Anda di halaman 1dari 8

Doktrin modern hukum perseroan terbatas

Piercing The Corporate Veil


Dalam istilah Indonesia, biasa dikenal dengan penyingkapan tirai perusahaan. Teori Piercing The
Corporate Veil ini diakui dalam berlakunya Undang-Undang Perseroan Terbatas Nomor 1 Tahun 1995
tersebut, yang diarahkan kepada pihak pemegang saham, direksi, bahkan dalam hal yang sangat khusus
juga terhadap dewan komisaris dari suatu perseroan terbatas.
Dalam ilmu hukum perusahaan, istilah Piercing The Corporate Veil telah merupakan suatu doktrin atau
teori yang diartikan sebagai suatu proses untuk membebani tanggungjawab ke pundak orang atau
perusahaan lain, atas perbuatan hukum yang dilakukan oleh suatu perusahaan pelaku (badan hukum),
tanpa melihat kepada fakta bahwa perbuatan tersebut sebenar-benarnya dilakukan oleh perseroan pelaku
tersebut. Teori ini diterapkan manakala ada kerugian atau tuntutan hukum dari pihak ketiga. Dalam hal
seperti ini biasanya pengadilan akan mengabaikan status hukum dari perseroan ataupun prinsip
pertanggungjawaban terbatas dari perseroan tersebut.
Fiduciary Duty terhadap direksi
Doktrin fiduciary duty merupakan salah satu areal terpenting (ring satu) dalam hukum perseroan, berasal
dan mempunyai akar-akarnya dalam dalam hukum romawi, tetapi banyak dikembangkan oleh system
hukum Anglo Saxon, ini menyelusup ke dalam berbagai bidang hukum, termasuk ke dalam hukum
perusahaan dengan mengintrodusirnya sebagai tugas fiduciary dari direksi. Tugas fiduciary duty
merupakan sebuah amanah di pundak direksi. Berdasarkan arti dari kata fiduciary yang berarti
kerpercayaan, maka direksi memegang kepercayaan yang diberikan kepadanya oleh perusahaan. Dengan
amanah fiduciary, direksi wajib dengan itikad baik menjalankan tugasnya dan funsinya yaitu dalam fungsi
manajemen dan fungsi representasi.
Derivative Action
Doktrin hukum modern berupa gugatan derivative yang merupakan suatu penyimpangan dari hukum
perseroan yang normal memberikan hak untuk mewakili kepentingan perseroan kepada pihak pemegang
saham tanpa perlu perlu formalitas legalisasi korporasi, tetapi terjadi demi hukum (by the operation of
law). Gugatan derifatif adalah suatu gugatan yang berdasarkan hak utama (primary rights) dari perseroan,
tetapi dilaksanakan oleh pemegang untuk dan atas nama perseroan, gugatan mana dilakukan karena
adanya suatu keegagalan dalam perseroan.
Ultra Vires
Ultra Vires berasal dari bahasa latin yang berarti di luar atau melebihi kekuasaan (outside the power),
yakni di luar kekuasaan yang diijinkan oleh hukum terhadap badan hukum. Terminologi “ultra
vires”dipakai khususnya terhadap tindakan perseroan yang melebihi kekuasaannya sebagaimana
diberikan oleh anggaran dasarnya atau oleh peraturan yang melandasi pembentukan perseroan tersebut.
Konsekuensi selanjutnya dari pentingnya maksud dan tujuan dari perseroan, maka pelanggarannya,
seperti lewat perbuatan ultra vires tersebut akan menyebabkan perbuatan tersebut menjadi tidak sah dan
batal demi hukum, dan jika ada pihak yang dirugikan, maka pihak direksilah yang mesti bertanggung
jawab secara pribadi.
Liability of Promotors
Liability of Promotors merupakan tanggung jawab yang dimiliki oleh promotor perseroan. Secara umum
umum dapat dikatakan bahwa promotor adalah setiap mereka yang melakukan formalitas yang diperlukan
terhadap registrasi perseroan, mendapatkan direksi (dan komisaris) serta pemegang saham untuk
perseroan baru, mendapatkan asset bisnis untuk digunakan oleh perseroan, melakukan negosiasi kontrak
untuk dan atas nama perseroan baru, dan melakukan pekerjaan-pekerjaan lain yang serupa dengan itu.
