal
47 ayat 1 UUP). Kekuasaan orang tua meliputi:

1. Kekuasaan terhadap pribadi anak.


2. Kekuasaan terhadap perbuatan anak.
3. Kekuasaan terhadap harta benda anak.

Pencabutan kekuasaan orang tua

Apabila orang tua sangat melalaikan kewajibannya terhadap anak-anaknya, atau


berkelakuan buruk sekali, maka salah satu atau kedua-keduanya orang tua dapt dicabut
kekuasaannya terhadap seorang anak atau lebih untuk waktu tertentu. Yang mengajukan
permintaan pencabutan itu adalah: (pasal 49 ayat1 UUP)

1. Orang tua, apabila salah satunya dimintakan pencabutan;


2. Keluarga anak dalam garis lurus ke atas;
3. Saudara kandung yang telah dewasa;
4. Pejabat yang berwenang.

Kewajiban anak terhadap orang tua

Menurut ketentuan pasal 46 UUP, amak wajib menghormati orang tua dan mentaati
kehendak mereka yang baik.

Ketentuan pasal 46 UUP ini ada persamaan dan perbedaan dalam Surat Al-Ahqaf ayat
14 dan Surat Al-Baqarah ayat 215.

4. Hubungan Hukum Antara Wali dan Anak

Akibat lain dari perkawinan ialah timbul hubungan hukum antara wali dan anak.
Perwalian dan wali

Perwalian adalah kewajiban hukum untuk melakukan pengawasan dan pengurusan


mengenai pribadi anak yang belum dewasa dan harta bendanya. Orang yang diberi kekuasaan
melakukan perwalian disebut wali.

Cara penunjukan wali

1. Secara lisan di hadapan dua orang saksi;


2. Secara tertulis dengan surat wasiat;
3. Secara tertulis dalam penetapan Hakim, dalam hal terjadi pencabutan kekuasaan wali.

Wali dan syarat-syaratnya

Menurut ketentuan pasal 51 ayat 2 UUP, yang dapat ditunjuk sebagai wali adalah
keluarga anak tersebut atau orang lain.

Syarat-ayarat wali adalah;

1. Orang yang sudah dewasa;


2. Orang yang berpikiran sehat;
3. Orang yang berlaku adil;
4. Orang yang jujur;
5. Orang yang berkelakuan baik.

Kekuasaan wali

Kekuasaan wali terhadap anak berlangsung hingga anak itu mencapai umur 18 tahun
atau anak itu kawin.

Tanggung jawab dan sanksi terhadap wali.

Menurut ketentuan pasal 51 ayat 5 UUP, wali bertanggung jawab atas pengurusan harat
benda anak serta kerugian yang timbul karena kesalahan atau kelalaiannya.

Wali yang tidak bertanggung jawab dalam melaksanakan tugas kewajiban sebagai wali
dapat dicabut kekuasaannya sebagai wali.

Berakhirnya perwalian

1. Anak di bawah perwalian sudah berumur 18 tahun, atau sudah kawin;


2. Kekuasaan wali dicabut oleh Pengadilan;
3. Wali atau anak di bawah perwalian meninggal dunia.
5. Harta Benda Dalam Perkawinan

Mengenai harta benda dalam perkawinan, yang diatur dalam pasal 35 UUP dibedakan
menjadi tiga macam, yaitu:

1. Harta bersama.
2. Harta bawaan.
3. Harta perolehan.

7. PERKAWINAN CAMPURAN

1. Pengertian Perkawainan Campuran

Perkawinan campuran adalah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk
pada hukum yang berlainan karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak
berkewarganegaraan Indonesia (pasal 57 UUP).

2. Syarat-Syarat dan Pelangsungan Perkawinan Campuran

Perkawinan campuran dapat dilangsungkan di luar Indonesia dan dapat pula


dilangsungkan di Indonesia. Syarat-syarat yang harus dipenuhi adalah perkawinan yang
berlaku menurut hukum masing-masing pihak.

3. Pencatatan Perkawinan Campuran

Perkawinan campuran dicatat oleh pegawai pencatat yang berwenang. Pegawai


pencatat yang berwenang bagi yang beragama Islam ialah Pegawai Pencatat Nikah (PPN)
atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah Talak Cerai Rujuk (P3NTCR). Sedangkan bagi yang
bukan beragama Islam ialah Pegawai Kantor Catatn Sipil.

4. Kewarganegaraan Akibat Perkawinan Campuran

Bagi orang-orang yang berlainan kewarganegaraan yang melakukan perkawinan


campuran, dapat memperoleh kewarganegaraan dari suami/istrinya dan dapat pula kehilangan
kewarganegaraannya menurut cara-cara yang telah ditentukan dalam Undang-Undang
Kewarganegaraan R.I. yang berlaku (pasal 58 UUP).

8. PUTUSNYA PERKAWINAN DAN AKIBATNYA

1. Penyebab Putusnya Perkawinan


Menurut ketentuan pasal 38 UUP, perkawinan dapat putus karena (a) kematian, (b)
perceraian, dan (c) atas keputusan Pengadilan. Mengenai pembatalan perkawinan harus
dilakukan melalui keputusan Pengadilan, karena perkawinan tersebu tidak memenuhi syarat-
syarat perkawinan.

2. Perceraian

Alasan undang-undang mempersulit perceraian ialah:

1. Perkawinan itu tujuannya suci dan mulia, sedangkan perceraian adalah perbuatan
yang dibenci oleh Tuhan;
2. Untuk membatasi kesewanang-wenangan suami terhadap istri;
3. Untuk mengangkat derajad dan martabat istri (wanita), sehingga setaraf dengan
derajad dan martabat suami (pria).

Alasan perceraian

1. Salah satu berbuat zina.


2. Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama dua tahun berturut tanpa izin pihak
lain tanpa alasan yang sah.
3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara lima tahun atau hukuman lebih berat
setelah perkawinan berlangsung.

3. Tata Cara Perceraian

Ada dua macam perceraian yaitu perceraian dengan talak dan perceraian denga
gugatan. Perceraian dengan talak biasa disebut cerai talak hanya berlaku bagi mereka yang
melangsungkan perkawinan menurut agama Islam. Sedangkan bagi perceraian denga gugatan
biasa disebut cerai gugat berlaku bagi mereka yang melangsungkan perkawinan menurut
agama lain dan bukan agama Islam.

