Oleh :
KELOMPOK 2
BAB I
HUKUM PERDATA
1. PENDAHULUAN
Dalam bab ini dibahas beberapa hal mengenai hukum perdata. Pembahasan ini
menekankan pada pengertian dasar, pembentukan, dan berlakunya hukum perdata. Hal ini
lebih diutamakan karena mengingat keadaan hukum perdata meliputi lingkup hukum perdata,
sejarah hukum perdata, hukum perdata nasional, sumber hukum perdata, kodifikasi dan
sistematika, berlakunya hukum perdata, dan beberapa pertanyaan latihan.
1. Peraturan hukum
Peraturan artinya rangkaian ketentuan mengenai ketertiban. Peraturan itu ada tertulis
dan tidak tertulis. Hukum artinya segala peraturan tertulis dan tidak tertulis yang mempunyai
sanksi yang tegas terhadap pelanggarnya
2. Hubungan Hukum
Hubungan hukum adalah hubungan yang di atur oleh hukum. Hubungan yang diatur
oleh hukum adalah hak dan kewajiban warga, pribadi yang satu dengan pribadi yang lain
dalam bermasyarakat. Jadi hubungan hukum adalah hak dan kewajiban setiap warga atau
pribadi dalam masyarakat. Apabila kewajiban tersebut tidak dipenuhi dapat dikenakan saksi
menurut hukum.
3. Orang (Persoon)
Orang (Persoon) adalah subjek hukum, yaitu, pendukung hak dan kewajiban.
Pendukung hak dan kewajiban ini berupa manusia pribadi dan badan hukum.
Dari uraian mengenai definisi hukum perdata tersebut dapat disimpulkan bahwa
Timbulnya hukum adalah karena adanya manusia yang hidup bermasyarakat. Hukum
mengatur hak dan kewajiban dalam hidup masyarakat dan juga mengatur bagaimana cara
melaksanakan dan mempertahankan han dan kewajiban itu. Dalam pergaulan hidup
bermasyarakat manusia dalah sentral. Manusia adalah penggerak kehidupan masyarakat,
karena manusia adalah pendukung hak dan kewajiban.
Sebagai mahluk sosial, manusia mempunyai kebutuhan. Kebetuhuna itu hanya dapat
terpenuhi apabila di lakukan dengan usaha dan kerja keras. Mereka berintraksi hubungan
antara satu dan yang lain. Keberhasilan dalam usaha kehidupan adalah harta kekayaan yang
mereka miliki, dan kelangsungan hidup keluarga terjamin. Dengan demikian, hukum perdata
material mengatur tentang harta kekayaan. Manusia hidup tidak abadi. Siapakah yang berhak
mengurus dan memiliki harta kekayaan it. Dengan demikian, hukum perdata material
mengatur tentang pewarisan.
Atas dasar siklus kehidupan manusia ini, maka hukum peradata material memuat dan
mengatur segala persoalan mengenai:
4. Pewaris (erfrecht)
Inilah sub-sub bidang hukum perdata yang termasuk dalam hukum perdata material.
Sedangkan sub-bidang mengenai cara melaksanakan dan mempertahankan hak dan
kewajiban, termasuk dalam hukum acara perdata. Hukum acara perdata merupakan sub-
disiplin ilmu hukum yang berdiri sendiri.
Hukum perdata Belanda berasal dari hukum perdata Prancis, yang berinduk pada
Code Civil Prancis. Pada zaman pemerintahan Napoleon Prancis pernah menjajah Belanda
dan Code Civil di berlakukan pula di Belanda. kemudian setelah Belanda merdeka dari
kekuasan Prancis, Belanda menginginkan pembentukan kitab undang-undang hukum perdata
sendiri yang lepas dari pengaruh kekuasaan Prancis. Pembentukan kodifikasi Belanda
tersebut selesai pada tanggal 5 Juli 1830 dan direncanakan diberlakukan pada tanggal 1
Februari 1831.
Yang dimaksud dengan Hukum perdata Indonesia adalah Hukum perdata yang
berlaku di Indonesia. Hukum perdata yang berlaku di Indonesia adalah hukum perdata Barat
(Belanda), yang berinduk pada kitab Undang-Undang Hukum perdata (KUHPdt), dalam
bahasa aslinya disebut Burgerlijk Wetboek ini yang berlaku pada di Hindia Belanda dulu. Di
samping KUHPdt, hukum perdata Indonesia itu meliputu Undang-undang hukum perdata
buatan pembentukan undang-undang Republik Indonesia, misalnya Undang-undang
perkawinan No. 1 Tahun 1974, Undang-undang pokok Agraria No. 5 Tahun 1960, keputusan
presiden No. 12 tahun 1983 tentang penataan dan peningkatan pembinaan penyelengaraan
Catatan sipil. Dengan demikian jelaslah rumusan hukum perdata Indonesia.
B.W. Hindia Belanda diperuntukkan bagi penduduk golongan Eropah dan yang
dipersamakan berdasarkan pasal 1 3 1 I.S. jo 163 I.S. setelah Indonesia merdeka, keberlakuan
untuk warga negara Indonesia keturunan Eropa dan yang di persamakan terus berlangsung.
Keberlakuan yang demikian adalah formal berdasarkan aturan peralihan UUD 45.