Tanggung jawab yuridis promotor timbul dari prinsip-prinsip hukum sebagai berikut :
1. Tanggung jawab berdasarkan prinsip fiduciary duty
2. Tanggung jawab berdasarkan prinsip-prinsip hukum perdata umum.
Promotor juga bertanggung jawab atas kontrak yang dibuat promotor atas nama “perseroan dalam
pembentukan”. Kontrak yang dibuat pada masa proses pembentukan badan hukum dikenal dengan
“kontrak prainkorporasi”. Terdapat beberapa teori hukum perseroan yang melandasi tanggung jawab dari
kontrak prainkorporasi, antara lain :
1. Teori tanggung jawab pribadi
2. Teori penawaran
3. Teori novasi
4. Teori usaha terbaik
Business Judgement Rule
"Business Judgement Rule" merupakan salah satu doktrin dalam hukum perusahaan yang menetapkan
bahwa direksi suatu perusahaan tidak bertanggungjawab atas kerugian yang timbul dari suatu indakan
pengambilan keputusan, apabila tindakan direksi tersebut didasari itikad baik dan sifat hati-hati. Dengan
prinsip ini, direksi mendapatkan perlindungan, sehingga tidak perlu memperoleh justifikasi dari
pemegang saham atau pengadilan atas keputusan mereka dalam pengelolaan perusahaan.
Menurut Munir Fuady,S.H.,M.H.,LL.M., doktrin Putusan Bisnis (Business Judgement Rule) ini
merupakan suatu ajaran bahwa suatu putusan direksi mengenai aktivitas perseroan tidak boleh diganggu
gugat oleh siapa pun, meski nantinya keputusan direksi tersebut ternyata salah dan/atau merugikan
perseroan. Hal tersebut berlaku sepanjang keputusan yang diambil sesuai dengan hukum yang berlaku dan
berdasarkan itikad baik.
Self Dealing
Transaksi self dealing, yakni transaksi antara perseroan dengan direksi, yang dalam sejarah hukum
semula dilarang by definition, kemudian dalam perkembangannya mulai dipilah-pilah untuk dinilai mana
yang dilarang dan mana yang diperbolehkan oleh sektor hukum. Atas adanya self dealing ini, maka
dibebankan tanggung jawab pribadi terhadapa direksi, karena transaksi ini pada dasarnya tidak layak dan
bertentangan dengan fiduciary duty dari direksi. Di Indonesia sendiri tidak ada larangan bagi direksi
untuk melakukan self dealing, asalkan dilakukan secara fair, tidak ada unsur penipuan yang dapat
merugikan perseroan.
Corporate opportunity
Doktrin oportunitas perseroan merupakan salah satu perwujudan dari prinsip fiduciary duty, dimana
direksi harus bertindak dan mengambil keputusan demi kemajuan perseroan, direksi tida boleh bertindak
atau mengambil keputusan yang di dalamnya terkandung conflict of interest. Pada prinsipnya oportunitas
perseroan merupakan suatu doktrin yang mengajarkan bahwa seorang direktur, komisaris atau pegawai
perseroan lainnya ataupun pemegang saham utama, tidak diperkenankan mengambil kesempatan untuk
mencari keuntungan pribadi manakala tindakan yang dilakukan tersebut sebenarnya merupakan perbuatan
yang semestinya dilakukan oleh perseroan dalam menjalankan bisnisnya itu. Oleh karena itu, direksi tidak
boleh mengambil kesempatan yang ada demi keuntungan pribadinya sendiri, ketika sebenarnya perseroan
dapat mengambil kesempatan tersebut untuk melakukan bisnisnya. Yang dikehendaki dengan adanya
doktrin ini adalah, bahwa pihak-pihak dalam perseroan jangan sampai memanfaatkan dan mengambil
keuntungan pribadi dari bisnis yang dijalankan perseroan yang seharusnya keuntungan tersebut menjadi
hak dari perseroan.
Tanggung Jawab Direksi
Direksi adalah organ Perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan Perseroan
untuk kepentingan Perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan serta mewakili Perseroan, baik
di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar. fungsi direksi adalah
melakukan pengurusan dan per-wakilan. Pengurusan akan berkait dengan tugas-tugas internal suatu
perseroan terbatas untuk kepentingan dalam rangka pencapaian mak-sud dan tujuan perseroan, sedangkan
perwakilan adalah berkaitan dengan tugas direksi mewakili perseroan dalam berinteraksi dengan pihak
ketiga maupun mewakili di luar dan di dalam pengadilan.