4. Akibat Putusnya Perkawinan Karena Perceraian

Karena terjadi perceraian, maka ada tiga akibat yang perlu diperhatikan yaitu (1) akibat
terhadap anak dan istri, (2) akibat terhadap harta perkawinan, (3) akibat terhadap status.
BAB IV

HUKUM BENDA

1. PENDAHLUAN

Dalam pembahasan ini , benda ditempatkan dalam bab IV menempai urutan setelah
hukum keluarga, pembahasan huum benda meliputi pokok –pokok bahasan mengenai benda
dan hukum benda, hak keberadaan, hak milik, hak penguasaan (bezit), hak atas benda
jaminan yang meliputi gadai, retensi, hipotik, privilenge, dan hak memungut hasil serta
ditambah dengan pertanyaan pertanyaan latihan.

2. BENDA DAN HUKUM BENDA


1. Pengertian benda
Dalam Bahasa aslinya Bahasa Belanda benda itu adalah zaak. Dalam pasal 499
KUHPdt yang diartikan sebagai zaak ialah semua barang dan hak, zaak meliputi barang dan
hak diatur dalam bku II KUHPdt. Dalam arti hukum yang dimaksud dengan benda adalah
segala sesuatu yang dapat menjadi objek hak milik, semua benda dalam arti hukum dapat di
perjual belikan, dapat di wariskan, dapat dialihkan ke pihak lain.
2. Pengaturan Hukum Benda
Pengaturan hukum benda menggunakan “system tertutup”, artinya orang tidak boleh
mengadakan hak – hak keberadaan selain dari yang sudah diatur dalam UU. Selain itu dari
buku II KUHPdt, hukum bnda juga diatuyr dalam undang-undang Antara lain:
1. Undang-Undang pokok Agraria No. 5 tahun 1960 dan semua peraturan pelaksaannya
2. Undang-Undang Merk No. 21 Tahun 1961. UU ini mengatur tentang ha katas merk
perusahaan dan perniagaan.
3. Undang-Undang Hak Cipta No. 6 Tahun 1982, uu ini mengatur tentang hak cipta
benda tidak terwujud yang dapat dijadikan objek hak milik.
3. Pembedaan Macam Macam Benda
1. Benda Berwujud Dan Benda Tidak Terwujud
Penyerahan benda berwujud berupa balik nama atau dibalik tangankan missal jual
beli, pewarisan, peemberian. Penyerahan benda tidak terwujud berupa piutang sebagai
berikut ( dalam pasal 613 KUHPdt ) :
a. Piutang atas nama (opnaam) dengan cara cessie
b. Piutang atas tunjuk (aan toonder) dengan cara penyerahan suratnya tangan ke tangan
c. Piutang atas pengganti (aan order) dengan cara endosemen dan pernyataan suratnya
dari tangan ke tangan
2. Benda Bergerak Dan Benda Tidak Bergerak
Mengenai penguaasaan (bezit) benda bergerak berlangsung asas dalam pasal 1977
KUHPdt yaitu orang yan menguasai benda bergerak dianggap pemiliknya. Sedangkan benda
tidak bergerak dikenal kadaluarsa.
3. Benda Diakai Habis Dan Benda Tidak Dipakai Habis
4. Benda Sudah Ada Dan Benda Akan Ada
Benda akan ada tidak dapat di jadikan jaminan hutang dan perjanjian yang objeknya
benda akan ada menjadi batal apabila pemenuhannya itu tidak dilakanakan sama sekali
( pasal 1320 KUHPdt).
5. Benda Dalam Perdagangan Dan Benda Luar Perdagangan
6. Benda Dapat Di Bagi Dan Benda Tidak Dapat Di Bagi
7 Benda Terdaftar Dan Benda Tidak Terdaftar
4. UUPA No. 5 Tahun 1960 dan Buku II KUHdt
Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 selanjutnya disingkat UUPA,
mencabut berlakunya buku II KUHPdt sepanjang mengenai bumi, air, dan segala kekayaan
alam yang terdapat di dalamnya, kecuali hipotik. Jadi, walaupun mengenai tanah tetap
berlaku seperti biasa. Dengan berlakunya UUPA No.5 tahun 1960, maka sisa ketentuan buku
II yang masih berlaku yang masih berlaku dapat diperinci sebagai brikut ini.
Pasal yang masih berlaku penuh:
1. pasal- pasal tentang benda bergerak pasal 505, 509-518
2. pasal-pasal tentang penyerahan benda bergerak pasal 612, 613
3. pasal-pasal tentang hak mendiami hanya mendiami hanya mengenai rumah pasal 826 dan
827 KUHPdt.
Pasal yang berlaku tapi tidak penuh. Pasal disini masih berlaku sepanjang mengnai benda-
benda lain selain buu, air, dan segala kekayaan alam. Pasal tersebut pasal 503-505, pasal 529-
568, 570-624, dan pasal 812 KUHPdt.

