ABSTRAK
internasional.
Hukum-hukum
internasional
tersebut
seperti
Vienna
tentang
penerapan
yurisdiksi
ekstraterritorial
dalam
melindungi
Warga
1 Mirza Satria Buana, Hukum Internasional Teori dan Praktek, (Bandung : Penerbit
Nusamedia, 2007), hal.56.
2 Ibid, hal. 57.
3 Huala Adolf, Aspek-Aspek Negara Dalam Hukum Internasional (Jakarta : Raja
Grafindo Persada, 2002), hal. 183.
4 Ibid, hal.184.
domestic concern).
e. Hukum internasional (sebagai dasar/landasannya).
Menurut Huala Adolf, yurisdiksi adalah kekuasaan atau kewenangan hukum
negara terahadap terharap orang, benda dan juga peristiwa (hukum). 6 Dalam
hukum internasional terdapat banyak jenis prinsip-prinsip yurisdiksi yang di
ekstraterritorial
diatur
dalam
Vienna
Conventions
1961
on
atau
mengeksekusi
penjahat
dalam
teritorinya.
Penulis
Ketika ditangkap,
Kartini mengaku melakukan Zina dengan lelaki yang bukan suaminya dan di
temukan telah mengandung seorang anak ketika berobat di poliklinik. 13
Kedutaan Besar Indonesia untuk Uni Emirat Arab baru mengetahui hal
tersebut melalui berita-berita dalam bentuk surat kabar setempat bahwa
Kartini telah di jatuhi hukuman dan dalam tahap memasuki Pengadilan
Tingkat Banding. Lain hal nya dengan Tenaga Kerja Wanita asal Kampung
Ceger, Bekasi, Jawa Barat bernama Ruyati. Pemegang paspor nomor AL
786899 itu dihukum mati dengan cara dipancung karena telah membunuh
istri majikannya di Mekkah, Arab Saudi. Hal tersebut terjadi karena keinginan
Ruyati untuk pulang tidak dikabulkan. Kedutaan Besar Indonesia untuk Arab
Saudi mendapati kabar tersebut melalui media setempat dan Ruyati telah di
eksekusi
mati.14
Hal
tersebut
menarik
sebuah
kesimpulan
bahwa
Dengan melihat fakta-fakta yang terdapat dalam latar belakang di atas, maka
penulis mendapat beberapa permasalahan pokok yang akan ditelaah dan diteliti,
antara lain sebagai berikut:
a) Perkembangan yurisdiksi ekstrateritorial untuk melindungi warga
negara di luar negeri dalam hukum internasional.
b) Penerapan yurisdiksi ekstrateritorial dalam melindungi Tenaga Kerja
Wanita yang berasal dari Indonesia yang di hukum mati di Uni Emirat
Arab dan Arab Saudi.
C. PEMBAHASAN
Setiap negara berdaulat telah diakui secara absolut memiliki yurisdiksi untuk
menunjukan kewibawaannya pada rakyatnya atau pada masyarakat internasional.
Diakui juga secara universal bahwa setiap negara memiliki kewenangan untuk
mengatur tindakan-tindakan dalam teritori sendiri dan tindakan lainnya yang dapat
merugikan kepentingan yang harus dilindunginya. Dalam kaitannya dengan prinsip
dasar
kedaulatan
negara,
yurisdiksi/kewenangan
suatu
dalam
wilayah
negara
yang
negara
itu. 15
berdaulat
menjalankan
Berdasarkan
kedaulatan
tersebut, maka dapat diturunkan hak, kekuasaan, atau kewenangan negara untuk
mengatur
masalah
intern
(domestik)
dan
eksern.
Dengan
kata
lain,
dari
dengan menggunakan kekuatan atau hak negara atau pihak yang berwenang atas
individu.17 Dengan demikian, apa bila suatu negara tidak mempunyai yurisdiksi
terhadap beberapa individual, negara tidak mempunyai otoritas hukum kepada
subjek individual tersebut dengan menggunakan hukum dan proses hukum
negaranya.18 Namun, negara juga dapat menggunakan kekuatan atau yurisdiksinya
di luar teritorinya terhadap individu, contohnya di atas laut lepas, 19 atau di dalam
yurisdiksi negara lain. Hal tersebut hanya terjadi apa bila terjadi sebuah tumpang
tindih yurisdiksi yang terjadi dalam satu kasus. 20
Adakalanya ketika yurisdiksi itu harus tunduk kepada pembatasan tertentu
yang di tetapkan oleh hukum internasional. Dalam hal ini yang di maksud adalah
hak-hak istimewa ekstrateritorial, yakni suatu istilah yang dipakai untuk
melukiskan suatu keadaan dimana status seseorang atau benda yang secara fisik
terdapat di dalam suatu wilayah negara, tetapi seluruhnya atau sebagian dapat
dikeluarkan dari yurisdiksi negara tersebut oleh ketentuan yang diatur dalam
ketentuan-ketentuan
hukum
internasional.