Lebih lanjut tentang tanggung jawab direksi daitur dalam Pasal 97
1. Direksi bertanggung jawab atas pengurusan Perseroan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92
ayat (1).
2. Pengurusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib dilaksanakan setiap anggota Direksi
dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab.
3. Setiap anggota Direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi atas kerugian Perseroan apabila
yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
4. Dalam hal Direksi terdiri atas 2 (dua) anggota Direksi atau lebih, tanggung jawab sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) berlaku secara tanggung renteng bagi setiap anggota Direksi.
5. Anggota Direksi tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kerugian sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) apabila dapat membuktikan:
A. kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya;
B. telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan dan
sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan;
C. tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas
tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian; dan
D. telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut.
Upaya hukum pemegang saham
Atas nama Perseroan, pemegang saham yang mewakili paling sedikit 1/10 (satu persepuluh) bagian dari
jumlah seluruh saham dengan hak suara dapat mengajukan gugatan melalui pengadilan negeri terhadap
anggota Direksi yang karena kesalahan atau kelalaiannya menimbulkan kerugian pada perseroan (Pasal
97 ayat (6) UUPT). Selain itu UUPT juga memberikan kepada anggota Direksi lain dan/atau anggota
Dewan Komisaris untuk mengajukan gugatan atas nama perseroan (Pasal 97 ayat (7) UUPT).
Lebih lanjut, dalam penjelasan Pasal 97 ayat (6) UUPT dikatakan bahwa dalam hal tindakan Direksi
merugikan perseroan, pemegang saham yang memenuhi persyaratan Pasal 97 ayat (6) UUPT dapat
mewakili perseroan untuk melakukan tuntutan atau gugatan terhadap Direksi melalui pengadilan.
Melihat pada ketentuan Pasal 97 ayat (6) UUPT berikut penjelasannya, dapat kita simpulkan bahwa
Direksi yang melakukan kesalahan yang merugikan perseroan dapat dituntut (secara pidana) maupun
digugat (secara perdata) melalui pengadilan. leh karena itu, Direksi tersebut dapat digugat berdasarkan
Pasal 1365 atau Pasal 1366 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPer”) (gugatan atas dasar
perbuatan melawan hukum).

Pembubaran PT
Menurut Pasal 142 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
(“UUPT”), berakhirnya perseroan karena:
1. berdasarkan keputusan Rapat Umum Pemegang Saham (“RUPS”);
2. karena jangka waktu berdirinya yang ditetapkan dalam anggaran dasar telah berakhir;
3. berdasarkan penetapan pengadilan;
4. dengan dicabutnya kepailitan berdasarkan putusan pengadilan niaga yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap, harta pailit perseroan tidak cukup untuk membayar biaya kepailitan;
5. karena harta pailit perseroan yang telah dinyatakan pailit berada dalam keadaan insolvensi
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang; atau
6. karena dicabutnya izin usaha perseroan sehingga mewajibkan Perseroan melakukan likuidasi
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pembubaran perseroan berdasarkan keputusan RUPS diajukan oleh Direksi, Dewan Komisaris atau 1
(satu) pemegang saham atau lebih yang mewakili paling sedikit 1/10 (satu persepuluh) bagian dari jumlah
seluruh saham dengan hak suara. Keputusan RUPS tentang pembubaran perseroan adalah sah apabila
diambil berdasarkan musyawarah untuk mufakat dan/atau paling sedikit dihadiri oleh ¾ (tiga perempat)
bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara hadir atau diwakili dalam RUPS dan disetujui paling
sedikit ¾ (tiga perempat) bagian dari jumlah suara yang dikeluarkan.
Dalam hal pembubaran perseroan terjadi berdasarkan keputusan RUPS, jangka waktu berdirinya yang
ditetapkan dalam anggaran dasar telah berakhir atau dengan dicabutnya kepailitan berdasarkan keputusan
pengadilan niaga dan RUPS tidak menunjuk likuidator, maka Direksi bertindak selaku likuidator.