3. TENTANG HAK KEBENDAAN


1. Hak Persdata
Hak perdata bersifat absolut meliputi:
a. hak kebendaan, diatur dalam buku II KUHPdt
b. hak kepribadian, yang terdiri dari, (1) ha katas diri sendiri, hak memiliki, ha katas nama.
(2) hukum atas diri orang lain yang timbul adri hubunga kekeluargaan. Semua hak
kepribadian diatur dalam buku I KUHPdt. Sedangkan hak perdata yang bersifat relative
diatur dalam buku III KUHPdt, dikatakan relative karena hak ini hanya dapat ditunjukka dan
di pertahankan terhadap pihak alam hubungan hukum.
2. Hak Kebendaan
Hak kbendaan mempunyai ciri-ciri sebgai berikut:
a. mutlak (hak milik, hak cipta)
b. mengikuti benda ( hak sewa, hak memungut hasil )
c. yang terjadi lebih dulu tingkatnya lebih tinggi
d. lebih diutamakan
e. hak gugat dapat dilakukan terhadap siapapun yang mengganggu benda itu
f. pemindahan hak kebendaan dapat dilakukan kepada siapapun juga.
Dengan berlakunya UUPA No. 5 Tahun 1960 hak penguasaan secara bebas atas hak
kebendaan dapat di batasi.
3. Pembedaan Hak-Hak Kebendaan
Hak hak kebendan dapat di bedakan sebgai berikut:
a. Hak kebendaan yan bersifat memeberi kenikmatan, yang di perinci menjadi
1) Bersifat memeberi kenikmatan atas benda milik sendiri
2) Yang berifat memeberi kenikmatas atas benda milik orang lain
b. Hak keberadaan yang bersifat memeberi jaminan, terdiri dari: pand (gadai), hipotik
(sebagai jaminan ialah benda tidak bergerak (tetap).
4. Asas-Asas Hak Kebendan
a. Asas Huku Pemaksa
b. Asas Dapat Dipindah Tangankan
c. Asas Individitas
d. Asas Totalitas
e. Asas Tidak Dapat Di Pisahkan
f. Asas Prioritas
g. Asas Pencampuran
h. Pengaturan Berbeda Terhadap Benda Bergerak Dan Tak Bergerak
i. Asas Publisitas
j. Asas Mengenai Sifat Perjanjian
5. Cara Memperoleh Hak Kebendaan
a. Dengan pengakuan
b. Dengan penemuan
c. Dengan penyerahan
d. Dengan cara kadaluarsa
e. Denan pewarisan
f. Dengan cara penciptaan
g. Dengan cara ikutan / turunan
6. Hak Keberadaan Hangus / Lenyap
a. Karena bendanya lenyap/musnah
b. Karena di pidahtangankan
c. Karena pelepasan hak
d. Karena kadaluarsa
e. Karena pencabutan hak

4. TENTANG HAK MILIK


1. Pengertian Hak Milik
Dalam KUHPdt hak milik di tentukan dalam pasal 570 KUHPdt “hak milik adalah
hak untuk memiliki suatu benda dengan sepenuhnya, dan untuk menguasai benda itu dengan
sebebas-bebasnya asal tidak di pergunakan bertentangan dengan undang-undang atau
peraturan umum yang diadakan oleh kekuasaan yang mempunyai wewenang untuk itu,
semuanya itu dengan tidak mengurangi kemungkinan adanya pencabutan hak untuk itu untuk
kepentingan umum dengan pembayaran ganti kerugian yang layak menurut ketentuan
Undang-Undang.
2. Pembatasan Penggunaan Hak Milik
Dari ketentuan pasal 570 KUHPdt dapat diketahui pembatasan-pembatasan
penggunaan hak milik sebagai berikut:
a. Tidak bertentangan denagn undang-undang
b. Tidak menimbulkan gangguan terhadap orang lain
c. Tidak menyalah gunakan hak (misburik van recht)
d. Pembatasan oleh hukum tetangga (burenrecht)
e. Pencabutan hak untuk kepentingan umum
3. Ciri-Ciri Hak Milik
a. Hak utama
Dikatakan hak utama larena hak milik itu paling dulu terjadi jika di bandingkan
dengan hak hak lain
b. Utuh dan lengkap
Hak milik secara utuh dan lengkap melekat diatas benda milik sebagai satu kesatuan
bulat, tidak terpecah pecah. Misal hak atas rumah
c. Tetap, tidak lenyap
Hak milik sifatnya tetap, tidak lenyap oleh hak kebendaan lain. Hak milik adalah hak
utama, induk, pangkal, tidak mungkin lenyap oleh hak-hak kebendaan lain. Missal
hak pakai, hak memungut hasil.
4. Hak Milik Bersama
Aturan mengenai pemisahan dan pembagian harta peninggalan diatur dalam pasal
1066-1125 bab 17 buku II KUHPdt, mengenai harta milik bersama karena warisan. Hak milik
bersama ada dua macam yaitu (1) hak milik bersama yang bebas dan (2) hak milik bersma
yang terikat.
5. Penyerahan
a. Pengertian
Penyerahan ialah pengalihan sutu benda oleh pemiliknya atau atas namanya kepada
orang lain, sehingga orang itu memperoleh hak keberadaan atas benda itu.
b. Bermacam jenis penyerahan
1. Penyerahan benda tak berwujud (pasal 612 KUHPdt)
2. Penyerahan benda bergerak tidak berwujud (pasal 613 KUHPdt)
3. Penyerahan benda tidak bergerak
c. Syarat-syarat penyerahan
Dalam pasal 584 KUHPdt dinyatakan Antara lain cara memperoleh hak milik ituialah
karena penyerhan berdasarkan suatu peristiwa perdata untuk memindah kn hak milik,
dilakukan oleh orang yang berhak berbuat bebas terhadap benda itu. Dari ketentuan
ini dapat di tentukan syarat-syarat penyerahan yaitu:
1) Harus ada alas hak (titel)
2) Harus ada perjanjian kebendaan
3) Harus dilakukan oleh orang yang berhak
4) Harus dengan penyerahan nyata.