Penulis
akan
menjelaskan
dan
yurisdiksi
ekstrateritorial.21
Suatu
negara
mempunyai
kekuasaan
wilayah negara lain. Akan tetapi, terdapat beberapa pengecualian dimana suatu
negara dapat melaksanakan yurisdiksinya di wilayah negara lain yang dalam hukum
internasional biasa disebut yurisdiksi ekstrateritorial. Terdapat dua konvensi
yang mengatur hal hal mengenai pembatasan pembatasan dalam menjalankan
yurisdiksi ekstrateritorial, yaitu Vienna Convention 1961 on Diplomatic Relation dan
juga Vienna Convention 1963 on Consular Relation.22 Yurisdiksi ekstrateritorial ini di
artikan sebagai kepanjangan secara semu (quasi extentio) dari yurisdiksi suatu
negara di wilayah yurisdiksi negara lain. Konsep ini di dasarkan atas teori
eksteritorial atau ekstrateritorail dalam kaitannya dengan premises 23 di suatu
negara. Lingkungan wilayah di dalam premises itu di anggap seakan akan
merupakan wilayah tambahan dari suatu negara.
Premises tersebut di dalam hukum diplomatik di nyatakan tidak boleh di
ganggu gugat, tidak boleh dimasuki oleh aparat keamanan setempat, kecuali seizin
Kepala Perwakilan.24 Dengan demikian, Perwakilan diplomatik maupun konsuler
suatu negara dapat melaksanakan yurisdiksi ekstrateritorialnya di negara lain.
Yurisdiksi ekstrateritorial tersebut meliputi yurisdiksi perwakilan diplomatik dan
perwakilan konsuler dari suatu negara khususnya yang menyangkut yurisdiksi suatu
negara terhadap warga negaranya di negara lain. Yurisdiksi ekstrateritorial ini pada
awalnya disebut sebagai yurisdiksi konsuler, karena hal tersebut di latarbelakangi
dengan penggunaan perlindungan tersebut sudah dikenal dan telah dipraktekan
oleh konsul-konsul di negara lain. Bahkan, yurisdiksi ekstrateritorial ini juga telah di
praktekkan pada masa Kekaisaran Ottoman dalam abad ke 16 oleh karena pada
21 Malcolm Shaw, International Law, 6th Edition, (New York: Cambridge University
masa itu hukum Turki yang di dasarkan pada Quran tidak selayaknya dapat
diberlakukan pada golongan asing Kristen Barat yang berada di negara tersebut. 25
Dengan demikian, baik perwakilan diplomatik maupun perwakilan konsuler
yang mempunyai yurisdiksi ekstrateritorial wajib memberikan perlindungan kepada
warga
negara
asal
negaranya
termasuk
kepentingan-kepentingannya
yang
untuk
mengunjungi
warga
negaranya
yang
ada
di
dalam
penjara,
penerima
mempunyai
yurisdiksi
sepenuhnya
sebagai
negara
demikian, dalam praktek, negara tidak selalu dengan mudah melakukan cara-cara
atau tindakan-tindakan yang akan di ambil untuk melaksakan yurisdiksi itu di
wilayahnya.
Namun
melaksanakan
di
lain
yurisdiksina
di
pihak,
luar
negara
dalam
wilayahnya.
hal-hal
Terlepas
tertentu
dari
dapat
pembatasan
negara
hanya
mempunyai
yurisdiksi
absolutnya
terhadap
karena
itu
Negara
dalam
melakukan
yurisdiksi
diwilayahnya
harus
menghormati yurisdiksi pribadi dari Warga Negara asing, dimana Negara Pengirim
akan tetap mengenakan hak-hak dan kewajiban terhadap Warga Negaranya
dimana-pun mereka berada, baik di Negaranya sendiri maupun di Negara lain.