Pembubaran perseroan wajib diikuti dengan likuidasi yang dilakukan oleh likuidator atau kurator; dan
perseroan tersebut tidak dapat melakukan perbuatan hukum, kecuali dalam hal membereskan semua
urusan perseroan yang berkaitan dengan.likuidasi. Dan jika ternyata anggota Direksi, Dewan Komisaris
dan Perseroan melanggar hal tersebut, maka dapat dikenakan tanggung jawab hukum secara tanggung
renteng.
Pembubaran perseroan yang terjadi karena pencabutan kepailitan, maka pengadilan niaga dapat sekaligus
memutuskan memberhentikan kurator sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang tentang Kepailitan
dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
Pengadilan Negeri dapat membubarkan perseroan dengan alasan:
1. permohonan kejaksaan berdasarkan alasan perseroan melanggar kepentingan umum atau
Perseroan melakukan perbuatan yang melanggar peraturan perundang-undangan;
2. permohonan pihak yang berkepentingan berdasarkan alasan adanya cacat hukum dalam akta
pendirian;
3. permohonan pemegang saham, Direksi atau Dewan Komisaris berdasarkan alasan perseroan tidak
mungkin untuk dilanjutkan.
Likuidator mempunyai kewajiban untuk memberitahukan kepada semua kreditor mengenai pembubaran
perseroan dengan cara mengumumkan pembubaran perseroan dalam Surat Kabar dan Berita Negara
Republik Indonesia dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal
pembubaran perseroan. Pemberitahuan kepada kreditor tersebut memuat:
1. mengenai pembubaran perseroan dan dasar hukumnya;
2. nama dan alamat likuidator;
3. tata cara pengajuan tagihan; dan
4. jangka waktu pengajuan tagihan.
Selama pemberitahuan pembubaran perseroan tidak dilakukan sesuai dengan Pasal 147 UU PT, maka
pembubaran perseroan tidak berlaku bagi pihak ketiga dan pembubaran perseroan tidak mengakibatkan
perseroan kehilangan status badan hukumnya sampai dengan selesainya likuidasi dan
pertanggungjawaban likuidator diterima oleh RUPS atau pengadilan. Akibat dari pembubaran perseroan,
maka setiap surat keluar perseroan dicantumkan kata “dalam likuidasi” di belakang nama perseroan
tersebut.

Pemindahan ha katas saham


Pasal 56 UU Perseroan mengatur pemindahan hak atas saham dilakukan dengan akta pemindahan hak.
Akta pemindahan hak dapat dibuat dalam bentuk akta notaril atau akta dibawah tangan. Akta pemindahan
hak atau salinannya disampaikan secara tertulis kepada Perseroan. Direksi wajib mencatat pemindahan
hak atas saham, tanggal, dan hari pemindahan hak tersebut dalam daftar pemegang saham atau daftar
khusus dan memberitahukan perubahan susunan pemegang saham kepada Menteri untuk dicatat dalam
daftar Perseroan paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal pencatatan pemindahan hak.
Di dalam anggaran dasar Perseroan dapat diatur persyaratan mengenai pemindahan hak atas saham, yaitu:
1. keharusan menawarkan terlebih dahulu kepada pemegang saham dengan klasifikasi tertentu atau
pemegang saham lainnya;
2. keharusan mendapatkan persetujuan terlebih dahulu dari Organ Perseroan; dan/atau
3. keharusan mendapatkan persetujuan terlebih dahulu dari instansi yang berwenang sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Persyaratan sebagaimana dimaksud diatas tidak berlaku dalam hal pemindahan hak atas saham karena
hukum. Yang dimaksud dengan pemindahan karena hukum adalah pemindahan hak karena kewarisan
atau pemindahan hak sebagai akibat Penggabungan, Peleburan, atau Pemisahan. Tetapi untuk pemindahan
hak karena kewarisan harus tetap memenuhi persyaratan mendapatkan persetujuan terlebih dahulu dari
instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Apabila anggaran dasar mengharuskan pemegang saham yang ingin menjual saham untuk menawarkan
terlebih dahulu sahamnya kepada pemegang saham klasifikasi tertentu atau pemegang saham lain, maka
penawaran saham kepada pemegang saham klasifikasi tertentu atau pemegang saham lain dilakukan
untuk jangka waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal penawaran. Apabila dalam jangka waktu
30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal penawaran dilakukan ternyata pemegang saham tersebut tidak
membeli saham yang ditawarkan, maka pemegang saham yang ingin menjual sahamnya dapat
menawarkan dan menjual sahamnya kepada pihak ketiga. Pemegang saham yang ingin menjual sahamnya
dan diharuskan oleh anggaran dasar untuk menawarkan sahamnya berhak menarik kembali penawaran
tersebut setelah berakhirnya jangka waktu 30 (tiga puluh) hari.