5. PENGUASAAN (BEZIT)
1. Pengertian kekuasaan (bezit)
Menurut ketentuan pasal 529 KUHPdt bezit adalah keadaan memegang atau
menikmati suatu benda oleh orang yang menguasainya, baik sendiri ataupun dengan
perantaraan orang lain, seolah olah itu kepunyaannya sendiri.
a. Menguasai suaru benda (mungkin sebagai pemegang saja atau menikmati bendanya saja,
missal benda hak gadai)
b. Dilakukan sendiri dengan perantaraan orang lain (missal hak sewa)
c. Seolah-olah benda itu kepunyaan sendiri (benda itu milik orang lain atau mulanya sebagai
benda tak bertuan)
2. Fungsi Penguasaan (Benzit)
a. Fungsi yustisial dalam pasal 1977 ayat 1 KUHPdt “siapa yang menguasai suatu
benda, dianggap sebagai orang yang berhak atas benda itu sampai dapat di buktikan
sebaliknya”.
b. Fungsi zakenrechtelijk. Penguasaan ini berlangsung terus tanpa gugatan dari pemilik
sebenarnya.
3. Pembedaan penguasaan
Pembedaan berdasarkan Tujuan
Berdasarkan tujuan orang yang menguasai benda dapat di bedakan menjadi dua, yaitu:
1. Penguasaan bertujuan memiliki benda (misal penguasaanatas benda milik orang lain yang
hilang atau di temukan di jalan).
2. Penguasaan yang tidak bertujuan tidak memiliki benda (penguasaan ini umumnya terjadi
karena perjanjian yang berlaku dalam tenggang waktu tertentu saja).
Pembedaan berdasarkan itikad
1. Penguasaan yang jujur (dikatakan penguasaan yang jujur apabila penguasan itu diperoleh
berdasarkan cara-cara memperoleh hak milik).
2. Penguasaan yang tidak jujur (dikatakakan tidak jujur apabila orang yang menguasi benda
itu mengetahui bahwa benda itu bukan miliknya).
4. Cara Memperoleh Penguasaan (bezit)
Dari unsur-unsur pasal 538 KUHPdt dapat di perinci cara memeperoleh penguasan
itu, yaitu dengan menguasai benda yang belum atau tidak ada pemiliknya dan dengan
menguasai benda yang sudah ada pemiliknya.
1. Menguasai benda yang tidak ada pemiliknya.
Menguasai benda yang tidak ada pemiliknya disebut “penguasaan originair”.
Memperoleh penguasaan cara ini tanpa bantuan orang lainhanya tertuju pada benda bergerak
yang tidak ada pemiliknya kemuadian diakui dan dikuasai
2. Menguasai benda yang suda ada pemiliknya
Memperoleh penguasaan dengan bantuan orang yang menguasai lebih dulu atau
pemiliknya disebut “penguasaan traditio” melalui penyeahan benda. Misalnya, penguasaan
dalam hak gadai, hak pakai, hak memungut hasil, hak sewa.
5. Teori Mengenai Penguasaan Benda Bergerak
Berikutnya ialah penguasaanbenda bergerak sehubungan dengan syarat-syarat
penyerahan. Ada dua teori yaitu eigendomsthroie dan legistimatietheorie.
Eigendomsthroie. Teori ini di emukakan oleh mejers yang menafsirka pasal 1977 ayat
1 KUHPdt itu secara gramatikal. Penguasaan atas benda bergerak berlaku sebagai alas hak
yang sempurna. Alas hak yang semprna itu ialah hak milik. Jadi, penguasaa atas benda
bergerak sam dengan hak milik.
Legistimatietheorie. Teori ini di kemukakan oleh paul sholten yamg menyatakan
bahwa penguasaa itu bkan hak milik. Penguasaa berfungsi mengesahkan orang yang
menguasai benda itu sebagai pemilik. Jadi, siapa yang secara jujur ( te goeder trouw)
menguasai benda bergerak, ia dilindungi oleh pasal undang-ndang ( poasal 1977 ayat 1
KUHPdt ).

6. HAK ATAS BENDA JAMINAN


1. Jaminan Hutang
Hubungan hutang piutang antara debitur dan kreditur sering di sertai degan jaminan.
Benda jaminan dapat berupa benda bergerak dan benda tidak bergerak. Apabila benda
jaminan tersebut adalah benda bergerak maka disebut dengan gadai (pand). Apabila benda
jaminan tersebut adalah benda tidak bergerak maka disebut dengan hipotik.
2. Hak Gadai
Pengertian hak gadai menurut ketentuan pasal 1150 KUHPdt, gadai adalah hak yang
diperoleh kreditur atas suatu benda bergerak yang dierahkan oleh debitur atau orang lain atas
namanya, untuk menjamin suatu hutang.
Sebagai hak kebendaan atas benda jaminan, gadai mmpunyai sifat-sifat khusus
sebagai berikut:
1. Gadai bersifat asesor, atinya sebagai pelengkap dari perjajian pokok yaitu hutang-
piutang.
2. Gadai bersifat jaminan hutang.
3. Gadai bersifat tidak dapat di bagi bagi.
Cara mengadakan gadai, untuk mengadakan gadai perlu di penuhinya syarat-syarat
yaitu
perjanjian da nada benda bergerak sebagai jaminan dan lalu di buat perjanjian dan jaminan di
serahkan. Apabila benda jaminan tidak di srahkan maka perjanjian gadai itu tidak sah
menurut pasal 1152 ayat 2 KUHPdt.
Hak dan kewajiaban penerima gadai (pandemer), dalam KUHPdt diatur mengenai
hak-hak penerima gadai yang pada pokoknya yaitu:
1. Penerima gadai berhak menahan benda jaminan sampai hutangnya dilunasi
2. Penerima gadai berhak mengambil pelunasan dari pendapatan penjualan benda
jaminan apabila debitur tidak membayar hutangnya.
3. Penerima gadai berhak menggadaikan lagi benda jaminnan.
Kewajban:
1. Bertanggungjawab atas hilangnya barang jaminan.
2. Memeberitahu debitur apabila barang hendak dijual.
3. Wajib menembalikan barang jaminan hutang pokok telah terbayar lunas.
Hapusnya hak gadai:
1. Apabila hutang debitur telah dilunasi.
2. Benda jaminan hilang atau musnah.
3. Benda jaminan dilepaskan oleh kreditur dengan sukarela.
3. Hak Retensi
Hak retensi adalah dakuntuk menahan benda samoai piutang yang bertalian denagn
benda itu dilunasi. Hak retensi memiliki persamaan dengan hak gadai diantaranya:
1. Ada jaminan yang bertalian dengan tagihan
2. Hak retensi bersifat asesor
3. Hak retensi tiidak membawa seta hak boleh memakai benda yang ditahan.
4. Hak retensi tidak dapat di bagi- bagi.
4. Hak Hipotik
Menurut ketentaua pasal 1162 KUHPdt hipotik dalah hak kebendaan atas suatu benda
yang tak bergerak untuk mengmbil pergantian dari benda tersebut bagi pelunasan suatu
hutang.
Sifat hipoti, hipoytik memiliki sifat khusus yaitu:
1. Hipotik bersifat asesor
2. Hipotik bersifat tidak dapat di bagi-bagi
3. Hipotik bersifat zaaksgevolg artinya mengikuti keberadaannya di tangan siapa benda
itu berada
4. Hipotik bersifat droit de preference, yaitu hak lebih di dahulukan pelunasannya
daripada htang piutang yang lain.
Asas-Asas hipotik, sebagai hak atas benda tak bergarak perlu diketahui secara umum
dan perlu di perinci secara khusus benda tak bergerak maana yang di bebanioleh hipotik,
dan perlu di ddaftarkan dalam daftar khusus pula, asas ini diebut publikasi dan
spesifikasi.
Dalam hak hipotik juga terdapat akta yang artinya akta hipotik ialah (1) isi yang
bersifat wajib, yang memuat rincin mengenai benda tak bergerak yan di bebani hipotik,
benda apa, luas, jumlah, ukuran, letak, dan berbatasan dengan apa. (2) isi yang bersifat
fakultatif yaitu berupa janji- janji yang diadakan oleh pihak-pihak.
5. Hak Privelenge (hak Istimewa)
Menurut ketentuan pasal 1134 KUHPdt, privilenge ialah hak yang kepada undang-
undang di berikan kepada seseorang debitur, sehingga tingkat nya lebig tinggi dari
kreditur lain semata mata berdasarkan sifat piutangnya. Dalam KUHPdt diatur dua
macam privilenge, yaitu (1) privilenge umum yaitu privilnge terhadap semua benda
debitur, diatur dalam pasal 1149 KUHPdt. (2) privilengen khusus yaitu privilenge
terhadap benda-benda tertentu saja dari debitur, diatur dalam pasal 1139 KUHPdt.