Atas dasar pertimbangan situasi dan kondisi sebagai negara dan bangsa yang
merdeka, dan dalam rangka penyesuaian hukum kolonial ke dalam hukum Indonsesia
maerdeka, maka pada tahun 1962 Dr. Sahardjo, S.H. Menteri Kehakiman R.I. pada waktu itu
menegeluarkan gagasan, yang menggangap B.W. (KUHPdt) Indonesia sebagai himpunan
hukum tak tertulis. Oleh karena itu sebagai himpunan tak tertulis, maka dapat dipedomani
oleh semua warga negara Indonesia.
Hukum perdata yang berlaku di Indonesia ada hukum perdata barat dan ada hukum
perdata nasional. Hukum perdata barata adalah hukum perdata bekas peninggalan zaman
kolonial Belanda yang berlakunya di Indonesia berdasarkan aturan peralihan UUD45.
Sedangakan hukum perdata nasional adalah hukum perdata yang diciptakan oleh Indonesia
merdeka.
Untuk mengetahui bahwa hukum perdata itu berpredikat nasional perlu ditentukan
kriteria yang jelas. Kriteria tersebut adalah sebagai berikut:
Sumber hukum perdata adalah asal mula hukum perdata, atau tempat di mana hukum
perdata ditemukan. Asal mula itu menunjuk kepada sejarah asalnya dan pembentukanya.
Sedangkan tempat menunjuk kepada rumusan-rumusan itu dimuat dan dapat dibaca.
Sumber dalam arti sejarah asalnya hukum perdata asumber dalah hukum perdata
buatan pemerintah kolonial Belanda yang terhimpun dalam B.W. (KUHPdt). Sumber dalam
arti pembentukanya adalah pembentuk undang-undang berdasrkan UUD45. UUD45
ditetapkan oleh rakyat Indonesia, yang di dalamnya termasuk juga aturan peralihan.
Sumber hukum perdata dalam arti material umunya masih bekas peninggalan zaman
kolonial dahulu, terutama terdapat dalam Staatsblad. Sedangkan yang lainya sebagian besar
yurisprodensi Mahkamah Agung R.I. yang memuat hukum perdata nasional R.I.
Undang-undang dan peraturan pelaksanaanya itu dapat dihimpun dalam satu bundel
peraturan perundang-undangan. Himpunan ini disebut ‘himpunan undang-undang’, misalnya
himpunan undang-undang agraria, himpunan undang-undang perkawinan, himpunan undang-
undang perusahaan dll.
Sedangkan kodifikasi berasal dari kata ‘’cope’’ bahasa Prancis, artinya kitab undang-
undang. Kodifikasi artinya penghimpunan ketentuan-ketentuan bidang hukum tertentu dalam
satu kitab undang-undang yang tersusun secara sistematis, lengkap dan tuntas.
2. Sistematika Kodifikasi
Sistematika artinya susunan yang teratur. Sistematika kodifikasi artinya susunan yang
teratur dari suatu kodifikasi. Sistematika kodifikasi hukum perdata juga meliputi bentuk dan
isi. Sistematika isi kitab undang-undang hukum perdata meliputi kelompok materi
berdasarkan sistem fungsional. Sistem fungsional ini ada dua macam, yaitu menurut
pembentukan undang-undang dan menurut ilmu pengetahuan hukum.
1. Ketentuan Undang-Undang
Berlakunya hukum perdata ada bersifat memaksa, dan ada pula bersifat sukarela.
Bersifat memaksa artinya kewajiban hukum harus dilaksanakan, baik dengan berbuat atau
tudak berbuat. Jika tidak dilaksanakan, kepada yang bersangkutan dikenakan sanksi. Adanya
kewajiban hukum itu karena danya hubungan hukum. Hubungan hukum tersebut ditetapkan
oleh undang-undang. Jadi, undang-undang menciptakan hubungan hukum antara pihak-pihak.
Hukum perdata juga berlaku karena ditentukan oleh perjanjian. Artinya perjanjian
yang dibuat oleh pihak-pihak hukum untuk dilaksanakan. Perjanjian berlaku sebagai undang-
undang bagi pihak-pihak yang membuatnya. Perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad
baik (te goeder trouw, pasal 1338 KUHPdt)
2. Perjanjian kawin, yaitu perjanjian yang menimbulkan kewajiban dan hak suami istri
secara bertimbal balik dalam hubungan perkawinan. Perjanjian ini terletak pada
bidang moral dan kesusilaan tidak dapat dinilai dengan uang.
3. Keputusan Hakim
Hukum perdata juga berlaku karena ditetapkan oleh hakim melalui putusanya. Hali ini
dapat terjadi karena ada perbedaan pendapat atau perselisihan mengenai pelaksanaan
kewajiban dan hak yang di tetapkan oleh hukum perdata. Keputusan hakim inilah yang
menetapkan diterimanya kewajiban dan hak mereka yang bersengketa.
Putusan Hakim selalu bersifat memaksa artinya jika ada pihak yang tidak
mematuhinya, Hakim dapat memerintahkan pihak yang bersangkutan supaya
mematuhinyadengan kesadaran sendiri. Jika masih tidak dipatuhi, Hakim dapat
melaksanakan putusanya dengan kekerasan (paksa), bila perlu dengan bantuan alat negara
semisal polisi.
1. tercapai tujuan, apabila kedua pihak memenuhi kewajiban dan hak bertimbal balik secara
penuh.