Persetujuan pemindahan hak atas saham oleh Organ Perseroan atau penolakannya harus diberikan secara
tertulis dalam jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari terhitung sejak tanggal Organ Perseroan
menerima permintaan persetujuan pemindahan hak tersebut. Apabila dalam jangka waktu 90 (sembilan
puluh) hari tersebut telah lewat dan Organ Perseroan tidak memberikan pernyataan tertulis, maka Organ
Perseroan dianggap menyetujui pemindahan hak atas saham tersebut. Pemindahan hak atas saham yang
disetujui oleh Organ Perseroan, dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
56 UU PT dan dilakukan dalam jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari terhitung sejak
diberikannya tanggal persetujuan.

hak-hak yang melekat pada saham sangat tergantung dari jenis saham yang dimiliki oleh pemegang
saham. Jika dilihat dari sudut pandang manfaatnya, pada dasarnya saham dapat dibagi dalam 2 (dua)
klasifikasi, yakni:
1. Saham biasa (common stocks).
Untuk jenis saham ini, kedudukan para pemegang saham sama dan tidak ada yang diistimewakan.
Terhadap klasifikasi saham ini, Pasal 52 UUPT menyatakan bahwa saham memberikan hak kepada
pemiliknya untuk:
1. Menghadiri dan mengeluarkan suara dalam RUPS;
2. Menerima pembayaran deviden dan sisa kekayaan hasil likuidasi;
3. Menjalankan hak lainnya berdasarkan UUPT;
Hak-hak inilah yang melekat pada klasifikasi saham biasa.
2. Saham preferen (preferred stocks) atau sering juga disebut saham prioritas.
Apabila terdapat saham yang memiliki hak khusus selain daripada hak yang diberikan pada Pasal 52
UUPT, maka Anggaran Dasar Perseroan wajib menetapkan salah satu diantaranya sebagai klasifikasi
saham biasa. Klasifikasi saham selain saham biasa menurut Pasal 53 ayat (4) UUPT antara lain:
1. Saham dengan hak suara atau tanpa hak suara;
2. Saham dengan hak khusus untuk mencalonkan anggota Direksi atau anggota Dewan Komisaris;
3. Saham yang setelah jangka waktu tertentu ditarik kembali atau ditukar dengan klasifikasi saham
lain;
4. Saham yang memberikan hak kepada pemegangnya untuk menerima dividen lebih dahulu dari
pemegang saham klasifikasi lain atas pembagian dividen secara kumulatif atau non-kumulatif.
5. Saham yang memberikan hak kepada pemegangnya untuk menerima lebih dahulu dari pemegang
saham klasifikasi lain atas pembagian sisa kekayaan Perseroan dalam likuidasi.
Bermacam-macam klasifikasi saham seperti yang telah disebutkan diatas, tidak selalu menunjukan bahwa
klasifikasi tersebut masing-masing berdiri sendiri, terpisah satu sama lain, tetapi dapat merupakan
gabungan dari 2 (dua) klasifikasi atau lebih.
Ketentuan-ketentuan sebagaimana disebut di atas, berlaku setelah saham dicatat dalam daftar pemegang
saham atas nama pemiliknya yang dibuat oleh Direksi Perseroan, sebagaimana diatur dalam Pasal 50
UUPT.

Cara pemegang saham mengambil keputusan mengikat diluar RUPS


Pasal 91 UU Perseroan Terbatas:
“Pemegang saham dapat juga mengambil keputusan yang mengikat di luar RUPS dengan syarat semua
pemegang saham dengan hak suara menyetujui secara tertulis dengan menandatangani usul yang
bersangkutan.”
