Anda di halaman 1dari 22

PERLINDUNGAN TERHADAP WARGA NEGARA DI LUAR NEGERI DIKAITKAN

DENGAN PRINSIP YURISDIKSI EKSTRATERRITORIAL (KASUS TKW KARTINI DI


UNI EMIRAT ARAB DAN RUYATI DI ARAB SAUDI)
Dhimas Syailendra
110110130313

ABSTRAK

Dalam prinsip-prinsip umum hukum, setiap negara mempunya yurisdiksi ekslusif


atau penuh atas territori nya sendiri. Yurisdiksi negara secara lansung melindungi
semua warna negaranya mau pun para pendatang dari negara lain. Para pendatang
dari negara lain ini akan menjadi subjek yang dipertimbangkan dalam artikel ini.
Namun, yurisdiksi tersebut bukanlah satu-satunya yurisdiksi yang dapat di gunakan
dalam suatu territori negara. Hal-hal mengenai yurisdiksi tersebut diatur dalam
hukum

internasional.

Hukum-hukum

internasional

tersebut

seperti

Vienna

Conventions 1961 on Diplomatic Relations dan Vienna Conventions 1963 on


Consular Relations. Kedua hal tersebut mengatur hal-hal mengenai yurisdiksi
ekstraterritorial yang memberikan hak-hak kepada para diplomat dan konsuler
untuk menjalankan hukum asalnya dalam territori Negara Penerima (the Receiving
State). Belakangan ini pembahasan mengenai perlindungan terhadapa Warga
Negara Asing di Negara Setempat yag terabaikan, terutama pekerja kerah biru
(Blue Collar). Terdapat dua kasus yang dapat menjadi contoh dalam tulisan ini yaitu
kasus TKW Kartini dan Ruyati yang bekerja di daerah Arabian Union. Dengan
demikian, penulis akan menjelaskan dan membahas dalam artikel ini mengenai halhal

tentang

penerapan

yurisdiksi

ekstraterritorial

dalam

melindungi

Negaranya di luar negeri melalui perwakilan diplomatik dan konsulernya.


A. PENDAHULUAN

Warga

Yurisdiksi merupakan refleksi dari prinsip kedaulatan negara, kedaulatan


negara tidak akan di akui apabila negara tersebut tidak memiliki jurisdiksi, 1
persamaan derajat negara dimana kedua negara yang sama-sama merdeka dan
berdaulat tidak bisa memiliki jurisdiksi (wewenang) terhadap pihak lainnya
(equal states dont have jurisdiction over each other),2 dan prisip tidak ikut
campur terhadap urusan domestik negara lain. Prinsip-prinsip tersebut tersirat
dari prinsip hukum par in parem non habet imperium.3 Menurut Hans Kelsen,
prinsip hukum par in parem non habet imperium ini memiliki beberapa
pengertian. Pertama, suatu negara tidak dapat melaksanakan jurisdiksi melalu
pengadilannya terhadap tindakan-tindakan negara lain, kecuali negara tersebut
menyetujuinya. Kedua, suatu pengadilan yang dibentuk berdasarkan perjanjian
internasional tidak dapat mengadili tindakan suatu negara yang bukan
merupakan anggota atau peserta dari perjanjian internasional tersebut. Ketiga,
pengadilan suatu negara

tidak berhak mempersoalkan keabsahan tindakan

suatu negara lain yang dilaksanakan di dalam wilayah negaranya. 4


Kata yurisdiksi sendiri dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Inggris
Jurisidiction. Jurisdiction sendiri berasal dari bahasa Latin Yurisdictio, yang
terdiri atas dua suku kata, yuris yang memiliki arti kepunyaan menurut hukum,
dan diction yang berarti ucapan, sabda, sebutan, firman. Dengan demikian, di
dapatkan kesimpulan bahwa yurisdiksi adalah:
a.
b.
c.
d.

Kepunyaan seperti yang di tentukan oleh hukum


Hak menurut hukum.
Kekuasaan menurut hukum.
Kewenangan menurut hukum.

1 Mirza Satria Buana, Hukum Internasional Teori dan Praktek, (Bandung : Penerbit
Nusamedia, 2007), hal.56.
2 Ibid, hal. 57.
3 Huala Adolf, Aspek-Aspek Negara Dalam Hukum Internasional (Jakarta : Raja
Grafindo Persada, 2002), hal. 183.
4 Ibid, hal.184.

Secara singkat dan sederhana, yurisdiksi dapat diartikan sebagai kepunyaan


seperti apa yang di tentukan atau di tetapkan oleh hukum atau dengan sikat
dapat diartikan kekuasaan atau kewenangan hukum atau kekuasaan atau
kewenangan berdasarkan hukum. Di dalamnya tercakup hak, kekuasaan,
dan kewenangan. Hal terpenting dalam hal ini adalah bahwa hak, kekuasaan,
dan kewenangan tersebut didasarkan atas hukum, bukan atas paksaan, apalagi
berdasarkan kekuasaan.
Anthony Csabafi, dalam bukunya

The Concept of State Jurisdiction in

International Space Law menjelaskan mengenai pengertian yurisdiksi negara


dengan menyatakan hal sebagai berikut :
Yurisdiksi negara dalam hukum internasional berarti hak dari suatu negara
untuk mengatur dan mempengaruhi dengan langkah-langkah dan tindakan yang
bersifat legislatif, eksekutif, dan yudikatif atas hak-hak individu, milik atau harta
kekayaannya, perilaku-perilaku atau kejadian-kejadian yang terjadi bukan
semata-mata sebagai masalah dalam negeri.5
Berdasarkan pengertian yang telah di jelaskan di atas, maka yang termasuk
dalam unsur-unsur yurisdiksi negara adalah:
a.
b.
c.
d.

Hak, kekuasaan, dan kewenangan.