2. tidak tercapai tujuan, apabila salah satu pihak tidak memenuhi kewajiban.
3. terjadi keadaan yang bukan tujuan, yaitu kerugian akibat perbuatan melanggar hukum.
BAB II
a. Badan hukum yang bertujuan memperoleh laba : (Perum, Persero, Perjan, PT)
b. Badan hukum yang bertujuan memenuhi kesejahteraan para anggotanya :
Koperasi
c. Badan hukum yang bertujuan bersifat ideal di bidang sosial, pendidikan, ilmu
pengetahuan, kebudayaan, keagamaan
2. Syarat-syarat Pembentukan Badan Hukum
Menurut Prof. Meyers (1948) :
a. Ada harta kekayaan sendiri
b. Ada tujuan tertentu
c. Ada kepentingan sendiri
d. Ada organisasi yang teratur
Dari tujuh undang-undang tersebut, dapat dihimpun tiga macam catatan sipil :
HUKUM KELUARGA
1. PENDAHULUAN
Dalam bab ini dibahas tentang hukum keluarga. Pembahasan ini menekankan pada
Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974. Hal ini dilakukan mengingat undang-undang
tersebut mencabut berlakunya ketentuan-ketenatuan mengenai perkawinan dan segala akibat
hukumnya yang terdapat dalam buku I KUHPdt.
Dengan demikian, pembahasan tentang hukum keluarga dalam bab ini meliputi
hubungan keluarga, hubungan darah, perkawinan, keturunan, kekuasaan orang tua, harta
benda perkawinan, perwalian, perceraian, dan pertanyaan-pertanyaan latihan.
1. Pengertian Keluarga
Keluarga adalah kesatuan masyarakat terkecil yang terdiri dari suami, istri, dan anak
yang berdiam dalam satu tempat tinggal. Ini pengertian keluarga dalam arti sempit. Apabila
dalam satu tempat tinggal itu berdiam pula pihak lain sebagai akibat adanya perkawinan,
maka terjadilah kelompok anggota keluarga yang terdiri dari orang-orang yang mempunyai
hubungan karena perkawinan dank arena pertalian darah. Ini pengertian keluarga dalam arti
luas.
Hubungan keluarga dan hubungan darah adalah dua pengertian yang berbeda.
Hubungan keluarga adalah hubungan dalam kehidupan keluarga, yang terjadi karena
hubungan perkawinan dan karena hubungan darah.
2. Hubungan Darah
Hubungan darah adalah pertalian darah antara orang yang satu dan orang lain karena
berasal dari leluhur yang sama (ketunggalan leluhur). Hubungan darah itu terdiri dari dua
garis, yaitu hubungan darah menurut garis lurus ke atas dank e bawah, dan hubungan darah
menurut garis ke samping.
Daftar yang menggabarkan ketunggalan leluhur antara orang-orang yang mempunyai
pertalian darah disbut “silsilah”.
Istilah-istilah atau sebutan dan tingkatan hubungan darah itu adalah sbb :
1. Hubungan darah antara anak dan ayah/ibu disebut hubungan satu tingkat;
2. Hubungan darah antara anak dan nenek/kakek disebut hubungan dua tingkat;
3. Hubungan darah antara anak dan puyang disebut hubungan tiga tingkat;
4. Hubungan darah antara ayah/ibu dan anak disebut hubungan satu tingkat;
5. Hubungan darah antara ayah/ibu dan cucu disebut hubungan dua tingkat;
6. Hubungan darah antara ayah/ibu dan cicit disebut hubungan tiga tingkat;
7. Hubungan darah antara saudara kandung disebut hubungan dua tingkat;
8. Hubungan darah antara anak dan paman/bibi disebut hubungan tiga tingkat;
9. Hubungan darah antara anak dan anak paman/bibi disebut hubungan empat tingkat;
10. Hubungan darah antara saya dan anak saudara kandung saya (antara saya dan
keponakan saya) disebut hubungan tiga tingkat;
11. Hubungan darah antara anak saya dan anak saudara kandung saya (antara anak saya
dan keponakan saya) disebut hubungan empat tingkat;
Jauh dekat hubungan darah mempunyai arti penting dalam hal perkawinan, pewarisan,
dan perwalian dalam keluarga. Demikian juga dengan urutan dalam pewarisan. Hubungan
darah sampai batas tertentu menentukan urutan prioritas sebagai ahli waris.
Demikian juga dalam perwalian. Hubungan darah sampai batas tertentu menentukan
urutan prioritas menjadi wali.
Dalam perkawinan
1. Anak yang belum mencapai umur 21 tahun apabila melangsungkan perkawinan harus
mendapat izin kedua orang tua (pasal 6 ayat 2), bukan hanya ayah atau ibu.
2. Larangan perkawinan antara pria dan wanita yang mempunyai hubungan darah terlalu
dekat dan karena hubungan semenda (pasal 8).
3. Perkawinan tidak mengenal sistem jujur, hal ini tidak diatur dalam Undang-Undang
Perkawinan No.1 Tahun 1974.
4. Rumah tempat kediaman ditentukan oleh suami istri bersama (pasal 32), bukan oleh
suami atau istri.
5. Hak dan kedudukan suami istri adalah seimbang dalam kehidupan rumah tangga dan
pergaulan hidup bermasyarakat (pasal 31).
1. Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya
(pasal 45 ayat 1).