7. HAK MEMUNGUT HASIL


1. Pengertian Hak Memungut Hasil
Menurut ketentuan pasal 756 KUHPdt, hak memungut hasil ialah hak kebendaan,
dengan masa seorang diperbolehkan memungut hasil dari benda milik orang lain, seolah olah
benda itu miliknya sendiri dengan kewajiban memelihara benda itu sebaik-baiknya.
2. Sifat-sifat Memungut Hasil
Dalam pasal 756 KUHPdt dapat pula diketahui sifat-sifat hak memungut hasil itu sebagai
berikut:
1. Harus bersifat tetap adanya
2. Harus bersifat tidak dipakai habis
3. Harus bersifat langsung untuk dirir sendiri
4. Bersifat tanpa pamrih.
3. Cara Memperoleh Hak Memungut Hasil
Menurut ketentuan pasal 759 KUHPdt, hak memungut hasil dapat di peroleh karena
UU atau karena kehendak si pemilik. Yang di peroleh karena UU yaitu tunjangan selama
hidup. Hak memungut hasil yang di peroleh karena kehendak pemilik yaitu karena perjanjian
pemberian hadiah oleh pemilik kepada pemungut hasil. Supaya hak memungut hasil ini
diperoleh pihak pemungut hasil maka bendanya harus di serahkan oleh pemilik kepada
pemungut hasil.
4. Kewajiban Pemungut Hasil
1. Wajib mencatat mengenai benda benda pada waktu ia menerima hak dengan biaya
sendiri
2. Pemungut hasil wajib menunjuk penjamin atau benda jaminan
3. Pemungut hasil wajib mmelihara sebaik baiknya
4. Wajib membayar segala beban pajak
5. Apabila sudah berakhir pemungut hasil wajib mengembalikan benda dalam keadaan
baik.
5. Hak Memungut Hasil Berakhir (Hapus)
Cara berakhir atau hapusnya hak pemungut hasil tersebut diatur dalam pasal 807
KUHPdt sebagai berikut:
1. Orang yang mempunyai hak memungut hasil meninggal dunia
2. Jangka waktu hak memungut hasil telah berakhir
3. Terjadi percampuran, sehingga pemegang hak memungut hasil berubah menjadi hak
pemilik benda
4. Terjadi pelepasan hak oleh orang yang memungut hasil
5. Karena kadaluarsa
6. Benda yang dipungut hasilnya itu binasa atau musnah.
BAB V

HUKUM PERIKATAN

1. PENDAHULUAN

Dalam bab ini dibahas tentang hukum perikatan. Hukum perikatan adalah bagian dari
hukum kekayaan. Dalam sistematika ilmu pengetahuan hukum, harta kekayaan diatur dalam
buku III yang meliputi hubungan antara orang dan benda, hubungan antara orang dan orang.
Dalam sistematika KUHPdt hukum yang mengatur hubungan antara orang dan benda diatur
dalam buku II tentang benda.

Dalam pembahasan ini perikatan ditempatkan dalam bab V menempati urutan sesudah
hukum benda. Pembahasan hukum perikatan meliputi pokok-pokok bahasan mengenai
tentang perikatan, perikatan yang lahir dari perjanjian, perikatan yang lahir dari undang-
undang, ditambah dengan pernyataan latihan. Perjanjian khusus tidak dijelaskan disini.

2. KETENTUAN UMUM TENTANG PERIKATAN

1. Pengertian Perikatan

Perikatan adalah terjemahan dari istilah aslinya dalam bahasa Belanda “Verbintenis”.
Perikatan artinya hal yang mengikat antara orang yang satu dan orang yang lain. hal yang
mengikat itu adalah peristiwa hukum yang dapat berupa perbuatan, misalnya jual beli,
hutang-piutang, dapat berupa kejadian, misalnya kelahiran, kematian, dapat berupa keadaan,
misalnya pekarangan berdampingan tumah bersusun. Peristiwa hukum tersebut menciptakan
hubungan hukum.

Perikatan memang lebih luas pengertiannya jika dibandingkan dengan perutangan.


Perikatan meliputi semua hubungan hukum perdata, sedangkan perutangan hanya meliputi
hubungan hukum harta kekayaan yang diatur dalam buku III KUHPdt. Dengan kata lain,
perutangan adalah perikatan dalam arti sempit.

2. Pengertian Hukum Perikatan

Hukum perikatan diatur dalam buku III KUHPdt. Hukum perikatan ialah hukum
keseluruhan peraturan hukum yang mengatur tentang perikatan. Peraturan tersebut meliputi
bagian umum dan bagian khusus. Bagian umum memuat peraturan-peraturan yang berlaku
bagi perikatan pada umumnya. Sedangkan bagian khusus memuat peraturan-peraturan
mengenai perjanjian-perjanjian bersama yang banyak dipakai dalam masyarakat.
Peraturan hukum perikatan dilakukan dengan “sistem terbuka”, artinya setiap orang
boleh mengadakan perikatan apa saja baik yang sudah ditentukan namanya maupun yang
belum ditentukan namanya dalam undang-undang. Tetapi keterbukaan itu dibatasi oleh tiga
hal, yaitu tidak dilarang oleh undang-undang, tidak bertentangan dengan kesusilaan, dan tidak
bertentangan dengan ketertiban umum.