Mengatur (legislatif, eksekutif, dan yudikatif)
Obyek (hal, peristiwa, perilaku, masalah, orang, dan benda).
Tidak semata-mata merupakan masalah dalam negeri (not exclusively of

domestic concern).
e. Hukum internasional (sebagai dasar/landasannya).
Menurut Huala Adolf, yurisdiksi adalah kekuasaan atau kewenangan hukum
negara terahadap terharap orang, benda dan juga peristiwa (hukum). 6 Dalam
hukum internasional terdapat banyak jenis prinsip-prinsip yurisdiksi yang di

5 Anthony Csabafi, The Concept of State Jurisdiction in International Space Law,


(The Hague, 1971), hal.45
6 Huala Adolf, Op. Cit., hal. 183.

akui seperti yurisdiksi teritorial,7 yurisdiksi personal,8 yurisdiksi perlindungan,9


yurisdiksi universal.10
Adakalanya dimana yurisdiksi itu harus tunduk kepada pembatasanpembatasan tertentu yang ditetapkan oleh hukum internasional yang disebut
sebagai yurisdiksi ekstraterritorial. 11 Pembatasan-pembatasan mengenai
yurisdiksi

ekstraterritorial

diatur

dalam

Vienna

Conventions

1961

on

Diplomatic Relations dan Vienna Conventions 1963 on Consular Relations.


Belakangan ini marak terjadi kasus-kasus mengenai nasib perlindungan
terhadap Warga Negara Asing di Negara Penerima yang terabaikan, terutama
terhadap Warga Negara Asing yang bekerja sebagai tenaga kerja kerah biru
(blue collar). Dalam artikel ini akan di tekankan kepada Tenaga Kerja Wanita
berasal dari Indonesia serta menjadi dasar pembahasan dalam artikel.
Pada kesempatan kali ini, penulis akan menganalisa serta membahas
secara detail mengenai suatu permasalahan yang menjadi dasar penulisan
artikel ini. Banyaknya permasalahan permasalahan yang timbul akibat
tumpang tindihnya yurisdiksi teritorial suatu negara dengan adanya yurisdiksi
ekstrateritorial. Negara Penerima dituntut untuk tetap melaporkan segala
yang berkaitan dengan pelanggaran-pelanggaran yang telah dilakukan oleh
warga negara dari Negara Pengirim (the Sending State) serta proses proses
peradilan yang telah dijalankan.12 Namun, disisi yang lain, negara berhak
7 Ibid, hal. 186.
8 JG Starke, Introduction to International Law, (London: Butterworth, 9th ed, 1984),
hal. 211.
9 Huala Adolf, Op. Cit., hal. 212.
10 Ibid, hal. 218.
11 Sumaryo Suryokusumo, Yurisdiksi Negara vs. Yurisdiksi Ekstrateritorial (2005),
188 IJIL 685 at 689.
12 Pasal 36 (1)(b), Vienna Convention 1963 on Consular Relation.

menjalankan penuh yurisdiksi atas dasar dalih yurisdiksi teritorial untuk


menghukum

atau

mengeksekusi

penjahat

dalam

teritorinya.

Penulis

mengambil salah satu kasus yang menjadi bacaan menarik di beberapa


media elektronik serta surat kabar di Indonesia, yaitu kasus hukuman mati
Tenaga Kerja Wanita bernama Kartini di Uni Emirat Arab dan Ruyati di Saudi
Arabia.
Menurut laporan laporan dari media di Indonesia, Kartini binti Karim,
seorang Tenaga Kerja Wanita yang telah bekerja selama 18 bulan di Uni
Emirat Arab di jatuhi hukum rajam (dilempari batu hingga mati) oleh
Pengadilan Syariah Islam di Fujairah, Uni Emirat Arab.

Ketika ditangkap,

Kartini mengaku melakukan Zina dengan lelaki yang bukan suaminya dan di
temukan telah mengandung seorang anak ketika berobat di poliklinik. 13
Kedutaan Besar Indonesia untuk Uni Emirat Arab baru mengetahui hal
tersebut melalui berita-berita dalam bentuk surat kabar setempat bahwa
Kartini telah di jatuhi hukuman dan dalam tahap memasuki Pengadilan
Tingkat Banding. Lain hal nya dengan Tenaga Kerja Wanita asal Kampung
Ceger, Bekasi, Jawa Barat bernama Ruyati. Pemegang paspor nomor AL
786899 itu dihukum mati dengan cara dipancung karena telah membunuh
istri majikannya di Mekkah, Arab Saudi. Hal tersebut terjadi karena keinginan
Ruyati untuk pulang tidak dikabulkan. Kedutaan Besar Indonesia untuk Arab
Saudi mendapati kabar tersebut melalui media setempat dan Ruyati telah di
eksekusi

mati.14

Hal

tersebut

menarik

sebuah

kesimpulan

bahwa

perlindungan perlindungan atas Warga Negara yang berada di luar negeri


dapat dinyatakan sebagai masalah yang serius dan harus di cari jalan
keluarnya.
B. RUMUSAN MASALAH
13Bambang Sutrisno, Pelajaran dari Kasus Tenaga Kerja Wanita bernama Kartini,
diakses dari http://www.library.ohiou.edu/indopubs/2000/01/0483.html, pada
tanggal 25 Juli 2015 dan pukul 22.46.
14Budi Setiawanto, Seputar Hukum Mati Tenaga Kerja Indonesia Ruyati, diakses
dari http://www.antaranews.com/berita/263792/seputar-hukuman-mati-tki-ruyati,
pada tanggal 25 Juli 2015 dan pukul 22.57.

Dengan melihat fakta-fakta yang terdapat dalam latar belakang di atas, maka
penulis mendapat beberapa permasalahan pokok yang akan ditelaah dan diteliti,
antara lain sebagai berikut:
a) Perkembangan yurisdiksi ekstrateritorial untuk melindungi warga
negara di luar negeri dalam hukum internasional.
b) Penerapan yurisdiksi ekstrateritorial dalam melindungi Tenaga Kerja
Wanita yang berasal dari Indonesia yang di hukum mati di Uni Emirat
Arab dan Arab Saudi.

C. PEMBAHASAN
Setiap negara berdaulat telah diakui secara absolut memiliki yurisdiksi untuk
menunjukan kewibawaannya pada rakyatnya atau pada masyarakat internasional.
Diakui juga secara universal bahwa setiap negara memiliki kewenangan untuk
mengatur tindakan-tindakan dalam teritori sendiri dan tindakan lainnya yang dapat
merugikan kepentingan yang harus dilindunginya. Dalam kaitannya dengan prinsip
dasar

kedaulatan

negara,

yurisdiksi/kewenangan

suatu

dalam

wilayah

negara

yang

negara

itu. 15

berdaulat

menjalankan

Berdasarkan

kedaulatan

tersebut, maka dapat diturunkan hak, kekuasaan, atau kewenangan negara untuk
mengatur

masalah

intern

(domestik)

dan

eksern.