Untuk kepentingan ini Negara dapat memberikan perlindungan terhadap Warga
Negaranya yang berada di Negara lain melalui baik Perwakilan Diplomatik maupun
Perwakilan Konsulernya yang ada di Negara Penerima. Mengenai hak dan kewajiban
Warga Negara Negara Pengirim yang tinggal di Negara Penerima akan tergantung
dari hukum dan peraturan dari negara-negara yang berbeda. Di satu pihak, yang
menyangkut hak-hak politik biasanya diberikan kepada Warga Negaranya sendiri, di
lain pihak yang menyangkut hak-hak perdata akan tergantung dari aturan-aturan
tertentu yang ada di Negara tersebut, seperti hak untuk membeli tanah atau
mengadakan usaha perdagangan dan lain sebagainya. 32
Apabila di wilayah konsuler dari perwakilan konsuler suatu negara pengirim
terdapat seorang warga negara pengirim yang di tangkap atau di masukkan dalam
31Interpretation of Peace Treaties with Bulgaria, Hungary, and Romania, Advisory
Opinion (1950) ICJ Reports, hal.65 dan 221.
32 A Collection of Decisions of the Chinese Supreme Court; English Translation by
Tung, hlm. 117.
perkara
tersebut
kepada
perwakilan
konsuler
dari
negara
dimana
terperkara itu berasal. Instansi tersebut juga harus memberitahukan kepada mereka
yang terperkara mengenai hal hal yang menyangkut dan berkenaan dengan hakhak si terperkara. Selain itu pula, negara penerima juga harus memberikan hak
kepada para pejabat konsuler dari perwakilan konsuler negara pengirim untuk
mengunjungi warga negaranya yang berada dipenjara, yang ada di bawah
pengawasan atau yang ada di dalam tahanan untuk berbicara, serta memiliki hak
untuk
mengusahakan
untuk
34
Terdapat beberapa hal hal yang membuat negara tidak melindungi warga
negaranya karena, mereka atau individu tersebut telah melakukan atau negara
telah terikat dengan beberapa perjanjian. Sebagai contoh, yang pertama, negara
tidak dapat melindungi warga negaranya yang terlibat Extra Ordinary Crime.
Sebagai contoh, terorisme dan pembajakan.35 Negara yang menjadi korban
terorisme atau pembajakan memiliki hak yang absolut untuk menjalankan hukum
negaranya terhadap individu yang melakukan tindak kejahatan tersebut. Yang
kedua, negara tidak dapat melindungi warga negaranya yang melanggar klausul
perjanjian jual belinya kepada pihak lain. Hal tersebut di dasari bahwa dalam
perjanjian jual beli, pada umumnya sudah terdapat klausul bahwa pihak pihak akan
mengikuti salah satu hukum negara asal dari kedua belah pihak. Hal tersebut lah
yang memberikan hak absolut terhadap negara yang hukumnya digunakan dalam
33 Pasal 37, Vienna Convention 1963 on Consular Relation.
34 Ibid.
35 Anthony J. Colangelo, Constitutional Limits On Extraterritorial Jurisdiction:
Terrorism and the Intersection of National and International Law, (2007) 48 Harvard
International Law Journal 121 hal. 142.
atas kejahatan
tersebut,
teroris yang
kongres
amerika
terjadi
melalu
luar
negeri
menyebarkan info tersebut terkait tindak kejahatan teroris yang terjadi di teritori
Amerika akan langsung di hukum dengan hukum negara Amerika. 38
Akan tetapi dengan adanya hal tersebut, kenyataannya, hukum internasional
mengecam kebiasaan yang Amerika lakukan tersebut. Apapun yang terjadi, negara
penerima harus tetap melaporkan kepada perwakilan konsuler atau diplomatik
negara pengirim atau asal negara dari pihak atau individu yang bersalah. 39 Karena
hal tersebut telah di atur pula dalam Vienna Convention 1961 on Diplomatic
Relation dan Vienna Convention 1963 on Consular Relation sebagai pembatas
negara dan perwakilan konsuler atau diplomatik, untuk menjalankan yurisdiksinya.
Penulis akan masuk kepada tujuan artikel ini yaitu menganalisa kasus Tenaga Kerja
Wanita Kartini dan Ruyati yang bekerja di Arab Saudi dan Uni Emirat Arab.