3. Prestasi dan Wanprestasi

Prestasi

Prestasi adalah sesuatu yang wajib dipenuhi oleh debitur dalam setiap perikatan.
Prestasi adalah objek perikatan. Dalam hukum perdata kewajiban memenuhi prestasi selalu
disertai jaminan harta kekayaan debitur. Dalam pasal 1131 dan 1132 KUHPdt dinyatakan
bahwa semua harta kekayaan debitur baik bergerak, baik yang sudah ada, maupun yang aka
nada, menjadi jaminan pemenuhan hutangnya terhadap kreditur. Tetapi jaminan umum ini
dapat dibatasi dengan jaminan khusus berupa benda tertentu yang ditetapkan dalam
perjanjian antara pihak-pihak.

Waprestasi

Waprestasi artinya tidak memenuhi sesuatu yang diwajibkan seperti yang telah
diwajibkan seperti yang telah ditetapkan dalam perikatan. Tidak dipenuhinya kewajiban oleh
debitur disebabkan oleh dua kemungkinan, yaitu;

(1) karena kesalahan debitur, baik dengan sengaja tidak dipenuhi kewajiban maupun karena
kesalahan.

(2) debitur memenuhi prestasi, tetapi tidak baik atau keliru.

(3) debitur memenuhi prestasi, tetapi tidak tepat pada waktunya atau terlambat.

4. Keadaan Memaksa (overmacht)

Keadaan memaksa ialah keadaan tidak dipenuhinya prestasi oleh debitur karena
terjadi peristiwa yang tidak dapat diketahui atau tidak dapat diduga akan terjadi ketika
membuat perikatan. Dalam keadaan memaksa, debitur tidak dapat dipersalahkan, karena
keadaan ini timbul di luar kemauan dan kemampuan debitur.

5. Ganti Kerugian
Menurut ketentuan pasal 1243 KUHPdt, ganti kerugian karena tidak dipenuhinya
suatu perikatan, barulah mulai diwajibkan apabila debitur setelah dinyatakan lalai memenuhi
perikatannya, tetap melalaikannya, atau sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya hanya
dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampaukannya.

6. Jenis-jenis Perikatan

Perikatan bersyarat

Perikatan bersyarat adalah perikatan yang digantungkan pada syarat. Syarat itu adalah
suatu peristiwa yang masih akan terjadi dan belum pasti terjadinya, baik dengan
menangguhkan pelaksanaan perikatan hingga terjadi peristiwa, maupun dengan membatalkan
perikatan karena terjadi atau tidak terjadinya peristiwa tersebut (pasal 1253 KUHPdt).

Perikatan dengan ketetapan tepat waktu

Suatu ketetapan waktu tidak menangguhkan perikatan, melainkan hanya


menangguhkan pelaksanaannya. Maksud syarat “ketetapan waktu” ialah pelaksanan perikatan
itu digantungkan pada “waktu yang ditetapkan”. Waktu yang ditetapkan itu adalah peristiwa
yang masih akan terjadi dan terjadinya itu sudah pasti, atau dapat berupa tanggal yang sudah
ditetapkan.

Perikatan Manasuka (boleh dipilih)

Dalam perikatan manasuka, objek prestasi ada dua macam benda. Dikatakan perikatan
manasuka, karena debitur boleh memenuhi prestasi dengan memilih salah satu dari dua benda
yang dijadikan objek perikatan. Tetapi, debitur tidak boleh memaksa kreditur untuk
menerima sebagian benda yang satu dan sebagian benda yang lainnya. Jika debitur telah
memenuhi salah satu dari dua benda yang disebutkan dalam perikatan, ia dibebaskan dan
perikatan berakhir. Hak memilih prestasi itu ada pada debitur, jika hak ini tidak secara tegas
diberikan kepada kreditur (pasal 1272 dan 1273 KUHPdt).

Perikatan Tanggung-Menanggung

Dalam perikatan tanggung-menanggung dapat terjadi seorang debitur berhadapan


dengan beberapa orang kreditur, atau seorang kreditur berhadapan dengan beberapa debitur.
Apabila kreditur terdiri dari beberapa orang, ini disebut tanggung-menanggung aktif. Dalam
hal ini setiap kreditur berhak atas pemenuhan prestasi seluruh hutang, dan jika prestasi
tersebut sudah dipenuhi, debitur dibebaskan dari hutangnya dan perikatan hapus (pasal 1278
KUHPdt).

Perikatan Dapat dan Tidak Dapat Dibagi

Suatu perikatan dikatakan dapat dan tidak dapat dibagi, apabila benda yang menjadi objek
perikatan dapat atau tidak dibagi menurut imbangan, lagi pula pembagian itu tidak boleh
mengurangi hakikat dan prestasi tersebut.

Perikatan Dengan Ancaman Hukuman

Perikatan ini memuat suatu ancaman hukuman terhadap debitur apabila ia lalai
memenuhi prestasinya. Ancaman hukuman ini bermaksud untuk memberikan suatu kepastian
atas pelaksanaan isi perikatan seperti yang telah ditetapkan dalam perjanjian yang dibuat oleh
pihak-pihak.

7. Hapusnya Perikatan

a. Pembayaran

b. Penawaran pembayaran tunai diikuti penitipan

c. Pembaharuan hutang (novasi)

d. Perjumpaan hutang (kompensasi)

e. Percampuran hutang

f. Pembebasan hutang

g. Musnahnya benda yang terhutang

h. Karena pembatalan

i. Berlaku syarat batal

j. Lampau waktu (daluarsa)

3. PERIKATAN YANG LAHIR DARI PERJANJIAN

1. Pengertian Perjanjian

Perjanjian dirumuskan dalam pasal 1313 KUHPdt, yaitu suatu perbuatan dengan
mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya.
2. Asas-Asas Perjanjian

Hukum perjanjian mengenal beberapa asas penting yang merupakan dasar kehendak
pihak-pihak dalam mencapai tujuan.