Dengan

kata

lain,

dari

kedaulatannya itulah diturunkan atau lahir yurisdiksi negara. Dengan hak,


kekuasaan, atau dengan yurisdiksi tersebut suatu negara dapat mengatur secara
lebih rinci dan jelas terhadap masalah-masalah yang di hadapinya sehingga
terwujud apa yang menjadi tujuan dari negara itu. Dengan demikian, dapat ditarik
kesimpulan bahwa hanya negara berdaulat yang dapat memiliki yurisdiksi menurut
hukum internasional.16
Konsep yurisdiksi di percaya dalam hukum internasional sebagai pusat
penjalan atau poros berbagai hubungan hukum antara negara berdaulat dengan
individual, dengan kata lain, bahwa yurisdiksi juga melahirkan hubungan hukum
15 Huala Adolf, Op.Cit., hal. 70.
16 Ibid, hal. 71.

dengan menggunakan kekuatan atau hak negara atau pihak yang berwenang atas
individu.17 Dengan demikian, apa bila suatu negara tidak mempunyai yurisdiksi
terhadap beberapa individual, negara tidak mempunyai otoritas hukum kepada
subjek individual tersebut dengan menggunakan hukum dan proses hukum
negaranya.18 Namun, negara juga dapat menggunakan kekuatan atau yurisdiksinya
di luar teritorinya terhadap individu, contohnya di atas laut lepas, 19 atau di dalam
yurisdiksi negara lain. Hal tersebut hanya terjadi apa bila terjadi sebuah tumpang
tindih yurisdiksi yang terjadi dalam satu kasus. 20
Adakalanya ketika yurisdiksi itu harus tunduk kepada pembatasan tertentu
yang di tetapkan oleh hukum internasional. Dalam hal ini yang di maksud adalah
hak-hak istimewa ekstrateritorial, yakni suatu istilah yang dipakai untuk
melukiskan suatu keadaan dimana status seseorang atau benda yang secara fisik
terdapat di dalam suatu wilayah negara, tetapi seluruhnya atau sebagian dapat
dikeluarkan dari yurisdiksi negara tersebut oleh ketentuan yang diatur dalam
ketentuan-ketentuan

hukum

internasional.

Penulis

akan

menjelaskan

dan

memaparkan secara jelas apa itu Yurisdiksi Ekstrateritorial.


Hal hal mengenai yurisdiksi ekstrateritorial menuai banyak konflik dan
kontroversi pada awalnya. Kasus atau perkara yang terjadi di teritori sebuah negara
berdasarkan teori yurisdiksi nasional atau teritorial dapat di patahkan dengan
adanya

yurisdiksi

ekstrateritorial.21

Suatu

negara

mempunyai

kekuasaan

sepenuhnya di wilayahnya untuk melaksanakan yurisdiksinya terhadap warga


negaranya dan sebaliknya negara itu tidak dapat melaksanakan yurisdiksinya di
17 Black Law Dictionary 712 n.1 (7th Edition. 1999) (mendefinisikan yurisdiksi
sebagai Kekuatan umum pemerintah dalam menjalankan hak-hak nya melalui
pihak yang berwenang atas individu dan semua benda yang terdapat dalam
wilayahnya).
18 Restatement (Third) of Foreign Relations Law of the United States 401(b)
(1987)
19 Ibid, 521
20 S.S. Lotus (France. v. Turkey.), 1927 P.C.I.J. (ser. A) No. 10, 30.

wilayah negara lain. Akan tetapi, terdapat beberapa pengecualian dimana suatu
negara dapat melaksanakan yurisdiksinya di wilayah negara lain yang dalam hukum
internasional biasa disebut yurisdiksi ekstrateritorial. Terdapat dua konvensi
yang mengatur hal hal mengenai pembatasan pembatasan dalam menjalankan
yurisdiksi ekstrateritorial, yaitu Vienna Convention 1961 on Diplomatic Relation dan
juga Vienna Convention 1963 on Consular Relation.22 Yurisdiksi ekstrateritorial ini di
artikan sebagai kepanjangan secara semu (quasi extentio) dari yurisdiksi suatu
negara di wilayah yurisdiksi negara lain. Konsep ini di dasarkan atas teori
eksteritorial atau ekstrateritorail dalam kaitannya dengan premises 23 di suatu
negara. Lingkungan wilayah di dalam premises itu di anggap seakan akan
merupakan wilayah tambahan dari suatu negara.
Premises tersebut di dalam hukum diplomatik di nyatakan tidak boleh di
ganggu gugat, tidak boleh dimasuki oleh aparat keamanan setempat, kecuali seizin
Kepala Perwakilan.24 Dengan demikian, Perwakilan diplomatik maupun konsuler
suatu negara dapat melaksanakan yurisdiksi ekstrateritorialnya di negara lain.
Yurisdiksi ekstrateritorial tersebut meliputi yurisdiksi perwakilan diplomatik dan
perwakilan konsuler dari suatu negara khususnya yang menyangkut yurisdiksi suatu
negara terhadap warga negaranya di negara lain. Yurisdiksi ekstrateritorial ini pada
awalnya disebut sebagai yurisdiksi konsuler, karena hal tersebut di latarbelakangi
dengan penggunaan perlindungan tersebut sudah dikenal dan telah dipraktekan
oleh konsul-konsul di negara lain. Bahkan, yurisdiksi ekstrateritorial ini juga telah di
praktekkan pada masa Kekaisaran Ottoman dalam abad ke 16 oleh karena pada

21 Malcolm Shaw, International Law, 6th Edition, (New York: Cambridge University

Press, 2008), hal. 688; Peter Malanzcuk, Akehursts Modern Introduction to


International Law, 7th Edition (Routledge: Taylor & Francis e-Library, 2002) hal. 116.