2. Anak yang belum berumur 18 tahun atau belum kawin berada di bawah kekuasaan
orang tua (pasal 47), bukan kekuasaan ayah atau ibu.
3. Kedua orang tua dilarang memindahkan hak atau mengadaikan barang tetap anak
mereka yang belum berumur 18 tahun atau belum kawin (pasal 48).
1. Harta yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersam dan dikuasai bersama
(pasal 35 ayat 1).
2. Sejak terjadi perkawinan harta disatukan dan dikuasai bersama apabila dibuat
perjanjian (pasal 35 ayat 2).
Perwalian
Wali sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak tersebut (pasal 51 ayat 2). Ini berarti
dapat diambil dari keluarga pihak ibu atau pun ayah.
1. Suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang
menjadi sendi besar susunan masyarakat (pasal 30).
2. Suami istri wajib saling cinta-mencinta, hormat-menghormati, setia, dan memberi
bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain (pasal 33).
3. Suami adalah kepala keluarga dan istri adalah ibu rumah tangga (pasal 31 ayat 3).
1. Asas-Asas Perkawinan
Beberapa asas perkawinan dalam Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 dapat
diperinci dan diuraikan di bahaw ini. Asas-asas ini mendasari ketentuan-ketentuan dalam
Undang-Undang Perkawinan dan peraturan-peraturan pelaksanaannya.
1. Perkawinan monogami
2. Kebebasan kehendak
3. Pengakuan kelamin secara kodrati
4. Tujuan perkawinan
5. Perkawinan kekal
6. Perkawinan menurut hukum agama
7. Perkawinan terdaftar
8. Kedudukan suami-istri seimbang
9. Poligami sebagai pengecualian
10. Batas minimal usia kawin
11. Membentuk keluarga sejahtera
12. Larangan dan pembatalan perkawinan
13. Tanggung jawab perkawinan dan perceraian
14. Kebebasan mengadakan jani perkawinan
15. Pembedaan anak sah dan tidak sah
16. Perkawinan campuran
17. Perceraian dipersulit
18. Hubungan dengan pengadilan
2. Pengertian Perkawinan
Menurut ketentuan pasal 1 Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 (selanjutnya
disebut UUP), perkawinan ialah lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai
suami istri.
Ikatan lahir adalah hubungan formal yang dapat dilihat karena dibentuk menurut
undang-undang, hubungan mana mengikat kedua pihak dan pihak lain dalam masyarakat.
Antara seorang pria dan seorang wanita, artinya dalam satu masa ikatan lahir batin itu
hanya terjadi antara seorang pria dan seorang wanita saja.
Suami istri adalah fungsi masing-masing pihak sebagai akibat dari adanya ikatan lahir
batin.
3. Tujuan Perkawinan
Membentuk keluarga artinya membentuk kesatuan masyarakat terkecil yang terdiri dari
suami, istri, dan anak-anak.
Perkawinan berdasarkan Ketuhana Yang Maha Esa, artinya perkawinan tidak terjadi
begitu saja menurut kemauan pihak-pihak, melainkan sebagai karunia Tuhan kepada manusia
sebagai mahkluk beradab.
4. SYARAT-SYARAT PERKAWINAN
Yang dimaksud dengan syarat ialah segala hal yang harus dipenuhi berdasarkan
peraturan undang-undang. Syarat perkawinan ialah segala hal mengenai perkawinan yang
harus dipenuhi berdasarkan peraturan undang-undang, sebelum perkawinan dilangsungkan.
Ada dua macam syarat-syarat perkawinan, yaitu syarat-syrata material dan syarat-syarat
formal. Syarat-syarat material adalah syarat-syarat yang ada dan melekat pada diri pihak-
pihak yang melangsungkan perkawinan. Sedangkan syarat-syarat formal adalah tata cara atau
prosedur melangsungkan perkawinan menurut hukum agama dan undang-undang.
2. Syarat-syarat Perkawinan Monogami
1. Persetujuan kedua calon mempelai
2. Pria sudah berumur 19 tahun, wanita 16 tahun
3. Izin orang tua/pengadilan jika belum berumur 21 tahun
4. Tidak masih terikat dalam satu perkawinan
5. Tidak bercerai untuk kedua kali dengan suami/istri yang sama yang hendak dikawini.
6. Bagi janda, sudah lewatwaktu tunggu
7. Sudah memberi tahu kepada Pegawai Pencatat Perkawinan 10 hari sebelum
dilangsungkan perkawinan
8. Tidak ada yang mengajukan pencegahan
9. Tidak ada larang perkawinan
Menurut ketentuan pasal 3 UUP, pada asasnya dalam satu perkawinan seorang pria
hanya boleh mempunyai seorang istri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang
suami.
Dari ketentuan pasal ini dapat disimpulkan bahwa walaupun pada asasnya perkawinan
itu monogami, suami masih dimungkinkan untuk kawin lagi dengan wanita lain, dengan
ketentuan dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Artinya suami menghendaki
perkawinan dengan wanita lain itu, sedangkan istri tidak keberatan atas perkawinan tersebut.
Menurut ketentuan pasal 6 P.P.No.9 Tahun 1975, pegawai pencatat yang menerima
pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan meneliti apakah syarat-syarat
perkawainan telah dipenuhi dan apakah tidak terdapat halangan perkawainan menurut
undang-undang. Penelitian itu dilakukan terhadap surat-surat keterangan yang diperlukan,
yang membuktikan syarat-syarat perkawainan telah terpenuhi.