Penjelasan Pasal 91 UU Perseroan Terbatas:
Yang dimaksud dengan “pengambilan keputusan di luar RUPS” dalam praktik dikenal dengan usul
keputusan yang diedarkan (circular resolution). Pengambilan keputusan seperti ini dilakukan tanpa
diadakan RUPS secara fisik, tetapi keputusan diambil dengan cara mengirimkan secara tertulis usul yang
akan diputuskan kepada semua pemegang saham dan usul tersebut disetujui secara tertulis oleh seluruh
pemegang saham.
Berdasarkan kutipan dari Pasal 91 UU Perseroan Terbatas dan penjelasannya, maka dapat disimpulkan
bahwa pengambilan keputusan para pemegang saham dengan cara mengedarkan usulan kepada para
pemegang saham (di luar RUPS) untuk disetujui atau dikenal dengan nama circular resolution adalah
memiliki kekuatan hukum yang sama dengan Keputusan RUPS, tentunya dengan syarat utama yaitu
seluruh pemegang saham harus menyetujui dan menandatangani circular resolution secara bulat tanpa
terkecuali.
Dalam bukunya Hukum Perseroan Terbatas, terbitan Sinar Grafika Edisi 2011, pada hal 341, M. Yahya
Harahap menyatakan bahwa mekanisme pengambilan keputusan diluar RUPS secara fisik dapat
dilakukan dengan:
1. Mengirimkan secara tertulis usul yang akan diputuskan kepada semua pemegang saham, dan
2. Usul tersebut, disetujui secara tertulis oleh seluruh pemegang saham
Persetujuan dari seluruh pemegang saham, merupakan syarat mutlak keabsahan keputusan di luar RUPS.
Tidak boleh satu pemegang saham pun yang tidak setuju. Jika terjadi hal yang seperti itu, mengakibatkan
circular resolution tersebut tidak sah.

RUPS
Dalam suatu Perseroan Terbatas, Rapat Umum Pemegang Saham Perseroan merupakan organ tertinggi
dan memiliki hak veto diantara organ-organ Perseroan lainnya. Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS)
terdiri dari RUPS Tahunan dan RUPS Luar biasa. Dimana untuk RUPS tahunan dilaksanakan tiap tahun
dengan agenda perihal pertanggung jawaban Direksi dan Komisaris Perseroan dalam menjalankan tugas
dan fungsinya selama 1 tahun, Program kerja untuk tahun ke depan, penunjukan akuntan publik, dll.
RUPS Tahunan tersebut harus dilaksanakan maksimal 6 bulan setelah tahun buku berakhir, yaitu
selambat-lambatnya pada akhir bulan Juni tahun berkutnya.
Berbeda dengan RUPS tahunan, RUPS luar biasa dapat dilaksanakan sewaktu-waktu atas permintaan dari
Direksi ataupun pemegang saham dengan hak suara minimal 10% dari total hak suara yang telah
dikeluarkan oleh Perseroan. Agenda rapat RUPS luar biasa juga bermacam-macam, tergantung pada
urgensi kepentingan Perseroan pada saat itu. Misalnya saja, Perseroan akan menerima kredit dari bank,
dan membutuhkan persetujuan dari para pemegang saham untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 12
anggaran dasarnya (sesuai dengan anggaran dasar PT yang terbaru), atau guna memenuhi ketentuan yang
diatur dalam pasal 102 ayat 1 dan 2 UU No. 40/2007 untuk menjaminkan asset-asset Perseroan yang
nilainya merupakan sebagian besar dari asset Perseroan dalam 1 tahun buku. RUPS luar biasa ini juga
bisa dilaksanakan dalam hal Perseroan akan merubah susunan Direksi dan komisarisnya, merubah nama,
tempat kedudukan, jangka waktu berdirinya Perseroan, dll.
Pada dasarnya, RUPS baru dapat mengambil suatu keputusan yang sah dan mengikat Perseroan apabila
dihadiri oleh seluruh pemegang saham atau wakilnya. Jadi, apabila salah satu pemegang saham tidak
hadir, yang bersangkutan bisa memberikan kuasa kepada pemegang saham lainnya untuk mengeluarkan
suara dalam Rapat. Kuasa tersebut bisa diberikan kepada siapa saja, asalkan dia bukan Direksi atau
Komisaris Perseroan.