22 Sumaryo Suryokusumo, Op. Cit., Hal. 690.


23 Sebidang tanah di mana berdiri gedung gedung perwakilan diplomatik maupun
konsuler.
24 Pasal 22(1), Vienna Convention 1961 on Diplomatic Relation.

masa itu hukum Turki yang di dasarkan pada Quran tidak selayaknya dapat
diberlakukan pada golongan asing Kristen Barat yang berada di negara tersebut. 25
Dengan demikian, baik perwakilan diplomatik maupun perwakilan konsuler
yang mempunyai yurisdiksi ekstrateritorial wajib memberikan perlindungan kepada
warga

negara

asal

negaranya

termasuk

kepentingan-kepentingannya

yang

membawa mereka terjerumus dalam proses peradilan di Negara Penerima, antara


lain

untuk

mengunjungi

warga

negaranya

yang

ada

di

dalam

penjara,

mempersiapkan pengacara hukum yang di perlukan, mencarikan penerjemah


apabila warga negaranya tidak mengerti dan tidak fasih dalam berbahasa
menggunakan bahasa setempat, dan mendampingi sebelum di adili dan di eksekusi
dalam setiap tingkatan proses pengadilan di negera penerima/ negara setempat. 26
Hak perlindungan semacam itu merupakan atribut yang paling mulia dan suci (the
most sacred and noble attributions) dari Perwakilan suatu Negara, 27 karena hal itu
merupakan tugas yang sangat penting bagi Perwakilan Diplomatik atau Konsuler
asing di suatu negara penerima (the Receiving State) terhadap warga negaranya
yang berada di luar negeri.
Negara

penerima

mempunyai

yurisdiksi

sepenuhnya

sebagai

negara

berdaulat (Sovereign State) untuk membuat peraturan perundang-undangannya


sendiri yang mengikat secara hukum baik penduduknya sendiri yang tinggal di
wilayahnya termasuk kepemilikannya. 28 Secara umum, setiap negara mempunya
yurisdiksi secara ekslusif di lingkungannya sendiri, akan tetapi, yurisdiksi tersebut
bukanlah merupakan yurisdiksi yang bersifat absolut karena hal itu akan tergantung
dari pembatasan-pembatasa tertentu yang diatur oleh hukum internasional. Dengan
25 Case Concerning Rights of Nationals of the United States of America in Morocco
(France v. United States of America), Judgment (1952) International Court of Justice,
93.
26Pasal 3(1)(b), Vienna Convention 1961 on Diplomatic Relation; Pasal 36(1)(c),
Vienna Convention 1963 on Consular Relation.
27 De Cussy, Reglement Consulaires, hlm.20 .
28 J.E.S. Fawcett, The Law of Nations, 1968, hlm. 54.

demikian, dalam praktek, negara tidak selalu dengan mudah melakukan cara-cara
atau tindakan-tindakan yang akan di ambil untuk melaksakan yurisdiksi itu di
wilayahnya.

Namun

melaksanakan

di

lain

yurisdiksina

di

pihak,
luar

negara

dalam

wilayahnya.

hal-hal

Terlepas

tertentu

dari

dapat

pembatasan

pembatasan yang di atur oleh hukum internasional, suatu negara mempunyai


wewenang hukum untuk melakukan apa yang di kehendaki di dalam wilayahnya,
sehingga orang-orang atau hal-hal atau peristiwa tertentu yang terjadi di
lingkungan wilayahnya bisa di kenakan hukum dan keputusan pengadilan Negara
tersebut.
Suatu

negara

hanya

mempunyai

yurisdiksi

absolutnya

terhadap

penduduknya yang tinggal di wilayahnya. Dalam hal mereka tinggal di wilayah


negara lain, bagaimanapun, mereka akan tetap memperoleh perlindungan dan
sebaliknya mereka juga akan terikat dengan kewajiban-kewajiban terhadap
negaranya sendiri seperti untuk memberikan kesaksian di depan pengadilan di
negaranya, membayar pajak pendapat kepada pemerintahnya di dalam negeri,
walaupun pendapatannya atau kepemilikannya sudah di kenakan pajak di negara
lain dimana mereka bekerja dan tinggal. Pada umumnya, untuk menghindari
adanya pajak berganda semacam ini, banyak negara membuat persetujuan
bersama secara bilateral (dua pihak) seperti Agreement on Avoiding the Double
Taxation.29
Dalam hal terjadinya tindak kejahatan yang dilakukan oleh warga negara
suatu negara di negara penerima, pada prinsipnya ia tetap harus dihukum oleh
Negara tersebut dimana hukum dilanggarnya (locus delicti), walaupun dalam kasuskasus tertentu dimana suatu perbuatan dianggap melangar hukum di suatu Negara
Penerima tetapi tidak di Negara Pengirim. 30 Pada waktu Warga Negara dari Negara
Pengirim masuk dan tinggal di wilayah Negara Penerima, ia juga berhak untuk
memperoleh perlindungan yang sama seperti yang diberikan kepada waga Negara
29 William L.Tung, International Law in an Organising World, New York, 1968,
hlm.206-207.
30McWhinney, The New Countries and the New International Law: the United
Nations Special Conference on Friendly Relations and Co-operation among States,
(1966), 60 AJIL, hlm. 411

Negara Penerima sesuai dengan peraturan perundangundangannya. Suatu Negara


juga mempunyai hak kedaulatan untuk mengusir atau memulangkan orang asing
jika ia masuk ke Negara itu secara tidak sah atau kehadirannya tidak di Negara itu
dari segi keamanan dan kepentingan nasional suatu Negara Penerima tidak
dikehendaki. Masuknya orang asing ke wilayah suatu Negara menurut Hukum
Internasional memang bukanlah kewajiban. Suatu Negara bisa saja untuk mencekal
masuknya orangorang asing atau orang-orang yang memang tidak dikehendakinya.
Namun setiap diskriminasi yang dikenakan terhadap masuknya ras atau warga
negara tertentu dapat menimbulkan permasalahan dengan negara-negara dimana
Warga Negara asing itu berasal.31
Warga Negara dari Negara Pengirim yang sedang mengunjungi atau
bertempat tinggal karena tugas atau pekerjaannya di wilayah Negara Penerima
akan berada di bawah yurisdiksi wilayah Negara tersebut (Territorial Jurisdiction).
Oleh