Dalam tenggang waktu sepuluh hari sejak pengumuman yang dilakukan oleh pegawai
pencatat tidak ada keberatan dari pihak-pihak yang berkepentingan, maka pemberitahuan
kehendak melangsungkan perkawinan dianggap memenuhi syarat-syarat dan tidak ada
halangan.
Bagi yang beragama Islam, tata cara perkawainan adalah upacara akad nikah. Biasanya
akad nikah dilakukan di rumah mempelai laki-laki atau di rumah mempelai perempuan yang
dihadiri oleh sanak keluarga dan para undangan.
Setelah selesai upacara akad nikah, mempelai laki-laki boleh membaca taklik talak dan
boleh juga tidak, tergantung pada kemauan pihak-pihak yang kawin ini.
4. Perjanjian Perkawinan
Isi perjanjian itu tidak melanggar batas-batas hukum, misalnya dalam perjanjian
ditentukan istri tidak diberi wewenang melakukan perbuatanhukum, ini melanggar batas-
batas hukum, karena hukum menentukan bahwa wanita bersuami itu wenang melakukan
perbuatan hukum apapun.
Akibat hukum adanya perjanjian perkawinan antara suami dan istri adalah sebagai
berikut:
Perkawinan dikatakan tidak sah relatif apabila tidak dipenuhi salah satu atau beberapa
syarat material yang terdapat dalam nomor urut 1 s/d 5, 7 dan 8 syarat perkawinan
monogamy dan nomor urut 1 s/d 3 syarat perkawinan poligami.
Perkawinan dikatan tidak sah absolut apabila tidak dipenuhi syarat material yang
terdapat dalam nomor urut 6 dan 9 syarat perkawinan monogami dan syarat formal
“dilakukan menurut hukum masing-masing agama”.
Permohonan pembatalan
Dalam pasal 28 ayat 2 huruf (a) UUP dinyatakan bahwa keputusan tidak berlaku surut
terhadap anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut.
Selanjutnya dalam pada pasal 28 ayat 2 huruf (b) dinyatakan bahwa keputusan tidak
berlaku surut terhadap suami atau istri yang bertindak dengan itikad baik, kecuali terhadap
harta bersama bila pembatalan perkawinan didasarkan atas adanya perkawinan lain yang
lebih dulu.
Terakhir dalam pasal 28 ayat 2 huruf (c) dinyatakan bahwa keputusan tidak berlaku
surut terhadap orang-orang ketiga lainnya yang tidak termasuk dalam huruf (a) dan (b)
sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan itikad baik sebelum keputusan tentang
pembatalan mempunyai kekuatan hukum tetap.
Dalam hubungan hukum antara suami dan istri tersimpul hak dan kewajiban masing-
masing pihak dalam fungsi sebagai suami dan fungsi sebagai istri.
Hak suami-istri
1. Suami dan istri mempunyai hak dan kedudukan yang seimbang dalam kehidupan
rumah tangga dan pergaulan hidup dalam masyarakat (pasal 31 ayat 1 UUP).
2. Suami dan istri sama-sama berhak melakukan perbuatan hukum (pasal 31 ayat 2
UUP).
3. Suami dan istri mempunyai kesempatanyang sama untuk mengajukan gugatan kepada
Pengadilan apabila ada yang melalaikan kewajibannya (pasal 34 ayat 3 UUP).
Kewajiban suami-istri
1. Suami dan istri berkewajiban luhur menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi
dasar susunan masyarakat (pasal 30 UUP).
2. Suami dan istri mempunyai tempat kediaman yang tetap yang ditentukan oleh suami
istri bersam (pasal 32 UUP).
3. Suami dan istri wajib saling cinta-mencintai, hormat-menghormati, setia, memberi
bantuan lahir batin antara satu sama lain (pasal 33 UUP).
4. Suami dan istri wajib memelihara dan mendidik anak-anak sebaik-baiknya sampai
anak-anak itu dapat berdiri sendiri atau kawin (pasal 45 UUP).
1. Suami wajib melindungi istri dan memberi nafkah hidup berrumah tangga sesuai
dengan kemampuan (pasal 34 ayat 1 UUP).
2. Istri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya (pasal 34 ayat 2 UUP).
3. Suami berkedudukan sebagai kepala keluarga dan istri sebagai ibu rumah tangga
(pasal 31 ayat 3 UUP).
3. Hubungan Hukum Antara Orang Tua dan Anak
Salah satu akibat perkawinan antara suami dan istri ialah lahirnya anak.
Anak sah
Anak sah diatur dalam pasal 42 UUP. Menurut ketentuan pasal tersebut ada dua macam
anak sah, yaitu:
Anak yang tidak sah adalah anak yang dilahirkan di luar perkawinan. Menurut
ketetntuan pasal 43 ayat 1 UUP, anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai
hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.
Seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh istrinya, bilamana
ia dapat membuktikan bahwa istrinya telah berzina dan anak itu akibat dari perzinahan
tersebut (pasal 44 ayat 1 UUP). Pengadilan memberikan keputusan tentang sah/tidaknya anak
atas permintaan pihak yang berkepentingan (pasal 44 ayat 2).