Kartini binti Karim seorang Tenaga Kerja Wanita, berasal dari Indonesia yang
bekerja di Uni Arab Emirat dituduh telah melakukan perzinahan dan di Pengadilan
Syariah di Fujaira, Uni Arab Emirat di awal tahun 2000 telah diputuskan hukuman
rajam (dilempari batu sampai mati) terhadap Kartini. Selama persidangan di
Pengadilan Tingkat Pertama, tidak ada upaya untuk memberikan bantuan hukum
kepada terdakwa Kartini baik pengacara maupun penterjemah, namun Kartini
kemudian bisa mengajukan banding terhadap putusannya. Kantor Perwakilan
36 Randy E. Barnett, The Original Meaning of the Commerce Clause,, 68 U. Chi. L.
Rev. 101 (2001); Ibid, hal. 146.
37 Missouri v. Holland, 252 U.S. 416, 432 (1920); Neely v. Henkel, 180 U.S. 109, 121
(1901
38 United States v. Curtiss-Wright Export Corp., 299 U.S. 304 (1936).
39 Anthony DAmato, The Theory Of Customary International Law, (1988), 82 Am.
Socy Intl L. Proc. 242, hal. 246.
Diplomatik Indonesia di Abu Dhabi sejak terjadinya kasus tersebut tidak pernah
diberitahukan oleh pihak berwenang setempat mengenai kasus Kartini tersebut,
karena itu upaya-upaya tersebut tidak bisa dilakukan oleh Kedutaan Besar Republik
Indonesia di Abu Dhabi. Kedutaan Besar Republik Indonesia baru mengetahui kasus
tersebut setelah diberitakan melalui surat-surat kabar setempat, disaat di dalam
berita tersebut, Pengadilan Tingkat Banding akan segera digelar. Sehubungan
dengan
hal
tersebut
Kedutaan
Besar
Republik
Indonesia
kemudian
telah
memang
sangat
memberatkan
hukuman
yang
akan
dijatuhkan
kepadanya. Selama satu tahun lebih Konsulat Jenderal R.I di Jeddah tidak
memperoleh kabar apapun dari pihak berwenang setempat mengenai keadaan
Ruyati dan akhirnya Konsulat telah mengambil langkah untuk mencari Ruyati di
Penjara Wanita di Mekkah pada tanggal 17 Januari 2011 dan telah mendapat
informasi bahwa Ruyati karena kesehatannya yang sangat menurun dan mengalami
depresi selama dua minggu terakhir telah dirawat di Rumah Sakit di Mekah.
Keadaan Ruyati tersebut kemudian telah diberitahukan kepada keluarganya di
Indonesia oleh Kementerian Luar Negeri tanggal 2 Februari 2011. Selama dua kali
persidangan yang diadakan di Pengadilan Umum Mekkah, pihak yang berwenang di
kota tersebut tidak pernah memberitahukan kejadian yang menimpa Ruyati baik
kepada Kedutaan Besar Republik Indonesia di Riyadh maupun Konsulat Jenderal R.I
di Jeddah. Dengan demikian kedua Perwakilan kita tidak bisa mengambil langkahlangkah seperlunya dalam upaya memberikan perlindungan kepada Ruyati atau
setidak-tidaknya untuk meringankan hukuman yang akan dijatuhkan kepada Ruyati.
Kedutaan Besar Republik Indonesia di Riyadh dan 86 Lihat Pasal 3(1)(b) Vienna
Convention 1961 on Diplomatic Relation. Konsulat Jenderal R.I di Jeddah baru
mengetahui kasus Ruyati tersebut setelah diberitakan melalui surat-surat kabar
lokal, bahkan sejak hukuman pancung dijatuhkan sampai kepada eksekusinya
tanggal 18 Juni 2011.