karena

itu

Negara

dalam

melakukan

yurisdiksi

diwilayahnya

harus

menghormati yurisdiksi pribadi dari Warga Negara asing, dimana Negara Pengirim
akan tetap mengenakan hak-hak dan kewajiban terhadap Warga Negaranya
dimana-pun mereka berada, baik di Negaranya sendiri maupun di Negara lain.
Untuk kepentingan ini Negara dapat memberikan perlindungan terhadap Warga
Negaranya yang berada di Negara lain melalui baik Perwakilan Diplomatik maupun
Perwakilan Konsulernya yang ada di Negara Penerima. Mengenai hak dan kewajiban
Warga Negara Negara Pengirim yang tinggal di Negara Penerima akan tergantung
dari hukum dan peraturan dari negara-negara yang berbeda. Di satu pihak, yang
menyangkut hak-hak politik biasanya diberikan kepada Warga Negaranya sendiri, di
lain pihak yang menyangkut hak-hak perdata akan tergantung dari aturan-aturan
tertentu yang ada di Negara tersebut, seperti hak untuk membeli tanah atau
mengadakan usaha perdagangan dan lain sebagainya. 32
Apabila di wilayah konsuler dari perwakilan konsuler suatu negara pengirim
terdapat seorang warga negara pengirim yang di tangkap atau di masukkan dalam
31Interpretation of Peace Treaties with Bulgaria, Hungary, and Romania, Advisory
Opinion (1950) ICJ Reports, hal.65 dan 221.
32 A Collection of Decisions of the Chinese Supreme Court; English Translation by
Tung, hlm. 117.

penjara ataupun di tempatkan di bawah pengawasan sambil menunggu diadili atau


dalam suatu hal ia harus ditahan, maka instansi yang berwenang dari negara
penerima wajib memberitahukan segera kepada perwakilan konsuler negara
pengirim.33 Di samping itu instansi yang berwenang dari negara penerima tersebut
wajib meneruskan setiap komunikasi atau proses dari warga negara pengirim yang
terkena

perkara

tersebut

kepada

perwakilan

konsuler

dari

negara

dimana

terperkara itu berasal. Instansi tersebut juga harus memberitahukan kepada mereka
yang terperkara mengenai hal hal yang menyangkut dan berkenaan dengan hakhak si terperkara. Selain itu pula, negara penerima juga harus memberikan hak
kepada para pejabat konsuler dari perwakilan konsuler negara pengirim untuk
mengunjungi warga negaranya yang berada dipenjara, yang ada di bawah
pengawasan atau yang ada di dalam tahanan untuk berbicara, serta memiliki hak
untuk

menghubungi mereka melalui surat menyurat,

memberikan pengacara hukum, dan yang sedang di adili.

mengusahakan

untuk

34

Terdapat beberapa hal hal yang membuat negara tidak melindungi warga
negaranya karena, mereka atau individu tersebut telah melakukan atau negara
telah terikat dengan beberapa perjanjian. Sebagai contoh, yang pertama, negara
tidak dapat melindungi warga negaranya yang terlibat Extra Ordinary Crime.
Sebagai contoh, terorisme dan pembajakan.35 Negara yang menjadi korban
terorisme atau pembajakan memiliki hak yang absolut untuk menjalankan hukum
negaranya terhadap individu yang melakukan tindak kejahatan tersebut. Yang
kedua, negara tidak dapat melindungi warga negaranya yang melanggar klausul
perjanjian jual belinya kepada pihak lain. Hal tersebut di dasari bahwa dalam
perjanjian jual beli, pada umumnya sudah terdapat klausul bahwa pihak pihak akan
mengikuti salah satu hukum negara asal dari kedua belah pihak. Hal tersebut lah
yang memberikan hak absolut terhadap negara yang hukumnya digunakan dalam
33 Pasal 37, Vienna Convention 1963 on Consular Relation.
34 Ibid.
35 Anthony J. Colangelo, Constitutional Limits On Extraterritorial Jurisdiction:
Terrorism and the Intersection of National and International Law, (2007) 48 Harvard
International Law Journal 121 hal. 142.

perjanjian jual beli tersebut.36 Yang ketiga adalah, kekuatan undang-undang


(perjanjian) dan hubungan asing suatu negara. Amerika dalam undang-undangnya
dengan tegas menyatakan bahwa negara nya akan langsung menjalankan hukum
negaranya
pernyataan

atas kejahatan
tersebut,

teroris yang

kongres

amerika

terjadi
melalu

dalam teritorinya. 37 Setelah


kementerian

luar

negeri

menyebarkan info tersebut terkait tindak kejahatan teroris yang terjadi di teritori
Amerika akan langsung di hukum dengan hukum negara Amerika. 38
Akan tetapi dengan adanya hal tersebut, kenyataannya, hukum internasional
mengecam kebiasaan yang Amerika lakukan tersebut. Apapun yang terjadi, negara
penerima harus tetap melaporkan kepada perwakilan konsuler atau diplomatik
negara pengirim atau asal negara dari pihak atau individu yang bersalah. 39 Karena
hal tersebut telah di atur pula dalam Vienna Convention 1961 on Diplomatic
Relation dan Vienna Convention 1963 on Consular Relation sebagai pembatas
negara dan perwakilan konsuler atau diplomatik, untuk menjalankan yurisdiksinya.
Penulis akan masuk kepada tujuan artikel ini yaitu menganalisa kasus Tenaga Kerja
Wanita Kartini dan Ruyati yang bekerja di Arab Saudi dan Uni Emirat Arab.
Kartini binti Karim seorang Tenaga Kerja Wanita, berasal dari Indonesia yang
bekerja di Uni Arab Emirat dituduh telah melakukan perzinahan dan di Pengadilan
Syariah di Fujaira, Uni Arab Emirat di awal tahun 2000 telah diputuskan hukuman
rajam (dilempari batu sampai mati) terhadap Kartini. Selama persidangan di
Pengadilan Tingkat Pertama, tidak ada upaya untuk memberikan bantuan hukum
kepada terdakwa Kartini baik pengacara maupun penterjemah, namun Kartini
kemudian bisa mengajukan banding terhadap putusannya. Kantor Perwakilan
36 Randy E. Barnett, The Original Meaning of the Commerce Clause,, 68 U. Chi. L.
Rev. 101 (2001); Ibid, hal. 146.
37 Missouri v. Holland, 252 U.S. 416, 432 (1920); Neely v. Henkel, 180 U.S. 109, 121
(1901
38 United States v. Curtiss-Wright Export Corp., 299 U.S. 304 (1936).
39 Anthony DAmato, The Theory Of Customary International Law, (1988), 82 Am.
Socy Intl L. Proc. 242, hal. 246.