Menurut hukum Islam, memungkiri seseorang anak zina sebagai anaknya dilakukan
dengan jalan li’an. Dasarnya Surat An-Nur ayat 6 s/d 9.
Kekuasaan orang tua terhadap anak berlangsung hingga anak itu mencapai umur 18
tahun atau anak itu kawin, atau ada pencabutan kekuasaan orang tua oleh Pengadilan (pasal
47 ayat 1 UUP). Kekuasaan orang tua meliputi:
Menurut ketentuan pasal 46 UUP, amak wajib menghormati orang tua dan mentaati
kehendak mereka yang baik.
Ketentuan pasal 46 UUP ini ada persamaan dan perbedaan dalam Surat Al-Ahqaf ayat
14 dan Surat Al-Baqarah ayat 215.
Akibat lain dari perkawinan ialah timbul hubungan hukum antara wali dan anak.
Perwalian dan wali
Menurut ketentuan pasal 51 ayat 2 UUP, yang dapat ditunjuk sebagai wali adalah
keluarga anak tersebut atau orang lain.
Kekuasaan wali
Kekuasaan wali terhadap anak berlangsung hingga anak itu mencapai umur 18 tahun
atau anak itu kawin.
Menurut ketentuan pasal 51 ayat 5 UUP, wali bertanggung jawab atas pengurusan harat
benda anak serta kerugian yang timbul karena kesalahan atau kelalaiannya.
Wali yang tidak bertanggung jawab dalam melaksanakan tugas kewajiban sebagai wali
dapat dicabut kekuasaannya sebagai wali.
Berakhirnya perwalian
Mengenai harta benda dalam perkawinan, yang diatur dalam pasal 35 UUP dibedakan
menjadi tiga macam, yaitu:
1. Harta bersama.
2. Harta bawaan.
3. Harta perolehan.
7. PERKAWINAN CAMPURAN
Perkawinan campuran adalah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk
pada hukum yang berlainan karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak
berkewarganegaraan Indonesia (pasal 57 UUP).
2. Perceraian
1. Perkawinan itu tujuannya suci dan mulia, sedangkan perceraian adalah perbuatan
yang dibenci oleh Tuhan;
2. Untuk membatasi kesewanang-wenangan suami terhadap istri;
3. Untuk mengangkat derajad dan martabat istri (wanita), sehingga setaraf dengan
derajad dan martabat suami (pria).
Alasan perceraian
Ada dua macam perceraian yaitu perceraian dengan talak dan perceraian denga
gugatan. Perceraian dengan talak biasa disebut cerai talak hanya berlaku bagi mereka yang
melangsungkan perkawinan menurut agama Islam. Sedangkan bagi perceraian denga gugatan
biasa disebut cerai gugat berlaku bagi mereka yang melangsungkan perkawinan menurut
agama lain dan bukan agama Islam.
Karena terjadi perceraian, maka ada tiga akibat yang perlu diperhatikan yaitu (1) akibat
terhadap anak dan istri, (2) akibat terhadap harta perkawinan, (3) akibat terhadap status.
BAB IV
HUKUM BENDA
1. PENDAHLUAN
Dalam pembahasan ini , benda ditempatkan dalam bab IV menempai urutan setelah
hukum keluarga, pembahasan huum benda meliputi pokok –pokok bahasan mengenai benda
dan hukum benda, hak keberadaan, hak milik, hak penguasaan (bezit), hak atas benda
jaminan yang meliputi gadai, retensi, hipotik, privilenge, dan hak memungut hasil serta
ditambah dengan pertanyaan pertanyaan latihan.
5. PENGUASAAN (BEZIT)
1. Pengertian kekuasaan (bezit)
Menurut ketentuan pasal 529 KUHPdt bezit adalah keadaan memegang atau
menikmati suatu benda oleh orang yang menguasainya, baik sendiri ataupun dengan
perantaraan orang lain, seolah olah itu kepunyaannya sendiri.
a. Menguasai suaru benda (mungkin sebagai pemegang saja atau menikmati bendanya saja,
missal benda hak gadai)
b. Dilakukan sendiri dengan perantaraan orang lain (missal hak sewa)
c. Seolah-olah benda itu kepunyaan sendiri (benda itu milik orang lain atau mulanya sebagai
benda tak bertuan)
2. Fungsi Penguasaan (Benzit)
a. Fungsi yustisial dalam pasal 1977 ayat 1 KUHPdt “siapa yang menguasai suatu
benda, dianggap sebagai orang yang berhak atas benda itu sampai dapat di buktikan
sebaliknya”.
b. Fungsi zakenrechtelijk. Penguasaan ini berlangsung terus tanpa gugatan dari pemilik
sebenarnya.
3. Pembedaan penguasaan
Pembedaan berdasarkan Tujuan
Berdasarkan tujuan orang yang menguasai benda dapat di bedakan menjadi dua, yaitu:
1. Penguasaan bertujuan memiliki benda (misal penguasaanatas benda milik orang lain yang
hilang atau di temukan di jalan).
2. Penguasaan yang tidak bertujuan tidak memiliki benda (penguasaan ini umumnya terjadi
karena perjanjian yang berlaku dalam tenggang waktu tertentu saja).
Pembedaan berdasarkan itikad
1. Penguasaan yang jujur (dikatakan penguasaan yang jujur apabila penguasan itu diperoleh
berdasarkan cara-cara memperoleh hak milik).