Penghitungan quorum kehadiran dalam rapat hanya dapat dilakukan jika dipenuhi syarat-syarat tertentu
perihal Panggilan Rapat. Jika panggilan rapat secara resmi sebelumnya tidak/belum dilaksanakan
sedangkan ada satu saja saham yang tidak hadir atau diwakili, maka rapat tidak dapat mengambil
keputusan, dan harus diulang dengan menjalani prosedur Panggilan Rapat sebagaimana diatur dalam
pasal 82 UU No. 40/2007, yaitu melalui:
1. surat tercatat dan/atau
2. iklan perihal Panggilan Rapat di 2 (dua) surat kabar harian
Pemanggilan RUPS tersebut harus dilaksanakan minimal 14 hari sebelum tanggal dilaksanakannya Rapat,
dikurangi tanggal panggilan & tanggal rapat. Pada panggilan rapat tersebut harus dijelaskan mata acara
apa yang akan diputuskan dalam rapat. Misalnya: jual beli saham dan perubahan susunan Direksi dan
komisaris Perseroan. Rapat tidak boleh memutuskan hal lain di luar mata acara yang sudah disebutkan
dalam panggilan Rapat. Oleh karena itu, untuk memberikan kesempatan pada para pemegang saham
untuk membuat keputusan lain selain yang tercantum dalam mata acara panggilan Rapat, maka sebaiknya
pada waktu panggilan rapat di cantumkan mata acara ”lain-lain”.
Dalam hal ternyata dalam Rapat ada usulan lain (baru) yang tidak ada dalam mata acara yang tertera
dalam panggilan, sedangkan diantara pemegang saham ada yang tidak hadir atau suarnya tidak terwakili,
maka Rapat tidak dibolehkan untuk membuat keputusan perihal mata acara baru tersebut. Hal ini sesuai
dengan ketentuan dalam Pasal 75 ayat 1 UU No. 40/2007, yang menyatakan bahwa:
”RUPS dalam mata acara lain-lain tidak berhak mengambil keputusan, kecuali semua pemegang saham
hadir dan/atau diwakili dalam RUPS dan menyetujui penambahan mata acara Rapat.” (juncto pasal 82
ayat 5).
Secara umum, quorum kehadiran untuk RUPS biasa pada umumnya adalah ½ + 1 dan keputusan tersebut
disetujui oleh 1/3 dari jumlah suara yang hadir atau diwakili. Untuk perbuatan hukum tertentu yang
memerlukan keputusan yang ”berat”, seperti:
1. merger,
2. akuisisi,
3. pengambil alihan atau pemisahan
4. pengajuan pailit
5. perpanjangan jangka waktu dan
6. pembubaran perseroan
maka quorum kehadiran para pemegang saham adalah ¾ dari total jumlah suara yang dikeluarkan oleh
Perseroan, dan harus disetujui oleh ¾ dari yang jumlah suara hadir (ps. 89 ayat 1)
Mengenai quorum kehadiran ini akan saya uraikan lebih lanjut dalam suatu pembahasan khusus.
Secara umum RUPS harus dilaksanakan dalam bentuk konvensional, yaitu seluruh pemegang saham hadir
secara fisik dan berkumpul dalam suatu tempat. Namun pada prakteknya, sering terdapat kesulitan untuk
”mengumpulkan” para pemegang saham secara bersama-sama sedangkn putusan RUPS sangat diperlukan
untuk suatu masalah tertentu. Untuk itu, oleh undang-undang diberikan suatu solusi yang dapat digunakan
untuk menjembatani hal tersebut, yaitu dengan cara melaksanakan RUPS secara Sirkuler. Jadi keputusan
RUPS tersebut disebut juga Keputusan Sirkuler Para Pemegang Saham (Circulair Resolution) . Mengenai
hal ini diatur dalam ps. 91 UU No. 40/2007 yang berbunyi:
”Pemegang saham dapat mengambil keputusan yang mengikat di luar RUPS dengan syarat semua
pemegang saham dengan hak suara menyetujui secara tertulis dengan menanda-tangani usul yang
bersangkutan.”
Jadi untuk dapat diberlakukannya Keputusan Sirkuler tersebut, syarat yang harus dipenuhi adalah
persetujuan dari 100% para pemegang saham Perseroan. Dengan demikian, maka quorum kehadiran tidak
diperlukan.

Anda mungkin juga menyukai