Diplomatik Indonesia di Abu Dhabi sejak terjadinya kasus tersebut tidak pernah
diberitahukan oleh pihak berwenang setempat mengenai kasus Kartini tersebut,
karena itu upaya-upaya tersebut tidak bisa dilakukan oleh Kedutaan Besar Republik
Indonesia di Abu Dhabi. Kedutaan Besar Republik Indonesia baru mengetahui kasus
tersebut setelah diberitakan melalui surat-surat kabar setempat, disaat di dalam
berita tersebut, Pengadilan Tingkat Banding akan segera digelar. Sehubungan
dengan

hal

tersebut

Kedutaan

Besar

Republik

Indonesia

kemudian

telah

mengupayakan pengacara dan penerjemah karena Kartini tidak menguasai bahasa


setempat termasuk pendekatan lainnya dalam usaha melindungi dan meringankan
hukuman. Kartini pada akhirnya dijatuhi hukuman yang lebih ringan dari yang
didakwakan sebelumnya.
Sedangkan pada kasus yang menimpa Ruyati seorang Tenaga Kerja Wanita,
berasal dari Indonesia yang bekerja di Arab Saudi atas alat bukti dan saksi serta
atas pengakuannya Ruyati sendiri telah didakwa melakukan pembunuhan terhadap
majikannya Khaitiyah Hamid Mujallid 64 tahun pada tanggal 12 Januari 2010.
Menurut pengakuan Ruyati, pembunuhan itu dilakukan karena ia tidak tahan lagi
terhadap perlakuan majikannya yang sangat kasar. Menurut Harian setempat
Okaz Ruyati telah melakukan pembunuhan terhadap majikannya itu di kursi
rodanya tatkala majikannya sedang melakukan Shalat Duha. Sejak itu Ruyati telah
ditahan dan kemudian mulai diadili di Pengadilan Umum di Mekkah selama dua kali
yaitu pada tanggal 3 dan 10 Mei 2010 dan dalam persidangan tersebut Ruyati telah
mengakui segala perbuatannya dan dengan alat bukti dan saksi yang diajukan di
pengadilan

memang

sangat

memberatkan

hukuman

yang

akan

dijatuhkan

kepadanya. Selama satu tahun lebih Konsulat Jenderal R.I di Jeddah tidak
memperoleh kabar apapun dari pihak berwenang setempat mengenai keadaan
Ruyati dan akhirnya Konsulat telah mengambil langkah untuk mencari Ruyati di
Penjara Wanita di Mekkah pada tanggal 17 Januari 2011 dan telah mendapat
informasi bahwa Ruyati karena kesehatannya yang sangat menurun dan mengalami
depresi selama dua minggu terakhir telah dirawat di Rumah Sakit di Mekah.
Keadaan Ruyati tersebut kemudian telah diberitahukan kepada keluarganya di
Indonesia oleh Kementerian Luar Negeri tanggal 2 Februari 2011. Selama dua kali
persidangan yang diadakan di Pengadilan Umum Mekkah, pihak yang berwenang di
kota tersebut tidak pernah memberitahukan kejadian yang menimpa Ruyati baik

kepada Kedutaan Besar Republik Indonesia di Riyadh maupun Konsulat Jenderal R.I
di Jeddah. Dengan demikian kedua Perwakilan kita tidak bisa mengambil langkahlangkah seperlunya dalam upaya memberikan perlindungan kepada Ruyati atau
setidak-tidaknya untuk meringankan hukuman yang akan dijatuhkan kepada Ruyati.
Kedutaan Besar Republik Indonesia di Riyadh dan 86 Lihat Pasal 3(1)(b) Vienna
Convention 1961 on Diplomatic Relation. Konsulat Jenderal R.I di Jeddah baru
mengetahui kasus Ruyati tersebut setelah diberitakan melalui surat-surat kabar
lokal, bahkan sejak hukuman pancung dijatuhkan sampai kepada eksekusinya
tanggal 18 Juni 2011.
Sebagaimana Indonesia, Uni Emirat Arab dan Arab Saudi merupakan negara
pihak dari kedua Vienna Convention tahun 1961 dan tahun 1963 mengenai
Diplomatic dan Consular Relation. Dengan demikian baik Indonesia maupun Uni
Emirat Arab jelas terikat oleh ketentuan-ketentuan dalam kedua Konvensi tersebut
dan harus melaksanakan dengan itikad baik atas dasar azas Pacta Sunt Servanda,40
dan hal tersebut diatur dalam Vienna Convention on the Law of the Treaties 1969.41
Namun, dengan demikian, walaupun negara tersebut mempunyai yurisdiksi
sepenuhnya untuk mengadili warga negara asing yang terlibat suatu tindak
kejahatan,

telah

mengabaikan

dan

menyampingkan

kewajibannya

untuk

memberitahukan kepada Kedutaan Besar Republik Indonesia. Dalam hal ini Uni
Emirat Arab dan Arab Saudi telah melanggar ketentuan dalam kedua konvensi
tersebut,

sehingga

Kedutaan

Besar

Republik

Indonesia

sebagai

perwakilan

diplomatik dan konsuler tidak dapat menjalankan yurisdiksi ekstrateritorial dalam


memberikan bantuan hukum dan upaya hukum terhadap warga negaranya yang
telah menjadi tersangka dan dalam proses pengadilan negara setempat. Tindakan
semacam itu bukan hanya di anggap sebagai pelanggaran terhadap kewajiban
internasional tetapi juga melanggar hukum kebiasaan internasional dan prinsipprinsip hukum internasional yang sudah di akui oleh bangsa-bangsa beradab
(Sovereign States).42

40 Pacta Sunt Servanda adalah azas yang mewajibkan pihak dalam perjanjian untuk
memenuhi kewajibannya dalam perjanjian
41 Pasal 26, Vienna Convention on the Law of the Treaties 1969.