2. Penguasaan yang tidak jujur (dikatakakan tidak jujur apabila orang yang menguasi benda
itu mengetahui bahwa benda itu bukan miliknya).
4. Cara Memperoleh Penguasaan (bezit)
Dari unsur-unsur pasal 538 KUHPdt dapat di perinci cara memeperoleh penguasan
itu, yaitu dengan menguasai benda yang belum atau tidak ada pemiliknya dan dengan
menguasai benda yang sudah ada pemiliknya.
1. Menguasai benda yang tidak ada pemiliknya.
Menguasai benda yang tidak ada pemiliknya disebut “penguasaan originair”.
Memperoleh penguasaan cara ini tanpa bantuan orang lainhanya tertuju pada benda bergerak
yang tidak ada pemiliknya kemuadian diakui dan dikuasai
2. Menguasai benda yang suda ada pemiliknya
Memperoleh penguasaan dengan bantuan orang yang menguasai lebih dulu atau
pemiliknya disebut “penguasaan traditio” melalui penyeahan benda. Misalnya, penguasaan
dalam hak gadai, hak pakai, hak memungut hasil, hak sewa.
5. Teori Mengenai Penguasaan Benda Bergerak
Berikutnya ialah penguasaanbenda bergerak sehubungan dengan syarat-syarat
penyerahan. Ada dua teori yaitu eigendomsthroie dan legistimatietheorie.
Eigendomsthroie. Teori ini di emukakan oleh mejers yang menafsirka pasal 1977 ayat
1 KUHPdt itu secara gramatikal. Penguasaan atas benda bergerak berlaku sebagai alas hak
yang sempurna. Alas hak yang semprna itu ialah hak milik. Jadi, penguasaa atas benda
bergerak sam dengan hak milik.
Legistimatietheorie. Teori ini di kemukakan oleh paul sholten yamg menyatakan
bahwa penguasaa itu bkan hak milik. Penguasaa berfungsi mengesahkan orang yang
menguasai benda itu sebagai pemilik. Jadi, siapa yang secara jujur ( te goeder trouw)
menguasai benda bergerak, ia dilindungi oleh pasal undang-ndang ( poasal 1977 ayat 1
KUHPdt ).
HUKUM PERIKATAN
1. PENDAHULUAN
Dalam bab ini dibahas tentang hukum perikatan. Hukum perikatan adalah bagian dari
hukum kekayaan. Dalam sistematika ilmu pengetahuan hukum, harta kekayaan diatur dalam
buku III yang meliputi hubungan antara orang dan benda, hubungan antara orang dan orang.
Dalam sistematika KUHPdt hukum yang mengatur hubungan antara orang dan benda diatur
dalam buku II tentang benda.
Dalam pembahasan ini perikatan ditempatkan dalam bab V menempati urutan sesudah
hukum benda. Pembahasan hukum perikatan meliputi pokok-pokok bahasan mengenai
tentang perikatan, perikatan yang lahir dari perjanjian, perikatan yang lahir dari undang-
undang, ditambah dengan pernyataan latihan. Perjanjian khusus tidak dijelaskan disini.
1. Pengertian Perikatan
Perikatan adalah terjemahan dari istilah aslinya dalam bahasa Belanda “Verbintenis”.
Perikatan artinya hal yang mengikat antara orang yang satu dan orang yang lain. hal yang
mengikat itu adalah peristiwa hukum yang dapat berupa perbuatan, misalnya jual beli,
hutang-piutang, dapat berupa kejadian, misalnya kelahiran, kematian, dapat berupa keadaan,
misalnya pekarangan berdampingan tumah bersusun. Peristiwa hukum tersebut menciptakan
hubungan hukum.
Hukum perikatan diatur dalam buku III KUHPdt. Hukum perikatan ialah hukum
keseluruhan peraturan hukum yang mengatur tentang perikatan. Peraturan tersebut meliputi
bagian umum dan bagian khusus. Bagian umum memuat peraturan-peraturan yang berlaku
bagi perikatan pada umumnya. Sedangkan bagian khusus memuat peraturan-peraturan
mengenai perjanjian-perjanjian bersama yang banyak dipakai dalam masyarakat.
Peraturan hukum perikatan dilakukan dengan “sistem terbuka”, artinya setiap orang
boleh mengadakan perikatan apa saja baik yang sudah ditentukan namanya maupun yang
belum ditentukan namanya dalam undang-undang. Tetapi keterbukaan itu dibatasi oleh tiga
hal, yaitu tidak dilarang oleh undang-undang, tidak bertentangan dengan kesusilaan, dan tidak
bertentangan dengan ketertiban umum.
Prestasi
Prestasi adalah sesuatu yang wajib dipenuhi oleh debitur dalam setiap perikatan.
Prestasi adalah objek perikatan. Dalam hukum perdata kewajiban memenuhi prestasi selalu
disertai jaminan harta kekayaan debitur. Dalam pasal 1131 dan 1132 KUHPdt dinyatakan
bahwa semua harta kekayaan debitur baik bergerak, baik yang sudah ada, maupun yang aka
nada, menjadi jaminan pemenuhan hutangnya terhadap kreditur. Tetapi jaminan umum ini
dapat dibatasi dengan jaminan khusus berupa benda tertentu yang ditetapkan dalam
perjanjian antara pihak-pihak.