Sebagaimana Indonesia, Uni Emirat Arab dan Arab Saudi merupakan negara
pihak dari kedua Vienna Convention tahun 1961 dan tahun 1963 mengenai
Diplomatic dan Consular Relation. Dengan demikian baik Indonesia maupun Uni
Emirat Arab jelas terikat oleh ketentuan-ketentuan dalam kedua Konvensi tersebut
dan harus melaksanakan dengan itikad baik atas dasar azas Pacta Sunt Servanda,40
dan hal tersebut diatur dalam Vienna Convention on the Law of the Treaties 1969.41
Namun, dengan demikian, walaupun negara tersebut mempunyai yurisdiksi
sepenuhnya untuk mengadili warga negara asing yang terlibat suatu tindak
kejahatan,
telah
mengabaikan
dan
menyampingkan
kewajibannya
untuk
memberitahukan kepada Kedutaan Besar Republik Indonesia. Dalam hal ini Uni
Emirat Arab dan Arab Saudi telah melanggar ketentuan dalam kedua konvensi
tersebut,
sehingga
Kedutaan
Besar
Republik
Indonesia
sebagai
perwakilan
40 Pacta Sunt Servanda adalah azas yang mewajibkan pihak dalam perjanjian untuk
memenuhi kewajibannya dalam perjanjian
41 Pasal 26, Vienna Convention on the Law of the Treaties 1969.
berkewajiban
untuk
memberikan
hak
kepada perwakilan
asing
untuk
memperlakukan
individu
dengan
perlindungang
hukum
yang
sama
45
rata. Untungnya, Kartini masih bisa diberi bantuan berupa penyediaan pengacara
42 Sumaryo Suryokusumo, Op. Cit., Hal. 692.
43 Pasal 37 (a) & (b), Vienna Convention 1963 on Consular Relation.
44 Ibid.
45 Pasal 7, Universal Declaration of Human Rights, diadopsi oleh United Nations
General Assembly pada 10 Desember 1948; lihat juga: Danielle Ireland-Piper,
Prosecutions of Extraterritorial Criminal Conduct and the Abuse of Rights Doctrine
Utrecht Law Review.
dan penerjemah dan lain sebagainya berkaitan dengan apa saja yang diperlukan
dalam proses peradilan Kartini di Pengadilan Banding. Lain hal dengan Ruyati yang
baru diketahui ketika sudah di eksekusi pancung oleh pihak yang berwenang
(Otorita) Arab Saudi, tanpa menginformasikannya ke Kedutaan Besar Republik
Indonesia.
Dalam hal Warga Negara dari Negara Pengirim meninggal dunia karena suatu
hal yang terjadi di Negara Penerima, Negara Penerima mempunyai kewajiban untuk
segera memberitahukan kepada Perwakilan Konsuler dimana musibah itu terjadi di
dalam lingkungan wilayah Konsuler dari Negara Pengirim. Di samping itu Negara
Penerima juga harus memberitahukan secepatnya kepada Perwakilan Konsuler
mengenai setiap kejadian dimana dirasakan perlu untuk menunjuk seorang
pelindung atau wali dalam rangka memberikan perlindungan terhadap Warga
Negara dari Negara Pengirim yang masih di bawah umur dan yang sepenuhnya
kurang mampu. Namun pemberitahuan mengenai informasi termasuk penunjukan
semacam itu dilakukan tanpa mengurangi arti dari peraturan perundang-undangan
Negara Penerima.46 Selain itu, Apabila di wilayah Konsuler dari Perwakilan Konsuler
suatu Negara Pengirim ada seorang Warga Negara Pengirim yang ditangkap atau
dimasukkan dalam penjara ataupun ditempatkan di bawah pengawasan sambil
menunggu diadili atau dalam suatu hal ia harus ditahan, maka instansi yang
berwenang dari Negara Penerima wajib memberitahukan segera kepada Perwakilan
Konsuler Negara Pengirim.80 Di samping itu instansi yang berwenang dari Negara
Penerima tersebut wajib meneruskan setiap komunikasi dari Warga Negara Pengirim
yang terkena perkara tersebut kepada Perwakilan Konsuler dari Negara dimana
terperkara itu berasal. Instansi tersebut juga harus memberitahukan kepada mereka
yang terperkara itu hal-hal yang berkenaan dengan hak-haknya. Negara Penerima
juga harus memberikan hak kepada para pejabat Konsuler dari Perwakilan Konsuler
Negara Pengirim untuk mengunjungi Warga Negaranya yang berada dipenjara, yang
ada di bawah pengawasan atau yang ada di dalam tahanan untuk berbicara, serta
hak untuk menghubungi mereka melalui surat menyurat, mengusahakan pengacara
hukum dan yang sedang diadili.47 Dengan demikian, kasus kasus yang serupa
46 Ibid.
47 Ibid.
dengan kasus Kartini dan Ruyati dapat menjadi pelajaran dan tolak ukur negara
dalam menjalan yurisdiksi ekstrateritorialnya dengan menggunakan dasar yang
negara negara yang bersangkutan telah terikat. 48 Dalam hal ini adalah Vienna
Convention 1961 dan 1963 mengenai Diplomatic Relation and Consular Relation.