Negara setempat wajib memberitahukan kepada perwakilan asing di


negaranya secepat mungkin apabila ada warga negaranya asing yang di tangkap, di
penjarakan, di adili, atau di tempatkan dibawah pengawasan menunggun untuk
diadili dan segala cara cara lain bagaimana warga negara asing itu akan di tahan.
Negara setempat juga harus meneruskan komunikasi dari terdakwa dengan
perwakilan negaranya secepatnya tentang hak-hak terdakwa yang berasal dari
negara pengirim tersebut yang ada dan sesuai dengan ketentuan dan peraturan
dalam Vienna Convention 1963 on Consular Relation.43 Selain itu, negara setempat
juga wajib memberikan hak kepada perwakilan negara asing untuk mengunjungi
warga negaranya yang ada di penjara untuk berbicara atau mengadakan surat
menyurat dengannya dan mempersiapkan pengacara hukumnya. Negara setempat
juga

berkewajiban

untuk

memberikan

hak

kepada perwakilan

asing

untuk

mengunjungi warga negaranya yang ada di penjara yang berada di bawah


pengawasan atau di tahan karena sedang dalam proses peradilan negara setempat.
Negara setempat juga wajib memberitahukan kepada perwakilan negara asing
mengenai setiap kejadian, dimana penunjukan seorang pelindung atau wali
dirasakan perlu untuk kepentingan warga negara asing yang tidak mempunyai
kemampuan sepenuhnya.44 Yurisdiksi teritorial Kedutaan Besar Republik Indonesia di
Uni Emirat Arab dan Arab Saudi dalam memberikan perlindungan terhadap Kartini
dan Ruyati menjadi tidak maksimal karena mereka hanya dapat melihat info
mengenai penangkapan Tenaga Kerja Wanita melalu media negara setempat.
Padahal, Universal Declaration of Human Rights memberikan kewajiban negara
untuk

memperlakukan

individu

dengan

perlindungang

hukum

yang

sama

45

rata. Untungnya, Kartini masih bisa diberi bantuan berupa penyediaan pengacara
42 Sumaryo Suryokusumo, Op. Cit., Hal. 692.
43 Pasal 37 (a) & (b), Vienna Convention 1963 on Consular Relation.
44 Ibid.
45 Pasal 7, Universal Declaration of Human Rights, diadopsi oleh United Nations
General Assembly pada 10 Desember 1948; lihat juga: Danielle Ireland-Piper,
Prosecutions of Extraterritorial Criminal Conduct and the Abuse of Rights Doctrine
Utrecht Law Review.

dan penerjemah dan lain sebagainya berkaitan dengan apa saja yang diperlukan
dalam proses peradilan Kartini di Pengadilan Banding. Lain hal dengan Ruyati yang
baru diketahui ketika sudah di eksekusi pancung oleh pihak yang berwenang
(Otorita) Arab Saudi, tanpa menginformasikannya ke Kedutaan Besar Republik
Indonesia.
Dalam hal Warga Negara dari Negara Pengirim meninggal dunia karena suatu
hal yang terjadi di Negara Penerima, Negara Penerima mempunyai kewajiban untuk
segera memberitahukan kepada Perwakilan Konsuler dimana musibah itu terjadi di
dalam lingkungan wilayah Konsuler dari Negara Pengirim. Di samping itu Negara
Penerima juga harus memberitahukan secepatnya kepada Perwakilan Konsuler
mengenai setiap kejadian dimana dirasakan perlu untuk menunjuk seorang
pelindung atau wali dalam rangka memberikan perlindungan terhadap Warga
Negara dari Negara Pengirim yang masih di bawah umur dan yang sepenuhnya
kurang mampu. Namun pemberitahuan mengenai informasi termasuk penunjukan
semacam itu dilakukan tanpa mengurangi arti dari peraturan perundang-undangan
Negara Penerima.46 Selain itu, Apabila di wilayah Konsuler dari Perwakilan Konsuler
suatu Negara Pengirim ada seorang Warga Negara Pengirim yang ditangkap atau
dimasukkan dalam penjara ataupun ditempatkan di bawah pengawasan sambil
menunggu diadili atau dalam suatu hal ia harus ditahan, maka instansi yang
berwenang dari Negara Penerima wajib memberitahukan segera kepada Perwakilan
Konsuler Negara Pengirim.80 Di samping itu instansi yang berwenang dari Negara
Penerima tersebut wajib meneruskan setiap komunikasi dari Warga Negara Pengirim
yang terkena perkara tersebut kepada Perwakilan Konsuler dari Negara dimana
terperkara itu berasal. Instansi tersebut juga harus memberitahukan kepada mereka
yang terperkara itu hal-hal yang berkenaan dengan hak-haknya. Negara Penerima
juga harus memberikan hak kepada para pejabat Konsuler dari Perwakilan Konsuler
Negara Pengirim untuk mengunjungi Warga Negaranya yang berada dipenjara, yang
ada di bawah pengawasan atau yang ada di dalam tahanan untuk berbicara, serta
hak untuk menghubungi mereka melalui surat menyurat, mengusahakan pengacara
hukum dan yang sedang diadili.47 Dengan demikian, kasus kasus yang serupa
46 Ibid.
47 Ibid.

dengan kasus Kartini dan Ruyati dapat menjadi pelajaran dan tolak ukur negara
dalam menjalan yurisdiksi ekstrateritorialnya dengan menggunakan dasar yang
negara negara yang bersangkutan telah terikat. 48 Dalam hal ini adalah Vienna
Convention 1961 dan 1963 mengenai Diplomatic Relation and Consular Relation.

48 Malcom Shaw, Op.Cit., hal. 696.

D. PENUTUP
a. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan permasalahan di atas dapat kita tarik suatu
kesimpulan bahwa pihak (otorita) yang berwenang dari Kerajaaan Arab
Saudi ternyata sejak terjadinya kasus Ruyati tidak memberitahukan baik
kepada KBRI di Riyadh maupun Konsulat Jenderal R.I di Jeddah. Hal ini
jelas telah melanggar Mandatory Access on Consular Notification.
Dengan demikian Perwakilan kita di sana tidak dapat mengambil
langkahlangkah yang perlu dalam usaha memberikan perlindungan
seperti mengupayakan pengacara dan penterjemah jika tidak menguasai
bahasa Arab, upaya banding termasuk pendekatan lainnya dalam usaha
melindungi dan meringankan hukuman yang akan dijatuhkan kepada
Ruyati. Kedutaan Besar Republik Indonesia di Riyadh dan Konsulat
Jenderal Republik Indonesia di Jeddah sesuai dengan ketentuan ketentuan
Vienna Convention tahun 1961 dan 1963 mengenai Diplomatic Relation
dan Consular Relation memberikan kewenangan untuk memberikan
perlindungan terhadap Warga Negaranya yang berada di wilayah Arab
Saudi (Extra Territorial Jurisdiction) dalam hal ini mereka memperoleh
musibah seperti Kartini dan Ruyati. Permasalahannya apakah kewenangan
ekstra teritorial semacam itu dilaksanakan secara proaktif atau tidak, dan
jelas terbaca dari gambaran kasus di atas hal tersebut tidak dilaksanakan
dengan