Waprestasi
Waprestasi artinya tidak memenuhi sesuatu yang diwajibkan seperti yang telah
diwajibkan seperti yang telah ditetapkan dalam perikatan. Tidak dipenuhinya kewajiban oleh
debitur disebabkan oleh dua kemungkinan, yaitu;
(1) karena kesalahan debitur, baik dengan sengaja tidak dipenuhi kewajiban maupun karena
kesalahan.
(3) debitur memenuhi prestasi, tetapi tidak tepat pada waktunya atau terlambat.
Keadaan memaksa ialah keadaan tidak dipenuhinya prestasi oleh debitur karena
terjadi peristiwa yang tidak dapat diketahui atau tidak dapat diduga akan terjadi ketika
membuat perikatan. Dalam keadaan memaksa, debitur tidak dapat dipersalahkan, karena
keadaan ini timbul di luar kemauan dan kemampuan debitur.
5. Ganti Kerugian
Menurut ketentuan pasal 1243 KUHPdt, ganti kerugian karena tidak dipenuhinya
suatu perikatan, barulah mulai diwajibkan apabila debitur setelah dinyatakan lalai memenuhi
perikatannya, tetap melalaikannya, atau sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya hanya
dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampaukannya.
6. Jenis-jenis Perikatan
Perikatan bersyarat
Perikatan bersyarat adalah perikatan yang digantungkan pada syarat. Syarat itu adalah
suatu peristiwa yang masih akan terjadi dan belum pasti terjadinya, baik dengan
menangguhkan pelaksanaan perikatan hingga terjadi peristiwa, maupun dengan membatalkan
perikatan karena terjadi atau tidak terjadinya peristiwa tersebut (pasal 1253 KUHPdt).
Dalam perikatan manasuka, objek prestasi ada dua macam benda. Dikatakan perikatan
manasuka, karena debitur boleh memenuhi prestasi dengan memilih salah satu dari dua benda
yang dijadikan objek perikatan. Tetapi, debitur tidak boleh memaksa kreditur untuk
menerima sebagian benda yang satu dan sebagian benda yang lainnya. Jika debitur telah
memenuhi salah satu dari dua benda yang disebutkan dalam perikatan, ia dibebaskan dan
perikatan berakhir. Hak memilih prestasi itu ada pada debitur, jika hak ini tidak secara tegas
diberikan kepada kreditur (pasal 1272 dan 1273 KUHPdt).
Perikatan Tanggung-Menanggung
Suatu perikatan dikatakan dapat dan tidak dapat dibagi, apabila benda yang menjadi objek
perikatan dapat atau tidak dibagi menurut imbangan, lagi pula pembagian itu tidak boleh
mengurangi hakikat dan prestasi tersebut.
Perikatan ini memuat suatu ancaman hukuman terhadap debitur apabila ia lalai
memenuhi prestasinya. Ancaman hukuman ini bermaksud untuk memberikan suatu kepastian
atas pelaksanaan isi perikatan seperti yang telah ditetapkan dalam perjanjian yang dibuat oleh
pihak-pihak.
7. Hapusnya Perikatan
a. Pembayaran
e. Percampuran hutang
f. Pembebasan hutang
h. Karena pembatalan
1. Pengertian Perjanjian
Perjanjian dirumuskan dalam pasal 1313 KUHPdt, yaitu suatu perbuatan dengan
mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya.
2. Asas-Asas Perjanjian
Hukum perjanjian mengenal beberapa asas penting yang merupakan dasar kehendak
pihak-pihak dalam mencapai tujuan.
3. Jenis-Jenis Perjanjian
(1) Ada persetujuan kehendak antara pihak-pihak yang membuat perjanjian (konsensus)
6. Pelaksanaan Perjanjian
Pembayaran
Pihak yang melakukan pembayaran adalah debitur atau orang lain atas nama debitur,
berdasarkan surat kuasa khusus.
Penyerahan benda
Dalam setiap perjanjian yang mengandung tujuan memindahkan penguasaan dan atau
hak milik perlu dilakukan penyerahan bendanya.
Pelayanan Jasa
a. Maksud pihak-pihak
c. Kebiasaan setempat
1. Ketentuan Undang-Undang
Perikatan yang diuraikan dalam bagian ini adalah perikatan yang lahir dari undang-
undang sebagai akibat dari perbuatan orang. Jadi, bukan orang yang berbuat itu menetapkan
adanya perikatan, melainkan undang-undang yang menentukan adanya perikatan.
Dalam perikatan pembayaran tanpa hutang, tuntutan kembali atas pembayaran yang
telah dilakukan itu disebut “condition indebiti”. Tuntutan seperti ini dapat dilakukan
terhadap badan-badan pemerintah umpamanya terjadi pembayaran pajak, yang kemudian
ternyata tidak ada pajak. Dengan pembayaran pajak yang sebenarnya tidak ada, maka
penerima wajib membalikkan pembayaran yang bukan haknya itu.
a. Perbuatan (daad)
c. Kerugian
d. Kesalahan
e. Hubungan Kausal
HUKUM WARIS
Menurut Prof.A. Pitlo diaturnya hak waris dalam buku II KUHPdt karena
hukum waris mempunyai dua sisi (mempunyai sifat campuran), sisi pertama masul
dalam hukum benda dan sisi kedua masuk dalam hukum keluarga. Hukum keluarga
diatur dalam buku I KUHPdt dan hukum waris diatur dalam buku II KUHPdt.