3. Jenis-Jenis Perjanjian

(1) Perjanjian timbal balik dan sepihak

(2) Perjanjian bernama dan tak bernama

(3) Perjanjian obligator dan kebendaan

(4) Perjanjian konsensual dan real

4. Syarat-syarat Sah Perjanjian

(1) Ada persetujuan kehendak antara pihak-pihak yang membuat perjanjian (konsensus)

(2) Ada kecakapan pihak-pihak untuk membuat perjanjian (capacity)

(3) Ada suatu hal tertentu (objek)

(4) Ada suatu sebab yang halal (causa)

5. Akibat Hukum Perjanjian Sah

a. Berlaku sebagai undang-undang

b. Tidak dapat ditarik kembali secara sepihak

c. Pelaksanaan dengan itikad baik

6. Pelaksanaan Perjanjian

Yang dimaksud pelaksanaan perjanjian disini ialah perbuatan merealisasikan atau


memenuhi hak dan kewajiban yang telah diperjanjikan oleh pihak-pihak, sehingga tercapai
tujuan mereka. Masing-masing pihak melaksanakan perjanjian dengan sempurna sesuai
dengan apa yang telah disetujui untuk dilakukan.

Pembayaran

Pihak yang melakukan pembayaran adalah debitur atau orang lain atas nama debitur,
berdasarkan surat kuasa khusus.

Penyerahan benda
Dalam setiap perjanjian yang mengandung tujuan memindahkan penguasaan dan atau
hak milik perlu dilakukan penyerahan bendanya.

Pelayanan Jasa

Pelayanan jasa adalah memberikan pelayanan dengan melakukan perbuatan tertentu


baik dengan menggunakan tenaga pisik belaka maupun dengan keahlian atau alat bantu
tertentu, baik dengan upah maupun tanpa upah.

7. Penapsiran Dalam Melaksanakan Perjanjian

a. Maksud pihak-pihak

b. Memungkinkan janji itu dilaksanakan

c. Kebiasaan setempat

d. Penjelasan dengan menyebutkan

e. Tapsiran berdasarkan akal sehat

8. Kewajiban Pokok dan Pelengkap

Kewajiban pokok adalah kewajiban yang fundamental dalam setiap perjanjian.


Sedangkan kewajiban pelengkap merupakan kewajiban yang kurang penting, yang sifatnya
hanya melengkapi kewajiban pokok saja.

4. PERIKATAN YANG LAHIR DARI UNDANG-UNDANG

1. Ketentuan Undang-Undang

Perikatan yang diuraikan dalam bagian ini adalah perikatan yang lahir dari undang-
undang sebagai akibat dari perbuatan orang. Jadi, bukan orang yang berbuat itu menetapkan
adanya perikatan, melainkan undang-undang yang menentukan adanya perikatan.

2. Penyelenggaraan Kepentingan (zaakwaarneming)

a. Perbuatan itu dilakukan secara sukarela

b. Tanpa mendapatkan perintah (kuasa)

c. Mewakili urusan orang lain

d. Dengan atau tanpa pengetahuan orang itu


e. Wajib meneruskan dan menyelesaikan urusan orang itu

f. Bertindak menurut hukum

g. Hak dan kewajiban yang mewakili

h. Hak dan kewajiban yang diwakili

3. Pembayaran Tanpa Hutang

Dalam perikatan pembayaran tanpa hutang, tuntutan kembali atas pembayaran yang
telah dilakukan itu disebut “condition indebiti”. Tuntutan seperti ini dapat dilakukan
terhadap badan-badan pemerintah umpamanya terjadi pembayaran pajak, yang kemudian
ternyata tidak ada pajak. Dengan pembayaran pajak yang sebenarnya tidak ada, maka
penerima wajib membalikkan pembayaran yang bukan haknya itu.

4. Perbuatan Melawan Hukum

a. Perbuatan (daad)

b. Melawan hukum (onrechtmatig)

c. Kerugian

d. Kesalahan

e. Hubungan Kausal

f. Perbuatan melawan hukum terhadap diri pribadi


BAB VI

HUKUM WARIS

A. Pengaturan Hukum Waris


1. Pengertian Hukum Waris
Hukum waris adalah segala peraturan hukum yang mengatur terkait beralihnya
harta warisan dari pewaris karena kematian kepada ahli waris. Unsur-unsur yang
terdapat dalam pengertian hukum waris :
a. Subjek hukum waris yaitu pewaris, ahli waris, dan orang ditunjuk sesuai wasiat
b. Peristiwa hukum waris yaitu meninggalnya pewaris
c. Hubungan hukum waris yaitu hak dan kewajiban ahli waris
d. Objek hukum waris yaitu harta warisan peninggalan almarhum.
2. Hukum Waris termasuk Hukum Benda
Hak waris merupakan hak kebendaan yang sudah diuraikan bahwasannya
hukum waris itu mengatur tentang hak waris. Pemebenyukan KUHPdt menempatkan
hukum waris dalam buku II KUHPdt yang mangatur tentang hukum benda. Alasan
hak waris adalah hak kebendaan menurut Vollmar berdasarkan beberapa pasal dalam
KUPdt.
a. Hak waris adalah hak yang berdiri sendiri yang dapat dijual (pasal 1537 KUHPdt)
b. Hak waris dapat diberikan sebagai hak memungut hasil atas barang peninggalan
(Pasal 957 KUHPdt)
c. Hak waris dapat dituntut untuk meperoleh warisan (Pasal 834 KUHPdt)

Menurut Prof.A. Pitlo diaturnya hak waris dalam buku II KUHPdt karena
hukum waris mempunyai dua sisi (mempunyai sifat campuran), sisi pertama masul
dalam hukum benda dan sisi kedua masuk dalam hukum keluarga. Hukum keluarga
diatur dalam buku I KUHPdt dan hukum waris diatur dalam buku II KUHPdt.