sebagaimana

mestinya

sesuai

dengan

aturan

Hukum

Internasional yang berlaku di antara kedua Negara


b. Saran
Berdasarkan hasil analisis yang di lakukan dalam kasus Tenaga Kerja
Wanita dengan nama Kartini dan Ruyati di luar negeri, yang di jatuhi
putusan hukuman mati dari pengadilan negara setempat, pihak (otorita)
yang berwenang dari negara setempat tidak menginformasikan hal hal
mengenai kejadian yang di rasakan oleh kedua Tenaga Kerja Wanita
tersebut. Dengan demikian, penulis memberikan beberapa saran antara
lain:

1) Setiap

negara

penerima

yang

ingin

menghukum

atau

memproses seorang individu yang berasal dari negara pengirim


harus secara cepat menginformasikan ke perwakilan diplomatik
dan

konsuler

dari

negara

pengirim

kesalahpahaman antar negara.


2) Dalam hal ini, Uni Emirat Arab

dan

agar
Arab

tidak
Saudi

terjadi
harus

menyampingkan yurisdiksi teritorialnya dan melebur kepada


yurisdiksi ekstrateritorial dari Indonesia karena Kartini dan
Ruyati adala warga negara Indonesia. Hal tersebut harus
dilakukan agar tidak terjadi pelanggaran kewajiban internasional
oleh Uni Emirat Arab maupun Arab Saudi.
3) Kedutaan Besar Republik Indonesia harus lebih cekatan dan teliti
dalam melindungi warga negaranya yang berada di manapun.
Karena, sebagaimana yang kita ketahui bahwa Kedutaan Besar
Republik Indonesia juga memiliki fungsi melindungi warga
negara dimana Kedutaan Besar Republik Indonesia itu berdiri.

Daftar Pustaka
Buku
1) Adolf, Huala. 2002. Aspek-Aspek Negara Dalam Hukum Internasional. Jakarta.
Raja Grafindo Persada.
2) Black Law Dictionary 712 n.1. 1999. 7th Edition.
3) Csabafi, Anthony. 1971. The Concept of State Jurisdiction in International
Space Law, (The Hague, 1971),
4) Cussy, De. 2012. Reglement Consulaires. Broche. Ulan Press.
5) Fawcett, J.E.S. 1968. The Law of Nations. New York. Basic Books Inc.
6) L.Tung, William. 1968. International Law in an Organising World. New York.
Thomas Y. Crawell.
7) Malanzcuk, Peter. 2002. Akehursts Modern Introduction to International Law,
7th Edition. Routledge. Taylor & Francis e-Library.
8) Satria Buana, Mirza. 2007. Hukum Internasional Teori dan Praktek. Bandung.
Penerbit Nusamedia.
9) Shaw, Malcolm. 2008. International Law. 6th Edition. New York. Cambridge
University Press.
10)
Starke, JG.

1984.

Introduction

to

International

Law.

London.

Butterworth.
Dokumen Hukum
1) Case Concerning Rights of Nationals of the United States of America in
Morocco (France v. United States of America), Judgment (1952) International
Court of Justice.
2) Interpretation of Peace Treaties with Bulgaria, Hungary, and Romania,
Advisory Opinion (1950) ICJ Reports.
3) Missouri v. Holland, 252 U.S. 416, 432 (1920).
4) Neely v. Henkel, 180 U.S. 109, 121 (1901).
5) Restatement (Third) of Foreign Relations Law of the United States 1987.
6) S.S. Lotus (France. v. Turkey.), 1927 P.C.I.J. (ser. A) No. 10.
7) Universal Declaration of Human Rights, diadopsi oleh United Nations General
Assembly pada 10 Desember 1948
8) United States v. Curtiss-Wright Export Corp., 299 U.S. 304 (1936).
9) Vienna Convention 1963 on Consular Relation.
10)
Vienna Convention 1961 on Diplomatic Relation.
11)
Vienna Convention on the Law of the Treaties 1969.
Dokumen Lain

1) A Collection of Decisions of the Chinese Supreme Court; English Translation


by Tung.
2) Anthony DAmato, The Theory Of Customary International Law, (1988), 82
Am. Socy Intl L. Proc. 242.
3) Anthony J. Colangelo, Constitutional Limits On Extraterritorial Jurisdiction:
Terrorism and the Intersection of National and International Law, (2007) 48
Harvard International Law Journal 121.
4) Bambang Sutrisno, Pelajaran dari Kasus Tenaga Kerja Wanita bernama
Kartini,

diakses

dari

http://www.library.ohiou.edu/indopubs/2000/01/0483.html, pada tanggal 25


Juli 2015 dan pukul 22.46.
5) Budi Setiawanto, Seputar Hukum Mati Tenaga Kerja Indonesia Ruyati,
diakses

dari

http://www.antaranews.com/berita/263792/seputar-hukuman-

mati-tki-ruyati, pada tanggal 25 Juli 2015 dan pukul 22.57.


6) Danielle Ireland-Piper, Prosecutions of Extraterritorial Criminal Conduct and
the Abuse of Rights Doctrine Utrecht Law Review.
7) McWhinney, The New Countries and the New International Law: the United
Nations Special Conference on Friendly Relations and Co-operation among
States, (1966), 60 AJIL.
8) Randy E. Barnett, The Original Meaning of the Commerce Clause, (2001),
68 U. Chi. L. Rev. 101.
9) Sumaryo Suryokusumo, Yurisdiksi Negara vs. Yurisdiksi Ekstrateritorial
(2005), 188 IJIL 685. Diakses: http://download.portalgaruda.org/article.php?
article=266178&val=7081&title=Yurisdiksi%20Negara%20vs.%20Yurisdiksi
%20Ekstrateritorial pada tanggal 26 Juli 2015 pukul 12.09

Anda mungkin juga menyukai