D. PENUTUP
a. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan permasalahan di atas dapat kita tarik suatu
kesimpulan bahwa pihak (otorita) yang berwenang dari Kerajaaan Arab
Saudi ternyata sejak terjadinya kasus Ruyati tidak memberitahukan baik
kepada KBRI di Riyadh maupun Konsulat Jenderal R.I di Jeddah. Hal ini
jelas telah melanggar Mandatory Access on Consular Notification.
Dengan demikian Perwakilan kita di sana tidak dapat mengambil
langkahlangkah yang perlu dalam usaha memberikan perlindungan
seperti mengupayakan pengacara dan penterjemah jika tidak menguasai
bahasa Arab, upaya banding termasuk pendekatan lainnya dalam usaha
melindungi dan meringankan hukuman yang akan dijatuhkan kepada
Ruyati. Kedutaan Besar Republik Indonesia di Riyadh dan Konsulat
Jenderal Republik Indonesia di Jeddah sesuai dengan ketentuan ketentuan
Vienna Convention tahun 1961 dan 1963 mengenai Diplomatic Relation
dan Consular Relation memberikan kewenangan untuk memberikan
perlindungan terhadap Warga Negaranya yang berada di wilayah Arab
Saudi (Extra Territorial Jurisdiction) dalam hal ini mereka memperoleh
musibah seperti Kartini dan Ruyati. Permasalahannya apakah kewenangan
ekstra teritorial semacam itu dilaksanakan secara proaktif atau tidak, dan
jelas terbaca dari gambaran kasus di atas hal tersebut tidak dilaksanakan
dengan
sebagaimana
mestinya
sesuai
dengan
aturan
Hukum
1) Setiap
negara
penerima
yang
ingin
menghukum
atau
konsuler
dari
negara
pengirim
dan
agar
Arab
tidak
Saudi
terjadi
harus
Daftar Pustaka
Buku
1) Adolf, Huala. 2002. Aspek-Aspek Negara Dalam Hukum Internasional. Jakarta.
Raja Grafindo Persada.
2) Black Law Dictionary 712 n.1. 1999. 7th Edition.
3) Csabafi, Anthony. 1971. The Concept of State Jurisdiction in International
Space Law, (The Hague, 1971),
4) Cussy, De. 2012. Reglement Consulaires. Broche. Ulan Press.
5) Fawcett, J.E.S. 1968. The Law of Nations. New York. Basic Books Inc.
6) L.Tung, William. 1968. International Law in an Organising World. New York.
Thomas Y. Crawell.
7) Malanzcuk, Peter. 2002. Akehursts Modern Introduction to International Law,
7th Edition. Routledge. Taylor & Francis e-Library.
8) Satria Buana, Mirza. 2007. Hukum Internasional Teori dan Praktek. Bandung.
Penerbit Nusamedia.
9) Shaw, Malcolm. 2008. International Law. 6th Edition. New York. Cambridge
University Press.
10)
Starke, JG.
1984.
Introduction
to
International
Law.
London.
Butterworth.
Dokumen Hukum
1) Case Concerning Rights of Nationals of the United States of America in
Morocco (France v. United States of America), Judgment (1952) International
Court of Justice.
2) Interpretation of Peace Treaties with Bulgaria, Hungary, and Romania,
Advisory Opinion (1950) ICJ Reports.
3) Missouri v. Holland, 252 U.S. 416, 432 (1920).
4) Neely v. Henkel, 180 U.S. 109, 121 (1901).
5) Restatement (Third) of Foreign Relations Law of the United States 1987.
6) S.S. Lotus (France. v. Turkey.), 1927 P.C.I.J. (ser. A) No. 10.
7) Universal Declaration of Human Rights, diadopsi oleh United Nations General
Assembly pada 10 Desember 1948
8) United States v. Curtiss-Wright Export Corp., 299 U.S. 304 (1936).
9) Vienna Convention 1963 on Consular Relation.
10)
Vienna Convention 1961 on Diplomatic Relation.
11)
Vienna Convention on the Law of the Treaties 1969.
Dokumen Lain
diakses
dari
dari
http://www.antaranews.com/berita/263792/seputar-hukuman-