3. Sistem Kewarisan KUHPdt


Jika dihubungkan dengan sistem keturuan, maka KUHPdt menganut sistem
keturunan bilateral, artinya ahli waris berhak mewaris dari ayah jika ayah meninggal
dan berhak mewaris dari ibu jika ibu meninggal. Lalu apabila dohubungkan dengan
sistem kewarisan, maka KUHPdt menganut sistem kewarisan individual. Artinya
sejak meninggalnya pewaris, harta warisan dapat dibagi-bagi pemiliknya antara para
ahli waris. Jadi sistem KUHPdt adalah sistem kewarisan individual bilateral.
B. PEWARIS (PENINGGAL WARISAN)
1. Pengertian Pewaris
Orang yang meninggal dunia dan meinggalkan harta kekayaan pada orang
yang masih hidup. Apabila harta kekayaan tidak ada, artinya orang yang meinggal itu
tidak meninggalkan waris. Apabila orang yang masih hidup tidak ada , pewaris masih
relevan, karena harta kekayaan orang yang meinggal itu jatuh kepada negara. Dalam
hukum waris, pokok masalah terletak pada hak waris.
2. Surat Wasiat (Testamen)
Wasiat adalah perbuatan pewaris pada masa hidupnya mengenai harta
kekayaannya apabila ia meninggal dunia. Apabila seorang pewaris meninggalkan
wasiat, maka menurut undang-undang, wasita tersebut harus ditulis dan berisi
pernyataan mengenai apa yang dikenhendaki pewaris setelah ia meninggal dunia.
Testament menurut pasal 875 KUHpdt adalah suatu akta yang memuat pernyataan
seorang tentang apa yang dikehendakinya setelah dia meninggal dunia dan dapat
dicabut kembali.
Berdasarkan ketentuan pasal 875 KUHpdt dibedakan menjadi 2, yaitu surat wasiat
menurut bentuknya dan surat wasiat menurut isinya.
a. Surat Wasiat menurut bentuknya
Menurut ketentuan pasal 931 KUHPdt ada 3 macam surat wasiat
1) Surat wasiat olografis
Surat wasiat yang seluruhnya ditulis dan ditandatangani sendiri oleh
pewaris.
2) Surat wasiat umum
Surat wasiat dengan akta umum yang harus dibuat dihadapan notaris
dengan dihadiri oleh dua orang saksi.
3) Surat wasiat rahasia atau tertutup
Surat wasiat yang dibuat oleh pewaris dengan tulisan sendiri atau
ditulis oleh orang lain, yang ditandatangani pewaris. Surat wasiat harus
tertutup dan disegel, lalu harus diserahkan kepada notaris dengan
dihadiri oleh empat orang saksi.

b. Surat Wasiat menurut isinya


1) Surat wasiat pengangkatan waris
Surat berisi wasiat yang pewarisnya memberikan kepada seornag atau
lebih seluruh atau Sebagian dari harta kekayaan jika ia meninggal
dunia.
2) Surat wasiat hibah
Surat wasiat yang memuat ketetapan khusus, dengan nama orang yang
mewasiatkan memebrikan kepada seorang atau beberapa orang.
3. Wasiat dalam hukum Islam dan Adat
Dalam hukum islam terdapat pada surat Al Baqarah ayat 180-182, surat An
Nissa’ ayat 11,12,176 yang mengatur pembagian harta peninggalan.
C. AHLI WARIS
1. Pengertian Ahli Waris
Ahli waris adalah setiap orang yang berhak atas harta peninggalan pewaris
dan berkewajiban menyelesaikan hutang-hutangnya. Dijelaskan juga dalam pasal
833 ayat 1 KUHPdt dan Pasal 874 KUHPdt setiap ahli waris berhak menuntut dan
memperjuangkan hak warisnya (Pasal 834 KUHPdt), tuntutan ini disebut sebagai
“heriditatis petition” artinya tuntutan memperoleh hak waris..
2. Penggolongan Ahli Waris
a. Golongan I
Pasal 852 KUHPdt , anak-anak walaupun dilahirkan dari perkawinan yang
berlainnan dan waktu yang berlainan, laki-laki atau perempuan mendapat
bagian yang sama, mewaris kepala demi kepala.
b. Golongan II
Pasal 854 KUHPdt, apanila seseorang meninggal dunia tanpa meninggalkan
keturunan maupun istri(suami), sedangkan bapak dan ibunya masih hidup,
maka yang berhak mewaris ialah bapak, ibu dan saudara.
c. Golongan III
Pasal 853 dan 858 KUHPdt, apabila orang yang meninggal dunia tidak
meninggalkan keturunan, maupun istri atau suami, saudara-saudara ataupun
orang tua, maka warisannya jatuh pada kakek dan nenek nya.
d. Golongan IV
Pasal 853 dan 858 KUHPdt warisan nya jatuh pada ahli waris yang terdekat
pada tiap garis.

3. Ahli Waris yang tidak berhak


a. Mereka yang telah dihukum karena membunuh atau mencoba membunuh
pewaris
b. Mereka yang dengan putusan hakim dipersalahkan karena fitah telah
mengajukan pengaduan terhadap pewaris mengenai suatu jehatan
c. Mereka yang dengan kekerasan mencegah pewaris mencabut surat wasiatnnya
d. Mereka yang telah menggelapkan, meruk dan memalsukan surat wasiat
pewaris.
4. Ahli Waris Pengganti
Ahli waris uit eigen hoofed adalah ahli waris yang memperoleh warisan
berdasarkan kedudukannya sendiri terhadap pewaris. Ahli waris bij
plaatsvervulling adalah ahli waris pengganti berhubungan prang yang berhak
mewaris telah meninggal dunia lebih dahulu dari pewaris.
D. HARTA WARISAN
1. Pengertian Harta Warisan
Harta warisan adalah segala harta kekayaan yang ditinggalkan oleh pewaris
setlah dikurangi dengan semua hutannya. Pokok permasalahannya dalam
pewarisan adalah pada ha katas harta warisan bukan pada kewajiban membayar
hutang-hutang pewaris.
2. Legitieme Portie
Pasal 913 KUHPdt legitieme Portie adalah suatu bagian dari harta warisan
yang harus diberikan kepada para ahli waris dalam garis lurus menurut undang-
undang, terhadap bagian mana pewaris tidak diperbolehkan menguranginya
dengan suatu pemberian semasa hidup atau pemberian dengan surat wasiat.
3. Pembagian Harta Warisan
Apabila semua ahli waris cakap bertindak sendiri dan semua berada di
tempat atau hadir sendiri, maka pembagian harta warisan diserahkan kepada
pemufakatan mereka sendiri. Apabila pewaris menunjuk pelaksana wasiat untuk
melakukan pembagian warisan setelah pewaris meninggal, maka penunjuk
tersebut dapat dilakukan dengan surat wasiat, codicil dan akta notaris. Apabila
ditunjuk beberapa orang pelksana wasiat, maka setiap orang bertanggungjwab
untuk seluruhnya mengenai tugas pengurusannya. Menurut pasal 1010 KUHPdt
pelaksana warisan wajib mengadakan pendaftaran harta warisan dengan dihadiri
oleh semua ahli waris. Menurut ketentuan pasal 1010 KUHPdt pelaksana wasiat
wajib mengusahakan supaya surat wasiat dilaksanakan.

Anda mungkin juga menyukai